• Tidak ada hasil yang ditemukan

WAGASHI : REPRESENTASI NILAI-NILAI ESTETIKA JEPANG Analisis teori estetika wabi dan teori estetika Zen.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "WAGASHI : REPRESENTASI NILAI-NILAI ESTETIKA JEPANG Analisis teori estetika wabi dan teori estetika Zen."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

WAGASHI : REPRESENTASI NILAI-NILAI ESTETIKA JEPANG

Analisis teori estetika wabi dan teori estetika Zen.

Annisa Sigma Exacta, Siti Dahsiar Anwar

Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok Indonesia

Email : annisa.exacta@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimanakah nilai-nilai estetika yang terdapat dalam kue khas Jepang, wagashi.

Pengumpulan data dilakukan dengan metode deskriptif analitis, yaitu melalui studi kepustakaan yang bertujuan untuk mendapatkan data-data yang relevan terhadap obyek penelitian dan kemudian dianalisis. Teori yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah teori estetika Wabi dan teori estetika Zen Buddhisme.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di dalam wagashi terkandung nilai-nilai estetika wabi dan nilai-nilai estetika Zen yang ditunjukan melalui ciri-ciri seperti alami, sederhana, asimetris, tenang dan makna yang mendalam.

Kata kunci : nilai estetika ; wabi ; wagashi ; Zen Buddhisme

Wagashi : A Representation of The Japanese AestheticValues. Analized based on the wabi aesthetic theory and the Zen aesthetic theory.

Abstract

The study‟s objective is to analyze the aesthetic values found in the art of Japanese confectionery, wagashi.

This study used analytical descriptive method based on literature approach to collect, describe and analyze data relevant to the object. Theories used for this analysis are aesthetic theory of wabi and Zen aesthetic theory.

Conclusion of the analysis shows that in wagashi, contains wabi and Zen values which both represent the beauty of simplicity, naturalness, asymmetry, tranquility and deep reserve.

(2)

1. Pendahuluan

Pandangan mengenai nilai estetika setiap masyarat berbeda-beda yang dapat dipengaruhi oleh ideologi, alam, struktur sosial dan agama. Salah satu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai estetika adalah masyarakat Jepang. Masyarakat Jepang mengembangkan konsep keindahan dari masa ke masa. Kaum bangsawan pada abad ke 11 menggunakan frase mono no aware untuk mengungkapkan perasaan kompleks seseorang ketika melihat keindahan yang bersifat sementara. Para penyair di abad ke13 juga banyak menggunakan istilah ushin, atau sebuah sensasi kelembutan yang tidak diucapkan secara tersurat namun tersirat di antara baris-baris puisi. Para Ahli Upacara minum teh abad ke 16 sangat membenci kemewahan, dan berpendapat bahwa keindahan sebenarnya tersembunyi di dalam ketidakteraturan dan kebetulan-kebetulan. Istilah yang mereka gunakan untuk keindahan semacam itu adalah wabi. Kaum Geisha di abad ke 18 menggunakan kata iki untuk menggambarkan keindahan dan kecantikan yang tercipta karena kepasrahan pada takdir dan nasib. Demikianlah konsep-konsep keindahan yang pernah dan terus akan berkembang dalam kebudayaan Jepang dari

masa ke masa.1

Dalam pengertian keindahan, konsep wabi merupakan ekspresi atau ungkapan yang khas dari

karya seni Jepang. 2 Konsep wabi mengacu pada keindahan dalam konteks ruang. Keindahan

wabi dapat dilihat dari kesederhanaan upacara minum teh, seperti halnya pada mangkuk teh yang tidak mengkilat, kayu yang tanpa dihaluskan atau di poles, atau suatu cabang pohon

yang berbentuk tidak lazim, semua itu dapat memenuhi rasa keindahan. 3

Disamping itu, faktor khas yang membentuk estetika Jepang adalah faktor agama, yaitu Zen Buddhisme. Zen mempunyai peran yang besar dalam seni dan keindahan di Jepang. Zen merupakan aliran agama Buddha yang pertama kali berkembang di China. Tujuan utama dari Zen adalah untuk mencapai satori (pencerahan). Pengaruh Zen dalam kehidupan bangsa Jepang sangat kuat. Pendekatan ini menunjukkan bahwa Zen Buddhisme memberikan

pengaruh spiritual yang sangat besar untuk memahami estetika.4 Perpaduan dari unsur-unsur

seni Zen menghasilkan kesenian yang kompleks seperti drama Noh dan Chanoyu (upacara minum teh). Berbagai pendapat muncul mengenai ciri keindahan Zen. Salah satunya pendapat

1

Yomota Goki, “Konsep Keindahan Jepang Kontemporer,” (makalah yang dibawakan oleh Yomota Goki dalam Seminar Studi Jepang 2007 yang diselenggarakan the Japan Foundation, Jakarta. (poin 1)

2

Elita Fitri Azhar, “Nilai-nilai Estetika pada Taman Jepang Khususnya pada Taman Karesansui.” (Skripsi Universitas Indonesia, Depok, 2008)

3

Azhar. Ibid hlmn. 56

4

Eva Nurintan Silalahi, “Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme Dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang.”. (Skripsi Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009)

(3)

dari Hisamatsu Shin‟ichi5

yang mendalami Zen dari sudut pandang filsafat agama. Menurut Hisamatsu Shin‟ichi, ada tujuh karakteristik yang melandasi karya seni Zen. Ketujuh karakteristik tersebut adalah fukinsei 不均斉(asimestris), kanso 簡素(kesederhanaan), shizen 自 然 (alami), kokou 枯 高 (kekeringan sublim), yuugen 幽 玄 (makna yang mendalam), datsuzoku 脱俗(bebas dari ikatan) dan seijaku 静寂 (keheningan).

Salah satu seni di Jepang yang sangat dipengaruhi ajaran Zen Buddhisme adalah wagashi 和 菓子. Wagashi merupakan salah satu representasi nilai-nilai keindahan berupa kue khas Jepang yang dibentuk sedemikian rupa sehingga memiliki bentuk dan motif yang indah serta sangat dipengaruhi oleh alam sekitarnya. Wagashi merupakan perpaduan kata wa dan kashi. Wa menunjukkan sesuatu yang menandakan Jepang dan gashi (kashi) yang berarti kue. Wagashi umumnya dibuat sebagai kue yang dihidangkan dalam chanoyu (upacara minum teh), sehingga sebagian besar wagashi memiliki satu rasa yaitu rasa manis.

