• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (pMS-06) - 1

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

,

14 Juli 2012

ETNOIKTIOLOGI IKAN LEMA, Rastrelliger spp.

DI TELUK MAYALIBIT KABUPATEN RAJA AMPAT, PAPUA BARAT

Dian Oktaviani*, Eko B. Walujo,Jatna Supriatna dan Mark Erdmann

Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Ancol *Penulis untuk korespondensi, E-mail: vow_dionk@yahoo.com

Abstrak

Tulisan ini menggambarkan aspek klasifikasi dan pemanfaatan ikan lema oleh nelayan di Teluk Mayalibit, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Wawancara dan pengamatan langsung telah dilakukan dari Maret 2011 sampai dengan Februari 2012. Metode analisis yang digunakan dengan pendekatan emik dan etik. Ikan lema yang ditangkap dan dikenal nelayan Teluk Mayalibit terdiri dari dua jenis diidentifikasi sebagai Rastrelliger spp. (Perciformes; Scombridae). Hasil identifikasi sampel ikan lema menunjukkan tiga spesies yaitu: Rastrelliger kanagurta (Cuvier, 1817), Rastrelliger brachysoma (Bleeker, 1851), dan Rastrelliger faughni Matsui 1967. Ikan lema ditangkap dengan alat tangkap tradisional skala kecil yang dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani dan perekonomian nelayan yang tinggal di pesisir Teluk Mayalibit.

Kata kunci: etnoiktiologi, ikan lema, Rastrelliger spp., teluk mayalibit Pengantar

Ikan lema merupakan salah satu jenis ikan pelagis kecil yang bernilai ekonomis penting bagi masyarakat Teluk Mayalibit. Morfologi ikan lema menunjukkan ciri-ciri yang dipunyai oleh ikan kembung yang diklasifikasikan sebagai Rastrelliger (Perciformes; Scombridae). Sebutan ikan kembung merupakan istilah umum yang digunakan oleh nelayan Indonesia terutama di wilayah Indonesia bagian Barat dan digunakan di dalam statistik perikanan Indonesia.

Collette & Nauen(1983) dan FAO (2001) menyatakan bahwa Rastrelliger terdiri dari tiga spesies, yaitu: Rastrelliger brachysoma (Bleeker, 1851), R. kanagurta (Cuvier, 1817), dan R.

faughni (Matsui, 1967). Perairan Indonesia merupakan salah satu bagian daerah sebaran ketiga

spesies tersebut. FAO (2001) menyebutkan daerah sebaran Rastrelliger terutama di perairan Indo-West Pacific. Masing-masing spesies mempunyai nama internasional, sebagai berikut:

short mackerel (R. brachysoma), Indian mackerel (R. kanagurta), dan island mackerel (R. faughni).

Secara geografis, Teluk Mayalibit terletak di bagian selatan Pulau Waigeo yang merupakan bagian dari Kepulauan Raja Ampat dan terletak di utara kepala burung Pulau Papua

pada titik koordinat 0°22’14”LS (Lintang Selatan)- 0°05’00”LS dan 130°36’43”BT (Bujur

Timur)-130°59’10”BT.

Topografi perairan Teluk Mayalibit mempunyai kedalaman antara 2–25 m (Dishidros 1992; Dishidros 2003) dengan rata-rata kedalaman 10 m (Lazuardi et al., 2008) serta mempunyai lebar mulut teluk yang cukup sempit sekitar 700 m (Goram 2009). Teluk Mayalibit mempunyai luas 34.000 ha secara administratif berada di wilayah Kabupaten Raja Ampat yang terdiri dari dua distrik (istilah untuk kecamatan) yaitu Distrik Teluk Mayalibit dan Distrik Tiplol Mayalibit. Teluk Mayalibit telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan Daerah oleh Pemerintah Kabupaten Raja Ampat sejak 2007.

