• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERAGAMAN KELAYUAN, UMUR MASAK, DAN UKURAN BIJI KEDELAI GENERASI F4 TERCEKAM KEKERINGAN FASE REPRODUKTIF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERAGAMAN KELAYUAN, UMUR MASAK, DAN UKURAN BIJI KEDELAI GENERASI F4 TERCEKAM KEKERINGAN FASE REPRODUKTIF"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KERAGAMAN KELAYUAN, UMUR MASAK,

DAN UKURAN BIJI KEDELAI GENERASI F4

TERCEKAM KEKERINGAN FASE REPRODUKTIF

Novita Nugrahaeni, Suhartina, dan Purwantoro Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Jln. Raya Kendalpayak Km 8, Kotak Pos 66. Malang

e-mail: nnugrahaeni@gmail.com

ABSTRAK

Cekaman kekeringan berpengaruh langsung terhadap hasil dan mutu hasil. Sebanyak 258 galur F4 diuji toleransinya terhadap kekeringan pada fase reproduktif di rain-out shelter KP Kendalpayak, Malang, pada MK 2012. Cekaman kekeringan pada fase reproduktif diberikan dengan mengairi tanaman percobaan hanya hingga fase berbunga (R2). Seleksi pedigri dila-kukan berdasarkan umur masak (<80hari), ukuran biji (>14 g/100 biji), dan skor layu (≤2). Skoring layu mengikuti cara Del Rosario et al. (1993), dan diamati pada umur 60, 67, dan 70 hari. Tanaman tercekam kekeringan diindikasikan oleh kadar air tanah selama fase generatif, yaitu 24–31% dan kurva pF. Terdapat keragaman respons galur terhadap cekaman kekeringan. Pada tingkat cekaman kekeringan demikian terdapat 524 tanaman zuriat tujuh seri persilangan yang tergolong toleran kekeringan (skor layu ≤2), umur genjah (71–74 hari), dan ukuran biji besar (20–24,6 g/100 biji). Umur masak varietas Grobogan, varietas pembanding umur genjah dan biji besar, 73 hari dengan ukuran biji besar (19,5 g/100biji). Hal ini menunjukkan adanya peluang untuk mendapatkan galur kedelai toleran kekeringan pada fase reproduktif, berumur genjah, sekaligus berukuran biji besar.

Kata kunci: Glycine max L., F4, kekeringan, fase reproduktif

ABSTRACT

Diferential wilting, maturity days, and seed size among F4 soybean lines in response to drought stress during reproductive stage. Drought stress affects directly to

soybean yield reduction and it’s quality. A total of 258 F4 soybean lines tested for tolerance to drought stress during reproductive stage in rain-out shelter in Iletri Malang, during dry season of 2012. Reproductive stage drought stress is given to the trial by irrigating the plants only up to flowering stage (R2). Pedigree selection employed for plant selection based on maturity days (<80 days), seed size (>14 g/100 seeds), and wilt scores ( ≤ 2) criteria. Wilt scoring following an 1–5 scales Del Rosario et al. methods, and were observed at 60, 67, and 70 days. Plant experienced drought stress during the reproductive stage, indicated by soil moisture content (smc) during the stage, i.e. 24–31%, as shown by smc of pF curve. There was diversity of responses of soybean lines to drought stress given to the plants. At that level of stress there were 524 tolerant plants (wilt score ≤ 2) derived from seven crosses that matured early (71–74 days) and gave large seed size (20 to 24.6 g/100 seeds). Grobogan, the early maturity check variety, matured in 73 days with large seed size (19.5 g/100seeds). These results suggest that there is an opportunity to select reproductive stage drought-tolerant, early maturity, as well as large seed size soybean lines.