Motif wagashi yang unik dan sangat dipengaruhi oleh alam membuatnya lebih dari sekedar kue biasa. Desain wagashi merupakan sumber dari inspirasi yang artistik. Selain untuk dimakan, wagashi dituntut sebagai karya seni yang indah dilihat.6 Keindahan empat musim di Jepang juga sering dituangkan dalam motif-motif dan bentuk wagashi.

Daya tarik dalam wagashi tidak hanya berasal dari rasa dan penampilannya yang menarik, namun wagashi juga memberikan kesan yang mendalam bagi kelima panca indra manusia. Kesan itulah yang kemudian dijadikan unsur-unsur yang dituntut untuk diperhatikan dalam setiap pembuatan wagashi. Unsur-unsur tersebut adalah katachi 形 (penampilan), oto 音 (suara), kaori 香 り (aroma), shoku 触 (tekstur) dan yang terakhir adalah aji 味 ( rasa). Wagashi spesial karena memanjakan kelima indera manusia saat memakannya. Dari segi katachi 形 (penampilan), wagashi biasanya terinspirasi dari lukisan, literatur, atau tekstil terkenal atau pemandangan alam yang indah. Nama yang diberikan pada tiap-tiap wagashi (oto 音 ) juga tidak kalah indahnya. Penamaan wagashi dituntut ketika diucapkan akan membangkitkan imajeri yang cantik. Biasanya nama diambil dari suatu prosa atau puisi dan terkadang digunakan untuk mengingatkan musim yang akan datang. Kaori 香 り (aroma)yang tercium dari wagashi merupakan sesuatu yang khas dikarenakan

5

Hisamitsu Shin’ichi (1889-1980), seorang cendikiawan Buddha Zen, filsuf dan master upacara minum teh Jepang. Ia juga seorang profesor di Universitas Kyoto dan profesor kehormatan di Harvard University.

6

Nakayama Keiko. Traditional Japanese Confectionery : The art of wagashi

http://www.kikkoman.com/foodforum/thejapanesetable/35.shtml dikunjungii pada tanggal 10 Februari 2013 19.45

(4)

bahannya yang alami. Ketika upacara minum teh misalnya, aroma wagashi juga diatur sedemikian rupa sehingga tidak akan menganggu wangi teh ketika upacara minum teh berlangsung. Tekstur (shoku 触) wagashi dibuat renyah, lembut, segar dan sedikit berair— menunjukkan kualitas dan keunikan dari tiap-tiap jenis wagashi. Unsur yang terakhir namun tidak kalah penting adalah aji 味(rasa). Dengan memperhatikan kelima unsur diatas, wagashi tentu akan memberikan kesan yang tidak terlupakan bagi panca indera manusia.

1. Tinjauan Teoritis

Terdapat dua teori yang digunakan dalam penulisan jurnal ini, yang pertama adalah teori estetika Zen Buddhisme menurut Hisamatsu Shin‟ichi. Karakteristik Zen Buddhisme dalam prinsip seni Jepang diterangkan dalam tujuh karakteristik, yaitu adalah fukinsei 不 均 斉 (asimestris), kanso 簡 素 (kesederhanaan), shizen 自 然 (alami), kokou 枯 高 (kekeringan sublim), yuugen 幽 玄 (makna yang mendalam), datsuzoku 脱 俗 (bebas dari ikatan) dan seijaku 静 寂 (keheningan). Konsep estetika wabi yang menjadi landasan teori untuk menjelaskan wagashi yang kedua adalah konsep estetika wabi menurut Haga Kōshirō (1908-1996). Haga Kōshirō adalah seorang praktisi Zen. Menurut Haga Kōshirō, terdapat tiga ciri khas keindahan wabi yaitu sederhana, ketidaksempurnaan dan cermat.

2. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan metode deskriptif yaitu memberikan deskripsi atau gambaran secara sistematis berdasarkan fakta-fakta serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. (Nazir, 1988:63). Dalam mengumpulkan data-data penelitian, penulis menggunakan teknik studi kepustakaan. Teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan data dengan studi terhadap literatur, buku, jurnal serta media online yang memiliki hubungan dengan masalah yang ingin dipecahkan.

3. Wagashi

3.1 Asal-Usul Wagashi

Pada pertengahan abad ke 6 masehi ketika ajaran Buddha masuk ke Jepang, orang-orang Jepang mulai pergi ke China meskipun pada saat itu ancaman keamanan menjadi isu yang hangat dibicarakan. Orang-orang yang selamat sampai China belajar mengenai ajaran Buddha dan kembali ke Jepang dengan membawa banyak kebudayaan China. Salah satu diantaranya adalah makanan yang dalam bahasa Jepang disebut kara-kudamono yang selanjutnya menjadi

(5)

cikal bakal wagashi. Kara-kudamono berasal dari dua suku kata yaitu kara yang berarti kering dan kudamono yang berarti buah-buahan. Disebut kara-kudamono karena makanan tersebut terbuat dari buah dan biji-bijian yang dikeringkan. Karena kara-kudamono datang dari China ke Jepang melalui ajaran Buddha, masyarakat Jepang pada waktu itu menganggap kara-kudamono sebagai makanan yang khusus dipersembahkan untuk Dewa. Seiring berjalannya waktu, masyarakat Jepang mulai memproduksi kara-kudamono walaupun butuh waktu yang panjang untuk dapat menjadikan makanan tersebut umum dimakan oleh semua orang.7

Lambat laun teh dari China mulai diperkenalkan di Jepang oleh pendeta Zen yang bernama

Eisai pada tahun 1191.8 Kenikmatan minum teh menyebar secara bertahap. Di dalam chanoyu

茶 の 湯 (upacara minum teh) pada jaman Muromachi (1392-1573) terdapat kebiasaan menghidangkan teh dengan sup panas atau dalam bahasa Jepang disebut atsumono. Salah satu dari atsumono tersebut adalah yokan. Yokan adalah sup panas berbahan dasar daging kambing. Pada saat itu makan daging bukan merupakan kebiasaan masyarakat Jepang. Oleh karena itu sebagai pengganti daging, para juru masak membuat tiruan daging dengan campuran gandum dan tepung yang berasal dari kacang azuki. Yokan yang berupa sup pada zaman Muromachi kemudian mengalami perubahan dari bentuk asalnya menjadi sebuah makanan dengan rasa manis dan semi-transparan. Sekitar tahun 1800, agar-agar yang berasal dari rumput laut mulai dipakai para juru masak sebagai bahan dasar makanan termasuk Yokan. Yokan yang dibuat dengan campuran agar-agar dan tepung kacang azuki dikenal dengan nama Neri Yokan yang berbentuk seperti jelly. Yokan yang disajikan dalam upacara minum teh inilah yang memberikan banyak kontribusi dalam perkembangan wagashi.

