• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA NET ECOSYSTEM EXCHANGE (NEE) PADA TANAMAN KELAPA SAWIT IRFI PANREPI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DINAMIKA NET ECOSYSTEM EXCHANGE (NEE) PADA TANAMAN KELAPA SAWIT IRFI PANREPI"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

IRFI PANREPI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dinamika Net Ecosystem Exchange (NEE) pada Tanaman Kelapa Sawit adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2017

Irfi Panrepi

(4)
(5)

ABSTRAK

IRFI PANREPI. Dinamika Net Ecosystem Exchange (NEE) pada Tanaman Kelapa Sawit. Dibimbing oleh TANIA JUNE.

Laju kehilangan dan kerusakan hutan terus meningkat, salah satunya disebabkan oleh peralihan fungsi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Ekosistem kelapa sawit memiliki karakteristik yang berbeda dengan ekosistem hutan khususnya dalam menyerap CO2. Dilakukan perhitungan net ecosystem exchange (NEE) untuk mengetahui kemampuan dan dinamika ekosistem kelapa sawit dalam menyerap CO2, serta melihat pengaruh beberapa faktor iklim terhadap dinamikanya. Hasil menunjukkan bahwa dinamika NEE diurnal bernilai negatif pada siang hari dan positif pada malam hari, yang berarti penyerapan aktif terjadi pada siang hari. Waktu tersebut bertepatan dengan memuncaknya nilai radiasi matahari yang memicu terjadinya fotosintesis pada tanaman kelapa sawit. Korelasi antara NEE dan radiasi menunjukkan hasil R2 sebesar 0.9. Suhu udara mempengaruhi variasi nilai NEE paling tinggi sebesar 63% (R2 = 0.63). Curah hujan memiliki korelasi dengan NEE sebesar 48% (R2 = 0.48). stabilitas atmosfer dan turbulensi berperan dalam proses transfer massa udara dari ekosistem ke atmosfer maupun sebaliknya. Hasil korelasi antara stabilitas atmosfer dengan NEE paling tinggi pada kondisi atmosfer yang netral dengan R2 sebesar 0.48. Hasil akumulasi NEE menunjukkan bahwa kemampuan ekosistem kelapa sawit dalam menyerap CO2 pada bulan April sebesar 4.17 ton ha-1 yr-1 dan pada bulan September sebesar 5.01 ton ha-1 yr-1.

(6)

The rate of loss and destruction of forests continues to increase, misconduct by the transition of forest land functions into oil palm plantations. The oil palm ecosystem has different characteristics with the forest ecosystem in absorbing CO2. The net ecosystem exchange (NEE) calculation is to find out the ability and dynamics of palm oil ecosystem to absorb CO2, and to see the influence of some climate factors on the dynamics. Results that show the dynamics of diurnal NEE light up negatively during the day and are positive at night, which means active absorption during the day. This time coincides with the rising sun radiation value that triggers photosynthesis in oil palm plants. The correlation between NEE and radiation showed R2 0.9. Air temperature affects the highest variation of NEE value by 63% (R2 = 0.63). Rainfall has a correlation with NEE of 48% (R2 = 0.48). Atmospheric stability and turbulence play a role in the process of mass transfer of air from ecosystem to atmosphere. The correlation between atmospheric stability and NEE was highest in neutral atmospheric conditions with R2 of 0.48. The result of NEE accumulation shows that the capability of palm oil ecosystem to absorb CO2 in April was 4.17 ton ha-1 yr-1 and in September was 5.01 ton ha-1 yr-1.

(7)

DINAMIKA NET ECOSYSTEM EXCHANGE (NEE) PADA

TANAMAN KELAPA SAWIT

IRFI PANREPI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Dinamika Net Ecosystem Exchange (NEE) pada Tanaman Kelapa Sawit

Nama : Irfi Panrepi

NIM : G24130076

Disetujui oleh

Dr. Ir. Tania June, M.Sc Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Tania June, M.Sc Ketua Departemen

(10)

karena atas rahmat dan hidayat-Nya saya diberikan kesempatan dan kesehatan untuk menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2017 ini adalah pertukaran karbon, dengan judul Dinamika Net

Ecosystem Exchange pada Tanaman Kelapa Sawit

Ucapan terima kasih tidak lupa penulis sampaikan kepada :

1. Proyek Ecological and socioeconomic functions of tropical lowland rainforest

transformation systems (EFForTS) di Sumatra, Indonesia, serta PT Perkebunan

Nusantara VI yang telah mengizinkan saya menggunakan data eddy covariance dan iklim mikro di PTPN VI Jambi untuk penelitian.

2. Mama tercinta, Ibu Pipih Suptijah, dan Papa, Bapak Irianto, serta segenap keluarga yang selalu memberikan doa dan dukungan.

3. Dr. Ir. Tania June, M.Sc. selaku pembimbing skripsi dan Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi, yang telah memberikan arahan, kritik, serta saran. 4. Rekan-rekan GFM 50 yang telah memberikan semangat, dan segenap keluarga

besar Departemen Geofisika dan Meteorologi.

5. Keluarga besar Paguyuban Karya Salemba Empat IPB Tahun 2016-2017.

Penulisan karya ilmiah ini tidak luput dari segala kekurangan. Penulis menerima segala saran dan masukkan yang membangun dalam bentuk apapun. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya. Akhir kata mohon maaf atas segala kekurangan yang ada.

Bogor, Agustus 2017

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR ii DAFTAR TABEL ii DAFTAR LAMPIRAN ii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 METODE 2

Waktu dan Tempat Penelitian 2

Bahan 2

Alat 3

Prosedur Analisis Data 3

Analisis Data Fluks CO2 3

Analisis Data Iklim 4

Akumulasi NEE 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Deskripsi Wilayah Kajian 9

Dinamika NEE pada Tanaman Kelapa Sawit 10

NEE Diurnal 10

NEE Harian 11

Pengaruh Faktor Iklim terhadap Dinamika NEE 12

Radiasi Matahari 12

Suhu Udara 14

Curah Hujan 16

Stabilitas Atmosfer 18

Turbulensi 21

Akumulasi Nilai NEE 22

SIMPULAN DAN SARAN 23

DAFTAR PUSTAKA 24

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kategori nilai Richardson number (Ri) untuk stabilitas atmosfer 7 Tabel 2 Kategori nilai Richardson number (Ri) untuk stabilitas turbulensi 7 Tabel 3 Rata-rata stabilitas atmosfer pada bulan April dan September 19

Tabel 4 Korelasi antara NEE dengan stabilitas atmosfer 19

Tabel 5 Rata – rata nilai NEE dan R2 pada kondisi atmosfer tidak stabil 20 Tabel 6 Rata-rata turbulensi pada bulan April dan September 21

Tabel 7 Akumulasi nilai NEE 22

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Ilustrasi climate tower di PTPN VI, Batanghari, Jambi 3

Gambar 2 Langkah kerja penelitian 8

Gambar 3 Peta lokasi perkebunan kelapa sawit dan climate tower di PTPN VI

unit Batanghari, Jambi 9

Gambar 4 Dinamika NEE dalam kurun waktu diurnal pada bulan April (■)

dan September (○) 10

Gambar 5 Dinamika NEE dalam kurun waktu harian pada bulan April (■)

dan September (○) 12

Gambar 6 Plot NEE dan radiasi global secara diurnal pada bulan April

dan September 13

Gambar 7 Korelasi antara radiasi global dan NEE pada bulan (a) April

dan (b) September 13

Gambar 8 Korelasi antara PAR dan NEE pada bulan (a) April dan (b) September 14 Gambar 9 Korelasi antara NEE dan suhu udara di ketinggian (a) 14, (b) 18,

(c) 22, dan (d) 30 meter 15

Gambar 10 Pola curah hujan di PTPN VI, Batanghari, Jambi 17 Gambar 11 Plot NEE dan curah hujan secara diurnal pada bulan (a) April dan

(b) September 17

Gambar 12 Korelasi antara NEE dan curah hujan pada bulan April 18 Gambar 13 Profil suhu udara dan kecepatan angin vertikal pada beberapa waktu

di bulan (a) April dan (b) September 20

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Contoh perhitungan akumulasi nilai NEE dan Richardson number 28

Lampiran 2 Data fluks CO2 bulan April 29

Lampiran 3 Data fluks CO2 bulan September 32

Lampiran 4 Hari hujan bulan April 35

Lampiran 5 Hari hujan bulan September 37

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang memiliki hutan hujan tropis terluas ke tiga di dunia, setelah Brasil dan Kongo. Tahun 2003 tercatat luas hutan Indonesia sekitar 109 juta hektar, yang hingga tahun 2009 luasnya terus berkurang dan tersisa sekitar 50% (WWF 2009). Pengurangan luas hutan tersebut salah satunya disebabkan oleh peralihan fungsi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 10.7 juta hektar, baik milik pemerintah maupun swasta. Diprediksi luasnya akan terus bertambah hingga 11.6 juta hektar pada tahun 2016 (Ditjenbun 2015). Dari sudut pandang ekonomi, hasil perkebunan kelapa sawit dapat meningkatkan pendapatan Nasional, sedangkan dari sudut pandang lingkungan, pertambahan luas perkebunan kelapa sawit mendorong terbentuknya suatu tatanan ekosistem baru yang turut berperan dalam neraca karbon.

Perkebunan kelapa sawit memiliki kesan yang kurang baik di mata dunia, diduga karena persiapan awal perkebunan yang dilakukan dengan membuka atau merusak ekosistem hutan. Pembukaan lahan tersebut dilakukan dengan proses pembakaran lahan, cara ini dipilih karena dianggap paling mudah dan murah. Pembukaan lahan dengan cara tersebut memicu timbulnya polusi berupa asap, hilangnya keanekaragaman hayati, serta pemanasan global (Pye dan Bhattacharya 2013). Akan tetapi, awal mula dibentuknya perkebunan kelapa sawit tidak selalu dengan cara deforestrasi, melainkan memanfaatkan lahan semak serta lahan pertanian yang sudah panen. Cara tersebut tentu menguntungkan baik dari segi ekonomi maupun lingkungan (Corley dan Tinker 2003). Terlepas dari sisi negatif perkebunan kelapa sawit, tanaman kelapa sawit juga memiliki kemampuan dalam menyimpan karbon, pada usia 15 tahun kandungan karbonnya dapat mencapai 65.9 ton ha-1. Kandungan karbon tersimpan pada satu tanaman kelapa sawit usia 15 tahun dapat mencapai 484.46 kg per tanaman. Lewat dari usia tersebut kandungan karbon pada tanaman kelapa sawit akan menurun, hingga pada usia lebih dari 20 tahun kandungan karbonnya sebesar 243.16 kg per tanaman (Yuliyanto 2015).

