12
1. Pengertian Pembiayaan
Yang dimaksud dengan pembiayaan, berdasarkan pasal 1 butir 25 UU No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: 1
a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam
bentuk ijarah muntahiyah bit tamlik;
c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;
d. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang Qardh; dan
e. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multi jasa.
Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan atau bagi hasil.
Pengertian lain dari pembiayaan, berdasarkan pasal 1 butir 12 UU No. 10 tahun 1998 jo. UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, adalah
1 Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 64-65
penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
2. Fungsi pembiayaan
Pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah berfungsi untuk membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dalam meningkatkan usahanya. Masyarakat merupakan individu, pengusaha, lembaga, badan usaha, dan lain-lain yang membutuhkan dana.
Secara perinci pembiayaan memiliki fungsi antara lain:2
a. Pembiayaan dapat meningkatkan arus tukar-menukar barang dan jasa. b. Pembiayaan merupakan alat yang dipakai untuk memanfaatkan idle
fund.
c. Pembiayaan sebagai alat pengendali harga.
d. Pembiayaan dapat mengaktifkan dan meningkatkan manfaat ekonomi yang ada.
3. Jenis-jenis pembiayaan
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua hal berikut :3
2
Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 108-109 3
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 160-161
a. Pembiayaan produktif
Yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk pengembangan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.
Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat pula dibagi menjadi dua hal sebagai berikut :
1) Pembiayaan untuk modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan produksi baik secara kuantitatif yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi dan untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang.
2) Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan usaha itu sendiri.
b. Pembiayaan konsumtif
Yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
4. Unsur-unsur Pembiayaan
Adapun unsur-unsur pembiayaan yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas pembiayaan adalah sebagai berikut:4
a. Bank syariah
Merupakan badan usaha yang memberikan pembiayaan kepada pihak lain yang membutuhkan dana.
b. Mitra usaha/ Partner
Merupakan pihak yang mendapatkan pembiayaan dari bank syariah, atau pengguna dana yang disalurkan oleh bank syariah.
c. Kepercayaan (Trust)
Bank syariah memberikan kepercayaan kepada pihak yang menerima pembiayaan bahwa mitra akan memenuhi kewajiban untuk mengembalikan dana bank syariah sesuai dengan jangka waktu tertentu yang diperjanjikan.
d. Akad
Merupakan suatu kontrak perjanjian atau kesepakatan yang dilakukan antara bank syariah dengan pihak nasabah/mitra.
e. Risiko
Setiap dana yang disalurkan/diinvestasikan oleh bank syariah selalu mengandung risiko tidak kembalinya dana. Risiko pembiayaan merupakan kemungkinan kerugian yang akan timbul karena dana yang disalurkan tidak dapat kembali.
f. Jangka waktu
Merupakan periode waktu yang diperlukan oleh nasabah untuk membayar kembali pembiayaan yang telah diberikan oleh bank syariah.
g. Balas jasa
Sebagai balas jasa atas dana yang disalurkan oleh bank syariah, maka nasabah membayar sejumlah tertentu sesuai dengan akad yang telah disepakati antara bank dan nasabah.
5. Analisa pembiayaan
Dalam praktiknya terdapat beberapa analisis yang dapat digunakan untuk menentukan kelayakan suatu pembiayaan, yaitu :5
a. Analisis 5C 1) Character
Character adalah sifat atau watak nasabah. Analisis ini untuk mengetahui watak atau sifat seorang nasabah pemohon pembiayaan, apakah memiliki watak atau sifat yang bertanggung jawab terhadap pembiayaan yang diambilnya. Dari watak atau sifat ini, akan terlihat kemauan nasabah untuk membayar dalam kondisi sesulit apapun. Namun, sebaliknya jika nasabah tidak memiliki sifat yang mau membayar, nasabah akan berusaha mengelak untuk membayar dengan berbagai alasan tentunya. Watak atau sifat ini akan dapat dilihat dari masa lalu nasabah melalui pengamatan, pengalaman, riwayat hidup, maupun hasil wawancara dengan nasabah.
