STUDI DESULFURISASI BATUBARA SECARA MIKROBIOLOGI DENGAN BAKTERI Thiobacillus ferrooxidans
Fatimah
Staf Pengajar Program Studi Teknologi Industri Pertanian Politeknik Negeri Tanah Laut
e-mail: [email protected] ABSTRAK
Aktivitas pertambangan batubara dicirikan dengan dihasilkannya produk samping yang sangat banyak. Salah satunya adalah pirit yang mana akan meningkatkan keasaman air dan melarutkan logam berat. Proses pembakaran batubara selain menghasilkan energi, juga menghasilkan bahan pencemar berupa gas SOx yang sangat merugikan lingkungan. Desulfurisasi merupakan suatu teknik yang dilakukan untuk menghilangkan sulfur pada batubara, diharapkan dengan menurunnya sulfur batubara, maka dampak negatif dari gas SOx dapat diminimalkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menurunkan kandungan sulfur batubara dengan metode desulfurisasi secara mikrobiologi dengan bakteri T. ferrooxidans. Selain itu juga untuk mendapatkan kondisi optimum desulfurisasi batubara. Penelitian ini menggunakan batubara yang berasal dari Sangata Kalimantan Timur dengan kandungan sulfur total 2,12%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan sulfur batubara dapat diturunkan sampai 12,30%, dimana konsentrasi bakteri 10% dan waktu inkubasi 7 hari menunjukkan kondisi optimum desulfurisasi.
Kata kunci : desulfurisasi, batubara, metode mikrobiologi, Thiobacillus ferrooxidans PENDAHULUAN
Batubara yang kaya dengan kandungan karbon dapat dijadikan sebagai sumber energi dan bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar minyak dan gas yang sudah semakin menipis. Industri yang menggunakan bahan bakar batubara antara lain PLTU, industri briket, karet ban, kertas, kimia, minyak goreng, makanan, tekstil, metalurgi, semen, kemasan, pengecoran logam dan industri lainnya.
Batubara adalah suatu batuan sedimen organik berasal dari penguraian sisa berbagai tumbuhan yang merupakan campuran yang heterogen antara senyawa organik dan zat anorganik yang menyatu di bawah beban strata yang menghimpitnya. Batubara berasal dari tumbuhan yang mati, kemudian tertutup oleh lapisan batuan sedimen. Ketebalan
timbunan itu lama kelamaan menjadi berkurang karena adanya suhu dan tekanan yang tinggi (Muchjidin, 2006).
Batubara adalah suatu batuan sedimen tersusun atas unsur karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sulfur. Zat lain, yaitu senyawa anorganik pembentuk ash tersebar sebagai partikel zat mineral terpisah-pisah di seluruh senyawa batubara. Beberapa jenis batubara meleleh dan menjadi plastis apabila dipanaskan, tetapi meninggalkan residu yang disebut kokas. Batubara dapat dibakar untuk membangkitkan uap atau dikarbonisasikan untuk membuat bahan bakar cair atau dihidrogenasikan untuk membuat metan. Gas sintetis atau bahan bakar berupa gas dapat diproduksi sebagai produk utama dengan jalan gasifikasi sempurna dari batubara dengan oksigen dan uap atau udara (Muchjidin, 2006).
Aktivitas pertambangan batubara dicirikan dengan dihasilkannya produk samping yang sangat banyak, misalnya pirit dan sulfat, dimana dapat meningkatkan keasaman air dan melarutkan logam berat. PLTU merupakan salah satu jenis pembangkit listrik yang paling banyak menghasilkan emisi gas SOx dari hasil pembakaran batubara. Emisi gas tersebut apabila tidak dikendalikan dan berhasil lepas ke atmosfer akan menjadi masalah lingkungan, misalnya pencemaran lingkungan, kerusakan hutan, hujan asam, timbulnya korosi pada boiler, pemanasan global akibat efek rumah kaca dan lain-lain. Oleh sebab itu perlu dilakukan teknologi desulfurisasi. Undang-undang Udara Bersih Amerika Serikat tahun 1970 tentang polutan SO2 membatasi
emisi gas SO2 hasil pembakaran batubara
adalah 650 ppm (1,2 lb SO2/106 BTU)
(Sukandarrumidi, 2006). Di Indonesia, Menteri Negara Lingkungan Hidup mengeluarkan peraturan baku untuk PLTU diberlakukan sejak 1 Januari 2000 harus memenuhi batas maksimal emisi gas SO2 sebesar 750 mg/m3. Ambang
batas sulfur dalam batubara yang masih diperbolehkan berkisar 0,2 - 0,6% berat (Purawiardi, 2007).
