• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah suatu masa dimana individu dalam proses pertumbuhannya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah suatu masa dimana individu dalam proses pertumbuhannya"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Masa remaja adalah suatu masa dimana individu dalam proses pertum-buhannya (terutama fisik) telah mencapai kematangan. Periode ini menunjukkan suatu masa kehidupan dimana kita sulit untuk memandang remaja itu sebagai anak-anak, namun juga tidak sebagai orang dewasa. Miller (1993) mengatakan …

may be seen in the descriptive label given in this periode of life as a “storm and stress” period. Pada masa remaja, seseorang mengalami beberapa perubahan,

baik secara fisik maupun secara psikis. Pada masa ini, terjadi perubahan dalam proses biologis, psikologis, sosiologis, budaya, dan historis (Lerner, 2002). Eisenstadt (1975:5) memandang remaja secara kultural yang digambarkan sebagai:

The transition from childhood and adolescence to adulthood, the develop-ment of personal identity, psychological autonomy and self regulation, the attempt to link personal temporal transition to general cultural image and to cosmic rhytms, and to link psychological maturity to the emulsion of definite role models – these constitute the basic elements of any archetypal image of youth. However, the way in which these various elements of any archetypal image of youth. However, the way in which these various element become crystallized in concrete figurations differ greatly from society and within of the same society.

Berdasarkan pemikiran di atas, proses perkembangan yang dialami remaja merupakan proses pematangan fisik dan pematangan sosial. Masa transisi yang dialami remaja, menuntut remaja untuk berjuang menemukan jati dirinya, kemandiriannya, dan self-regulasinya. Mereka hidup bersama orang dewasa, di-dalam masyarakat orang dewasa, mereka harus menyesuaikan diri dengan

(2)

kehidupan, dimana pembatasan-pembatasan dan peraturan-peraturan yang berlaku sering dirasakan remaja sebagai suatu peraturan yang sangat berat.

Bagi kebanyakan remaja, periode ini merupakan periode yang amat kritis, yang mungkin merupakan the best time atau the worst time. Jika remaja mampu mengatasi berbagai tuntutan yang dihadapinya secara integratif, maka ia akan menemukan jati dirinya. Sebaliknya bila gagal, ia akan berada pada krisis identitas yang berkepanjangan (Miller, 1993).

Dreyer (dalam Archer & Waterman, 1983) mengemukakan bahwa masa remaja ditandai dengan kapabilitas intelektual yang lebih tinggi seperti logika formal operasional, penalaran analitis, kognisi sosial, penalaran moral, komitmen intelektual dan etik. Kesemua pendekatan ini menggambarkan bahwa pemikiran remaja ditandai oleh peningkatan pemikiran abstrak, mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda ketika berusaha memecahkan masalah, dan menilai secara logis alternatif-alternatif ketika berusaha mencari jalan keluar dari dilema.

Menurut Marcia (1980), pembentukan identitas merupakan tugas rumit yang harus diselesaikan secara bertahap, dan tanpa disadari. Masa remaja yang di-gunakan dalam penelitian ini adalah masa remaja akhir yang dikemukakan oleh Marcia (dalam Archer 1989), yaitu remaja berusia 18-22 tahun, mereka sudah memasuki perguruan tinggi, dan berada diantara SEMESTER 1 sampai 5.

Dalam teori epigenetic Erikson (1968), masa remaja berada pada tahap kelima yaitu identity versus identity diffusion, yang menurut Erikson (dalam Miller, 1993) dijelask,an bahwa masa remaja merupakan masa terjadinya per-ubahan fisiologis yang cepat pada dirinya. Perper-ubahan ini disertai dorongan sosial

(3)

mereka untuk mempertimbangkan berbagai peran. “The overall task of the

individual is to acquire a positive ego identity as her or he moves from one stage to the next”. Tugas dasar remaja adalah mengintegrasikan berbagai identifikasi

yang dibawanya dari masa kanak-kanak kedalam situasi identitas yang lebih utuh (Erikson, dalam Rice,1996).

Bila remaja tidak dapat mengintegrasikan identifikasi dan peran-peran-nya, ia akan menghadapi ‘kekaburan identitas’ (identity diffusion), memiliki kepribadian yang labil, tidak memiliki sikap bagi masa depannya, dan bahkan menunjukkan ketidaktertarikan dalam berbagai hal. Erikson memandang identitas sebagai suatu konsep integratif antara individu dengan lingkungannya. Menurut Marcia (dalam Archer,1989), disebutkan bahwa identitas adalah proses dimana individu menempatkan dirinya dalam dunia sosial.

Masih menurut Marcia (1980), pembentukan identitas secara operasional dan konkrit didasarkan pada teori psikososial Erikson yaitu individu membuat suatu komitmen setelah melewati eksplorasi berbagai kemungkinan yang ada. Komitmen adalah titik kulminasi dari pembentukan identitas.

Remaja harus menetapkan identitas dirinya, siapa saya saat ini, ingin menjadi apa saya dimasa dewasa nanti. Untuk menetapkan identitas dirinya remaja harus mencari informasi berbagai alternatif-alternatif pekerjaan untuk pencapaian status identitas vokasional, dan harus memilih serta menetapkan salah satu pekerjaan yang menjadi minatnya (komitmen), dengan demikian remaja tersebut memiliki identitas achievement dalam bidang vokasional.

Ada dua hal yang menentukan apa identitas diri remaja, yaitu eksplorasi dan komitmen. Menurut Marcia (dalam Archer 1989), eksplorasi identitas adalah

(4)

aktivitas eksplorasi pada remaja akhir yang mengacu pada aktivitas kognitif dan tingkah laku. Eksplorasi adalah usaha yang dilakukan remaja akhir secara aktif untuk mencari dan memahami masalah-masalah yang menyangkut pekerjaan, agama, dan politik sehingga sampai pada sebuah keputusan.

Archer (1989) mengemukakan bahwa komitmen merupakan titik akhir dari proses eksplorasi sebagai usaha pembentukan identitas. Komitmen merupa-kan aktifitas yang relatif tegas dan menarik tentang elemen-elemen identitas remaja, berperan sebagai pengarah menuju tindakan penuh arti pada sesuatu, yang dipilih dengan disertai keyakinan, kesetiaan, dan sulit untuk digoyang atau dipe-ngaruhi. Ketidakadaan komitmen menunjukkan bahwa remaja memiliki komitmen lemah dan mudah dipengaruhi serta mudah berubah.