2) Capacity
Capacity yaitu analisis yang digunakan untuk melihat kemampuan nasabah dalam membayar pembiayaan. Kemampuan ini
5
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 117-120
dapat dilihat dari penghasilan pribadi untuk pembiayaan konsumtif dan usaha yang dibiayai untuk pembiayaan perdagangan atau produktif. Kemampuan ini penting untuk dinilai agar bank tidak mengalami kerugian. Untuk menilai kemampuan nasabah dapat dinilai dari dokumen yang dimiliki, hasil konfirmasi dengan pihak yang memiliki kewenangan mengeluarkan surat tertentu (misalnya penghasilan seseorang), hasil wawancara atau melalui perhitungan rasio keuangan.
3) Capital
Capital adalah untuk menilai modal yang dimiliki oleh nasabah untuk membiayai usahanya. Hal ini penting karena bank tidak akan membayar usaha tersebut 100%. Artinya harus ada modal dari nasabah. Tujuannya adalah jika nasabah juga ikut memiliki modal yang ditanamkan pada kegiatan tersebut, nasabah juga akan merasa memiliki sehingga termotivasi untuk bekerja sungguh-sungguh agar usaha tersebut berhasil, dan mampu untuk membayar kewajiban pembiayaannya.
4) Condition
Condition yaitu kondisi umum saat ini dan yang akan datang tentunya. Kondisi yang akan dinilai terutama kondisi ekonomi saat ini, apakah layak untuk membiayai pembiayaan untuk sektor tertentu. Misalnya kondisi produksi tanaman tertentu sedang membludak pasaran (jenuh). Maka, pembiayaan untuk sektor
tersebut sebaiknya dikurangi. Kondisi lainnya yang harus diperhatikan adalah kondisi lingkungan sekitar, misalnya kondisi keamanan dan kondisi sosial masyarakat serta kebijakan pemerintah. 5) Collateral
Collateral merupakan jaminan yang diberikan nasabah kepada bank dalam rangka permohonan pembiayaan yang diajukannya. Jaminan ini digunakan sebagai alternatif terakhir bagi bank untuk berjaga-jaga kalau terjadi kemacetan terhadap pembiayaan yang dibiayai. Di samping itu, jaminan juga menjadi motivasi nasabah dalam membayar kewajibannya karena selama jangka waktu angsuran jaminannya ditahan oleh bank.
b. Analisis 7P 1) Personality
Personality atau kepribadian merupakan penilaian yang digunakan untuk mengetahui kepribadian calon nasabah. Dalam menilai kepribadian yang dilakukan bank, hampir sama dengan character atau sifat/watak nasabah. Hanya saja hal-hal personality lebih ditekankan kepada orangnya, sedangkan dalam character termasuk kepada keluarganya.
2) Purpose
Purpose yaitu tujuan mengambil pembiayaan. Bank harus mengetahui tujuan nasabah mengajukan pembiayaan. Tujuannya
agar jangan sampai pemberian pembiayaan yang dikucurkan oleh bank disalahgunakan oleh nasabah.
3) Party
Party artinya dalam menyalurkan pembiayaan, bank memilah-milah menjadi beberapa golongan. Hal ini dilakukan agar bank lebih fokus untuk menangani pembiayaan tersebut, misalnya untuk usaha kecil, menengah, atau besar. Atau dapat juga dipilah berdasarkan wilayah, misalnya daerah pedesaan, perkotaan atau sektor usaha, misalnya peternakan, industri atau sektor lainnya. 4) Payment
Payment adalah cara pembayaran pembiayaan oleh nasabah. Penilaian yang dilakukan untuk menilai cara nasabah dalam membayar pembiayaan, apakah dari penghasilan (gaji) atau dari sumber objek yang dibiayai. Dari penilaian ini akan terlihat kemampuan nasabah dalam membayar pembiayaan.
5) Prospect
Prospect yaitu untuk menilai harapan ke depan terutama terhadap objek pembiayaan yang dibiayai. Tentunya harapan yang diinginkan adalah memberikan harapan yang baik atau cerah. Usaha yang tidak mengandung prospek cerah sebaiknya ditunda karena akan menyulitkan bank dan nasabah nantinya, misalnya usaha yang sudah memasuki titik jenuh.