Sebuah perubahan besar dalam sejarah wagashi, ketika orang-orang dari Portugis datang ke Jepang dengan membawa kue-kue manis pada akhir tahun 1500. Orang-orang dari Portugis datang dengan membawa serta gula dan telur sebagai bahan dasar pembuatan kue, tetapi pada saat itu harga telur dan gula sangat mahal dan masih jarang diproduksi sehingga tidak semua orang mampu membeli. Oleh karena itu para juru masak menggantinya dengan menggunakan pemanis dari madu dan buah kesemek yang sudah dikeringkan. Namun kemudian penggunaan madu dan buah kesemek kering dianggap tidak praktis, kemudian Shogun Yoshimune

7

Nakazono Toku. Wagashi, The Japanese Sweets

http://www.cis.doshisha.ac.jp/kkitao/library/student/97/essay/307/10-4.htm dikunjungi pada Selasa, 2 April 2013. Pukul 23.20

(6)

Tokugawa memerintahkan masyarakat Jepang untuk segera membuat gula.9 Sebagai hasilnya gula merah diproduksi secara besar-besaran. Pada tahun yang sama di Kyoto, kue-kue dengan rasa manis diproduksi dengan desain yang indah dan warna yang hidup. Kue tersebut bernama jogashi ( 上 菓 子 ). Jogashi merupakan istilah bagi wagashi yang diproduksi di

Kyoto.10 Jogashi dibuat dengan bentuk yang indah dan dengan warna-warna alam yang

terkesan hidup. Jogashi terkesan sangat eksklusif karena dibuat berdasarkan pesanan khusus dari para anggota bangsawan, kuil, master teh dan untuk perayaan khusus. Termasuk diantaranya kue yang terbuat dari beras ketan. Pembuatan jogashi dipersiapkan dengan berbagai tahap sebelum terbentuk makanan dengan bentuk dan warna yang sangat cantik. Tahapan-tahapan tersebut adalah mencampurkan bahan-bahan, menguleni, merebus dan mengkukus. Bahan-bahan yang digunakan dan langkah-langkah tersebut dipersiapkan dengan hati-hati dengan tujuan tidak mengubah rasa asli dari jogashi. Seni yang terdapat dalam jogashi mengekspresikan empat musim di Jepang dan tempat-tempat bernuansa alam sekitar. Toko-toko jogashi mulai bermunculan. Pengrajin jogashi menerapkan teknik-teknik khusus dan mengekspresikan perasaan pengrajin jogashi masing-masing sehingga dengan bahan dan cara pembuatan yang sama, jogashi yang dihasilkan akan berbeda.

Desain yang abstrak pada setiap bentuk jogashi tidak selamanya mudah ditebak. Bentuk-bentuk tersebut dibuat dengan menggunakan bahan-bahan alami yang dapat dimakan seperti kacang azuki atau biji-biji wijen untuk merepresentasikan gambaran burung plover, bintang, embun atau salju. Desain yang abstrak tersebut menimbulkan kesan kekaguman yang mendalam bagi penikmat jogashi dalam menebak arti dibalik desain jogashi. Kombinasi warna jogashi juga terlihat hidup dan natural. Kinton, misalnya terdiri dari bola-bola pasta kacang azuki dan di lekatkan pasta kacang soboro-an yang dibentuk menyerupai benang-benang warna-warni yang saling mengikat. Sedangkan yokan yang berbentuk jelly transparan memiliki kombinasi warna dengan makna khusus seperti warna merah dan kuning yang berkonotasi sebagai dedaunan pada musim gugur, warna hijau dan kuning memberikan gambaran pucuk-pucuk tunas pohon gandarusa (willow) pada musim semi dan warna merah putih menggambarkan rika (りか 李花)atau bunga pohon plum.

Kombinasi warna tersebut berkaitan erat dengan estetika warna yang ditentukan oleh perubahan musim pada lapisan-lapisan kimono yang dipakai oleh para pejabat istana selama periode Heian (794-1185). Seperti yang digambarkan dalam kisah legendaris Genji Monogatari dan karya sastra klasik lainnya, tema musim memainkan peran yang penting

9

Nakazono, Loc.Cit.

10

(7)

dalam pakaian bangsawan. Mereka menghibur diri mereka dengan memberikan nama-nama yang berhubungan dengan fenomena perubahan musim untuk kombinasi tertentu dari kimono dalam dan luar serta lapisan yang terdapat pada kerah dan lengan kemudian dari nama-nama tersebut dibuat karya sastra seperti puisi. Dalam arti lain, desain dari jogashi yang sekarang ini mendapat pengaruh besar dari kehidupan istana di Jepang pada masa Heian.