Mengetahui kemampuan tanaman kelapa sawit dalam menyimpan karbon, menjadikannya satu ekosistem yang turut andil dalam neraca karbon. Net ecosystem

exchange (NEE) adalah perhitungan langsung dari total pertukaran CO2 antara ekosistem dan atmosfer (Chapin et.al 2002). Perhitungan ini dapat digunakan untuk melihat variasi jumlah CO2 yang masuk atau keluar dari ekosistem kelapa sawit. Interaksi antara ekosistem dengan atmosfer turut melibatkan komponen iklim mikro, seperti radiasi matahari, suhu udara, curah hujan, dan stabilitas atmosfer. Keterkaitan

(14)

tersebut menjadi dasar untuk dilakukannya pengkajian perihal dinamika NEE yang turut dipengaruhi oleh beberapa faktor iklim pada ekosistem kelapa sawit.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mempelajari dinamika NEE pada tanaman kelapa sawit dalam rentang harian dan diurnal, analisis pengaruh faktor iklim terhadap dinamika NEE, serta mempelajari waktu dinamika ekosistem kelapa sawit memiliki kontribusi terbesar dalam pertukaran karbon.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dengan memberikan informasi terkait dinamika pertukaran CO2 pada ekosistem kelapa sawit, yang turut dipengaruhi oleh berbagai faktor iklim. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan terkait kontribusi ekosistem kelapa sawit dalam neraca karbon, khususnya dalam pertukaran gas CO2.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi dari bulan Februari hingga Juli 2017, meliputi pengolahan serta analisis data. Wilayah kajian penelitian bertempat di PT Perkebunan Nusantara VI, Batanghari, Jambi, di lokasi kerja sama penelitian antara IPB dan Jerman, EFForTS

Project.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data fluks dan data iklim yang didapatkan dari climate tower yang menggunakan eddy correlation system (CRC990-EFForTS Project) di PT Perkebunan Nusantara VI, Batanghari, Jambi, dengan resolusi temporal 30 menit (Gambar 1). Data tersebut terdiri dari fluks CO2, suhu udara (ketinggian 14, 18, 22, dan 30 meter), curah hujan, kecepatan angin (ketinggian 18, 22, dan 30 meter), radiasi global, dan Photosynthetically Active

Radiation (PAR). Waktu data yang digunakan meliputi bulan April dan September

(15)

Gambar 1 Ilustrasi climate tower di PTPN VI, Batanghari, Jambi

Alat

Peralatan yang digunakan pada proses pengolahan data adalah seperangkat

laptop yang dilengkapi dengan perangkat lunak Microsoft Office 2013 dan seperangkat

alat tulis.

Prosedur Analisis Data

Analisis data terbagi menjadi dua tahap utama, yaitu analisis data fluks CO2 dan analisis data iklim. Analisis data iklim di lokasi penelitian meliputi parameter radiasi matahari, curah hujan, serta suhu udara dan kecepatan angin untuk menentukan kondisi stabilitas atmosfer.

Analisis Data Fluks CO2

Nilai fluks CO2 berasal dari pengukuran dengan alat eddy covariance system, menggunakan sonic anemometer dan infrared gas analyzers untuk mengukur uap air dan CO2. Prinsip kerja sonic anemometer adalah mengukur perbedaan waktu transit pulsa ultrasound antara sepasang transduser yang diletakkan pada jarak tertentu.

Infrared gas analyzers memiliki prinsip kerja memanfaatkan cahaya inframerah yang

digunakan sebagai filter dengan membagi panjang gelombang (band) untuk memilih rentang panjang gelombang yang dapat mencakup gas CO2 dan uap air (Aubinet et.al 2012). Proses pengukuran tersebut juga memanfaatkan pergerakan angin vertikal yang membentuk eddies atau putaran yang turut membawa molekul CO2. Pengukuran tersebut akan mengalkulasikan antara pergerakan udara vertikal yang naik dan yang turun dari ekosistem (Burba dan Anderson 2010). Metode eddy covariance secara singkat didefinisikan sebagi perhitungan fluks panas yang ada di atmosfer (Taylor 1914

diacu Montgomery 1948). Metode ini selain dapat digunakan untuk perhitungan panas

(16)

permukaan dan atmosfer yang homogen. Perhitungan densitas fluks vertikal dapat dilakukan dengan melihat kovarian antara fluktuasi turbulen dari angin vertikal dan sifat atmosfer (Aubinet et al. 2012). Nilai fluks CO2 yang dihitung menggunakan metode eddy covariance dapat dicari dengan menggunakan persamaan berikut (Burba dan Anderson 2010),

𝐹𝑐 = 𝑤̅̅̅𝜌𝑐̅̅̅̅ ′ Keterangan,

Fc : Fluks karbon (mg m-2 s-1) 𝑤′

̅̅̅ : Rata-rata simpangan komponen angin vertikal (m s-1) 𝜌𝑐′

̅̅̅̅ : Rata-rata simpangan densitas karbon (mg m-3)

Nilai fluks CO2 dapat merepresentasikan nilai NEE, nilai positif menandakan lebih besarnya massa udara yang bergerak ke atas, sedangkan nilai negatif menandakan lebih besarnya massa udara yang bergerak ke bawah suatu permukaan.

1. NEE Diurnal

Data fluks CO2 yang didapatkan dari CRC990-EFForTS Project sudah dikoreksi dari berbagai bias, proses koreksi tersebut menghilangkan beberapa data fluks CO2 (Lampiran 2 dan 3). Untuk mengisi data fluks tersebut dilakukan perhitungan rata-rata nilai fluks CO2 di satu waktu dalam satu bulan. Pengisian data kosong tersebut bertujuan untuk mengetahui pola diurnal NEE secara utuh.

2. NEE Harian

Nilai NEE harian berasal dari penjumlahan NEE dalam satu hari. NEE siang hari cenderung bernilai negatif, sedangkan pada malam hari cenderung bernilai positif. Penjumlahan nilai NEE dalam satu hari belum tentu menghasilkan NEE yang negatif,. Terdapat kemungkinan adanya waktu dimana NEE memiliki nilai harian yang positif, hal tersebut menandakan bahwa nilai NEE positif atau nilai pada malam hari lebih besar dari nilai NEE negatif atau siang hari.

Analisis Data Iklim

1. Radiasi Global dan PAR

Radiasi global merupakan sumber energi utama bagi tanaman untuk melakukan proses fotosintesis. Peningkatan dan penurunannya turut mempengaruhi dinamika NEE pada siang hari, sehingga dilakukan perhitungan statistik untuk melihat keeratan antara NEE dengan radiasi global maupun PAR. Perhitungan statistik yang digunakan adalah metode regresi secara polinomial. Penggunaan pola polinomial dikarenakan pergerakan matahari dalam satu hari yang memiliki satu puncak pada tengah hari, dan kembali menurun hingga sore hari.

(17)

PAR merupakan bagian dari radiasi global yang dimanfaatkan oleh tanaman untuk melakukan fotosintesis, sehingga dilakukan perhitungan untuk melihat keeratan antara NEE dan PAR dengan menghitung p-value. Nilai p-value merupakan ukuran probabilitas untuk menolak atau menerima hipotesis yang diajukan, dibandingkan dengan nilai alpha (α) yang digunakan.

p-value < α ; tolak H0 dan terima H1 p-value > α ; terima H0 dan tolak H1

Nilai α menggambarkan tingkat kesalahan, α yang digunakan pada perhitungan ini adalah 5% atau sebesar 0.05, dengan hipotesis sebagai berikut,

H0 : Meningkatnya nilai PAR turut meningkatkan nilai NEE ke arah kurva negatif H1 : Meningkatnya nilai PAR tidak meningkatkan nilai NEE ke arah kurva negatif

2. Suhu Udara

Suhu udara merupakan salah satu faktor iklim yang turut mempengaruhi respirasi tanaman, khususnya pada malam hari. Nilai NEE pada malam hari setara dengan nilai respirasi ekosistem (terdiri dari respirasi tanaman dan respirasi heterotrop), karena pada malam hari tanaman tidak melakukan fotosintesis. Dilakukan perhitungan statistik sederhana untuk melihat hubungan antara suhu udara malam hari dengan nilai respirasi ekosistem menggunakan metode regresi sederhana dengan persamaan polinomial orde 2. Suhu malam hari yang digunakan berasal dari empat ketinggian yang berbeda, yaitu 14, 18, 22, dan 30 meter. Nilai NEE malam hari yang digunakan dipilih dari data diurnal yang nilai NEE malam harinya tidak kosong, yaitu data NEE pada tanggal 17 September (Lampiran 3).

3. Curah Hujan

Curah hujan diduga dapat mempengaruhi nilai NEE, karena hujan dapat menyapu atau membersihkan atmosfer. Kondisi atmosfer pada saat terjadinya hujan cenderung sangat stabil atau netral, sehingga pergerakan massa udara ke atas akan terhambat. Dilakukan pemilihan hari hujan untuk mengetahui seberapa banyak hari dengan hujan yang memiliki pengaruh terhadap dinamika NEE (Lampiran 4 dan 5). Hari tersebut dikatakan hari hujan apabila memiliki curah hujan minimal 0.5 mm (Handoko 1993). Selain itu dilakukan ploting pola curah hujan untuk memastikan pola curah hujan di PTPN VI, Batanghari, Jambi. Data yang digunakan untuk melihat pola curah hujan meliputi data curah hujan tahunan CHIRPS yang diunduh dari IRI data

library, dengan rentang data 30 tahun (1986 – 2015) (Lampiran 6). Hubungan antara

NEE dan curah hujan dilihat dengan perhitungan regresi sederhana menggunakan persamaan logaritmik.