Ada empat tipe identitas diri yaitu: 1) confusion/diffusion (tidak melaku-kan eksplorasi dan tidak membuat komitmen), 2) foreclosure (tidak melakumelaku-kan eksplorasi, tetapi membuat komitmen, biasanya hal ini dipengaruhi oleh orang tua), 3) moratorium (melakukan eksplorasi, tetapi tidak membuat komitmen), serta 4) achievement (melakukan eksplorasi dan membuat komitmen).

Identitas diatas lebih fokus kepada pekerjaan, karir, sekolah atau prestasi yang berkaitan dengan materi. Ada pertanyaan yang bisa dimunculkan berkaitan dengan identitas diri remaja ini, yaitu berkaitan dengan pengalaman remaja tentang hal yang bersifat spiritual. Spiritual adalah perasaan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat gaib yang tidak kasat mata. Sesuatu yang gaib ini dianggap sebuah realita sehingga manusia harus menemukan identitasnya dalam hal ini (Kiesling dkk., 2006).

(5)

Dalam konteks status identitas menurut Marcia, diterangkan bahwa status identitas ada empat kategori yaitu achievement, moratorium, diffusion, dan foreclosure. Empat tipe ini bergantung kepada eksplorasi dan komitmen mereka. Eksplorasi dan komitmen adalah dua proses yang ada dalam pembentukan iden-titas diri. Apakah mungkin dalam spiritualitas, remaja juga mengalami empat tipe status identitas ini? Misalnya, remaja yang secara spiritual diffusion, dia tidak melakukan eksplorasi dan tidak melakukan komitmen dalam pengalaman spi-ritualitasnya. Pertanyaan diatas adalah yang mendorong dibuatnya proposal pene-litian ini. Artinya tujuan penepene-litian ini adalah ingin mengetahui apakah remaja yang identitas dirinya moratorium, secara spiritual juga memiliki identitas

moratorium? Apakah remaja yang identitas dirinya achievement, secara spiritual

juga memiliki identitas achievement? Apakah remaja yang identitas dirinya

foreclosure, secara spiritual juga memiliki identitas foreclosure? Apakah remaja

yang identitas dirinya diffusion, secara spiritual juga memiliki identitas diffusion? Kiesling dkk. (2006) menemukan bahwa hanya ada tiga tipe status identitas spiritual, yaitu achievement, foreclosure, dan moratorium. Orang yang secara spiritual forclosured merasa bahwa keyakinan mereka ada sebelum mereka mendalaminya, sehingga mereka merasa mereka terpaksa untuk memeluknya. Orang yang secara spiritual achieved memiliki keyakinan dan pengalaman yang berbeda dengan orangtua mereka. Mereka juga merasa telah menemukan keyakinan dan pengalaman yang benar atau sesuai dengan mereka.

(6)

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah ada hubungan eksplorasi dan komitmen dengan spiritualitas? 2. Apakah ada hubungan empat status identitas dan spiritualitas dengan

variabel demografis: jenis kelamin, usia, tingkatan kuliah, perasaan akan pentingnya menjadi religius, perasaan akan pentingnya menjadi spiritual.

3. Apakah ada perbedaan pengalaman spiritualitas antara remaja dengan status identitas yang berbeda?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Mengetahui hubungan status identitas dengan spiritualitas.

2. Mengetahui hubungan status identitas dan spiritualitas dengan variabel demografis: jenis kelamin, usia, tingkatan kuliah, perasaan akan pen-tingnya menjadi religius, perasaan akan penpen-tingnya menjadi spiritual. 3. Mengetahui perbedaan pengalaman spiritualitas antar remaja dengan

status yang berbeda.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat bagi Pengembangan Teori

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengayaan teori psikologi perkembangan dan psikologi remaja.

2. Manfaat Praktis

(7)

remaja oleh Guru Konselor atau Psikolog di sekolah-sekolah jenjang SMU/SMK sehingga aspek spiritualitas remaja berkembang ke arah status identitas achievement.

(8)

BAB II

STATUS IDENTITAS DAN SPIRITUALITAS REMAJA AKHIR

A. TUGAS PERKEMBANGAN DAN KARAKTERISTIK REMAJA AKHIR

Para ahli perkembangan membagi masa remaja menjadi beberapa fase. Rentang usia remaja dapat berbeda-beda tergantung pada latar belakang sejarah dan budaya (Santrock, 2007), tetapi di Amerika dan kebanyakan budaya pada saat ini, usia remaja dimulai pada usia 10/13 tahun dan berakhir antara usia 18/22 tahun. Monks, Knoers, dan Haditono (1999) mengemukakan, secara global masa remaja berlangsung antara usia 12 sampai dengan 21 tahun, dengan pembagian yaitu: masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (15-18 tahun), dan masa remaja akhir (18-21 tahun).

Pada masa remaja ini, ada sejumlah ciri yang membedakan remaja dengan masa perkembangan yang lain. Hurlock (1980) mengungkapkan ciri-ciri masa remaja, yaitu: (1) masa remaja sebagai periode yang penting, (2) masa remaja sebagai periode pealihan, (3) masa remaja sebagai periode perubahan, (4) masa remaja sebagai usia bermasalah, (5) masa remaja sebagai masa mencari identitas, (6) masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, (7) masa remaja sebagai masa yang tidak realistik, dan (8) masa remaja sebagai ambang masa dewasa.

Khusus pada remaja akhir, Pikunas (dalam Agustiani, 2006) mengemuka-kan adanya tujuh tugas-tugas perkembangan yang penting dan harus dilalui secara

(9)

orangtua dan figur-figur otoritas, (2) menemukan model untuk identifikasi, (3) menerima diri sendiri, mengandalkan kemampuan dan sumber-sumber yang ada pada dirinya, (4) memperkuat kontrol diri berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang ada.

Dimjati (2000:152-153) menambahkan, pada masa remaja akhir, sese-orang memperoleh keseimbangan kembali dalam hidupnya. Ia mulai membuat rencana hidup yang akan dijadikan pedoman dalam perbuatan selanjutnya untuk mencapai cita-citanya. Pada masa ini, remaja akhir telah mengetahui apa yang ia kehendaki, cita-cita mana yang akan dicapai, dan nilai hidup mana yang menjadi pedoman hidupnya. Oleh karena itu, norma-norma yang telah mereka alami sangat menentukan untuk pilihan norma mana yang akan diteruskan.

