1 I.1. Latar Belakang
Datum vertikal adalah permukaan ekipotensial yang mendekati kedudukan permukaan air laut rerata (geoid) yang digunakan sebagai bidang acuan dalam penentuan posisi vertikal. Titik kontrol elevasi yang tingginya diketahui terhadap suatu titik referensi (datum) yang digunakan untuk pengamatan pasang surut ataupun sebagai titik referensi untuk pengukuran sipat datar dinamakan dengan titik kontrol vertikal. Rangkaian dari titik kontrol vertikal ini dinamakan dengan sistem referensi vertikal. Datum vertikal sendiri terdiri atas datum global dan datum lokal.
Datum pasang surut adalah datum lokal yang ditentukan berdasarkan pada sebuah fase pasang surut. Datum pasang surut tidak dapat digunakan pada daerah-daerah lain dengan karakteristik hidrografi yang berbeda tanpa pengukuran lebih lanjut. Datum pasang surut sendiri ditentukan berdasarkan pengamatan muka air laut dari sistem pengukuran muka laut, dan didefinisikan pada daratan dengan perataan direferensial antara sistem pengukuran pasang surut dengan lokal bench marks. Bench
marks ini digunakan untuk melindungi ketinggian datum pasang surut jika sistem
pengukuran hilang, dan untuk digunakan oleh surveyor sebagai titik kontrol vertikal (NOAA 2001).
Penentuan datum pasang surut dilakukan berdasarkan analisis rerata dari prediksi data pengamatan pasang surut. Prediksi yang dilakukan idealnya 18,6 tahun karena periode tersebut dianggap dapat mewakili siklus pasang surut di wilayah tersebut. Setiap datum pasang surut tersebut tergantung dari karakteristik pasang surut dari lokasi tertentu, karena adanya variasi spasial di lapangan disetiap lokasi pengamatan (Spaulding 2010). Dengan prediksi pasang surut dapat dihasilkan informasi ketinggian muka air laut di masa mendatang. Prediksi pasang surut dibuat dengan menggunakan data pengamatan pasang surut sebelumnya, dimana data pengamatan tersebut memiliki panjang data yang beragam dan mengandung kesalahan seperti data melonjak (spike), data yang hilang (gap), maupun gangguan lainnya (noise). Keadaan tersebut mengakibatkan data prediksi yang didapat tidak mendekati
kenyataan di lapangan. Untuk mengetahui kesalahan tersebut dapat dilakukan perbandingan hasil data pengamatan asli dan hasil prediksi tersebut. Prediksi pasang surut bisa didapatkan dengan berbagai metoda salah satunya adalah metoda kuadrat terkecil. Metoda ini mengkondisikan nilai kesalahan kuadrat yang terjadi sama dengan minimum (Hermawan 2012).
Datum pasang surut banyak digunakan untuk berbagai kepentingan. Untuk kepentingan kelautan, datum pasang surut adalah referensi dari pengukuran ketinggian dan kedalaman yang dibuat (Hicks 1985), dan pada batas laut yang ditentukan. Pada praktisnya datum pasang surut memegang peranan penting untuk kegiatan survei hidrografi dan pemetaan, navigasi, batas maritim, perkiraan muka air laut, survei rekayasa laut, bahkan untuk peringatan dan mitigasi bencana (NOAA 2001).
Dalam perencanaan atau pengembangan pelabuhan, datum pasang surut menjadi sangat penting. Dengan penentuan datum pasang surut dapat ditentukan nilai elevasi muka air tertentu untuk memastikan keamanan jalur pelayaran atau navigasi, juga keamanan pelabuhan dan bangunan disekitar pesisir. Komponen datum pasang surut yang dihitung dari pengamatan tinggi rendahnya muka air laut, termasuk MSL (Mean
Sea Level), MHWS (Mean High Water Springs), MLWS (Mean Low Water Springs),
MHLW (Mean Lower High Water), MLHW (Mean Higher Low Water), MHWN (Mean High Water Neaps), MLWN (Mean Low Water Neaps), MHHW (Mean Higher
High Water), MLLW (Mean Lower Low Water), LAT (Lowest Astronomical Tide) dan
HAT (Highest Astronomical Tide) (ICSM PCTMSL 2011).
Pelabuhan Sadeng merupakan pelabuhan tradisional yang mulai dikembangkan pada tahun 1983, dimana kegiatannya dilakukan dengan konvensional. Dengan seiring berjalannya waktu, kegiatan penangkapan ikan disekitar pelabuhan mulai berkembang dengan pesat, menjadikan pelabuhan Sadeng sebagai pelabuhan ikan, terbukti dengan adanya Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) bertaraf nasional. Akibat dari perkembangan tersebut adalah meningkatnya frekuensi kapal yang merapat dan berlayar disekitar pelabuhan tersebut. Untuk menunjang hal tersebut, maka perlu dilakukan perkembangan pelabuhan dengan optimal agar kapal-kapal besar dapat merapat. Pengembangan ini dilakukan tanpa meninggalkan aspek keamanan pelayaran dan navigasi disekitar pelabuhan. Salah satu data yang diperlukan untuk melakukan pengembangan pelabuhan tersebut adalah datum pasang surut. Sedangkan di
pelabuhan Sadeng ini, belum ditemukan adanya penentuan datum pasang surut. Oleh karena itu penentuan datum pasang surut di pelabuhan Sadeng ini dilakukan sebagai kegiatan aplikatif.
I.2. Lingkup Kegiatan
Cakupan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Lokasi penelitian adalah pelabuhan Sadeng, desa Songbanyu Pucung, kecamatan Girisobo, Kabupaten Gunung Kidul, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan koordinat 110˚ 47’ 52” BT dan 80˚ 11’ 24” LS.
2. Data yang digunakan adalah data pasang surut dari stasiun pasang surut Sadeng. Diunduh dari website IOC, dengan interval pengamatan selama 1 tahun yaitu Oktober 2013-2014.
3. Perhitungan dilakukan dengan prediksi pasang surut menggunakan metode kuadrat terkecil yang direalisasikan dengan aplikasi t_tide pada perangkat lunak Matlab.
