• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potret Rumah Tangga yang Tinggal di Rumah Tidak Layak Huni Provinsi Papua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Potret Rumah Tangga yang Tinggal di Rumah Tidak Layak Huni Provinsi Papua"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Potret Rumah Tangga yang Tinggal di Rumah Tidak Layak Huni Provinsi Papua

La Usman

Widyaiswara Muda BBPPKS Jayapura lausman_03@gmail.com

Abstrak

Di Propinsi Papua masih banyak ditemukan rumah tangga yang tinggal di rumah tidak layak huni. Kajian ini melihat apa saja penyebab, dampaknya serta solusi terhadap mereka dengan menggunakan pendekatan studi kepustakaan. Hasil kajian menemukan bahwa: pertama, berbagai kebijakan pembangunan pemerintah pusat dan daerah pada masa lalu dan sebelum Otsus serta adanya keterisolasian serta kerentanan wilayah telah berdampak pada kondisi rumah warga yang tidak layak huni. Kedua, indikator ini terlihat dari luas tanah perkapita kurang dari 7,2 m2, jenis atap rumah terbuat dari daun atau lainnya, jenis dinding rumah terbuat dari bambu atau lainnya, jenis lantai tanah, sumber penerangan bukan listrik, tidak mempunyai fasilitas buang air besar sendiri serta jarak sumber air minum utama ke tempat pembuangan kotoran kurang dari 10 meter. Kedua, maka perlu dilakukan rehabilitasi sosial terhadap rumah warga agar menjadi layak huni.

Kata kunci: kemiskinan, rumah tidak layak huni, Propinsi Papua

Abstrak

In Papua Province there are still many households that live in uninhabitable homes. This study looks at what causes, causes solutions for them. This study uses a literature study. The results of the study found: firstly, various development policies of the central and regional governments in the past and before the Special Autonomy and the representation of representation and the balance of the region had an impact on homes that were not livable. Second, this indicator can be seen from the per capita land area of less than 7.2 m2, the type of house roof made of leaves or others, the type of house walls made of bamboo or other, the type of ground floor, the source of non­ electric lighting, does not provide its own large water delivery facilities Also the distance of the main drinking water source to the landfill is less than 10

(2)

meters. Secondly, it is necessary to do social work on residents’ homes to be livable.

Keywords: poverty, unsuitable houses, Papua Province

A. Latar belakang

Sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945 dan pasal 28 H Amandemen UUD 1945 bahwa rumah adalah salah satu hak dasar setiap rakyat Indonesia, maka setiap warga negara berhak untuk bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sebagai kebutuhan dasar manusia, maka rumah berfungsi sebagai tempat untuk berlindung, tempat untuk melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, tempat untuk beristirahat, tempat berkumpulnya keluarga, wadah bersosialisasi dengan manusia lainnya, dan sekaligus berfungsi untuk menunjukkan status sosial seseorang dalam masyarakat. Juga berfungsi dalam meningkatkan harkat, martabat, mutu kehidupan dan penghidupan, serta sebagai pencerminan diri pribadi dalam upaya peningkatan taraf hidup, serta pembentukan watak, karakter dan kepribadian bangsa. Sehingga perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Keberadaan rumah memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan manusia baik secara individu maupun keluarga mencakup aspek fisik, psikis dan sosial. Rumah tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai tempat perlindungan dari terpaan panas sinar matahari dan hujan, ancaman penyakit, serta serangan binatang. Rumah juga berfungsi sebagai tempat pengasuhan anak, bimbingan dan pendidikan serta tempat bersosialisasi nilai keagamaan, berinteraksi sebagai penyaluran rasa kasih sayang antar anggota keluarga.

Sebagai tempat berlindung maka rumah harus memenuhi unsur atau syarat fisik yang kuat, aman dan sehat, secara psikis harus dapat memenuhi rasa kenyamanan dan harga diri, sedangkan secara sosial harus dapat menjaga privasi setiap anggota keluarga. Rumah yang baik adalah rumah yang sehat atau sering disebut layak huni, yang harus diupayakan keberadaannya oleh setiap orang. Rumah layak huni adalah tempat tinggal yang memenuhi syarat kesehatan, keamanan dan sosial. Terpenuhinya kebutuhan rumah yang layak huni diharapkan dapat mewujudkan ketahanan keluarga. Sebaliknya jika tidak terpenuhi akan menimbulkan permasalahan, seperti keterlantaraan ataupun permasalahan kesejahteraan sosial keluarga.

(3)

Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua keluarga memiliki rumah layak huni. Untuk mewujudkan sebuah rumah yang baik atau layak huni tidak mudah, karena membutuhkan biaya tidak sedikit sehingga harus benar-benar direncanakan dan dipersiapkan dengan baik. Masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah pada umumnya memiliki keterbatasan untuk mewujudkan kebutuhan rumah yang layak huni, terlebih masyarakat yang tergolong miskin memiliki rumah hanya sebuah impian indah yang mungkin sulit diwujudkan apabila tidak ada intervensi dari pihak lain. Fungsi rumah bagi keluarga fakir miskin yang utama sebagai tempat berteduh atau tempat tinggal, tanpa memperhatikan kelayakan atau persyaratan fisik, psikis dan sosial karena berbagai keterbatasan, seperti penghasilan rendah yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar makan sehingga sangat sulit untuk mewujudkan rumah tinggal yang layak. Keterbatasan pengetahuan tentang fungsi rumah bukan hal penting bagi fakir miskin tetapi kendala utama adalah ketiadaan biaya dikarenakan miskin sehingga tidak berdaya untuk mewujudkan rumah yang layak huni.

Kemiskinan merupakan persoalan mendasar yang dihadapi oleh banyak keluarga di dunia, termasuk Indonesia. Menurut Kementerian PPN/Bappenas (2018: 7) secara absolut, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 25,95 juta penduduk. Dari jumlah tersebut, sebanyak 61,32 persen diantaranya bertempat tinggal di wilayah perdesaan dan umumnya bekerja pada sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa masalah kemiskinan di Indonesia merupakan permasalahan yang dominan di daerah perdesaan. Sebagian besar penduduk miskin, yakni 74,45 persen, terkonsentrasi di Kawasan Barat Indonesia (KBI), terutama di pulau Sumatera dan Jawa. Tingginya jumlah penduduk miskin di kedua pulau ini merupakan hal yang wajar mengingat lebih dari separuh penduduk Indonesia tinggal di kedua pulau ini. Namun, apabila dilihat dari tingginya tingkat kemiskinan, provinsi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) lebih mendominasi dengan angka kemiskinan yang relatif lebih tinggi. Wilayah dengan kemiskinan tinggi dapat dicirikan sebagai berikut: 1) mengalami tingkat kemiskinan lebih dari 15 persen selama 3 tahun berturut-turut; 2) mengalami perlambatan laju penurunan kemiskinan; dan 3) memiliki permasalahan kemiskinan multidimensi. Beberapa provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi terdiri atas Provinsi Papua (27,74 persen), Papua Barat (23,01 persen), NTT (21,35 persen), Maluku (18,12 persen), Gorontalo (16,81 persen), Aceh (15,97 persen), dan Bengkulu (15,43 persen).