B. IDENTITAS DIRI (EGO IDENTITY)

Erikson (1958, 1959, 1963, 1968, 1969) merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan krisis identitas (identity crisis). Istilah ini dikemukakannya

bahwa ”Identity as the general picture one has of oneself” dan juga “identity as a state toward which one strive”. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh

Miller (1993) bahwa dalam tugas perkembangan remaja, identitas merupakan

struggle of adolescence. Remaja harus berjuang mempelajari perilaku-perilaku

baru, ide-ide baru mengenai dirinya dan orang lain, membuat keputusan yang penting yang akan berpengaruh terhadap kehidupannya.

Membuat keputusan merupakan hal yang penting dalam pencapaian identitas, untuk itu remaja harus berani mengambil keputusan yang sesuai dengan

(10)

apa yang mereka yakini. Atas dasar itu maka peluang-peluang untuk memainkan peran sosial baru, terbuka luas.

Bagi remaja identitas dapat dipandang sebagai hasil coba-coba yang pada akhirnya mereka dapat menetukan peran mana yang paling cocok bagi dirinya. Apabila mereka menemukan perannya dalam membuat suatu keputusan, maka ia disebut telah mencapai sence of identity. Erikson (dalam Dacey, 1997:185) mengemukakan ” if you were in state of identity, the various aspect of

your self-concept would be in agreement other, they would be identical.”

1. Pembentukan Identitas Diri

Marcia (1993) mengemukakan bahwa pembentukan identitas merupakan peristiwa besar dalam perkembangan kepribadian. Peristiwa ini terjadi selama masa remaja akhir, dan merupakan tanda akhir dari masa kanak-kanak, serta diawalinya masa kedewasaan seseorang. Pembentukan identitas merupakan sintesis berbagai keterampilan, keyakinan, dan identitas masa kanak-kanak men-jadi bentuk keseluruhan yang unik dan mantap yang memberi ciri memadukan berlangsungnya masa lampau dan merupakan arah menuju masa depan.

Pembentukan identitas merupakan proses yang rumit, mencakup komit-men terhadap orientasi seksual, penetapan ideologi dan pekerjaan. Proses pem-bentukan berjalan bertahap, tidak disadari, dan mungkin dianggap hal yang biasa. Awal pembentukan identitas terjadi/diawali saat bayi mengenal ibunya dan merasa dikenali ibunya, dan hal ini berlangsung selama rentang kehidupan dan mencapai krisisnya pada masa remaja (Miller, 1993). Pada masa remaja dia harus

(11)

realitas sekarang sebagai seorang pemuda yang matang, bukan sebagai kanak-kanak.

a. Eksplorasi

Menurut Marcia (dalam Archer, 1994), eksplorasi identitas adalah aktivitas eksplorasi pada remaja akhir yang mengacu pada aktivitas kognitif dan tingkah laku. Eksplorasi adalah usaha yang dilakukan remaja akhir secara aktif untuk mencari dan memahami masalah-masalah yang menyangkut pekerjaan, agama, dan politik sampai pada keputusan. Exploration (crisis) pertains to the

examination of alternatives with the attention of establishing a firm of commitment in the near future (Archer dalam Marcia, 1993:178).

Erikson (dalam Dacey, 1997:185), mengemukakan bahwa identity as a

state toward which one strives. Remaja harus berusaha secara proaktif mencari

berbagai informasi atau inisiatif dan motivasional dari dalam dirinya sendiri, serta harus dapat mempertimbangkan berbagai informasi yang dia peroleh dan memutuskan mana yang terbaik bagi dirinya atas dasar keyakinan pribadi.

b. Komitmen identitas

Archer (1994) mengemukakan bahwa komitmen merupakan titik akhir dari proses eksplorasi sebagai usaha pembentukan identitas. Waterman (dalam Archer, 1994:164) mengemukakan “commitment involves making a relativity firm

choice about identity elements and anganging in significant activity directed toward implementation of that choice”.

Komitmen merupakan aktifitas yang relatif tegas dan menarik tentang elemen-elemen identitas remaja, berperan sebagai pengarah menuju tindakan

(12)

penuh arti pada sesuatu yang dipilih dengan disertai keyakinan, kesetiaan, dan sulit untuk digoyang atau dipengaruhi. Ketidakadaan komitmen menunjukkan bahwa remaja memiliki komitmen lemah dan mudah dipengaruhi serta mudah berubah.

c. Status Identitas

Berdasarkan pada gagasan teoritik Erikson mengenai pembentukan identitas pada masa remaja, Marcia (1960, 1980) adalah orang pertama yang menggunakan istilah status identitas. Marcia percaya bahwa dalam pembentukan identitas ada dua faktor yang sangat esensial yaitu “crisis and commitment”. Untuk pilihannya Marcia mengajukan empat kemungkinan kategori ‘status’, dua status (Achievement dan Moratorium) merupakan status yang lebih tinggi dan kompleks daripada dua status yang lain (Diffusion dan Foreclosure). Kategori tersebut digambarkan dalam sebuah kuadran sebagai berikut:

Gambar 2.1 Kategori Status Identitas

(13)

Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Status Identitas Diffusion

Identity confusion/diffusion. “No crisis has been experienced, but

commitment have been made” (Tidak melakukan eksplorasi, dan tidak

mem-buat komitmen). Waterman (1988) menyatakan bahwa klasifikasi ini tidak menyatakan bahwa individu yang memiliki identitas diffusion tidak punya identitas tapi hanya pikiran atau gagasan mereka secara kebetulan tertahan dan perasaan identitas mereka hanya mempunyai peran yang tidak besar dalam mengarahkan mereka di berbagai bidang. Ada kesepakatan antar para pemerhati status identitas bahwa ada beberapa subtipe dalam staus identitas

diffusion, tapi secara sistematis subtipe belum bisa dijelaskan (Waterman,

1988;192). Sekalipun beda subtipe tapi mereka pada dasarnya memiliki level perkembangan yang sama (Marcia, 1980; Waterman, 1988).