4. Datum pasang surut yang ditentukan adalah: - MSL (Mean Sea Level)
- MHWS (Mean High Water Springs) - MLWS (Mean Low Water Springs) - MHLW (Mean Lower High Water) - MLHW (Mean Higher Low Water) - MHWN (Mean High Water Neaps) - MLWN (Mean Low Water Neaps) - MHHW ( Mean Higher High Water) - MLLW (Mean Lower Low Water) - LAT (Lowest Astronomical Tide) - HAT (Highest Astronomical Tide)
5. Rumus perhitungan datum pasang surut yang digunakan mengacu pada ‘Australian Tides Manual : Special Publication No. 9 Version 4.1’ oleh ICSM (Intergovernmental Committee on Surveying & Mapping) PCTMSL (Permanent Committee on Tides and Mean Sea Level).
I.3. Tujuan
Penelitian ini dilakukan demi mencapai beberapa tujuan, yaitu:
1. Memperoleh nilai-nilai datum pasang surut yaitu MSL (Mean Sea Level), MHWS (Mean High Water Springs), MLWS (Mean Low Water Springs), MHLW (Mean Lower High Water), MLHW (Mean Higher Low Water), MHWN (Mean High Water Neaps), MLWN (Mean Low Water Neaps), MHHW ( Mean Higher High Water), MLLW (Mean Lower Low Water), LAT (Lowest Astronomical Tide) dan HAT (Highest Astronomical Tide) di pelabuhan Sadeng.
2. Mengetahui datum pasang surut yang aman untuk kepentingan navigasi pelayaran.
I.4. Manfaat
Penentuan datum pasang surut di pelabuhan Sadeng memberikan manfaat ilmiah maupun manfaat aplikatif. Manfaat ilmiah yang didapatkan berupa kajian dan penelitian mengenai datum pasang surut yang dapat dimanfaatkan dalam mengembangkan kegiatan aplikatif yang berkaitan dengan pengembangan pelabuhan Sadeng. Sedangkan manfaat aplikatifnya sangat beragam, mulai dari kepentingan survei hidrografi, survei rekayasa laut, mitigasi bencana, dan yang paling penting untuk mendukung pengembangan pelabuhan Sadeng yaitu untuk kepentingan navigasi.
I.5. Landasan Teori I.5.1. Pasang Surut Laut
Pasang surut laut adalah suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara periodik yang diakibatkan oleh kombinasi antara pengaruh gaya tarik benda langit terutama matahari dan bulan terhadap bumi. Pengaruh benda-benda langit ainnya dapat diabaikan karena jaraknya lebih jauh dan ukurannya lebih kecil. Selain itu, terdapat faktor lainnya yaitu faktor non periodik seperti angin atau badai maupun dinamika lokal perairan, tsunami, kenaikan air laut global dan sebagainya yang juga mempengaruhi gerakan pasang surut (Basith 2011).
I.5.1.1. Teori pembentukan pasang surut
Terdapat dua teori dalam pembentukan pasang surut sesuai dengan gaya pembangkit pasang surut. Teori pertama dijelaskan oleh Newton adalah teori kesetimbangan yang menyatakan bahwa bumi berbentuk bola sempurna yang seluruh permukaannya ditutupi oleh air, kemudian bumi dan air yang menutupinya dianggap dalam keadaan diam sampai ada gaya yang bekerja untuk menggerakannya. Sehingga, dapat dikatakan bahwa teori ini mampu memberikan gambaran pasang surut secara kualitatif, namun tidak secara kuantitatif. Teori ini hanya dapat dikembangkan pada kondisi bumi ideal, namun kondisi bumi sebenarnya tidak menunjukkan kondisi bumi ideal, hal ini disebabkan oleh permukaan bumi yang tidak sepenuhnya ditutupi oleh air, terdapat gaya gesekan antar massa air laut maupun antara massa air laut dengan dasar laut, serta kedalaman air laut yang tidak merata disetiap bagian bumi. Kemudian muncul teori kedua yaitu teori dinamis yang dijelaskan oleh Laplace. Teori ini menjelaskan bahwa pasang surut dibangkitkan oleh gaya pasang secara periodik dimana seluruh permukaan bumi ditutupi air yang memiliki kedalaman berbeda dan tergantung pada lintang bumi (Defant 1958, dalam Hasibuan 2009).
I.5.1.2. Gaya pembangkit pasang surut
Newton menjelaskan bahwa matahari dan bulan membangkitkan medan gaya di sekeliling bumi, dimana arah dan besarnya berubah-ubah secara periodik sesuai dengan posisi kedua benda langit itu terhadap bumi, sehingga gaya-gaya inilah yang membangkitkan pasang surut laut dan disebut dengan gaya pembangkit pasang surut. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa gaya pembangkit pasang surut ditimbulkan oleh kombinasi antara resultan gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi dengan gaya sentrifugal, seperti yang dijelasakan pada Gambar I.1.
Gambar I. 1. Mekanisme Pembentukan Pasang Surut (Sumber : Aziz 2006)
Gaya pembangkit pasang surut yang disebabkan oleh bulan mempunyai kekuatan yang lebih besar dibandingkan matahari, yaitu besarnya gaya penggerak pasang surut oleh matahari adalah sekitar 47% gaya penggerak pasang surut oleh bulan, hal ini disebabkan oleh jarak bulan ke bumi lebih dekat dibandingkan jarak matahari ke bumi walaupun massa matahari lebih besar dari bulan (Gross 1993), Sesuai dengan dengan adanya hukum Newton dengan “teori gravitasi universal” yang menjelaskan bahwa dua benda dengan massa dan jarak tertentu akan mengalami gaya tarik-menarik, gaya ini dapat diperhitungkan menggunakan persamaan I.1 (Poerbandono dan Djunarsjah 2005).