(4)

Menurut Bappenas berbagai faktor penyebab kemiskinan, dapat dikelompokkan ke dalam enam faktor. Pertama, faktor kondisi alam dan lingkungan, seperti meningkatnya kerusakan lingkungan. Kedua, distribusi sumber daya yang tidak merata, dan bencana alam yang sering terjadi. Ketiga, faktor penduduk, yaitu tingginya pertumbuhan penduduk sehingga menekan sumber daya alam dan adanya migrasi penduduk dari perdesaan ke perkotaan. Keempat, faktor eksploitasi yang terjadi antarkelas, antarkelompok, antarwilayah, dan antarnegara, termasuk adanya hubungan ekonomi internasional yang tidak seimbang antara negara maju dan negara berkembang. karakteristik fisik dari kelompok miskin seperti kurang gizi, kondisi lingkungan yang tidak sehat, perumahan yang kurang layak, lingkungan yang kurang nyaman, dan kondisi iklim yang tidak menentu menjadi penyebab kemiskinan di perdesaan. Kelima, faktor kelembagaan dan struktural seperti adanya berbagai kebijakan pemerintah yang tidak tepat dan cenderung mengabaikan daerah perdesaan. Keenam, faktor teknologi yang merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mendorong dan meningkatkan produktivitas usaha tani atau pertanian, yang juga merupakan mata pencaharian utama dari mayoritas penduduk perdesaan termasuk di dalamnya penduduk miskin di negara berkembang.

Kondisi kemiskinan menyebabkan keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan tempat tinggal layak bagi diri dan keluarganya. Tidak semua orang mampu memenuhi kebutuhan perumahan. Kemampuan rumah tangga memenuhi kebutuhan perumahan berkaitan langsung dengan status sosial ekonomi rumah tangga dimaksud, artinya apabila rumah tangga dalam kondisi ekonomi lemah atau miskin maka rumah tangga itu tidak akan mampu memenuhi kebutuhan rumah layak huni (Suradi dkk., 2012). Dalam kondisi miskin keluarga sulit untuk memenuhi kebutuhan dasarnya termasuk kebutuhan rumah tinggal layak. Salah satu ciri yang menonjol dari masyarakat miskin adalah tidak adanya akses ke sarana dan prasarana dasar lingkungan, yang ditandai dengan kualitas perumahan dan permukiman yang jauh di bawah standar kelayakan, seperti sanitasi yang buruk dan akses kesehatan (Sabarisman, 2011).

Selain itu, data Susenas menunjukkan bahwa di Indonesia pada tahun 2015 terdapat rumah tidak layak huni sebesar 32.992.000 atau 4,91 persen, hampir tidak layak huni sebesar 77.925.000 atau 11.59 persen serta rumah layak huni sebanyak 561.384.000 atau 83,50 persen. Selain itu, terdapat 9,58 persen yang memiliki luas lantai perkapita kurang dari 7,2 m2. Terdapat jenis atap rumah

(5)

terbuat dari daun atau lainnya sebesar 2,00 persen. Terdapat jenis dinding rumah terbuat dari bambu atau lainnya sebesar 8,62 persen dan jenis lantai tanah sebesar 6,77 persen. Penggunaan sumber penerangan bukan listrik sebesar 2,46 persen. Yang tidak mempunyai fasilitas buang air besar (WC) sendiri sebesar 25,66 persen serta jarak sumber air minum utama ke tempat pembuangan kotoran atau tinja kurang dari 10 m. Demikian pula status bangunan rumah warga.

Status penguasaan bangunan merupakan salah satu faktor yang dapat membuat seseorang menjadi nyaman dan aman dalam memenuhi tempat tinggalnya. Rumah tangga yang memiliki penguasaan bangunan milik sendiri dalam jangka panjang akan merasa lebih nyaman dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki penguasaan bangunan bukan milik sendiri, misalnya mengontrak atau menyewa. Jangka waktu untuk tinggal di rumah kontrak biasanya sudah ditentukan oleh pemilik rumah, sehingga harus rela jika sewaktu-waktu diminta meninggalkan rumah kontrakan. Data Susenas menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga di Indonesia (sekitar 82,63 persen) memiliki sendiri bangunan tempat tinggal, sisanya sebanyak 8,08 persen memiliki bangunan dengan status kontrak atau sewa dan sebesar 9,29 persen memiliki status lainnya. Misalnya menempati rumah dinas atau rumah bebas sewa. Bila dilihat menurut tipe daerah, status bangunan tempat tinggal milik sendiri di perdesaan lebih besar dibandingkan dengan perkotaan (91,44 persen berbanding 73,87 persen. Sementara itu, sebanyak 14,99 persen di perkotaan lebih banyak rumah tangga yang menempati bangunan tempat tinggalnya dengan status kontrak atau sewa atau lainnya (11,14 persen) daripada di perdesaan (1,14 persen dan 7,43 persen.

Selain itu, kualitas suatu rumah apabila diukur dengan tingkat aksesibilitas terhadap prasarana, sarana, dan utilitas (PSU), seperti ketersediaan air bersih, listrik dan jamban masih banyak dijumpai pada keluarga miskin. Pada tahun 2007 Badan Pusat Statistik mencatat sebanyak 21,1 persen rumah tangga di Indonesia belum dapat mengakses air bersih, sebanyak 8,54 persen rumah tangga masih belum mendapatkan sambungan listrik dan sebanyak 22,85 persen rumah tangga tidak memiliki akses terhadap jamban. Tingginya jumlah masyarakat yang tinggal di rumah yang belum memenuhi standar layak huni menjadi indikasi mengenai kondisi perekonomian masyarakat yang masih lemah, sehingga tidak mampu secara swadaya melakukan perbaikan ataupun peningkatan kualitas atas kondisi rumah tempat tinggalnya. Berbagai realitas di atas ditemukan pula di Propinsi Papua.