Pesisir Teluk Mayalibit didiami oleh penduduk yang tersebar menjadi 10 kampung, yaitu Mumes, Warsambin, Lopintol, Arawai, Kobilol, Beo, Go, Waifoi, dan Kalitoko. Suku asli yang mendiami pesisir Teluk Mayalibit adalah Suku Maya terdiri dari dua subsuku yaitu: Laganyan (Lopintol, Arawai, dan Beo) dan Ambel atau Waren (Mumes, Warsambin, Kalitoko, Kabilol, Waifoi, dan Go) dengan bahasa lokal masing-masing (Yohanes Goram, komunikasi pribadi 2011). Laganyan mendiami tiga kampung yaitu: Lopintol, Arawai, dan Beo, sedangkan Ambel atau Waren mendiami 7 kampung yaitu: Mumes, Warsambin, Kalitoko, Waremak, Kabilol, Waifoi, dan Go dengan bahasa lokal masing-masing. Mata pencaharian penduduk tersebut yang utama adalah nelayan dan petani. Kehidupan mereka sehari-hari sangat sederhana

(2)

2 -

Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (pMS-06)

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

,

14 Juli 2012

(bahkan tergolong miskin) dan sangat bergantung kepada biota teluk dan sekitarnya dengan jumlah penduduk sekitar 1.530 jiwa (Goram 2009).

Suku-suku asli yang mendiami suatu tempat sangat mengenal sumber daya hayati di lingkungannya yang telah beradaptasi dan terlatih untuk memanfaatkannya (Indrawan dkk. 2007). Para ilmuwan modern banyak belajar dari masyarakat setempat dalam memahami kekayaan keanekaragaman dan mulai menggali pengetahuan lokal, sehingga berkembanglah suatu bidang ilmu yang disebut etnobiologi. Posey (1990) mengurai beberapa cabang etnobiologi, antara lain: etnobotani, etnozoologi, etnomedik, etnofarmakolgi, dan etnoagrikultur. Kajian yang mempelajari hubungan antara sumber daya ikan dan pemanfaatannya oleh suatu kelompok masyarakat dikategorikan sebagai etnozoologi (Boll 2004; Begossi & Silvano 2008), bahkan secara khusus disebut dengan istilah etnoichthyology (etnoiktiologi) oleh Paz & Begossi (1996).

Penelitian dilakukan dengan wawancara dan pengamatan langsung kepada nelayan yang tinggal di pesisir Teluk Mayalibit. Tujuan penelitian adalah untuk menggambarkan aspek klasifikasi (folk taxonomy) dan pemanfaatan ikan lema oleh masyarakat lokal yang mendiami Teluk Mayalibit, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat.

Bahan dan Metode

Penelitian yang berlangsung mulai dari Maret 2011 sampai dengan Februari 2012 telah dilakukan di Teluk Mayalibit Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat (Gambar 1). Selama kurun waktu tersebut masyarakat lokal yang tinggal di pesisir Teluk Mayalibit dijadikan sebagai sumber informasi dengan nelayan sebagai informan utama. Informan tidak dibedakan jenis kelamin, sedangkan ditentukan umur lebih dari 17 tahun.

Gambar 1. Lokasi penelitian (modifikasi dari Dishidros 1996).

Wawancara dan pengamatan langsung telah dilakukan. Data yang dikumpulkan meliputi hasil wawancara dan hasil tangkapan. Metode analisis yang digunakan dengan pendekatan emik dan etik. Data yang diperoleh diuraikan secara deskriptif dalam bentuk tabel, gambar, dan grafik.

Pendekatan emik diuraikan berdasarkan pengetahuan nelayan diperoleh melalui wawancara. Wawancara dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada nelayan dan masyarakat yang tinggal di pesisir Teluk Mayalibit, sebagai berikut:

1. Apakah anda mengenal ikan lema? 2. Ada berapa macam bentuk ikan lema? 3. Apakah ada sebutan lain untuk ikan lema? 4. Apa alat tangkap yang digunakan?

(3)

Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (pMS-06) - 3

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

,

14 Juli 2012

5. Apa yang dilakukan terhadap hasil tangkapan ikan lema?

Wawancara dilakukan bila ada kesempatan selama kurun waktu penelitian. Sekitar 50 orang (nelayan dan masyarakat di Teluk Mayalibit) berhasil diwawancara.

