PARADIGMA INTREPRETIF
Mustiawan, M. I.Kom
Program Studi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
PARADIGMA ILMU KOMUNIKASI :
POSTIVISTIME
POST POSITIVISME
INTERPRETIF
KONSTUKTIVISME
PARADIGMA
ILMU KOMUNIKASI :
INTERPRETIF
INTERPRETIF
Hendrarti : paradigma interpretif memandang bahwa ilmu sosial sebagai analisis sistematis atas „socially meaningful action‟ melalui pengamatan langsung terhadap aktor sosial dalam latar alamiah agar dapat memahami dan menafsirkan bagaimana para aktor sosial menciptakan dan memelihara dunia sosial mereka.
Thomas A. Schwandt : secara historis argumentasi pengikut faham interpretive bahwa interpretive digunakan untuk penelitian manusia yang bersifat unik. Interpretatif menyatakan bahwa interpretive merupakan ide yang berasal dari tradisi intelektual Jerman, yaitu hermeneutik, tradisi Verstehen dalam sosiologi, fenomenologi Alfred Schutz, dan kritik kepada aliran ilmu pengetahuan alam (scientism) dan aliran Positivis (positivism) yang dipengaruhi oleh kritik
Morrison : interpretif memandang penelitian ilmiah tidaklah cukup untuk menjelaskan “misteri” pengalaman manusia sehingga diperlukan unsur manusiawi yang kuat dalam penelitian. Kebanyakan mereka yang berada dalam kelompok ini lebih tertarik pada kasus- kasus individu daripada kasuskasus umum.
Sugiono : interpretif memfokuskan pada sifat subjektif dari dunia sosial dan berusaha memahami kerangka berfikir objek yang sedang dipelajarinya. Fokusnya pada arti individu dan persepsi manusia pada realitas bukan pada realitas independen yang berada diluar mereka
KEMUNCULAN INTERPRETIF
Mulai pertengahan abad 18 timbul beberapa keberatan terhadap gagasan pencerahan tentang objektivitas, rasionalitas dan pengetahuan yang mendasari observasi eksternal. Yang paling berpengaruh yaitu Immanuel Kant, filsuf sentral dalam aliran pemikiran Idealisme Jerman. Ia berpendapat bahwa manusia mempunyai pengetahuan yang apriori yang bersifat independen dari dunia luar. Pada pertengahan abad ke 19, Idelisme Jerman menemui jalan berat namun kembali bangkit awal abad 20 yang menimbulkan gerakan Neo-Kantian. Menurut Max Weber, prosedur positivisme yang ada dalam ilmu alam tidak tepat dijadikan metode pemahaman, dan ia menyokong gerakan interprestasi ilmu sosial yang dapat mencatat makna subjektif individu yang tercakup dalam perilaku sosial.
Paradigma interpretif lahir sebagai reaksi terhadap paradigma positivistik yang dianggap kurang komprehensif untuk menjelaskan realitas. Menurut Creswell (2008: 49-50) penelitian kuantitatif dianggap terlalu menggantungkan pada pandangan peneliti sendiri ketimbang subjek dan membendakan manusia. Subjek penelitian berada di luar konteks dan ditempatkan dalam situasi eksperimental jauh dari pengalaman pribadinya. Itu sebabnya para ahli, khususnya para filsuf pendidikan pada akhir 1960-an, mencari alternatif pendekatan lain yang lebih humanis, yang menekankan pentingnya pandangan subjek, dan konteks di mana subjek menyampaikan pandangan-pandangan mereka.
Paradigma interpretif disepadankan dengan pendekatan kualitatif (qualitative
approach), yang umumnya digunakan oleh ilmu-ilmu sosial (social sciences) dan humaniora.
