• Tidak ada hasil yang ditemukan

TELAAH SASTRA NOVEL BARUANG KA NU NGARORA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TELAAH SASTRA NOVEL BARUANG KA NU NGARORA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

TELAAH SASTRA

NOVEL BARUANG KA NU NGARORA

D.K. Ardiwinata

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Sastra

Oleh Firmansyah 180210110003 Sastra Sunda

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2011

▸ Baca selengkapnya: novel sunda pertama kali terbit pada abad berapa?

(2)

BARUANG KA NU NGARORA

KEBUDAYAAN MASYARAKAT SUNDA ABAD 19 (Oleh Firmansyah)

D.K. Ardiwinata (1866-1947) tokoh sastra Sunda pada zaman Balai Pustaka yang banyak menulis novel. Baruang ka nu Ngarora (1914) adalah novel pertama berbahasa Sunda yang ditulis oleh D.K. Ardiwinata. Selain itu ia pun menulis dongeng dan banyak menyadur karya-karya pengarang dunia.

Pemikirannya yang terpenting adalah bahwa orang Sunda harus banyak menulis prosa ketimbang puisi (dangding) yang sering kali merusak bahasa karena hendak memenuhi aturan pupuh.

Pada masa angkatan Balai Pustaka, banyak menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Dalam perkembangannya, tema-tema inilah yang banyak diikuti oleh penulis-penulis lainnya pada masa itu, begitupun dengan D.K. Ardiwinata, beliau mencoba memunculkan khazanah kehidupan masyarakat sunda dalam berbagai sisi pada novelnya yang berjudul “Baruang Ka Nu Ngarora” sebagai novel pertama berbahasa sunda.

Novel Baruang Ka Nu Ngarora karya D.K. Ardiwinata secara nyata menggambarkan bahwa novel itu merepresentasikan kehidupan sosial budaya masyarakat Sunda abad ke-19. Representasi kehidupan sosial budaya masyarakat Sunda abad ke-19 yang muncul dalam novel Baruang Ka Nu Ngarora itu, antara lain dapat diketahui sebagai munculnya genre baru di dalam sastra Sunda, yaitu novel yang dapat menampung berbagai ide dan permasalahan yang muncul di masyarakat sebagai akibat adanya politik pemerintah kolonial yang menda-tangkan karya-karya sastra Barat dalam bentuk terjemahan, dan munculnya modernitas yang di dalam novel ditandai dengan judul novel yang tidak memakai nama tokoh yang terlibat di dalam cerita, munculnya struktur novel seperti latar, tokoh, dan alur secara realis yang jelas menyebutkan nama, tempat, dan bahasa

(3)

yang digunakan di dalam novel yang menggunakan bahasa sehari-hari. Kehi-dupan sosial budaya lainnya yang terjadi di masyarakat Sunda pada abad ke-19 yang tergambarkan di dalam novel adalah adanya culturstelsel atau penanaman kopi secara besar-besaran yang dijalankan oleh saudagar-saudagar yang dibawahi pemerintah kolonial.

Segi historis novel tersebut secara kental mengangkat latar belakang cerita lahirnya sastra Sunda modern, dan menggambarkan masyarakat Sunda pada zaman kultur-stelsel (penanaman kopi). Potret politik tentang kehidupan masyarakat Sunda pada zaman kolonial. Aset perekonomian yang berpusat pada perkebunan teh dan kopi yang terletak di wilayah pegunungan daerah Priangan realitas seperti itu tampak di dalam novel ini, terutama di bagian peristiwa saat Nyi Rapiah dan suaminya, Ujang Kusen tinggal di daerah Sekeawi yang terletak di lereng gunung perkebunan kopi. Berikut kutipan ringkas yang menggambarkan penggarapan latar belakang cerita yang berkaitan dengan kulturstelsel.