Pendekatan etik dilakukan dengan mengidentifikasi sampel ikan lema yang berasal dari hasil tangkapan nelayan. Identifikasi dilakukan dengan memperhatikan ciri-ciri morfologi yang mengacu pada Sudjastani (1974), Collette & Nauen (1983), dan FAO (2001). Pengukuran dilakukan untuk mengetahui perbandingan (rasio) antara tinggi (cm) dan panjang cagak/fork

lenght (cmFL). Ukuran sampel ikan masing-masing spesies yang digunakan mempunyai ukuran

antara 12 – 20 cmFL.

Hasil dan Pembahasan

Pengetahuan Lokal terhadap Spesies Ikan Lema

Hasil wawancara selama penelitian dengan jumlah informan 100 orang menunjukkan jawaban yang sama terhadap lima pertanyaan utama yang diajukan. Ikan lema dikenal oleh masyarakat Teluk Mayalibit sebagai ikan yang suka bermain di permukaan air dan berarus kencang. Istilah ikan lema diberikan karena menurut pengetahuan masyarakat setempat bahwa ikan tersebut merupakan ikan yang paling lemah (mudah mati dan cepat rusak) dibandingkan jenis ikan yang lain. Nama ikan lema merupakan sebutan umum bagi masyarakat lokal yang mendiami Kabupaten Raja Ampat untuk jenis ikan pelagis kecil yang diidentifikasi sebagai

Rastrelliger spp (Oktaviani 2010) di dalam bahasa Melayu Papua.

Bahasa Melayu Papua merupakan bahasa komunikasi yang paling umum dipakai dalam aktifitas setiap hari di wilayah Raja Ampat. Bahasa tersebut memainkan peran bukan saja sebagai bahasa pengantar yang digunakan setiap saat, tetapi juga untuk mempererat hubungan antar semua kelompok suku dan juga sebagai bahasa komunikasi dengan kelompok suku di wilayah lain di luar Raja Ampat (Pemda. Kabupaten Raja Ampat), contoh: istilah ikan lema juga digunakan oleh masyarakat Maluku.

Masyarakat Teluk Mayalibit (suku asli) menggunakan istilah bahasa Teluk untuk menyebutkan dua macam bahasa lokal yang berlaku di Teluk Mayalibit, yaitu bahasa Ambel (Waren) dan bahasa Laganyan. Masing-masing bahasa lokal mempunyai sebutan untuk ikan lema yaitu “lo” dalam bahasa Ambel dan “inlo” dalam bahasa Laganyan. Nama lokal yang diberikan di dalam tiga ragam bahasa tersebut tidak menggambarkan keragaman jenis ikan lema (Tabel 1), sehingga nama lokal yang diberikan tidak berlaku nomenklatur binomial seperti di dalam nomenklatur ilmiah.

Tabel 1. Penamaan jenis ikan lema di Teluk Mayalibit.

No. Ragam Bentuk

Ikan Lema Nama lokal*) Nama Ilmiah Melayu Papua Teluk Ambel Laganyan 1 17,2 cmFL lema lo inlo Ordo:Perciformes; Famili: Scombridae Rastrelliger brachysoma 2 20,9 cmFL lema lo inlo Ordo:Perciformes; Famili: Scombridae Rastrelliger kanagurta 3 17,5 cmFL lema lo inlo Ordo:Perciformes; Famili: Scombridae Rastrelliger faughni

(4)

4 -

Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (pMS-06)

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

,

14 Juli 2012

Identifikasi yang dilakukan terhadap hasil tangkapan nelayan memperlihatkan bahwa ikan lema yang dimaksud terdiri dari tiga spesies yang diklasifikasikan sebagai:

Filum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Perciformes Famili: Scombridae Genus: Rastrelliger Spesies: Rastrelliger spp.

Ketiga spesies ikan lema dari hasil identifikasi sampel yang dikumpulkan (Tabel 1), yaitu Rastrelliger kanagurta (Cuvier, 1817), R. brachysoma (Bleeker, 1851), dan R. faughni (Matsui, 1967).