(18)

4. Stabilitas Atmosfer dan Turbulensi

Penentuan stabilitas atmosfer dan turbulensi diperlukan untuk mengetahui seberapa aktif pergerakan udara vertikal dan persebaran massa udara di atas kanopi kelapa sawit. Perhitungan stabilitas atmosfer dilakukan dengan menggunakan persamaan Richardson number (Ri) sebagai berikut (Arya 2001),

𝑅𝑖 = 𝑔 (𝜃𝑧2− 𝜃1 2− 𝑧1) 𝜃𝑎 [(𝑢𝑧2− 𝑢1 2− 𝑧1)] 2 Keterangan, g : Gaya gravitasi (9.8 m s-2)

θ1 : Suhu potensial rata-rata pada ketinggian pertama (K) θ2 : Suhu potensial rata-rata pada ketinggian ke-2 (K) θa : Suhu rata-rata pada ketinggian acuan za = (z1*z2)1/2 z1 : Ketinggian alat pada ketinggian pertama (meter) z2 : Ketinggian alat pada ketinggian ke-2 (meter) u1 : Kecepatan angin pada ketinggian pertama (m s-1) u2 : Kecepatan angin pada ketinggian ke-2 (m s-1)

Nilai suhu potensial dapat dihitung menggunakan persamaan (Arya 2001), 𝜃 = 𝑇 − Г𝑑𝑧

Keterangan,

θ : Suhu potensial (K) T : Suhu absolut (K)

Гd : Dry adiabatic lapse rate (-0.00976 K/m) Z : Ketinggian (m)

Perhitungan Ri menggunakan suhu dan kecepatan angin pada ketinggian 18 dan 30 meter. Pemilihan dua ketinggian tersebut dikarenakan kanopi kelapa sawit memiliki tinggi 12 meter, sehingga untuk melihat aktivitas atmosfer di perkebunan kelapa sawit perlu menggunakan data pada ketinggian yang lebih tinggi dari kanopi. Setelah mendapatkan hasil dari perhitungan Ri, stabilitas atmosfer dapat ditentukan berdasarkan kategori (Tabel 1). Dilakukan pembagian kelas Ri pada kondisi atmosfer tidak stabil. Hal tersebut bertujuan untuk melihat rata - rata nilai NEE pada saat nilai Ri menunjukkan kondisi yang sangat tidak stabil, serta dilakukan perhitungan regresi antara NEE dan Ri setelah dilakukan pembagian kelas. Contoh perhitungan nilai Ri dapat dilihat pada Lampiran 1.

(2)

(19)

Tabel 1 Kategori nilai Richardson Number (Ri) untuk stabilitas atmosfer

Richardson Number (Ri) Kategori Stabilitas Atmosfer

-0.01 < Ri < 0.01 Ri < -0.01 Ri > 0.01 Netral Tidak stabil Stabil

Penentuan turbulensi berdasarkan nilai Ri memiliki kategori yang berbeda dari stabilitas atmosfer (Tabel 2) (Panofsky 1983).

Tabel 2 Kategori nilai Richardson Number (Ri) untuk turbulensi

Richardson Number (Ri) Kategori Turbulensi

Ri < 0 0 < Ri < -0.25

Ri > 0.25

Turbulen Konvektif Turbulen Lemah Tidak Terjadi Turbulen

Hubungan antara NEE dengan stabilitas atmosfer ditunjukkan dengan melakukan perhitungan regresi yang menghasilkan nilai R2 dengan persamaan polinomial orde 2.

Akumulasi Nilai NEE

Akumulasi nilai NEE dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan ekosistem kelapa sawit di PTPN VI, Batanghari, Jambi dalam pertukaran karbon. Perhitungan diawali dengan mengubah satuan dari μmol m-2 s-1 menjadi ton ha-1 thn-1 (Lampiran 1). Konversi satuan terbagi menjadi tiga tahap, yaitu konversi satuan massa, luas, dan waktu. Konversi satuan berat diawali dengan perubahan satuan molekul ke massa yang dilakukan dengan mengalikan nilai molekul dengan bobot molekul CO2, yaitu sebesar 44.01.

Konversi satuan berat,

Bobot atom (Ar) C = 12.0107 Bobot molekul CO2 = Ar C + (Ar O x 2)

Bobot atom (Ar) O = 15.9994 = 12.0107+(15.9994 x 2)

= 44.0095 ≈ 44.01 𝜇𝑚𝑜𝑙 𝑚2. 𝑠 𝑥 44.01 = 𝜇𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑚2. 𝑠 𝑥 10 −6 = 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑚2. 𝑠 𝑥 10 −6= 𝑡𝑜𝑛 𝑚2. 𝑠 Konversi satuan luas,

𝑡𝑜𝑛 𝑚2 10,000 𝑥 𝑠 = 𝑡𝑜𝑛 𝑚2. 𝑠 𝑥 10,000 = 𝑡𝑜𝑛 ℎ𝑎 . 𝑠 (4) (5)

(20)

Data fluks CO2 yang diperoleh dengan resolusi temporal 30 menit menandakan rata-rata fluks CO2 tiap 30 menit, sehingga konversi satuan waktunya dilakukan sebagai berikut, 𝑡𝑜𝑛 ℎ𝑎 𝑥1,800𝑠 = 𝑡𝑜𝑛 ℎ𝑎. 𝑠 𝑥 1,800 = 𝑡𝑜𝑛 ℎ𝑎 𝑥𝑑𝑎𝑦 365 = 𝑡𝑜𝑛 ℎ𝑎. 𝑑𝑎𝑦 𝑥 365 = 𝑡𝑜𝑛 ℎ𝑎. 𝑦𝑟

Secara singkat langkah kerja penelitian digambarkan oleh diagram alir pada Gambar 2.

Gambar 2 Langkah kerja penelitian

(21)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Wilayah Kajian

Wilayah kajian untuk melihat dinamika NEE pada tanaman kelapa sawit berlokasi di PT Perkebunan Nusantara VI, Batanghari, Jambi (Gambar 3). Kondisi iklim di Batanghari dapat digambarkan oleh curah hujan, suhu udara, kelembaban, serta persentase penyinaran matahari yang diamati selama beberapa tahun. Batanghari memiliki potensi curah hujan sebesar 0 – 300 mm dalam satu hari, dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember, dan curah hujan terendah terjadi pada bulan Juni dan Juli (BLHD Jambi 2014). Suhu udara di Batanghari berkisar antara 26 hingga 30oC, kelembaban udaranya berkisar antara 63 – 85%, dan persentase penyinaran matahari berkisar antara 89 – 100% (KPED Kab. Batanghari 2012).

Batanghari memiliki luas wilayah 580,400 hektar, dengan tutupan lahan non pertanian seluas 118,859 hektar, sawah 8,652 hektar, lahan kering 278,638 hektar, perkebunan 73,284 hektar, hutan 99,783 hektar, dan badan air 1,181 hektar (BLHD Jambi 2014). PTPN VI merupakan salah satu perkebunan yang berada di Batanghari, dengan luas keseluruhan 2,025 hektar. Kelapa sawit mulai ditanam di kawasan ini pada tahun 1999 dan 2002, serta terdapat satu kawasan kecil yang juga ditanami pada tahun 2004. Tanaman kelapa sawit ditanam pada tahun 1999 di lahan seluas 600 hektar, kemudian penanaman diadakan kembali pada tahun 2002 di lahan seluas 1,400 hektar, terakhir penanaman dilakukan pada tahun 2004 di lahan seluas 25 hektar (PTPN VI 2014).

Gambar 3 Peta lokasi perkebunan kelapa sawit dan climate tower di PTPN VI unit Batanghari, Jambi

Terdapat sebuah tower yang berfungsi untuk mengukur dan merekam berbagai kejadian fisik yang terjadi di atas kanopi kelapa sawit, seperti mengukur kecepatan dan arah angin, suhu udara berdasarkan ketinggian, serta fluks CO2. Letak koordinat dari tower tersebut adalah 01o41’35” LS ; 103o23’29” BT tepatnya berada di antara kelapa

Climate tower

(22)

sawit yang ditanam pada tahun 1999, dengan tinggi tower mencapai 30 meter dan alat pengukuran yang berada pada ketinggian 14, 18, 22, dan 30 meter. Kelapa sawit yang berada di sekitar tower memiliki tinggi sekitar 13 meter, dengan umur 15 tahun (PTPN VI 2014).

Dinamika NEE pada Tanaman Kelapa Sawit

Net ecosystem exchange (NEE) adalah perhitungan langsung dari total

pertukaran CO2 antara ekosistem dan atmosfer (Chapin et al. 2002). NEE juga dapat diartikan sebagai fluks CO2 dari ekosistem ke atmosfer, atau sebagai keseimbangan antara gross primary production (GPP) dengan respirasi ekosistem (Recosyst). GPP merupakan nilai total fotosintesis, namun pada malam hari tidak memperhitungkan nilai GPP, karena pada saat malam hari tidak terjadi fotosintesis sehingga nilai GPP sama dengan nol. Nilai NEE diindikasikan oleh tanda negatif yang berarti adanya fluks CO2 yang masuk ke ekosistem, dan tanda positif berarti adanya fluks karbon yang keluar dari ekosistem (Chapin et al. 2011).

NEE Diurnal

NEE di perkebunan kelapa sawit cenderung bernilai positif pada malam hari dan bernilai negatif pada pagi hingga sore hari, baik pada bulan April maupun September (Gambar 4), namun nilai NEE siang hari pada bulan September cenderung lebih rendah dari bulan April. Umumnya NEE mulai bernilai negatif sejak pukul 08:00 WIB hingga pukul 17:30 WIB. Negatifnya nilai NEE di sekitar waktu tersebut disebabkan oleh adanya radiasi matahari yang turut memberikan energi bagi tanaman kelapa sawit untuk melakukan proses fotosintesis, sehingga ekosistem kelapa sawit turut menyerap CO2 sebagai bahan baku fotosintesis. NEE yang bernilai positif pada malam hari dapat diartikan sebagai nilai respirasi dari ekosistem kelapa sawit, karena pada saat malam hari kelapa sawit tidak melakukan fotosintesis.

