• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 4 Diskretisasi Numerik dan Simulasi Berbagai Kasus Pantai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 4 Diskretisasi Numerik dan Simulasi Berbagai Kasus Pantai"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 4

Diskretisasi Numerik dan Simulasi

Berbagai Kasus Pantai

Pada bab ini sistem persamaan (3.3.9-10) akan diselesaikan secara numerik dengan menggunakan metoda beda hingga. Kemudian simulasi numerik akan dilakukan untuk tiga buah kasus. Kasus pertama adalah dengan mengasumsikan bahwa dise-belah kanan dasar sinusoidal tidak ada pantai sedangkan kasus ke dua dan ke tiga dengan mengasumsikan adanya pantai di sebelah kanan dasar sinusoidal. Anali-sis akan dilakukan untuk ketiga simulasi ini yang meliputi bagaimana perilaku ge-lombang disepanjang dasar sinusoidal, seberapa besar gege-lombang transmisi setelah melewati dasar sinusoidal, dan pengaruh ketinggian dasar sinusoidal. Pada bab ibi juga akan ditunjukkan bahwa adanya dasar sinusoidal tidak selalu menguntungkan dalam arti selalu mereduksi amplitudo gelombang datang. Bahkan sebaliknya, yang dikhawatirkan dalam simulasi ini adalah hasil yang diberikan menunjukkan bahwa dengan adanya pantai yang memantulkan gelombang dapat mengakibatkan gelom-bang transmisi bertambah besar.

(2)

4.1

Diskretisasi Numerik

Pada bagian sebelumnya kita sudah mendapatkan suatu masalah nilai awal dan nilai batas yang diperoleh dari model SWE Linier untuk gelombang dengan dasar sinusoidal. Masalah nilai awal dan nilai batas yang dimaksud adalah

⎧ ⎨ ⎩ A¯t+ cA¯x = ikcD4 B B¯t− cB¯x = ikcD4 A (4.1.1)

dengan syarat awal: A(¯x, 0) = 0, B(¯x, 0) = 0 dan syarat batas: B(L, ¯t) = 0 dan A(0, ¯t) = A0.

Langkah selanjutnya adalah mentransformasikan persamaan (4.1.1) kembali ke dalam variabel fisis semula, yaitu ˆx dan ˆt. Untuk penyederhanaan, mulai saat ini

variabel fisis yang dimaksud diubah menjadi x dan t. Sehingga sistem persamaan (4.1.1) dapat dituliskan sebagai

⎧ ⎨ ⎩ At+ cAx = α ˆB ˆ Bt− c ˆBx =−αA (4.1.2)

dimana ˆB = iB dan {(x, t)|0 < x < L, t > 0}. Dengan syarat awal: A(x, 0) = 0, B(x, 0) = 0 dan syarat batas: B(L, t) = 0 dan A(0, t) = A0. Perhatikan bahwa konstanta α = kcεD/4, bergantung pada εD yaitu perbandingan amplitudo dasar sinusoidal dengan kedalaman air, k sebagai bilangan gelombang datang, dan c cepat rambat gelombang di atas dasar rata, c =√gh0.

Perhatikan persamaan (4.1.2), jika persamaan pertama dikalikan terhadap A dan karena ∂t  1 2|A(x, t)| 2= AA t, ∂x  1 2|A(x, t)| 2 = AA x

maka persamaan tersebut menjadi

(∂t+ c∂x)1 2|A|

2 = α ˆBA (4.1.3)

dengan cara yang sama, jika persamaan ke dua dikalikan terhadap ˆB maka

per-samaan tersebut menjadi

(∂t− c∂x)1 2| ˆB|

(3)

Jika α ˆBA > 0 maka persamaan (4.1.3) menyimpulkan bahwa dalam perambatan

gelombang ke kanan besaran 12|A|2 bertambah. Sebaliknya, (4.1.4) menunjukkan bahwa besaran 12| ˆB|2 berkurang. Disini besaran 12|A|2 diinterpretasikan sebagai energi gelombang yang ke kanan dan 12| ˆB|2 sebagai energi gelombang yang ke kiri. Hal ini didasarkan bahwa semakin besar amplitudo suatu gelombang maka semakin besar energi yang dibawa gelombang tersebut.