Berdasarkan tempat asal dibawanya wagashi, terdapat tiga kategori utama yaitu togashi, tenjin dan nanban-gashi. Togashi dibawa oleh utusan Jepang yang dikirim ke China sekitar abad ke 7 sampai abad ke 9. Togashi dibuat dengan adonan pasta dari tepung terigu atau tepung beras yang digoreng didalam minyak panas dan disajikan hanya untuk kalangan bangsawan dan istana. Sekarang togashi dapat ditemui di daerah Nara dan Kyoto sebagai persembahan dalam upacara di kuil. Pada abad ke 7 sampai abad ke 9, gula belum di produksi di Jepang sehingga pemerintah Jepang harus mengimpor dari negara lain, karena itulah gula merupakan hal yang mewah pada saat itu. Gula hanya digunakan sebagai obat dan hal yang mendesak lainnya seperti dalam upacara atau festival. Selama periode Heian (794-1192) sirup manis bernama Amazura yang dibuat dari semacam tanaman rambat endemik Jepang (ivy) digunakan sebagai pemanis utama dalam setiap masakan. Kategori yang kedua adalah tenjin (China : dianxin). Tenjin merupakan makanan ringan disela-sela makan malam dalam adat istiadat di China. Tenjin diperkenalkan ke Jepang bersama dengan kebiasaan minum teh oleh pendeta Zen yang belajar di China dari abad 12 sampai abad ke 14. Wagashi yang masih ada hingga saat ini termasuk dalam golongan Tenjin adalah Yokan (China : Yang Geng) dan Manju. Kategori yang terakhir adalah Nanban-gashi. Nanban-gashi merupakan satu-satunya kategori wagashi yang berasal dari barat yaitu dari Spanyol dan Portugis. Nanban-gashi dibawa oleh misionaris dan pedagang pada tahun 1543. Pada tahun yang sama, Jepang mulai melakukan kontak pertama kali dengan barat yaitu bangsa Portugis di tepi Tanegashima, sebuah pulau di selatan Kyushu. Pada saat itu portugis tidak hanya membawa senjata api dan ajaran agama Kristen, tetapi juga makanan termasuk didalamnya kue khas Eropa. Jenis nanban-gashi yang populer di Jepang mayoritas masih memakai nama asli dari bahasa Portugis dan Spanyol sebagai contoh Konpeito (Portugis : Confeito), Boro (Portugis : Bolo), Kasutera (Spanyol : Castella), Keiran Somen (Portugis : Fios de Ovos). Sebagian besar nanban-gashi menggunakan bahan baku telur, gula dan tepung terigu yang tidak biasa pada saat itu dan jarang digunakan pada jenis wagashi lain.

(8)

3.2 Unsur-unsur Pembentuk Wagashi

Daya tarik wagashi tidak hanya berasal dari rasanya yang lezat dan penampilannya yang menarik, tetapi wagashi juga mampu memberikan kesan yang menarik bagi kelima panca indera manusia. Kesan itulah yang menjadikan unsur-unsur yang harus dipikirkan dalam setiap pembuatan wagashi. Kelima unsur tersebut adalah 形 katachi (penampilan), aji

味 (rasa), shoku 触 (tekstur), kaori 香り(aroma) dan oto 音(suara).11

3.2.1 Katachi 形 (Penampilan)

Menurut Nakayama Keiko dalam tesisnya yang berjudul wagashi no katachi, bentuk, warna dan desain dari wagashi terinspirasi oleh 動物 doubutsu (fauna), 植物 shokubutsu (flora), 自 然 shizen (fenomena alam dan pemandangan sekitar), dan yang terakhir そのほか sono hoka (yang lain-lain). Keseluruhan dari penampilan wagashi merepresentasikan dengan jelas konsep-konsep keindahan Jepang dan respon terhadap alam. Berikut uraian mengenai keempat penampilan umum wagashi :

3.2.1.1 植物 shokubutsu (flora)

Masyarakat Jepang senantiasa mencintai alam dan mengapresiasikan alam sebagai bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. Salah satu dari bagian tersebut adalah penampilan wagashi yang sangat dekat dengan alam dan perubahan musim. Flora merupakan kategori pertama dari penampilan wagashi karena mayoritas wagashi mengadopsi bentuk, warna dan motif flora. Menurut Nakayama Keiko dalam artikelnya yang berjudul Traditional Japanese Confectionery, : The art of Wagashi, bentuk dan motif wagashi yang diadopsi dari flora sebagian besar adalah 李花 (rika) bunga Ume atau plum, bunga sakura, bunga krisan, bunga Camellia, pohon pinus, bunga peony, tumbuhan Yanagi (willow/gandarusa), pakis, kerria dan bunga azalea.

3.2.1.2 動物 doubutsu (fauna)

Hewan-hewan khas Jepang juga berperan dalam inspirasi bentuk dan motif wagashi antara lain adalah ikan koi, kupu-kupu, kelinci, kerang-kerangan, bangau, burung uguisu, burung

11

The Art of Five Senses About Wagashi. www.toraya-group.co.jp/english/wagashi/art.html dikunjungii pada Jum’at 1 Februari 2013 pukul 10.35.

(9)

hototogisu dan lain-lain. Contoh wagashi yang memiliki bentuk menyerupai hewan antara lain adalah Chōchō wagashi dan Koi wagashi. Chōchō dalam Indonesia berarti hewan kupu-kupu dan Koi adalah ikan koi. Chōchō wagashi merupakan wagashi yang dihidangkan pada musim semi. Bentuknya yang menggambarkan kupu-kupu memainkan imajinasi penikmat seakan-akan melihat kupu-kupu terbang diantara bunga-bunga pada musim semi. Sedangkan Koi wagashi merupakan wagashi yang dihidangkan pada musim panas. Hal tersebut ditandai dengan bahan dasar pembentuk wagashi tersebut yaitu kanten (agar-agar). Bahan dasar kanten tersebut membuat wagashi berbentuk jeli, bertekstur kenyal dan terlihat segar, sangat cocok dihidangkan pada musim panas.

3.2.1.3 自然 shizen (fenomena alam dan pemandangan sekitar)

Fenomena alam khas Jepang yang diadopsi menjadi bentuk dan motif wagashi antara lain adalah hujan, angin, batu-batuan, kabut, salju, embun dan gunung. Contoh wagashi tersebut antara lain 夏の山 (Natsu no yama wagashi). Natsu no Yama dalam bahasa Indonesia berarti „gunung pada musim panas‟. Wagashi ini tergolong wagashi jenis joyo dan berbentuk bulat oval dengan lukisan gunung sederhana diatasnya. Selanjutnya adalah hotaru wagashi. Wagashi ini terinspirasi dari bunga lily putih di kolam Magatama di Toyouke Daijingū (kuil Gekū Ise), Toyokawa Ise, perfektur Mie. Hotaru Wagashi bertekstur lembut transparan menyerupai kolam yang ditumbuhi bunga Lily.

3.2.1.4 そのほか sono hoka (yang lain-lain)

Benda-benda disekitar kehidupan masyarakat Jepang yang juga diadopsi dalam bentuk maupun motif wagashi diantaranya uchiwa (kipas khas Jepang), ougi (kipas lipat), pakaian seperti kimono dan yukata, sudare (tirai bambu) dan patung-patung yang terdapat di kuil.

