• Tidak ada hasil yang ditemukan

GONDANG SABANGUNAN DALAM UPACARA MARDEBATA. H Adi Putra Sirait ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GONDANG SABANGUNAN DALAM UPACARA MARDEBATA. H Adi Putra Sirait ABSTRAK"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

GONDANG SABANGUNAN DALAM UPACARA MARDEBATA

H Adi Putra Sirait

ABSTRAK

Gondang merupakan bagian dari kebudayaan musik suku Batak. Dalam upacara Mardebata pada sebagian masyarakat Batak gondang sabangunan dapat digunakan menjadi musik pengiring dalam upacara mardebata tersebut. Tulisan ini menjelaskan keberadaan gondang sabangunan dalam mengiringi upacara mardebata.

Kata Kunci : Gondang Sabangunan, Musik, Mardebata A. Pendahuluan

Di adat batak ada dikenal dengan Gondang sabangunan atau ogung, sabagunan adalah separangkat gendang dan gong merupakan instrumen inti musik gondang batak. Gondang sabangunan terdiri dari: tagading, ogung dan sarune. Tagading terdiri dari lima jenis,sedangkan ogung terdiri dari: ogung oloan, ogung ihutan, ogung doal dan ogung jeret. Sarune juga terdiri dari lima lobang. Umumnya gondang sabangunan dimainkan untuk memohon berkat dari arwah para leluhur.

Gondang Raja Silahisabungan dikenal dengan nama:”Gondang sitolupulutolu” dan dimainkan atau diadakan dalam acara horja bius di Silalahi nabolak. Gondang Silahisabungan berbeda dengan gondang Toba yang sering kita dengar. Gondang sitolupulutolu adalah perpaduan dari gondang Toba,Karo,Pakpak dan Simalungun. Dibandingkan dengan gondang Toba, gondang Silahisabungan bentuknya lebih kecil, baik gondangnya ataupun sarunenya tetapi suaranya lebih nyaring. Sebab itu ketika upacara Malahat horbo (Menarik kerbau) diadakan ke hau borotan diiringi gondang Silahisabungan, maka kerbau itu akan kelihatan lebih liar. Sebaliknya kalau diiringi dengan gondang Toba maka kerbau yang mau digiring tampak lebih jinak.

Makna Gondang Silahisabungan adalah sitolu gugung,sitolu harajaon, sisada hadirion. Berhubungan dengan alam kepercayaan yang dianut Raja Silahisabungan saat itu dimana dipercaya tiga alam dan tiga penguasanya yaitu: “Batara guru sebagai penguasa banua ginjang, Soripada sebagai penguasa banua tonga, dan Mangalabulan sebagai penguasa banua toru.Gondang ini diciptakan oleh Ompu Raja Silahisabungan. Raja silahisabungan memaknai dalam pengalaman hidupnya bahwa kehidupan ditentukan oleh tiga unsur yaitu :Langit sebagai sumber pernafasan(udara),darat sebagai sumber makanan dan laut sebagai sumber air minum(air). Ketiga unsur tersebut dipercaya dikuasai oleh suatu kekuatan yaitu Mulajadi Nabolon.

(2)

Ulos Raja Silahisabungan juga berbeda denga ulos batak pada umunya.Ulos tersebut disebut ulos gobar mempunyai garis putih di permukaannya. Demikian sekedar informasi bagi orang tapanuli terutama bagi keturunan Silahisabungan dimanapun berada. Prinsip pertama penulis dalam memulai tulisan ini adalah menghargai setiap perbedaan pelaksanaan adat istiadat maupun tata-cara di berbagai tempat dan menjadikannya sebagai kekayaan budaya yang masih perlu digali, dipelajari, dan dilestarikan.