Selanjutnya, apabila persamaan (4.1.3) dikurangi (4.1.4), pada posisi x tertentu diperoleh persamaan t  1 2  |A|2− | ˆB|2= 2α ˆBA (4.1.5)

Dari persamaan di atas dapat disimpulkan bahwa transfer energi antara A dan ˆ

B akan terus terjadi selama A ˆB = 0 atau selama 12



|A|2− | ˆB|2 masih berubah

sebagai fungsi dari t. Disini, besaran 12 

|A|2− | ˆB|2 disebut sebagai fluks energi

yang disertakan dalam simulasi dan menunjukkan bahwa ada transfer energi antara

A dan ˆB.

Lebih jauh lagi, jika α ˆBA > 0 positif maka A mendapatkan energi dari ˆB,

yang berarti dalam perambatannya ke sumbu x-positif A bertambah. Sebaliknya, jika α ˆBA < 0 negatif maka ˆB mendapatkan energi dari A, yang berarti dalam

perambatannya ke arah sumbu x-negatif ˆB bertambah.

Untuk melihat bagaimana perilaku perambatan amplitudo gelombang yang ber-gerak ke kanan A dan yang berber-gerak ke kiri ˆB digunakan skema beda hingga pada

sistem persamaan (4.1.3). Untuk persamaan (4.1.2) yang pertama digunakan skema FTBS sedangkan persamaan (4.1.2) yang ke dua menggunakan skema FTFS. Se-hingga diperoleh dua buah persamaan beda, yaitu

An+1j − Anj Δt + c Anj − Anj−1 Δx = α ˆB n j (4.1.6) ˆ Bjn+1− ˆBnj Δt − c ˆ Bj+1n − ˆBjn Δx = αA n j (4.1.7)

(4)

Hasil penyederhanaan kedua persamaan beda di atas adalah sebagai berikut

An+1j = (1− r)Anj + rAnj−1+ αΔt ˆBjn (4.1.8) ˆ

Bn+1j = (1− r) ˆBjn+ rBj+1n − αΔtAnj (4.1.9) dengan r = cΔxΔt. Sebelum persamaan beda di atas digunakan dalam simulasi nu-merik terlebih dahulu diperiksa kestabilannya dengan menggunakan metode von-Neumann. Analisis kestabilan dengan menggunakan metode von-Neuman diberikan pada subbab berikutnya.

4.2

Analisis Kestabilan

Agar skema persamaan beda yang digunakan stabil perlu dilakukan analisis kesta-bilan untuk menentukan berapa rentang nilai r = cΔxΔt. Suatu skema dikatakan stabil jika nilai amplification factor kurang dari satu atau sama dengan satu, ρ≤ 1. Bila syarat ini tidak dipenuhi maka skema tidak dapat mendekati solusi eksaknya. Sekarang kita analisis persamaan beda (4.1.8). Prosedurnya adalah dengan menga-sumsikan bahwa

Anj = ρneikΔxj (4.2.1) sekarang persamaan (4.1.6) menjadi

ρn+1eikΔxj = (1− r)ρneikΔxj + rρneikΔxj−1+ Δtα ˆBjn (4.2.2) setelah ruas kanan dan ruas kiri dibagi dengan ρneikΔxj, maka persamaan di atas menjadi

ρ = 1 + r(e−ikΔx− 1) + α

ˆ

Bjn

Anj Δt (4.2.3)

mengingat bahwa kriteria kestabilan yang lebih lemah adalah|ρ| ≤ 1+O(Δt) untuk semua k, maka dari persamaan di atas diperoleh

(5)

Perhatikan bahwa nilai (1 − cos kΔx) selalu positif untuk kΔx berapapun, maka haruslah [2r2 − 2r] ≤ 0. Sehingga, syarat kestabilan dicapai saat r = cΔxΔt ≤ 1. Dengan melakukan cara yang sama untuk persamaan (4.1.9) hasil yang sama dapat diperoleh. Jadi syarat kestabilan untuk persamaan beda (4.1.8) dan (4.1.9) adalah

r ≤ 1.