3.2.2 Aji 味(Rasa)

Dalam penciptaan rasa, wagashi tidak dituntut untuk memiliki rasa yang terlalu manis atau terlalu hambar. Hal ini dikarenakan dalam penciptaan rasa wagashi harus dipertimbangkan rasa manis sebagai penyeimbang rasa pahit dari bubuk Matcha (bubuk teh hijau). Wagashi erat kaitannya dengan chanoyu (upacara minum teh). Bubuk matcha yang digunakan dalam chanoyu memiliki rasa pahit yang pekat, dengan dipadukan dengan wagashi maka akan menimbulkan rasa yang seimbang dan selaras.

(10)

3.2.3 Shoku 触(Tekstur)

Tekstur wagashi diselaraskan dengan kesan kelembutan ketika disentuh oleh tangan kemudian saat dirasakan di mulut. Tekstur berperan penting dalam menentukan keberhasilan pembuatan wagashi. Berdasarkan kelembutannya wagashi diklasifikasikan menjadi 3

kategori.12 Wagashi yang memiliki kelembutan kurang dari 20 % disebut higashi. Higashi

merupakan wagashi yang paling kering dan keras yang dicetak diatas cetakan kayu tradisional. Higashi biasanya berbentuk pipih dan berwarna putih atau merah muda. Contoh higashi yang sering ditemui di Jepang adalah senbei (krekers beras) dan konpeito (permen warna-warni bertekstur keras)

Selanjutnya wagashi yang memiliki kelembutan sekitar 20-30 % disebut han-nama-gashi. Mayoritas dari han-nama-gashi masuk dalam golongan yakigashi (kue yang dipanggang) yang biasanya terbuat dari tepung beras ketan dan didalamnya diisi dengan pasta an atau pasta kacang azuki seperti dorayaki,manju, mizu-yokan (jeli yang terbuat dari tepung kacang azuki)

dan kasutera (castella)13. Kasutera merupakan kue yang asal dari Portugis yang dibawa oleh

para misionaris pada zaman Muromachi (1333-1568). Kategori yang terakhir adalah wagashi yang memiliki kelembutan diatas 40% yang disebut dengan nama-gashi. Sebagian besar nama-gashi berbahan dasar kanten / agar-agar transparan berbentuk jeli segar dan mochi yang terbuat dari tepung ketan. Mochi yang paling sering ditemui pada saat musim semi adalah sakura mochi. Sakura mochi berbentuk bulat berwarna merah muda dan dibungkus dengan daun sakura.

3.2.4 Kaori 香り(Aroma)

Wagashi memiliki aroma yang khas dan halus sehingga menimbulkan kesan relaksasi tanpa

merubah rasa asli dari matcha dalam chanoyu. 14 Aroma alami wagashi antara lain adalah

matcha, houjicha, nikkei (cengkeh), shoga (jahe), yuzu (Japanese Citrus). Matcha merupakan bubuk teh hijau yang dibuat dengan cara menggiling daun teh hijau menjadi bubuk. Sedangkan houjicha merupakan teh hijau yang sudah melalui proses pemanggangan sehingga warna yang dihasilkan lebih pekat dan kadar asam rendah.

12

Nakamura, Op.Cit. hlmn. 9

13

Richard Hoskin. 1799. Japanese Food. Hiroshima : Tuttle Publising. Hlmn. 168

(11)

3.2.5 Oto 音(Suara)

Melalui indra pendengaran, wagashi masing-masing memiliki nama yang ketika diucapkan akan membangkitkan imaji yang cantik. Biasanya nama diambil dari suatu prosa atau puisi dan terkadang digunakan untuk mengingatkan musim yang akan datang berdasarkan obyek artistik dari setiap fenomena musim tersebut dan bait-bait puisi atau literatur kuno. Ketika orang mendengar puisi yang indah, mereka dapat mengimajinasikan pemandangan alam, menggambarkan kejadian yang ada dalam literatur tersebut atau bahkan dapat merasakan suasana hati yang terdapat dalam bait-bait cerita klasik tersebut. Nama-nama yang digunakan untuk wagashi umumnya cocok ditulis dengan hyōgaiji (kanji yang tidak umum digunakan atau dikenal) dan diperbaiki dengan Furigana (cara baca yang dibubuhi dalam kanji).

Wagashi yang mempunyai nama cantik salah satunya adalah wagashi haru hikaru. Haru hikaru berarti musim semi yang bersinar. Ketika mendengar nama wagashi tersebut, pendengar menangkap imaji cantiknya musim semi dengan bunga-bunga bermekaran dan bersinar di bawah cahaya matahari. Wagashi haru hikaru termasuk dalam golongan wagashi konashi yang berasal dari Kyoto (Jogashi). Wagashi Haru Hikaru terbuat dari sari pasta kacang kukus yang dicampur tepung kue dan air gula. Beberapa nama wagashi sengaja dibuat untuk menimbulkan imaji keberuntungan. Nama-nama wagashi tersebut antara lain daifuku mochi dan fukujuso wagashi. Menurut kamus kamus kanji modern Andrew Nelson, 大福 (daifuku) berarti keberuntungan besar dan nasib yang baik. Wagashi sebagai imaji keberuntungan juga terinspirasi dari bunga 福寿草 (fukujuso) dan diberi nama sama dengan nama bunga tersebut yaitu fukujuso wagashi. Berikut lebih lanjut penjelasan Nakamura Hajime dalam buku 和菓子:

福寿草 :春を告げる花の代表。そのため元日草や朔日草という別名があり ます。

Fukujuso : Haru wo tsukeru hana no daihyou. Sono tame Ganjitsusou ya tsuitachisou touiu betsumei ga arimasu.

Terjemahan :

Fukujuso adalah bunga Adonis Ramosa yang berwarna kuning keemasan. Fukujuso

merupakan pertanda datangnya tahun baru di Jepang. Adonis Ramosa dalam bahasa Jepang juga disebut dengan Fukujuso yang berarti keberuntungan yang baik dan tumbuhan yang berumur panjang, Ganjitsuso yang berarti tumbuhan tahun baru dan yang terakhir tsuitachiso yang berarti tumbuhan pada hari pertama.

(12)

Gambar 3.10: tanaman 福寿草 fukujuso (kiri), Fukujuso wagashi (tengah), 千代八千代 Chiyo Yachiyo

wagashi (kanan).