Dewasa ini umpasa/umpama di atas telah disesuikan dengan perkembangan zaman, iinkulturasikan atau dimodernisasikan menurut agama, tempat, kumpulan, dsb. Sehingga muncullah umpama baru yang mengatakan :Mumpat talutuk , sega gadu-gadu Salpu uhum na buruk, ro ma uhum na imbaru Patok tercabut, rusak pematang sawah Hukum lama batal, datang hukum baru “Muba tano, muba duhutna. Muba Huta muba uhumna” Beda tanah, beda rumputnya. Beda kampung beda peraturannya . Pepatah yang sama “lain lubuk, lain ikannya” yang dapat diartikan bahwa adat atau kebiasaan berbeda menurut tempat, marga, atau kumpulan lainnya.Demikian pula halnya tata cara pelaksanaan Gondang Sabangunan yang selalu ditemukan perbedaan (lebih tepat disebut variasi) di berbagai tempat. Bila penatua kampung di suatu luat (negeri) lebih terbuka maka diambillah jalan keluar yang praktis “aek godang tu aek laut, dos ni roha sibahen na saut” (air laut luas sekali, kata sepakatlah yang jadi), artinya sepakat saja mau berbuat apa meskipun tidak serupa dengan yang biasa. Tetapi adakalanya penatua kampung tetap pada kebiasaan atau adat setempat dan berkata “si dapot solup do na ro” artinya pendatang harus ikut dengan adat kebiasaan setempat.

Urutan „manortor‟(menari) pun juga mengalami hal yang sama. Ada yang mendahulukan tulang (pihak ibu) atau hula-hula (pihak isteri), handai tolan, kemudian Dongan Tubu (teman se marga) dan kemudian Huta paampuhon (penatua kampung menutup acara), selanjutnya diakhiri Hasuhuton mangampu (yang berpesta mengatakan ucapan terima kasih). Ada luat justru melaksanakan urutan sebaliknya, bahkan ada yang disusun sesuai kebutuhannya saja.

Jadi dalam tulisan diupayakan mengumpulkan rupa-rupa pengalaman yang pernah dilihat, dialami, atau didiskusikan, tidak ada maksud untuk menerapkan suatu pola/standard tertentu, melainkan hanya lebih bersifat membagi pengalaman, kecuali memang bila temuan tetang hal-hal yang menarik seperti sisi ritualnya dan lain sebagainya diharapkan memberikan sesuatu yang dapat diserap menjadi pembanding atau sekedar membantu untuk menemukan panduan yang lebih sesuai.

B. Musik Batak Toba

Musik Batak dimainkan dengan berbagai jenis alat musik baik secara bersama (orkestra) maupun solo, a.l.: Gondang Sabangunan (orkestra Batak Toba), pemainnya disebut pargual-pargonsi. Gondang sabangunan dimainkan oleh delapan orang (susunan ini disebut pangeran), bahkan oleh lebih dari jumlah itu. Alat musiknya terdiri dari lima buah tagading, sebuah gordang, satu atau dua buah serunai, empat buah ogung (gong) yang masing-masing berbeda ukuran dan tebalnya disebut saparangguan, masing-masing dinamai : panggora, doal ( panonggahi), ihutan, dan oloan, serta sebuah hesek (besi atau sejenisnya untuk alat pengatur ritme).

Uning-uningan (sejenis orkestra juga) dapat dimainkan oleh hanya empat lima orang. Alat musiknya terdiri dari serunai kecil, hasapi/kecapi (sejenis gitar yang hanya punya dua

(3)

senar tanpa grip), seruling, hesek, dan garantung (terdiri dari lima atau tujuh lempengan kayu yang berbeda ukuran, tebal, dan nada yang dihasilkannya).

Alat musik yang dimainkan oleh hanya satu orang saja :

a. Jenggong, alat musik dengan bahan besi, mirip saga-saga, ditiup dengan dengan lidah yang digetarkan di depan mulut. Wanita biasanya lebih pandai memainkannya. b. Hapetan, sebenarnya adalah kecapi dengan bentuk yang berbeda. Sering dibawa ke

pantai, dimainkan sambil menunggui doton (sejenis jala panjang) menjerat ikan. Atau oleh pemuda menghibur para gadis yang sedang menumbuk padi.

c. Odap, sejenis gendang kecil yang kedua sisinya ditutup dengan kulit (mangodapodapi artinya memukul dengan keras kedua sisi odap itu untuk tujuan menyemangati). d. Sordam, sejenis seruling yang dipakai untuk memanggil arwah, biasanya lebih besar

dari seruling dan dihembus dari ujung/pangkalnya.