6) Profitability
Profitability artinya pembiayaan yang dibiayai oleh bank akan memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak, baik bank ataupun nasabah. Jika tidak, sebaiknya jangan diberikan. Keuntungan bagi bank tentunya adalah berupa balas jasa yang diberikan nasabah dari bagi hasil. Sebaliknya bagi nasabah adalah berkembangnya usaha yang dibiayai yang pada akhirnya adalah keuntungan dan adanya tambahan modal baginya.
7) Protection
Protection artinya perlindungan terhadap objek pembiayaan yang dibiayai. Perlindungan tidak sebatas jaminan fisik yang diberikan, akan tetapi lebih dari itu, yaitu jaminan si pengambil pembiayan (nasabah), seperti asuransi kematian dan jaminan terhadap jaminan fisik yang diberikan dari kehilangan, kerusakan, atau yang lainnya.
B. Konsep akad Murabahah di Bank Syariah 1. Pengertian Murabahah
Murabahah didefenisikan oleh para fuqaha sebagai penjualan barang seharga biaya/harga pokok (cost) barang tersebut ditambah mark-up atau margin keuntungan yang disepakati, dalam beberapa kitab fiqih murabahah merupakan salah satu dari bentuk jual beli yang bersifat amanah, dimana jual-beli ini berbeda dengan jual-beli musawwamah (tawar menawar). Murabahah terlaksana antara penjual dan pembeli
berdasarkan harga barang, harga asli pembelian penjual yang diketahui oleh pembeli dan keuntungan penjual pun diberitahukan kepada pembeli, sedangkan musawwamah adalah transaksi yang terlaksana antara penjual dengan pembeli dengan suatu harga tanpa melihat harga asli barang.6
Murabahah adalah akad jual beli atas barang tertentu, dimana penjual menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli kemudian menjual kepada pihak pembeli dengan mensyaratkan keuntungan yang diharapkan sesuai jumlah tertentu. Dalam akad murabahah, penjual menjual barangnya dengan meminta kelebihan atas harga beli dengan harga jual. Perbedaan antara harga beli dan harga jual barang disebut dengan margin keuntungan.7
Dalam aplikasi bank syariah, bank merupakan penjual atas objek barang dan nasabah merupakan pembeli. Bank menyediakan barang yang dibutuhkan oleh nasabah dengan membeli barang dari supplier, kemudian menjualnya kepada nasabah dengan harga yang lebih tinggi dibanding dengan harga beli yang dilakukan oleh bank syariah. Pembayaran atas transaksi murabahah dapat dilakukan dengan cara membayar sekaligus pada saat jatuh tempo atau melakukan pembayaran angsuran selama jangka waktu yang disepakati.
Dengan demikian yang dimaksud pembiayaan murabahah adalah akad perjanjian penyediaan barang berdasarkan jual beli dimana bank membiayai atau membelikan kebutuhan barang atau investasi nasabah dan
6Bagya Agung Prabowo, Aspek Hukum Pembiayaan Murabahah Pada Perbankan
Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2012), h. 25-26
menjual kembali kepada nasabah ditambah dengan keuntungan yang disepakati. Pembayaran nasabah dilakukan secara mencicil/angsur dalam jangka waktu yang ditentukan.8
2. Landasan hukum Murabahah9
a. Pengaturan dalam hukum positif
1) Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
2) PBI Nomor 9/19/PBI/2007 jo. PBI No. 10/16/PBI/2008 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah.
3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tantang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
4) Ketentuan pembiayaan Murabahah dalam praktik perbankan syariah di Indonesia dijelaskan dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.
5) Pasal 19 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang mengatur mengenai kegiatan usaha bank umum syariah yang salah satunya adalah pembiayaan murabahah. b. Landasan Syariah
Murabahah merupakan bagian terpenting dari jual-beli dan prinsip akad ini mendominasi pendapatan bank dari produk-produk yang ada di bank syariah. Jual beli dalam islam sebagai sarana
8Bagya Agung Prabowo, Opcit., h. 26 9
menolong antara sesama umat manusia yang diridhai oleh Allah SWT, dalam jual-beli juga sangat diharapkan adanya unsur suka sama suka, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
a. QS. An-Nisaa’
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
b. QS. Al-Baqarah : 275
… Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
c. Hadits
“tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual”
“sesungguhnya jual-beli itu harus dilakukan atas dasar suka sama suka”. (HR. Al-Baihaqi dan Ibnu Majah).