(6)

Berangkat dari paparan di atas, maka tulisan ini ingin mencermati apa penyebab, karakteristik serta bagaimana solusi terhadap mereka yang tinggal di rumah tidak layak huni.

Dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 2011 disebutkan bahwa rumah tidak layak huni adalah rumah yang tidak memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, kecukupan minimum luas bangunan, serta kesehatan penghuni. Sedangkan pengertian RTLH berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial RTLH dan sarana Lingkungan Tahun 2015 adalah tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat kesehatan, keamanan dan sosial. Karakteristik rumah tidak layak huni merupakan salah satu indikator keluarga miskin, meliputi luas bangunan tempat tinggal kurang dari 8 meter persegi per orang. Jenis bangunan lantai tempat tinggal terbuat dari tanah, bambu, kayu kualitas rendah; Jenis dinding terbuat dari bambu, rumbia, kayu kualitas rendah atau tembok tanpa plester. Tidak memiliki fasilitas buang air besar atau bersama dengan rumah tangga lain. Sumber air berasal dari sumur atau mata air tidak terlindungi (sungai, air hujan). Sumber penerangan tidak menggunakan listrik. Jenis bahan bakar untuk memasak sehari hari menggunakan kayu bakar, arang, minyak tanah. Hanya mengkonsumsi daging, ayam dan susu sekali dalam seminggu. Hanya sanggup makan satu atau dua sehari. Hanya sanggup membeli pakaian baru sekali per tahun. Hanya sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas atau poliklinik. Pendapatan kepala keluarga tidak lebih dari Rp 600.000. Pendidikan kepala keluarga tertinggi hanya tamat SD atau tidak tamat. Tidak memiliki tabungan atau aset yang mudah dijual dengan nilai Rp 500.000, (Kementerian Sosial 2010).

Untuk menjawab ketiga pertanyaan di atas, maka digunakan pendekatan studi literatur, dengan data yang diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, dan/atau sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain. Melalui tulisan ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang potret karakteristik rumah tangga yang tinggal di rumah tidak layak huni di Propinsi Papua.

(7)

B. Temuan dan Pembahasan

1. Penyebab tingginya rumah tidak layak di Propinsi Papua

Tingginya berbagai hal yang terkait dengan rumah tangga yang tinggal di rumah tidak layak huni di propinsi ini tidak terlepas dari persoalan kemiskinan yang masih banyak dialami rakyat. Kondisi ini diakibatkan oleh kebijakan pembangunan pemerintah pusat dan daerah ini pada masa lalu hingga sekarang. Menurut Taufik Abdullah dalam Bandiyono (2004: iv) bahwa adanya era Demokrasi Terpimpin dan rejim Orde Baru telah menghasilkan sifat oligarkis yang menempatkan Jawa sebagai sentral kegiatan dan melupakan wilayah Papua. Akibatnya kehidupan warga di wilayah ini menjadi terbelakang atau kehidupan mereka tidak banyak mengalami perubahan. Selanjutnya, menurut Hadi dkk (2007: 35) dan Al Rahab (2006: 47) penerapan kebijakan pemerintah yang menekankan penguatan integrasi politik dengan mengedepankan pendekatan politik dan keamanan di wilayah Papua pada masa lalu, telah melupakan perbaikan sektor hajat hidup orang banyak. Akibatnya sektor-sektor yang menyentuh hayat hidup orang banyak kurang mendapatkan perhatian yang memadai. Kondisi kehidupan penduduk tidak banyak berubah. Menurut Sumule (2003: 4&) kondisi pendidikan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik pada kabupaten kota di Papua (termasuk Papua Barat) sejak integrase hingga sebelum Otsus sangat memprihatinkan, terutama bagi masyarakat asli Papua yang menjadi mayoritas. Kondisi ini telah mendorong ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Sebagai jalan tengah atas kondisi ini lalu didorong lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua guna mempercepat penanganan ketertinggalan penduduk dan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Untuk tujuan ini pemerintah telah menggontorkan dana sebesar 13 trilyun hingga tahun 2018. Namun evaluasi pemerintah daerah Propinsi Papua terhadap implementasi Otsus selama dua belas tahun menunjukkan bahwa program pengurangan kemiskinan belum memberikan dampak yang signifikan pada masyarakat asli Papua. Banyak kondisi ekonomi warga asli Papua sebelum dan sesudah Otsus tidak mengalami perubahan. Menurut Damayanti dkk (2014: 129) hal tersebut disebabkan karena tersendatnya pembangunan infrastruktur, belum terlaksananya sistem pendidikan khusus yang menjangkau masyarakat Papua, terkendalanya penyiapan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan, serta masih terisolasinya wilayah-wilayah sasaran. Keterisolasian yang disebabkan oleh kondisi topografi wilayah yang

(8)

bergunung dan berlembah, selain menghambat pergerakan penduduk, barang dan jasa serta upaya pelayanan dasar kepada masyarakat juga menghambat upaya pemerataan hasil pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang terjadi hanya dinikmati oleh segelintir orang di pusat kota atau dekat dengan kota, yang memiliki akses lebih besar dibandingkan dengan daerah pedalaman.

Keterisolasian sebagai dampak dari kondisi topografi yang sulit merupakan penyebab utama tingginya kemiskinan. Provinsi dengan kemiskinannya yang tinggi ini memiliki tingkat aksesibilitas yang masih sangat terbatas. Kondisi antar kabupaten di Papua dipisahkan oleh pegunungan dan lembah serta sebagian lautan pada wilayah selatan yang sulit dijangkau. 63 persen desa di kabupaten wilayah Papua terletak di lembah dan lereng gunung. Kesulitan geografis di propinsi ini dikelompokkan menjadi 3 wilayah yaitu wilayah dataran tinggi/ pegunungan, wilayah pesisir sulit dan wilayah pesisir mudah. Kesulitan di propinsi ini hampir merata kecuali di sebagian wilayah pesisir. Pulau Papua sangat luas dengan jumlah penduduk yang tersebar tidak merata dan berkelompok menurut sukunya masing-masing. Kabupaten dengan tingkat kemiskinan tinggi baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat, terletak di wilayah pegunungan, dengan kondisi geografis yang cukup sulit. Hampir 54 persen penduduk miskin di Provinsi Papua terkonsentrasi di beberapa kabupaten seperti Kabupaten Jaya Wijaya, Yahukimo, Lanny Jaya, Paniai, Tolikara, Punca Jaya, Puncak, Nabire, Biak Numfor, dan Nduga (BPS, 2017).