4.3

Karakteristik Pantai

Pantai memiliki berbagai macam jenis. Di sini pantai dibedakan berdasarkan daya pantul atau daya serapnya terhadap gelombang yang menabrak pantai. Misalnya, pantai yang terdiri dari pasir memiliki daya serap gelombang yang besar sebaliknya memiliki daya pantul yang kecil. Berbeda dengan pantai yang terdiri dari batu-batu keras yang dapat memantulkan gelombang air dengan hampir sempurna. Selain dari bahan pembuatnya, bentuk pantai juga sangat mempengaruhi seberapa besar sebuah pantai dapat memantulkan gelombang.

Misalkan gelombang gelombang datang dengan amplittudo A(x, t) bergerak ke kanan, menabrak pantai yang terletak jauh di sebelah kanan x > L dan meng-hasilkan gelombang refleksi dengan amplitudo ˆB(x, t) yang bergerak ke kiri, sedemikian

sehingga

ˆ

B(x, t)

A(x, t) =|R| e

(4.3.1)

dengan |R| menyatakan proporsi amplitudo gelombang yang dipantulkan dan θ adalah beda fase antara gelombang datang dan gelombang pantul.

Perhatikan persamaan (4.3.1), untuk pantai yang menyerap gelombang secara sempurna berarti tidak ada gelombang yang dipantulkan kembali atau B(L, t) = 0ˆ

maka nilai R = 0. Jika gelombang datang dipantulkan secara sempurna, berarti bahwa amplitudo gelombang pantul sama dengan gelombang datang, maka koefisien

R memiliki nilai sama dengan satu dan eiθ =±1. Untuk eiθ = 1 beda fasa antara

A dan ˆB adalah θ = 0 dan untuk eiθ = −1 beda fasanya sebesar θ = π. Jadi gelombang dipantulkan dengan sempurna, R = 1, dan gelombang pantul memiliki

(6)

fase yang sama dengan gelombang datang apabila BAˆ = 1, sebaliknya jika BAˆ = −1 maka R = 1 dan θ = π.

Tentu saja dalam kenyataannya tidak ada pantai yang memantulkan gelombang secara sempurna atau pantai yang menyerap gelombang secara sempurna. Akan tetapi, kedua kasus ekstrim di atas sangat menarik untuk digunakan sebagai contoh. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan simulasi numerik untuk tiga kasus ekstrim, yaitu 1. Kasus pertama: ˆ B A = 0 di x = L (4.3.2) 2. Kasus kedua: ˆ B A =−1 di x = L (4.3.3) 3. Kasus ketiga: ˆ B A = 1 di x = L (4.3.4)

4.4

Simulasi Numerik

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai tiga kasus khusus, yaitu: ( ˆB/A) = 0,

( ˆB/A) =−1, dan ( ˆB/A) = 1. Simulasi numerik untuk ketiga kasus tersebut

meng-gunakan data yang sama, hal ini dimaksudkan untuk melihat perbedaan perambatan gelombang pada kasus-kasus tersebut.

Misalkan gelombang monokromatik bergerak ke kanan menuju daerah dengan dasar sinusoidal. Perambatan gelombang pada daerah ini dipengaruhi oleh panjang gelombang, amplitudo dasar sinusoidal, cepat rambat gelombang, dan syarat batas pada ujung-ujung dasar sinusoidal. Melalui simulasi numerik ini akan diperiksa bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi perambatan gelombang. Pada sim-ulasi ini, misalkan gelombang datang monokromatik memiliki amplitudo sebesar

(7)

A0 = 1 dan memiliki bilangan gelombang k yang menyatakan panjang gelombang monokromatik sebesar k = π, sebagai kondisi terjadinya resonansi Bragg bilangan gelombang dasar sinusoidal dipilih sebesar K = 2k = 2π, cepat rambat gelombang sebesar c = 1, dasar sinusoidal terbentang dari x = 0 sampai x = L = 10, dan perbandingan amplitudo dasar sinusoidal dengan kedalaman air sebesar εD = 0.08. Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa selama perambatannya di daerah dengan dasar sinusoidal terjadi perpindahan energi dari A ke B atau se-baliknya. Besarnya energi yang dibawa oleh gelombang dapat terlihat dari berapa amplitudo gelombang tersebut. Maka, dalam hal ini perpindahan energi direpre-sentasikan oleh 12(|A|2 − | ˆB|2). Jika A ˆB > 0 maka A memperoleh energi dari ˆB

dan membesar sepanjang perambatannya ke arah kanan. Sebaliknya, jika A ˆB < 0

maka ˆB mendapatkan energi dari A dan menurun selama perambatannya ke arah

kiri sepanjang dasar sinusoidal.