(2)

PENDAHULUAN

Air dalam jumlah cukup sangat penting untuk pertumbuhan dan hasil optimal tanaman kedelai. Namun seringkali kebutuhan air bagi tanaman kedelai tidak terpenuhi pada pola padi–padi–kedelai. Pola tanam tersebut umum dijumpai pada lahan sawah, yang merupakan agroekologi penghasil kedelai utama di Indonesia (Rachman et al. 2007). Sebanyak 65% dari total luas tanam kedelai 622.254 ha (BPS 2011) berada pada lahan sawah. Lahan sawah MK II (Juli–Oktober) yang biasanya diberakan seperti yang terdapat di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Lampung, Sumatera Utara, NTB, dan Kalimantan Selatan, serta lahan sawah tadah hujan (MK I Maret–Juni) seperti di Jawa dan NTB merupakan daerah potensial mengalami kekeringan sekaligus merupakan area potensial pengembangan dan peningkatan produksi kedelai.

Cekaman kekeringan berpengaruh terhadap fisiologi dan morfologi tanaman kedelai. Tanaman kedelai mempunyai fase-fase kritis terhadap kecukupan air, yaitu fase awal pertumbuhan vegetatif (V0–V1-2), saat berbunga (R1–R2), dan saat pengisian polong (R5–

R6). Kekurangan air pada salah satu fase atau pada fase-fase tersebut dapat menurunkan

hasil, baik kualitas maupun kuantitas (Abayomi 2008, Desclau Huynh & Roumet 2000, Liu et al. 2004, Singh 2010). Kedelai yang mengalami cekaman kekeringan memiliki biji kecil, pipih, dan berwarna kusam. Cekaman kekeringan juga berpengaruh negatif terha-dap tinggi tanaman, pertumbuhan dan jumlah nodul, jumlah cabang, karakteristik akar, karakteristik daun, berat brangkasan, dan kadar isoflavon (Caldwell 2005, Foroud et al. 1993, Huck et al. 1983, Kobraee dan Shamsi, 2011; Ohashi et al. 2000, Yee-Shan et al. 2013). Cekaman kekeringan 50% terhadap ketersediaan air menurunkan hasil biji varietas Cikuray, Panderman, Burangrang, Tidar, dan Willis berturut-turut 62,6%, 52,8%, 41,7%, 64,0%, dan 47,6% (Suhartina 2007).

Terdapat banyak kriteria yang digunakan untuk menilai respons tanaman terhadap cekaman kekeringan. Karakter-karakter yang berhubungan dengan batang, akar, maupun proses fisiologis berperan dalam respons ketahanan. Bulu (trichoma) daun merupakan salah satu mekanisme yang berhubungan dengan water use efficiency (WUE), salah satu komponen fungsi hasil pada kondisi kekurangan air. Pada umumnya, kepadatan daun meningkatkan reflektan daun, sehingga suhu daun lebih rendah di bawah radiasi tinggi. Tanaman dengan bulu padat mempunyai akar yang lebih besar dan lebih dalam (Garay & Wilhelm 1983). Pengaruh cekaman kekeringan perlu dipahami agar didapatkan kriteria seleksi yang praktis bagi kegiatan pemuliaan ketahanan, yaitu cepat, murah, mudah, dan berdasarkan interaksi fisiologi cekaman kekeringan dengan pertumbuhan dan hasil. Kela-yuan sebagai respons terhadap cekaman kekeringan telah digunakan pada beberapa komoditi dan terbukti stabil dan konsisten (Del Rosario et al. 1993, Huang et al. 1998, Ober et al. 2005, Pungulani et al. 2013, Ries et al. 2012, Xu et al. 2000,).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan galur-galur kedelai generasi F4 toleran cekaman kekeringan pada fase reproduktif, berumur genjah, dan berbiji besar menggunakan indikator kelayuan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di rain-out shelter Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi), Malang, pada MK 2012. Sebanyak 258 galur generasi F4 dan empat varietas pembanding (Grobogan, Dering1, Tidar, dan MLGG 0040) dievaluasi