Kondisi dan topografi yang sulit dijangkau menyebabkan pengembangan potensi ekonomi memiliki banyak tantangan. Pola permukiman penduduk yang cenderung berpencar di kawasan pegunungan dan lembah juga menjadi tantangan. Ini mengakibatkan keterbatasan akses terhadap pelayanan dasar dan bantuan. Kehidupan masyarakat tetap terbelakang sehingga sulit keluar dari kemiskinan. Selain itu, pola permukiman penduduk yang cenderung berpencar di kawasan pegunungan dan lembah menyebabkan sulitnya akses terhadap pelayanan dasar dan bantuan kepada masyarakat miskin sehingga biayanya menjadi sangat besar dan tidak efisien.

Faktor kerentanan lain yang menyebabkan penduduk wilayah Papua mudah terjerumus ke kemiskinan adalah rendahnya kualitas lingkungan. Banyak masyarakat yang tinggal di rumah tidak layak huni, seperti lantai rumah berupa tanah, dinding terbuat dari kayu papan biasa, sulit menjangkau air bersih bahkan

(9)

harus membeli, dan sanitasi dasar jauh dari memadai. Berdasarkan Podes 2018, sebesar 8 persen desa di Indonesia tidak memiliki jamban. Provinsi yang mayoritas warganya tidak memiliki jamban adalah Papua (45 persen) dan Papua Barat (18 persen).

Berdasarkan temuan lapangan Bappenas (2018: 7) bahwa kemiskinan di propinsi Papua memiliki beberapa karakteristik. Pertama, kemampuan membaca dan menulis dari kepala keluarga rumah tangga miskin lebih rendah dibandingkan dengan rumah tangga tidak miskin. Kedua, tingkat pendidikan kepala keluarga yang diukur dengan rata-rata lama sekolah lebih sedikit dibandingkan dengan rata-rata lama sekolah kepala keluarga rumah tangga tidak miskin. Ketiga, rumah tangga miskin pada umumnya menggantungkan hidupnya pada kegiatan di sektor pertanian, dan kepala keluarga rumah tangga miskin pada umumnya berstatus sebagai pekerja informal. Keempat, akses rumah tangga miskin ke sumber air bersih lebih rendah bila dibandingkan dengan rumah tangga yang tidak miskin. Juga termasuk rumah tidak layak huni yang banyak ditempati warga miskinan. Kesemua factor di atas ikut berkontribusi pada tingginya tingkat kemiskinan penduduk serta rumah tidak layak huni yang masih banyak dijumpai di wilayah perkotaan dan perkampungan propinsi Papua.

Pada awal pelaksanaan otonomi khusus (tahun 2001), jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua mencapai 900.800 jiwa atau 41,8% dari total penduduk provinsi ini. Pada tahun 2011 jumlah penduduk miskin mencapai 966,59 ribu jiwa. Hal ini cukup memprihatinkan karena persentase penduduk miskin di Provinsi Papua selama periode 2001–2011 selalu berada di peringkat tertinggi di Indonesia. Kontras dengan besarnya APBD yang diterima provinsi ini pada tahun 2011 di mana APBD provinsi tersebut berada di peringkat ketujuh tertinggi se-Indonesia, yaitu 23,9 triliun rupiah.

Pada perkembangan berikutnya kondisi kemiskinan penduduk Papua sedikit mengalami penurunan. Data Kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa terdapat penduduk miskin pada Maret 2018 sebesar 27,74% atau 915.420 orang. Menurut BPS Papua (2019: 12) penyebab meningkatnya angka kemiskinan di Papua yakni inflasi yang melebih inflasi nasional, perekonomian pada triwulan IV 2018 yang mengalami penurunan sebesar 15,66 persen, tingkat pengangguran terbuka di Papua mengalami peningkatan pada Pebruari 2019 sebanyak 3,42 persen. Kondisi kemiskinan penduduk ini tersebar merata pada 28 daerah tingkat II. Badan Pusat Statistik

(10)

mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak lebih jauh disebutkan kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada dibawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan yang disebut garis kemiskinan (proverty line) atau disebut juga batas kemiskinan (poverty treshold).

Namun sebagian lembaga melihat kemiskinan tidak lagi terbatas hanya pada aspek ekonomi semata, melainkan lebih luas lagi atau yang dikenal sebagai kemiskinan pendapatan. Kemiskinan selama ini sering dikonsepsikan dalam konteks ekonomi yaitu ketidakcukupan pendapatan dan aset untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Tetapi sebenarnya pengertian kemiskinan jauh lebih luas dari sekedar penurunan pendapatan dan asset. Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan berkaitan dengan ketiadaan tempat tinggal, rendahnya tingkat kesehatan dan pendidikan. Kemiskinan berkaitan dengan ketiadaan lapangan pekerjaan. Kemiskinan berkaitan dengan kehilangan anak karena penyakit yang disebabkan oleh ketiadaan akses terhadap air bersih. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan, dan kurangnya keterwakilan atau representasi, dan kebebasan. Edi Suharto (2009:16) mengungkapkan pengertian kemiskinan pada hakikatnya menunjuk pada situasi kesengsaraan dan ketidakberdayaan yangdialami seseorang, baik akibat ketidakmampuannya memenuhi kebutuhan hidup, baik maupun akibat ketidakmampuan negara atau masyarakat memberikan perlindungan sosial kepada warganya

Lebih lanjut, menurut Sen (1999), kemiskinan tidak cukup hanya diukur dengan ukuran pendapatan saja, tetapi juga terkait hilangnya kapabilitas (deprivasi kapabilitas). Kapabilitas merupakan kebebasan seseorang untuk menjalankan fungsinya (keberfungsian) sebagai manusia. Hal ini menentukan apa yang akan dilakukannya terhadap sumber daya yang dimilikinya. Kapabilitas seseorang untuk menjalankan fungsinya tersebut dapat menentukan status seseorang apakah termasuk dalam kategori miskin atau tidak. Untuk mengatasi deprivasi kapabilitas, diperlukan investasi sumber daya manusia dan peningkatan peranan pemerintah. Berbagai penyebab yang berdampak pada kondisi kemiskinan penduduk di atas, ikut berpengaruh pada keberadaan rumah warga yang umumnya berkarakter rumah tidak layak huni.