(sumber : 和菓子 karya Nakamura Hajime halaman 36-38)

3.3 Analisis Nilai-Nilai Estetika Zen Buddhisme pada Wagashi

Karakteristik warna dalam konsep Zen Buddhisme adalah warna yang temaram. Warna yang

diutamakan memiliki batasan yang tidak jelas antara gelap dan terang.15 Pada batasan

berbedaan warna lebih dipilih gradasi warna dari komposisi warna yang berbeda tersebut untuk menciptakan kesan teduh, yaitu tidak memilih kesan warna yang terlalu gelap atau kesan warna terang benderang. Warna yang sesuai dengan karakteristik Zen terdapat pada wagashi yang disajikan musim semi bernama Mebae wagashi 芽生え和菓子 dan wagashi

yang disajikan pada musim panas yaitu Kikyō wagashi 桔梗和菓子.16

Gambar 4.2: tumbuhan つくし tsukushi (kiri). Mebae Wagashi 芽生え和菓子(kanan) (sumber : 和菓子 karya Nakamura Hajime halaman 64-65)

Mebae secara harafiah berarti tunas. Dengan datangnya musim semi diharapkan muncul pula tunas-tunas harapan dan keberuntungan yang berlangsung sepanjang musim. Mebae Wagashi

15

Pramudjo. Op.Cit. hlmn. 38

(13)

merupakan wagashi karya seniman wagashi asal Kyoto bernama Kawafuji yang terinspirasi dari tanaman tsukushi つくし atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan paku ekor kuda. Mebae Wagashi memiliki warna dasar putih dengan gradasi warna hijau diatas dan warna kuning sebagai isian. Spektrum warna tersaji secara keseluruhan dalam Mebae Wagashi adalah warna-warna tersier yang dipadukan tanpa ada batasan garis warna yang tajam. Warna-warna tersier tersebut antara lain Warna-warna kuning pada isian ditengah wagashi sebagai Warna-warna dari batang tubuh tunas tumbuhan tsukushi, warna putih pada bagian atas dan permukaan wagashi sebagai serabut-serabut tipis yang mengelilingi hampir disemua bagian tumbuhan tsukushi sedangkan warna yang terakhir adalah warna hijau sebagai daun pada tumbuhan tsukushi. Pemberian warna dengan memperhatikan unsur warna yang terdapat pada objek yang ditiru ini menggambarkan karakteristik shizen.

Gambar 4.4 : kelompak bunga Sakura (kiri), hitohira wagashi (kanan) (sumber : 和菓子 karya Nakamura Hajime halaman 104, 105)

Bunga Sakura merupakan bunga yang menjadi ciri khas negara Jepang. Adapun ungkapan dalam masyarakat Jepang yang menunjukkan rasa cintanya kepada bunga Sakura yaitu 「花 といえば、桜のことです。」 “Hana to ieba, sakura no koto desu”. Arti dari ungkapan tersebut adalah jika menyebut tentang bunga di Jepang, yang dimaksudkan adalah bunga Sakura. Kurang lebih dua bulan bunga Sakura berkembang sampai ke Hokkaido. Sakura yang berangsur-angsur mekar dari selatan dan utara dikenal dengan sebutan sakura zensen. Perasaan yang diwakilkan melalui bunga Sakura seringkali dituangkan dalam karya puisi, sajak, lukisan hingga makanan, salah satunya adalah wagashi. Salah satu pembuat wagashi, Murasakino Gensui terinspirasi dari helaian kelopak bunga Sakura berembun yang jatuh tertiup angin, wagashi tersebut bernama Hitohira wagashi. Suasana hening dan tenang yang tersirat pada wagashi ini, merupakan perwujudan dari rasa haru yang mempesona pembuat wagashi ketika menyaksikan peristiwa jatuhnya kelopak sakura yang berembun karena tertiup angin. Yuugen (kedalaman makna) yang dihasilkan oleh bentuk fisiknya membuat wagashi ini

(14)

memiliki karakteristik estetika Zen. Kedalaman makna tersebut berasosiasi pada perasaan terharu dan terpesona akan keindahan kelopak bunga sakura yang tertiup angin juga perasaan sedih karena angin telah menggugurkan bunga sakura yang sedang mekar. Secara keseluruhan berbentuk fukinsei (asimetri) yang tampak pada perpaduan kontradiktif antara garis-garis lengkung yang membentuk kelopak bunga pada sisi kanan dari kiri tidak memiliki garis yang sejajar. Warna yang tersaji dalam wagashi ini secara keseluruhan cenderung mengacu pada spektrum warna merah muda khas bunga sakura. Spektrum warna tersebut diciptakan dengan gradasi warna merah muda terang dimana warna tersebut dibuat semakin kedalam semakin temaram/pucat (warna putih). Hal tersebut memberikan ilusi adanya seijaku (suasana tenang dan teduh.)

Bentuk fisiknya disajikan dengan tidak ada aksen yang berlebihan bukanlah menjadi suatu kekurangan. Semakin dilihat, Hitohira wagashi semakin terlihat seperti helaian kelopak bunga Sakura yang sebenarnya. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik shizen. Shizen yaitu kealamian yang berarti tidak lahir dari sesuatu yang dipaksakan dan wajar. Warna yang terdapat dalam Hitohira wagashi juga mencerminkan karakteristik kanso. Warna yang sesuai dengan karakteristik kanso adalah warna yang tidak mencolok, tidak memiliki perbedaan warna yang tajam dan cenderung hanya memiliki satu warna.

Gambar 4.5 : 若鮎 Waka Ayu.

(sumber: 和菓子 karya Nakamura Hajime halaman 220)

Wagashi yang memiliki ciri khas estetika Zen selanjutnya adalah Waka Ayu Wagashi 若鮎和 菓子. Dalam kamus online jisho.org Waka Ayu 若鮎 berarti young, healthy and energic sweetfish (Ikan Ayu yang muda, sehat dan enerjik). Ikan Ayu atau dalam bahasa Inggris disebut sweet fish adalah ikan yang muncul pada akhir musim semi sampai pertengahan musim panas. Ikan Ayu biasanya dinikmati dengan cara shio-yaki (digarami dan dipanggang). Ikan Ayu yang berenang ke hulu, melawan arus dan air terjun memiliki arti khusus bagi masyarakat Jepang. Simbol ini sering dikaitkan dengan harapan bagi anak-anak untuk