Desulfurisasi merupakan teknik yang dilakukan untuk menghilangkan sulfur pada batubara. Proses desulfurisasi dengan metode kimia memiliki kemampuan desulfurisasi tidak saja untuk menghilangkan pirit, tetapi juga dapat menurunkan kadar sulfur organik yang terdapat di dalam batubara. Desulfurisasi batubara secara mikrobiologi dilakukan dengan memanfaatkan kemampuan mikroorganisme untuk mereduksi bahan pencemar itu. Mikroorganisme tersebut dikenal sebagai bakteri pereduksi sulfat (SRB). Diharapkan dengan berkurangnya sulfur tersebut, dampak negatif akibat pencemaran gas SOx di
udara yang diakibatkan pembakaran batubara dapat menjadi minimum.
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk menurunkan kadar sulfur pada batubara secara mikrobiologi dengan bakteri Thiobacillus ferrooxidans dan mendapatkan kondisi optimum desulfurisasi dengan parameter perlakuan meliputi konsentrasi bakteri dan waktu inkubasi.
Kandungan Kimia Batubara
Secara kimia, batubara tersusun atas tiga komponen utama, yaitu:
1. Air yang terikat secara fisika, dapat dihilangkan pada suhu sampai 105oC, disebut moisture.
2. Senyawa batubara atau coal substance, yaitu senyawa organik yang terutama tersusun atas karbon, hidrogen, oksigen, sulfur, dan nitrogen.
3. Zat mineral, yaitu senyawa anorganik
Berikut adalah model struktur batubara, dimana pirit terdistribusi secara acak
Gambar 1. Model struktur dan jenis senyawa organik sulfur batubara
Sulfur batubara terdapat dalam dua bentuk, yaitu organik dan anorganik. Sulfur organik terikat secara kovalen pada struktur kompleks yang mana sukar untuk dipisahkan dari struktur batubara. Sulfur organik berada dalam bentuk alifatik, aromatik atau heterosiklik, yang mana dapat diklasifikasikan dalam empat golongan:
1. Alifatik atau aromatik thiols (mercaptans, thiophenols)
2. Alifatik, aromatik atau bercampur sulfida (thioethers)
3. Alifatik, aromatik atau bercampur disulfide (dithioethers)
4. Senyawa heterosiklik atau tipe thiophene (Dibenzothiophene) (Haider, 2008).
METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan adalah sampel batubara dari Sangata Kalimantan
Timur, Isolat bakteri
Thiobacillus ferrooxidans diperoleh dari SITH ITB Bandung, Fe2SO4.7H2O,
MgSO4.7H2O, H2SO4 1N, K2HPO4,
(NH4)2SO4. Bahan untuk analisis
sulfur meliputi BaCl2, MgO, Na2CO3
anhidrous, HCl 2N, Na2SO4 anhidrous,
dan akuades.
Peralatan yang digunakan adalah Muffle furnace, cawan porselin, lumpang, bomb calorimeter adiabatic (Yosida 832-4351), shaker, spektrofotometer UV-Vis (Jenway 6305), oven, hot plate, timbangan analitik, vortex, Laminar Air Flow, cawan petri, hot plate stirrer (Ika RH basic 2), pH meter autoclave (HL36AE), lampu spiritus, shaker, rak tabung reaksi, aluminium foil, dan peralatan gelas standar.
Rancangan Percobaan
Menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari dua faktor dengan dua ulangan meliputi :
Faktor Pertama (C): konsentrasi bakteri, terdiri atas:
C1 = 5% C2 = 10% C3 = 15%
Faktor Kedua (D) : waktu inkubasi, terdiri atas:
D1 = 7 hari D2 = 12 hari D3 = 17 hari
Berikut matriks kombinasi perlakuan antara faktor Pertama dan Kedua ,
Tabel 1. Matriks kombinasi perlakuan desulfurisasi secara mikrobiologi C1 C2 C3 D1 C1D1 C2D1 C3D1 D2 C1D2 C2D2 C3D2 D3 C1D3 C2D3 C3D3
Tiap-tiap kombinasi perlakuan terdiri 2 kali ulangan sehingga keseluruhan ada 18 kali percobaan.
