• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Berabad-abad yang lalu para filosof kuno seperti Plato (427-

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Berabad-abad yang lalu para filosof kuno seperti Plato (427-"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa, kebudayaan, dan lingkungan alam merupakan komponen atau suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain sepanjang sejarah kehidupan manusia. Berabad-abad yang lalu para filosof kuno seperti Plato (427-347 SM), Cratylus dan lainnya pada awalnya memandang bahasa hanya sebagai sarana komunikasi dalam mengungkapkan atau mentransfer ide-ide, inspirasi, dan faham filsafati hasil perenungan mereka saja. Eksistensi bahasa yang pada awalnya hanya dipahami sebagai media komunikasi, lambat laun berubah yang selanjutnya menjadikan bahasa sebagai objek material kajian mereka dan menempatkannya sebagai filsafat bahasa.

Mereka mulai mengkaji hubungan bahasa dan alam semesta seperti pada penamaan-penamaan benda ataupun hewan sesuai dengan peniruan bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alam seperti suara guntur, gemercik air dan suara binatang. Bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alam tersebut tertangkap oleh indera manusia, kemudian diolah di dalam pikiran mereka, menghasilkan sederetan nama-nama benda yang dirujuknya. Akhirnya, mereka membuat sebuah kesimpulan bahwa bahasa lahir dari alam, sehingga implementasi kajian bahasa dikaitkan dengan

ecoregion dan lingkungan alam tempat bahasa itu ada atau digunakan, yang bermuara kepada munculnya beberapa terminologi seperti adanya terminologi

onomatophe, metafora, adanya part of speech, analogi versus anomaly, fisei dan

(2)

Bahwa bahasa cenderung dipengaruhi oleh lingkungan alam tempat bahasa itu digunakan, juga sudah dibicarakan oleh Sapir (1912), Fill dan Muhlhausler (2001:14). Keterkaitan bahasa dan alam juga dapat dilihat dari ungkapan Laen lhok laen buya, laen kreung laen eungkeut dapat mengandung atau mengekspresikan banyak makna. Leksikon nama lhok ‘lubuk’ adalah kode lingual yang merupakan satuan leksikon dasar. Sebelum menjadi unsur inti dalam ungkapan tersebut, leksikon lhok secara leksikal memiliki makna denotasi referensial eksternal yang merujuk entitas-entitas tertentu (lihat Cummings, 2007: 54; Verhaar, 2006: 389) dalam hal ini orang, benda, atau keadaan yang nyata. Makna leksikal yang terkandung di balik leksikon nama ruang tertentu di sungai, dalam hal ini lhok adalah ‘bagian sungai atau danau yang dalam’.

Pengetahuan dan pengalaman penutur bahasa Aceh tentang lingkungan sungai yang dalam, selain yang dangkal, berbasiskan pengenalan, pengetahuan, bahkan pengalaman komunitas tutur yang tentunya bermula dari keteraturan interelasi dan interaksi dengan kondisi sungai yang dalam (lhok) dan atau yang dangkal (kreung) itu, seperti juga dengan biota eungkeut ‘ikan’ dan buya ‘buaya’ ataupun entitas-entitas di lingkungan sosial. Berdasarkan kode-kode leksikal, dan dengan cakupan makna denotasi, makna konotasi yang disepakati, daya cipta para penuturnya memeroduksi ungkapan atau peribahasa tersebut. Hal yang sama terjadi pula pada sejumlah leksikon krueng ‘sungai’ dalam laen krueng laen eungkeut menjadi ungkapan-ungkapan yang sangat bermakna bagi masyarakat tuturnya dan terwaris dari generasi ke generasi. Pewarisan itu umumnya berlangsung secara lisan.

(3)

Bagi komunitas penutur bahasa Aceh di Trumon, interelasi dan interaksi yang terus menerus misalnya: dengan bue ‘kera’, dengan eungkeut ‘ikan’, dengan

abo ‘siput’, dengan glang ‘cacing tanah’ dengan boh timun ‘buah mentimun’, dan tentunya dengan anekaragam hayati dan nonhayati yang ada di lingkungan hidup mereka, memberikan ruang bagi mereka untuk mengonstruksi pengetahuan dan memberi peluang untuk menciptakan ungkapan-ungkapan metaforis yang kaya makna sosial budaya, sekaligus juga memperkaya bahasa dan budaya Aceh pula. Dalam bahasa dan budaya lokal Nusantara, dalam hal ini bahasa dan budaya Aceh, sesungguhnya tersimpan kekayaan dan modal sosial budaya bangsa. Termasuk di dalamnya adalah kekayaan kearifan lokal yang tersimpan di balik teks verbal berupa ungkapan-ungkapan metaforik, peribahasa, dan sebagainya ada di pelbagai wilayah Nusantara (lihat Sibarani, 2012:133).