2. Status Identity Foreclosure

“No crisis has been experienced, but commitment have been made, usually forced on the person by the parent” (Tidak melakukan eksplorasi,

tetapi membuat komitmen, biasanya hal ini dipengaruhi oleh orang tua). Indi-vidu dengan status ini memiliki komitmen yang kuat akan keyakinannya tapi tidak banyak membuat alternatif dalam keyakinan-keyakinannya. Keyakinan yang dipegang kuat atau diberi komitmen yang tinggi biasanya adalah keyakinan yang pertama dipegang dan datang dari keluarga. Orang ini menjaga komitmennya karena merasa mendapat reward dan memperoleh arti sehingga tidak ada keinginan untuk mempertanyakan

(14)

nilai-nilai, tujuan-tujuan, dan keyakinan yang dipegang. Ada beberapa alasan lain mengapa mereka kurang melakukan refleksi adalah a) karena dia tidak membayangkan keyakinan itu bisa dipertanyakan, b) karena masyarakatnya tidak memberikan pilihan lain, c) karena menurutnya tantangan tidak harus datang dengan menentang keyakinan orang tua (Waterman 1988). Menurut beberapa penelitian orang dengan identitas ini sangat konformis dengan masyarakat (Baumeister, 1986).

3. Status Identity Moratorium

“Considerable crisis is being experienced, but no commitment are yet

made” (Melakukan eksplorasi, tetapi tidak membuat komitmen). Orang

de-ngan status identitas ini banyak melakukan pencarian terhadap banyak pilih-an keyakinpilih-an, nilai-nilai, dpilih-an tujupilih-an tapi tidak secara penuh berkomitmen terhadap satu keyakinanpun. Individu dengan identitas moratorium dianggap berada dalam krisis. Krisis ini ditunjukkan dengan banyaknya melakukan eksplorasi pemikiran, kesadaran, dan intelektual terhadap elemen-elemen identitas dan ditandai dengan memiliki perilaku yang banyak berhubungan dengan orang-orang lain. Tingkat kecemasan dan jumlah pilihan dalam krisis ini sangat berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Marcia (1980) menemukan bahwa orang yang moratorium memiliki kecemasan dan ke-bebasan yang tinggi.

4. Status Identitas Achievement

. “Numerous crisis have been experienced and resolved, and relatively permanent commitment have been made” (Melakukan eksplorasi dan

(15)

mem-buat komitmen). Identitas ini tidak diteorikan sebagai identitas yang per-manen, tetap, dan tidak tergantikan, tapi identitas ini adalah identitas terkini yang dimiliki individu. Keadaan dimana keyakinan, tujuan, dan keyakinan dirasakan nyaman dan bermakna bagi dirinya dan dorongan untuk berubah tidak diberi ruang untuk terjadi (Marcia, 1980). Orang yang achievement cenderung lebih reflektif dan memiliki stress yang rendah.

Orang-orang yang ketika diukur memiliki salah satu empat status identitas itu, tidak berarti selamanya akan memiliki status identitas itu. bisa jadi status identitas mereka berubah menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk atau mengalami penurunan. Ada tiga kemungkinan untu setiap status identitas. Untuk orang yang memiliki status diffusion: (a) bisa saja mening-kat usaha eksplorasi sehingga berubah ke status diffusion (D→M), (b) bisa berubah dengan menerima atau melakukan komitemen terhadap alternatif awal dan berubah menjadi foreclosure (D→F), atau (c) akan tetap dalam status diffusion (D→D). Status foreclosure: (b) bisa mulai mempertimbang-kan atau merubah komitmen yang dipegangnya semula (F→M), (b) tetap menjadi foreclosure (F→F), atau (c) turun ke status diffusion jika dia tidak melakukan komitmen yang baru untuk mengganti komitmen yang sebelum-nya. Untuk morartorium: (a) bisa meningkatkan komitmennya sehingga men-jadi achievement (M→A), (b) bisa saja berhenti melakukan eksplorasi sehingga menjadi diffusion (M→D), atau (c) menghentikan eksplorasi alter-natif sehingga menjadi diffusion (M→D). Untuk identitas achievement: (a) bisa tetap mempertahankan identitasnya (A→A), (b) memikirkan kembali

(16)

komitmen sebelumnya dan mulai eksplorasi yang baru sehingga menjadi moratorium (A→M), atau (c) atau jatuh ke status diffusion jika tidak me-nemukan komitmen yang baru. (A→D) (Waterman, 1982). Status identitas menurut banyak penelitian sebelumnya seperti self esteem dan kemandirian.

C. SPIRITUALITAS

Ada tiga peteori utama mengenai spiritualitas yang menggambarkan proses spiritualitas. Pertama, James W. Fowler (1981), Daniel Helminiak (2001), dan Ken Wilber (2000). Fowler (1981) menciptakan model perkembangan spirit-ualitas berdasarkan kepada model ego, moral, kogntif, dan perkembangan psikososial, serta melakukan penelitian empiris. Helminiak (2001) juga men-dasarkan teori perkembangan spiritualnya kepada teori perkembangan manusia dan teologi, tetapi tidak melakukan penelitian empiris. Wilber (2000) menciptakan modelnya dengan melakukan penggabungan model-model yang ada sebelumnya dalam spiritual (termasuk Fowler dan Helminiak), juga berdasarkan kepada bidang filsafat, mistik, dan perkembangan. Dalam penelitian ini difokuskan hanya kepada teori yang dikembangkan oleh Fowler (1981).

a. Teori Fowler

James Fowler sangat dikenal di bidang kepercayaan dan spiritual. Fowler pada awalnya mengikuti model perkembangan psikososial Erikson, tapi kemudian menggabungkan aspek-aspek perkembangan struktural Kohlberg dan Piaget dalam membentuk penalaran kognisi dan moral (Fowler, 1981). Menurut model

(17)

strukturalis, pendewasaan struktur secara bertahap mendorong perubahan kuali-tatif dalam proses berfikir seseorang.

Di bidang teologis, dia sangat mengikuti teologi multidimensional Richard Niebuhr. Bagi Niebuhr (1989), kepercayaan tidak terbatas pada konteks religius. Niebuhr menjelaskan bahwa struktur relasional kepercayaan, di samping mengenai ikatan kepercayaan dan kesetiaan antara orang dan kelompok yang bersedia menyertakan dirinya untuk terlibat dalam sebuah kelompok yang memiliki nilai dan kekuatan yang sama.

Teori Fowler terbentuk melalui penelitian empiris yang bersumber dari 259 wawancara dengan anak-anak dan orang dewasa, yang awalnya dilakukan di Amerika (Fowler, 1981; Fowler & Dell, 2004). Persentase perbedaan jenis kelamin responden adalah setara (50% laki-laki dan 50% perempuan). Namun pemeluk agamanya kurang seimbang dalam mewakili populasi Amerika. Dalam sampel awalnya, yang beragama Protestan sebanyak 45% subyek, 36,5% Katolik, 11,2% Yahudi, 3,6% Kristen Ortodoks, dan 4,6% yang lain-lainnya (Fowler & Dell, 2004).