Pertumbuhan dan perbanyakan bakteri Thiobacillus ferrooxidans
Perbanyakan dilakukan pada medium cair dengan penanganan secara aseptik. Bakteri T. ferrooxidans sangat cocok hidup dalam lingkungan anorganik (Douglas, 1994). Bakteri T. ferrooxidans ditumbuhkan pada media 9K (Atlas, 2006, Hossain, 2005, Nowaczyk, et al., 1998, Ruamsap dan Akaracharanya. 2002, Barron, et al., 1990) dengan komposisi sebagai berikut:
Larutan I dalam 800 mL akuades: - K2HPO4 0,04%
- (NH4)2SO4 0,04%
- MgSO4 7H2O 0.04%
- H2SO4 1N 0,4%
Larutan II dalam 200 mL akuades: - FeSO4.7 H2O 3,34%
- H2SO4 1N 1,0%
Tambahkan semua bahan pada larutan I dengan akuades sampai volume
C D
800 mL, campur seluruhnya, kemudian di autoclave selama 15 menit suhu 1210C dan dinginkan sampai suhu 45-500C. Larutan II dibuat dengan cara menambahkan bahan tersebut dengan akuades 200 mL, campur dan dapat dihangatkan pada suhu 45-500C. Kedua larutan dicampur kemudian di tuang kedalam tabung reaksi atau Erlenmeyer. Inokulum pada media agar miring diinokulasikan sebanyak 3 ose kedalam media cair 50 mL, kemudian diinkubasi pada suhu kamar dengan laju pengadukan 100 rpm selama 10 hari. 10%(v/v) bakteri dipindahkan pada media baru. Pertumbuhan ditentukan dengan cara mengukur kekeruhan (Optical Density/OD) kultur bakteri tersebut menggunakan spektrofotometer (Irianto, 2006 ; Agustiyani et al, 2004) pada panjang gelombang 430 nm. Pertumbuhan bakteri dihitung pada hari ke-0; 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7; 8; 9 dan 10 kemudian dibuat kurva pertumbuhan bakteri. Perbanyakan bakteri dilakukan pada medium yang sama dengan inukolasi bakteri sebanyak 10% (v/v) dan lama inkubasi ditentukan setelah didapatkan pertumbuhan optimum diatas. Prosedur Kerja Penelitian
Menimbang sampel batubara masing-masing sebanyak 3,5 g lolos ayakan 90 mesh dan memasukkan pada erlenmeyer. Setelah itu menambahkan medium masing-masing sebanyak 33,25 mL; 31,5 mL; 29,75 mL atau dengan densitas pulp 10%. Inokulasi dengan bakteri sebanyak 1,75 mL atau 5%; 3,5 mL atau 10%; 5,25 mL atau 15% (v/v). pH awal diatur pada pH 2,25±0,2. Inkubasi dilakukan pada suhu kamar (28±20C) dengan laju pengadukan 100 rpm dengan masing-masing waktu inkubasi 7 hari; 12 hari dan 17 hari. Setelah diinkubasi pada waktu tertentu batubara dipisahkan dan dicuci sampai bersih dengan akuades sampai bebas
sulfat. Indikator bebas sulfat dengan meneteskan filtrat dengan larutan BaCl2
sampai tidak menimbulkan kekeruhan. Batubara kemudian dikeringkan yaitu dengan mengoven pada suhu 105oC selama 2 jam, setelah itu batubara ditimbang dan dilakukan analisis kadar sulfur dan nilai kalor.
Analisis Sulfur
Sulfur total pada batubara dianalisis menggunakan metode turbidimetri pada, sampel dipreparasi menggunakan metode Eschka (ASTM D 3177-02 method (A). 1,000 g batubara dalam cawan ditambahkan 3 g campuran Eschka (2 MgO :1 Na2CO3), campur sampai rata
dan diatas campuran tadi ditaburkan 1 g campuran Eschka sampai tertutupi. Panaskan campuran dalam muffle furnace sampai suhu 800±250C selama 1,5 jam. Digest dengan air panas, dekantasi melalui kertas saring beberapa kali sampai volume 250 mL. 8 mL filtrat ditambah 2 mL HCl 2N, kocok, tambahkan seujung sudip BaCl2. Catat
absorbansi λ 410 nm dan hasil absorbansi yang diperoleh diplotkan pada kurva standar, yaitu dengan membuat kurva baku sulfat (Na2SO4). Kalor
batubara dianalisis menggunakan metode adiabatis kalorimetri dengan alat calorimeter bomb dan pH diukur dengan pH meter.