4.4.1

Kasus Pertama

Gambar 4.1: Pantai yang menyerap gelombang secara sempurna, (B/A) = 0

Pantai yang menyerap gelombang dengan sempurna diibaratkan sebagai pantai yang memiliki kemiringan yang kecil. Oleh karena itu, tidak ada gelombang yang dipantulkan kembali sehingga syarat batas di x = L menjadi ˆB(L, t) = 0.

Sim-ulasi dilakukan untuk nilai r = cΔxΔt = 1 sebagai syarat kestabilan, Gambar 4.8 memperlihatkan kurva A(x), ˆB(x), dan 12(|A|2− | ˆB|2) untuk waktu t tertentu.

(8)

Hal ini terlihat dari kurva ˆB yang semakin besar ke arah kiri. Saat t = 1 dan t = 5

terlihat ada bagian dari A, ˆB, dan 12(|A|2−| ˆB|2) yang bernilai nol. Hal ini disebabkan gelombang transmisi belum mencapai daerah itu. Gelombang mencapai x = 10 saat

t = 10 sesuai dengan cepat rambat gelombang sebesar c = 1. Sebelum gelombang

mencapai x = 10 amplitudo A cenderung menurun sejalan dengan perambatannya ke kanan, sedangkan | ˆB| cenderung meningkat selama perambatannya ke kiri. Hal ini

disebabkan ada perpindahan energi dari A ke ˆB. Besarnya energi yang dipindahkan

dari A ke ˆB sepanjang waktu sama karena hanya dipengaruhi oleh dasar sinusoidal.

Saat t = 19, A masih terus berkurang sedangkan ˆB terus naik. Setelah itu, keduanya

tidak mengalami perubahan sama sekali. Amplitudo gelombang datang tereduksi dan hanya menyisakan 83.2% saja yang diteruskan ke kanan, sedangkan amplitudo gelombang refleksi yang dihasilkan sebesar 55.8% dari amplitudo gelombang datang. Selanjutnya, untuk ketinggian dasar sinusoidal berbeda-beda hasil simulasi saat

t = 400 diperlihatkan oleh Gambar 4.3

Gambar 4.2: Garis yang berwarna hitam A(x) untuk nilai εD = 0.08, 0.1, 0.12, 0.14 berturut turut dari kurva paling atas ke bawah. Garis yang berwarna biru − ˆB(x)

untuk nilai εD = 0.08, 0.1, 0.12, 0.14 berturut turut dari kurva paling bawah ke atas. Saat t = 400

(9)

Tabel (4.1) menunjukkan berapa besar amplitudo gelombang yang diteruskan ke daerah sebelah kanan dasar sinusoidal dan berapa besar amplitudo gelombang refleksi yang dihasilkan ke daerah di sebelah kiri dasar sinusoidal pada akhir penga-matan t = 400, dengan nilai εD yang berbeda-beda.

εD A − ˆB A yang direduksi (%) 0.08 0.832 0.5579 16.8 0.10 0.7569 0.6575 24.31 0.12 0.6789 0.7389 32.11 0.14 0.6022 0.8039 39.78 0.16 0.5294 0.8547 47.06

Tabel 4.1: Perubahan A di x = 10 dan − ˆB di x = 0 saat t = 400 dengan α yang

berbeda-beda

4.4.2

Kasus Kedua

Pantai yang memantulkan gelombang dengan sempurna dengan beda fase antara gelombang yang menabrak pantai dengan gelombang refleksi dari pantai sebesar

θ = π, diibaratkan berada pada x = L dan memiliki komposisi batuan yang sangat

padat sehingga dapat memantulkan gelombang dengan sempurna. Simulasi untuk kasus ini dilakukan dengan nilai r = cΔxΔt = 1 sebagai syarat kestabilan. Adanya pantai dengan ( ˆB/A) =−1 di x = 10 menyebabkan syarat batas menjadi: A(10, t) = − ˆB(10, t). Gambar 4.9 memperlihatkan kurva A(x), ˆB(x), dan 12(|A|2−| ˆB|2) untuk waktu t tertentu.

