• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARADIGMA INTREPRETIF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PARADIGMA INTREPRETIF"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PARADIGMA INTREPRETIF

Mustiawan, M. I.Kom

Program Studi Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka

(2)

PARADIGMA ILMU KOMUNIKASI :

POSTIVISTIME

POST POSITIVISME

INTERPRETIF

KONSTUKTIVISME

(3)

PARADIGMA

ILMU KOMUNIKASI :

INTERPRETIF

(4)

INTERPRETIF

Hendrarti : paradigma interpretif memandang bahwa ilmu sosial sebagai analisis sistematis atas „socially meaningful action‟ melalui pengamatan langsung terhadap aktor sosial dalam latar alamiah agar dapat memahami dan menafsirkan bagaimana para aktor sosial menciptakan dan memelihara dunia sosial mereka.

Thomas A. Schwandt : secara historis argumentasi pengikut faham interpretive bahwa interpretive digunakan untuk penelitian manusia yang bersifat unik. Interpretatif menyatakan bahwa interpretive merupakan ide yang berasal dari tradisi intelektual Jerman, yaitu hermeneutik, tradisi Verstehen dalam sosiologi, fenomenologi Alfred Schutz, dan kritik kepada aliran ilmu pengetahuan alam (scientism) dan aliran Positivis (positivism) yang dipengaruhi oleh kritik

Morrison : interpretif memandang penelitian ilmiah tidaklah cukup untuk menjelaskan “misteri” pengalaman manusia sehingga diperlukan unsur manusiawi yang kuat dalam penelitian. Kebanyakan mereka yang berada dalam kelompok ini lebih tertarik pada kasus- kasus individu daripada kasuskasus umum.

Sugiono : interpretif memfokuskan pada sifat subjektif dari dunia sosial dan berusaha memahami kerangka berfikir objek yang sedang dipelajarinya. Fokusnya pada arti individu dan persepsi manusia pada realitas bukan pada realitas independen yang berada diluar mereka

(5)

KEMUNCULAN INTERPRETIF

Mulai pertengahan abad 18 timbul beberapa keberatan terhadap gagasan pencerahan tentang objektivitas, rasionalitas dan pengetahuan yang mendasari observasi eksternal. Yang paling berpengaruh yaitu Immanuel Kant, filsuf sentral dalam aliran pemikiran Idealisme Jerman. Ia berpendapat bahwa manusia mempunyai pengetahuan yang apriori yang bersifat independen dari dunia luar. Pada pertengahan abad ke 19, Idelisme Jerman menemui jalan berat namun kembali bangkit awal abad 20 yang menimbulkan gerakan Neo-Kantian. Menurut Max Weber, prosedur positivisme yang ada dalam ilmu alam tidak tepat dijadikan metode pemahaman, dan ia menyokong gerakan interprestasi ilmu sosial yang dapat mencatat makna subjektif individu yang tercakup dalam perilaku sosial.

Paradigma interpretif lahir sebagai reaksi terhadap paradigma positivistik yang dianggap kurang komprehensif untuk menjelaskan realitas. Menurut Creswell (2008: 49-50) penelitian kuantitatif dianggap terlalu menggantungkan pada pandangan peneliti sendiri ketimbang subjek dan membendakan manusia. Subjek penelitian berada di luar konteks dan ditempatkan dalam situasi eksperimental jauh dari pengalaman pribadinya. Itu sebabnya para ahli, khususnya para filsuf pendidikan pada akhir 1960-an, mencari alternatif pendekatan lain yang lebih humanis, yang menekankan pentingnya pandangan subjek, dan konteks di mana subjek menyampaikan pandangan-pandangan mereka.

Paradigma interpretif disepadankan dengan pendekatan kualitatif (qualitative

approach), yang umumnya digunakan oleh ilmu-ilmu sosial (social sciences) dan humaniora.

Secara bergantian, menurut Patton (1990:68) paradigma interpretif juga disebut paradigma fenomenologi atau naturalistik, walau diakui ini sering membingungkan. Studi terhadap dunia kehidupan dan perilaku manusia haruslah berpangkal dan bermuara kepada upaya pemahaman (understanding) terhadap apa yang terpola dalam dunia makna (reasons) atas manusia yang diteliti. Itulah yang menjadi akar filosofis lahirnya tradisi penelitian kualitatif, yang secara ringkas dapat diartikan sebagai upaya memahami suatu pemahaman (understanding of understanding). Itu sebabnya penelitian kualitatif dengan semua ragamnya berada di bawah payung paradigma interpretif, yang kadang-kadang disebut juga paradigma fenomenologi atau paradigma definisi sosial.