F =G 𝑚1 . 𝑚2
𝑟2 ... (I.1) Keterangan:
F : gaya tarik-menarik antara dua benda
m1 : massa benda (1)
m2 : massa benda (2)
𝑟 : jarak antara pusat benda (1) dan pusat benda (2)
Gaya tarik bulan adalah faktor utama pasang surut laut. Besaran gaya tarik bulan tergantung oleh jaraknya ke pusat bulan, serta memiliki arah menuju pusat bulan. Adanya gaya penyetimbang terhadap gaya tarik bulan disebut dengan gaya sentrifugal. Gaya sentrifugal ditimbulkan akibat dari rotasi bumi dan revolusi bumi-bulan terhadap pusat bersama bumi-bulan. Gaya sentrifugal memiliki besar yang sama untuk seluruh bagian bumi dengan arah menjauh dari bulan. Besarnya gaya sentrifugal dapat diperhitungkan dengan menggunakan persamaan I.2.
2 2 r a Me Mm g r Mm G Fs ... (I.2) Karena adanya keseimbangan bumi-bulan, maka di pusat bumi gaya pembangkit pasang surut memiliki nilai nol. Sehingga dapat diasumsikan bahwa besaran gaya sentrifugal di seluruh tempat di permukaan bumi sama dengan gaya tarik bulan di pusat bumi. Sehingga besaran dua komponen gaya tersebut dapat ditentukan dengan persamaan I.3. 𝐹𝑃𝑃 =𝐹𝑔+𝐹𝑠 = 2 2 r GM R GMm m ... (I.3)
(𝐹𝑠 bertanda negatif karena arahnya berlawanan dengan arah 𝐹𝑔) Keterangan:
𝐹𝑔 : gaya tarik bulan
𝐹𝑠 : gaya sentrifugal di permukaan bumi 𝐹𝑃𝑃 : gaya pembangkit pasang surut
G : konstanta universal gaya tarik = 6.67 x 10-11 N kg-2 m-2
mm : massa bulan
me : massa bumi
R : jarak antara suatu titik di permukaan bumi dengan pusat bulan
I.5.1.3. Posisi bulan dan matahari saat pasang surut
Posisi bulan, bumi dan matahari yang terletak dalam satu garis, maka gaya tarik bulan dan matahari masing-masing memberikan kontribusinya pada pembentukan pasang surut. Posisi ini terjadi pada saat bulan baru dan pada saat bulan purnama. Pasang surut yang terbentuk mempunyai tinggi yang maksimum dan dikenal sebagai pasang purnama (spring tide). Sebaliknya bila posisi bumi-bulan arahnya tegak lurus terhadap matahari, maka gaya tarik bulan dan gaya tarik matahari saling mengurangi dan pasang surut yang timbul tingginya minimum dan dikenal sebagai pasang perbani (neap tide) (Duxbury, dkk 1994, dalam Aziz 2006). Posisi bulan, bumi dan matahari saat terbentuknya pasang purnama dan pasang perbani diperlihatkan pada Gambar I.2.
Gambar I. 2. Posisi Bumi, Bulan dan Matahari Saat Pasang Surut (Sumber : Aziz 2006)
I.5.1.4. Konstanta harmonik pasang surut
Konstanta harmonik pasang surut adalah konstanta-konstanta yang dapat menyebabkan terjadinya pasang surut, dan memiliki sifat yang harmonik terhadap waktu. Konstanta harmonik pasang surut dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu (Pangesti 2012):
1. Konstanta harmonik pasang surut periode harian (diurnal period tide) 2. Konstanta harmonik pasang surut periode harian ganda (semidiurnal period
3. Konstanta harmonik pasang surut periode panjang (long period tide) 4. Konstanta harmonik pasang surut perairan dangkal (shallow water tide) Umumnya digunakan 9 komponen utama konstanta harmonik pasang surut untuk keperluan rekayasa, yaitu : M2, S1, K2, N2, K1, O1, P1, M4 dan MS4, dengan keterangannya dijelaskan pada Tabel I.1.
Tabel I. 1. Komponen Harmonik Utama Pasang Surut (Sumber : Pangesti 2012)
Komponen Pasang
surut
Keterangan Simbol Kec. Sudut
(⁰/jam) Ganda Dipengaruhi oleh Bulan Utama
Dipengaruhi oleh Matahari Utama Dipengaruhi oleh akibat lintasan bulan berbentuk ellips
Dipengaruhi oleh lintasan matahari berbentuk ellips M2 S2 N2 K2 28,9841 30,0000 28,4397 30,0821 Tunggal Dipengaruhi oleh deklinasi Bulan dan
deklinasi matahari
Dipengaruhi oleh deklinasi Bulan Utama Dipengaruhi oleh deklinasi Matahari Utama K1 O1 P1 15,0411 13,9430 14,9589 Perairan Dangkal
Kecepatan sudut dua kali kecepatan sudut M2
Merupakan modulasi dari M2 dan S2 dengan kecepatan sudut jumlah keepatan sudut M2 dan S2
M4 MS4
59,97 59,98
I.5.1.5. Konstanta harmonik pasang surut signifikan
Analisis harmonik pasang surut menghasilkan konstanta-konstanta pasang surut. Ditentukan menurut besarnya nilai SNR (Signal to Noise Ratio) yaitu perbandingan antara amplitudo dan amplitudo error (Pawlowicz, dkk 2002), konstanta harmonik pasang surut dibagi menjadi dua, yaitu konstanta harmonik tidak signifikan dan konstanta harmonik signifikan. Konstanta harmonik dapat dikatakan signifikan apabila konstanta harmonik tersebut memiliki nilai SNR > 1 (sesuai dengan SNR default pada
t_tide. Nilai SNR dapat ditentukan menggunakan persamaan I.4 (Leffler 2008).
SNR = ( 𝐴𝑖 𝐴 𝑒𝑟𝑟𝑜𝑟𝑖)
2
Keterangan:
SNR : nilai Signal to Noise Ratio
Ai : amplitudo konstanta ke-i
A error i : amplitudo error konstanta ke-i I.5.1.6. Tipe-tipe pasang surut
Tipe pasang surut ditentukan oleh frekuensi air pasang dengan surut setiap harinya. Hal ini disebabkan karena perbedaan respon setiap lokasi terhadap gaya pembangkit pasang surut. Tipe pasang surut ini dibedakan menjadi 4 (Wyrtki 1961, dalam Sangari 2014), yaitu:
1. Tipe pasang surut harian tunggal (Diurnal Tide) yang merupakan pasang surut yang hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari. 2. Tipe pasang surut harian ganda (Semi Diurnal Tide) yang merupakan pasang
surut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang tingginya hampir sama dalam satu hari.