Data kuantitatif desulfurisasi yang diperoleh dari pengamatan dianalisis menggunakan ANOVA (Analysis of Variance) atau Uji F dan apabila terdapat perbedaan maka dilanjutkan uji lanjut (Hanafiah, 2008).
HASIL DAN PEMBAHASAN Kurva Pertumbuhan Bakteri T. ferrooxidans
Kurva pertumbuhan dibuat untuk mengetahui fase-fase pertumbuhan bakteri T. ferrooxidans. Kurva ini dibagi
menjadi empat fase yaitu fase lag (adaptasi), fase log (eksponensial), fase stasioner (seimbang) dan fase kematian (penurunan). Kurva ini digunakan untuk menentukan waktu pada saat pertumbuhan bakteri optimum, dimana menghasilkan jumlah sel paling besar. Pertumbuhan ditentukan dengan cara mengukur kekeruhan OD (Optical Density) kultur bakteri tersebut dengan menggunakan spektrofotometer, dimana
OD sebesar 0,2 sebanding dengan densitas sel 109 sel/mL (Barron, et al. 1990). Hasil pengukuran absorbansi yang paling besar mengindikasikan bahwa pada saat itu pertumbuhan bakteri optimum dan siap untuk perlakuan desulfurisasi yang dilakukan. Berikut ditunjukkan kurva pertumbuhan bakteri T. ferrooxidans.
Gambar 2. Kurva pertumbuhan bakteri Thiobacillus ferrooxidans Berdasarkan hasil pengamatan pola
pertumbuhan bakteri T. ferrooxidans sebagaimana terlihat pada Gambar 4 menunjukkan fase adaptasi yang cepat, kemungkinan hanya beberapa jam setelah inokulasi. Pengukuran pertumbuhan bakteri dilakukan selama 10 hari dan dilakukan pengukuran tiap hari. Pada hari ke-1 sudah terlihat adanya pertumbuhan bakteri. Pada hari ke- 1 sampai hari ke-6 merupakan fase eksponensial dimana bakteri mengalami pertumbuhan tercepat. Pertumbuhan maksimum bakteri T. ferrooxidans adalah pada hari ke-6 dengan nilai 0,82. Barron, et al., (1990) melaporkan bahwa bakteri T. ferrooxidans yang ditumbuhkan pada media 9K dengan OD 0,2 sebanding dengan densitas sel 109 sel/mL. Ini berarti bahwa jumlah sel dengan OD 0,82 mempunyai densitas sel sebesar 4,1x109
sel/mL. Konsentrasi bakteri 5% ekivalen dengan jumlah bakteri 2,05x108 sel/mL, konsentrasi bakteri 10% ekivalen dengan jumlah bakteri 4,1x108 sel/mL dan konsentrasi bakteri 15% ekivalen dengan jumlah bakteri 6,15x108 sel/mL. Fase stasioner terjadi setelah fase eksponensial, dimana jumlah sel bakteri tetap, artinya jumlah pertumbuhan sel sama dengan jumlah kematian sel. Fase kematian terjadi setelah fase stasioner, jumlah bakteri yang mati lebih banyak daripada yang membelah diri (Hossain, 2005),
Pengaruh Perlakuan terhadap Desulfurisasi Batubara secara Mikrobiologi
Desulfurisasi batubara secara mikrobiologi merupakan suatu usaha untuk menghilangkan atau menurunkan
sulfur pada batubara dengan memanfaatkan mikroorganisme. Metode desulfurisasi yang kedua ini menggunakan bakteri Thiobacillus ferrooxidans sebagai bakteri pendesulfurisasi. Desulfurisasi secara mikrobiologi menggunakan dua faktor perlakuan. Faktor pertama adalah konsentrasi bakteri Thiobacillus ferrooxidans yaitu 5%; 10% dan 15%, faktor kedua adalah waktu inkubasi yaitu 7 hari; 12 hari dan 17 hari sebagaimana yang sudah dijelaskan pada prosedur kerja sebelumnya. Thiobacillus ferrooxidans merupakan salah satu bakteri pereduksi sulfat (SRB), bakteri
Gram negatif dan berbentuk batang, tumbuh pada lingkungan pertambangan anorganik, dapat hidup pada suhu kamar, termasuk bakteri aerob dan hidup pada pH asam (Douglas, 1994). Kondisi desulfurisasi yang dilakukan pada penelitian ini pada pH 2,4 – 2,42 dan suhu kamar. Thiobacillus ferrooxidans merupakan bakteri mesofilik, dapat hidup pada suhu kamar dengan kondisi pH desulfurisasi yang paling cepat terjadi pada pH antara 2-3,5 (Waites, et al., 2001). Berikut data hasil analisis sulfur setelah desulfurisasi batubara secara mikrobiologi ditunjukkan pada tabel dan gambar berikut.