(3)

keta-hanannya terhadap cekaman kekeringan. Galur-galur tersebut berasal dari sembilan seri persilangan yaitu Argopuro/Pangrango/Sibayak, Grobogan/Argopuro/Pangrango, Grobo-gan/IAC100/Burr/Kaba, Grob/IAC100/Tanggamus, Grob/Malabar/IAC100, IAC100/Bur/ Kaba/Grobogan, IAC100/Malabar, ARG/GCP-334/Grob, dan ARG/GCP-335/ Grob. Gro-bogan digunakan sebagai pembanding umur genjah dan biji besar, Dering1 dan Tidar me-rupakan pembanding toleran dan MLGG 0040 meme-rupakan pembanding rentan kekeringan.

Varietas pembanding ditanam pada setiap 43 baris galur atau pada setiap satu bedeng. Setiap genotipe ditanam satu baris sepanjang 2,5 m, jarak tanam 40 cm x 15 cm, dua tanaman per rumpun. Tanaman dipupuk setara 100 kg Urea + 75 kg SP 36 + 75 kg KCl/ ha secara disebar pada saat tanam. Kondisi kelembaban tanah sejak tanam hingga 50% berbunga diupayakan optimal melalui pengairan, kemudian selama fase reproduktif tana-man tidak diairi.

Cekaman kekeringan diberikan pada fase reproduktif dengan menghentikan pengairan pada fase R2 (berbunga penuh). Umur berbunga 50% pada saat percobaan berkisar antara 30–36 hari dengan rata-rata 33 hari. Pengamatan meliputi umur masak, ukuran biji (bobot 100 biji), dan skor layu. Kadar air tanah (w/w) lapisan 0–20 cm diamati mulai saat tanaman berbunga penuh hingga umur 70 hari dengan interval 8 hari. Untuk mengetahui status kadar air tanah pada saat pengamatan kadar air, dibuat kurva potensial air (pF) (0; 2,0; 2,5; 3,0; 4,2). Pengamatan skor layu mengikuti metode Del Rosario et al. (1993) pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi skor layu tanaman menurut Del Rosario et al. (1993). Skor Keterangan

1 Seluruh daun hijau

2 >50% daun hijau dan tidak ada daun tua coklat

3 >50% daun dengan gejala layu dan <50% daun tua coklat

4 >50% daun layu dan >50% daun tua coklat, tidak ada tanaman mati 5 >50% daun layu dan >50% daun tua coklat dan ada tanaman mati

Berdasarkan skor tingkat kelayuan tanaman, dibuat klasifikasi kriteria ketahanan seba-gai berikut (1) skor 1, sangat toleran, (2) skor 2, toleran, (3) skor 3 agak toleran, (4) skor 4, rentan, dan (5) skor 5, sangat rentan. Metode seleksi adalah pedigri.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mekanisme tanaman untuk mengatasi cekaman kekeringan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu escape, avoidance, dan toleran (Turner et al. 2001). Pada me-kanisme escape, tanaman telah menyelesaikan siklus hidupnya pada periode cukup air, sehingga terhindar dari kekeringan. Varietas umur genjah merupakan contoh kelompok ini. Mekanisme kedua adalah avoidance, yaitu kemampuan tanaman untuk memper-tahankan status air yang tinggi selama periode tercekam, baik dengan penyerapan air yang efisien dari akar atau mengurangi evapotranspirasi. Mekanisme ketiga, toleransi keke-ringan, memungkinkan tanaman untuk tetap memberikan hasil realtif tinggi walaupun mengalami cekaman kekeringan.