3. Rukun dan syarat Murabahah10
Rukun jual-beli menurut Mahzab Hanafi adalah ijab qabul yang menunjukkan adanya pertukaran atau kegiatan saling memberi yang menempati kedudukan ijab dan qabul itu. Rukun ini dengan ungkapan lain
10
merupakan pekerjaan yang menunjukkan keridhaan dengan adanya pertukaran dua harta milik, baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Menurut Jumhur Ulama ada empat rukun dalam jual-beli, yaitu: a. Orang yang menjual
b. Orang yang membeli c. Sighat
d. Barang atau sesuatu yang diakadkan
Keempat rukun tersebut telah disepakati oleh jumhur ulama untuk setiap jenis akad.
Syarat-syarat yang harus ada dalam setiap transaksi pembiayaan murabahah adalah:
a. Mengetahui harga pertama (harga pembelian)
Pembeli kedua hendaknya mengetahui harga pembelian karena hal itu adalah syarat sahnya transaksi jual-beli. Syarat ini meliputi semua transaksi yang terkait dengan murabahah, seperti pelimpahan wewenang (tauliyah), kerja sama (isyra’) dan kerugian (wadhi’ah), karena semua transaksi ini berdasarkan harga pertama yang merupakan modal, jika tidak mengetahuinya maka jual-beli tersebut tidak sah hingga di tempat transaksi, jika tidak diketahui hingga keduanya meninggalkan tempat tersebut, maka gugurlah transaksi.
b. Mengetahui besarnya keuntungan
Mengetahui jumlah keuntungan adalah keharusan, karena merupakan bagian dari harga (tsaman), sedangkan mengetahui harga adalah syarat sahnya jual-beli.
c. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian
d. Kontrak harus bebas dari riba
Seperti membeli barang yang ditakar atau ditimbang dengan barang sejenis dengan takaran yang sama, maka tidak boleh menjualnya dengan sistem murabahah. Hal semacam ini tidak diperbolehkan karena murabahah adalah jual-beli dengan harga pertama dengan adanya tambahan, sedangkan tambahan terhadap harta riba hukumnya adalah riba dan bukan keuntungan.
e. Transaksi pertama haruslah sah secara syara’ (rukun yang ditetapkan) Apabila transaksi pertama tidak sah, maka tidak boleh dilakukan jual-beli secara murabahah, karena murabahah adalah jual-jual-beli dengan harga pertama disertai tambahan keuntungan dan hak milik jual-beli yang tidak sah ditetapkan dengan nilai barang atau dengan barang yang semisal bukan dengan harga, karena tidak benarnya penamaan.
f. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
4. Aplikasi murabahah dalam bank syariah
Murabahah pada awalnya merupakan konsep jual beli yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembiayaan. Namun demikian, bentuk jual beli ini kemudian digunakan oleh perbankan syariah dengan menambah beberapa konsep lain sehingga menjadi bentuk pembiayaan. Akan tetapi viliditas transaksi seperti ini tergantung pada beberapa syarat yang benar-benar harus diperhatiakan agar transaksi tersebut diterima secara syariah.11
Dalam pembiayaan ini, bank sebagai pemilik dana membelikan barang sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh nasabah yang membutuhkan pembiayaan, kemudian menjualnya ke nasabah tersebut dengan penambahan keuntungan tetap. Sementara itu, nasabah akan mengembalikan utangnya di kemudian hari secara tunai maupun cicil.
11
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 82-83
Bagan proses pembiayaan murabahah dapat dilihat pada gambar dibawah:12
6. bayar kewajiban
5. terima barang
3. beli barang 4. kirim barang
Sumber: (Ismail, 2011) keterangan:
1. Bank syariah dan nasabah melakukan negosiasi tentang rencana transaksi jual beli yang akan dilaksanakan. Poin negosiasi meliputi jenis barang yang akan dibeli, kualitas barang, dan harga jual.
2. Bank syariah melakukan akad jual beli dengan nasabah, dimana bank syariah sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli. Dalam akad jual beli ini, ditetapkan barang yang menjadi objek jual beli yang telah dipilih oleh nasabah, dan harga jual barang.