Gambar 4 Dinamika NEE dalam kurun waktu diurnal pada bulan April (■) dan September (○) -30 -20 -10 0 10 20 30 NE E ( μm o l m -2 s -1) Waktu Rata - rata

(23)

Nilai NEE negatif pada bulan April berkisar antara 2 hingga 26 μmol m-2 s-1 dengan rata-rata -17 μmol m-2 s-1, sedangkan pada bulan September nilainya berkisar antara 2 hingga 22 μmol m-2 s-1 dengan rata-rata -15 μmol m-2 s-1. Respirasi ekosistem kelapa sawit atau setara dengan nilai NEE yang positif terukur pada bulan April berkisar antara 1 hingga 27 μmol m-2 s-1, sedangkan pada bulan September nilainya berkisar antara 0 hingga 10 μmol m-2 s-1. Nilai NEE negatif dari kedua bulan tidak memiliki perbedaan yang signifikan, namun perbedaannya akan terasa apabila dilakukan akumulasi data dalam satu tahun. Hasil akumulasi dalam satu tahun dapat menunjukkan perbedaan hingga 1 ton ha-1.

Rendahnya nilai NEE siang hari pada bulan September diduga disebabkan oleh tanaman kelapa sawit yang mengalami kekurangan air. Hal tersebut mempengaruhi kondisi fisiologis tanaman kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit memiliki tipe perakaran dangkal, sehingga tidak toleran apabila mengalami kekurangan air (Calliman dan Southworth 1998). Kekurangan air dapat menyebabkan tertutupnya stomata daun yang berakibat pada terhambatnya CO2 yang masuk dan turut menurunkan aktivitas fotosintesis (Salisbury dan Ross 1992). Kekurangan air tersebut diduga terjadi akibat peristiwa El Nino pada tahun 2015 yang menyebabkan kekeringan di beberapa tempat di Indonesia.

Dugaan tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Darlan et.al (2016) mengenai dampak El Nino 2015 terhadap performa tanaman kelapa sawit di beberapa kawasan Sumatera. Hasil pengamatan lapang dari penelitian tersebut juga menyatakan bahwa tanaman kelapa sawit di kawasan Jambi mengalami cekaman kekeringan yang terlihat dari kondisi morfologis tanaman. Menurut Siregar et.al (2005) dan Lubis (2008) dalam Darlan et.al (2016), terdapat kriteria yang dapat menentukan terjadinya cekaman kekeringan pada tanaman kelapa sawit, yaitu curah hujan (CH) < 1250 mm thn-1, defisit air > 200 mm, bulan kering (CH < 60 mm bln-1) > 3 bulan, serta hari terpanjang tidak hujan (dry spell) > 20 hari. Apabila salah satu dari kriteria tersebut terjadi, maka dapat dikatakan tanaman kelapa sawit mengalami cekaman kekeringan.

Ditinjau dari kriteria hari terpanjang tidak hujan, kondisi kelapa sawit pada bulan April belum mengalami cekaman kekeringan. Hujan pada bulan April hampir terjadi setiap hari, terdapat 20 hari hujan yang dilihat berdasarkan kriteria hari hujan (Lampiran 4). Berbeda dengan curah hujan pada bulan September yang jumlah hari hujannya lebih sedikit, yaitu empat hari hujan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kondisi pada bulan September termasuk pada kriteria hari terpanjang tidak hujan (dry spell) karena tidak terdapat hujan selama 26 hari.

NEE Harian

Berbeda dengan dinamika NEE diurnal, dinamika NEE harian lebih berfluktuasi. Nilai NEE harian didapatkan dari hasil pertambahan nilai NEE dalam satu

(24)

hari, sehingga nilainya berada pada kisaran 150 hingga -150 μmol m-2 hr-1. Nilai maksimum pada bulan April sebesar -102.9 μmol m-2 hr-1, minimumnya 57.5 μmol m -2 hr-1, dan rata-rata sebesar -28 μmol m-2 hr-1. Sedangkan pada bulan September nilai maksimumnya sebesar -147.5 μmol m-2 hr-1, minimumnya 40.2 μmol m-2 hr-1, dan rata-rata sebesar -77 μmol m-2 hr-1. Terdapat beberapa hari di bulan April dan September yang nilai NEE hariannya positif (Gambar 5). Hal tersebut disebabkan oleh NEE positif (respirasi ekosistem) yang nilainya lebih tinggi dari NEE negatif dalam satu hari .

Gambar 5 Dinamika NEE dalam kurun waktu harian pada bulan April (■) dan September (○)

Nilai respirasi harian merupakan nilai NEE yang terukur pada malam hari yang umumnya berasal dari respirasi tanaman, hewan, maupun aktivitas mikro organisme (Chapin et al. 2011). Penyebab besarnya nilai respirasi pada bulan April adalah adanya kontribusi dari respirasi tanaman yang cukup tinggi, sedangkan pada bulan September kontribusi dari respirasi tanamannya tidak terlalu tinggi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa pada bulan September tanaman kelapa sawit mengalami cekaman kekeringan, sehingga stomata daun tertutup untuk menjaga kandungan air tanaman.

Pengaruh Faktor Iklim terhadap Dinamika NEE

Proses pertukaran CO2 yang terjadi pada ekosistem kelapa sawit tentunya dipengaruhi oleh faktor iklim, seperti radiasi matahari, suhu udara, curah hujan, stabilitas atmosfer, serta turbulensi. Stabilitas atmosfer dan turbulensi dapat menjelaskan kondisi atmosfer yang turut mempengaruhi pergerakan udara vertikal di sekitar ekosistem. (Aubinet et al. 2012).

Radiasi Matahari

Radiasi matahari merupakan sumber energi utama bagi segala proses yang terjadi di permukaan bumi. Fotosintesis merupakan salah satu aktivitas pemanenan energi matahari yang diubah menjadi biomassa. Kelapa sawit melakukan fotosintesis dan menghasilkan biomassa utama berupa buah untuk di panen, selain itu produk utama lainnya dari aktivitas fotosintesis adalah oksigen.

-150 -100 -50 0 50 100 150 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 NE E ( μm o l m -2 d ay -1) Waktu (Hari)

(25)

y = 8E-05x2- 0,0946x + 7,4025 R² = 0,96 -30 -20 -10 0 10 20 30 0 200 400 600 800 NE E ( μm o l m -2 s -1)

Radiasi Global (Watt m-2)

Radiasi matahari maksimum pada bulan April tercatat sebesar 713 Watt m-2, nilai tersebut lebih besar dari nilai radiasi matahari maksimum pada bulan September yang terukur sebesar 619 Watt m-2. Hal tersebut dipengaruhi oleh gerak semu matahari, lokasi dari Batanghari, Jambi berada di belahan bumi selatan namun cukup dekat dengan garis khatulistiwa. Bulan April matahari mulai bergerak menuju belahan bumi utara yang sebelumnya atau tanggal 21 Maret, matahari berada tepat di khatulistiwa. Adanya intensitas penyinaran matahari yang tinggi dari akhir Maret hingga pertengahan April di sekitar khatulistiwa. Sedangkan pada bulan September matahari akan berada tepat di khatulistiwa pada tanggal 23 September, yang sebelumnya matahari bergerak dari belahan bumi utara. Sehingga nilai radiasi matahari di bulan September baru mengalami peningkatan saat dan setelah tanggal 23.

Gambar 6 Plot NEE dan radiasi global secara diurnal pada bulan April dan September Radiasi mulai terukur pada pukul 06:30 WIB hingga pukul 18:30 WIB. Puncak radiasi matahari terjadi pada pukul 12:30 WIB, seiring dengan meningkatnya radiasi matahari terlihat bahwa nilai NEE semakin negatif. Hal tersebut menandakan bahwa adanya peningkatan kemampuan ekosistem kelapa sawit dalam menyerap CO2. Keterkaitan antara radiasi matahari dengan NEE tersebut ditunjukkan oleh metode regresi sederhana menggunakan persamaan polinomial.

Gambar 7 Korelasi antara radiasi global dan NEE pada bulan (a) April dan (b) September

-800 -400 0 400 800 -30 -20 -10 0 10 20 30 R ad iasi Glo b al (W att m -2 ) NE E ( μm o l m -2 s -1) Waktu

Radiasi Global April Radiasi Global September NEE April NEE September

y = 9E-05x2- 0,1104x + 12,319 R² = 0,91 -30 -20 -10 0 10 20 30 0 200 400 600 800 NE E ( μm o l m -2 s -1)

Radiasi Global (Watt m-2)

(26)

y = 2E-05x2- 0,0432x + 7,3464 -40 -20 0 20 40 0 400 800 1200 1600 NEE ( μm o l m -2 s -1) PAR (μmol)

Aktivitas pemanenan energi matahari untuk fotosintesis akan lebih terlihat jelas jika melihat nilai Photosynthetically Active Radiation (PAR), sehingga dilakukan pengujian untuk melihat keterkaitan antara PAR dengan NEE. Hal tersebut ditunjukkan dengan melihat nilai R2 dan p-value (Gambar 8), dengan hipotesis null (H0) adalah meningkatnya nilai PAR turut meningkatkan nilai NEE ke arah kurva negatif, dan hipotesis satu (H1) adalah meningkatnya nilai PAR tidak meningkatkan nilai NEE ke arah kurva negatif.

Gambar 8 Korelasi antara PAR dan NEE pada bulan (a) April dan (b) September

Didapatkan nilai R2 sebesar 0.9 dan nilai p-value sebesar 0.07 pada bulan April

dan September. Nilai p-value merupakan ukuran probabilitas untuk menolak atau menerima hipotesis yang diajukan, dibandingkan dengan nilai alpha (α) yang digunakan. Nilai α menggambarkan tingkat kesalahan, untuk nilai p-value < α maka tolak H0 dan terima H1, apabila nilai p-value > α maka terima H0 dan tolak H1. Perhitungan ini menggunakan nilai α sebesar 0.05 atau 5%, dan nilai tersebut tidak lebih besar dari nilai p-value, sehingga H0 yang menyatakan meningkatnya nilai PAR turut meningkatkan nilai NEE ke arah kurva negatif diterima.