(4)

Tanaman percobaan tumbuh dengan baik, ditunjukkan oleh pertumbuhan daun dan batang yang normal, segar, dan berwarna hijau normal hingga fase berbunga. Pengairan terakhir diberikan pada saat tanaman berumur 40 hari, dan kadar air tanah mulai fase berbunga hingga panen menunjukkan penurunan, dari 58% menjadi 24% (Gambar 1). Kadar air pada kapasitas lapang setara dengan kadar air pada potensial air tanah (pF) 2,53 (Hillel dalam Harsono et al., 2007). Kadar air tanah pada kondisi kapasitas lapang (pF 2,5) di lokasi percobaan adalah 42,5%, sedangkan pada kondisi titik layu permanen (pF 4,2) 30,5%. Dengan demikian kadar air tanah selama fase reproduktif (31%–24%) merupakan kondisi suboptimal bagi tanaman percobaan. Tanaman percobaan selain menerima cekaman akibat kekeringan juga mengalami cekaman akibat naungan. Kon-struksi rain-shelter yang digunakan menyebabkan tingkat cahaya yang diterima tanaman tidak maksimal, hanya 75,2% dengan kisaran 72,0–79,5% selama pertumbuhan tanaman. Intensitas naungan tersebut tergolong sedang, namun menyebabkan beberapa galur mengalami etiolasi.

Gambar 1. Kadar air tanah pada beberapa tingkat potensial air tanah dan kadar air tanah selama fase reproduktif pada evaluasi toleransi galur-galur kedelai generasi F4 terhadap

kekeringan di rain-out shelter. Malang, MK, 2012.

Skor layu pada umur 60, 67, dan 70 hari menunjukkan keragaman respons di antara galur-galur yang diuji (Tabel 2). Pada umur 60 hari sebagian galur dari seluruh seri per-silangan, kecuali Argopuro/Pangrango/Sibayak dan IAC100/Malabar, telah menunjukkan gejala layu. Pada periode berikutnya (umur 67 dan 70 hari) galur-galur yang diuji telah terdeferensiasi responsnya terhadap cekaman kekeringan yang ditunjukkan oleh skor ketahanan terhadap cekaman kekeringan yang meningkat dan beragam. Skor layu varietas pembanding relatif sama pada keenam bedeng, kecuali bedeng kelima dan keenam, mempunyai rata-rata skor satu tingkat lebih rendah dibanding yang berada pada bedeng 1–4. Perbedaan tersebut kemungkinan terjadi karena pengaruh arah sinar mata-hari, namun kondisi ini menunjukkan arah pembuatan bedengan sudah tepat dan pada tahap seleksi selanjutnya perlu dilakukan penilaian berdasarkan rancangan ber blok (augmented, acak kelompok). Berdasarkan skor kelayuan varietas Grobogan tergolong rentan terhadap kekeringan yang diberikan sedangkan genotipe MLGG 0040 tergolong toleran.

(5)

Tabel 2. Rata-rata skor layu pada galur-galur generasi F4 beberapa seri persilangan dan varietas pembanding pada umur tanaman 60, 67, dan 70 hari. Malang, MK 2012.

Genotipe Rata-rata skor layu galur-galur pada umur (hari)

60 67 70 Argopuro/Pangrango/Sibayak 1,00 3,00 3,00 ARG/GCP-334/Grobogan 2,33 3,83 3,92 ARG/GCP-335/Grobogan 2,33 3,67 3,67 Grobogan/Argopuro/Pangrango 2,33 3,67 3,67 Grobogan/IAC100/Burangrang/Kaba 2,08 3,58 3,61 Grobogan/IAC100/Tanggamus 2,17 3,79 3,88 Grobogan/Malabar/IAC100 1,43 3,32 3,34 IAC100/Burangrang/Kaba/Grobogan 2,68 4,05 4,07 IAC100/Malabar 1,00 3,00 3,00 Su-16/2-5 3,00 3,00 3,00 MLGG 0040 1,00 2,17 2,17 Tidar 1,00 3,33 3,33 Dering 1 1,00 3,00 3,00 Grobogan 2,67 3,67 3,67

Skor tertinggi didapatkan pada pengamatan umur 70 hari, tetapi tidak terdapat perbedaan kisaran skor pada ketiga umur pengamatan (Tabel 3). Skor layu di ketiga pengamatan menunjukkan korelasi yang nyata. Berdasarkan korelasi, rata-rata dan kisaran skor layu pada ketiga umur pengamatan, skor layu pada umur 67 hari memadai untuk digunakan sebagai dasar penilaian respons genotipe terhadap cekaman kekeringan pada populasi ini. Seleksi pedigri dilakukan dengan memilih tanaman/galur dengan skor layu ≤2, umur masak genjah, dan ukuran biji besar dipilih untuk seleksi toleransi terhadap cekaman kekeringan lanjutan.