Fowler (1981) mendasarkan modelnya tentang kepercayaan karena dia meyakini bahwa kepercayaan, dibanding dengan keimanan atau agama, adalah kategori yang paling fundamental dalam pencarian orang berkaitan dengan hal yang transenden. Kepercayaan, secara umum merupakan istilah universal bagi semua manusia, yang di mana-mana memiliki kemiripan, sekalipun bentuk dan isi praktisnya sangat beragam.

Fowler mengembangkan teori tentang tahap perkembangan dalam ke-yakinan seseorang (stages of faith development) sepanjang rentang kehidupan

(18)

manusia. Menurutnya, kepercayaan merupakan orientasi holistik yang menun-jukkan hubungan antara individu dengan alam semesta. Perkembangan tahap spiritualitas yang dia teorikan dia yakini pasti dialami oleh manusia. Selain itu dia menyatakan bahwa penentuan tahap perkembangan spiritual seseorang tidak ber-kaitan dengan penilaian terhadap kepercayaan seseorang (Fowler & Dell, 2005).

Tahap awal spiritual Fowler adalah tahap awal yang terjadi mulai dari bayi dalam kandungan sampai usia dua tahun. Kepercayaan yang samar adalah ciri “mutualitas dan kepercayaan/trust” atau “tidak adanya kepercayaan” yang berkembang dalam tahap ini; yang mengendalikan perkembangan kepercayaan (Fowler 1981). Selama periode ini, perkembangannya lebih kepada neurologis dan fisikal dibanding dengan tahap-tahap lainnya. Masa transisi ke tahapan selanjutnya bermula ketika bayi mulai menggunakan bahasa, cerita, dan permainan ritual (Fowler, 1981).

Teori perkembangan spiritual Fowler terbagi atas enam tahap, yaitu (a) kepercayaan intuitif-proyektif (intuitive-projective faith) yang terjadi pada masa anak-anak awal, usia 2 sd. 6 tahun; (b) kepercayaan mitikal-literal (mythic-literal

faith) terjadi pada masa anak-anak akhir, usia 7 sd. 11 tahun; (c) kepercayaan

sintetik konvensional (synthetic-conventional faith) terjadi pada masa remaja, usia 12 sd. 20; (d) kepercayaan individuatif-reflektif (individuation/ reflective faith) terjadi pada masa dewasa awal, usia 20 sd. 40; (e) kepercayaan konjungtif

(conjungtive faith) terjadi pada masa dewasa hingga tua, usia 40 sd. 60 tahun; dan

(f) kepercayaan universal (universalizing faith) terjadi pada masa tua hingga meninggal, usia lebih dari 60 tahun.

(19)

Pada tahap pertama, kepercayaan intuitif-proyektif (usia anak-anak awal atau 2-6 tahun), masih terdapat karakter kejiwaan yang belum terlindungi dari ketidaksadaran. Anak masih belajar untuk membedakan khayalannya dengan realitas yang sesungguhnya. Anak-anak dalam tahapan ini menggabungkan elemen-elemen cerita dan gambar yang mereka terima dari lingkungannya yaitu keluarga dan budaya, untuk menciptakan cara imajinatif mereka sendiri gambaran tentang Tuhan dan apa yang dia takutkan (Fowler, 1981). Hal ini juga terjadi waktu di mana pemerolehan makna didasarkan kepada pengamalan emosional dan perseptual mulai muncul sebagai peningkatan penguasaan dan penggunaan bahasa (Fowler & Del, 2004). Selain itu anak-anak pada tahap ini mulai mengalami pengalaman eksistensial berkaitan dengan kematian dan bahaya, kurang mampu mengambil persepktif yang sederhana, dan tidak bisa membedakan antara fantasi dan realitas. Dalam tahap ini perasaan yang dalam kepada kepercayaan atau perkembangan religius dapat terinternalisasi dan bertindak sebagai agen yang memberi informasi secara positif atau negatif di sepanjang hidup.

Pada tahap kedua, kepercayaan mythikal-literal (usia sekolah, 7-12 tahun), seseorang telah mulai mengembangkan kepercayaan yang kuat dalam kepercayaannya. Anak juga sudah mengalami prinsip saling ketergantungan dalam alam semesta, namun ia masih melihat kekuatan kosmik dalam bentuk seperti yang terdapat pada manusia (anthropomorphic). Dalam tahap ini, anak mengekspresikan pemaknaan dan pemahaman melalui cerita dan dongeng, karena mereka mencoba membedakan mana yang nyata dan mana yang harus dipercayai. Dalam tahapan ini, keyakinan, moral, dan simbol dimaknai dengan cara inter-pretasi literal. Pandangan sederhana mulai muncul, tapi kemampuan mengenali

(20)

perasaan, sikap, dan pengendalian diri belum berkembang (Fowler & Del, 2004). Selain itu, pandangan mereka tentang Tuhan (kekuatan yang lebih besar) bekerja dalam konteks peraturan atau orang tua yang menerapkan keadilan dan hukuman. Faktor pertama yang membawa kepada tahap ketiga adalah kontradiksi dalam cerita-cerita yang memancing pemikiran atas makna-makna.

Pada tahap ketiga, kepercayaan sintetik-konvensional (usia remaja), se-seorang mengembangkan karakter kepercayaan terhadap kepercayaan yang di-milikinya. Ia mempelajari sistem kepercayaannya dari orang lain di sekitarnya, namun masih terbatas pada sistem kepercayaan yang sama. Sekalipun tahap ini muncul ketika remaja, bisa saja akan menetap dan permanen di sepanjang masa dewasa jika keseimbangan dalam tahap ini tidak pernah terganggu (Fowler, 1981). Menurutnya (1981) tahap tiga adalah sebuah tahap konformitas dimana mereka sangat menuntut harapan dan penilaian yang kuat dari oang lain dan belum cukup jelas identitas dan penilaian mandiri mereka untuk membangunn dan menjaga pandangan yang independen.

Dalam tahap sintetis-konvensional, pandangan interpersonal mulai mun-cul. Kapasitas untuk menilai pandangan orang lain, dan khususnya teman sebaya mereka, dapat membuat remaja sangat sensitif dengan pandangan orang lain.