Ungkapan Laen lhok laen buya, laen kreung laen eungkeut ini, merupakan bentuk metafora yang menjadikan lingkungan alam sebagai acuan. Maksud metafora ini dapat diperluas lagi, seperti lain daerah lain bahasa dan lain budaya, serta lain pula bentuk metaforanya. Sebagai contoh, ungkapan Bahasa Indonesia, KALAU TIDAK ADA API TIDAK MUNGKIN ADA ASAP, menggambarkan fenomena alam di mana secara alamiah asap sesungguhnya merupakan gejala alam yang pada setiap kemunculannya pasti dimulai oleh adanya api sebagai penyebab keberadaannya. Secara metaforis makna ungkapan itu mengekspresikan suatu kejadian tidak akan terjadi tanpa penyebab. Jika komunitas bahasa Indonesia menggunakan dua komponen yaitu asap dan api sebagai perujukan atau referen, masyarakat tutur di Trumon lebih cenderung mengacu kepada lingkungan alam

(4)

atau ekologi sebagai referen untuk ungkapan yang maknanya sama secara metaforis yaitu, ‘sesuatu tidak akan terjadi tanpa ada penyebabnya’. Ungkapan tersebut adalah, MEUNG HANA ANGEN, PANE MUMEET ON KAYEE yang secara literal atau harfiah bermakna, ‘jika tidak ada angin tidak mungkin daun bergoyang’. Ungkapan LAEN LHOK LAEN BUYA, atau LAEN KRUENG LAEN EUNGKEUT terlihat kesesuaiannya pada dua ungkapan KALAU TIDAK ADA API TIDAK MUNGKIN ADA ASAP dan MEUNG HANA ANGEN, PANE MUMEET ON KAYEE yang mengandung makna sama tetapi menggunakan rujukan atau referen unsur ekologi berbeda disebabkan oleh perbedaan ecoregion dan perbedaan komunitas penuturnya, sebagai cerminan perbedaan tingkat kedalaman interelasi, interaksi, dan interdipensi dengan unsur-unsur yang ada di lingkungan walau sebagai masyarakat bahasa yang sama.

Bentuk ungkapan bahasa Aceh seperti MEUNG HANA ANGEN, PANE MUMEET ON KAYEE, banyak dijumpai dan digunakan dalam interaksi keseharian masyarakat di Desa Trumon. Desa ini terletak di Aceh Selatan yang berbatasan dengan Cagar Alam Gunung Leuser. Pada umumnya referen yang digunakan sebagai acuan untuk sebuah ungkapan ataupun metafora di desa ini sangat bergantung kepada lingkungan alam desa yang berkaitan dengan flora, fauna, dan benda-benda yang terdapat di sekitar alam Desa Trumon. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Trumon dalam interaksi keseharian mereka adalah bahasa Aceh.

Bahasa Aceh merupakan satu di antara bahasa-bahasa daerah yang eksistensinya masih terlihat di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Selain

(5)

bahasa Aceh, ada pula beberapa bahasa lain nya yang digunakan dalam interaksi verbal seperti, bahasa Gayo yang merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Aceh Tengah. Bahasa Alas merupakan bahasa daerah yang digunakan di Aceh Tenggara. Bahasa Tamiang merupakan varian atau dialek dari bahasa Melayu yang digunakan di Aceh Timur. Bahasa Aneuk Jamee digunakan di sebahagian Aceh Selatan dan Aceh Barat. Jumlah penutur bahasa Aceh merupakan jumlah terbesar, yaitu sekitar 70% dari jumlah keseluruhan penduduk NAD; 21.00wib).