Suhu Udara

Suhu udara pada siang hari cenderung meningkat disebabkan oleh pemanasan oleh radiasi matahari. Peningkatan tersebut menimbulkan gradien suhu pada beberapa ketinggian dan mengakibatkan perbedaan tekanan serta pergerakan angin. Kondisi tersebut turut mempengaruhi persebaran massa udara dari ekosistem ke atmosfer maupun sebaliknya. Berbeda dengan kondisi malam hari, suhu udara cenderung lebih rendah dan turut lebih berpengaruh terhadap nilai NEE pada malam hari yang setara dengan respirasi ekosistem.

Respirasi ekosistem merupakan pertambahan antara respirasi tanaman dengan respirasi heterotrop (berasal dari mikroba dan hewan). Respirasi tanaman merupakan rilisnya karbon yang berasal dari respirasi mitokondria. Karbon tersebut bukanlah buangan, melainkan sebagai penyedia energi untuk pertumbuhan dan perkembangan

y = 2E-05x2- 0,0526x + 11,885 -40 -20 0 20 40 0 400 800 1200 1600 NE E ( μm o l m -2 s -1) PAR (μmol) (a) (b) R2 : 0.9 P-value : 0.07 R2 : 0.9 P-value : 0.07

(27)

tanaman. Tinggi rendahnya nilai respirasi turut dipengaruhi oleh suhu udara, khususnya pada fase perkembangan tanaman (Chapin et al. 2011).

Hubungan antara respirasi ekosistem dengan suhu udara malam hari dibuktikan dengan perhitungan statistika sederhana, yaitu metode regresi dengan persamaan polinomoial (Gambar 9). Data yang digunakan merupakan data pada tanggal 17 September 2015, dikarenakan pada tanggal tersebut nilai fluks CO2 atau NEE pada malam harinya terisi (00:00 hingga 05:30 WIB). Nilai tersebut diregresikan dengan suhu udara pada waktu yang sama.

Gambar 9 Korelasi antara NEE dan suhu udara di ketinggian (a) 14, (b) 18, (c) 22, dan (d) 30 meter

Korelasi antara NEE dengan suhu udara di empat ketinggian ditunjukkan dengan nilai R2. Didapatkan harsil R2 tertinggi pada persamaan yang menggunakan suhu udara di ketinggian 30 meter, dengan R2 sebesar 0.63. Korelasi NEE dengan suhu udara di ketinggian 14 meter juga menunjukkan hasil R2 yang cukup baik, yaitu sebesar 0.56. Persamaan polinomial menghasilkan tren dengan bentuk parabola. Empat persamaan tersebut menghasilkan dua bentuk parabola yang berbeda. Bentuk parabola pada suhu udara di ketinggian 18, 22, dan 30 meter parabolanya terbuka ke bawah, dan pada suhu di ketinggian 14 meter parabolanya terbuka ke atas. Selain itu terdapat perbedaan rentang suhu udara di empat ketinggian tersebut, pada ketinggian 14 meter suhu udara memiliki rentang yang lebih tinggi, yaitu antara 24 hingga 27oC. Variasi suhu udara di ketinggian 14 meter dipengaruhi oleh suhu di atas permukaan kanopi kelapa sawit. y = 2,3529x2- 121,55x + 1572,3 R² = 0,56 0 2 4 6 8 10 23,5 24,5 25,5 26,5 27,5 NEE (μ m o l m -2 s -1) Suhu Udara (ºC) y = -40,013x2+ 1969,2x - 24221 R² = 0,32 0 2 4 6 8 10 24,2 24,3 24,4 24,5 24,6 24,7 NEE (μ m o l m -2 s -1) Suhu Udara (ºC) y = -62,678x2+ 3023,7x - 36460 R² = 0,3 0 2 4 6 8 10 23,8 23,9 24 24,1 24,2 24,3 NEE (μ m o l m -2 s -1) Suhu Udara (ºC) y = -171,08x2+ 8255,4x - 99585 R² = 0,63 0 2 4 6 8 10 23,8 23,9 24 24,1 24,2 24,3 NEE (μ m o l m -2 s -1) Suhu Udara (ºC) (a) (b) (c) (d)

(28)

Gambar 9a menjelaskan bahwa adanya peningkatan nilai NEE pada suhu yang cukup rendah (sekitar 24oC) atau cukup tinggi (27oC), sedangkan pada suhu sekitar 25oC nilai NEE cenderung menurun. Berbeda dengan Gambar 9b, c, dan d yang rentang suhunya tidak terlalu besar, NEE cenderung tinggi pada suhu sekitar 24oC, kurang dari itu nilai NEE rendah. Mengingat bahwa nilai NEE yang digunakan adalah nilai pada malam hari atau setara dengan nilai respirasi ekosistem, sehingga dapat dikatakan nilai respirasi ekosistem akan meningkat pada suhu sekitar 24oC dan 27oC, dan rendah pada suhu 25.5oC dan sekitar 25oC.

Hasil korelasi tertinggi antara NEE dan suhu udara mencapai 0.63. Law et.al (2002) melihat hubungan antara respirasi ekosistem dengan suhu udara di hutan pinus dan hutan berdaun lebar dalam kurun waktu bulanan, dihasilkan dengan persamaan eksponensial dan R2 sebesar 0.61. Hubungan antara respirasi ekosistem dan suhu udara juga dilihat dalam kurun waktu tahunan, didapatkan korelasi yang lemah dengan persamaan eksponensial (R2 = 0.15) dan linear (R2 = 0.14). Luyssaert et.al (2007) juga menjelaskan seberapa besar suhu udara mempengaruhi variasi nilai dari NEE dalam kurun waktu tahunan. Faktor iklim khususnya suhu udara dan curah hujan hanya menjelaskan 5 ± 1 % dari variasi nilai NEE.

Curah Hujan

Indonesia memiliki tiga pola curah hujan, yaitu monsunal, equatorial, dan lokal. Provinsi Jambi termasuk dalam pola curah hujan monsunal, pola ini memiliki satu puncak dan satu palung, musim kering terjadi sekitar Juli hingga September, dan musim basah atau hujan terjadi sekitar bulan Desember (Aldrian dan Susanto 2003). Penelitian Hermawan (2010) tentang pengelompokan pola curah hujan di Pulau Sumatera juga menunjukkan bahwa Provinsi Jambi memiliki pola curah hujan monsunal. Arifanto et.al (2016) membagi wilayah hujan di Provinsi Jambi dalam penelitiannya, hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan Jambi memiliki pola curah hujan monsunal, termasuk Batanghari.

Pola curah hujan di PTPN VI, Batanghari dipastikan dengan melakukan ploting data curah hujan dalam tiga puluh tahun terakhir (1986 – 2015). Hasil ploting menunjukkan kawasan di PTPN VI, Batanghari memiliki pola curah hujan equatorial (Gambar 10). Pola curah hujan equatorial memiliki dua puncak musim basah di sekitar bulan Oktober – November dan sekitar bulan Maret – Mei. Hasil ini diperkuat dengan informasi BMKG (2017) mengenai perumahan pola curah hujan rata – rata di Indonesia. Provinsi Jambi merupakan salah satu kawasan yang mengalami perubahan pola curah hujan, dan pola tersebut mengarah kepada pola equatorial.

(29)

Gambar 10 Pola curah hujan di PTPN VI, Batanghari, Jambi

Mengetahui perkebunan kelapa sawit PTPN VI, Batanghari, Jambi berada pada kawasan yang memiliki pola curah hujan equatorial, dapat menjelaskan tingginya curah hujan pada bulan April, dan rendahnya curah hujan di bulan September. Diharapkan kondisi pada bulan April dapat memperlihatkan hubungan antara NEE dengan curah hujan, dan kondisi di bulan September dapat menjelaskan perbedaan dinamika NEE pada saat musim basah dan kering (Gambar 11).

Gambar 11 Plot NEE dan curah hujan secara diurnal pada bulan (a) April dan (b) September

Curah hujan pada bulan April dan September telah dipilah berdasarkan standar hari hujan (> 0.5 mm dalam satu hari), dan didapatkan dua puluh hari hujan pada bulan April dan empat hari hujan pada bulan September. Gambar 10a memperlihatkan adanya fluktuasi nilai NEE bersamaan dengan terjadinya hujan. Hujan memiliki peranan dalam membersihkan udara atau atmosfer melalui tiga proses, yaitu pencucian, akumulasi, dan absorbsi. Proses pencucian melibatkan partikel – partikel yang berukuran besar, proses akumulasi melibatkan partikel – partikel kecil, dan proses absorbsi melibatkan gas (Liu dan Liptak 2000). Proses NEE melibatkan gas CO2, sehingga pada saat hujan turun gas tersebut dapat tersapu dari atmosfer melalui proses absorbsi. 0 2000 4000 6000 8000 10000

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

C u rah Hu jan ( m m ) Waktu (Bulan) 0 20 40 60 80 -30 -20 -10 0 10 20 30 C u rah Hu jan ( m m ) NE E ( μm o l m -2 s -1) Waktu CH NEE (a) 0 20 40 60 80 -30 -20 -10 0 10 20 30 Cu rah Hu jan ( m m ) NE E ( μm o l m -2 s -1) Waktu (b) NE E ( μmol m -2 s -1 ) C ura h Huja n (mm)

(30)

Gambar 12 Korelasi antara NEE dan curah hujan pada bulan April

Fluktuasi NEE pada bulan April dijelaskan dengan melihat hubungan antara NEE dengan curah hujan (Gambar 12). Hasil korelasi menggunakan persamaan logaritmik menunjukkan R2 sebesar 0.48. Pola logaritmik tersebut menjelaskan bahwa semakin besarnya curah hujan, maka nilai NEE akan semakin positif. Namun tidak semua NEE bernilai positif pada saat curah hujan membesar, terdapat nilai NEE yang positif pada saat curah hujan rendah. Diduga terdapat faktor lain yang turut mempengaruhi fluktuasi NEE tersebut. Sebelumnya telah dijelaskan dalam sub bab suhu udara, faktor iklim khususnya suhu udara dan curah hujan hanya menjelaskan 5 ± 1 % dari variasi nilai NEE (Luyssaert et.al 2007).