Tabel 3. Rata-rata dan kisaran skor layu pada umur tanaman 60, 67, dan 70 hari, dan korelasi antar rata-rata ketiga skor teramati pada populasi galur kedelai generasi F4. Malang, MK 2012. Keterangan Skor layu pada umur tanaman (hari)

60 67 70

Rata-rata 2,06 3,59 3,62

Terendah 1 1 1

Tertinggi 5 5 5

Korelasi skor layu pada umur 60 hari 67 hari

67 hari 0,81**

70 hari 0,82** 0,98**

Pada populasi yang digunakan sebagai bahan seleksi tidak didapatkan korelasi antara skor layu pada umur 67 hari dengan ukuran biji. Hal ini menunjukkan ukuran biji kecil hingga besar pada populasi ini bisa didapatkan pada sembarang skor layu. Terdapat korelasi negatif antara skor layu dengan umur masak, dan antara umur masak dengan bobot 100 biji (Tabel 4). Korelasi antar karakter tersebut menunjukkan galur-galur rentan (skor layu tinggi) pada umumnya berumur genjah yang umumnya mempunyai ukuran biji

(6)

besar. Profil tersebut menunjukkan adanya peluang untuk mendapatkan galur-galur dengan kriteria seleksi yang telah ditetapkan.

Tabel 4. Korelasi antara skor layu pada umur 67 hari dengan umur panen dan bobot 100 biji pada populasi galur kedelai generasi F4. Malang, MK 2012.

Karakter Skor layu umur 67 hari Bobot 100 biji Bobot 100 biji 0,061ns

Umur masak -0,54** -0,31**

Varietas Grobogan sebagai pembanding genjah masak pada umur 73 hari. Pada kondisi normal, varietas tersebut masak pada umur 74–76 hari. Kondisi kekeringan mengakibatkan varietas pembanding genjah tersebut masak lebih cepat satu hari. Keadaan yang sama terjadi pada varietas pembanding toleran (Dering1 dan Tidar) dan varietas pembanding rentan kekeringan (MLGG 0040) (Tabel 5). Cekaman kekeringan juga dapat memperpendek fase pengisian biji (R7) varietas Elgi 87 yang diberi perlakuan cekaman kekeringan pada percobaan pot (Brevedan & Egli 2003). Dering1 dan MLGG 0040 mem-punyai tingkat kelayuan yang sama, perbedaan kedua varietas tersebut terdapat pada ka-rakteristik agronominya. Dering1 pada tingkat cekaman yang sama memberikan hasil dan mutu hasil biji yang tinggi. Pada MLGG 0040, biji yang dihasilkan mengalami perubahan bentuk yang cukup besar, dari lonjong menjadi pipih sehingga secara fisik tidak menarik. Perubahan bentuk biji yang cukup ekstrem menunjukkan genotipe tersebut rentan secara morfologik. Varietas Grobogan di samping rentan berdasarkan skor kelayuan juga rentan berdasarkan bentuk biji yang menjadi pipih meskipun ukuran biji (bobot 100 biji) masih tergolong besar (>14 g/100biji). Penurunan hasil dan ukuran biji merupakan pengaruh negatif cekaman kekeringan yang sering dilaporkan. Brevedan & Egli (2003) melaporkan penurunan hasil biji dan ukuran biji masing-masing hingga 44% dan 32%. Sedangkan Suhartina (2007) melaporkan penurunan hasil yang lebih tinggi pada beberapa varietas unggul.