e. Sulim, suling, alat tiup dari bambu. Salah satu pangkalnya terbuka. Mempunya 8 lobang, satu untuk tempat meniup dan 7 (6 di atas dan 1 di bawah) untuk mengatur nada.

f. Salohat, suling yang lubang tiupannya ada di tengah-tengah.

g. Tulila, sejenis seruling kecil. Lobang atas empat buah, di bawah satu buah, suaranya merdu dan tajam. Para gembala sering membawanya menjadi pengisi waktu senggang.

h. Saga-saga, sejenis tulila, harmonica mulut terbuat dari serat bambu atau enau. Alat ini biasanya menjadi bunyi-bunyian bahasa cinta antara orang muda. Kedua tangan memegang ujungnya dan menarik-narik ke kiri-kanan sembari mengeluarkan nafas perlahan. Kekuatan nada diatur dengan mengangakan atau menyempitkan mulut. i. Salempang, mirip tulila/sagasaga. Harmonika dari hodong (pelepah) ditarik-tarik

hingga menimbulkan getaran di depan mulut.

j. Talatoit, (bentuk yang sama dengan tulila) seruling kecil terbuat dari ruas bambu yang kecil dan panjangnya antara 15-50 cm. Biasanya dipakai pada malam hari oleh orang yang ingin mengungkapkan perasaan cinta, kesedihan, kecemasan, harapan, dan sebagainya.

C. Gondang Sabangunan

Gondang Sabangunan digelar untuk suatu hajatan yang melibatkan kehadiran banyak orang, baik sebagai hiburan/pesta maupun untuk acara ritual. Pada hakekatnya hampir semua pesta gondang sabangunan ada keterkaitannya antara orang yang masih hidup dan arwah/roh orang yang sudah meninggal, baik berupa pemujaan, memperingati atau setidaknya ada dalam kata-kata pengantar.

Lembaga agama dewasa ini begitu gigihnya campur tangan dalam mencoba menginkulturasikan visi dan misi adat-istiadat dalam pelaksanaan pesta gondang dengan visi dan misi agama.

Peralatan Gondang Toba ada lima macam, sebagai berikut :

1. Tagading, terdiri dari lima buah gendang yang hampir bersamaan besarnya, terbuat dari kayu. Lobang atas ditutup dengan kulit diikat dengan rotan, menyuarakan notasi do, re, mi, fi, sol dimainkan oleh satu orang. Sebagaimana pada banyak bangsa lain yang memakai tagading (gendang) dalam bentuk yang berbeda-beda sebagai sarana

(4)

ritual atau hiburan, demikian juga tagading pada bangsa Batak. Bentuknya juga berbeda-beda, ada yang pendek, panjang, kecil, atau besar. Di Mandailing bentuknya besar-besar, di Tanah Karo kecil-kecil. Di Dairi, Simalungun, dan Toba bentuknya dapat dikatakan sama.

2. Gordang, sebuah gendang yang lebih besar berfungsi membantu ritme bass. Cara pembuatan-nya sama dengan pembuatan tagading, bagian atasnya ditutup dengan kulit sapi. Panggordangi (pemukul gordang) biasanya sekali-sekali berteriak memberi semangat kepada pemusik lainnya.

Dahulu ada kebiasaan setelah datu selesai dengan acara ritual pembukaan gondang (disebut gondang sipitupitu) maka Hasuhuton dipanggil naik ke balkon atas untuk 'buha gordang'. Hasuhuton memukul gordang sebagai pertanda acara gondang dimulai. Dewasa ini buha gordang tidak populer lagi karena memulai acara godang telah diserahkan kepada Pengurus Gereja.