Stabilitas Atmosfer

Stabilitas atmosfer merupakan suatu kecenderungan udara untuk bergerak naik atau turun. Stabilitas atmosfer dapat ditentukan dengan membandingkan suhu parsel udara yang berubah berdasarkan pertambahan ketinggian beserta dengan perubahan suhu lingkungan secara vertikal (Moran dan Morgan 1986). Stabilitas atmosfer terbagi menjadi tiga tipe kondisi, yaitu stabil, tidak stabil, dan netral. Kondisi atmosfer dinyatakan stabil ketika laju penurunan suhu lingkungan lebih kecil dari laju penurunan suhu parsel udara, atau dapat dikatakan suhu parsel udara lebih dingin dari suhu lingkungan. Atmosfer dinyatakan tidak stabil ketika laju penurunan suhu lingkungan lebih besar dari laju penurunan suhu parsel udara, atau dapat dikatakan suhu parsel udara lebih hangat dari suhu lingkungan. Kondisi atmosfer yang netral terjadi apabila suhu parsel udara sama dengan suhu lingkungannya (Handoko 1993).

Stabilitas atmosfer turut mempengaruhi dinamika NEE, khususnya dalam transfer massa udara antara ekosistem dengan atmosfer. Kondisi atmosfer yang tidak stabil umumnya terjadi pada siang hari, kondisi ini dapat mendukung pengangkatan massa udara secara vertikal dikarenakan adanya perbedaan tekanan udara secara vertikal dan menyebabkan terjadinya pergerakan angin. Kondisi atmosfer stabil umumnya terjadi pada malam hari, udara cenderung tenang sehingga proses pengangkatan massa udara tidak berlangsung secara aktif. Kondisi netral umumnya terjadi saat transisi antara sore ke malam atau malam ke pagi, pergerakan udara pada kondisi ini umumnya lebih laminar dan tenang.

y = 6,4028ln(x) - 4,3105 R² = 0,4 -40 -20 0 20 40 0 10 20 30 40 50 60 70 N EE (μ m o l m -2 s -1) Curah Hujan (mm)

(31)

Tabel 3 Rata-rata stabilitas atmosfer pada bulan April dan September

Waktu April September

Ri Keterangan Ri Keterangan

0:00 0.37 Stabil 0.541 Stabil

2:00 0.50 Stabil 0.570 Stabil

4:00 0.47 Stabil 0.269 Stabil

6:00 0.37 Stabil 0.207 Stabil

8:00 -6.74 Tidak Stabil 0.103 Stabil

10:00 -6.67 Tidak Stabil -0.114 Tidak Stabil

12:00 -4.94 Tidak Stabil -0.028 Tidak Stabil

14:00 -7.99 Tidak Stabil -0.046 Tidak Stabil

16:00 -5.56 Tidak Stabil 1.199 Stabil

18:00 -2.00 Tidak Stabil 0.617 Stabil

20:00 0.23 Stabil 0.877 Stabil

22:00 0.30 Stabil 0.481 Stabil

Didapatkan hasil rata-rata nilai Ri dalam menentukan stabilitas atmosfer secara diurnal pada bulan April dan September (Tabel 3). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa rata-rata stabilitas atmosfer pada bulan April cenderung tidak stabil pada siang hari dibandingkan dengan bulan September. Hal tersebut sesuai dengan data curah hujan, pada bulan April lebih banyak terjadi hujan dibandingkan dengan bulan September (Lampiran 4 dan 5). Kondisi atmosfer yang tidak stabil memiliki potensi terbentuknya awan-awan konvektif yang menimbulkan hujan.

Tabel 4 Korelasi antara NEE dengan stabilitas atmosfer

Kategori Persamaan R2 Stabil Tidak Stabil Netral y = 0.0546x2 - 2.1886x - 1.1555 y = 0.0209x2 - 1.5363x - 4.4102 y = 157510x2 + 1472.4x - 18.645 0.072 0.21 0.48

Secara teori stabilitas atmosfer dapat mempengaruhi dinamika NEE berdasarkan pergerakan massa udara secara vertikal dari ekosistem ke atmosfer atau sebaliknya. Hubungan antara NEE dengan stabilitas atmosfer dapat dilihat dari besarnya nilai R2 (Tabel 4). Korelasi tertinggi ditunjukkan pada saat atmosfer dalam kondisi netral, dengan nilai R2 sebesar 0.48. Stabilitas atmosfer hanya menjelaskan setidaknya 48% dari variasi nilai NEE, terdapat faktor lain yang turut mempengaruhi nilai NEE.

Kondisi atmosfer yang tidak stabil ditentukan oleh hasil perhitungan

(32)

yang tidak stabil. Dilakukan pembagian kelas untuk melihat nilai NEE pada saat atmosfer sangat tidak stabil serta kondisi tidak stabil yang mendekati netral (Tabel 5). Tabel 5 Rata – rata nilai NEE dan R2 pada kondisi atmosfer tidak stabil

Ri Rata - rata NEE (μmol m-2 s-1) R2

-0.01 s.d -0.25 10.38 0.03

-0.25 s.d -0.5 8.85 0.15

> -0.5 -14.40 0.12

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pada saat kondisi atmosfer yang tidak stabil pergerakan udara vertikal cenderung aktif dan mendukung proses transfer massa udara antara atmosfer dan ekosistem. Hasil pembagian kelas menunjukkan bahwa semakin negatif nilai Ri (semakin tidak stabil) maka nilai NEE semakin negatif (CO2 bergerak atau diserap oleh ekosistem). Nilai R2 dari ketiga kelas tidak terlalu besar, hal tersebut diduga disebabkan oleh bervariasinya nilai NEE maupun Ri, sehingga tidak semua data menunjukkan pola peningkatan atau penurunan yang bersamaan.

Komponen dalam perhitungan Ri adalah suhu udara dan kecepatan angin vertikal. Umumnya pada lapisan troposfer suhu udara akan semakin rendah seiring dengan bertambahnya ketinggian, sedangkan kecepatan angin akan meningkat seiring dengan bertambahnya ketinggian (Handoko 1993). Dilakukan ploting suhu udara dan kecepatan angin secara vertikal di beberapa waktu, untuk melihat variasinya di berbagai kondisi atmosfer (Gambar 13).

Gambar 13 Profil suhu udara dan kecepatan angin vertikal pada beberapa waktu di bulan (a) April dan (b) September

0 5 10 15 20 25 30 23 25 27 29 31 33 35 Keti n g g ian ( m eter ) Suhu Udara (oC) 0 5 10 15 20 25 30 23 25 27 29 31 33 35 Keti n g g ian ( m eter ) Suhu Udara (oC) 0 5 10 15 20 25 30 0,5 1 1,5 2 2,5 Ketin g g ian ( m eter ) Kecepatan Angin (m s-1) 0:00 6:00 12:00 18:00 22:00 0 5 10 15 20 25 30 0,5 1 1,5 2 2,5 Ketin g g ian ( m eter ) Kecepatan Angin (m s-1) 0:00 6:00 12:00 18:00 22:00 (a) (b)

(33)

Sekilas terlihat di kedua bulan tersebut suhu udara dan kecepatan angin cenderung tinggi pada pukul 12:00. Waktu tersebut bertepatan dengan kondisi atmosfer yang tidak stabil, dimana pada kondisi tersebut pergerakan udara vertikal terjadi secara aktif. Berbeda dengan kondisi pada pukul 00:00 dan 22:00, suhu udara dan kecepatan angin tidak terlalu tinggi, dan kondisi ini menggambarkan atmosfer yang stabil. Atmosfer yang netral digambarkan oleh kondisi suhu udara dan kecepatan angin pada pukul 06:00 dan 18:00.

Profil suhu udara pada bulan April terlihat sedikit berbeda dengan bulan September. Suhu udara tidak terus menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian, peristiwa ini disebut dengan inversi. Inversi merupakan suatu lapisan yang terdapat di atmosfer, dimana suhu udara meningkat seiring dengan bertambahnya ketinggian. Lapisan ini bersifat stabil dan menyebabkan pergerakan udara secara vertikal terhambat. Terjadinya inversi dapat disebabkan oleh panas yang berasal dari permukaan kanopi kelapa sawit (Vesilind et.al 1990).

Turbulensi

Turbulensi merupakan pergerakan udara yang tidak teratur, memiliki ciri membentuk aliran udara yang memutar (swirl) dan tidak beraturan (eddies) (Curry et.al 1999). Terdapat dua jenis turbulensi yang terjadi di atmosfer, yaitu turbulensi yang terjadi akibat pengaruh dari permukaan, turbulensi konveksi yang terjadi di lapisan perbatas, serta turbulensi yang terjadi akibat terjadinya pertukaran momentum di atmosfer (Blackadar 2000).

Tabel 6 Rata-rata turbulensi pada bulan April dan September

Waktu April September

Ri Keterangan Ri Keterangan

0:00 0.37 Tidak Terjadi Turbulensi 0.541 Tidak Terjadi Turbulensi 2:00 0.50 Tidak Terjadi Turbulensi 0.570 Tidak Terjadi Turbulensi 4:00 0.47 Tidak Terjadi Turbulensi 0.269 Tidak Terjadi Turbulensi 6:00 0.37 Tidak Terjadi Turbulensi 0.207 Turbulensi Lemah 8:00 -6.74 Turbulensi Konvektif 0.103 Turbulensi Lemah 10:00 -6.67 Turbulensi Konvektif -0.114 Turbulensi Konvektif 12:00 -4.94 Turbulensi Konvektif -0.028 Turbulensi Konvektif 14:00 -7.99 Turbulensi Konvektif -0.046 Turbulensi Konvektif 16:00 -5.56 Turbulensi Konvektif 1.199 Tidak Terjadi Turbulensi 18:00 -2.00 Turbulensi Konvektif 0.617 Tidak Terjadi Turbulensi 20:00 0.23 Turbulensi Lemah 0.877 Tidak Terjadi Turbulensi 22:00 0.30 Tidak Terjadi Turbulensi 0.481 Tidak Terjadi Turbulensi

(34)

Turbulensi konvektif umumnya terjadi pada waktu siang hari, bertepatan pada saat kondisi atmosfer yang tidak stabil (Tabel 6). Kesamaan tersebut dapat menjelaskan bahwa pergerakan massa udara di siang hari sangat aktif. Massa udara tersebut turut membawa CO2 dari ekosistem ke atmosfer maupun sebaliknya (transfer momentum). Sedangkan pada malam hari cenderung tidak terjadi turbulensi dan kondisi tersebut terjadi bersamaan dengan kondisi atmosfer yang stabil. Dapat dikatakan bahwa pergerakan massa udara maupun transfer momentum pada malam hari tidak terjadi secara aktif.