Pada umumnya bahasa Aceh digunakan di semua ranah penggunaan bahasa oleh masyarakat tutur bahasa tersebut, baik dalam situasi resmi maupun tidak. Hal tersebut juga terjadi di beberapa desa di Aceh Selatan. Sesungguhnya mayoritas masyarakat Aceh Selatan merupakan penutur bahasa Aneuk Jamee. Namun di beberapa desa mereka masih menggunakan bahasa Aceh Seperti, di Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang, Tangan-Tangan , Meukek, Trumon dan Bakongan. Di wilayah ini eksistensi bahasa Aceh masih terlihat dan digunakan dalam semua situasi dan ranah penggunaan bahasa, seperti yang diungkapkan oleh ketua Penilik Kebudayaan Aceh di Trumon yang bernama Teuku U’baidillah bin Teuku Raja Sulaiman dan anggota Majelis Adat Aceh bidang kebudayaan Aceh Selatan bapak Teuku Laksamana bin Teuku Pitahruddin. Kedua informan ini masih keturunan raja Trumon (dapat dilihat pada lampiran informan).

(6)

Dapat dikatakan masyarakat Desa Trumon masih sangat mencintai lingkungan alamnya. Adalah kenyataan dan kebanggaan mereka karena masih terawatnya kawasan hutan lindung yaitu kawasan hutan Cagar Alam Leuser yang mendapatkan pengakuan internasional dan perlindungan hukum. Hutannya yang masih rimba belantara menyimpan flora langka yang tumbuh secara liar. Fauna, aneka satwa yang hidup liar juga terekam secara leksikal dalam bahasa Aceh seperti rimueng ‘harimau’, gajah ‘gajah’, rusa ‘rusa’. Habitat liar ini tetap dijaga kelangsungan hidupnya oleh pemerintah setempat. Semua ini dapat dijadikan wisata ilmiah untuk kemajuan semua bidang ilmu pengetahuan. Paru-paru alam di kawasan ini masih mampu bekerja dengan sempurna memelihara kesinambungan kesehatan ekologi dan ekosistem.

Mencintai dan merawat lingkungan alam, serta hidup berdampingan dengan alam menjadi bagian harmonisasi kehidupan masyarakat Desa Trumon. Hidup berdampingan dengan alam tidak bermakna bahwa masyarakat Trumon hidup terisolasi dan tetap mempertahankan penggunaan alat-alat tradisional dengan menolak segala bentuk peralatan elektronik. Pemanfaatan alat-alat elektronik di Desa Trumon menggeser peralatan tradisional yang mengakibatkan beberapa istilah dan kosa kata menjadi tidak umum lagi penggunaannya, perlahan-lahan hilang dari khasanah bahasa itu. Bahasa akan mengalami perubahan ketika ekologi yang menunjangnya berubah dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mbete (2009) pada bahasa Bali. Contoh yang digambarkan seperti hilangnya istilah kekalen: air yang mengalir ke sawah/irigasi, telajakan: jalan

(7)

setapak dalam bahasa Bali yang sudah asing didengar, dan menjadi tidak umum lagi penggunaannya dalam masyarakat tutur bahasa Bali.

Penggeseran penggunaan peralatan tradisional disebabkan oleh masuknya alat-alat elektronik yang serba praktis, menjadikan beberapa kata dan istilah menjadi asing karena sudah tidak digunakannya lagi peralatan tersebut di Desa Trumon, sebagai contoh geunuku, yaitu alat yang digunakan untuk mengukur kelapa sudah berganti dengan mesin pengukur kelapa. Ketergusuran geunuku

akibat dari sudah tidak dipergunakan lagi, tidak berpengaruh pada penggunaan metafora GEUNUKU HAN MATA TIMAH, yang berasal dari ranah sumber

geunuku. Metafora ini masih tetap digunakan dalam komunikasi keseharian masyarakat Trumon. Contoh tuturan yang paling umum adalah:

Jino jih GEUNUKU HAN MATA TIMAH. sekarang org III tgl kukuran tanpa mata timah. Secara harfiah tuturan ini bermakna: Sekarang dia kukuran kelapa tanpa mata timah. Makna leksikal, jino ‘sekarang, jih ‘dia’, geunuku ‘kukuran kelapa’,

han ‘tanpa’, mata timah (mata kukuran kelapa yang terbuat dari besi bergerigi). Makna metaforis yang terkandung dalam tuturan tersebut dialamatkan kepada seseorang yang pada saat menduduki jabatan dan berpangkat tinggi, orang tersebut bersikap sombong, angkuh dan ditakuti oleh bawahannya, namun setelah dia pensiun kesombongannya sirna dan didiskreditkan dalam pergaulan di masyarakatnya.