12 Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 139-140
BANK SYARIAH NASABAH SUPLIER PENJUAL 1. Negosiasi & persyaratan 2. Akad jual beli
3. Atas dasar akad yang dilaksanakan antara bank syariah dan nasabah, maka bank syariah membeli barang dari supplier/penjual. Pembelian yang dilakukan oleh bank syariah ini sesuai dengan keinginan nasabah yang telah terutang dalam akad.
4. Supplier mengirimkan barang kepada nasabah atas perintah bank syariah.
5. Nasabah menerima barang dari supplier dan menerima dokumen kepemilikan barang tersebut.
6. Setelah menerima barang dan dokumen, maka nasabah melakukan pembayaran. Pembayaran yang lazim dilakukan oleh nasabah ialah dengan cara angsuran.
C. Pembiayaan Bermasalah
1. Pengertian pembiayaan bermasalah
Dalam berbagai peraturan yang diterbitkan Bank Indonesia tidak dijumpai pengertian dari “ pembiayaan bermasalah”. Begitu juga istilah Non performing financings (NPFs) untuk fasilitas pembiayaan maupun istilah Non Performing Loan (NPL) untuk fasilitas kredit tidak dijumpai dalam peraturan-peraturan yang diterbitkan Bank Indonesia. Namun dalam setiap statistik perbankan syariah yang diterbitkan oleh direktorat perbankan syariah Bank Indonesia dapat dijumpai istilah Non Performing
Financings (NPFs) yang diartikan sebagai “pembiayaan non lancar mulai dari kurang lancar sampai macet”. 13
Pembiayaan bermasalah tersebut, dari segi produktivitasnya (performance-nya) yaitu dalam kaitannya dengan kemampuannya menghasilkan pendapatan bagi bank, sudah berkurang/menurun dan bahkan mungkin sudah tidak ada lagi. Bahkan dari segi bank, sudah tentu mengurangi pendapatan, memperbesar biaya pencadangan, yaitu PPAP (Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif), sedangkan dari segi nasional, mengurangi kontribusinya terhadap pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembiayaan bermasalah adalah pembiayaan yang kualitasnya berada dalam golongan kurang lancar, diragukan, dan macet.
2. Penyebab Pembiayaan Bermasalah
Dalam penjelasan pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan maupun dalam penjelasan pasal 37 UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah antara lain dinyatakan bahwa kredit atau pembiayaan berdasrkan prinsip syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memberikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasrkan prinsip syariah yang sehat. 14
13
Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 66
14
Apabila bank tidak memperhatikan asas-asas pembiayaan yang sehat dalam menyalurkan pembiayaannya, maka akan timbul berbagai risiko yang harus ditanggung oleh bank antara lain berupa:
1. Utang/kewajiban pokok pembiayaan tidak dibayar; 2. Margin/bagi hasil/fee tidak dibayar;
3. Membengkaknya biaya yang dikeluarkan;
4. Turunnya kesehatan pembiayaan (finance soundness).
Risiko-risiko tersebut dapat mengakibatkan timbulnya pembiayaan bermasalah (non performing financings/NPFs) yang disebabkan oleh faktor intern bank.
Secara umum pembiayaan bermasalah disebabkan oleh faktro-faktor intern dan ekstern di antaranya sebagai berikut:
1. Faktor intern adalah faktor yang ada dalam perusahaan sendiri, dan faktor utama yang paling dominan adalah faktor manajerial. Timbulnya kesulitan-kesulitan keuangan perusahaan yang disebabkan oleh faktor manajerial dapat dilihat dari beberapa hal, seperti kelemahan dalam kebijakan pembelian dan penjualan, lemahnya pengawasan biaya dan pengeluaran, kebijakan piutang yang kurang tepat, penempatan yang berlebihan pada aktiva tet ap, dan permodalan yang tidak cukup.
2. Faktor ekstern adalah faktor-faktor yang berada diluar kekuasaan manajemen perusahaan, seperti bencana alam, perperangan, perubahan
dalam kondisi perekonomian dan perdagangan, perubahan-perubahan teknologi, dan lain-lain.