Tabel 2. Data pengaruh konsentrasi bakteri T. ferrooxidans dan waktu reaksi terhadap kadar sulfur setelah desulfurisasi batubara
Perlakuan Rata-rata sulfur (%w/w) Desulfurisasi (%) [Bakteri] (%) Waktu (hari) Batubara awal - 2,12 - 5 7 2,03 4,48 12 2,02 4,75 17 2,08 1,97 10 7 1,87 12,30 12 1,91 10,31 17 2,02 4,63 15 7 1,95 8,36 12 2,09 1,15 17 2,18 -2,84
Berdasarkan Uji F yang dilakukan pada perlakuan, F hitung > F tabel 1% (Lampiran 9), berarti H1 diterima pada taraf uji 1%. Ini menunjukkan bahwa desulfurisasi batubara secara mikrobiologi dengan T. ferrooxidans berpengaruh sangat nyata, dimana T. ferrooxidans bertindak sebagai mikroorganisme pendesulfurisasi. Perlakuan optimum didapatkan pada kondisi desulfurisasi dengan konsentrasi T. ferrooxidans 10% dan waktu inkubasi selama 7 hari dengan penurunan sulfur sebesar 12,30% kemudian diikuti oleh
perlakuan dengan konsentrasi bakteri T. ferrooxidans 10% dan waktu inkubasi selama 12 hari dengan penurunan sulfur sebesar 10,31%.
Konsentrasi bakteri 10% merupakan keadaan yang seimbang dengan komposisi media yang tersedia. Nutrisi yang tersedia untuk pertumbuhan bakteri tercukupi, sehingga dapat menggunakan untuk aktivitas metabolisme. Konsentrasi bakteri 5% tidak cukup untuk melakukan aktivitas desulfurisasi batubara secara optimal. Nutrisi yang tersedia sangat melimpah,
tetapi jumlah bakteri tidak seimbang sehingga proses desulfurisasi belum optimal. Sebaliknya pada konsentrasi bakteri 15%, komposisi media yang tersedia kemungkinan tidak cukup untuk pertumbuhan bakteri sehingga aktivitas desulfurisasi batubara juga belum optimal atau ketersediaan nutrisi hanya cukup untuk konsentrasi bakteri 10% (v/v). Ruamsap dan Akaracharanya, (2002) melaporkan bahwa kondisi optimum desulfurisasi pirit terjadi pada konsentrasi bakteri 10% (v/v) dan terjadi penurunan desulfurisasi pirit pada konsentrasi bakteri 15% (v/v) dan 20% (v/v).
Hasil uji F menunjukkan bahwa interaksi antara faktor perlakuan konsentrasi bakteri T. ferrooxidans dan waktu inkubasi tidak nyata. Oleh sebab
itu perlu dilakukan analisis terhadap faktor-faktor pengaruh perlakuan desulfurisasi. Hasil uji F menunjukkan bahwa faktor perlakuan konsentrasi bakteri T. ferrooxidans berpengaruh sangat nyata dan faktor perlakuan waktu inkubasi berpengaruh sangat nyata. Oleh sebab itu, faktor perlakuan konsentrasi bakteri T. ferrooxidans dan faktor perlakuan waktu inkubasi dilakukan uji lanjut menggunakan Beda Nyata Jujur (BNJ). UJi lanjut dilakukan untuk mengetahui perbedaan pengaruh antar perlakuan. Pengaruh perlakuan konsentrasi bakteri T. ferrooxidans dan pengaruh perlakuan waktu inkubasi terhadap desulfurisasi batubara ditunjukkan pada tabel dan gambar berikut.