Para orang tua di Trumon sering menyampaikan pesan-pesan nasihat dan mengingatkan anak mereka agar tidak berperilaku angkuh dan sombong, ketika sedang menduduki jabatan, berpangkat dan kaya. Sama halnya dengan jeungki

(8)

yaitu alat yang digunakan untuk menggiling padi dan menumbuk tepung beras.

Jeungki sudah tidak ditemukan lagi di desa ini karena sudah digantikan dengan mesin penggiling padi yang dalam bahasa lokal disebut kilang pade, akan tetapi metafora JEUNGKI MUGEE, masih digunakan dalam interaksi sosial. Secara harfiah jeungki muge bermakna alat penumbuk padi yang dimiliki oleh tengkulak. Makna metaforis JEUNGKI MUGEE ditujukan kepada seseorang yang mempunyai sifat tamak. Para orang tua di desa ini sering menasihati anaknya agar tidak tamak dengan tuturan:

Hai neuk bek jadee JEUNGKI MUGEE beu, ‘wahai anakku jangan tamak ya’

Keunikan metafora seperti ini layak untuk dikaji dan dapat menjadi pertimbangan dalam penelitian tentang bahasa dan fungsi referensial bahasa yang berkorelasi dengan ekologi. Kajian ini difokuskan kepada penelusuran metafora sebagai perangkat kebahasaan yang terkait dengan lingkungan alam Desa Trumon (ecoregion). Judul disertasi yang dipilih adalah: “Keterkaitan Metafora dengan Lingkungan Alam pada Komunitas Bahasa Aceh di Desa Trumon Aceh Selatan: Kajian Ekolinguistik”.

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan ekolinguistik karena kajian ekolinguistik memang berupaya menggeluti kajian bahasa yang secara teoritis dipadukan dengan ekologi dan ekosistem. Lingkungan alam atau ekosistem sekitar tempat masyarakat bermukim dapat memengaruhi cara berpikir dalam mengungkapkan maksud tertentu seperti yang dinyatakan oleh Fill dan Muhlhausler (2001:104). Metafora yang digunakan di Desa Trumon sangat dipengaruhi oleh lingkungan alam beserta seluruh keadaan dan kondisi alamnya

(9)

sebagaimana yang terdapat dalam kedua metafora yang telah disinggung sebelumnya.

Penelitian ini tidak membicarakan tentang pola pemertahanan bahasa yang terkait dengan bertahan, bergeser atau lenyapnya metafora bahasa tersebut, sebagaimana penelitian-penelitian ekolinguistik yang pernah dilakukan oleh beberapa pakar ekolinguistik seperti Nelde Peter (1979), Haugen (1970), Mufwene (2004). Penelitian ini hanya mengaji keterhubungan metafora yang menjadikan lingkungan alam sebagai ranah sumber atau unit dasar metafora tersebut.

Penelitian ini diarahkan kepada bentuk metafora yang menjadikan lingkungan alam yaitu flora, fauna serta mineral dan kehidupan manusia sebagai referensi atau ranah sumber yang berada di dalam kognitif penutur bahasa tersebut dipetasilangkan kepada manusia atau hewan sebagai tujuan atau ranah target. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rangsangan kepada peneliti linguistik untuk mengarahkan fokus penelitian mereka ke bidang ekolinguistik, sebab ekolinguistik memiliki lahan yang masih luas untuk dikaji.

1.2 Rumusan Masalah

Hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian bergayut kepada hubungan linguistik dan ekologi dalam tataran bahasa yang bermuara kepada metafora yang ada di Desa Trumon dalam semua aspek keberadaan dan penggunaannya.

1. Bagaimanakah pembentukan metafora yang digunakan berkaitan dengan lingkungan alam Desa Trumon?

(10)

2. Bagaimanakah klasifikasi metafora berdasarkan penggunaannya pada komunitas bahasa di Desa Trumon?

3. Bagaimanakah karakteristik metafora dikaitkan dengan lingkungan alam Desa Trumon?

1.3 Tujuan Penelitian

Pada hakikatnya penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Menganalisis dan mendikripsikan keterkaitan lingkungan alam dalam pembentukan metafora yang digunakan oleh komunitas bahasa di Desa Trumon.