(15)

tumbuh sehat dan kuat seperti ikan Ayu. Simbol tersebut sesuai dengan karakteristik yuugen yaitu dengan diletakkannya lukisan ikan Ayu sebagai aksen. Peletakkan lukisan ikan Ayu bukan semata-mata sebagai hiasan namun lebih kepada makna yang mendalam sebagai doa dan pengharapan kepada si anak. Waka Ayu Wagashi memiliki warna dasar putih, dimana warna-warna kelam yang bernuansa putih memiliki konotasi suasana tertentu seperti kesan

luas, tanpa batas, lengang, sunyi dan dinamis.17 Ikan Ayu yang menjadi aksen pada wagashi

tersebut terlihat sedang berenang didalam sungai yang berwarna biru kehijau-hijauan. Hal tersebut mempunyai makna konotatif “gerak dalam diam”. Makna “diam” sebagai simbol keadaan air yang tenang yang dapat dibuktikan dengan tidak adanya aksen arus atau gelombang pada permukaan wagashi dan makna “gerak” merupakan simbol dari ikan Ayu yang sedang berenang. Pergerakan tersebut mempunyai makna bahwa suatu hal yang hidup akan senantiasa bergerak cepat walaupun tidak dapat dirasakan secara kasat mata. Hal tersebut menjadi suatu ciri-ciri karakteristik yuugen yang terdapat pada Waka Ayu Wagashi. Karena keterbatasan ruang lingkup penelitian maka objek yang dianalisis hanya terbatas pada tiga unsur pembentuk wagashi yakni katachi, shoku dan oto. Adapun beberapa sampel dari wagashi yang tidak bisa dianalisis berdasarkan oto karena keterbatasan informasi.

3.4 Analisis Nilai-Nilai Estetika Wabi

Gambar 4.6: bunga Momo / persik (kiri), Momo no Hana wagashi (kanan) (sumber : 和菓子 karya Nakamura Hajime halaman 98-99)

Musim semi dengan suhu 12-20 derajat celcius merupakan suhu yang bagus untuk mekarnya bunga-bunga seperti bunga Sakura, Rika (bunga Ume), bunga Momo (persik) dan lain sebagainya. Diantara bunga-bunga yang bermekaran pada musim semi sebagian memiliki arti simbolis, salah satunya adalah bunga Momo. Bunga Momo yang berwarna merah muda

17 Pramudjo. Op.cit. hal 359

(16)

melambangkan penghalau nasib buruk. Bunga Momo digunakan sebagai inspirasi untuk membuat wagashi oleh Murasaki no Gensui yang diberi nama Momo no Hana wagashi. Wagashi ini berjenis kinton dengan isi didalamnya tsubuan. Karena berjenis kinton, maka terdiri dari serutan adonan yang membentuk benang-benang tak beraturan yang mencuat disegala sisi. Dengan adanya ketidaksempurnaan ini menciptakan keindahan yang tidak beraturan. Hal tersebut mencerminkan karakteristik estetika Wabi yaitu Imperfect, Irregular beauty.

Warna merah muda khas Rika mendominasi seluruh bagian dengan aksen warna hijau diatas sebagai simbol daun yang tumbuh disela-sela bunga. Aksen warna hijau diatas wagashi tersebut terlihat menonjol diantara warna merah muda. Hal tersebut menjadi karakteristik situasi khas musim semi dimana daun-daun baru mulai terlihat tumbuh diantara bunga-bunga yang sedang bermekaran. Simbol bunga Rika dan daun baru dari wagashi tersebut menimbulkan beberapa konotasi yaitu adanya gerak dalam perubahan waktu dan perubahan wujud. Bunga dan daun pada musim semi berbeda dengan daun dan bunga pada musim-musim lain seperti musim-musim gugur, dimana warna yang dominan adalah warna kuning hingga oranye. Gejala ini mempunyai makna bahwa kehidupan akan senantiasa berubah dan perubahan tersebut tanpa disadari bisa dirasakan meskipun tidak terlihat secara kasat mata. Momo no Hana Wagashi memiliki warna primer yaitu merah muda dan warna sekunder yaitu warna hijau, dengan komposisi warna yang tidak seimbang atau asimetris tersebut justru menonjolkan simbol keabadian yang dinamis dari daun pohon Momo. Konotasi tersebut terletak pada kekuatan spiritual yang senantiasa memberikan harapan terhadap manusia dengan adanya tunas-tunas harapan baru yang akan tumbuh pada musim semi tahun berikutnya. Simbol yang terbentuk dari warna-warna yang sederhana tersebut sesuai dengan karakteristik Simple, Unpretentious Beauty.

Gambar 4.8: 平等院の藤の花 Bunga Fuji (Japanese Wisteria) di kuil Byōdōin, Kyoto (kiri), 藤宴和菓子 Toen Wagashi (kanan).

(17)

Selanjutnya adalah wagashi yang terinspirasi oleh Fuji no Hana 藤の花(Bunga Wisteria) di kuil Byōdōin, Kota Uji, Kyoto yang mekar sekitar akhir bulan April hingga awal Mei. Wagashi jenis Joyo yang diberi nama Toen Wagashi ini memiliki warna dasar yang dominan yaitu warna putih. Dibagian permukaan atas terdapat aksen warna hijau yang sangat tipis sebagai simbol daun-daun muda pohon Wisteria sedangkan diatas warna hijau tersebut terdapat aksen serpihan-serpihan asli bunga Fuji yang disusun memanjang secara rapi (Austere, Stark Beauty). Dengan adanya perpaduan warna yang kontras antara putih, hijau dan ungu antara latar belakang dan subjek utama, membuat perpaduan warna tersebut justru menonjolkan subyek utama (bunga Fuji). Dominasi warna putih yang monokromatik menghasilkan kesan dinamis hal ini dibuktikan dengan adanya warna hijau temaram yang melatarbelakangi serpihan bunga Fuji mempunyai kadar value rendah (redup/temaram) sehingga terjadi kontras harmoni (Imperfect, Irregular Beauty)

\

Gambar 4.9 : Kolam Magatama 勾玉池(kiri), Hotaru Wagashi ほたる和菓子(kanan) (sumber: 和菓子 karya Nakamura Hajime halaman 236-237)