3. Tipe pasang surut campuran condong harian tunggal (Mixed Tide, Prevailing
Diurnal) yang merupakan pasang surut yang tiap harinya terjadi satu kali
pasang dan satu kali surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali surut yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktu.
4. Tipe pasang surut campuran condong harian ganda (Mixed Tide, Prevailing
Semi Diurnal) yang merupakan pasang surut yang terjadi dua kali pasang dan
dua kali surut dalam sehari tetapi terkadang terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dengan memiliki tinggi dan waktu yang berbeda.
Keempat tipe pasang surut tersebut diilustrasikan dalam grafik yang daat dilihat pada Gambar I.3.
Gambar I. 3. Tipe-tipe Pasang Surut (Sumber : Triatmodjo 1999)
Selain dengan melihat data pasang surut yang diplot dalam bentuk grafik, tipe pasang surut juga dapat ditentukan berdasarkan bilangan Formzahl (F) yang dihitungan dengan persamaan I.5 (Adibrata 2007).
𝐹 =𝐴(𝐾1)+𝐴( 𝑂1)
𝐴(𝑀2)+𝐴( 𝑆2) ...(I.5) Keterangan:
𝐹 : Bilangan Formzahl
𝐴(𝐾1) : Amplitudo komponen soli-lunar
𝐴(𝑂1) : Amplitudo komponen utama lunar diurnal 𝐴(𝑀2) : Amplitudo komponen utama lunar semidiurnal 𝐴(𝑆2) : Amplitudo komponen utama solar semidiurnal
Klasifikasi tipe pasang surut berdasarkan dari besaran bilangan Formzahl dibagi menjadi (Adibrata 2007) :
1. Tipe pasang surut harian ganda (Diurnal Tide) , jika nilai bilangan Formzahl (F) adalah 0,00 < F ≤ 0,25.
2. Tipe pasang surut campuran condong harian tunggal (Mixed Tide, Prevailing
3. Tipe pasang surut campuran condong harian tunggal (Mixed Tide, Prevailing
Diurnal), jika nilai bilangan Formzahl (F) adalah 1,5 < F ≤ 3.
4. Tipe pasang surut harian tunggal (Diurnal Tide), jika nilai bilangan Formzahl (F) adalah F > 3.
I.5.2. Analisis Harmonik Pasang Surut
Analisis harmonik pasang surut adalah salah satu metode untuk mengetahui sifat dan karakter pasang surut di suatu tempat dari hasil pengamatan pasang surut dalam kurun waktu tertentu. Analisis pasang surut dilakukan melalui perhitungan nilai besaran konstanta harmonik pasang surut yang meliputi perhitungan nilai amplitudo dan beda fase masing-masing konstituen. Dasar hipotesa yang digunakan dalam analisis harmonik adalah teori Laplace yang menyatakan bahwa gelombang komponen pasang surut setimbang selama penjalarannya akan mendapatkan respon dari laut yang dilewatinya. Sehingga, amplitudo akan mengalami perubahan dan fasenya akan mengalami keterlambatan, namun kecepatan sudut akan relatif tetap (Emery 1997, dalam Syathari 2014).
Analisis harmonik pasang surut dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode kuadrat terkecil (least square) atau metode admiralty. Namun pada penelitian ini gunakan metode least square. Metode least square adalah metode pendekatan yang digunakan untuk pembentukan persamaan dari titik-titik data diskritnya, dan untuk analisis kesalahan pengukuran. Konsep metode ini didasarkan pada pemaksaan suatu kondisi matematis, yaitu jumlah kuadrat kesalahan dikalikan bobotnya adalah minimum (Pratiwi 2014).
Penentuan nilai konstanta harmonik pasang surut laut yaitu hasil hitungan dari nilai perubahan amplitudo dan keterlambatan fase, adalah hasil penjumlahan dari semua gelombang komponen harmonik pasang surut yang terjadi. Dengan demikian tinggi muka laut pada suatu saat ( t ) dapat dituliskan pada persamaan I.6 (Soeprapto 1993, dalam Prakoso 2015) : ) cos( ) ( 1 i i k i i t g A hm t h
... (I.6)Keterangan:
h(t) : elevasi muka air fungsi dari waktu
Ai : amplitudo konstanta ke-i
i : kecepatan sudut konstanta ke-i
gi : fase konstanta ke-i
hm : elevasi muka air rerata
t : waktu
k : jumlah konstanta pasang surut
Persamaan I.6 diuraikan sesuai dengan sifat trigonometri, sehingga dihasilkan persamaan I.7. t g A t g A hm t h i i k i i i i k i
icos cos sin sin
) ( 1 1
... (I.7) Jika dimisalkan : cosg Ar Ai i ...(I.8) Br g Aisin i ...(I.9) Keterangan :Ar dan Br adalah konstanta harmonik ke-i
Dengan persamaan I.8 dan persamaan I.9 yang disubstitusikan pada persamaan I76, maka dihasilkan persamaan I.10.
t B t A hm t h i k i r i k i rcos sin ) ( 1 1
...(I.10) Besarnya (hm) hasil hitungan dengan persamaan I.10 mendekati elevasi pasang surut pengamatan ℎ(𝑡𝑛) jika memenuhi kondisi persamaan I.11.𝑣(𝑡)2 = ∑𝑁𝑡=−𝑛{ℎ(𝑡) − ℎ(𝑡𝑛)} = minimum ... (I.11) Keterangan :
𝑣(𝑡) : residu
Kemudian persamaan I.11 diturunkan terhadap Ar, Br dan hm, sehingga dihasilkan persamaan I.12, persamaan I.13 dan persamaan I.14.