2. Menganalisis dan mendiskripsikan klasifikasi metafora yang digunakan oleh komunitas bahasa di Desa Trumon.

3. Menganalisis dan menemukan karakteristik metafora yang dikaitkan dengan lingkungan alam Desa Trumon.

1.4 Manfaat Penelitian

Kajian ini perlu dan penting dilakukan atas dasar keilmuan untuk menunjukkan bahwa teori ekolinguistik tidak hanya dapat diaplikasikan kepada penelitian yang berkaitan dengan kebertahanan ataupun ketergerusan unsur-unsur bahasa akibat pengaruh moderenisasi, etika antroposentris yang sangat bersifat instrumentalis, dan perkembangan ilmu pengetahuan, serta perubahan ekosistem. Teori-teori tersebut tidak pula hanya dapat diterapkan dalam membahas isu lingkungan berbentuk metafora ekosistem yang penah dilakukan oleh Haugen (1970), Fill dan Muhlhausler (1999), yang menjadikan lingkungan alam sebagai

(11)

referensi atau ranah sumber dipetasilangkan kepada alam itu sendiri seperti, green houseeffect.

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini dapat dirinci berikut ini: 1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Diharapkan dapat menjadi salah satu bahan rujukan kajian bahasa Aceh yang bergayut dengan ekologi atau ekosistem berikutnya.

2. Diharapkan menjadi sumbangsih untuk kepustakaan kajian ekolinguistik. 3. Diharapkan dapat memberi informasi tentang kajian metafora selanjutnya. 4. Diharapkan menjadi bahan masukan untuk kajian yang relevan berikutnya. 5. Diharapkan dapat diteruskan oleh peneliti lanjutan.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat Trumon agar tetap menggunakan bahasanya yang metaforik dan menyayanginya.

2. Diharapkan dapat memopulerkan kembali bentuk metafora bahasa lokal yang usang berkaitan dengan pelestarian lingkungan agar lebih dimengerti, dipahami dan diminati oleh masyarakat tutur khususnya generasi muda penerus kesinambungan bahasa, budaya dan lingkungan.

3. Diharapkan dapat merangsang dan mendorong masyarakat tutur bahasa Aceh di Desa Trumon, khususnya generasi muda untuk tetap menggali kekayaan ungkapan-ungkapan metafora dan memahami makna-makna kiasan penuntun hidup sebagai khazanah kearifan budaya lokal.

4. Diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk kurikulum muatan lokal

(12)

5. Penggalian pemahaman dan pemberdayaan khazanah kebahasaan bahasa dan budaya.

6. Diharapkan dapat memberikan fakta historis yang informatif bagi pengembangan dan pemulihan pelestarian lingkungan dalam pemanfaatan dan pengembangan sumber daya kepariwisataan yang sekaligus akan menopang pertumbuhan ekonomi masyarakat.

1.5 Definisi Istilah

Beberapa istilah ataupun terminologi yang digunakan dalam penelitian ini, dibicarakan satu persatu berikut ini:

a. Ekolinguistik adalah kajian yang menyandingkan kajian linguistik dengan ekologis. Kajian ini dapat pula didefinisikan sebagai sebuah kajian interaksi antara bahasa-bahasa dan lingkungannya atau lingkungan tempat keberadaan bahasa itu digunakan, periksa Haugen (1972:323).

b. Parameter ekolinguistik menggambarkan dimensi keterkaitan antara bahasa dengan lingkungan alam dan lingkungan sosial masyarakat atau masyarakat tutur, entitas yang biotik dan yang abiotik, periksa Fill dan Muhlhausler (2001:1).

c. Parameter keterhubungan atau parameter kesalingterhubungan (interrelationship) antara bahasa dengan kajian linguistiknya dan lingkungan dengan kajian ekologi merupakan gambaran tentang hubungan timbal balik antara makhluk di lingkungan alam tersebut dengan ekologinya (ecoregion) yang dapat terpantul pada metafora

(13)

yang bernuansa isu lingkungan dikodekan ke dalam bahasa dalam jangkauan yang luas. Lihat Fill dan Muhlhausler (2001:1).

d. Parameter keberagaman (diversity), keberagaman yang ada di lingkungannya yaitu perbendaharan kosa kata sebuah bahasa terpancar dari lingkungan fisik dan lingkungan sosial atau lingkungan budaya tempat bahasa itu berada dan digunakan. Lingkungan fisik dimaksud merupakan lingkungan alam, geografi yang menyangkut topografi seperti, iklim, biota, curah hujan, sedangkan lingkungan sosial dan lingkungan budaya berkaitan dengan hubungan antara pikiran dan aspek kehidupan masyarakat tersebut seperti agama, etika, politik, seni dan lain sebagainya, periksa Fill dan Muhlhausler (2001:2).