“Ari jol teh datang batur mah geus lila deui ngaralana kopi; kunu ngarekes mah geus kaporotan. Nyi Rapiah teu kira-kira kagetna nenjo kebon kopi kutan kitu, saluar-luar puncak pasir jeung lampinglamping gunung pinuh ku tangkal kopi, beres ngajajar turut paintang, di handapna lenang belening. Tangkalna aya nu sagede pingping, aya sagede bitis, ngan kebon baru anu laleutik keneh, kakara sagede indung suku atawa sagede leungeun budak, tapi geus baruahan. Buahna geus arasak beureum areuceuy, nu geus karolot pisan semu wungu. Nyi Rapiah ari nginum kopi mah remen nenjo, tapi ari nempo tangkal jeung buahna mah kakara harita. Sakur anu ngarala kopi, awewe-lalaki pada nyorendang kolanding atawa endog kadut. Ari ngarana sakur nu kahontal mah dipetik ti handap bae, tapi ari anu luhur ditarajean jeung nu laer make tangga. Lamun kolanding geus pinuh, tuluy dikana telebugkeun. Demi anu ngalana lolobana anu kuli bae, aturanana mertelu, sabagian ka nu ngala, anu dua bagian ka nu boga kebon. (D.K. Ardiwinata, 1950:99).

Novel yang pertama kali diterbitkan tahun 1914 oleh penerbit Weltrevreden di Batavia (Jakarta) ini dari sisi mimetik mencoba menggambarkan dua lingkungan kehidupan masyarakat sunda pada masa lampau, yaitu lingkungan

(4)

bangsawan dan rakyat biasa. Dalam novel ini pula tergambar kebiasaan-kebiasaan pada zaman tersebut, yang masih kental dengan nuansa keagamaan yang sukar ditemui pada masa kini sebab sudah terpengaruh oleh arus globalisasi.

Selain itu, dimunculkan pula kebiasaan zaman dulu yang pada masa kinipun masih sering dijumpai, yaitu kesewenang-wenangan yang akhirnya menimbulkan sikap ketidakpedulian terhadap hak-hak manusia. Masalah feodalisme dan kolonialisme yang berlaku pada saat itu terbayang secara nyata dalam novel ini. Struktur masyarakat yang membeda-bedakan manusia berdasarkan keturunan tercermin melalui tindakan dan sikap tokoh Aom Usman yang berhasil menikahi Nyi Rapiah setelah Nyi Rapiah meninggalkan Ujang Kusen, suaminya. Sebagai seorang bangsawan dan penguasa, Aom Usman dengan sesuka hatinya mengganggu istri orang tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain. Ia merasa berhak mendapatkan segala yang diinginkannya dan orang lain yang menjadi bawahannya harus patuh dan mengikuti segala kemauannya.

Demikian pula setelah memperistri Nyi Rapiah, Aom Usman dengan seenaknya menyia-nyiakan istrinya. Tingkah polah Aom Usman terhadap Nyi Rapiah semakin menjadi saat ia ingin menikahi perempuan lain yang dinilainya sederajat dengan dirinya. Dengan sewenang-wenang, ia menggeser kedudukan Nyi Rapiah yang kehadirannya tidak mendapat tempat di kalangan keluarga karena Nyi Rapiah berasal dari rakyat biasa. Sikap Aom Usman yang seperti itu tampak dalam kutipan berikut.

“Ti harita kasukaanna Aom Usman ka Nyi Piah geus turun saperlima sarta datang manahna kieu, “Kumaha behna bae Si Piah mah, daekeun bae dican-dung sukur, hente kajeun da sugan moal sakumaha kaedananana aing teh, sabab aya gantina (D.K. Ardiwinata, 1950:164) .

Novel ini berkisah tentang seorang manusia yang celaka dan sakit hati karena ulah istrinya yang gila hormat, harta, dan kedudukan, secara sederhana berikut ringkasan cerita novel Baruang Ka Nu Ngarora.