Data Susenas tahun 2015 menunjukkan bahwa di wilayah perkotaan Propinsi Papua terdapat rumah tidak layak huni sebanyak 5.626 buah (2,85

(11)

persen), rumah hampir tidak layak huni sebanyak 14.284 buah (7,24 persen), rumah layak huni sebanyak 177.286 (89,90 persen). Sementara itu pada wilayah perkampungan Papua terdapat rumah tidak layak huni sebanyak 295.505 buah (48,95), rumah hampir tidak layak huni sebanyak 99.192 buah (16,43 persen) serta rumah layak huni sebesar 208.949 buah (34,61 persen). Selanjutnya apabila kita gabungkan kedua wilayah dengan kriteria yang sama maka terdapat rumah layak huni sebanyak 301.131 (37,60 persen), rumah hampir tidak layak huni sebanyak 113.476 (14,17 persen) serta rumah layak huni sebanyak 386.235 (48,23 persen).

Selanjutnya dilihat dari persentasi status bangunan tempat tinggal pada wilayah perkotaan Papua, maka terdapat status milik sendiri sebanyak 62,64 persen, status kontrak atau sewa sebanyak 11,06 persen, status lainnya sebanyak 26,30 persen. Sementara itu pada wilayah perkampungan Papua terdapat status milik sendiri sebanyak 93,47 persen, status kontrak atau sewa sebanyak 0,15 persen serta status lainnya sebanyak 6,39 persen. Selanjutnya apabila kedua wilayah kita gabungkan dengan kriteria yang sama, maka terdapat status milik sendiri sebanyak 92,89 persen, status kontrak atau sewa sebanyak 0,35 persen serta status lainnya sebanyak 6,75 persen.

Selanjutnya dilihat dari persentasi rumah tangga yang tinggal di rumah layak huni menurut propinsi dan luas lantai per kapita, maka data menunjukan bahwa untuk luas lantai perkapita lebih dari 7,2 m2, maka pada wilayah perkotaan Papua

terdapat 47,93 persen, pada wilayah perkampungan terdapat 32,24 persen serta kalau kedua wilayah digabung terdapat 32,43 persen. Selanjutnya dilihat dari luas lantai perkapita kurang dari 7,2 m2, maka pada wilayah perkotaan Papua terdapat

57,52 persen, pada wilayah perkampungan Papua terdapat 67,76 persen serta apabila kedia wilayah digabung untuk kriteria yang sama maka terdapat 67,57 persen.

Selanjutnya apabila dilihat dari persentasi rumah tangga yang tinggal di rumah tidak layak huni menurut propinsi dan bangunan fisik rumah yang digabungkan dari kedua wilayah (perkotaan dan perkampungan), maka data menunjukkan bahwa untuk penggunaan atap teluas dengan ijuk atau rumbiak atau lainnya terdapat 85,06 persen, penggunaan atap teluas bukan ijuk atau rumbia atau lainnya sebesar 14,94 persen. Selanjutnya penggunaan dinding terluas dengan bambu atau lainnya terdapat 12,78 persen serta penggunaan dinding bukan bambu atau lainnya terdapat 87,22 persen. Terakhir penggunaan

(12)

lantai terluas dengan tanah terdapat 55,88 persen serta penggunaan lantai dengan bukan tanah sebanyak 44,12 persen.

Selanjutnya apabila dilihat dari persentasi rumah tangga di rumah tidak layak huni yang tidak memiliki fasilitas tempat buang air besar sendiri, sumber penerangan bukan listrik, dan jarak sumber air minum ke tempat pembuangan kotoran atau tinja kurang dari 10 meter menurut tipe daerah untuk penggambungan wilayah perkotaan dan perkampungan, maka data menunjukkan bahwa untuk wilayah Papua terdapat yang tidak memiliki fasilitas tempat buang air besar sendiri sebanyak 80,87 persen, penggunaan sumber penerangan bukan listrik sebanyak 86,82 persen. Selanjutnya, terdapat jarak sumber air minum ke tempat pembuangan kotoran atau tinja kurang dari 10 meter sebanyak 11,57 persen.

2. Karakterstik Rumah tidak layak huni Propinsi Papua

Rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan estetika tergantung pada fasilitas yang tersedia. Beberapa fasilitas tersebut antara lain luas lantai yang dikuasai rumah tangga, sumber penerangan, dan ketersediaan air layak (sumber air minum). Rumah dikatakan layak sebagai bangunan tempat tinggal apabila rumah tersebut memiliki lantai, atas dan dinding. Di samping itu kualitas ketiga unsur tersebut juga menunjukkan tingkat kesejahteraan penghuninya. Setidaknya memiliki tingkat pendapatan di atas garis kemiskinan daerah setempat. Semakin baik kondisi dan kualitas rumah yang ditempati menggambarkan semakin baik keadaan sosial ekonomi rumah tangga. Sebaliknya rumah yang tidak sehat seperti banyak ditemui di wilayah Papua karena memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan daerah setempat juga karena belum memenuhi beberapa karaktetristik seperti:

a. Luas lantai per kapita

Kenyamanan seseorang sering dikaitkan dengan ruang yang didapati sehari-hari selama berada di rumah. Ruang ini terkait dengan luas lantai yang dikuasai rumah tangga tersebut. Selain itu juga sering diasosiakan dengan kapasitas atau kemampuan sosial masyarakat. Luas lantai yang dikuasai menjadi salah satu kriteria penentuan rumah tidak layak huni dengan menggunakan pendekatan luas lantai per kapita. Kriteria ketidaklayakan luas lantai per kapita baik daerah perkotaan maupun perdesaan Papua adalah kurang dari 7,2 m2. Data Susenas tahun 2015 memperlihatkan bahwa

(13)

persentasi kriteria pertama ini pada wilayah perkotaan Papua terdapat 17,35 persen. Sementara untuk wilayah perkampungan dengan kriteria yang sama terdapat 44,87 persen. Dari sisi wilayah untuk kriteria pertama ini terlihat persentasi wilayah perkampungan lebih besar dari wilayah perkotaan. Selanjutnya apabila digabungkan kedua wilayah untuk kriteria yang sama terdapat persentasi sebesar 38,10 persen dari propinsi di Indonersia.

Sementara itu apabila dilihat dari persentasi rumah tangga menurut propinsi dan luas lantai perkapita tahun 2015, data menunjukkan bahwa persentasi luas lantai perkapita lebih dari 7,3 m2 pada wilayah perkotaan Papua

terdapat 82,65 persen. Sementara persentasi untuk wilayah perkampungan Papua dengan kriteria yang sama terdapat 55,13 persen. Apabila dilihat dari sisi wilayah untuk kriteria ini maka persentasi terbesar terdapat pada wilayah perkotaan. Selanjutnya apabila kedua wilayah kita gabungkan dengan kriteria yang sama maka terdapat persentasi sebesar 61,90 persen.