e. Parameter lingkungan (environment) adalah parameter yang menjelaskan adanya hubungan antara ekologi dengan spesies hewan atau fauna dan tanaman atau flora, serta seluruh kandungan mineral yang berada di lingkungan ekologi tersebut, termasuk pula ke dalamnya lingkungan fisik dan lingkungan sosial atau lingkungan budaya tempat sebuah bahasa berada dan digunakan. f. Klasifikasi metafora; Metafora diklasifikasikan ke dalam beberapa

kategori, yaitu metafora berdasarkan tingkat konvensional, metafora berdasarkan fungsi kognitif, atau berdasarkan pengalaman tubuh dan panca-indera, berikutnya metafora berdasarkan lingkungan alam, lihat Kovecses (2006:127-129)

(14)

g. Dimensi ideologis (ideological dimension) yaitu hal yang berkaitan dengan pikiran manusia dan pemahaman manusia tentang segala sesuatu yang terekam dalam kognitif, mental, ideologi, dan sistem psikis, periksa Lindo dan Jeppe (2000:10).

h. Dimensi sosiologis (sociological dimension) yaitu hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, termasuk ke dalamnya adalah rasa saling mengenal, saling menyayangi, saling membenci, lihat Lindo dan Jeppe (2000:10).

i. Dimensi biologis (biological dimensional) yaitu sesuatu hal yang berkaitan dengan kehidupan biota alam dan segala sesuatu yang terdapat dalam alam, termasuk ke dalamnya lingkungan alam dan hidup berdampingan dengan spesies lain yaitu flora, fauna dan lainnya (ecoregion), periksa Lindo dan Jeppe (2000:10).

j. Ranah sumber (source domain) yaitu pola acuan atau rujukan dalam pembentukan metafora, periksa Kovecses (2006:117).

k. Ranah target (target domain) yaitu sasaran yang menjadikannya sebagai metafora, periksa Kovecses (2006: 117).

l. Pemetaan atau pemetaan silang ranah (cross domain mapping), yaitu transformasi dari ranah sumber kepada ranah target dalam pembentukan metafora, periksa Kovecses (2006:117).

m. Pengalaman tubuh (bodily experience) atau pengalaman inderawi yaitu pengalaman empirik yang dialami oleh tubuh manusia dan

(15)

juga yang dialami melalui inderawi manusia, periksa Kovecses (2006: 118).

n. Hubungan ontologis, merupakan interelasi yang melibatkan entitas dalam dua ranah dan hubungan epistimik, melibatkan hubungan pengetahuan tentang kedua entitas tersebut, periksa Kovecses (2006:128).

Referensi

Dokumen terkait

Informasi harus dapat disajikan dalam bentuk yang mudah dimengerti, dapat disajikan secara detail atau ringkasan, dapat diatur dalam urutan tertentu, dapat

Rata-rata lama menginap tamu asing pada Hotel Non Bintang atau Akomodasi Lainnya di Sulawesi Barat pada bulan September 2017 tercatat 3,00 hari atau meningkat sebesar 2,00

Ujian Akhir Madrasah Berstandar Nasional Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab yang selanjutnya disebut UAMBN adalah kegiatan pengukuran pencapaian hasil belajar

Meuligoe Nur

RINCIAN JUMLAH PEROLEHAN SUARA SAH SETIAP PARTAI POLITIK DAN CALON ANGGOTA DPRD PROVINSI SERTA PERINGKAT SUARA SAH CALON ANGGOTA DPRD PROVINSI DALAM PEMILU TAHUN 2014... BAMBANG

(1) Penentuan tipe hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, disesuaikan dengan fungsi yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten.. (2) Tipe

Kemudian Hasil audit badan pengawasan keuangan dan pembangunan (BPKP), Lamanya hasil audit dari badan pengawasan keuangan dan pembangunan (BPKP) menjadi penghalang bagi

PEMBAHASAN dapat disimpulkan bahwa semua responden menyetujui bila DetEksi memiliki kepribadian Melalui proses analisa sebelumnya, dari competence dalam beberapa hal,