• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH SISTEM PENGENDALIAN HAMA TERPADU DAN KONVENSIONAL TERHADAP INTENSITAS SERANGAN PENGGEREK BATANG PADI DAN MUSUH ALAMI PADA TANAMAN PADI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH SISTEM PENGENDALIAN HAMA TERPADU DAN KONVENSIONAL TERHADAP INTENSITAS SERANGAN PENGGEREK BATANG PADI DAN MUSUH ALAMI PADA TANAMAN PADI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

18

PENGARUH SISTEM PENGENDALIAN HAMA TERPADU DAN KONVENSIONAL TERHADAP INTENSITAS SERANGAN PENGGEREK

BATANG PADI DAN MUSUH ALAMI PADA TANAMAN PADI Selya Iktafiana Ratih, Sri Karindah, Gatot Mudjiono

Program Studi Agroekoteknologi, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Universitas Brawijaya Jln. Veteran, Malang 65145, Indonesia

ABSTRACT

The constraints of increasing rice productivity is damage that caused by rice stemborer. The conventional, farmer usually only apply insecticide to control rice stemborer. The farmer need to realizethe negative impact from the usage of insecticides, hence it is needed adecrease of insecticides usage and practice IPM. Therefore the research onthe influence of IPM and conventional system on the population and attack intensity of rice stemborer and it’s natural enemies was conducted at Bayem village, Kasembon district, Malang. Counting population and attack intensity of rice stemborer on IPM and conventional field were held from April until July 2012. Results of the study showed that the application of IPM had not shown significant influence on the population of rice stemborer and the intensity of attack yet. Average number of parasitoid which were collected in IPM field more than in the conventional field. The average percent of parasitized rice stem borer eggs by Tetrastichus schoenobii were higher than by Telenomus rowani or Trichogramma japonicum. One egg group of rice stemborer was parasitized by two or three species of egg parasitoid. The most effective parasitoid was Tetrastichus schoenobii because it parasitized two or three egg at once.

Keywords: Rice Stemborer, Egg parasitoid

ABSTRAK

Kendala dalam upaya peningkatan produktifitas padi adalah kerusakan yang disebabkan oleh penggerek batang padi.Pada sistem konvensional, petani biasanya menggunakan insektisida untuk mengendalikan serangan penggerek batang padi. Adanya dampak negatif dari penggunaan insektisida, maka petani perlu disadarkan untuk menurunkan penggunaan insektisida dengan menerapkan sistem PHT. Oleh karena itu penelitian tentang pengaruhperbedaan sistem PHT dan konvensional terhadap populasi dan intensitas serangan penggerek batang padi serta musuh alaminya telah dilakukan di desa Bayem Kecamatan Kasembon, Malang. Penelitian ini mengamatidan menghitung populasi penggerek batang padi serta intensitas serangan di pertanaman padi dengan sistem PHT dan konvensionalyang dilakukan sejak bulan April sampai Juli 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan sistem PHT belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap populasi penggerek batang padidan intensitas serangan. Rerata parasitoid yang didapatkan lebih banyak di pertanaman padi PHT daripada secara konvensional. Rerata persen parasitasi terhadap kelompok telur penggerek batang padi oleh Tetrastichus schoenobii lebih tinggi daripada parasitasi oleh Telenomus rowaniatauTrichogramma japonicum. Pada satu kelompok telur ditemukan dua sampai tiga spesies parasitoid telur yang memparasit. Parasitoid yang paling kuat daya

(2)

19

kompetisi adalah Tetrastichus schoenobii karena mampu memangsa 2-3 butir telur penggerek.