Selanjutnya apabila dilihat dari persentasi rumah tangga menurut propinsi dan luas lantai perkapita kurang dari 7,2 m2, maka data Susenas

menunjukkan bahwa persentasi pada wilayah perkotaan terdapat 17,35 persen. Sementara untuk persentasi wilayah perkampungan dengan kriteria yang terdapat 44,87 persen. Atau dari sisi wilayah untuk kriteria ini persentasi terbesar terdapat pada wilayah perkampungan Papua. Selanjutnya apabila kita gabungkan kedua wilayah dengan kriteria yang sama terdapat persentasinya sebesar 38,10 persen dari propinsi di Indonesia.

Selanjutnya apabila dilihat dari persentasi rumah tangga dan status bangunan tempat tinggal, data Susenas menunjukkan bahwa di wilayah perkotaan Papua terdapat status milik sendiri sebesar 54,36 persen, status kontrak atau sewa sebesar 27,35 persen, serta lainnya sebesar 18,29 persen. Selanjutnya pada wilayah perkampungan terdapat status milik sendiri sebesar 90,62 persen, status kontrak sebesar 1,40 persen serta status lainnya sebesar 7,98 persen. Apabila kita gabungkan kedua wilayah dengan kriteria yang sama, data menunjukkan bahwa terdapat status milik sendiri sebanyak 81,69 persen, status kontrak atau sewa sebanyak 7,79 persen serta lainnya sebanyak 10,52 persen.

b. Jenis atap rumah terbuat dari daun atau lainnya.

Atap merupakan salah satu fasilitas rumah yang berguna sebagai pelindung dari panas dan hujan. Semakin baik jenis atap yang digunakan rumah tangga

(14)

maka rumah tersebut semakin baik sebagai tempat berlindung bagi anggota rumah tangga. Data Susenas tahun 2015 memperlihatkan bahwa persentasi untuk kriteria kedua pada wilayah perkotaan Papua terdapat 1,38 persen dari seluruh propinsi. Sementara persentasi untuk wilayah perkampungan Papua dengan kriteria yang sama terdapat 43,72 persen. Atau dari sisi wilayah persentasi lebih besar terdapat wilayah perkampungan. Sementara itu, apabila kita gabungkan kedua wilayah dengan kriteria yang sama, maka persentasinya terdapat 33,29 persen dari seluruh propinsi di Indonesia.

Selanjutnya apabila dilihat dari persentasi rumah tangga dan jenis atap terluas, data menunjukan bahwa di wilayah perkotaan Papua terdapat yang menggunakan genteng atau beton sebesar 2,46 persen, menggunakan siap atau seng atau asbes sebanyak 96,19 persen serta menggunakan ijuk atau rumbia atau lainnya sebesar 1,35 persen. Sementara itu, pada wilayah perkampungan Papua terdapat yang menggunakan genteng atau beton sebesar 0,38 persen, menggunakan sirap atau seng atau asbeas sebesar 55,89 serta yang menggunakan ijuk atau rumbiak atau lainnya sebesar 43,72 persen. Selanjutnya apabila kita gabungkan kedua wilayah dengan kriteria yang sama, data menunjukkan bahwa terdapat penggunaan genteng atau beton sebesar 0,89 persen, penggunaan sirap atau seng atau asbes sebesar 65,51 persen serta penggunaan ijuk atau rumbiak serta lainnya sebesar 33,29 persen.

c. Jenis dinding rumah terbuat dari bambu atau lainnya

Dinding rumah selain berfungsi sebagai pelindung dari panas dan hujan juga berfungsi sebagai pelindung dari binatang buas dan kejahatan, sehingga menjadi salah satu kriteria penentuan rumah tidak layak huni. Kelayakan rumah hunian dilihat dari dinding rumah jika jenis dinding rumah terbuat dari tembok atau kayu. Apabila di lihat dari persentasi rumah tangga menurut propinsi dan kriteria kelayakan rumah tempat tinggal, data memperlihatkan bahwa untuk wilayah perkotaan Papua terdapat penggunaan dinding rumah terbuat dari bambu atau lainnya sebesar 1,70 persen. Sementara itu pada wilayah perkampungan Papua terdapat penggunaan jenis dinding rumah terbuat dari bamboo atau lainnya sebesar 7,66 persen. Selanjutnya kedua wilayah kita gabungkan dengan kriteria yang sama, data menunjukkan terdapat penggunaan dinding rumah terbuat dari bamboo atau lainnya sebesar 6,19 persen.

(15)

Selanjutnya apabila dilihat dari persentasi rumah tangga menurut propinsi dan jenis dinding terluas, data menunjukkan bahwa pada wilayah perkotaan Papua terdapat penggunaan dinding tembok sebesar 71,12 persen, penggunaan dinding kayu sebesar 27,18 persen serta pengunaan dinding bamboo atau lainnya sebesar 1,70 persen. Sementara itu pada wilayah perkampungan Papua terdapat penggunaan dinding tembok sebesar 10,82 persen, penggunaan dinding kayu sebesar 81,51 persen serta penggunaan dinding bambu atau lainnya sebesar 7,66 persen. Selanjutnya apabila kita gabungkan kedua wilayah dengan kriteria yang sama, data menunjukkan bahwa terdapat penggunaan dinding tembok sebesar 25,67 persen, penggunaan dinding kayu sebesar 68,14 persen serta penggunaan dinding bambu sebesar 6,19 persen.

d. Jenis lantai tanah

Salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan anggota rumah tangga, terutama balita adalah jenis lantai rumah, sehingga jenis lantai rumah termasuk salah satu kriteria penentuan rumah tidak layak huni. Jenis lantai rumah yang dikategorikan tidak sehat adalah tanah. Dilihat dari persentasi rumah tangga menurut propinsi dan kriteria kelayakan rumah tempat tinggal, data menunjukkan bahwa pada wilayah perkotaan Papua terdapat penggunaan jenis lantai tanah sebesar 2,52 persen. Sementara itu pada wilayah perkampungan Papua terdapat jenis lantai tanah sebesar 29,28 persen. Selanjutnya, apabila kedua wilayah kita gabungkan dengan kriteria yang sama terdapat penggunaan jenis lantai sebesar 22,69 persen.