Dikutip dari buku Dewi Nurul Musjtari menurut Dadan Muttaqien, sebab-sebab terjadinya pembiayaan bermasalah dapat berasal dari pihak Bank, Nasabah, dan Pihak Eksternal, yaitu sebagai berikut:15
1. Dari pihak Internal Bank.
a. Kebijakan pembiayaan yang kurang tepat.
b. Kuantitas, kualititas, dan integritas SDM yang kurang memadai. c. Memberikan perlakuan khusus kepada nasabah yang kurang tepat. d. Kelemahan organisasi, sistem dan prosedur pembiayaan sehingga
memungkinkan terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam pemutusan persetujuan pemberian pembiayaan dan ketidakmampuan bank dalam melakukan identifikasi dan pengawasan terhadap pembiayaan bermasalah secara dini.
e. Prasarana dan sarana lain yang tersedia kurang mendukung baik yang berkaitan dengan teknis pekerjaan maupun administrasinya. 2. Dari Pihak Nasabah
a. Aspek legal/yuridis, yaitu persyaratan legal atau pembiayaan tidak terpenuhi.
b. Aspek manajemen/karakter diantaranya; manajemen/pengurus perusahaan tidak capable/tidak professional, kesalahan dalam kebijakan pengembangan perusahaan, penyimpangan dari tujuan
15
Dewi Nurul Mustjtari, Penyelesaian Sengketa dalam Praktik Perbankan Syariah, (Yogyakarta: Nuha Medika, 2012), h. 140-143
penggunaan pembiayaan, karakter/iktikad yang tidak baik, dan turn over yang tinggi di level manajemen dan/atau terjadi perselisihan intern.
c. Aspek financial d. Aspek teknis/produksi e. Aspek pemasaran 3. Dari Pihak Eksternal
a. Krisis ekonomi/moneter atau perubahan makro ekonomi.
b. Adanya perubahan regulasi oleh otoritas moneter maupun instansi terkait lainnya yang diberlakukan terhadap bank atau nasabah. c. Perkembangan teknologi yang tidak dapat diikuti dengan baik oleh
pihak bank atau nasabah.
d. Ketidakmampuan nasabah-nasabah dalam memenuhi ketentuan AMDAL.
e. Bencana alam dan/atau gangguan keamanan (kerusuhan massa) yang menimpa nasabah.
3. Penggolongan Pembiayaan Bermasalah
Adapun penggolongan pembiayaan bermasalah menurut Faturrahman Djamil adalah sebagai berikut:16
a. Dalam perhatian khusus
Apabila terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan atau margin sampai dengan 90 (Sembilan puluh) hari, selalu
menyampaikan laporan keuangan secara teratur dan akurat, dokumentasi perjanjian piutang lengkap dan pengikatan agunan kuat, serta pelanggaran terhadap persyaratan perjanjian piutang yang tidak prinsipil.
b. Kurang lancar
Apabila terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan atau margin yang telah melewati 90 (Sembilan puluh) hari sampai dengan 180 (seratus delapan puluh) hari, penyampaian laporan keuangan tidak teratur dan meragukan, dokumentasi perjanjian piutang kurang lengkap dan pengikatan agungan kuat, terjadi pelanggaran terhadap persyaratan pokok perjanjian piutang, dan berupaya melakukan perpanjangan piutang untuk menyembunyikan kesulitan keuangan.
c. Diragukan
Apabila terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan atau margin yang telah melewati 180 (seratus delapan puluh) hari sampai dengan 270 (dua ratus tujuh puluh) hari. Nasabah tidak menyampaikan informasi keuangan atau tidak dapat dipercaya, dokumentasi perjanjian piutang tidak lengkap dan pengikatan agunan lemah serta terjadi pelanggaran yang prinsipil terhadap persyaratan pokok perjanjian piutang.
d. Macet
Apabila terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan atau margin yang telah melewati 270 (dua ratus tujuh puluh) hari, dan dokumentasi perjanjian piutang dan atau pengikatan agunan tidak ada.
4. Upaya Penanganan Pembiayaan Bermasalah
Hubungan hukum antara Nasabah dan Lembaga Keuangan Syariah (Bank Asuransi Syariah) akan berjalan dengan baik dan lancar jika para pihak mentaati apa yang telah mereka sepakati dalam akad yang mereka buat. Namun jika salah satu pihak lalai atau melakukan kesalahan dalam pemenuhan kewajibannya maka pelaksanaan akad akan mengalami hambatan atau permasalahan bahkan dimungkinkan mengalami kemacetan.17
Secara garis besar penyebab terjadinya permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan akad yaitu adanya wanprestasi (default), keadaan memaksa (force majeure/overmacht), dan perbuatan melawan hukum.