Kata Kunci : Penggerek batang padi, Parasitoid telur PENDAHULUAN

Tanaman padi (Oryza sativa L) merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Untuk mengatasi kebutuhan beras yang terus meningkat maka diperlukan upaya keras dalam peningkatan produksi beras baik kualitas maupun kuantitas (Misnaheti, 2010). Salah satu kendala dalam upaya peningkatan produktivitas padi adalah kerusakan yang disebabkan oleh serangan penggerek batang padi. Di Indonesia ada enam jenis yaitu penggerek batang padi putih (Scirpophaga innotata), penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas), penggerek batang padi merah jambu (Sesamia inferens), penggerek batang padi bergaris (Chilo supressalis), penggerek batang padi Chilo polychrysus dan penggerek batang padi Chilo auricilius (Kalshoven, 1981). Gejala serangan pada tanaman padi fase vegetatif disebut dengan sundep dan pada fase generatif disebut beluk. Pada fase vegetatif awal sampai mencapai kerusakan hingga 30% tidak akan menyebabkan kehilangan hasil terutama bagi varietas yang mampu membentuk anakan banyak selama fase vegetatif dan selanjutnya menjadi anakan produktif.

Kehilangan hasil setiap tahunyang disebabkan oleh penggerek batang padi dapat mencapai 10-30%, bahkan dapat menyebabkan tanaman padi menjadi puso (Idris, 2008).

Pengendalian penggerek batang padi yang biasa dilakukan para petani adalah menggunakan sistem pengendalian pertanian secara konvensional dengan pengelolaan budidaya dan pemakaian intensif pestisida sintetik (Warti, 2006). Penggunaan pestisida sintentik secara

intensif dan tidak bijaksana dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, resistensi dan resurjensi hama serta matinya musuh alami hama. Adanya dampak bahaya penggunaan pestisida kimia, maka dalam hal ini perlu kesadaran dari petani untuk menerapkan prinsip-prinsip Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dalam proses pengendalian.

PHT merupakan cara pendekatan tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada dasar pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan berkelanjutan (Untung, 2007). Prinsip PHT adalah penggunaan tanaman sehat, pelestarian musuh alami, pengamatan mingguan, dan petani sebagai ahli PHT. Upaya dalam pelaksanaan prinsip PHT salah satunya melakukan pelestarian musuh alami dengan memberikan habitat dan menyediakan makanan bagi musuh alami yaitu bisa berupa rumput-rumputan dan vegetasi lain pada habitat lahan padi (Karindah et al, 2011a).

Di Indonesia sudah di kembangkan PHT sejak tahun 1992 sesuai dengan penetapan Pemerintah sebagai kebijakan dasar bagi setiap program perlindungan tanaman (Sembiring, 2007). Namun, sampai saat ini masih ada beberapa daerah yang belum menerapkan PHT seperti di desa Bayem Kecamatan Kasembon Kabupaten Malang. Beberapa petani mulai menerapkan sistem PHT dan sebagian petani masih menggunakan cara konvensional. Di desa Bayem Kecamatan Kasembon Kabupaten Malang merupakan daerah endemis penggerek batang padi sehingga dapat mengakibatkan produksi padi di daerah tersebut menurun. Oleh karena itu, dilakukan penelitian tentang

(3)

20 perbedaan sistem PHT dan konvensional terhadap populasi penggerek batang padi, intensitas serangan penggerek batang padi dan musuh alaminya.

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di lahan pertanaman padi Desa Bayem, Kecamatan Kasembon, Kabupaten Malang dan di Laboratorium Hama Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Juli 2012.

Metode

Lahan penelitian yang digunakan ada 6 petak yang masing-masing petak berukuran 25 x 20 m dengan jarak tanam 20 x 10 cm. Lahan yang digunakan untuk persemaian memiliki luas 1/30 dari luas lahan yang akan ditanami.

Benih yang digunakan adalah varietas Inpari 6. Benih yang akan ditanam terlebih dahulu direndam

olehPlant Growth Promoting

Rhizobacteria (PGPR) selama sehari semalam. Bibit dipindah tanamkan setelah 12-15 hari setelah persemaian.

Penelitian ini menggunakan metode teknik pengambilan contoh serangga dan menghitung populasi serta intensitas serangan penggerek batang padi pada pertanaman padi PHT dan konvensional. Praktek yang membedakan pelaksanaan budidaya adalah membuat ‘weedstrip’ pada pinggiran pertanaman padi PHT dengan membiarkan

Monochoria vaginalis Burm. F.