Masyarakat (terutama nelayan) di Teluk Mayalibit mengenal dua bentuk tubuh ikan lema yaitu bulat dan tipis. Identifikasi juga dilakukan terhadap ikan lema yang dikelompokkan oleh masyarakat lokal berdasarkan bentuk tubuh. Data yang diperoleh bahwa ikan lema bulat sebagai R. kanagurta dan R. faughni, sedangkan ikan lema tipis sebagai R. brachysoma. Nelayan mengelompokkan R. kanagurta dan R. faughni ke dalam kelompok yang sama karena keduanya banyak memiliki kemiripan dibandingkan dengan R. brachysoma.

Hasil pengukuran tinggi (D; cm) dan panjang cagak (FL; cmFL) tubuh berupa rasio (FL:D) memperlihatkan ada daerah yang saling berhimpit (Gambar 2). Daerah yang saling berhimbitan tersebut sesuai dengan rasio yang dicantumkan di dalam buku identifikasi oleh Collette & Nauen (1983) dan FAO (2001), bahwa rasio FL : D untuk R. kanagurta (4,3-5,2), R.

faughni (4,9 – 6,0), dan R. brachysoma (3,7 – 4,3).

Gambar 2. Sebaran nilai rasio FL:D

Keadaan tersebut diperkuat dari analisis berupa hubungan antara tinggi dan panjang cagak (Gambar 3) serta hubungan antara panjang cagak dan rasio FL :D (Gambar 4). Hal itu memperlihatkan bahwa pengelompokkan yang dilakukan nelayan dapat diterima secara ilmiah. Walaupun hasil penelitian Jamaluddin dkk (2010) yang menyatakan bahwa hasil urutan (sequence) gen mitochondrial cytochrome b yang digambarkan dalam bentuk kladogram memperlihatkan hubungan yang lebih dekat antara R. kanagurta dan R. brachysoma dibandingkan dengan R. faughni.

(5)

Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (pMS-06) - 5

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

,

14 Juli 2012

(6)

6 -

Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (pMS-06)

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

,

14 Juli 2012

Gambar 4. Hubungan panjang tubuh dan tinggi tubuh pada Rastrelliger spp.

Hanya satu nama yang digunakan baik dalam bahasa Melayu Papua maupun bahasa Teluk (Ambel dan Laganyan). Hal itu karena ciri umum (morfologi) yang dimiliki ketiga spesies adalah sama, sehingga dimasukkan di dalam genus yang sama.

Penangkapan Ikan Lema

Berbekal pengetahuan berupa yang disukai oleh ikan lema adalah ebi (Famili: Crustacea) dan cahaya, sehingga berkembang alat tangkap berupa pancing dan lampu gas (petromaks) (Gambar 5). Teknik pancing tidak menentukan ikan target, walau terkadang juga didapatkan ikan lema. Keunikan teknik pancing terletak pada tempat (hata dan belo) dan umpan.(ebi segar) yang biasa dilakukan oleh nelayan di Teluk Mayalibit bagian dalam (antara

(7)

Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (pMS-06) - 7

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

,

14 Juli 2012

lain: Kampung Beo dan Kampung Kalitoko). Keunikan teknik balobe lema yang mengandalkan pencahayaan lampu untuk menggiring ikan ke tepi merupakan teknik dengan target utama adalah ikan lema yang biasa dilakukan oleh nelayan di Kampung Warsambin dan Kampung Lopintol.

Memancing di hata (foto: Tim Monitoring KKLD Teluk Mayalibit 2011)

Memancing di belo (foto: dokumen pribadi 2011)

Ebi umpan untuk memancing ikan lema di hata dan belo (foto: dokumen pribadi 2011)

Balobe lema (foto: dokumen pribadi 2011) Gambar 5. Ragam cara penangkapan ikan lema di Teluk Mayalibit.

Penggunaan cahaya lampu untuk menangkap ikan lema dikarenakan nelayan mengetahui bahwa ikan lema tertarik dengan cahaya. Hal itu juga yang dilakukan oleh nelayan di tempat lain, seperti nelayan di Laut Jawa dengan alat tangkap berupa kapal Purse Seine untuk menangkap ikan pelagis kecil.