Secara bergantian, menurut Patton (1990:68) paradigma interpretif juga disebut paradigma fenomenologi atau naturalistik, walau diakui ini sering membingungkan. Studi terhadap dunia kehidupan dan perilaku manusia haruslah berpangkal dan bermuara kepada upaya pemahaman (understanding) terhadap apa yang terpola dalam dunia makna (reasons) atas manusia yang diteliti. Itulah yang menjadi akar filosofis lahirnya tradisi penelitian kualitatif, yang secara ringkas dapat diartikan sebagai upaya memahami suatu pemahaman (understanding of understanding). Itu sebabnya penelitian kualitatif dengan semua ragamnya berada di bawah payung paradigma interpretif, yang kadang-kadang disebut juga paradigma fenomenologi atau paradigma definisi sosial.
ASUMSI DASAR
INTERPRETIF
1. Paradigma interpretif memandang realitas sosial sebagai sesuatu yang holistik, tidak terpisah-pisah satu dengan lainnya, kompleks, dinamis, penuh makna, dan hubungan antar gejala bersifat timbal balik (reciprocal), bukan kausalitas.
2. Paradigma interpretif juga memandang realitas sosial itu sesuatu yang dinamis, berproses dan penuh makna subjektif.
3. Realitas sosial tidak lain adalah konstruksi sosial.
4. Terkait posisi manusia, paradigma interpretif memandang manusia sebagai
makhluk yang berkesadaran dan bersifat intensional dalam bertindak (intentional
human being). Manusia adalah makhluk pencipta dunia, memberikan arti pada
dunia, tidak dibatasi hukum di luar diri, dan pencipta rangkaian makna.
Maka dari itu semua tindakan atau perilaku manusia bukan sesuatu
yang otomatis dan mekanis, atau tiba-tiba terjadi, melainkan suatu
pilihan yang di dalamnya terkandung suatu interpretasi dan pemaknaan.
Karenanya setiap tindakan dan hasil karya manusia (dianggap)
senantiasa sarat dan diilhami oleh corak kesadaran tertentu yang
PRINSIP DASAR
INTERPRETIF
Ada tiga prinsip dasar yang di miliki oleh paradigma interpretif yaitu2 :
1. Individu menyikapi sesuatu peristiwa yang ada di lingkungannya berdasarkan makna yang individu tersebut buat sendiri
2. Makna terbentuk karena adanya interaksi sosial yang dijalin dengan individu lain 3. Makna yang di dapat ataupun terbentuk akan dipahami dan di modifikasi oleh
individu melalui proses interpretif yang juga berkaitan dengan hal lain yang dihadapinya.
Berdasar tiga prinsip dasar tersebut, terdapat asumsi penting yang
melatarbelakanginya yaitu asumsi pertama individu dapat melihat dirinya
sendiri sebagaimana ia melihat orang lain. Asumsi kedua individu tidak
dianggap pasif melainkan memiliki kemampuan untuk secara aktif mengerti
situasi dan kondisi disekitarnya. Paradigma interpretif menekankan pada
pemahaman makna melalui proses empati individu terhadap sesuatu
aktifitas dan menempatkan suatu aktifitas yang ada dalam masyarakat
akan terjadi banyak penafsiran dan analisis dari individu itu sendiri.
TUJUAN DAN ARA
INTERPRETIF
Tujuan paradigm interpretif adalah untuk menganalisis realitas social dan bagaimana realitas social itu dibentuk. Penelitian interpretif tidak menempatkan objektivitas sebagai hal terpenting, tetapi mengakui bahwa untuk memperoleh pemahaman mendalam, maka subjektivitas para pelaku harus digali sedalam mungkin. Misalnya dalam kasus pelaksanaan pembelajaran, peneliti menggali tentang bagaimana pelaksana pembelajaran dan bagaimana memandang pembelajaran tersebut.
Paradigm interpretif ini menitikberatkan pada penafsiran dan pemahaman ilmu social. Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subyektif dari terhadap kejadian social dan berusaha memahaminya dari kerangka berfikir objektif yang sedang dipelajarinya. Setiap gejala interpretif yang diteliti bisa jadi memiliki makna yang berbeda. Intinya setiap sumber yang diteliti tidak monoton, dalam arti berbeda-beda subjektifnya.