Tabel 3. Pengaruh perlakuan konsentrasi terhadap desulfurisasi batubara
Tabel 4. Pengaruh perlakuan waktu reaksi terhadap desulfurisasi batubara
Berdasarkan Tabel diatas dapat dijelaskan bahwa faktor konsentrasi bakteri T. ferrooxidans berpengaruh sangat nyata terhadap desulfurisasi batubara, dimana variasi konsentrasi bakteri T. ferrooxidans menghasilkan perbedaan desulfurisasi batubara yang nyata. Konsentrasi bakteri T. ferrooxidans optimum untuk desulfurisasi batubara secara mikrobiologi adalah 10% dan sangat berbeda nyata dengan faktor konsentrasi yang lain.
Waktu inkubasi berpengaruh sangat nyata terhadap desulfurisasi batubara, dimana perlakuan dengan waktu 7; 12 dan 17 hari menghasilkan perbedaan desulfurisasi batubara yang nyata dengan waktu inkubasi optimum adalah 7 hari.
Semakin lama waktu inkubasi terjadi penurunan desulfurisasi batubara. Jadi kondisi optimum desulfurisasi batubara diperoleh pada perlakuan dengan konsentrasi bakteri T. ferrooxidans 10% dan waktu inkubasi selama 7 hari.
Ambang batas sulfur dalam batubara yang masih diperbolehkan berkisar 0,2-0,6% berat. Hasil yang diperoleh pada desulfurisasi batubara secara kimia hanya mencapai 12,30%, belum memenuhi standar kualitas udara karena masih terdapat sulfur dengan kandungan 1,86%. Penelitian sebelumnya juga telah banyak menggunakan bakteri pereduksi sulfat yang lain untuk proses desulfurisasi batubara dan mempunyai aktivitas desulfurisasi yang berbeda-beda.
Hasil yang diperoleh adanya peningkatan sulfur dibandingkan batubara itu sendiri yaitu pada perlakuan dengan konsentrasi bakteri 15% dan waktu inkubasi selama 17 hari. Semua perlakuan menunjukkan bahwa semakin lama waktu inkubasi menyebabkan kenaikan sulfur. Aktivitas bakteri mengalami penurunan, berada pada fase stasioner berdasarkan pola pertumbuhan bakteri, menghasilkan senyawa hasil samping reaksi. Penambahan sulfur diduga karena adanya pembentukan senyawa hasil samping reaksi yaitu senyawa jarosit (MFe3(SO4)2(OH)6 yang
terdeposit pada batubara, berwarna kekuningan, bercak jingga, bersifat tidak larut bersama pencucian (Prayuenyong, 2002). Pada perlakuan dengan konsentrasi bakteri 15% dan waktu inkubasi 17 terjadi kenaikan massa sulfur sebesar 0,0023 g setelah waktu inkubasi 7 hari. Pembentukan jarosit ini dikarenakan
media bakteri yang mengandung ferrous sulfat dalam konsentrasi yang besar dan kontak yang sangat lama dengan media. Semua perlakuan dengan lama kontak dengan media selama 17 hari memperlihatkan hasil penurunan sulfur minimal. Ruamsap dan Akaracharanya, (2002) melaporkan terjadi penurunan desulfurisasi pirit setelah 8 hari karena terjadi pembentukan endapan senyawa Fe(OH)3 dan MFe2(SO4)3 pada batubara.
T. ferrooxidans mengoksidasi ion ferrous (Fe II) yang larut menjadi ion ferrat (Fe III) pada pH rendah sebagai sumber energi metabolisme dan ion ferrat bereaksi dengan pirit. T. ferrooxidans mempunyai enzim yang berperan dalam mengoksidasi sulfur dan besi(II) yaitu hydrogen sulfide: ferric ion oxireductase (SFORase), sulfite: ferric ion oxireductase dan iron oxidase (Sugio, et al., 1998).
4FeSO4 + O2 + H2SO4 2Fe2(SO4)3 + 2H2O
FeS2 + Fe2(SO4)3 3FeSO4 + 2S0
2 S0 + 3 O2 + 2 H2O 2 H2SO4
Reaksi oksidasi pirit dapat diringkas menjadi:
4FeS2 +15 O2 +2H2O 2Fe2(SO4)3+ 2H2SO4
(Prayuenyong, 2002).
Bakteri T. ferrooxidans merupakan bakteri yang hidup pada kondisi asam dengan pH optimum 2-3,5, bakteri ini
bekerja diiringi dengan adanya penurunan pH, ditunjukkan pada tabel berikut.