(6)

ASUMSI DASAR

INTERPRETIF

1. Paradigma interpretif memandang realitas sosial sebagai sesuatu yang holistik, tidak terpisah-pisah satu dengan lainnya, kompleks, dinamis, penuh makna, dan hubungan antar gejala bersifat timbal balik (reciprocal), bukan kausalitas.

2. Paradigma interpretif juga memandang realitas sosial itu sesuatu yang dinamis, berproses dan penuh makna subjektif.

3. Realitas sosial tidak lain adalah konstruksi sosial.

4. Terkait posisi manusia, paradigma interpretif memandang manusia sebagai

makhluk yang berkesadaran dan bersifat intensional dalam bertindak (intentional

human being). Manusia adalah makhluk pencipta dunia, memberikan arti pada

dunia, tidak dibatasi hukum di luar diri, dan pencipta rangkaian makna.

Maka dari itu semua tindakan atau perilaku manusia bukan sesuatu

yang otomatis dan mekanis, atau tiba-tiba terjadi, melainkan suatu

pilihan yang di dalamnya terkandung suatu interpretasi dan pemaknaan.

Karenanya setiap tindakan dan hasil karya manusia (dianggap)

senantiasa sarat dan diilhami oleh corak kesadaran tertentu yang

(7)

PRINSIP DASAR

INTERPRETIF

Ada tiga prinsip dasar yang di miliki oleh paradigma interpretif yaitu2 :

1. Individu menyikapi sesuatu peristiwa yang ada di lingkungannya berdasarkan makna yang individu tersebut buat sendiri

2. Makna terbentuk karena adanya interaksi sosial yang dijalin dengan individu lain 3. Makna yang di dapat ataupun terbentuk akan dipahami dan di modifikasi oleh

individu melalui proses interpretif yang juga berkaitan dengan hal lain yang dihadapinya.

Berdasar tiga prinsip dasar tersebut, terdapat asumsi penting yang

melatarbelakanginya yaitu asumsi pertama individu dapat melihat dirinya

sendiri sebagaimana ia melihat orang lain. Asumsi kedua individu tidak

dianggap pasif melainkan memiliki kemampuan untuk secara aktif mengerti

situasi dan kondisi disekitarnya. Paradigma interpretif menekankan pada

pemahaman makna melalui proses empati individu terhadap sesuatu

aktifitas dan menempatkan suatu aktifitas yang ada dalam masyarakat

akan terjadi banyak penafsiran dan analisis dari individu itu sendiri.

(8)

TUJUAN DAN ARA

INTERPRETIF

Tujuan paradigm interpretif adalah untuk menganalisis realitas social dan bagaimana realitas social itu dibentuk. Penelitian interpretif tidak menempatkan objektivitas sebagai hal terpenting, tetapi mengakui bahwa untuk memperoleh pemahaman mendalam, maka subjektivitas para pelaku harus digali sedalam mungkin. Misalnya dalam kasus pelaksanaan pembelajaran, peneliti menggali tentang bagaimana pelaksana pembelajaran dan bagaimana memandang pembelajaran tersebut.

Paradigm interpretif ini menitikberatkan pada penafsiran dan pemahaman ilmu social. Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subyektif dari terhadap kejadian social dan berusaha memahaminya dari kerangka berfikir objektif yang sedang dipelajarinya. Setiap gejala interpretif yang diteliti bisa jadi memiliki makna yang berbeda. Intinya setiap sumber yang diteliti tidak monoton, dalam arti berbeda-beda subjektifnya.

(9)

1. PEMBENTUKAN PRILAKU MANUSIA

Semua tindakan atau perilaku manusia bukan sesuatu yang otomatis dan mekanis, atau tiba-tiba terjadi, melainkan suatu pilihan yang di dalamnya terkandung suatu interpretasi dan pemaknaan. Karenanya setiap tindakan dan hasil karya manusia

(dianggap) senantiasa sarat dan diilhami oleh corak kesadaran tertentu yang terbenam dalam sanubari atau dunia makna pelakunya.