Tabel 5. Umur masak, ukuran biji, dan skor layu varietas pembanding pada populasi galur kedelai generasi F4. Malang, MK 2012.

Varietas pembanding Umur masak (hari) Ukuran biji (g/100 biji)

Skor layu pada umur (hari) 60 67 70

Grobogan 73 19,5 3 4 5

Tidar 73 7,1 1 3 4

Dering 1 84 11,5 1 2 3

MLGG 0040 84 6,7 1 2 3

Berdasarkan skor layu, umur masak, dan ukuran biji, terpilih 524 tanaman zuriat dari tujuh seri persilangan (Tabel 6). Pemilihan galur berdasarkan karakteristik biji, selain ber-dasarkan ukuran biji juga memperhatikan perubahan bentuk biji melalui pengamatan visual. Galur-galur dengan skor kelayuan rendah berumur genjah dan berbiji besar namun bentuk biji pipih tidak disertakan dalam seleksi lanjutan. Umur masak galur-galur terpilih berkisar antara 71–74 hari, sedangkan Grobogan, varietas pembanding umur genjah, masak pada umur 73 hari. Semua galur terpilih mempunyai ukuran biji besar, 69 galur

(7)

terpilih berkisar antara 20–24,6 g/100 biji. Ukuran biji besar dan warna biji kuning merupakan karakteristik varietas yang dikehendaki pengrajin tempe. Lebih dari 90% kedelai di Indonesia digunakan sebagai bahan pangan, 88% diantaranya diolah menjadi tempe dan tahu (Damardjati et al. 2005). Karakteristik biji kedelai untuk bahan baku tempe dan tahu tidak sama. Produk tahu menghendaki bahan baku dengan kadar protein tinggi (Ginting 2010), sedangkan tempe menghendaki kedelai berukuran biji besar dan warna kuning (Krisdiana 2005). Umur genjah dan daya hasil tinggi merupakan karakteristk unggulan untuk peningkatan produktivitas dan stabilitas hasil kedelai di lahan sawah dengan periode ketersediaan air terbatas.

Tabel 6. Jumlah galur terpilih per seri persilangan, dan rata-rata umur masak dan ukuran biji galur-galur kedelai generasi F4. Malang, MK1, 2012.

No. Seri persilangan tanaman terpilih Jumlah

Rata-rata Umur masak (hari) Bobot 100 biji (g) 1 Argopuro/Pangrango/Sibayak 2 74 15,0 2 Grobogan/Argopuro/Pangrango 121 72 16,5 3 Grobogan/IAC 100/Bur/Kaba 138 71 17,4 4 Grob/IAC 100/Tanggamus 41 72 16,2 5 Grob/Malabar/IAC 100 84 74 16,4 6 IAC 100/Bur/Kaba/Grobogan 116 72 17,3 7 IAC 100/Malabar 22 71 15,9

KESIMPULAN

1. Tanaman kedelai generasi F4 mengalami cekaman kekeringan selama fase reproduktif, diindikasikan oleh kadar air tanah yang berkisar antara 24–31%. Kadar air tanah pada kondisi kapasitas lapang (pF 2,5) pada lahan percobaan adalah 42,5%, sedangkan pada kondisi titik layu permanen (pF 4,2) 30,5%.

2. Terdapat keragaman kelayuan daun, umur masak, dan ukuran biji galur kedelai generasi F4 sebagai galur terhadap cekaman kekeringan.

3. Terdapat 524 tanaman zuriat tujuh seri persilangan tahan layu (skor layu ≤2), umur genjah (71–74 hari), dan biji besar (20–24,6 g/100 biji). Galur-galur tersebut merupakan bahan seleksi lanjutan sehingga terdapat peluang untuk mendapatkan galur kedelai toleran layu, berumur genjah, sekaligus berukuran biji besar.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terima kasih disampaikan kepada Pemerintah Korea Selatan melalui AFACI Project yang telah memberikan dana penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abayomi. Y. A. 2008. Comparative growth and grain yield responses of early and late maturity groups to induced soil moisture stress at different growth stages. World J. of Agric. Scie. 4(1) : 71–78.