Selanjutnya, apabila dilihat dari persentasi rumah tangga menurut propinsi dan jenis lantai terluas, maka data menunjukkan bahwa pada wilayah perkotaan Papua terdapat penggunaan jenis lantai tanah sebesar 2,52 persen, penggunaan jenis lantai bukan tanah sebesar 97,48 persen. Sementara itu untuk wilayah perkampungan Papua terdapat penggunaan jenis lantai tanah sebesar 29,28 persen, pengunaan jenis lantai bukan tanah sebesar 70,72 persen. Sementara itu apabila kedua wilayah kita gabungkan untuk kriteria yang sama, data menunjukkan terdapat penggunaan jenis lantai tanah sebesar 22,69 persen serta penggunaan jenis lantai bukan tanah sebesar 77,31 persen.

(16)

e. Penerangan bukan listrik

Apabila dilihat dari persentasi rumah tangga menurut propinsi dan kriteria kelayakan rumah tempat tinggal, data Susenas menunjukkan bahwa pada wilayah perkotaan Papua terdapat penggunaan sumber penerangan bukan listrik sebesar 2,92 persen. Sementara itu untuk wilayah perkampungan Papua terdapat penggunaan sumber penerangan bukan listrik sebesar 61,17 persen. Apabila dilihat dari segi wilayah untuk kriteria ini terlihat bahwa persentasi terbesar terdapat pada wilayah perkampungan Papua. Selanjutnya apabila kedua wilayah kita gabungkan dengan kriteria yang sama, data Susenas menunjukkan bahwa terdapat penggunaan sumber penerangan bukan listrik sebesar 46,83 persen.

Selanjutnya dilihat dari persentasi rumah tangga yang tidak memiliki sumber penerangan bukan listrik maka data Susenas menunjukkan bahwa pada wilayah perkotaan Papua terdapat penggunaan sumber penerangan bukan listrik sebesar 2,92 persen. Sementara itu pada wilayah perkampungan Papua terdapat penggunaan sumber penerangan bukan listrik sebesar 61,17 persen. Secara kewilayahaan populasi terbesar untuk kriteria ini terdapat pada perkampungan Papua. Selanjutnya apabila kedua wilayah kita gabungkan dengan kriteria yang sama, data Susenas menunjukkan terdapat penggunaan sumber penerangan bukan listrik sebesar 46,83 persen.

f. Tidak Mempunyai fasilitas buang air besar (WC sendiri)

Fasilitas buang air besar merupakan salah satu kebutuhan penting dalam rumah tangga karena mempengaruhi kesehatan anggota keluarga rumah tangga yang tinggal di rumah tersebut. Rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas tempat buang air sendiri (menggunakan fasilitas tempat buang air bersama, fasilitas buang air umum, dan tidak tidak ada fasilitas tempat buang air) memiliki resiko besar dibandingkan rumah tangga yang memiliki sendiri. Selain kondisi bangunan fisik rumah, ketersediaan fasilitas buang air besar juga menjadi indikator untuk menentukan kelayakan huni suatu rumah. Rumah tangga yang rumahnya tidak memiliki fasilitas buang air besar sendiri tidak dapat dikatakan sebagai rumah yang layak huni. Apabila dilihat dari persentasi rumah tangga menurut propinsi dan kriteria kelayakan rumah tempat tinggal, data menunjukkan bahwa pada wilayah perkotaan Papua terdapat yang tidak mempunyai fasilitas buang air besar (WC sendiri) sebesar 17,79 persen. Sementara pada wilayah perkampungan

(17)

dengan kriteria yang sama terdapat 52,32 persen. Apabila kita bandingkan kedua wilayah dengan kriteria yang sama terlihat bahwa persentasi lebih besar terdapat pada wilayah perkampungan Papua. Selanjutnya apabila kedua wilayah kita gabungkan dengan kriteria yang sama terlihat yang tidak mempunyai fasilitas buang besar air besar (WC sendiri) sebesar 43,82 persen. Selanjutnya apabila dilihat dari persentasi rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas tempat buang air besar sendiri, data menunjukkan bahwa pada wilayah perkotaan terdapat persentasinya sebesar 17,79 persen. Sementara pada wilayah perkampungan terdapat persentasinya sebesar 52,32 persen. Atau sisi kewilayahan wilayah perkampungan lebih besar persentasinya pada wilayah perkotaan. Selanjutnya apabila kedua wilayah kita gabungkan untuk kriteria yang sama terdapat porsentasinya sebesar 43,82 persen.

g. Jarak sumber air utama ke tempat pembuangan kotoarn atau tinja kurang dari 10 meter.

Berdasarkan persentasi rumah tangga menurut propinsi dan kriteria kelayakan rumah tempat tinggal menunjukkan bahwa pada wilayah perkotaan Papua terdapat 2,56 persen yang memiliki jarak sumber air minum utama ke tempat pembuangan kotoran atau tinja kurang dari 10 meter. Sedangkan pada wilayah perkampungan Papua dengan kriteria yang sama terdapat 8,21 persen yang memiliki jarak sumber air minum utama ke tempat pembuangan kotoran atau tinja kurang dari 10 meter. Atau secara kewilayahaan untuk kriteria ini populasi lebih besar terdapat pada wilayah perkampungan Papua. Selanjutnya, apabila kedua wilayah kita gabungkan dengan kriteria yang sama, maka terdapat persentasinya sebesar 6,82 persen.

Selanjutnya apabila dilihat dari persentasi rumah tangga yang memiliki jarak sumber air minum ke tempat pembuangan kotoran atau tinja kurang dari 10 meter, data menunjukkan bahwa pada wilayah perkotaan Papua terdapat persentasi sebesar 19,75 persen dan pada wilayah perkampungan Papua terdapat 13,27 persen. Dari sisi wilayah, untuk kriteria yang sama maka populasi terbesar terdapat pada wilayah perkotaan. Selanjutnya apabila kedua wilayah digabungkan dengan kriteria yang sama maka terdapat 13,68 persen. Hal disebabkan oleh kurangnya pemahaman warga tentang hal tersebut. Pada wilayah perkotaan, kondisi di atas disebabkan terbatasnya luas lahan yang dimiliki warga.

(18)

3. Penanganan Keluarga yang tinggal di Rumah Tidak Layak Huni

Selaras dengan prioritas pembangunan propinsi Papua tahun 2020-2024 yang mengutamakan pendekatan budaya dan kontektual Papua, serta pendekatan berbasis ekologi dan tujuh wilayah adat: Laa Pago, Saireri, Tabi, Mee Pago, Anim Ha, Bomberay, dan Domberay sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2008 tentang Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat, yang mengamatkan penguatan dan pemberdayaan Orang Asli Papua berlandaskan budaya dan adat yang mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan, pengembangan wilayah adat dalam mendukung perekonomian wilayah; dan pelaksanaan intruksi presiden nomor 9 tahun 2017 tentang percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat yang mengamatkan beberapa hal termasuk permukiman layak bagi masyarakat.