N n it M hm t h Ar v 1 2 ) cos( ) ( ) ( 2 0 ...(I.12)
N n it M hm t h Br v 1 2 ) sin( ) ( ) ( 2 0 ...(I.13) 0 2 hm v ... (I.14) Berdasarkan hubungan persamaan I.12, persamaan I.13 dan persamaan I.14 tersebut diperoleh 2n + 1 persamaan, dimana n adalah jumlah konstanta harmonik pasang surut laut. Sehingga besaran Ar, Br dan hm dapat ditentukan. Selanjutnya berdasarkan estimasi kuadrat terkecil maka persamaan dapat diuraikan dalam tiga tahap, yaitu dengan penentuan persamaan pengamatan tinggi muka laut L = AX, dengan penentuan persamaan koreksi V = (AX) – L, dan dengan penentuan nilai parameter X = (ATPA)-1 ATPL. Dengan ketiga tahap tersebut maka dihasilkanpersamaan pengamatan pasang surut yang dinyatakan dalam persamaan I.15.
) ( sin cos ) ( 1 1 t h t B t A hm t v i k i r i k i r n
...(I.15) Dari persamaan I.15, maka diperlukan desain matriks A, X, dan L untuk melakukan perhitungan estimasi kuadrat terkecil tersebut yang dinyatakan dengan persamaan I.16 sampai dengan persamaan I.19. t t t t t t t t t t t t t t t A n n n n k n k 1 k 2 1 1 k 1 1 1 k 1 2 1 1 1 k 1 1 1 k 1 2 1 1 sin sin cos sin cos 1 sin sin cos sin cos 1 sin sin cos sin cos 1 ...(I.16) 1 n h h L ...(I.17) ) ( ) (A PA 1 A PL X T T ...(I.18)
k k k B B A A h X 1 1 0 1 ...(I.19) Keterangan:
Matrik A : matrik koefisien yang merupakan hasil linearisasi persamaan observasi. Matrik L : matrik data pengamatan elevasi muka air laut.
Matrix X : matrik parameter konstanta harmonik pasang surut.
Penentuan nilai amplitudo konstanta pasang surut dapat ditentukan menggunakan persamaan I.23 yang berasal dari persamaan I.8 dan persamaan I.9 dengan melalui tahapan yang dinyatakan pada persamaan I.20, persamaan I.21 dan persamaan I.22. 𝐴𝑟2+ 𝐵𝑟2 = 𝐴𝑖2𝑐𝑜𝑠2(𝑔𝑖) + 𝐴𝑖2𝑠𝑖𝑛2(𝑔𝑖) ... (I.20) 𝐴𝑟2+ 𝐵𝑟2 = 𝐴𝑖2(𝑐𝑜𝑠2(𝑔
𝑖) + 𝑠𝑖𝑛2(𝑔𝑖)) ... (I.21) 𝐴𝑟2+ 𝐵𝑟2 = 𝐴𝑖2 ... (I.22)
𝐴𝑖 = √𝐴𝑟2+ 𝐵𝑟2 ... (I.23) Pada penentuan nilai fase konstanta pasang surut dapat ditentukan menggunakan persamaan I.26 yang berasal dari persamaan I.8 dan persamaan I.9 dengan melalui tahapan yang dinyatakan pada persamaan I.24 dan persamaan I.25.
𝐵𝑟 𝐴𝑟 = 𝐴𝑖sin(𝑔𝑖) 𝐴𝑖cos(𝑔𝑖) ... (I.24) i i i Ar Br g tan ... (I.25) 𝑔𝑖 = 𝑡𝑎𝑛−1 𝐵𝑟 𝐴𝑟 ... (I.26)
Keterangan:
L : data elevasi muka laut
A : matrik koefisien
X : parameter konstanta harmonik pasang surut laut
V : nilai koreksi
Ar : parameter A konstanta pembentuk pasang surut
Br : parameter B konstanta pembentuk pasang surut 𝛚 : kecepatan sudut gelombang harmonik
t : waktu pengamatan
Ai : amplitudo konstanta ke- i
g : fase
I.5.3. Prediksi Pasang Surut
Menurut Pratiwi (2014) prediksi pasang surut bertujuan untuk meramalkan tinggi muka air laut di suatu lokasi pada rentang waktu tertentu di masa mendatang. Dalam prediksi pasang surut diperlukan data amplitudo dan beda fase dari konstanta-konstanta pembangkit pasang surut. Selain untuk memprediksi elevasi muka air laut, prediksi pasang surut juga digunakan untuk mengetahui sifat pasang surut.
Hasil dari prediksi pasang surut dapat disajikan dalam bentuk tabel yang berisi rentang waktu prediksi beserta elevasi muka air laut prediksi, atau dapat pula disajikan dalam bentuk co-tidal chart yang merupakan interpolasi kelambatan fase pasang surut (Poerbandono 2005, dalam Prakoso 2015).
Prediksi pasang surut dapat ditentukan menggunakan persamaan I.27 (Ali, dkk 1994).
ℎ(𝑡) = ℎ𝑚 + ℎ𝑚𝑜+ ∑𝑘𝑖=1𝐴𝑖 cos (𝜔𝑖𝑡 − 𝑔𝑖) ... (I.27) Persamaan I.27 masih memerlukan koreksi amplitudo dan koreksi fase karena persamaan tersebut belum terikat pada waktu tertentu, sehingha perlu diubah sehingga terikat pada waktu tertentu menjadi persamaan I.28.
Keterangan:
h(t) : elevasi muka air fungsi dari waktu
Ai : amplitudo konstanta ke-i
i : kecepatan sudut konstanta ke-i
gi : fase konstanta ke-i
hm : elevasi muka air rerata
hmo : perubahan duduk tengah akibat faktor meteorologis
fi : faktor koreksi amplitudo konstanta pasang surut ke-i
xi : argumen astronomi konstanta pasang surut ke-i
t : waktu
k : jumlah konstanta pasang surut xi : vi + ui
vi : fase dari kontanta ke-i pada 00.00 GMT
ui : faktor koreksi yang tergantung pada node bulan (lunar) atau N
Nilai Ai, gi, dan hm pada persamaan I.27 dan persamaan I.28 diperoleh dari hasil analisis harmonik pasang surut. Nilai hmo merupakan faktor koreksi yang diberikan pada hm yang merupakan pengaruh meteorologis dan oseanografis, seperti angin, arus, perbedaan densitas air laut, serta tekanan udara.