(8)

senescence, and yield of soybean. Crop Sci. 43: 2083–2088.

Caldwell C.R., S.J. Britz, and R.M. Mirecki. 2005. Effect of temperature, elevated carbon dioxide, and drought during seed development on the isoflavone content of dwarf soybean [Glycine max (L.) Merrill] grown in controlled environments. J. of Agric. and Food Chem. 53(4): 1125–1129.

Damardjati, D. S., Marwoto, D.K.S. Swastika, D. M. Arsyad, dan Y. Hilman. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis kedelai. Badan litbang Pertanian. Dep. Pertanian, Jakarta. Del Rosario D.A., EM Ocompo, AC Sumague, CM Maria. 1993. Adaptation of vegetable

legume to drought stress. P. 360–371. In Kuo, C.G. (Ed.). Adaptation of food crop to temperature and water stress. Proc. Int. Symp. AVRDC, Taiwan.

Desclau D, T Huynh, P Roumet, 2000. Identification of soybean plant characteristics that indicate the timing of drought stress. Crop Scie. 40(3):716–722.

Foroud, N., H. -H. Mündel, G. Saindon, T. Entz. 1993. Effect of level and timing of moisture stress on soybean plant development and yield components. Irrigation Sci. 13(4): 149–55 Garay AF and WW Wilhelm. 1983. Root system characteristics of two soybean isolines

undergoing water stress conditions. Agron. J. 75: 973–977.

Ginting, E. 2010. Petunjuk teknis produk olahan kedelai. Materi Pelatihan Agribisnis bagi KMPH, November 2010. 15 hal.

Harsono, A., R.D. Purwaningrahayu, dan A. Taufiq. 2007. Pengelolaan air dan drainase pada budidaya kedelai. Hal. 253–280. Dalam Sumarno et al. (penyunting). Kedelai: Teknik Produksi dan pengembangan. Puslitbangtan, Bogor.

Huang B, Fry J, Wang B. 1998. Water relations andcteristics of Tall fescue cultivars during and after regrowth and wilting scales indicates the potential value of drought stress. Hort Sci. 33(5):837–840.

Huck, MG, K Ishihara, CM Peterson, and T Ushiyama. 1983. Soybean adaptation to water stress at selected stages of growth. Plant Physiol 73:422–427.

Kobraee and Keyva Shamsi. 2011. Effect of irrigation regimes on quantitatie traits of soybean. Asian J. Exp. Biol. Scie. 2(3):441–448. http://www.ajebs.com. Tanggal akses 12 Agustus 2013.

Krisdiana, R., Heriyanto, F. Rozi, M. Rakhmad, I. Strisno, N. Prasetyawati, dan E. Ginting. 2005. Karakteristik preferensi konsumen terhadap permintaan komoditas kedelai sebagai bahan baku industri. Laporan Teknik tahun 2004 (Tidak dipublikasikan).

Lam-Son PT and HT Nguyen. 2009. Approaches to improve soybean drought resistance. Plant & Cell Physiol Adv. http://www.oxfordjournals.org. Akses tanggal 19 Juli 2010.

Liu, F., CR Jensen, and MN Andersen. 2004. Drought stress effect on carbohydrate concen-tration in soybean leaves and pods during early reproductive development: its implicaton in altering pod set. Field Crops Res. 86:1–3.

Ober ES, ML Bloa, CJA Clark, A Royal, KW Jaggard, Pidgeon JD. 2005. Evaluation of phy-siological traits as indirect selection criteria for drought tolerance in sugar beet. Field Crop Res. 91:231–249.