3. Sarune (serunai), musik tiup terbuat dari kayu bulat yang dilobangi lima lobang untuk mengubah suara, empat di sebelah atas dan satu di sebelah bawah (serunai kecil terkadang dibuat dari bambu saja). Di bagian mulut ditempelkan ipit-ipit, sejenis selongsong pipih yang dapat diganti-ganti. Cara memainkannya dengan meniup. Selama meniup maka pemain menghirup atau membuang udara hanya melalui hidung saja, hal ini bisa dilakukan hingga lebih 30 menit

4. Ogung (gong) sebanyak empat buah, disebut saparangguan, masing-masing bernama panggora, doal, ihutan, dan oloan (nama-nama sesuai dengan susunan letaknya bila dimainkan). Masing-masing ogung dimainkan oleh satu orang, tetapi kadang-kadang ihutan dan oloan dapat dimainkan oleh satu orang. “Doal” atau “panonggahi” (nada sol), dimainkan dua kali lebih cepat daripada “panggora” (nada sol) juga, atau empat kali lebih cepat dari ihutan (nada mi) dan oloan (nada do). Oloan adalah ogung yang sedikit lebih besar dari ketiga ogung lainnya dan dimainkan berganti-ganti dengan ihutan pada tempo yang tetap. Karena ke empat ogung ini menyuarakan notasi mi, sol, sol, do, maka perpaduan suara ogung itu bila mengikuti orkestra/gondang terdengar menjadi sol-mi-sol, sol-do-sol.

5. Hesek, suatu alat ketukan ritme. Bisa dari dua batang besi yang saling dipukulkan. Dewasa ini ada yang hanya memakai botol dan sendok.

Jenis Pesta Gondang :

Dapat dikatakan bahwa nama jenis pesta gondang adalah sesuai dengan tujuan atau tata-caranya, jadi jumlah jenis dan tujuan gondang itu sangat banyak. Namun secara umum semua jenis tersebut dapat dikategorikan menjadi lima jenis pesta gondang saja, yaitu :

6. Gondang Dalan, sejenis prosesi. Alat orkestra tidak lengkap dimainkan, hanya dipakai sarune, satu atau dua taganing, ogung, dan hesek. Suatu cara menghormati dan menyambut tamu terhormat. Gondang yang sama adalah Mangogungi, tetapi jenis ini lebih memberatkan penghormatan kepada orang yang meninggal.

7. Gondang Sahala (Gondang Mamele).

8. Gondang Mandudu, memanggil roh halus (bisa nenek moyang atau roh yang dianggap penguasa alam) untuk suatu tujuan tertentu. Mis. untuk memohonkan kesuburan tanah, panen yang berlimpah, keselamatan dan kesehatan, kerukunan, kebahagiaan, dll.

9. Gondang Daung, menggantungkan seekor ikan dan menari untuk menghormati arwah nenek moyang serta mohon campur tangan arwah nenek moyang dalam kehidupan di dunia nyata. Mis. memohon ilmu kebal, pidoras (pukulan berlipat ganda kekuatannya), aji marulak (supaya orang merasakan apa yang diperbuatnya, mis. yang memukul kitalah yang merasa sakit atau luka pada bagian tubuh kita yang

(5)

dipukulnya, sementara yang dipukul tidak merasakan sakit). Untuk hal seperti ini biasanya dipakai ihan batak/ jurung. Tetapi bila untuk kepentingan ilmu gaib/sihir maka adakalanya para datu mengganti dengan ikan paniasi (ikan raja), insor (sejenis ikan gabus yang kecil sekali), atau halu (sejenis ikan sepat yang beratnya bisa mencapai sepuluhan kilogram).

D. Peran Gondang Sabangunan dalam Upacara Mardebata

Dalam upacara Mardebata Gondang Sabangunan mempunyai peranan penting yaitu untuk mengesahkan dan menghantarkan permohonan-permohonan kepada Ompung Mulajadi Nabolon dan penguasa alam roh lainnya. Gondang Sabangunan juga berfungsi sebagai pengiring tortor yang merupakan bahagian dari upacara mardebata. Berdasarkan konsep diatas, maka yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah jalannya upacara mardebata termasuk gondang sabangunan yang merupakan bahagian dari upacara mardebata, sampai sejauh mana fungsi dan penggunaan gondang sabangunan di dalam pelaksanaan upacara mardebata tersebut. Dalam hubungan ini akan dikaji juga tentang proses upacara, makna upacara, pelaku upacara, benda atau peralatan upacara, serta ensambel musik yang digunakan di dalam upacara. Pada aspek musikalnya, penulis akan mengkaji dan menganalisa 2 (dua) melodi gondang sabangunan yang dimainkan oleh sarune bolon yaitu melodi gondang Ni Tuhan dan melodi gondang tu Raja Nasiakbagi. Dalam hal ini yang akan dianalisa adalah skala tangga nada, nada dasar, wilayah nada, jumlah pemakaian nada, interval, bentuk melodi, frasa, dan pola-pola kadensa.