1. PEMBENTUKAN PRILAKU MANUSIA
Semua tindakan atau perilaku manusia bukan sesuatu yang otomatis dan mekanis, atau tiba-tiba terjadi, melainkan suatu pilihan yang di dalamnya terkandung suatu interpretasi dan pemaknaan. Karenanya setiap tindakan dan hasil karya manusia
(dianggap) senantiasa sarat dan diilhami oleh corak kesadaran tertentu yang terbenam dalam sanubari atau dunia makna pelakunya.
2. MANUSIA DAN PROSES PEMAKNAAN
Untuk memahami dunia kehidupan dan tindakan manusia tentu berurusan dengan upaya menyingkap tabir dunia makna yang tersembunyi di balik yang tampak atau yang terekspresi di permukaan. Bagi paradigma interpretif yang tampak itu belum tentu yang sesungguhnya. Yang terbenam di balik yang tampak itulah yang menjadi pencarian peneliti paradigma interpretif. Menurut Faisal kehidupan seseorang atau kelompok yang terpola dalam dunia nyata sehari-hari (pattern of life)
sesungguhnya merupakan pancaran dari pattern of life yang terbenam dalam dunia makna mereka. Dengan kata lain, yang tampak adalah pantulan dari yang tersebunyi.
4 PERTANYAN DASAR
3, MEMAHAMI SEBUAH MAKNA
Sejalan dengan pandangan itu, studi terhadap dunia kehidupan dan perilaku manusia haruslah berpangkal dan bermuara kepada upaya pemahaman (understanding) terhadap apa yang terpola dalam dunia makna (reasons) atas manusia yang diteliti. Itulah yang menjadi akar filosofis lahirnya tradisi penelitian kualitatif, yang secara ringkas dapat diartikan sebagai upaya memahami suatu pemahaman (understanding of
understanding). Itu sebabnya penelitian kualitatif dengan semua ragamnya berada di
bawah payung paradigma interpretif, yang kadang-kadang disebut juga paradigma fenomenologi atau paradigma definisi sosial.
4, REALITAS YANG JAMAK DAN HOLISTIK.
Dikaitkan dengan hakikat realitas, paradigma interpretif memandang realitas itu bersifat jamak dan holistik. Peneliti berinteraksi langsung dengan subjek di lapangan dalam hubungan yang saling mengikat (value- bound), proses penelitian berlangsung secara siklus (tidak linier), bertujuan untuk mengembangkan teori, dan hasil akhir atau temuan bersifat open- ended, artinya temuan penelitian masih terbuka untuk dikritik, direvisi,
4 PERTANYAN DASAR
Kebanyakan teoretisi interpretatif mengikuti
argumen ketidakmungkinan pemisahan nilai dari pengetahuan. Nilai-nilai personal dan profesional
adalah sebuah lensa yang melauinya sebuah fenomena sosial diamati.
Perspektif interpretatif mendasari metode ilmu
sosial dengan
memberikan peran subjek dalam menentukan fakta
sosial sekaligus memperlakukan manusia
tidak sebagai benda-benda sebagaimana
positivisme.
METATEORI
INTERPRETIF
ONTOLOGI
EPISTEMOLOGI
AKSIOLOGI
Realitas sosial hadir dalam beragam bentuk konstruksi
mental, berdasar pada situasi sosial dan pengalamannya, bersifat lokal dan spesifik, kemudian
bentuk dan formatnya bergantung pada orang yang menjalaninya (Guba,
1990). Walhasil ontology-ontologi yang dipegang adalah gagasan bahwa realitas tidak akan bisa
dimengerti tanpa mempertimbangkan proses
sosial dan mental yang terus menerus membangun
realitas tersebut.
Epistemologi intepretatif merupakan epistemologi subjektif. Kaum interpretatif
meyakini tidak adanya hukum universal atau hubungan kausal yang bisa
dijadikan kesimpulan mengenai dunia sosial.
Kaum interpretatif berupaya mengusahakan
pemahaman lokal dari kelompok sosial yang khusus
dan kejadian yang khusus pula.