Ikan lema yang merupakan ikan pelagis sangat peka terhadap cahaya bersifat fototaksis positif terutama cahaya merah dan kuning (Najamuddin dkk. 1998 lihat Fujaya 2004). Cahaya yang digunakan oleh nelayan di Teluk Mayalibit adalah lampu petromaks yang memiliki cahaya berwarna merah sampai dengan kuning.

Pemanfaatan Ikan Lema

Ikan lema diolah dalam bentuk ikan segar dan ikan asap (istilah lokal “ikan asar”) yang dijadikan sumber protein hewani bagi masyarakat Teluk Mayalibit. Ikan segar diolah menjadi lauk dengan bumbu sederhana dengan cara dibuat ikan kuah dan digoreng. Selain itu, ikan lema merupakan sumber penghidupan terutama bagi penduduk yang tinggal di Kampung Warsambin dan Kampung Lopintol. Hal itu karena sekitar 90% masyarakat bermatapencaharian sebagai nelayan ikan lema. Spesies yang dominan ditangkap oleh nelayan di kedua kampung tersebut adalah R. kanagurta.

Ikan lema dijual dalam kondisi segar. Penanganan ikan lema segar dilakukan dengan sangat sederhana. Ikan diawetkan dengan pecahan es batu yang langsung dibawa ke pasar di Wasai, Sorong, dan tempat lain di Kabupaten Raja Ampat. Harga ikan lema ditentukan dari ukuran dan spesies. Harga paling tinggi berkisar antara Rp.800,00 – Rp.1000,00 untuk spesies

(8)

8 -

Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (pMS-06)

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

,

14 Juli 2012

mencapai Rp. 20.000,00 per 5 – 7 ekor. Ukuran yang lebih kecil dihargai Rp.50.000,00 per ember (1000 ekor). Spesies ikan lema yang lain dihargai lebih rendah atau hanya dijadikan sebagai ikan makan.

Mata rantai perdagangan utama terdiri dari nelayan, konsumen langsung, dan tiga tingkatan penampung (Gambar 6). Penampung I dapat diuraikan menurut daerah asal yaitu penduduk asli dan penduduk pendatang (Gambar 7). Penampung I di Kampung Lopintol adalah penduduk asli (Suku Maya: Laganyan) yang tinggal di Kampung Lopintol, sedang penampung I di Kampung Warsambin yaitu penduduk asli (Suku Maya: Ambel) dan penduduk pendatang (Jawa, Buton, Bugis).

Gambar 6. Mata rantai perdagangan ikan lema dari Teluk Mayalibit.

Gambar 7. Asal penampung pada masing-masing tempat penghasil ikan lema.

Penduduk asli yang menjadi penampung I di Kampung Warsambin baru berlangsung ketika penelitian ini akan berakhir (Februari 2012). Awalnya, nelayan ikan lema di Kampung Warsambin hanya mengandalkan penampung yang berasal Waisai (ibukota Kabupaten Raja Ampat) yang merupakan penduduk pendatang. Seiring dengan waktu dan perkembangan pola pikir maka pola mata rantai perdagangan ikan lema di Kampung Warsambin mengalami perubahan. Semula hanya sebagai nelayan berkembang menjadi penampung.

Kelompok individu yang saling berhubungan secara langsung atau tidak langsung memiliki kebudayaan dengan menempati wilayah tertentu. Pola kebudayaan merupakan kerangka tengah (middle term) antara lingkungan fisik dan aktivitas manusia (Forde 1934) berupa koleksi dari objek dan nilai spesifik, bentuk pengetahuan, dan kepercayaan.

Masyarakat merupakan satuan kehidupan yang memanfaatkan berbagai sumber daya di sekitar mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup (Suparlan 2005). Setiap masyarakat yang menempati suatu wilayah memiliki keanekaragaman budaya karena beradaptasi dengan lingkungan tempat mereka tinggal. Kebudayaan dapat dilihat sebagai konsep, teori, dan metode yang diyakini kebenarannya dan dijadikan sistem acuan oleh masyarakat pemiliknya. Sistem acuan tersebut digunakan secara selektif dengan pertimbangan konsep atau metode atau teori yang paling cocok.