Dalam hal ini terdapat permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan akad, dalam praktik perbankan syariah maka para pihak akan mencari penyelesaian terhadap permasalahan yang dihadapinya. Secara garis besar upaya penyelesaian permasalahan dalam pelaksanaan akad disebut juga dengan penanganan permasalahan, yang dikelompokkan dalam 2 (dua) tahap yaitu:18
17
Dewi Nurul Mustjtari, Opcit., h. 186 18 Ibid., h. 187-191
a. Penyelamatan pembiayaan bermasalah dan macet
1) Restrukturisasi pembiayaan dan tindakan hukum yang diperlukan Untuk memperbaiki atau memperlancar pembiayaan yang semula tergolong diragukan atau macet, bank melakukan tindakan penyelamatan pembiayaan, agar pembiayaan yang semula tergolong diragukan atau macet menjadi lancar lagi. Tindakan penyelamatan pembiayaan oleh bank dicantumkan atau dituangkan dalam akad penyelamatan pembiayaan tersebut dapat berupa: a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat
pembiayaan yang hanya menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktunya;
b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat pembiayaan, yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu, dan/atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo pembiayaan;
c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat pembiayaan yang menyangkut:
1) Penambahan dana bank dan/atau;
2) Konversi seluruh atau sebagian tunggakan bagi hasil menjadi pokok pembiayaan baru; dan atau;
3) Konversi seluruh atau sebagian dari pembiayaan menjadi penyertaan dalam perusahaan, yang dapat disertai dengan penjadwalan kembali dan/atau persyaratan pembiayaan; 2) Analisis status hukum debitur/pemberi jaminan dan usahanya 3) Analisis status hukum asset yang dimiliki/dikuasai debitur/pemberi
jaminan
Pasal 1131 KUH Perdata secara garis besar menegaskan bahwa seluruh harta kekayaan debitur, baik yang telah ada atau akan ada di kemudian hari menjadi jaminan atas utang-utang yang diperbuatnya baik utang yang telah ada sekarang maupun utang yang akan ada dikemudian hari. Walaupun pasal 1131 KUH Perdata menentukan demikian, kreditur senantiasa berusaha mengikat harta kekayaan debitur dengan pengikatan agunan baik dengan hak tanggungan, hipotik, gadai, atau fidusia.
4) Analisis hukum: offering letter, perjanjian kredit, dan dokumen restrukturisasi lainnya
Kelengkapan semua dokumen termasuk viliditasnya, termasuk dokumen perijinan kredit, agunan dan pengikatannya harus diriview sebelum restrukturisasi dilakukan. Dalam pelaksanaan review dokumen restrukturisasi akan lebih mudah jika dibuat list document (dokument check list/DCL).
b. Penyelesaiaan pembiayaan bermasalah dan macet
Penyelesaian piutang bermasalah dalam praktik perbankan syariah antara lain dilakukan dengan cara yaitu:
1) Diselesaikan melalui internal lembaga, dalam praktik diselsaikan oleh bagian account officer/remedial/dibentuk tim task force penyelesaian sengketa;
2) Diselesaikan melalui mediasi perbankan;
3) Diselesaikan melalui Arbitrase dan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS);
4) Diselesaikan melalui pengadilan agama .