Akumulasi Nilai NEE

Kemampuan ekosistem kelapa sawit dalam menyerap CO2 dapat dilihat dengan menghitung akumulasi nilai NEE pada siang hari. Pemilihan waktu tersebut didasari oleh adanya radiasi matahari yang menjadi sumber energi bagi proses fotosintesis, serta kondisi atmosfer yang tidak stabil. Hasil akumulasi menunjukkan bahwa kemampuan ekosistem kelapa sawit dalam menyerap CO2 pada bulan April lebih baik dibandingkan dengan bulan September (Tabel 7).

Tabel 7 Akumulasi nilai NEE

Satuan NEE

April September

μmol m-2 hr-1 -31,214 -25,956

gram m-2 hr-1 -1.37 -1.14

ton ha-1 thn-1 -5.01 -4.17

Nilai akumulasi pada kedua bulan tersebut lebih rendah dari laporan evaluasi CRC 990 EFForTS project oleh Knohl (2015), yang turut membahas nilai NEE pada dua umur tanaman kelapa sawit di PTPN VI, Batanghari, Jambi. Laporan evaluasi tersebut menunjukkan nilai akumulasi NEE pada kelapa sawit umur 12 tahun mencapai -7.7 ton ha-1 thn-1. Lebih rendahnya hasil akumulasi dapat disebabkan oleh waktu pengambilan data yang bertepatan dengan terjadinya fenomena El Nino pada tahun 2015, serta adanya perbedaan umur tanaman kelapa sawit (Darlan et.al 2016).

NEE memiliki nilai yang berbeda pada tiap ekosistem, karena karakteristiknya yang berbeda – beda. Ekosistem hutan di Taman Nasional Lore Lindu memiliki nilai NEE sebesar -196 gC m-2 thn-1, atau setara dengan 7.2 tonCO2 ha-1 thn-1 (June 2006). Ekosistem hutan gambut tropis di Kalimantan memiliki nilai NEE rata-rata (2002 – 2004) sebesar -433 gC m-2 thn-1, atau setara dengan 15.8 tonCO2 ha-1 thn-1 (Hirano et.al 2007). Ekosistem kelapa sawit yang berusia 12 tahun di Sumatera memiliki total

carbon sink sebesar -794 gCO2 m-2 thn-1, atau setara dengan 7.9 tonCO2ha-1 thn-1 (Meijide et.al 2015).

(35)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Ekosistem kelapa sawit di PT Perkebunan Nusantara VI memiliki dinamika NEE diurnal yang bernilai positif di malam hari dan negatif pada siang hari. Nilai NEE diurnal tertinggi pada bulan April sebesar -26 μmol m-2 s-1, dan pada bulan September sebesar -22 μmol m-2 s-1. Sedangkan dinamika NEE harian memiliki pola yang lebih berfluktuasi, dan terdapat beberapa hari nilai NEE yang positif disebabkan oleh lebih tingginya nilai respirasi ekosistem dibandingkan dengan penyerapan ekosistem. NEE harian pada bulan April memiliki rata – rata sebesar -28 μmol m-2 hr-1, dan bulan September sebesar -77 μmol m-2 hr-1.

Faktor iklim yang meliputi radiasi matahari dan PAR, suhu udara, curah hujan, stabilitas atmosfer, dan turbulensi, memiliki pengaruh yang berbeda – beda terhadap dinamika NEE. Radiasi matahari memiliki hubungan yang berbanding terbalik dengan NEE, saat radiasi memuncak nilai NEE semakin negatif. Hubungan antara NEE dengan radiasi matahari dilihat dari besarnya nilai R2, pada bulan April nilai R2 sebesar 0.91 dan pada bulan September nilai R2 sebesar 0.96. Hasil korelasi antara NEE dengan PAR turut menghasilkan nilai R2 yang tinggi (0.9 pada bulan April dan September) serta p-value sebesar 0.07, yang menandakan diterimanya hipotesis null (H0), yaitu meningkatnya nilai PAR turut meningkatkan nilai NEE ke arah kurva negatif.

Suhu udara diduga lebih mempengaruhi nilai NEE pada malam hari (respirasi ekosistem). Hasil korelasi antara NEE malam hari dengan suhu udara pada empat ketinggian (14, 18, 22, dan 30 meter) menunjukkan NEE dan suhu udara di ketinggian 30 meter memiliki korelasi tertinggi, dengan R2 sebesar 0.63. Nilai NEE cenderung menurun pada suhu 25oC, turunnya nilai NEE menandakan rendahnya nilai respirasi ekosistem. Nilai R2 antara NEE dengan suhu menjelaskan adanya faktor lain yang lebih mempengaruhi nilai NEE pada malam hari. Perubahan NEE pada malam hari cenderung lebih berfluktuasi dibandingkan dengan perubahan suhu yang relatif lebih konstan.

Curah hujan memiliki kemampuan dapat membersihkan udara atau atmosfer, sehingga diduga curah hujan dapat mempengaruhi nilai NEE. Hasil korelasi antara NEE dengan curah hujan menunjukkan R2 sebesar 0.48, dengan pola logaritmik yang cenderung menjelaskan semakin besarnya curah hujan, maka semakin besar juga nilai NEE (positif). Nilai positif dari NEE setara dengan respirasi ekosistem, namun terdapat beberapa kondisi yang tidak sesuai, dimana nilai NEE meningkat (positif) pada saat curah hujan rendah. Rendahnya nilai R2 menandakan adanya faktor lain yang turut mempengaruhi fluktuasi NEE pada saat terjadinya hujan.

Stabilitas atmosfer dan turbulensi memiliki peran dalam transpor massa udara dari ekosistem ke atmosfer ataupun sebaliknya. Kondisi atmosfer yang tidak stabil

(36)

merupakan kondisi yang paling baik dalam proses transpor massa udara. setelah dilakukan perhitungan korelasi antara NEE dengan stabilitas atmosfer, kondisi atmosfer yang tidak stabil hanya memiliki nilai R2 sebesar 0.21, pada kondisi stabil R2 sebesar 0.07, dan kondisi netral R2 sebesar 0.48.

Nilai NEE pada bulan April dan September cukup berbeda, dikarenakan pengaruh faktor iklim maupun fisiologis tanaman kelapa sawit. Kemampuan ekosistem kelapa sawit pada bulan April apabila diakumulasikan setara dengan -5.01 ton ha-1 thn -1, sedangkan kemampuan ekosistem kelapa sawit pada bulan September apabila diakumulasikan setara dengan -4.17 ton ha-1 thn-1. Hasil akumulasi ini terbilang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan ekosistem lain.

Saran

Perlu dilakukannya ploting NEE kelapa sawit dalam waktu satu tahun penuh, agar dinamika fluks CO2 (GPP dan respirasi ekosistem) lebih terlihat jelas, terutama saat musim kemarau dan musim hujan. Selain itu diperlukan juga perhitungan respirasi ekosistem kelapa sawit menggunakan metode lain agar dapat dijadikan pembanding dalam koreksi data.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian E dan Susanto R D. 2003. Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. Jurnal

Climatology. 23 : 1435 – 1452.

Arifanto F, Koesmaryono Y, dan Impron. 2016. Karakteristik tingkat produksi duku berbasis pewilayahan hujan di Provinsi Jambi. Jurnal Hortikultura Indonesia. 7(2) : 121 – 128.

Arya SP. 2001. Introduction to Micrometeorology. Edisi ke-2. San Diego (US) : Academic Press.

Aubinet M, Vesala T, dan Papale D. 2012. Eddy Covariance : A Practical Guide to

Measurement and Data Analysis. New York (USA) : Springer.

Blackadar AK. 2000. Turbulence and Difussion in The Atmosphere. Philadelphia (US) : Springer-Verlag.

[BLHD]. Balai Lingkungan Hidup Daerah. 2014. Laporan Status Lingkungan Hidup

Daerah Provinsi Jambi Tahun 2014. Jambi (ID) : Pemerintah Provinsi

Jambi.

[BMKG]. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2017. Informasi Perubahan

Normal Curah Hujan.

(37)

Burba G dan Anderson D. 2010. A Brief Practical Guide Do Eddy Covariance Flux

Measurements : Principles and Workflow Examples for Scientifiec and Industrial Applications. Lincoln (US) : LI-COR Biosciences.

Caliman J P dan Southworth A. 1998. Effect of drought and haze on the performance of oil palm. Proc.International oil palm conference. Medan (ID) : pp. 250-274. Chapin F Stuart, Matson Pamela A, dan Mooney Harold A. 2002. Principles Of

Terrestrial Ecosystem Ecology. New York (US) : Springer.

Chapin F Stuart, Matson Pamela A, dan Vitousek Peter M. 2011. Principles Of

Terrestrial Ecosystem Ecology. Edisi kedua. New York (USA) : Springer.

Corley R H V dan Tinker P B. 2003. The Oil Palm. Edisi ke-4. Oxford (UK) : Blackwell Science Ltd.

Curry JA, Webster JP. 1999. Thermodynamics of Atmosphere and Oceans. London (UK) : Academic Press.

Darlan N H, Pradiko I, Winarna, dan Siregar H H. 2016. Dampak El Nino 2015 terhadap performa tanaman kelapa sawit di Sumatra bagian Tengah dan Selatan.

J. Tanah dan Iklim. 40(2) : 113 – 120.

[Ditjenbun]. Direktorat Jendral Perkebunan. 2015. Statistik Perkebuna Indonesaia :

Kelapa Sawit. Jakarta (ID) : Direktorat Jendral Perkebunan.

Handoko. 1993. Klimatologi Dasar. Bogor (ID) : Pustaka Jaya.