Tabel 5. Hasil analisis pH media bakteri setelah desulfurisasi Perlakuan
pH awal pH akhir
[Bakteri] (%) Waktu (hari)
5 7 2,42 2,29 12 2,42 2,10 17 2,42 2,10 10 7 2,41 2,25 12 2,41 2,11 17 2,41 2,10 15 7 2,40 2,22 12 2,40 2,15 17 2,40 2,10
pH media bakteri mengalami penurunan dengan adanya asam sulfat yang dihasilkan dengan pH awal berkisar 2,40-2,42 dan pH akhir antara 2,10-2,29. Olson (1991) melaporkan bahwa terjadi penurunan pH setelah desulfurisasi
batubara, tetapi tidak ada korelasi yang nyata antara penurunan pH dengan laju desulfurisasi.
Hasil analisis kalor setelah desulfurisasi batubara secara mikrobiologi pada tabel berikut.
Tabel 6. Data analisis kalor setelah desulfurisasi batubara Perlakuan
Nilai Kalor (kkal/kg) Kenaikan (%) [Bakteri] (%) Waktu (hari)
Batubara - 6233,917 5 7 5909,609 -5,49 12 5825,529 -7,01 17 5585,301 -11,61 10 7 7711,319 19,16 12 6930,578 10,05 17 5657,37 -10,19 15 7 5945,643 -4,85 12 5861,563 -6,35 17 6269,951 0,57
Keterangan : Tanda positif (+) : kenaikan nilai kalor batubara; Tanda negatif (-) : penurunan nilai kalor batubara
Kalor yang dihasilkan setelah desulfurisasi batubara dapat meningkatkan kalor batubara dari 6233,9165 kkal/kg menjadi 7711,319 kkal/kg pada perlakuan dengan konsentrasi bakteri T. ferrooxidans 10% dan waktu inkubasi selama 7 hari kemudian diikuti oleh peningkatan kalor batubara pada perlakuan dengan konsentrasi bakteri T. ferrooxidans 10% dan waktu inkubasi selama 12 hari. Ini sesuai dengan data yang diperoleh pada desulfurisasi batubara secara mikrobiologi sebelumnya, dimana didapatkan kondisi maksimum desulfurisasi.
Penurunan sulfur batubara diikuti dengan peningkatan kalor batubara dapat dikatakan bahwa sulfur yang dianggap sebagai “zat pengotor” dimana sulfur yang terikat pada batubara yang komponen terbesar batubara adalah karbon. Karbon merupakan unsur yang dapat menghasilkan kalor apabila dibakar
dengan oksigen. Karbon yang terikat oleh sulfur menyebabkan berkurangnya nilai kalor batubara, walaupun sulfur juga dapat menghasilkan kalor, tetapi tidak sebesar karbon. Pada saat sulfurnya dihilangkan, berarti massa batubara berkurang dan prosentase karbon yang tertinggal semakin besar. Kalor suatu bahan akan meningkat dengan semakin banyaknya prosentase karbon, dimana satuan kalor adalah kkal/kg. Berikut energi yang dihasilkan dari pembakaran karbon dan sulfur (reaksi eksotermis). C + O2(g) CO2 (g) ∆H=-393,5
kJ/mol
S + O2(g) SO2 (g) ∆H = -296,1
kJ/mol
Massa batubara setelah desulfurisasi batubara secara mikrobiologi ditunjukkan pada Tabel 7 berikut.
Tabel 7. Massa batubara setelah desulfurisasi batubara Perlakuan Massa awal (g) Massa akhir (g) [Bakteri] (%) Waktu (hari) 5 7 3,50 3,52 12 3,50 3,65 17 3,50 3,73 10 7 3,50 3,49 12 3,50 3,56 17 3,50 3,75 15 7 3,50 3,59 12 3,50 3,63 17 3,50 3,74
Massa batubara mengalami penurunan bersamaan dengan berkurangnya sulfur batubara pada perlakuan dengan konsentrasi bakteri 10% dan waktu inkubasi selama 7 hari. Tetapi pada perlakuan yang lainnya massa batubara tidak mengalami penurunan atau bahkan terjadi kenaikan massa. Ini disebabkan pada media bakteri mengandung besi (II) sulfat dalam jumlah besar. Disini terjadi pembentukan senyawa Fe(OH)3 yang berwarna
kekuningan dan bersifat tidak larut (Ruamsap dan Akaracharanya, 2002). Pembentukan Fe(OH)3 dipercepat dengan
adanya katalis, yaitu asam dan bakteri T. ferrooxidans. Media awal bakteri mengandung besi (II) sulfat (BM=152 g/mol) sebesar 3,34%. Jika Fe(OH)3 yang
dihasilkan (terkonversi) berasal dari 50% ion Fe2+ yaitu 1,67% media awal atau berasal dari FeS2, maka secara teoritis
dapat terbentuk endapan Fe(OH)3
sebesar 0,411 g dalam 35 mL media. Penambahan 0,411 g Fe(OH)3 secara
teoritis sangat berpengaruh terhadap massa akhir batubara, dimana didapatkan penambahan massa batubara mencapai 0,25 g pada waktu inkubasi 17 hari. 4Fe2+ + O2 + 10 H2O 4 Fe(OH)3 + 8
H+
Pembentukan senyawa jarosit juga mempengaruhi terhadap massa akhir batubara. Berdasarkan perhitungan pada perlakuan dengan konsentrasi bakteri 15% dan waktu inkubasi 17 hari, dimana terjadi penambahan sulfur setelah diinkubasi selama 7 hari sebesar 0,0023 g atau 0,017 g jarosit pergram batubara.