2. MANUSIA DAN PROSES PEMAKNAAN

Untuk memahami dunia kehidupan dan tindakan manusia tentu berurusan dengan upaya menyingkap tabir dunia makna yang tersembunyi di balik yang tampak atau yang terekspresi di permukaan. Bagi paradigma interpretif yang tampak itu belum tentu yang sesungguhnya. Yang terbenam di balik yang tampak itulah yang menjadi pencarian peneliti paradigma interpretif. Menurut Faisal kehidupan seseorang atau kelompok yang terpola dalam dunia nyata sehari-hari (pattern of life)

sesungguhnya merupakan pancaran dari pattern of life yang terbenam dalam dunia makna mereka. Dengan kata lain, yang tampak adalah pantulan dari yang tersebunyi.

4 PERTANYAN DASAR

(10)

3, MEMAHAMI SEBUAH MAKNA

Sejalan dengan pandangan itu, studi terhadap dunia kehidupan dan perilaku manusia haruslah berpangkal dan bermuara kepada upaya pemahaman (understanding) terhadap apa yang terpola dalam dunia makna (reasons) atas manusia yang diteliti. Itulah yang menjadi akar filosofis lahirnya tradisi penelitian kualitatif, yang secara ringkas dapat diartikan sebagai upaya memahami suatu pemahaman (understanding of

understanding). Itu sebabnya penelitian kualitatif dengan semua ragamnya berada di

bawah payung paradigma interpretif, yang kadang-kadang disebut juga paradigma fenomenologi atau paradigma definisi sosial.

4, REALITAS YANG JAMAK DAN HOLISTIK.

Dikaitkan dengan hakikat realitas, paradigma interpretif memandang realitas itu bersifat jamak dan holistik. Peneliti berinteraksi langsung dengan subjek di lapangan dalam hubungan yang saling mengikat (value- bound), proses penelitian berlangsung secara siklus (tidak linier), bertujuan untuk mengembangkan teori, dan hasil akhir atau temuan bersifat open- ended, artinya temuan penelitian masih terbuka untuk dikritik, direvisi,

4 PERTANYAN DASAR

(11)

Kebanyakan teoretisi interpretatif mengikuti

argumen ketidakmungkinan pemisahan nilai dari pengetahuan. Nilai-nilai personal dan profesional

adalah sebuah lensa yang melauinya sebuah fenomena sosial diamati.

Perspektif interpretatif mendasari metode ilmu

sosial dengan

memberikan peran subjek dalam menentukan fakta

sosial sekaligus memperlakukan manusia

tidak sebagai benda-benda sebagaimana

positivisme.

METATEORI

INTERPRETIF

ONTOLOGI

EPISTEMOLOGI

AKSIOLOGI

Realitas sosial hadir dalam beragam bentuk konstruksi

mental, berdasar pada situasi sosial dan pengalamannya, bersifat lokal dan spesifik, kemudian

bentuk dan formatnya bergantung pada orang yang menjalaninya (Guba,

1990). Walhasil ontology-ontologi yang dipegang adalah gagasan bahwa realitas tidak akan bisa

dimengerti tanpa mempertimbangkan proses

sosial dan mental yang terus menerus membangun

realitas tersebut.

Epistemologi intepretatif merupakan epistemologi subjektif. Kaum interpretatif

meyakini tidak adanya hukum universal atau hubungan kausal yang bisa

dijadikan kesimpulan mengenai dunia sosial.

Kaum interpretatif berupaya mengusahakan

pemahaman lokal dari kelompok sosial yang khusus

dan kejadian yang khusus pula.

(12)

Mata Kuliah : Filsafat Komunikasi

Referensi

Dokumen terkait

Sistem upah borongan diterapkan pada proses produksi tahap pertama dimana pada tahap pertama yaitu proses mengubah bahan baku menjadi barang setengah jadi

Android adalah sistem operasi untuk smartphone yang dibuat oleh google corporation. Sistem operasi ini dikembangkan dengan memanfaatkan linux kernel.. Perencanaan Sistem dan

[r]

Semua cara pengaplikasian dapat digunakan sebagai alternatif, tetapi untuk mempermudah petani metode yang diterapkan pada penelitian ini adalah menggunakan rendaman dari daun dan

Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada Astika Yuna Sitorus,SP telah banyak membantu penulis mulai dari awal masuk kuliah sampai saat ini dan khususnya

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data menurut Arikunto (2005:149), dalam penelitian tindakan kelas ada beberapa teknik

IPembangunan IKBIM seperti pompa, gravitasi dan embung di lokasi yang diteliti layak secara finansial dengan nilai IRR yang cukup tinggi, terutama pada jenis

Dalam penelitian ini tahap orientasinya yaitu Guru mengkondisikan peserta didik pada posisi siap untuk melakukan pembelajaran dengan mengabsen, memberi apersepsi terkait