E. Dasar Teori dalam Melakukan Penelitian Kebudayaan

Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berpikir dalam membahas permasalahan. Untuk itu penulis mencoba mengambil beberapa teori yang dianggap perlu sebagai referensi atau acuan dalam tulisan ini. (Bachtiar 1997:10) mendefenisikan teori sebagai ketentuan-ketentuan dasar saintifik yang akan diaplikasikan, dimana kebenarannya telah diuji dengan mengikuti disiplin tertentu oleh para pakarnya. Seeger (1958:184) menyebutkan, Deskriptif adalah penyampaian suatu objek dengan menerangkannya terhadap pembaca secara tulisan ataupun lisan dengan sedetail-detailnya. Dengan demikian deskriptif yang dimaksudkan dalam penulisan ini adalah bersifat menyatakan dan menyampaikan sesuatu apa adanya dengan menggambarkannya secara tulisan dan secara jelas mengenai upacara Mardebata oleh masyarakat Parmalim Hutatinggi-Laguboti. Menurut Aryono Suyono dalam Hutahaean (1955:17) pengertian upacara ritual (ceremony) adalah:

1. Sistem aktifitas atau rangkuman tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat pada berbagai macam peristiwa, wujud dari adat istiadat yang berhubungan dengan segala peristiwa tetap yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan.

2. Suatu kegiatan pesta tradisional yang diatur menurut tata adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat dalam rangka memperingati peristiwa-peristiwa penting atau lain-lain dengan ketentuan adat yang berlaku.

Koentjaraningrat (1980:241) memberikan pengertian upacara adalah suatu kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku sesuai dengan komponen keagamaan. Komponen keagamaan itu dapat dilihat dari : tempat upacara, saat dan waktu upacara dilaksanakan, benda-benda atau alat-alat upacara, orang yang melaksanakan dan memimpin upacara. Beliau juga mengatakan bahwa dunia gaib bisa dihadapi manusia dengan berbagai macam perasaan seperti cinta, hormat, bakti tetapi juga takut, ngeri, dan sebagainya. Dengan berbagai macam perasaan itu mendorong manusia untuk melakukan suatu upacara

(6)

keagamaan. Manusia selalu dihinggapi suatu emosi keagamaan yang dilaksanakan menurut tata laksana baku dari upacara keagamaan atau ritus (1985:234). Dalam studi musikologis pada dasarnya merupakan kerja analisis sehingga secara struktural dapat diketahui dengan jelas. Untuk aspek musik ini penulis mengacu pada pendapat Alan P Merriam yang mengatakan bahwa beberapa bagian penting yang harus diperhatikan dalam menganalisis melodi adalah : 1) scale (tangga nada), 2) pitch centre (nada dasar), 3) range (wilayah nada), 4) frequency of note (jumlah pemakaian nada), 5) interval (jarak nada), 6) cadence patterns (pola-pola kadens), 7) melodic form (bentuk melodi), 8) contour (kontur/grafik melodi). Untuk mendukung pembahasan dari aspek musik diatas, diperlukan suatu transkripsi. Bruno Netll mengartikan, transkripsi adalah proses menotasikan bunyi atau membuat bunyi menjadi simbol visual (1964:99). Dalam upacara Mardebata terdapat beberapa repertoar Gondang yang dimainkan. Diantara repertoar gondang yang dimainkan penulis memilih dua repertoar gondang yang akan ditranskripsi yaitu Gondang Ni Tuhan, dan Gondang tu Raja Nasiakbagi. Mengenai hubungan Gondang Sabangunan dengan upacara Mardebata, penulis mengacu pada pendapat Alan P Meriam mengenai penggunaan dan fungsi musik yang mengatakan bahwa : ?use then refers to the situation in which is employed in human action : function concern the reason for its employment and particulary the broader purpose which it serves? (1964:210).