Diawali dengan acara lamaran keluarga Ujang Kusen, anak Haji Samsudin, orang kaya di kampung Pasar, melamar Nyi Rapiah, anak Haji Abdul

(5)

Raup, orang yang tidak kalah kaya juga. Lamarannya diterima dengan suka cita, tidak lama mereka akhirnya menikah dengan pesta resepsi yang sangat mewah.

Tapi pernikahan mereka tidak berjalan harmonis karena Aom Usman, anak seorang Demang, menginginkan Nyi Rapiah, sebelum resepsi penikahan Aom Usman mengutus Nyi Dampi seorang penjual pakaian keliling untuk menyampaikan keinginannya itu kepada Nyi Rapiah sehingga menimbulkan kebimbangan pada hati Nyi Rapiah setelah melihat foto Aom Usman.

Walaupun Nyi Rapiah sudah menjadi istri orang lain. Aom Usman berani mengganggunya di hadapan suaminya. Kejadian demikian menyakitkan hati Ujang Kusen, tetapi ia tetap sabar.

Setelah tujuh hari dirumah mempelai perempuan menurut adat sunda pada masa itu keduanya harus pindah ke rumah mempelai laki-laki. Menjelang Nyi Rapiah dibawa pindah oleh suaminya, Haji Abdul Raup memberi nasihat kepada anaknya tentang kebahagian rumah tangga. Hal yang sama dilakukan oleh Haji Samsudin saat menerima kedatangan anak dan menantunya. Dirumah mempelai laki-laki pun diadakan pesta resepsi yang tidak kalah mewah seperti di kediaman Nyi Rapiah. Diwaktu bersamaan Aom Usman mencari siasat untuk dapat menemui Nyi Rapiah. Salah seorang temannya mengusulkan Aom Usman untuk menemui Abdullah seorang perantara masalah-masalah seperti itu, dengan siasat Abdullah, Aom Usman berhasil menemui Nyi Rapiah. Ia menyatakan kehendaknya untuk memperistri Nyi Rapiah tapi nasi sudah menjadi bubur walaupun keduanya sama-sama saling mencintai, tapi Nyi Rapiah sudah menjadi Istri Ujang Kusen. Suatu hari Aom Usman secara sengaja lewat ke rumah Nyi rapiah dan memberikan senyuman kepada Nyi Rapiah. Hal itu dilakukan dihadapan Ujang Kusen sehingga timbul pertengkaran antara suami istri itu, tetapi mereka berbaikan kembali.

Gerang merasa terus-menerus diganggu oleh Aom Usman, dan ketakutannya bila Nyi Rapiah direbut oleh Aom Usman, Ujang Kusen membawa istrinya pindah ke sebuah tempat yang jauh ke kampung Sekeawi tepatnya, letaknya berada dibawah lereng gunung. Di tempat itu dengan modal R 500 Ujang

(6)

Kusen giat bekerja melaksanakan amanah orang tuanya. Nyi Rapiah merasa sangat tidak betah tinggal di kampung itu, karena tidak biasa hidup susah seperti yang ia alami saat itu, selain itu karena ia selalu teringat kepada orang tuanya dan kepada Aom Usman yang hidup di kota.

Aom Usman mengutus Abdullah untuk melarikan Nyi Rapiah. Nyi Rapiah yang sedang gundah bersedia untuk dilarikan. Sebelum pulang ke rumah orang tuanya untuk menghindari kecurigaan, Ia tinggal di rumah gulang-gulang bawahan Aom Usman. Aom Usman dan Nyi Rapiah bertemu dan sepakat untuk menikah setelah berhasil bercerai dari Ujang Kusen.

Ujang Kusen sangat terkejut mengetahui istrinya melarikan diri. Ia menyusul ke kota tetapi mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari istri dan mertuanya. Walaupun ia sangat marah, hatinya tak hendak terlepas dari Nyi Rapiah. Untuk melampiaskan kekecewaannya, ia melakukan perbuatan tercela, bermain perempuan dan berjudi.