(Pontederiaceae) dan Limnocharis flava L. (Limnocharitaceae) yang tumbuh di sekeliling bagian dalam petak sawah selebar 0,5 m.

Pengamatan populasi penggerek batang padi pada pertanaman padi PHT dan konvensional dilakukan tiga hari sekali setelah tujuh hari setelah tanam

(HST). Lahan yang dijadikan pengamatan adalah 3 lahan contoh pada lahan PHT dan 3 lahan contoh pada lahan konvensional. Pengamatan populasi penggerek batang padi yaitu dengan mengambil kelompok telur dan larva yang terdapat pada tanaman contoh.

Kelompok telur diambil dari 10 rumpun tanaman padi. Setiap kelompok telur yang didapatkan dimasukkan ke dalam kantung plastic dan diberi label. Kemudian dibawa ke laboratorium untuk diamati jumlah telur pada setiap kelompok telur, jumlah telur yang menetas menjadi larva dan jumlah imago parasitoid yang muncul. Selanjutnya dilakukan penghitungan tingkat parasitasi pada kelompok telur. Tanaman contoh yang menunjukan gejala serangan penggerek batang padi diambil untuk diamati kemudian dihitung jumlah larva pada 10 rumpun tanaman padi.

Pengamatan intensitas serangan penggerek batang padi dilakukan dengan mengamati 10 rumpun padi per petak secara acak dengan arah diagonal satusisi. Pengamatan dilakukan dengan mengamati anakan yang menunjukkan gejala sundep atau beluk pada rumpun padi. Pengamatan dilaksanakan dua minggu setelah tanam sampai satu minggu sebelum panen. Kerusakan yang disebabkan oleh penggerek batang padi dihitung dengan rumus:

I = a

a + b x 100%

Dimana I adalah intensitas serangan (%), a adalah jumlah anakan yang terserang dan b adalah jumlah anakan yang sehat (Natawigena, 1989).

Pengamatan terhadap serangga yang berada dipertanaman padi juga dilakukan dengan mengamati serangga-serangga yang tertangkap pada perangkap panci kuning. Perangkap panci kuning diletakkan pada penyangga setinggi lebih

(4)

21 kurang 60 cm dari permukaan tanah. Pada masing-masing lahan perlakuan dipasang 6 perangkap panci kuning. Serangga yang telah didapat diidentifikasi di laboratorium. Serangga yang ada di rumpun padi diambil dengan farmcop. Pada masing-masing lahan ditetapkan 10 rumpun tanaman contoh secara diagonal satu sisi. Mula-mula setiap rumpun tanaman contoh di sungkup dengan tabung mika dengan garis tengah 40 cm dan tinggi 80 cm. Pengambilan serangga menggunakan farmcop dilakukan tiga hari sekali setelah tujuh hari setelah tanam. Serangga yang telah didapat diidentifikasi di laboratorium.

Analisis Data

Data yang dikumpulkan dianalisis dengan uji t dengan tingkat ketelitian 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Penggerek Batang Padi

Hasil uji t menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang nyata dari pertanaman padi dengan sistem PHT dan secara konvensional terhadap rerata populasi kelompok telur, larva dan imago (Tabel 1). Rerata populasi kelompok telur pada pertanaman padi PHT adalah 1,024 per rumpun dan tidak berbeda nyata dengan rerata populasi di pertanaman padi konvensional sebesar 1,017 per rumpun. Rerata populasi larva pada pertanaman padi PHT adalah 1,39 per rumpun tidak berbeda nyata dengan rerata populasi di pertanaman padi konvensional sebesar 1,177 per rumpun. Demikian pula tidak terdapat pengaruh secara nyata dari pertanaman padi PHT dan secara konvensional terhadap rerata imago Scirpophaga innotata hasil tangkapan perangkap panic kuning. Rerata populasi imago di pertanaman padi PHT adalah 1,202 ekor per perangkap dan tidak berbeda nyata dengan rerata populasi

imago di pertanaman padi konvensional sebesar1,075 ekor per perangkap.