Pengetahuan untuk beradaptasi dengan ekosistem, melalui suatu proses pemahaman yang panjang dari satu generasi ke generasi. Oleh karena itu, masyarakat lokal menghasilkan evolusi sosial budaya dan pengetahuan yang kompleks mengenai alam lingkungannya

(9)

Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (pMS-06) - 9

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

,

14 Juli 2012

(Darnaedi 1997). Proses yang terpola dan berlangsung secara berulang dari waktu ke waktu, sehingga menjadi tradisi-tradisi yang baku (Suparlan, 2005; Lohani, 2008).

Kesimpulan

1. Masyarakat lokal yang tinggal di pesisir Teluk Mayalibit hanya mengenal satu istilah untuk memberikan nama dari dua bentuk tubuh yang berbeda pada masing-masing ragam bahasa yang berlaku, yaitu: ikan lema (Melayu Papua), lo (Ambel), dan inlo (Laganyan). 2. Ikan lema di perairan Teluk Mayalibit diklasifikasikan menjadi tiga spesies, yaitu:

Rastrelliger kanagurta (Cuvier, 1817), Rastrelliger brachysoma (Bleeker, 1851), dan Rastrelliger faughni Matsui 1967.

3. Alat tangkap yang digunakan adalah pancing dan cahaya dengan teknik penangkapan yang berkembang dari pengetahuan lokal masyarakat Teluk Mayalibit, yaitu: hata, belo, dan balobe lema. Alat tangkap tersebut digolongkan sebagai alat tangkap tradisional skala kecil.

4. Ikan lema dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani dan perekonomian oleh masyarakat lokal Teluk Mayalibit.

Ucapan Terima Kasih

Tulisan ini merupakan sebagian dari data penelitian disertasi didanai dan difasilitasi oleh Conservation Internaational Indonesia (CII) pada Fiscal Year (FY) 2010/2011 dan 2011/2012. Beberapa peralatan laboratorium juga difasilitasi oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan (Puslit. P2KSI). Ucapan terima kasih secara khusus kepada Tim KKPD Teluk Mayalibit, nelayan, dan masyarakat yang membantu selama masa pengumpulan data di lapangan.

Daftar Pustaka

Begossi, A. & R.A.M. Silvano. 2008. Ecology and ethnoecology of dusky grouper [garoupa, Epinephelus marginatus (Lowe, 1834)] along the coast of Brazil. Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine 4(20): 14 hlm. (This article is available from: http://www.ethnobiomed.com/content/4/1/20)

Boll, V. 2004. The distribution and ethozoology of frogs (and toad) in north-eastern Arnhem Land (Australia). Anthropozoologica, 39 (2): 61--72.

Collette, B.B. & C.E. Nauen, 1983. FAO species, catalogue. Vol. 2. Scombrids of the world. An annotated and illustrated catalogue of tunas, mackerels, bonitos and related species known to date. FAO Fisheries Synopsis, (125) 2: 137 p.

Darnaedi, Y.S. 1997. Konservasi dan tanggung jawab moral: Suatu tinjauan kasus. Biodiversitas Indonesia, 1(1): 61--73.

Dinas Hidro-Oseanografi. 1992. Peta 216: Pulau-Pulau Raja Ampat Bagian Utara.

Dinas Hidro-Oseanografi. 2003. Peta 512: Laut Halmahera, Laut Seram, dan Irianjaya (Papua) Pantai Barat.

Food and Agriculture Organization of The United Nations. 2001. The living marine resourcesof the Western Central Pacific. Volume 6. Bony fishes part 4 (Labridae to Latimeriidae), estuarine crocodiles, sea turtles, sea snakes and marine mammals. Dalam: Carpenter, K.E. &V.H. Niem (eds). 2001. FAO Species Identification Guide for Fishery Purposes, Rome: 3381-4218.

Forde, C.D. 1964. Habitat, economy, and society. Metheun, London (Cetakan I, 1934). Dalam: Darnaedi, Y. S. 1997. Konservasi dan tanggung jawab moral: Suatu tinjauan kasus. Biodiversitas Indonesia, 1(1): 61--73.

(10)

10 -

Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (pMS-06)

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

,

14 Juli 2012

Goram, B. 2009. Laporan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Teluk Mayalibit 2009. Conservation Internasional Indonesia, Sorong: 18 hlm.