Hasil simulasi yang ditunjukkan pada Gambar 4.9 adalah untuk kasus BAˆ =−1. Sedangkan, kasus BAˆ = 1 ditunjukkan oleh Gambar 4.10. Kurva-kurva yang dis-ajikan untuk kedua kasus menggambarkan bagaimana perubahan sementara A dan

ˆ

B disepanjang dasar laut sinusoidal, 0 < x < 10. Untuk t < 10, hasil yang diperoleh

(10)

Gambar 4.3: Pantai yang memantulkan gelombang dengan sempurna berada pada

x = L, ( ˆB/A) =−1

pantai di x = 10. Pengaruh dasar sinusoidal dapat dilihat dari penyebaran sejum-lah gelombang A menjadi ˆB. Penyebaran gelombang ini sudah terjadi saat t = 1,

yaitu dengan bertambahnya ˆB walaupun hanya sedikit, bahkan lebih jelas terlihat

saat t = 5. Transfer enegi dari A menjadi ˆB menyebabkan besarnya A terus

berku-rang sepanjang waktu sedangkan ˆB terus naik. Proses ini terus berlangsung sampai t = 10 yaitu saat gelombang belum mencapai x = 10. Setelah t = 10 keadaan

menjadi berbeda untuk kedua kasus.

Kasus BAˆ = −1, pada kasus ini pembentukkan amplitudo ˆB terjadi karena dua

hal. Pertama, dari transfer energi amplitudo A yang disebabkan oleh dasar sinu-soidal dan yang kedua dari efek pantulan pantai di x = 10. Pengaruh pantulan pantai terasa sesaat setelah gelombang menabrak pantai. Saat t = 19, pengaruh pantai sangat jelas terlihat. Pada t = 25, kurva 12(|A|2−| ˆB|2) bernilai negatif untuk

| ˆB| > |A|. Untuk waktu selanjutnya t = 50, 100, 400, besar 12(|A|2− | ˆB|2) = 0, hal ini menunjukkan bahwa sudah tidak ada transfer energi antara A dan ˆB.

Selanjutnya, untuk perbandingan ketinggian dasar sinusoidal dengan dasar laut yang berbeda-beda,yaitu: εD = 0.08, 0.1, 0.12, 0.14, 0.16 hasil simulasi saat t = 400 diperlihatkan oleh Gambar 4.5. Tabel (4.2) menunjukkan berapa besar amplitudo gelombang yang diteruskan ke daerah sebelah kanan dasar sinusoidal dan berapa besar amplitudo gelombang refleksi yang dihasilkan ke daerah di sebelah kiri dasar

(11)

sinusoidal pada akhir pengamatan t = 400, dengan nilai εD yang berbeda-beda.

Gambar 4.4: Kasus BA = −1: Kurva A(x) dan − ˆB(x) saling berhimpit untuk nilai εD = 0.08, 0.1, 0.12, 0.14 berturut-turut dari atas ke bawah. Saat t = 400

εD A − ˆB A yang direduksi (%) 0.08 0.5341 1.0022 46.59 0.10 0.4567 1.0031 54.23 0.12 0.3904 1.0040 60.96 0.14 0.3338 1.0049 66.62 0.16 0.2854 1.0058 71.46

Tabel 4.2: Perubahan A di x = 10 dan − ˆB di x = 0 saat t = 400 dengan α yang

berbeda-beda

4.4.3

Kasus Ketiga

Pantai dengan BAˆ = 1, diibaratkan berada pada x > L sehingga saat gelombang ke kiri hasil pantulan dari pantai mencapai x = L beda fasenya sama dengan gelombang ke kanan yang akan menabrak pantai.