Fluktuasi populasi kelompok telur yang dijumpai di pertanaman padi PHT dan secara konvensional disajikan pada Gambar 1. Pada pertanaman padi PHT maupun secara konvensional pada minggu pertama setelah tanam sudah ditemukan kelompok telur. Populasi kelompok telur di pertanaman padi PHT dan konvensional meningkat pada fase vegetatif. Populasi kelompok telur yang ditemukan di pertanaman padi PHTlebih banyak pada minggu ke-4 setelah tanam dan pada pertanaman padi konvensional dari minggu pertama sampai minggu ke-5 setelah tanam. Kemudian pada minggu ke-7 setelah tanam di pertanaman padi PHT dan konvensional pada minggu ke-6 tidak dijumpai kelompok telur.

Pada pengamatan pertama, masing-masing pertanaman padi sudah ditemukan adanya larva penggerek batang padi (Gambar 2). Terjadi penurunan populasi larva pada minggu kedua setelah tanam dikarenakan pada minggu kedua dilakukan aplikasi insektisida pada pertanaman konvensional sedangkan pertanaman padi PHT dilakukan penggunaan agens hayati dengan melepaskan telur parasitoid Trichogramma sp. Pada minggu ke-9 sampai pada minggu ke-10 terjadi kenaikan populasi larva penggerek batang padi, hal ini sulit dijelaskan karena beberapa minggu sebelumnya sudah tidak dijumpai kelompok telur. Diduga dalam pengamatan kelompok telur, kurangnya jumlah sampel sehingga pada minggu ke-9 sampai ke-12 terjadi peningkatan populasi larva. Penyebaran larva penggerek batang padi di pengaruhi oleh angin, dimana larva mengeluarkan benang halus dan dipakai untuk bergelantung pada bagian ujung daun dan berayun-ayun sampai ke rumpun padi yang lain atau permukaan air yang dipengaruhi oleh angin (Suharto, 2010).

(5)

22

Tabel 1. Rerata jumlah kelompok telur, larva, dan imago penggerek batang padi di pertanaman padi PHT dan konvensional

Perlakuan Kelompok Telur

1.) Larva1.) Imago 2.) x ± SE x ± SE x ± SE PHT 1,024 ± 0,008 1,39 ± 0,154 1,202 ± 0,094 Konvensional 1,017 ± 0,006 1,177 ± 0,088 1,075 ± 0,031 p 0,17 1,19 0,13

Ket: 1 adalah per rumpun dan 2 adalah per perangkap panci kuning

Gambar 1. Rerata populasi kelompok telur penggerek batang padi di lahan PHT dan konvensional per rumpun

Pada pengamatan pertama, masing-masing pertanaman padi sudah ditemukan adanya larva penggerek batang padi (Gambar 2). Terjadi penurunan populasi larva pada minggu kedua setelah tanam dikarenakan pada minggu kedua dilakukan aplikasi insektisida pada pertanaman konvensional sedangkan pertanaman padi PHT dilakukan penggunaan agens hayati dengan melepaskan telur parasitoid Trichogramma sp. Pada minggu ke-9 sampai pada minggu ke-10 terjadi kenaikan populasi larva penggerek batang padi, hal ini sulit dijelaskan karena beberapa minggu sebelumnya sudah tidak dijumpai kelompok telur. Diduga dalam pengamatan kelompok telur, kurangnya jumlah sampel sehingga pada minggu ke-9 sampai ke-12 terjadi peningkatan populasi larva. Penyebaran larva

penggerek batang padi di pengaruhi oleh angin, dimana larva mengeluarkan benang halus dan dipakai untuk bergelantung pada bagian ujung daun dan berayun-ayun sampai ke rumpun padi yang lain atau permukaan air yang dipengaruhi oleh angin (Suharto, 2010).