Untuk mewujudkan rumah yang layak huni, maka pemerintah melalui Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Pedesaan dan Perkotaan Kementerian Sosial melaksanakan kegiatan Rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni sehingga tercipta kondisi rumah yang layak sebagai tempat tinggal. Upaya ini sejalan dengan Pasal 27 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak atas kehidupan yang layak, termasuk di dalamnya berhak mendapatkan tempat tinggal yang layak huni. Yakni rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan estika, sehingga dapat memberikan suasana nyaman bagi penghuninya. Berbeda dengan rumah layak huni, rumah hampir tidak layak huni dan rumah tidak layak huni adalah rumah yang kurang baik atau tidak memenuhi syarat kesehatan dan estika. RS-RTLH bertujuan mengembalikan keberfungsian sosial fakir miskin melalui upaya memperbaiki kondisi Rutilahu baik sebagian maupun seluruhnya, yang dilakukan secara gotong royong agar tercipta kondisi rumah yang layak sebagai tempat tinggal. Kegiatan ini bertujuan juga meningkatkan kualitas tempat tinggal fakir miskin.

C. Penutup

Dari pembahasan sebelumnya dapat dibuat beberpa kesimpulan. Pertama, kemiskinan masyarakat Papua yang disebabkan oleh faktor dan kondisi alam dan lingkungan, sumber daya yang tidak merata, bencana yang sering terjadi, faktor penduduk, eksploitasi antarkelas, antarkelompok, antarwilayah dan antar negara, faktor kelembagaan dan struktural serta keterbatasan tehnologi telah berdampak pada kondisi rumah warga yang tidak layak huni. Misalnya, luas tanah perkapita

(19)

kurang dari 7,2 m2, jenis atap rumah terbuat dari daun atau lainnya, jenis dinding

rumah terbuat dari bambu atau lainnya, jenis lantai tanah, sumber penerangan bukan listrik, tidak mempunyai fasilitas buang air besar sendiri serta jarak sumber air minum utama ke tempat pembuangan kotoran kurang dari 10 meter. Kedua, perlu dilakukan rehabilitasi rumah tinggal warga agar menjadi layak huni.

Daftar Kepustakaan

Adisasmita. 2015. Pembangunan Pedesaan Dan Perkotaan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Bandiyono, Suko. 2004. Mobilitas Penduduk Di Perbatasan Papua­PNG, Sebuah Peluang dan Tantangan. Jakarta: PPK-LIPI.

Damayanti, dkk. 2014. Faktor­Faktor yang Menyebabkan Kemiskinan di Provinsi Papua: Analisis Spatial Heterogeneity Poverty-Causing Factors in Papua Province: Spatial Heterogeneity Analysis. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia. Vol. 14 No. 2, Januari: 128-144

Data Susenas. 2015. Profil Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Indonesia. Jakarta: Kerjasama Kemneterian Sosial RI dengan Badan Pusat Statistik

Departemen Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. 2018. Pendataan Rumah Tidak Layak Huni. Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pusat Pendidikan dan Pelatihan Jalan, Perumahan, Permukiman Dan Pengembangan Infrastruktur Wilayah.

Hadi, Syamsul dkk., 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru, Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional. Jakarta: Centra for International Realations Sudies Fisip UI bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia.

Hikmawati, Eni dkk. 2016. Bedah Rumah Sebagai Bentuk Pengentasan. Jurnal PKS No. 15 Vol. 2 Juni: 133-144.

Kementerian Sosial RI. 2013. Pedoman Pelaksanaan Rahabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni dan Sarana dan Prasarana Lingkungan. Jakarta.

Kementerian Sosial RI. 2015. Profil Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Indonesia Berdasarkan Data Susenas Tahun 2015. Jakarta: Kerjasama Kementerian Sosial RI dengan Badan Pusat Statistik.

Kementerian PPN/Bappenas. 2018. Analisis Wilayah dengan Kemiskinan Tinggi. Jakarta: Kedeputian Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian PPN/Bappenas.

(20)

Pahmi Iril. 2013. Implementasi Program Pengentasan Kemiskinan (Studi Kasus Program Rumah Tidak Layak Huni di Kabupaten Karimun 2011), Skripsi. Pekanbaru: Jurusan Administrasi Negara, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Univ Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

Rahab, Amiruddin Al. 2006. ”Operasi-operasi Militer Di Papua: Pagar Makan Tanaman”, dalam Jurnal Penelitian Politik, Vol. 3/No.1. Jakarta: LIPI. Sabarisman, Muslin. 2013. Perspektif Komitmen Tim Kerja Dalam Pengembangan

Rumah Layak Huni Bagi Keluarga Miskin di Bondowoso. Sosiokonsepsia: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahateraan Sosial. Vol. 18. No. 01. Sen, Amartya. 1999. Development As Freedom. Oxford University Press.

Suharto, Edi.dkk.2009. Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial: Studi Kasus Rumah Tangga Miskin Di Indonesia. Bandung: STKS Press.

Sumule.2003. Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Propinsi Papua. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Suradi dkk. 2012. Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan: Studi Rahabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni Bagi Keluarga Minkin di Perkotaan. Jakarta : Puslitbang Kesejahteraan Sosial.

Referensi

Dokumen terkait

1) Novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu lebih banyak, lebih terinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan

Proses yang terjadi dalam menonton film dapat diketahui dengan memahami alur cerita dan karakter tokoh dalam sebuah film, menimbulkan kerja aktif dalam otak yang

Penelitian sebaiknya dilakukan dengan menggunakan alat pembakaran yang lebih baik lagi dari segi proses pembakaran ataupun dari kemampuan menangkap asap hasil pembakaran agar

One of the ways how the Wagon Dolly can be moved within the factory is by using guide rail. Basically it is used to keep the Wagon Dolly straightly forward during moving

Kepangkatan penasihat hukum yang lebih tinggi dari majelis hakim tidak berpengaruh terhadap independensi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara di

Pengalaman Praktik Lapangan (PPL) 2 memberikan banyak manfaat bagi mahasiswa PPL. Banyak nilai tambah yang diperoleh praktikan setelah melaksanakan PPL. Praktikan menjadi

Untuk memenuhi tujuan perusahan tersebut, maka perusahaan perlu memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh yaitu profitabilitas, likuiditas, kebijakan utang dan

Dalam konsep teoritik Moscow, selanjutnya dalam bukunya menjelaskan “aktivitas” ekonomi politik, yang juga merupakan entry point´ atau “pintu masuk” untuk