Dari kalimat diatas, dapat diartikan bahwa use (penggunaan) menitikberatkan pada masalah situasi atau cara yang bagaimana musik itu digunakan, sedangkan function (fungsi) menitikberatkan pada alasan penggunaan atau menyangkut tujuan pemakaian musik, terutama maksud yang lebih luas, sampai sejauh mana musik itu mampu memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri.

Dalam mengkaji fungsi musik, tulisan ini berpedoman pada pendapat Merriam (1964:219-226) yang membagi fungsi musik ke dalam 10 kategori fungsi, yaitu fungsi : 1) pengungkapan emosional, 2) penghayat estetis, 3) hiburan, 4) komunikasi, 5) perlambangan, 6) reaksi jasmani, 7) berkaitan dengan norma-norma sosial, 8) pengesahan lembaga sosial, 9) kesinambungan kebudayaaan, 10) pengintegrasian masyarakat. Dari ke-10 fungsi musik tersebut, upacara Mardebata pada masyarakat Parmalim termasuk dalam fungsi pengungkapan emosional, fungsi komunikasi, fungsi reaksi jasmani, fungsi hiburan, fungsi perlambangan, fungsi, fungsi kesinambungan kebudayaan, dan fungsi pengintegrasian masyarakat.

F. Referensi Dalam Mencari Musik Gondang Sabangunan

Sumber referensi dilakukan sebagai landasan dalam hal tulisan, yakni dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan mengenai Gondang Sabangunan yang akan menjadi dasar dalam melakukan tulisan. Sumber-sumber bacaan ini dapat berupa buku, ensiklopedi, jurnal, bulletin, skripsi, dan lain-lain. Dengan melakukan studi kepustakaan ini penulis akan dapat melakukan cara yang efektif dalam membuat tulisan tentang peranan gondang sabangunan dalam upacara Mardebata. Dalam tulisan ini penulis akan membahas salah satu dari upacara ritual Parmalim yaitu upacara Mardebata, dimana upacara ini belum pernah dibahas sebelumnya.

Dalam kerja lapangan penulis melakukan pengamatan dan pengambilan data melalui perekaman dan mencatat jalannya upacara secara keseluruhan, serta melakukan berbagai wawancara dengan beberapa parmalim dan juga informan lainnya. Tehnik wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara berfokus (focus interview) yaitu melakukan pertanyaan selalu berpusat pada pokok permasalahan. Selain itu juga melakukan wawancara bebas (free

(7)

interview) yaitu pertanyaan tidak selalu berpusat pada pokok permasalahan tetapi pertanyaan dapat berkembang ke pokok permasalahan lainnya dengan tujuan untuk memperoleh data yang beraneka ragam namun tidak menyimpang dari pokok permasalahan. Begitu juga dalam penulisan jurnal ini. Harus dilakukan kerja lapangan langsung dalam mendapatkan data-data hasil mengenai gondang sabangunan dan upacara adat Mardebata.

Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskripsian dan selanjutnya dianalisa. Pada akhirnya hasil dari pengolahan data dan penganalisaan disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan. Seperti telah dijelaskan pada sebelumnya bahwa upacara Mardebata adalah upacara ritual Parmalim yang dilakukan karena seseorang atau keluarga telah menyimpang dari ajaran Patik. Upacara ini dilakukan adalah sebagai sarana pengampunan dosa-dosa kepada Ompung Mulajadi Nabolon dan penguasa lainnya karena telah melanggar ajaran Patik. Mengakui kesalahan dan dosa serta memohon pengampunan dosa kepada Ompung Mulajadi Nabolon adalah kewajiban bagi masyarakat parmalim agar memperoleh bekal untuk kehidupan yang abadi diluar kehidupan dunia ini. Untuk mencapai kehidupan diluar kehidupan dunia ini, dalam ajaran Ugamo Malim disebutkan : Indion ma pangan hamu na Hupapungu na di sopo on, mardos roha ma hamu marbagi i, umbaen na Hupapungu i, asa adong do mangudut haleonmu. Artinya : Inilah kamu makan, yang telah Kusediakan dalam rumah ini, seiasekatalah kamu membaginya, sebab ini kusediakan agar kelak kamu tidak berkekurangan. Bekal yang dimaksud adalah Poda (firman Tuhan), Tona (perintah Tuhan), Patik (aturan Tuhan), dan Uhum (hukum Tuhan). Hal ini terpadu di dalam Patik ni Ugamo Malim. Setiap perilaku kehidupan apabila dicerminkan kepada Patik, dapat diketahui kesalahan atau dosa apa yang telah dilakukan, kebaikan atau kebajikan yang telah dilakukan. Kesalahan dan dosa, kebaikan atau kebajikan, semua dipersembahkan kepada Ompung Mulajadi Nabolon. Agar dosa diampuni, kebajikan diberkati menjadi pengabdian kepada-Nya. Setiap saat Parmalim diwajibkan membaca ulang kegiatan kehidupannya untuk kemudian menata kehidupan bercermin kepada Patik dan aturan Ugamo Malim.

G. Tempat Upacara Mardebata

Upacara Mardebata adalah upacara yang sifatnya pribadi (perseorangan), maka yang menjadi tempat pelaksanaan upacara mardebata ini adalah di rumah si suhut atau penyelenggara upacara yaitu di Desa Siregar, Kecamatan LumbanJulu Kabupaten Toba Samosir. Hal ini berbeda dengan upacara ritual parmalim lainnya yaitu sipaha sada dan sipaha lima yang pelaksanaannya dilakukan di Bale Pasogit Partonggoan yang merupakan pusaat peribadaataan parmalim, berada di Desa Hutatinggi-Laguboti.

(8)

Saat pelaksanaan upacara Mardebata ditentukan dengan cara maniti ari (menentukan hari yang tepat) untuk menentukan hari yang baik pelaksanaan upacara mardebata yang akan dilakukan. Maniti ari dilakukan oleh ihutan atau ulu punguan yaang ditentukan berdasarkan pada Parhalaan yaitu kalender Batak dahulu yang sampai sekarang masih tetap dipedomani dalam menentukan hari pelaksanaan suatu pesta atau upacara. Parhalaan ini berisi nama-nama hari dan nama bulan serta simbol (lambang) dari masing-masing hari.

DAFTAR PUSTAKA

Damanik, Abdi Mulia. (1995). Studi Deskriptif dan Musikologis Gondang Sabangunan dalam Upacara Parsahadatan Sipaha Lima Parmalim di Desa Hutatinggi Kecamatan Laguboti Kabupaten Tapanuli Utara. Skripsi Sarjana. Medan : Universitas Sumatra Utara.

Endraswara, Suwardi. (2006). Metode, Teori, Tehnik Penelitian Kebudayaan, Ideologi, Episrem dan Aplikasi. Yogyakarta : Pustaka Widyatama.

Kozok, Uli. (1999). Surat Batak (Pengantar Filologi dan Aksara Batak). Medan : USU Press. Panggabean, HP. Dan Sinaga, Richard. (2004). Hukum Adat Dalihan Na Tolu Tentang Hak

Waris. Jakarta : Dian Utama dan Kerabat.

Purba, Mauly. (2003). Dinamika Pertunjukan Gondang Sabangunan dan Tortor Pada

Masyarakat Batak Toba. Medan : Bahan Sarasehan Musik Tradisional Sumatera Utara. Manurung, Restawati. (2007). Studi Deskriptif dan Musikologis Gondang Sabangungan

Dalam Upacara Mardebata pada Masyarakat Parmalim hutatinggi-Laguboti di Desa Siregar Kecamatan Lumban Julu Kabupaten Toba Samosir. Medan : Skripsi

Universitas Sumatra utara.

Gambar

Gambar Upacara Madebata

Referensi

Dokumen terkait

Maksud dari penelitian yang penulis lakukan adalah untuk membuat suatu cara yang tepat dalam pembuatan data penggajian pada perusahaan tersebut sehingga aplikasi