Pada tahap keempat, kepercayaan individuatif-reflektif (usia dewasa), merupakan tahap percobaan dan pergolakan, dimana individu mulai mengem-bangkan tanggung jawab pribadi terhadap kepercayaan dan perasaannya. Individu memperluas pandangannya untuk mencapai jalan dalam kehidupannya. Diri (identitas) dan pandangan berbeda dengan orang lain dan menjadi faktor utama

(21)

lain. Menurut Fowler, ada dua faktor penting yang menandai tahapan ini.

Pertama, individu harus mampu merefleksikan secara kritis keyakinan, nilai, dan

komitmen yang telah dibentuk pada tahap sebelumnya, sintetik-konvensional.

Kedua, individu harus berjuang di sepanjang masa moratorium (mengambil istilah

Marcia) untuk mengembangkan identitas diri yang didasarkan kepada kemampuan untuk berfikir secara independen pandangan-pandangan yang ditanam sebelum-nya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan selama tahapan ini sama dengan per-tanyaan eksistensial yang dihadapi oleh individu selama moratorium: Siapa kamu jika kamu bukan anak, siswa, teman, pekerja, dan seterusnya? Semua keyakinan yang dipegang sebelumnya dipertanyakan, keyakinan dan kepercayaan lain mulai dilihat untuk mempertimbangkan kemungkinan apakah nilai-nilai tersebut layak dipegang. Setelah terjadi eksplorasi ini, kepercayaan awal individu bisa saja di-tinggalkan atau ditolak, tapi jika dipertahankan, maka akan disertai dengan pilihan intensional (Fowler & Dell, 2004). Pengalaman spiritual remaja pada tahap ketiga dan sebagian tahap keempat akan diteliti dalam penelitian ini.

Pada tahap kelima, kepercayaan konjungtif (dewasa hingga tua), sese-orang mulai mengenali berbagai pertentangan yang terdapat dalam realitas keper-cayaannya. Terjadi transendensi terhadap kepercayaan dibalik simbol-simbol yang diwariskan oleh sistem. Tahap ini menggabungkan diri dan pandangan-pandangan yang banyak menekan dan tidak dikenali dalam beradaptasi dengan realitas secara afektif dan kognitif yang ada pada tahap empat. Tahap ini dicirikan dengan kematangan dan pola pikir dewasa yang mampu melihat kebenaran di semua jenis kepercayaan dan pandangan serta memiliki kemampuan, keinginan, dan keter-bukaan untuk ikut serta berdiskusi dengan kepercayaan lain yang berbeda untuk

(22)

memantapkan perkembangan dan pemahaman (Fowler & Dell, 2004). Gambaran singkatnya tahap ini adalah kemampuan untuk menghadapi dan memahami paradoks di sepanjang hidup. Pemahaman ini seringkali memunculkan keinginan untuk berhubungan dengan Tuhan (atau kekuatan yang lebih tinggi) dengan cara-cara yang baru dan berbeda.

Pada tahap keenam, kepercayaan universal (usia tua hingga meninggal), terjadi sesuatu yang disebut pencerahan. Manusia mengalami transendensi pada tingkat pengalaman yang lebih tinggi sebagai hasil dari pemahamannya terhadap lingkungan yang konfliktual dan penuh paradoksial. Orang yang pada tahap ini melihat semua orang sebagai makhluk yang harus ditolong dan diasuh, tidak per-duli jenis kelamin, etnis, usia, kelas sosial, agama, keyakinan politik, dan status ekonominya. Dia datang sebagai rahmatan lil alamin (mengambil istilah Islam). Orang ini tetap hidup sebagai manusia yang memiliki keterbatasan dan inkon-sistensi, tapi keinginan dan tindakannya sangat berbeda yaitu melihat semua orang bahagia. Tahap enam ini dianggap luar biasa, hanya beberapa orang saja yang mencapai tahapan ini, seperti Gandhi, Martin Luther King, dan Ibu Teresa (Fowler, 1981). Menurut Fowler, kebanyakan manusia berhenti pada tahap 4, dan kebanyakan tidak pernah mencapai tahap 5 dan tahap 6 (Hasan, 2006: 298).

b. Teori Daniel Helmeniak

Daniel Helmeniak juga sangat berpengaruh di bidang perkembangan spiritual. Dia seorang mantan pendeta, pendidik, professor dan filosuf yang minat terkininya adalah perkembangan spiritual homoseksual. Helmeniak (1987)

(23)

men-Loevinger dan model perkembangan kepercayaan Fowler. Helmeniak (1987) menyatakan, teori perkembangan Fowler dan Loevinger mencakup aspek-aspek perkembangan manusia yang sangat luas dan pengantar yang jelas tentang empat karakteristik perkembangan spiritual yang dia ciptakan tidak bertentangan dengan teori keduanya, tapi melengkapi dan menegaskan teori Fowler dan Loevinger. Dia meyakini bahwa perkembangan spiritual harus dilihat dengan kacamata yang sama dengan model perkembangan lain seperti perkembangan ego dan perkem-bangan moral.

Helmeniak (1987) mendefinisikan perkembangan spiritual dengan empat karakteristik: 1) prinsip intrinsik transendensi-diri yang otentik, 2) keterbukaan subyek terhadap prinsip ini, 3) integritas atau keutuhan subyek dalam bertanya, dan 4) seorang dewasa yang kritis dan tanggung jawab. Love (2002) lebih jauh menjelaskan bahwa yang dimaksud Helemeniak “otentik” adalah orang yang selalu berkomitmen untuk terbuka, bertanya, jujur, dan memiliki niat yang baik”. Seperti Fowler, Helmeniak (1987) menyatakan spiritualitasnya bukan sebuah fenomena agama, tapi sebuah fenomena manusia. Dia menyadari bahwa Tuhan adalah sentral dalam spiritualitas sebagian besar orang, tapi dia menekankan bahwa spiritualitas adalah komponen dasar manusia dan beragam agama hanyalah beragam cara dalam mengekspresikannya (Helmeniak, 1996).

Helmeniak (1987) menjelaskan dalam beberapa kesempatan bahwa per-kembangan spiritual hanya fenomena orang dewasa. Dia memberi penjelasan bahwa level perkembangan, bukan usia kronologis, yang membedakan apa yang dimaksud dengan “dewasa”. Titik awal perkembangan spiritual adalah “tahap

(24)

konformis”. Tahap ini dicirikan dengan perasaan yang mendalam dan pandangan yang sangat rasional, menerima dasar otoritas eksternal dan didukung oleh pene-rimaan orang lain. Ciri ini menyebabkan adanya keterbukaan kepada konsep bahwa remaja dapat mengalami pengalaman spiritual.