Indrawan, M., R.B. Primack, & J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Edisi Revisi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta: xviii + 626 hlm.

Jamaluddin, J.A.F., A.T. Ahmad, S. Basir, M.A. Rahim & S.A. Mohd. Nor. 2010. Rastrelliger systematics inferred from mitochondrial cytochrome b sequences. African Journal of Biotechnology 9(21): 3063--3067.

Lazuardi, M. E., K. Tjandra, R. Dimara & R. Mambrasar. 2008. Laporan Tim Monitoring Terumbu Karang (Fiscal Year 2007/2008). Raja Ampat Program. Conservation International Indonesia, Sorong: 16 hlm.

Lohani, U., K. Rajbhandari, & K. Shakuntala. 2008. Need for systematic ethnozoological studies in the conservation of ancient knowledge systems of Nepal – a review. Indian Journal of Traditional Knowledge, 7(4): 634 -- 637.

Najamuddin, M. Palo & A. Assir. 1998. Studi penggunaan lampu neon dalam air dengan berbagai kombinasi warna pada perikanan Purse Seine di Laut Flores Sulawesi Selatan. Bulletin Lutjanus, 10: 57 – 61. Dalam: Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan: Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta: 29.

Oktaviani, D. 2010. Hubungan antara Kawasan Koservasi Laut Daerah (KKLD) dengan daerah penangkapan di Kabupaten Raja Ampat,Papua Barat. Laporan Kegiatan Survei Awal. Program Studi Biologi. Universitas Indonesia, Jakarta: 22 hlm.

Paz, V. A. & A. Begossi. 1996. Ethnoichthyology of Gaiviboa fishermen of Sepetiba Bay, Brazil. Journal of Ethnobiology, 16(2): 157 -- 168.

Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Raja Ampat. 2006. Bahasa dan budaya. Atlas Sumber Daya Pesisir Kabupaten Raja Ampat Provinsi Irian Jaya Barat. Pemda Kabupaten Raja Ampat, Waisai: 115 --121.

Posey, D.A. 1990. Ethnobiology and ethnodevelopment: Importance of tradisional knowledge and traditional people. Dalam: Shengji, P., S. Yong-ge, L. Chung-lin, K. Marr & D. A.

Posey (eds). 1990. The challenges of ethnobiology in the 21st century. Proceeding of

the Second International Congress of Ethnobiology. Yunnan Science and Thechnology Press, Kunming:7 -- 13.

Suparlan, P. 2005. Suku bangsa dan Hubungan Antar Sukubangsa. Cetakan Kedua. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian Press, Jakarta: 11 --12.

Tanya Jawab -

Gambar

Gambar 1. Lokasi penelitian (modifikasi dari Dishidros 1996).
Tabel 1. Penamaan jenis ikan lema di Teluk Mayalibit.
Gambar 2. Sebaran nilai rasio FL:D
Gambar 3. Hubungan antara panjang tubuh dan nilai rasio FL (fork length) dan D (depth)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini akan dilihat sejauhmana pengaruh pH larutan buffer pada proses ultrafiltrasi larutan Bovine Serum Albumin (BSA) dan larutan asam humat (HA) sebagai model

Rencana Kerja Pemerintah Daerah yang selanjutnya disingkat RKPD adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah Kabupaten Katingan untuk periode 1 (satu)

02 Tahun 2004 : Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur yang membahas tentang pelayanan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia bekerja diluar negeri.. Fiqh

Dapat ditarik kesimpulan, pengalaman ketiga subjek dalam melakukan kontemplasi adalah memiliki hubungan yang erat dengan Tuhan dan dalam kehidupannya terpancar kehidupan

Model matematika yang terbentuk dapat digunakan dalam perancangan reaktor kolom tunggal untuk proses dekafeinasi, memprediksi waktu dan laju proses dekafeinasi biji

Pada penelitian yang dilakukan di habitat bagian selatan dan utara Autralia menunjukkan bahwa dalam lambung atau mulut penyu hijau ditemukan banyak daun muda dibandingkan

Penelitian ini sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya, khususnya untuk mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam yang juga ingin melakukan penelitian