Berdasarkan persamaan I.28 dapat diasumsikan bahwa hasil prediksi bergantung pada jumlah konstanta pasang surut yang digunakan, sehingga semakin banyak jumlah konstanta pasang surut yang dilibatkan dalam perhitungan prediksi maka hasil perhitungan prediksi pasang surutnya semakin menggambarkan keadaan pasang surut sebenarnya.
I.5.4. Kontrol Kualitas Data Pasang Surut
Kontrol kualitas data pasang surut bertujuan untuk melakukan verifikasi data pasang surut sehingga dapat dilakukan deteksi terhadap anomali data tak terduga yang muncul berupa outliers, spikes atau pun data kosong dan perubahan time-series dari data pasang surut (SHOM 2012). Kontrol kualitas data dilakukan dengan menggunakan metode visual melalui grafik. Metode ini menggunakan interpretasi visual untuk mengetahui adanya indikasi kesalahan atau tidak. Diawali dengan memeriksa adanya data kosong maupun kesalahan time-series, hingga adanya data
dengan lonjakan ekstrim yaitu spike atau outlier melalui grafik. Selain dengan menggunakan metode visual perlu juga dilakukan dengan metode uji statistik.
Uji stastistik dilakukan dengan menentukan nilai simpangan baku dengan tujuan untuk mendeteksi adanya kesalahan pada data, dimana keberadaan kesalahan data ditunjukkan dari nilai simpangan baku yang melebihi batas atas maupun batas bawah. Uji statistik dilakukan dengan uji global dengan syarat derajat kepercayaan 95% atau 2σ. Tes ini menghilangkan kesalahan pada data pasang surut dengan menolak data yang berada diluar tingkat kepercayaan 95%. Uji Global dapat dilakukan menggunakan persamaan I.29 (Sugiyono 2007 dalam Prakoso 2015).
𝜎 = √∑(𝑋𝑖− 𝑋̅)2
(𝑛−1) ... (I.29) Batas Atas = (𝑋̅̅ + 2σ)
Batas Bawah = (𝑋 ̅̅ - 2σ) Keterangan:
σ : simpangan baku atau standar deviasi 𝑋𝑖 : data pengamatan
𝑋̅̅ : rata – rata dari data pengamatan n : banyak data pengamatan
I.5.5. Datum Pasang Surut
Datum pasang surut adalah bidang referensi yang ditetapkan secara relatif berdasarkan ketentuan yang telah disepakati dan digunakan sebagai acuan dalam menentukan kedalaman titik di laut maupun tinggi titik di pantai. Datum pasang surut ini memiliki peranan penting dalam navigasi di laut, karena kegunaannya sebagai acuan kedalaman di laut. Penentuan datum pasang surut ini dilakukan dengan menggunakan data pengamatan pasang surut dalam kurun waktu tertentu, dalam penelitian ini digunakan data pengamatan pasang surut dengan periode 1 tahun yang setelahnya dilakukan perhitungan prediksi pasang surut untuk periode 18,6 tahun. Jenis-jenis datum pasang surut dijelaskan pada Tabel I.2.
Tabel I. 2. Jenis Datum Pasang Surut dan Definisinya
(Djunarsah 2007, dalam Hermawan 2012) dan (ICSM PCTMSL 2011) Jenis Datum
Pasang surut
Definisi
HAT Permukaan laut tertinggi, yang dapat diramalkan terjadi di bawah pengaruh keadaan meteorologis rata-rata dan kombinasi keadaan astronomi
LAT Permukaan laut terendah, yang dapat diramalkan terjadi di bawah pengaruh keadaan meteorologis rata-rata dan kombinasi keadaan astrnomi
MHWS Tinggi rata-rata pasang tertinggi, yang dapat diramalkan pada saat purnama (semi diuranal)
MLWS Tinggi rata-rata surut terendah, yang dapat diramalkan pada saat purnama (semi diurnal)
MHWN Tinggi rata-rata pasang tertinggi, yang dapat diramalkan pada saat perbani (semi diurnal)
MLWN Tinggi rata-rata surut terendah, yang dapat diramalkan pada saat perbani (semi diurnal).
MHHW Tinggi rata-rata pasang tertinggi, yang dapat diramalkan pada saat purnama (diuranal)
MLLW Tinggi rata-rata surut terendah, yang dapat diramalkan pada saat purnama (diurnal)
MLHW Tinggi rata-rata pasang tertinggi, yang dapat diramalkan pada saat perbani (diurnal)
MHLW Tinggi rata-rata surut terendah, yang dapat diramalkan pada saat perbani (diurnal).
MSL Tinggi rata-rata muka air laut selama pengamatan
Kedudukan datum pasang surut yang ditentukan tersebut dijelaskan kedudukannya dengan ilustrasi pada Gambar I.4.
Nilai HAT ditentukan berdasarkan nilai elevasi muka air tertinggi pada data prediksi pasang surut selama 18,6 tahun. Nilai LAT ditentukan berdasarkan nilai elevasi muka air terendah pada data prediksi pasang surut selama 18,6 tahun. Sedangkan nilai datum pasang surut lainya ditentukan dengan menggunakan rumus (ICSM PCTMSL 2011) yang dinyatakan dalam persamaan I.30 sampai dengan I.37. 𝑀𝐻𝑊𝑆 = 𝑍0+ ( 𝑀2+ 𝑆2 )...(I.30) 𝑀𝐻𝑊𝑁 = 𝑍0+ |𝑀2− 𝑆2|...(I.31) 𝑀𝐿𝑊𝑆 = 𝑍0− ( 𝑀2+ 𝑆2 )...(I.32) 𝑀𝐿𝑊𝑁 = 𝑍0− |𝑀2− 𝑆2|...(I.33) 𝑀𝐻𝐻𝑊 = 𝑍0+ (𝑀2+ 𝐾1+ 𝑂1)...(I.34) 𝑀𝐿𝐻𝑊 = 𝑍0+ |𝑀2− (𝐾1 + 𝑂1)|...(I.35) 𝑀𝐻𝐿𝑊 = 𝑍0− |𝑀2− (𝐾1 + 𝑂1)|...(I.36) 𝑀𝐿𝐿𝑊 = 𝑍0− (𝑀2+ 𝐾1+ 𝑂1)...(I.37) Keterangan :
MHWS : Mean High Water Springs MHWN : Mean High Water Neaps MLWS : Mean Low Water Springs MLWN : Mean Low Water Neaps MHHW : Mean Higher High Water MLHW : Mean Lower High Water MHLW : Mean Higher Low Water MLLW : Mean Lower Low Water
𝑍0 : Rata-rata ketinggian muka air laut (Mean Sea Level)
𝑀2 : Komponen pasang surut ganda dipengaruhi oleh bulan utama 𝑆2 : Komponen pasang surut ganda dipengaruhi oleh matahari utama 𝐾1 : Komponen pasang surut tunggal dipengaruhi oleh deklinasi bulan dan
𝑂1 : Komponen pasang surut tunggal dipengaruhi oleh deklinasi bulan utama
I.5.6. Aplikasi t_tide
Proses analisis harmonik pasang surut maupun prediksi pasang surut dilakukan dengan menggunakan perangkatlunak Matlab yang dilengkapi dengan aplikasi perangkat lunak t_tide v1.. Aplikasi t_tide disusun menggunakan metode kuadrat terkecil. Pada awalnya program ini dibuat oleh Mike G. G Foreman dalam bahasa fortran, selanjutnya S. Lentz dan B. Beardsley mengkonversi dalam bahasa Matlab, kemudian R. Pawlowicz melengkapi penulisannya menggunakan perhitungan yang kompleks, dan menambah kesimpulan, serta beberapa keuntungan lainnya.