Teori spiritual Helmeniak mencakup lima tahap: Conformist, Conscien-tious/Conformist, Conscientious, Compassionate, dan Cosmic. Helmeniak (1987:78) percaya bahwa “perkembangan spiritual bisa muncul jika mulai me-ninggalkan Tahap Konformis (teori Loevinger, 1976) atau Synthetic-Conventional (teori Fowler, 1981), tapi perpindahan tahap itu sulit dan beresiko. Menurut teori Helmeniak perpindahan ini idealnya terjadi di masa dewasa awal, tapi jarang sekali terjadi ada pengabaian spiritual hingga usia baya.

Jarang juga terjadi orang terus berada pada Tahap Conformist atau Synthetic Convenstional atau terus berada pada level transisi (Conscienti-ous/Conformist) atau Self Aware (Loevinger) atau Tahap 3 dan 4 di sepanjang hidupnya. Tahap ini dicirikan dengan kemampuan seseorang untuk memegang teguh agama warisan dan mulai mempertanyakan dan mengambil tanggung jawab atas tindakan dan keyakinan. Menurut Love (2002:361-362) dua tahap ini me-wakili pengalaman remaja yang bergerak dari tahap pencarian pengakuan dan pengarahan dari lingkungan eksternal dalam pembuatan pemaknaan menuju kesadaran diri dan kebebasan diri.

c. Ken Wilber: Model Integral

(25)

Trans-spiritual. Sekalipun dianggap memiliki pandangan filosofis yang sangat kuat, dia telah memancing pendukung dan kritikus sekaligus terhadap karya-karyanya. Model integral Wilber adalah sebuah model yang kompleks yang menggabungkan beberapa model dari beberapa bidang dan dikumpulkan menjadi lima bagian: kuadran, garis, tipologis, kondisi, dan level/tahap (Wilber, 2000).

Wilber menjelaskan bahwa tidak hanya ada satu garis perkembangan seperti ego atau kognitif, tapi ada sekitar dua lusin garis seperti kognisi, moralitas, kreativitas, emosi, ego, identitas kelamin, dan spiritualitas dan tidak ada satu garispun yang bisa diklaim lebih berpengaruh daripada yang lainnya. Menurut Wilber, garis-garis ini relatif independen, yang berarti bahwa bagi sebagian besar orang dapat saling berkembang satu sama lain, pada level yang berbeda, dengan dinamika yang berbeda, dan pada waktu yang berbeda. Pada dasarnya orang bisa memiliki taraf tinggi secara kognitif, sedang pada kreativitas, dan rendah secara emosional pada saat yang sama. Sekalipun masing-masing garis independen, tapi garis-garis itu saling berhubungan.

Wilber (2000) mengambil kesimpulan bahwa sebagai manusia, orang bisa sampai ke tahap yang berbeda pada garis perkembangan yang berbeda, bisa juga mengalami kondisi yang mengkhawatirkan atau luar biasa (seperti peng-alaman hampir mati) pada setiap tahap kehidupan. Dia menjelaskan bahwa “cara kondisi atau realitas itu dialami dan diinterpretasi tergantung kepada sejauhmana tingkat perkembangan orang itu mencapai pengalaman puncak. Dengan kata lain, anak usia 15 tahun bisa memiliki pengalaman spiritual puncak tapi akan memahami dan menginterpretasinya dari orang yang dominan baginya yang

(26)

memiliki tahap perkembangan yang lebih stabil. Teori ini membuka peluang bagi remaja untuk memiliki pengalaman spiritual yang lebih tinggi yang mungkin tidak dialami oleh orang yang sudah sampai kepada tahap spiritual yang lebih atas.

D. SPIRITUALITAS REMAJA

Spiritualitas remaja, menurut Fowler (1981), berada dalam tahap tiga atau synthetic-conventional faith. Dalam tahapan ini yang dimulai pada masa remaja, keyakinan remaja bisa menjadi permanen pada masa dewasa jika tidak ada tantangan atau hambatan dalam masa remaja. Menurut Fowler (1981) tahapan ketiga ini adalah tahapan seorang yang konformis. Remaja menjalani keyakin-annya karena ada tuntutan dan penilaian orang lain dan belum memiliki pegangan yang kuat sebagai individu yang mandiri yang menjadi identitas dirinya. Dalam tahapan ini pandangan interpersonal sangat kuat sekali mengambil peran. Pandangan orang lainlah yang menjadi dorongan mereka menjalani keyakinannya, khususnya teman sebayanya. Nilai-nilai yang dimiliki teman-temannya sangat mengusik remaja untuk memilikinya dan menerapkan nilai-nilai yang dimiliki oleh para temannya (Fowler & Dell, 2004). Keadaan ini membuat para remaja sangat tergantung kepada orang lain, kepada keyakinan dan prinsip-prinsip yang dimiliki dan dijalankan oleh orang lain, terutama teman sebaya. Mereka melaku-kan ini sebagai afirmasi identitas mereka (Fowler & Dell, 2004).

Jika dilihat dari pandangan teori status identitas, maka teori Fowler ini masuk dalam status identitas foreclosure karena remaja membuat sebuah komit-men untuk komit-menjalankan keyakinannya dikarenakan ada faktor luar, baik oleh

(27)

keyakinan atau spiritualitasnya. Mereka menjalankan keyakinan karena sudah menjadi mafhum bahwa remaja harus menjalankannya tanpa harus ada bantahan atau sifat kritis. Remaja yang foreclosure memiliki sebuah ideologi tapi tidak pernah ada keinginan untuk mengkritisi ideologinya, bahkan tidak sadar akan ideologi yang dia miliki.

Selain itu, Fowler (1981) meyakini bahwa banyak literatur mengenai konversi remaja yang mengatakan bahwa dorongan religius remaja adalah untuk mengenal Tuhan yang mengetahui, menerima, dan menasbihkan dirinya begitu dalam, dan yang menjadi penjamin pasti dirinya dengan pembentukan mitos identitas dan keyakinan personal. Dorongan ini juga dapat dikaitkan dengan pengalaman seseorang dalam hal perasaan saling terikat dan percaya, positif atau negatif, selama berada dalam tahapan keyakinan yang mantap. Transisi menuju tahap keempat terjadi ketika ada perkembangan keyakinan atau ada potensi untuk menjadi keyakinan yang menetap, yang merupakan sebuah proses sadar dan aktif. Fowler (1981) mengatakan bahwa akan terjadi masa transisi ke tahapan keempat jika nilai, norma, dan keyakinan remaja mulai tertantang atau terhalangi, atau ketika status foreclosure remaja mulai berbenturan atau bertentangan dengan pengalaman baru. Seringkali pengalaman berada di luar rumah, baik secara fisik atau psikis, atau kedua-duanya, bisa membangkitkan eksplorasi diri, latar belakang, dan nilai yang mendorong menuju kepada tahapan transisi (Fowler, 1981). Sekali lagi merujuk kepada teori status identitas Marcia (1966, 1980), proses ini akan menjadi transisi ke arah status moratorium yang terjadi pada permulaan eksplorasi personal, spiritual, dan psikologis yang mendalam.