Aom Usman mengirimkan Agan Ali seorang jawara pada masa itu kepada keluarga Ujang Kusen tujuannya untuk memaksa Ujang Kusen menceraikan Nyi Rapiah. ketidaberdayaanya melawan kehendak Aom Usman, serta karena paksaan oleh ayahnya yang merasa diinjak harga dirinya, dengan berat hati akhirnya Ujang Kusen menceraikan istrinya.

Aom Usman menikah dengan Nyi Rapiah secara sembunyi-sembunyi. Orang tua Aom Usman tidak setuju sebab Aom Usman seharusnya beristrikan wanita bangsawan yang sederajat. Suatu hari Aom Usman disuruh oleh orang tuanya untuk menikah lagi dengan Agan Sariningrat, anak seorang wedana. Aom Usman menuruti titah orang tuanya karena Aom Usman pun menyukai Agan Sariningrat setelah melihat parasnya. Nyi Rapiah menerima nasibnya dimadu, ia merasa malu pada dirinya sendiri dan Ujang Kusen. Kedudukannya terdesak oleh Agan Sariningrat sebab ia hanya seorang perempuan biasa kebanyakan.

Dilain pihak, peristiwa istrinya dilarikan orang lain dan terpaksa harus diceraikan itu sangat menusuk perasaan Ujang Kusen. Ia sangat terganggu hidupnya. Untuk melampiaskan kekecewaannya, ia berganti-ganti istri, tetapi tak

(7)

ada kepuasan sedikitpun yang dirasakannya, sebab ia selalu terpaut kepada sosok Nyi Rapiah. Akhirnya ia terjerumus ke dalam pelacuran dan perjudian, sampai orang tuanya mengusirnya dan tidak mau mengaku anak kepadanya. Kondisi Ujang Kusen kian hari kian buruk. Ketika keluarganya tidak ada dirumah, dengan tujuan untuk memperoleh bekal bagi pengembaraannya ia mencuri uang ayahnya. Ayahnya mengetahui hal itu. Dengan siasat ayahnya menyuruh menantunya untuk mengakui bahwa uang yang dicuri adalah uangnya, akhirnya Aom Usman ditangkap kemudian ia diadili dan mendapat hukuman penjara tetapi sebelumnya ia harus menjalani hukuman buang. Haji samsudin selaku orang tua Ujang Usman merasa terpukul dan menyesal atas perbuatannya sendiri.

Dari ringkasan cerita tersebut dapat dijabarkan karakter atau watak tokoh-tokoh yang terdapat pada novel tersebut. Secara sederhana karakter Nyi Dampi tubuhnya langsing, tidak terlalu tinggi, tidak terlalu pendek, kulit kuning kehijauan, wajahnya mendaun sirih, matanya bersinar, hidung mancung, bibir tipis merah merekah, pangkal lengan berisi, orangnya pendiam ciri perempuan anggun, taat pada orang tua, mudah terhasut, lemah, pembangkang. Berikut beberapa kutipan ringkas yang menggambarkan karakter Nyi Rapiah.

“Barang beh teh Nyi Dampi nenjo ka Nyi Rapiah datang ka bengong, bet jadi geulis kabina-bina, bijil cahya mani mancur, turug-turug geus lila teu papanggih.” (D.K. Ardiwinata 1950:8).

“Cacakan mun teu sieun ku kolot sarta geus lepas hate meureun tetekadan ” (D.K. Ardiwinata 1950:11-12).

“Upama Nyai maksakeun maneh calik di dieu, engke matak ruksak salira matak kageringan. Wondening diserahkeun ku raka, keun bae, da anom keneh. Aom oge moal burung keresaeun mihukum ka Nyai. Bari ceuk akangmah mending carogean ka Aom, itu mah putra menak. Sugan bae aya darajat Nyai nepi ka bisa jadi Nyi Wadana atawa Nyipatih”. (D.K. Ardiwinata 1950:113)

“,, Wah, kadongdora rek nurutkeun soteh ayeuna. Ayeunamah geus kapalang, kieu enggeus. Anggur menta dibereskeun bae”. “,, Wah, kajeun teuing

(8)

masing dikungkung teu diawur, dicangcang teu diparaban oge; nurutkeun deui tea moal. Kumaha ari teu suka”. (D.K. Ardiwinata 1950:139).