Adanya pengaruh dari penggunaan PGPR sebelum benih ditanam diduga dapat mempengaruhi populasi larva. Salah satu kelompok bakteri PGPR adalah Azospirillum sp. yang dapat digunakan sebagai pupuk hayati dan mempunyai kemampuan menambat Nitrogen serta melarutkan Fosfat (Riyanti, 2010). Menurut Suparno (1995), tanaman padi yang dipupuk N lebih banyak mengandung protein sehingga selama pertumbuhan larva memakan jaringan tanaman padi yang lebih banyak mengandung protein. 0 0,05 0,1 0,15 0,2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 J u m la h K el o m p o k t el u r p er r u m p u n Pengamatan (Minggu) PHT Konvensional

(6)

23

Gambar 2. Rerata populasi larva penggerek batang padi pada PHT dan konvensional per rumpun

Rerata populasi imago didapatkan dari hasil tangkapan menggunakan perangkap kuning yang ditempatkan pada masing-masing lahan tersebut. Populasi tangkapan imago menunjukkan bahwa, di pertanaman padi PHT maupun konvensional, pada minggu kedua sampai minggu ke-6 setelah tanam (Gambar 3). Faktor yang mempengaruhi populasi imago penggerek batang padi adalah jarak kedua lahan berdekatan, sehingga imago penggerek batang padi mampu untuk terbang dari satu lahan ke lahan yang lain. Menurut Suharto (2010), ngengat penggerek batang padi merupakan penerbang yang kuat, mampu terbang sampai 6 km dalam usaha untuk meletakkan telurnya bahkan bisa lebih jauh lagi kalau terbawa angin.

Intensitas Serangan Penggerek Batang Padi

Intensitas serangan penggerek batang padi di pertanaman padi PHT maupun secara konvensional selaras dengan jumlah larva yang telah ditemukan pada minggu ke-9 setelah tanam. Dimana terdapat kenaikan populasi larva danhasil uji t menunjukkan terdapat pengaruh yang tidak nyata terhadap intensitas serangan penggerek batang padi (p=0,11) (Tabel 2). Fluktuasi intensitas serangan penggerek batang padi di pertanaman padi PHT dan secara konvensional disajikan pada Gambar 4. Di pertanaman padi PHT

maupun secara konvensional pada minggu pertama sampai minggu ke-8 sudah nampak adanya serangan. Tingginya intensitas serangan di pertanaman padi dengan sistem PHT daripada secara konvensional, hal ini diduga jumlah larva di pertanaman padi PHT lebih banyak dibandingkan dengan di pertanaman padi konvensional. Penggunaan PGPR pada benih sebelum ditanam juga mempengaruhi perkembangan dari larva. Larva penggerek lebih menyukai tanaman padi dengan pupuk N tinggi karena mengandung protein yang tinggi. Haryatun (2006) menambahkan beberapa hasil penelitian mengemukakan bahwa tanaman yang dipupuk menggunakan pupuk N dengan dosis tinggi maka kerusakan yang disebabkan oleh hama juga tinggi.

Parasitoid Pada Pertanaman padi dengan sistem PHT dan Konvensional

Parasitoid yang dikoleksi dengan menggunakan farmcop disajikan pada Tabel 3. Trichogramma japonicum, Telenomus rowani, dan Tetrastichus

schoenobii adalah parasitoid yang

diketahui menjadi parasitoid telur penggerek batang padi. Menurut Kalshoven (1981), Barrion (1989) dan Kartohardjono (2007) menyatakan bahwa ada tiga jenis parasitoid telur penggerek batang padi yaitu T. schoenobii, T. rowani dan T. japonicum diantaranya yang sering

0,0 2,0 4,0 6,0 8,0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 R er a ta p o p u la si l a rv a p en g g er ek b a ta n g p a d i p er r u m p u n Pengamatan (Minggu) PHT Konvensional

(7)

24 dijumpai dan tingkat parasitisasinya tinggi yaitu T. schoenobii. Rerata parasitoid di pertanaman padi PHT lebih banyak T. japonicum (1,26 ekor per rumpun) dan di pertanaman padi konvensional adalah T. schoenobii (1,093 ekor per rumpun). Rerata parasitoid yang didapatkan lebih banyak di pertanaman padi PHT daripada secara konvensional, diduga dengan membuat weed-strip di pertanaman padi PHT dengan Limnocharis flava dan Monochoria vaginalis, maka tersedia habitat untuk musuh alami terutama parasitoid. Hal ini di dukung oleh

Karindah et al, (2011a), menyatakan bahwa habitat di sekitar lahan pertanian bisa merupakan tempat bagi banyak serangga predator dan parasitoid seperti gulma atau rumput-rumputan yang dapat dimanfaatkan untuk pelestarian parasitoid dan predator sebagai sumber pakan, tempat berlindung dan berkembang biak. Masfiyah et al (2014) menambahkan bahwa terdapat berbagai jenis tumbuhan liar di pematang sawah yang dapat meningkatkan keragaman serangga parasitoid.