Aplikasi t_tide mempunyai beberapa paket program, berikut paket program yang terdapat pada aplikasi t_tide (Pangesti 2012):
1. Program analisis harmonik dan pendukungnya
a. t_tide.m, untuk menghitung analisis pasang surut dari rangkaian
waktu yang nyata dan kompleks.
b. t_predic.m, untuk menghitung prediksi pasang surut menggunakan
hasil dari program t_tide.
c. t_vuf.m, untuk menghitung koreksi nodal dan argumentasi
astronomi.
d. t_getconsts.m, mengekstrak berbagai macam data konstanta
harmonik berdasarkan file data dari paket program Fortran.
e. t_synth.m, untuk menentukan konstanta harmonik yang digunakan
dalam prediksi pasang surut. 2. File dokumentasi
a. t_readme.m, merupakan file yang berisi penjelasan mengenai paket
program t_tide.
b. t_error.m, penjelasan mengenai interval kepercayaan dan
bagaimana hal tersebut dapat dikembangkan. 3. File demonstrasi
t_demo.m, contoh demo penggunaan program t_tide dengan mengunakan
4. Data file pendukung
t_equilib.dat file yang berfungsi untuk menghitung amplitudo setimbang
dari konstanta harmonik utama sesuai lintang yang dimasukkan. 5. Data program lainnya
a. tide3.dat, berisi file data konstanta harmonik standar dari paket
analisis Institute of Ocean Sciences (IOS), file ini dibaca sekali dan hasilnya tersimpan dalam struktur data dalam t_constituents.mat. b. t_equilib.dat file yang berisi faktor amplitudo A dan B.
c. t_constituents.mat, berisi struktur data konstanta harmonik.
d. t_example.mat, contoh data set elevasi muka laut di stasiun pasang
surut Tuktoyuktuk. I.5.7. Pelabuhan
Menurut Triatmodjo (2003) pelabuhan adalah daerah perairan yang terlindung dari gelombang, dilengkapi dengan fasilitas terminal laut meliputi dermaga dimana kapal dapat bertambat untuk proses bongkar muat barang, kran-kran untuk bongkar muat barang, gudang laut dan tempat-tempat penyimpanan barang-barang bongkar muat, serta terhubung dengan jalur transportasi/penyaluran darat.
Pelabuhan memiliki peran penting sebagai sarana transportasi serta distribusi, oleh karena itu pembangunan pelabuhan harus dilakukan secara cermat dan memperhatikan beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi seperti ketersediaan hubungan transportasi air dan darat, memiliki daerah pengaruh subur dengan populasi yang cukup padat, memiliki kedalaman air dan lebar alur yang cukup demi keamanan pelayaran atau pertambatan kapal, memiliki fasilitas bongkar muat, dan memiliki fasilitas untuk reparasi kapal. Pelabuhan yang dibangun harus mudah dilalui kapal-kapal yang akan menggunakannya.
Kedalaman laut sangat berpengaruh pada perencanaan pelabuhan, karena adanya variasi pasang surut muka air laut yang cukup besar. Pelabuhan terbuka dapat dibuat pada perairan dengan tinggi pasang surut kurang dari 5m, sedangkan perairan dengan tinggi pasang surut yang lebih dari 5m perlu dibuat pelabuhan terutup yang dilengkapi dengan pintu air untuk keluar masuk kapal. Di sebagian perairan Indonesia, tinggi pasang surut tidak lebih dari 2m sehingga digunakan pelabuhan terbuka. Demi
kepentingan pelayaran, kapal-kapal memerlukan kedalaman air yang sama dengan sarat (draft) kapal ditambah dengan suatu kedalaman tambahan. Ukuran kapal serta frekuensi pelayarannya menjadi faktor utama dalam penetuan kedalaman air untuk pelabuhan. Kapal besar biasanya diperbolehkan masuk pada air pasang, sedangkan kapal kecil harus dapat masuk kapanpun (Triatmodjo 2003).
I.5.7.1. Persyaratan pelabuhan
Berbagai kegiatan yang dilakukan dipelabuhan termasuk melakukan bongkar muat barang, penyelesaian surat-surat administrasi, pegisian bahan bakar, reparasi, penyediaan perbekalan dan airr bersih, dan sebagainya harus dilakukan secapa cepat. Untuk memenuhi pelayanan yang baik dan cepat tersebut, maka pelabuhan harus memenuhi beberapa persayaratan berikut ini (Triatmodjo 2010):
1. Transportasi air dan darat (seperti jalan raya dan kereta api) harus terhubung dengan baik, sehingga barang-barang dapat diangkut ke dan dari pelabuhan dengan mudah dan cepat.