Karakter Ujang Kusen yaitu, tampan, berbadan tegap, manis budi, keras kepala, bodoh, durhaka, tidak berpendirian. Berikut kutipan yang mendukung karakter tersebut.

“,, Sabab Ujang Kusen teh lain jelema jore-jore, tegep sarta manis budi” (D.K. Ardiwinata 1950:24).

“ujang kusen oge nya kitu, banda bapana geus orot, dibongohan dipalingan, da sorangan mah tacan aya kaboga, pangala teu acan aya”. (D.K. Ardiwinata 1950:147-148).

Karakter Aom Usman menurut cerita tersebut, Angkuh, kasar tuturnya, ingin menang sendiri, jahat, sewenang-wenang patuh pada orang tua, penyayang.

“,,Beu kacida teuing nepi ka disaha-saha! Moal enya heunteu nyaho, kapan kami ti sore di dieu, hayang papanggih jeung manehna; (D.K. Ardiwinata 1950:65-66).”

“,, Abdullah, silaing pangdiala teh ku dewek rek dipentaan tulung. Dewek teh ku hayang ka Nyi Rapiah pasar tea. Akalnamah kumaha silaing bae. Lamun ka bisa beunang, rasakeun bae pamales dewek ka silaing”. (D.K. Ardiwinata 1950:16).

“pamales kami ka manehna, taya deui kajaba ti ngan ngadoakeun,muga-muga masing lulus-runtut laki-rabi, panjang-punjung reuay anak, peungpeuriheun kami sakieu sipatna”. (D.K. Ardiwinata 1950:68).

Karakter kedua orang tua Nyi Rapiah dan Ujang Kusen yaitu haji Samsudin dan istrinya serta haji Abdul Roup dan istrinya pada dasarnya sama-sama sangat penyayang terhadap anak banyak kutipan yang mendukung karakter tersebut sehingga terlalu menyita waktu untuk dituangkan dalam analisis ini.

Tokoh berikutnya yaitu Nyi Dampi, Abdullah dan Agan Ali. Ke-3 tokoh ini sangat berperan penting dalam alur cerita kehadiran mereka perlu untuk

(9)

dimunculkan sebagai karakter penghasut, komersial mencari keuntungan diatas penderitaan orang lain. Beberapa kutipan dibawah ini menggambarkan tokoh ke3nya sesuai dengan watak masing-masing.

“Rasa embi mah geus aduna pisan, nu geulis ka nu kasep” (D.K. Ardiwinata 1950:12).

“Nyi Dampi amit, tuluy balik gura-giru sarta atoh, dumeh nampa ladang samping, batina gede”. (D.K. Ardiwinata 1950:12).

“Upama Nyai maksakeun maneh calik di dieu, engke matak ruksak salira matak kageringan. Wondening diserahkeun ku raka, keun bae, da anom keneh. Aom oge moal burung keresaeun mihukum ka Nyai. Bari ceuk akangmah mending carogean ka Aom, itu mah putra menak. Sugan bae aya darajat Nyai nepi ka bisa jadi Nyi Wadana atawa Nyipatih”. (D.K. Ardiwinata 1950:113)

Agan Ali badan tegap, tinggi, muka garang, jagoan. Kutipan yang mendukung karakter Agan Ali “ ,,,jelema dedeg jangkung luhur, borongsot bade amprotan, tukang gelut padjadjaran, purah neunggeulan jelema;” (D.K. Ardiwinata 1950:149). Itulah karakter beberapa tokoh yang perlu dikaji, selain dari pada tokoh tersebut masih banyak tokoh pendukung yang cukup berpengaruh terhadap alur akan tetapi tidak terlalu penting untuk diperbincangkan.