Besi yang terdeposit diketahui ketika sampel dibakar dengan bahan anorganik (pereaksi Eschka) pada suhu tinggi (800oC) selama 2 jam dimana terlihat adanya besi yang terikat pada bahan anorganik tersebut sebagaimana juga terlihat pada perlakuan desulfurisasi secara kimia.
KESIMPULAN
Desulfurisasi batubara secara mikrobiologi menggunakan bakteri T. ferrooxidans. Bakteri T. ferrooxidans dapat menurunkan sulfur batubara sebesar 12,30% dengan kondisi optimum desulfurisasi pada konsentrasi bakteri 10% dan waktu inkubasi selama 7 hari.
DAFTAR PUSTAKA
Agustiyani, D., Imamuddin, H., Faridah, E.N., and Oedjijono. 2004. Pengaruh pH dan Substrat Organik terhadap Pertumbuhan dan Aktivitas Bakteri Pengoksidasi Amonia. Jurnal Biodiversitas, 5(2): 43-47.
Atlas, R.M. 2006. Media for Enviromental Microbiology. Second Edition. CRC Press Taylor & Francis Group. USA. p. 857. Barron, J.L., and D.R., Leuking. 1990.
Growth and Maintenance of Thiobacillus ferrooxidans Cells. Applied and Enviromental Microbiology, 56 (9): 2801-2806. Douglas, R.E., and Kusano, T. 1994.
ferrooxidans. Microbiological Review, p. 39-55.
Hanafiah, K.A., 2008. Rancangan Percobaan: Teori dan Aplikasi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Irianto, K., 2006. Mikrobiologi Menguak
Dunia Mikroorganisme. CV. Yrama Widya. Bandung.
Muchjidin, 2006. Pengendalian Mutu dalam Industri Batubara. Penerbit ITB, Bandung.
Nowaczyk , K., Juszczak, A., Domka, F., and J. Siepak. 1998. The Use of Thiobacillus ferrooxidans Bacteria in the Process of Chalcopyrite Leaching. Polish Journal of Enviromental Studies, 7 (5): 307-312.
Olson, G.J., 1991. Rate of Pyrite Bioleaching by Thiobacillus ferrooxidans: Result of an Interlaboratory Comparison. Applied and Envirimental Microbiology, p. 642-644.
Prayuenyong, P., 2002. Coal Biodesulphurizatio Precesses. Songklanakarin J. Sci. Technol, 24(3): 493-507.
Purawiardi, R., 2007. Desulfurisasi Batubara Dondang, Kecamatan Muara Jawa Kalimantan Timur. Majalah Metalurgi, 22 (2).
Ruamsap, N., and Akaracharanya A., 2002. Pyritic Sulfur Removal from Lignite by Thiobacillus ferrooxidans: Optimation of a Bioleaching Process. J. Sci. Res. Chula. Univ, 27(2): 155-162. Sugio, T., Fujiwara, I., Hanase, M., and
K. Kamimura. 1998. Activities of Iron Oxidase and Hydrogen Sulfide: Ferric ion Oxireductase of Thiobacillus ferrooxidans Natural Enviroments. Sci. Rep. Fac. Agr, 87 : 77-83.
Sukandarrumidi. 2006. Batubara dan Pemanfaatannya. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Waites MJ., Morgan NL., Rockey JS., Higton AG., 2001. Industrial Microbiology An Introduction. Blackwell Publishing Company. USA.