Gambar 3. Rerata populasi imago penggerek batang padi pada PHT dan konvensional per perangkap

Tabel 2. Intensitas Serangan Penggerek Batang Padi pada PHT dan Konvensional per rumpun

Perlakuan IntensitasKerusakan (%) / rumpun

x ± SE PHT 1,018 ± 0,009 Konvensional 1,003 ± 0,001 p 0,11 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 R er a ta p o p u la si i m a g o p en g g er ek b a ta n g p a d i p er p er a n g k a p Pengamatan PHT Konvensional 0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 In te n si ta s se ra n g a n p en g g er ek b a ta n g p a d i p a d a P H T d a n k o n v en si o n a l p er r u m p u n Pengamatan (Minggu) PHT Konvensional

(8)

25

Gambar 4. Intensitas serangan penggerek batang padi pada PHT dan konvensional per rumpun

Tabel 3. Rerata populasi parasitoid di pertanaman padi PHT dan konvensional per rumpun

Parasitoid PHT / rumpun Konvensional / rumpun

x ± SE x ± SE

T. schoenobii 1,081 ± 0,048 1,093 ± 0,055

T. japonicum 1,26 ± 0,123 1,024 ± 0,016

T. rowani 1,007 ± 0,003 1,034 ± 0,024

Jumlah 3,348 3,151

Rerata persen parasitasi pada kelompok telur disajikan pada Tabel 4. Rerata persen parasitasi terhadap kelompok telur penggerek batang padi oleh T. schoenobii lebih tinggi daripada parasitasi oleh T. rowani dan T. japonicum. Pada satu kelompok telur ditemukan dua sampai tiga spesies parasitoid telur yang memparasit sehingga terjadinya multiparasit (Tabel 5). Bila kelompok telur terparasit sekaligus oleh tiga spesies parasitoid, persentase penurunan telur yang menetas paling tinggi terjadi pada T. rowani (6,50%), T. japonicum (4,88%) dan T. schoenobii (29,93%). Berdasarkan hasil tersebut maka parasitoid yang paling kuat daya kompetisi adalah T. schoenobii dan yang paling lemah adalah T. japonicum. Hal ini didukung penelitian dari Rauf (2000) menyatakan bahwa terkait dengan sifat dari parasitoid T. schoenobiiyang berperan sebagai predator sehingga mampu memangsa 2-3 butir telur penggerek dengan daya kompetisi T. schoenobii lebih kuat daripada parasitoid lainnya.

Di desa Bayem baru diterapkan sistem PHT sehingga pengaruhnya terhadap populasi penggerek batang padi tidak nyata. Namun didaerah ini ditemukan parasitoid teluryang mampu melakukan parasitasi dengan persentase yang cukup tinggi.Pada pertanaman padi dengan sistem PHT telah ditambahkan

perlakuan pembuatan ‘weed strip’. Penyediaan ‘weed strip’ yang terdiri dari

M. vaginalis dan L. flava dapat

menambahkan kehadiran parasitoid telur penggerek batang padi lebih banyak daripada di pertanaman padi yang disiang bersih seperti pada pertanaman padi konvensional (Karindah et al, 2011b). Keberadaan parasitoid-parasitoid telur penggerek batang padi perlu dijaga kelestariannya. Oleh karena itu penerapan sistem PHT perlu dikembangkan lebih lanjut, sehingga aplikasi insektisida dapat diturunkan.

KESIMPULAN

Penerapan sistem PHT belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap penurunan populasi penggerek batang padi(Scirpophaga innotata) di pertanaman padi desa Bayem Kabupaten Malang danintensitas serangannya.