(12)

Gambar 4.5: Pantai yang memantulkan gelombang dengan sempurna berada pada

x > L, ( ˆB/A) = 1

Perhatikan Gambar 4.10, pada kasus ini adanya pantai memberikan efek yang berlawanan dengan hasil sebelumnya yaitu besar amplitudo ˆB yang dihasilkan

men-jadi positif. Karena A ˆB > 0 positif, A memperoleh energi dari ˆB. Dengan demikian,

amplitudo ˆB yang positif ini memberikan pengaruh pada A, sehingga A semakin

meningkat. Perhatikan saat t = 19, dari sebelah kanan ke kiri amplitudo ˆB, yang

positif, semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh perubahan amplitudo ˆB

men-jadi A. Sedangkan di sebelah kiri amplitudo B bernilai negatif karena pada selang ini efek pantai belum terasa dan efek yang terasa disini hanya berasal dari pemec-ahan gelombang oleh dasar sinusoidal. Sejalan dengan waktu besar amplitudo ˆB

semakin meningkat demikian juga dengan besar A, karena kedua amplitudo sal-ing mempengaruhi satu sama lain, sehsal-ingga besar ˆB menjadi positif disepanjang

0 < x < 10, lihat gambar untuk t = 100. Akhirnya, keadaan setimbang dicapai saat

t = 400 karena sudah tidak ada transfer energi antara A dan ˆB.

Selanjutnya, untuk perbandingan ketinggian dasar sinusoidal dengan dasar laut yang berbeda-beda,yaitu: εD = 0.08, 0.1, 0.12, 0.14, 0.16 hasil simulasi saat t = 400 diperlihatkan oleh Gambar 4.7.

Untuk perbandingan dasar sinusoidal dengan kedalaman, εD = 0.08, 0.1, 0.12, 0.14, 0.16 berturut-turut menghasilkan A(10) di akhir pengamatan saat t = 400 menjadi

(13)

Gambar 4.6: Kasus BAˆ = 1: Kurva A(x) dan ˆB(x) saling berhimpit untuk nilai α = 0.08, 0.1, 0.12, 0.14, 0.16 berturut-turut dari bawah ke atas. Saat t = 400

(14)

Gambar 4.7: Hasil simulasi untuk kasus BA = 0. Kurva berwarna hitam A(x), kurva berwarna biru ˆB(x), dan garis putus-putus adalah E(x)

(15)

Gambar 4.8: Hasil simulasi untuk kasus BA = −1. Kurva berwarna hitam A(x), kurva berwarna biru ˆB(x), dan garis putus-putus adalah E(x)

(16)

Gambar 4.9: Hasil simulasi untuk kasus BA = 1. Kurva berwarna hitam A(x), kurva berwarna biru ˆB(x), dan garis putus-putus adalah E(x)

Gambar

Gambar 4.1: Pantai yang menyerap gelombang secara sempurna, (B/A) = 0
Gambar 4.2: Garis yang berwarna hitam A(x) untuk nilai εD = 0.08, 0.1, 0.12, 0.14 berturut turut dari kurva paling atas ke bawah
Tabel 4.1: Perubahan A di x = 10 dan − ˆ B di x = 0 saat t = 400 dengan α yang berbeda-beda
Gambar 4.3: Pantai yang memantulkan gelombang dengan sempurna berada pada x = L, ( ˆ B/A) = −1
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa implementasi Peraturan Daerah Istimewa Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Penanganan Gelandangan Dan Pengemis di Kota

lagi.. Kesesuaian pendidikan ramah anak terhadap karakter siswa kelas rendah SD Muhammadiyah Program Khusus Kotta barat. Dengan pendidikan ramah anak, akan menciptakan

Selanjutnya, Pasal 6 memberikan pengecualian berkenaan dengan wewenang Pengadilan HAM, sebagai berikut: “Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara

Pada tahap awal , penggunaan metode vektor bidang kadang sulit untuk dipahami. Namun, apabila kita sudah terbiasa maka akan terbiasa bahwametode vektor

Sebagai tempat ibadah, Gereja Bethel Indonesia (GBI) membutuhkan sarana fisik yang dapat mewadahi seluruh aktivitas ibadah jemaahnya yang memerlukan ketenangan dalam

Misalnya melakukan penialian terhadap potensial impact, fraud atau kecurangan, ketidakpatuhan terhadap peraturan, dan lainnya, (item 7.2). Unit ULP belum memiliki

Penelitian tentang konversi lahan pertanian produktif akibat pertumbuhan lahan terbangun di Kota Sumenep bertujuan untuk mengetahui karakteristik perubahan tutupan

 Di pasaran Asia pula, produk Malaysia menghadapi ancaman iambakan dari produk dari negara China yang jauh lebih murah.  Masalah pemasaran tempatan pula clikaitkan dengan