D. Keadaan Memaksa (Overmacht)
1. Pengertian Keadaan Memaksa (Overmacht)
Keadaan diluar kehendak manusia atau keadaan memaksa (force majeure/ overmacht) merupakan suatu keadaan yang menyebabkan para pihak tidak dapat berprestasi.19
Pihak yang dituduh wanprestasi (yang pada umumnya adalah debitur), dapat mengajukan tangkisan-tangkisan untuk membebaskan diri dari akibat buruk dari wanprestasi tersebut. Tangkisan atau pembelaan yang salah satunya adalah tidak dipenuhi kontrak (wanprestasi) terjadi karena keadaan memkasa (overmacht).20 Keadaan terpaksa (overmacht)
19
Ibid., h. 149
20Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan perancangan kontrak, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 76
tidak memenuhi kontrak sebagaimana yang dimaksud merupakan keadaan terpaksa yang mutlak, dapat pula yang bersifat relatif.21
Keadaan terpaksa yang bersifat mutlak yaitu kalau memang tidak ada kemungkinan lagi untuk memenuhi prestasi dalam kontrak tersebut, misalnya objek perjanjiannya musnah dan objek perjanjian tersebut tidak dapat diganti dengan objek perjanjian lainnya. Keadaan terpaksa yang bersifat relatif, sebenarnya masih ada kemungkinan untuk memenuhi prestasi dalam kontrak tersebut, tetapi karena suatu keadaan menyebabkan penyerahan tersebut terhambat. Selain itu keadaan terpaksa yang bersifat relatif dapat juga terjadi jika pemenuhan prestasi tersebut dapat mengakibatkan terjadinya kerugian yang cukup besar bagi penjual jika prestasi tersebut dipenuhi.
Keadaan memaksa (overmacht atau force majeure) dengan mengajukan pembelaan ini, debitur berusaha menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan dimana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul diluar dugaan tadi. Dengan perkataan lain, hal tidak terlaksanya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa, dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaian.22
21 Ibid., h. 77
2. Landasan Hukum tentang Overmacht
1. Landasan syariah23 a. QS. Al-Baqarah: 280
Artinya: dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
b. Hadits
“Barang siapa yang melepaskan kesusahan seorang Mukmin dari kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah akan melepaskan kesusahannya di hari qiamat…”(HR. Muslim)
2. Kitab Undang-Undang Perdata24
Terkait dengan overmacht, buku II BW, yaitu bagian IV tentang penggantian Biaya, Rugi, dan Bunga kerana tidak dipenuhinya suatu perikatan (pasal 1244-1245). Rumusan overmacht menurut pasal-pasal tersebut, adalah sebagai berikut:
a. Pasal 1244 BW, menyatakan:
Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum untuk mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa pada waktu yang tidak tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan oleh sesuatu hal yang
23
Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 78-79
24
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam Kontrak
tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu jika tidak ada iktikad buruk padanya.
b. Pasal 1245 BW, menyatakan:
Tidak ada penggantian biaya, rugi dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena suatu kejadian yang tidak disengaja, siberutang debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.
3. Faktor-faktor timbulnya Overmacht
Dalam praktik pembiayaan, permasalahan yang sering muncul adalah adanya bencana alam seperti:25
1. Gempa bumi 2. Banjir
3. Tanah longsor
4. Angin putting beliung 5. Kebakaran
6. Pemogokan 7. Huru-hara
8. Peledakan dan sabotase.
25
Dewi Nurul Mustjtari, Penyelesaian Sengketa dalam Praktik Perbankan Syariah, (Yogyakarta: Nuha Medika, 2012), h. 149
4. Upaya penyelesaian pembiayaan bermasalah disebabkan Overmacht
Pada umumnya dalam akad terdapat klausul yang menyebutkan langkah-langkah yang akan diambil para pihak apabila terjadi suatu keadaan force majeure/overmacht, seperti:26
1) Para pihak dibebaskan dari kewajiban untuk melaksanakan isi akad pembiayaan, baik sebagian maupun seluruhnya apabila kegagalan atau keterlambatan melaksanakan kewajibannya tersebut disebabkan oleh karena keadaan memaksa (force majeure/overmacht)
2) Dalam hal ini terjadi keadaan memaksa, pihak yang mengalami peristiwa yang dikategorikan sebagai keadaan memaksa wajib memberitahukan secara tertulis tentang hal tersebut kepada pihak lainnya, dengan melampirkan bukti secukupnya dari kepolisian atau instansi yang berwewenang mengenai terjadinya keadaan memaksa. 3) Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kalender (atau ditentukan
lain) sejak diterimanya pemberitahuan dimaksud, belum atau tidak ada tangapan dari pihak yang menerima pemberitahuan, maka adanya peristiwa tersebut dianggap telah disetujui oleh pihak tersebut.
Setelah berakhir atau dapat diatasinya keadaan force majeure/overmacht, pihak yang mengalami force majeure/overmacht segera melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
26