Rerata parasitoid yang didapatkan lebih banyak di pertanaman padi PHT daripada secara konvensional.Rerata persen Parasitasi terhadap kelompok telur penggerek batang padi oleh T. schoenobii lebih tinggi daripada parasitasi oleh T. rowani dan T. japonicum.

Pada satu kelompok telur ditemukan dua sampai tiga spesies parasitoid telur yang memparasit. Kelompok telur terparasit sekaligus oleh tiga spesies parasitoid mengakibatkan

(9)

26 menurunnya persentase pada T. rowani(6,50%), T. japonicum (4,88%) dan T. schoenobii (29,93%). Berdasarkan hasil tersebut maka parasitoid yang paling

kuat daya kompetisi adalah T. schoenobii dan yang paling lemah adalah T. japonicum.

Tabel 4. Rerata persen parasitasi pada kelompok telur penggerek batang Jumlah kelompok telur T. rowani T. schoenobii T. japonicum Persen parasitasi (%) Telur menetas (ekor) Telur tidak menetas (butir) 53 11,78 23,12 7,33 42,23 32,28 25,5

Tabel 5. Persentase parasitasi butir telur, telur yang menetas dan telur yang tidak menetas dari kelompok telur yang terparasit secara tunggal maupun ganda oleh tiga spesies parasitoid

Parasitoid Jumlah telur Penggerek (Butir) Persentase butir telur terparasit (%) Telur yang tidak menetas (%) Telur yang menetas (%) Satu spesies T. rowani 420 46,57 17,71 35,72 T. japonicum 418 41,36 27,18 31,45 T. schoenobii 1335 40,92 33,64 25,434 Dua spesies T. rowani dan T. japonicum 63 41,27 22,22 36,51 T. rowani dan T. schoenobii 516 42,53 16,55 40,91 Tiga spesies T. rowani, T. japonicum, dan T. schoenobii 123 41,31 8,21 50,48

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sri Karindah, MS dan Dr. Ir. Gatot Mudjiono selaku dosen pembimbing yang telah

membimbing penulis dalam

menyelesaikan penelitian ini. Penghargaan yang tulus kepada kedua orangtua dan kedua adik atas doa, motivasi serta dukungan yang diberikan kepada penulis. Teman-teman Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan angkatan 2008, Fakultas Pertanian Universitas

Brawijaya, serta semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Barrion, A. T., and J.A Litsinger. 1989. Taxonomy of Rice Insect Pests and Their Arthropod Parasites and Predators. International Rice Research Institute. Filippina.

Haryatun. 2006. Pengendalian Hama Penggerek Batang Padi Putih dengan Cara Tanam dan Pemberian Abu Sekam di Lahan Pasang Surut.

(10)

27 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Kalimantan Selatan. Hlm. 327-331.

Idris.2008. Fluktuasi Populasi Spesies Penggerek Batang Padi di Kabupaten Konawe. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara. Hlm. 1-5.

Kalshoven, L. G. E. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Revised And Translated by P. A. Van Der Laan, University of Amsterdam With The Assistance Of G. H. L. Rothschild, CSIRO, Canberra. P.T. IchtiarBaru-Van Hoeve. Jakarta.

Karindah, S., A. Purwaningsih, A. Agustin, dan L. P. Astuti. 2011a. Ketertarikan Anaxipha longipennis Serville (Orthoptera: Gryllidae) terhadap Beberapa Jenis Gulma di Sawah sebagai Tempat Bertelur. Jurnal Entomol. 8(1):27-35.

Karindah, S., B. Yanuwiadi, L. Sulistyowati dan P. Green. 2011b. Abundance of Metioche vittalicollis (Orthoptera:Gryllidae) and Natural Enemis in A Rice Agroecosystem as Influenced by Weed Species. Agrivita. 33(2):133-141.

Kartohardjono, A. 2007. Pemanfaatan Parasitoid Tetrastichus schoenobii ferr. (Eulopidae: Hymenoptera) dalam pengendalian penggerek batang pada tanaman padi. Prosding Seminar Nasional Hasil Penelitian. Bogor. Hlm. 413-417.