Hermawan E. 2010. Pengelompokan pola curah hujan yang terjadi di beberapa kawasan Pulau Sumatra berbasis hasil analisis teknik spektral. J. Meteorologi

dan Geofisika. 11(2) : 75 – 85.

Hirano T, Segah H, Harada T, Limin S, June T, Hirata R, dan Osaki M. 2007. Carbon dioxide balance of a tropical peat swamp forest in Kalimantan, Indonesia.

Global Change Biology. 13 : 421 – 425.

June T, Ibrom A, dan Gravenhor.sr G. 2006. Integration of NPP semi mechanistic – modelling, remote sensing and CIS in estimating CO2 absorption of forest vegetation in Lore Lindu National park. Biotropia. 13(1) : 22 – 36.

Knohl A. 2015. Environmental processes. Evaluation Group A project FForTS. Jambi (ID) : CRC990.

[KPED]. Kantor Pengolahan Data Eksternal. 2012. Letak dan Wilayah Administrasi

Kabupaten Batanghari. http://www.batangharikab.go.id/bat/statis-6-letakdanwilayahadministrasi.html. Diakses pada : 20 Juli 2017.

Law B E et.al. 2002. Environtmental controls over carbon dioxide and water vapor exchange of terrestrial vegetation. Agricultural and Forest Meteorology. 113 : 97 – 120.

(38)

Luyssaert S et.al. 2007. CO2 balance of boreal, temperate, and tropical forests derived from a global database. Global Change Biology. 13 : 2509 – 2537.

Meijide A, Hassler A, Corre M D, June T, Sabajo C, Veldkamp E, dan Knohl A. 2015. CO2 and CH4 fluxes from oil palm plantations in Sumatera, Indonesia : effects of oil palm age and environmental conditions. American Geophysical Union :

Fall Meeting.

Montgomery R B. 1948. Vertical eddy flux of heat in the atmosphere. Journal of

Meteorology. 5 : 265 – 274.

Moran J P dan Morgan L W. 1986. Meteorology : The Atmosphere and The Science of

Weather. New York (USA) : Macmillan Publishing Company.

Panofsky H, Dutton JA. 1983. Atmospheric Turbulence Models and Methods for

Engineering Applications. Pennsylvania (US) : The Pennsylvania State

University.

[PTPN VI] PT Perkebunan Nusantara VI. 2014. Oil Palm Plantation at PTPN VI –

Batang Hari Unit. Batang Hari (ID) : PTPN VI.

Pye Oliver dan Bhattacharya Jayati. 2013. The Pal Oil Controversy In Southeast Asia

: A Transnasional Perspective. Pasir panjang (SG) : Mainland Press.

Salisbury F B dan Ross C W. 1992. Plant Physiology. Edisi keempat. Belmont (AU) : Wadsworth, Inc.

Vesilind P A, Pierce J J, dan Weiner R F. 1990. Environtmental Engineering. Edisi ketiga. Butterworth (MY) : Heinemann.

[WWF] World Wide Foundation. 2009. Hutan Indonesia : Penyerap atau Pelepas Gas

Rumah Kaca?. Jakarta (ID) : WWF-Indonesia.

Yulianto. 2013. Pendugaan cadangan karbon tersimpan pada kelapa sawit (Elaeisguineensis Jacq.) dan analisis kesuburan tanah di perkebunan PT Daria Dharma Pratama Ipuh Bengkulu [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

(39)
(40)

Lampiran 1 Contoh perhitungan akumulasi nilai NEE dan Richardson Number Nilai NEE tercatat tiap 30 menit, sehingga nilai NEE perlu dikalikan 1800 terlebih dahulu untuk mengetahui akumulasi NEE selama 30 menit. Nilai NEE yang diikutkan dalam perhitungan hanya rataan nilai NEE yang negatif.

Konversi satuan berat, Konversi satuan luas,

NEE = 20 μmol m-2 s-1 NEE = 8.802 x 10-10 ton m-2 s-1 = 20 x 44.01 x 10-12 ton m-2 s-1 = 8.802 x 10-10 x 104 ton ha-1 s-1 = 8.802 x 10-10 ton m-2 s-1 = 8.802 x 10-6 ton ha-1 s-1 Konversi satuan waktu,

NEE = 8.802 x 10-6 ton ha-1 s-1

= 8.802 x 10-6 x 1,800 x 365 ton ha-1 thn-1 = 5.7 ton ha-1 thn-1

Perhitungan Richardson Number (Ri)

Ketinggian yang digunakan untuk menghitung nilai Ri adalah 18 dan 30 meter.

T1 = 23.4 oC θa = 296.35 K T2 = 23.3 oC z1 = 18 meter θ1 = 23.4 - (-0.00000976*18) z2 = 30 meter = 23.4 + 273 u1 = 1.05 m s-1 = 296.4 K u2 = 1.58 m s-1 θ2 = 23.3 - (-0.00000976*18) = 23.3 + 273 = 296.3 K 𝑅𝑖 = 𝑔 (𝜃𝑧2 − 𝜃1 2− 𝑧1) 𝜃𝑎 [(𝑢𝑧2− 𝑢1 2− 𝑧1)] 2 𝑅𝑖 = 9.8 (−0.0712 ) 296.35 [(0.5312 )] 2 𝑅𝑖 = 9.8 ( 296.3 − 296.4 30 − 18 ) 296.35 [(1.58 − 1.0530 − 18 )] 2 𝑅𝑖 = −0.05716 0.57808 𝑅𝑖 = −0.098 (Netral)

(41)

Lampiran 2 Data fluks CO2 bulan April

Waktu 01-Apr 02-Apr 03-Apr 04-Apr 05-Apr 06-Apr 07-Apr 08-Apr 09-Apr 10-Apr

0:00 23.05 18.38 0:30 29.26 1:00 30.57 9.07 1:30 2:00 16.98 2:30 10.53 4.52 26.09 11.87 3:00 19.18 11.61 13.21 3:30 7.51 34.11 18.61 6.84 4:00 17.31 9.61 18.92 14.54 9.76 9.67 4:30 10.27 -0.27 5:00 13.66 9.12 -17.02 18.90 5:30 10.82 5.10 2.94 6:00 9.23 19.38 6:30 11.29 11.93 7.78 22.41 6.31 13.33 7.13 7:00 7.43 6.88 34.42 10.47 17.39 6.84 9.52 7:30 6.43 5.51 0.64 -4.49 8:00 -17.34 -21.22 0.84 -11.69 11.72 -26.84 -18.73 8:30 -10.87 -8.11 -15.56 -7.59 -33.06 -17.80 9:00 -27.68 -7.60 -21.49 -11.12 -27.44 -26.73 9:30 -21.87 -26.34 -27.58 -13.36 -24.55 -7.70 -29.82 -43.18 10:00 -18.49 -26.53 -33.33 -25.13 -23.76 -15.30 10:30 -26.26 -15.56 -18.29 -33.17 -25.31 -27.10 -17.54 -29.69 11:00 -24.10 -21.29 -28.72 -23.89 -34.53 -28.08 -27.71 -32.35 11:30 -38.38 -22.98 -31.15 -26.73 -35.73 -20.15 -22.06 -25.49 -21.81 12:00 -22.38 -17.64 -17.00 -23.47 -30.44 -27.01 3.09 -27.76 -25.95 12:30 -21.53 -23.36 -22.75 -18.62 -22.31 -15.71 -7.90 -27.38 -31.60 13:00 -21.50 -24.15 13:30 -15.81 -15.72 -18.71 -24.77 -15.75 -15.19 -18.33 14:00 -19.25 -13.54 -14.50 -20.98 -17.89 -11.31 -14.75 -24.08 -26.08 14:30 -11.14 -15.62 -20.59 -3.50 -12.84 -11.29 -10.32 15:00 -14.11 -19.78 -19.75 -7.56 -14.64 -22.93 -16.75 -3.43 -14.07 15:30 -11.65 -14.65 -24.06 -16.75 -18.88 -12.92 -15.76 16:00 -15.00 -13.85 -0.79 -14.61 -10.84 -11.76 -11.96 16:30 -9.34 -9.95 -5.90 -12.82 -9.21 17:00 -8.23 27.09 5.83 -12.88 -5.79 17:30 -2.39 -8.44 -2.46 18:00 4.90 -0.82 3.37 18:30 9.23 19:00 8.08 6.03 19:30 14.63 6.39 20:00 2.91 7.34 -7.91 20:30 21:00 18.97 21:30 25.84 19.11 22:00 6.27 30.45 22:30 17.77 23:00 30.56 23:30 17.20 17.33 Total -176.68 -151.40 -86.13 -151.78 -172.65 -170.09 -45.29 -209.91 -180.34 -255.11

Gambar

Gambar 1 Ilustrasi climate tower di PTPN VI, Batanghari, Jambi  Alat
Gambar 2 Langkah kerja penelitian
Gambar 3 Peta lokasi perkebunan kelapa sawit dan climate tower di PTPN VI unit    Batanghari, Jambi
Gambar 4 Dinamika NEE dalam kurun waktu diurnal pada bulan April (■) dan    September (○) -30-20-100102030NEE (μmol m-2s-1) Waktu Rata - rata
+7

Referensi

Dokumen terkait

1 Saya berpikir bahwa saya akan sering mengakses website ini tidak sering sering 2 Saya berpikir website ini terlalu kompleks tidak setuju setuju 3 Saya berfikir

Berkaca pada kasus eksekusi mati gelombang I dan II yang telah dilakukan Januari dan April 2015 lalu, tidak ada mekanisme koreksi dan ruang evaluasi yang dilakukan oleh Kejaksaan

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya yang begitu besar sehingga terlaksana dan terselesainya penelitian ini yang judul

Metode Forward Selection berbasis Naive Bayes terbukti akurat dalam klasifikasi status kelulusan mahasiswa dari dataset yang bersifat class imbalance dengan dimensi data

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

Nilai tingkat bahaya erosi (TBE) yang diperoleh menggunakan metode USLE berdasarkan curah hujan selama 4 bulan masa penelitian pada pada lahan control adalah 0.21,

Penelitian ini bertujuan untuk i) mengetahui sensitivitas sensor suhu berbasis Fiber Optik Polymer (POF) yang di bentuk spiral dan berjaket gel, ii) mengetahui