Ohashi Y., H. Sdaneoka, and K. Fujita. 2000. Effect of water stress on growth, photosybthesis, and photoassimilat translocation in soybean and tropical pasture legume siratro. Soil Scie. Plant Nutr. 46(2):417–425.

Pungulani LLM, PM James, MW Warren, Mackson Banda. 2013. Improvement of leaf wilting scoring system in cowpea (Vigna unguiculata (L) Walp.): From qualitative scale to quantitative index . AJCS 7(9):1262–1269.

Rachman, A., IGM Subiksa, dan Wahyunto. 2007. Perluasan areal tanaman kedelai ke lahan suboptimal. Hal. 185–204. Dalam Sumarno et al. (penyunting). Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Puslitbangtan, Bogor.

(9)

Contributing to Diferential Canopy Wilting in Soybean under Drought. Crop Sci. 52:272– 281.

Singh G. 2010. Water management in soybean. p191–208 in G Singh (ed.). The soybean, Botany, Productiion, and Uses. CAB Internat.

Suhartina. 2007. Evaluasi galur harapan kedelai hitam toleran kekeringan dan berdaya hasil tinggi. Hlm 153–161. In D. Harnowo et al. (eds.). Prosiding Seminar Peningkatan Pro-duksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan. Puslit-bangtan, Bogor. 628 hlm.

Turner NC, GC Wright and KHM Siddique. 2001. Adaptation of grain legumes (pulses) to water limited environments. Adv. Agron. 71: 193–23.

Yee-Shan K, W Au-Yeung, Y Yung, M Li, C Wen, X Liu, and H Lam. 2013. Drought stress and tolerance in soybean. http://dx.doi.org/10.5772/52945. Tanggal akses 14 April 2013.

Gambar

Tabel 1. Klasifikasi skor layu tanaman menurut Del Rosario et al. (1993).
Gambar 1. Kadar air tanah pada beberapa tingkat potensial air tanah dan kadar air tanah selama   fase reproduktif pada evaluasi toleransi galur-galur kedelai generasi F4 terhadap
Tabel 2. Rata-rata skor layu pada galur-galur generasi F4 beberapa seri persilangan dan varietas  pembanding pada umur tanaman 60, 67, dan 70 hari
Tabel 5. Umur masak, ukuran biji, dan skor layu varietas pembanding pada populasi galur kedelai  generasi F4
+2

Referensi

Dokumen terkait

Cara yang pertama ini merupakan cara yang paling sempurna, terutama dalam hal merumuskan tindak pidana dalam bentuk pokok atau standar dengan mencantumkan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuiFaktor - Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Premenstrusi Syndrome Pada Remaja Putri Kelas X SMK PGRI 2 Kota Jambi Tentang Premenstruasi

Pemerintah kota (pemkot) saat itu dinilai tidak mampu mengambil langkah-langkah efektif dalam mengatasi masalah ini. Para pemegang kekuasaan di tingkat kota memiliki pandangan

Oleh sebab itu pula, kemungkinan terjadinya dualistik aktivitas kota dalam kawasan ini sangat tinggi, yaitu selain di sektor formal, yang paling signifikan adalah pada sektor

Pada keluarga Bapak Saim, yang mana dalam orientasi bertaninya telah mengalami pergeseran dikarenakan bahwa tidak ingin mengganggu pendidikan anaknya, bapak Saim

Jadi, para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in serta pengikut mereka di seluruh penjuru dunia adalah orang-orang yang lebih berhak untuk kita cintai (meskipun kita tidak punya

Strong-form EMH berpendapat bahwa harga saham merefleksikan seluruh informasi baik yang bersifat public maupun private. Implikasinya, tidak ada investor yang mampu

Dengan terlebih dahulu menganalisis luasan yang dibutuhkan (lihat Tabel 3 ) dan memperhatikan REL diagram (lihat Gambar 1). Penempatan fasilitas produksi menggunakan tipe tata