Masfiyah, E., S. Karindah, dan R. D. Puspitarini. 2014. Asosiasi Serangga Predator dan Parasitoid dengan Beberapa Jenis Tumbuhan Liar di Ekosistem Sawah. Jurnal HPT. 2(2):9-14.

Misnaheti.,D. Baco dan Aisyah. 2010. Tren Perkembangan Penggerek Batang pada Tanaman di Sulawesi Selatan. Hlm. 410-415.

Natawigena, 1989. Pestisida dan

Kegunaannya. Penerbit CV Armico. Bandung.

Rauf, A. 2000.Parasitasi Telur Penggerek Batang Padi Putih, Scirpophaga innotata (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae), Saat Terjadi Ledakan di Karawang Pada Awal 1990-an. Jurusan HPT IPB. Bogor. 12(1): 1-10.

Riyanti, E. I., T. Hadiarto dan D. N.Susilowati. 2010. Rekayasa Genetik Azospirillum Unggul untuk Menurunkan Penggunaan Pupuk Nitrogen sebesar 30% dan Penggunaan Pupuk Fosfat Sebessar 15% dari standar Pemupukan untuk Padi Sawah. [Laporan Akhir]. Litbang Deptan. Bogor.

Sembiring, H. 2007. Kebijakan Penelitian dan Rangkuman Hasil Penelitian BB Padi dalam Mendukung Peningkatan Produksi Beras Nasional. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. hlm. 39-59.

Suharto, H. 2010. Pengendalian Hama Penggerek Batang Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian.

Suparno, T. 1995. Pertumbuhan dan Perkembangan Scirpophaga

innotata Walker. (Lepidoptera:

Pyralidae) pada Tanaman Padi di Tanah dengan Kandungan Kalium Berbeda. Program PascaSarjana IPB. Bogor.

Untung, K. 2007. Kebijakan Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.

Warti. 2006. Perkembangan Hama Tanaman Padi Pada Tiga Sistem Budidaya Pertanian di Desa Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. [Skripsi]. FP IPB. Bogor.

Gambar

Gambar 1. Rerata populasi kelompok telur penggerek batang padi di lahan PHT dan  konvensional per rumpun
Gambar 2. Rerata populasi larva penggerek batang padi pada PHT dan konvensional per  rumpun
Tabel  2.  Intensitas  Serangan  Penggerek  Batang  Padi  pada  PHT  dan  Konvensional  per  rumpun
Gambar 4.  Intensitas serangan penggerek batang  padi pada PHT dan konvensional per  rumpun
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dimana pada sistem yang baru ini bagian keuangan akan dapat melakukan aktivitas dengan cepat dan akurat serta akan dapat menghemat waktu dalam aktivitas

14 Upravo u drugoj slici svoje drame Lukić vrlo vješto oslikava svoje likove s pomoću osobitog jezičnog iskaza sastavljenog od više idioma koji na trenutke te

A survey was conducted in Peninsular Malaysia where 1,355 respondents were interviewed using structured questionnaires to gather important information on their perception and

Semakin rendah konsentrasi manitol untuk berbagai jenis eksplan yang digunakan maka tinggi planlet akan semakin tinggi, sedangkan perlakuan berbagai jenis eksplan

22 tahun 2001 yang menghendaki supaya rakyat Indonesia merasa dan berpikir bahwa dengan sendirinya kita harus membayar bensin dengan harga dunia, agar dengan demikian

Sebagai bentuk nyata implementasi pemantauan kehadiran karyawan Universitas XYZ dan sebagai sarana informasi pelanggaran prosedur maka penelitian ini bertujuan untuk

Pada sub bab ini akan menjelaskan tentang perancangan program sistem informasi penjualan yang dibangun meliputi perancangan input dan perancangan output yang ada pada

Hal ini dikarenakan daging kerbau yang digunakan memiliki jaringan ikat yang banyak sehingga walaupun menggunakan jenis enzim yang berbeda (bromelin dan papain) proses