Bergeser ke setting novel tersebut, dalam novel ini latar atau setting sudah jelas tergambar diawal cerita “Malem Senen tanggal 14 bulan Hapit 1291 di bumina tuan Haji Abdul Raup, di kampung Pasar, haneuteun pisan, teu cara sasari kawas aya perkara nu aneh. Tingkeban dibuka, lampu kabeh diseungeut, mani caang marakbak; tengah imah dikeput ku alketip. Di da-pur jelema pasuliwer, semu nu keur urus-urus popolah. Jelema nu ngaliwat loba nu ngarandeg, bari ngomong di jero atina, “Aya naon di bumi tuan Haji, bet haneuteun teuing?” (D.K. Ardiwinata 1950:1)

Kutipan tersebut secara jelas menunjukkan waktu terjadinya peristiwa, yaitu pada tanggal 14 Hapit 1291 atau 23 Desember 1874.

(10)

Unsur pragmatik dalam novel ini cendrung dalam kehidupan para tokohnya dengan menggunakan bahasa sehari-hari. Bahasa sehari-hari di sini artinya bahasa yang dipakai masyarakat Sunda dalam kehidupan realitas sehari-hari pada saat itu. Oleh karena itu, di dalam novel itu sangat jarang ditemukan bahasa yang berbunga-bunga sebagaimana genre karya tradisional. Keunikan sisi pragmatik dari novel ini, meskipun bahasanya masih menggunakan ejaan lama tapi sangat mudah dipahami ketimbang ejaan yang sudah disempurnakan.

Amanat yang terkandung dalam novel ini sudah tak terhitung lagi banyaknya, mungkin karena novel ini dibuat secara realitas diambil dari kehidupan masyarakat sunda, sehingga setiap alur mempunyai kandungan amanat yang akan menghabiskan waktu bila dimunculkan dalam analisis ini. Dari keseluruhan mungkin kutipan ini mewakili amanat yang terkandung dalam novel ini “kitu tungtungna jelema nu ngalajur napsu matak sangsara kana diri, nyusahkeun ka kolot-kolot.” (D.K. Ardiwinata 1950:187)

Yang dapat diartikan, “akhir yang diperoleh dari orang-orang yang suka mengumbar nafsu menyusahkan pribadi manusia sendiri dan menyusahkan orang tua, serta orang-orang disekeliling.”

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Ardiwinata, daeng kanduan.1950. Baruang Ka Nu Ngarora.Jakarta: Balai Pustaka Danadibrata, R.A. 2009. Kamus Basa Sunda. Bandung: PT Kiblat Buku Utama Rizal, Syamsul. 2006. Antropologi. Jakarta: Widya Utama

Mustopo Habib, dkk. 2006. Sejarah. Jakarta: Yudhistira

Somad Adi Abdul, dkk. 2009. Aktif dan Kreatif Berbahasa Indonesia. Bandung: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional

http://tradisidongengblogspot

http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Indonesia#Angkatan_Balai_Pustaka

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) unsur budaya yang terdapat dalam novel Nawung ini meliputi peralatan kehidupan, mata pencaharian, kesenian, sistem pengetahuan

dilihat sebagai pengungkapan alam kehidupan pikiran Jawa. Ketidaksetujuan penulis terhadap budaya Jawa dalam karya itu dapat diketahui dari pemyataannya yang mengatakan

kehidupan sosial budaya wanita sasak, (c) produk hukum dan kebijakan terhadap wanita, dan (d) feminitas dalam novel wanita dititik nol karya nawal el-saadawi dan relevansinya

Amana adalah menceritakan kehidupan individual, sosial, budaya, ekonomi yang dialami tokoh utamanya. Iryan yang merupakan tokoh utama dalam novel ini memiliki alur cerita yang