Di sebelah utara Kuil Umemiya, Kyoto terdapat sebuah kolam yang bernama Magatama Ike 勾玉池 (Kolam Magatama). Magatama Ike adalah Kolam yang dibuat menyerupai bentuk Perhiasan suci seperti tanda koma besar. Di atas Magatama Ike banyak tumbuh tumbuhan teratai yang menutupi hampir di seluruh permukaan kolam. Seorang pembuat wagashi, Kameya Yoshinaga menjadikan Magatama Ike sebagai inspirasi dalam pembuatan wagashi pada musim panas, wagashi tersebut bernama Hotaru Wagashi ほ た る 和 菓 子 . Hotaru wagashi merupakan wagashi berjenis kinton yang terbuat dari serutan-serutan adonan

(18)

berwarna hijau yang saling menempel. Dibagian atas wagashi ini ditempelkan potongan agar-agar berwarna hijau bening dan kuro-goma (wijen hitam). Serutan adonan berwarna hijau menggambarkan daun-daun bunga teratai di kolam Magatama, sedangkan potongan agar-agar berwarna bening diatasnya menggambarkan butir-butir air diatas daun teratai. Dengan menambahkan kuro-goma sebagai penggambaran batu-batuan dipinggir kolam Magatama, wagashi tersebut terkesan hidup dan sangat alami. Walaupun bentuk fisik secara keseluruhan tidak serta merta seperti sebuah kolam Magatama, namun dengan ketidakterikatan bentuk dan motif tersebut wagashi ini terlihat begitu cantik dan pesan kealamiannya tersampaikan (Imperfect, Irregular Beauty).

Dari segi penyajian warna, Hotaru Wagashi memiliki warna monokromatik dan warna pastel antara lain warna hijau lumut pada serutan adonan, warna hijau muda pada potongan jeli dan warna pastel yaitu warna coklat pada isian. Secara keseluruhan warna yang dominan adalah warna hijau sebagai warna latar belakang dari daun teratai. Susunan gelap dan terang pada warna adonan dan potongan jeli menimbulkan nuansa yang dramatis dimana potongan jeli tersebut berperan sebagai simbolisasi percikan air kolam yang jatuh di atas daun teratai. Nuansa dramatis yang dibangun bertujuan memunculkan subyek utama (warna daun teratai).

Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pada wagashi terdapat adanya nilai-nilai estetika Zen dan Wabi. Pada nilai estetika Zen yaitu karakteristik shizen, kanso, seijaku dan yuugen. Sedangkan dalam estetika Wabi adalah Simple, Unpretentious Beauty dan Imperfect, Irregular beauty. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan menganalisis kelima unsur pembentuk wagashi seperti katachi, shoku, kaori, oto dan aji.

Saran

Penelitian jurnal ini hanya terfokus pada nilai-nilai estetika Zen Buddhisme dan Wabi yang terdapat pada wagashi. Jika ada yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai wagashi bisa membahas mengenai wagashi yang berhubungan dengan matsuri dan peranannya disetiap musim di Jepang.

(19)

Kepustakaan

Daulay, Lelita Sari. Analisis On In Koutai Bahasa Jepang Ditinjau dari Segi Morfomik. Medan : Skripsi Universitas Sumatera Utara, 2009

Kōshirō, Haga. The Wabi Aesthetic Through The Ages. Tea in Japan : Essay on The History of Chanoyu. Honolulu : University of Hawaii, 1989

Nakamura, Hajime. 和菓子: wagashi. Tokyo : kawade Shobo Shinsha Ltd. Publishers, 2013

Pramudjo, Sri Iswidayati Isnaoen. Seni Lukis Kontemporer Jepang : Kajian Estetika Tradisional Wabi-sabi Jepang Periode ’80-‘90an, Depok : Disertasi Doktor Universitas Indonesia, 2002

Silalahi, Eva Nurintan. Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme Dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang. Medan : Skripsi Universitas Sumatera Utara, 2009)

Yomota, Goki. Konsep Keindahan Jepang Kontemporer. makalah yang dibawakan oleh dalam Seminar Studi Jepang 2007 yang diselenggarakan the Japan Foundation, Jakarta.

Nakayama Keiko. Traditional Japanese Confectionery : The art of wagashi

http://www.kikkoman.com/foodforum/thejapanesetable/35.shtml dikunjungi pada 10 Februari 2013 pukul 19.45

Nakazono Toku. Wagashi, The Japanese Sweets

http://www.cis.doshisha.ac.jp/kkitao/library/student/97/essay/307/10-4.htm dikunjungi pada 2 April 2013 Pukul 23.20

(20)

The Art of Five Senses About Wagashi.

www.toraya-group.co.jp/english/wagashi/art.html dikunjungi pada 1 Februari 2013 pukul 10.35

Gambar

Gambar 3.10: tanaman 福寿草 fukujuso (kiri), Fukujuso wagashi (tengah), 千代八千代 Chiyo Yachiyo  wagashi (kanan)
Gambar 4.4 : kelompak bunga Sakura (kiri), hitohira wagashi (kanan)  (sumber : 和菓子 karya Nakamura Hajime halaman 104, 105)
Gambar 4.5 : 若鮎 Waka Ayu.
Gambar  4.6: bunga Momo / persik (kiri), Momo no Hana wagashi (kanan)  (sumber : 和菓子 karya Nakamura Hajime halaman 98-99)
+3

Referensi

Dokumen terkait

The users have to create an invisible straight line composed from their three picture passwords as a means to enter the password (see figure 2). To create the invisible straight

Pelaksanaan praktik dilaksanakan dengan jadwal mengajar jam pelajaran bervariasi dalam seminggu untuk masing-masing kelas dengan membuat RPP (Rencana Pelaksanaan

Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli maka dapat disintesiskan bahwa pengambilan keputusan merupakan proses memilih aksi tertentu untuk

This research is conducted to investigate what type of TIST that teacher mostly uses in the classroom and to find out the frequency of teacher instructional scaffolding

pembelajaran Reciprocal Teaching, Problem Based Instruction, dan konvensional, yang dapat menghasilkan prestasi belajar matematika lebih baik pada materi bangun

Aspek isi portofolio yang dinilai adalah perkembangan kemahiran peserta didik membaca bahasa Arab dan memahami isi bacaan. 1) Indikator kemahiran membaca yang dinilai adalah:

Masih banyak permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan budidaya kepiting bakau tersebut, diantaranya permasalahan pada aspek penerapan dan aplikasi metode budidaya,

Hasil kajian menunjukkan nilai rerata kelembaban udara di kawasan ini iaitu 75.9 persen dengan nilai maksimumnya ialah 81.6 persen juga telah direkodkan di Gerbang