2. Pelabuhan harus berada pada lokasi dengan daerah belakang (daerah pengaruh) subur dengan populasi penduduk yang cukup padat.
3. Pelabuhan harus memiliki kedalaman air dan lebar alur yang cukup. 4. Kapal-kapal yang mencapai pelabuhan harus bisa membuang sauh selama
menunggu untuk merapat ke dermaga guna bongkar muat barang maupun mengisi bahan bakar.
5. Pelabuhan harus memiliki fasilitas bongkar muat barang dan gudang penyimpanan barang.
6. Pelabuhan harus memiliki fasilitas untuk mereparasi kapal-kapal.
Untuk memenuhi persyaratan diatas pada umumnya pelabuhan mempunyai bangunan-bangunan berikut ini:
1. Pemecah gelombang, berfungsi sebagai melindungi daerah perairan pelabuhan dari gangguan gelombang besar yang datang dari laut lepas. Ujung pemecah gelombang (mulut pelabuhan) harus berada di luar gelombang pecah. Pemecah gelombang sangat diperlukan apabila perairan tidak terlindungi secara alami oleh selat, teluk, atau muara sungai.
2. Alur pelayaran, berfungsi untuk mengarahkan kapal-kapal yang akan keluar/masuk pelabuhan. Alur pelayaran harus memiliki kedalaman dan lebar yang cukup untuk menunjang aksesibilitas kapal, sehingga diperlukan pengerukan pada laut dangkal agar memiliki kedalaman yang diperlukan.
3. Kolam pelabuhan, merupakan daerah perairan untuk kapal berlabuh saat melakukan bongkar muat, melakukan gerakan untuk memutar, dsb. Kolam pelabuhan harus terlindung dari gangguan gelombang dan mempunyai kedalaman yang cukup, sehingga diperlukan pengerukan pada laut dangkal agar memiliki kedalaman yang direncanakan.
4. Dermaga, merupakan bangunan yang digunakan saat kapal merapat dan menambatkannya sewaktu bongkar muat barang. Terdapat dua macam dermaga yaitu yang berada di garis pantai dan sejajar dengan pantai yang disebut wharf dan yang menjorok (tegak lurus) pantai disebut pier atau jetty. Dermaga dilengkapi dengan fasilitas bongkar muat untuk mengangkut barang dari dan ke kapal.
5. Alat penambat, digunakan untuk menambatkan kapal sebelum maupun pada saat kapal merapat di dermaga. Alat penambat ini dapat diletakkan di dermaga atau di perairan yang berupa pelampung penambat. Bentuk lain dari pelampung penambat adalah dolphin yang terbuat dari tiang-tiang yang dipancang yang dilengkapi dengan alat penambat.
6. Gudang lini 1 dan lapangan penumpukan terbuka, yang terletak di belakang dermaga berfungsi sebagai tempat menyimpan barang-barang yang harus menunggu pengapalan maupun yang dibongkar dari kapal sebelum dikirim ke tempat tujuan.
7. Gedung terminal untuk keperluan administrasi. 8. Fasilitas bahan bakar untuk kapal.
9. Fasilitas pandu kapal, kapal tunda dan perlengkapan lain yang diperlukan untuk membawa kapal masuk/keluar pelabuhan. Untuk kapal-kapal besar, keluar/masuknya kapal dari/ke pelabuhan tidak boleh dengan kekuatan mesinnya sendiri, sebab perputaran baling-baling dapat menimbulkan gangguan gelombang. Untuk itu kapal besar harus dihela oleh kapal tunda,
yaitu kapal kecil bertenaga besar yang dirancang khusus untuk menunda kapal.
10. Peralatan bongkar muat barang seperti kran darat, kran apung, kendaraan untuk mengangkat/memindahkan barang, dsb.
11. Fasilitas-fasilitas lain untuk keperluan penumpang, anak buah kapal dan muatan kapal seperti terminal penumpang, ruang tunggu, keamanan, dsb. I.5.7.2. Pelabuhan Sadeng
Pantai Sadeng merupakan pantai yang terletak di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta yang memiliki tingkat populasi yang cukup padat. Selain itu, pantai Sadeng terhubung dengan baik oleh transportasi darat disekitarnya sehingga kegiatan masyarakat sekitar untuk menangkap ikan dan berlayar secara konvensional terus berkembang. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa pantai ini memenuhi persyaratan sebuah pelabuhan. Atas asar hal tersebut maka pantai ini dikembangkan sebagai pelabuhan tradisional sejak tahun 1983 yang hingga saat ini dikenal dengan Pelabuhan Sadeng. Pada tahun 1986, kegiatan menangkap ikan yang dilakukan oleh nelayan mulai digalakkan. Nelayan terus bertambah seiring hasil tangkapan laut yang terus meningkat. Dari kondisi tersebut, pemerintah membangun sebuah mercusuar untuk memandu nelayan yang pulang melaut saat malam hari. Pengembangan terus berlangsung dengan penambahan infrastruktur pelabuhan dan sekaligus memfungsikan Pantai Sadeng sebagai pantai wisata. Pada tahun 1995, dibangun unit perkantoran untuk menangani hasil tangkapan nelayan. Di Pantai Sadeng sendiri terlihat proses relokasi beberapa titik perairan dangkal untuk mengembangkan mobilitas pelabuhan tersebut. Hingga saat ini frekuensi kegiatan pelayaran disekitar pelabuhan Sadeng terus meningkat membuktikan bahwa pengembangan pelabuhan Sadeng mengalami kemajuam dengan baik. Pelabuhan Sadeng yang cukup sibuk digunakan untuk kegiatan berlayar, menangkap ikan maupun wisata dapat dilihat pada Gambar I.5.
Gambar I. 5. Pelabuhan Sadeng
Banyak perahu nelayan yang sedang berlabuh di Pantai Sadeng. Dapat ditemukan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Sadeng bertaraf nasional, yang merupakan penunjang perikanan laut di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berbagai aktivitas nelayan dapat dijumpai dengan mudah, mulai dari sekelompok nelayan yang sedang menambal dinding perahu, mengangkut ikan dari dermaga, tengkulak dan pembeli yang berebut hasil tangkapan, dan pondokan para nelayan (Anonim 2015).