(28)

E. TEMUAN TEORITIS DAN EMPIRIS HUBUNGAN IDENTITAS DAN SPIRITUALITAS

Para pencipta teori perkembangan seperti Erikson (1950), Fowler (1981), Lerner dkk. (2003), Lerner & Alberts, dkk. (2005), Marcia (1980); semua menyatakan bahwa sangat mungkin pada remaja untuk melakukan eksplorasi dan komitmen kepada ideologi dan nilai-nilai seperti spiritualitas. Sebaliknya, Helmeniak (1996) menyatakan bahwa spiritualitas tidak akan muncul sampai masa dewasa. Selain itu, Lerner, Alberts dkk. (2005), Fowler (1981), Helmeniak (1996), serta Wilber (2000) setuju bahwa seperti perkembangan identitas, spiritu-alitas adalah perilaku manusia yang sangat jelas keberadaannya.

Satu cara untuk menghubungkan antara status identitas dan spiritualitas adalah mengambil model status identitas Marcia dan mengaplikasikannya ke dalam domain spiritualitas. Penelitian sebelumnya yang melakukan ini dalam menghubungkan antara status identitas dan domain spiritualitas adalah penelitian Griffith dan Griggs (2001) yang menulis artikel teoritis yang berjudul “Religious Identity Status as a Model to Understand, Assess, and Interact with Client Spirituality”. Kedua peneliti ini mengambil empat kategori identitas status dan menerapkan kerangka konseptual yang didefinisikan dengan eksplorasi dan komitmen dalam domain perkembangan identitas religius. Keduanya memberi istilah model mereka dengan “identitas religius”. Apa yang mereka lakukan bisa juga dilakukan pada domain spiritualitas. Griffith dan Griggs (2001) menyatakan bahwa orang secara religius diffused tidak melakukan eksplorasi spiritualitas mereka dan tidak juga ada usaha untuk melakukannya atau berkomitmen. Status

(29)

spiritualitas sebagai konformitas atau sekedar menjalani aturan yang ditetapkan oleh agama yang dianutnya agar diterima oleh lingkungannya. Status identitas

religius moratorium dialami seseorang jika orang itu mulai mempertanyakan

keyakinan religius mereka. Eksplorasi dalam identitas religius moratorium sangat penting dalam membentuk sebuah identitas yang terinternalisasi dan utuh. Identitas status religius achievement terjadi jika seseorang melakukan eksplorasi nilai dan keyakinan, kemudian nilai-nilai itu merasuk dan menyatu menjadi dirinya. Perubahan dari satu identitas ke identitas yang lain tidak linier. Identitas diffusion bisa langsung berubah ke achievement atau sebaliknya.

Penelitian yang selama ini dilakukan dalam psikologi lebih banyak me-ngaitkan status identitas dengan religiusitas daripada spiritualitas. Sanders (1998) meneliti hubungan antara identitas ego religius dan kematangan kepercayaan religius pada 292 mahasiswa Kristen (M=19,8 tahun). Dellas Identity Status Inventory-Religious Beliefs (DISI-R) dan the Faith Maturity Scale (FMS) digunakan dalam penelitian ini. Hasilnya menunjukkan bahwa orang dengan identitas diffusion kurang matang dalam keyakinan religius daripada tiga status yang lain. Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya tentang status identitas. Penelitian ini semuanya pada subyek Kristen yang mungkin berbeda pada subyek dengan keyakinan berbeda. Penelitian lainnya dilakukan oleh Markstorm-Adams, Hofstra, dan Dougher (1994) yang meneliti apakah ada perbedaan identitas antara dua kelompok remaja religius minoritas, dan apakah frekuensi kehadiran ke gereja sebagai bukti komitmen identitas. Penelitian ini terdiri dari 38 remaja Mormon dan 47 non-Mormon (Katolik dan Protestan) yang merupakan siswa SMA. Menurut penelitian ini, demografis religius 90% adalah

(30)

Mormon dan sisanya adalah religius kedaerahan yang lain. Dengan demikian kereligiusan mereka tidak berdasarkan kepada Katolik dan Protestan. Mereka juga menemukan bahwa kehadiran ke gereja bukan merupakan bukti komitmen iden-titas mereka. Penelitian terakhir adalah Fulton (1997) yang meneliti hubungan antara status identitas, orientasi religius, dan prasangka anti Kulit Hitam dan Homoseksual pada 176 orang Kaukasia, lulusan S1 Christian Liberal Arts College di California Utara. Penelitian ini menggunakan Extended Objective Measure of Ego-Identity Status (EOM-EIS) (Adams dkk. 1989), The Revised Age Universal Intrinsic-Extrinsic Measure (Gorsuch & McPherson, 1989). The Quest Scale (Q) (McFarland, 1989) dan alat ukur sikap anti-Kulit Hitam dan antihomoseksual. Peneliti ini mengajukan empat hipotesis: (a) partisipan dengan identitas achieved akan memiliki skor Intrinsic yang tinggi, skor Quest yang rendah, dan skor prasangka yang rendah daripada status identitas yang lain, (b) identitas mora-torium akan memiliki skor Q yang tinggi, skor I yang rendah, dan skor prasangka yang rendah, (c) identitas foreclosure akan memiliki social ekstrinsik (Es) dan ekstrinsik personal (Ep) yang tinggi, skor Q yang rendah, dan skor prasangka yang tinggi, dan (d) identitas diffusion akan memiliki skor I yang rendah dan skor prasangka yang tinggi. Hasilnya hampir semua hipotesis di atas terbukti dalam penelitian ini.

Berdasarkan penelitian di atas, maka selayaknya jika kita bisa mengambil kesimpulan untuk melakukan penelitian tentang identitas spiritualitas mahasiswa. Menurut penelitian-penelitian tadi, kaitan antara agama dan perkembangan identitas telah terbukti, tapi belum ditemukan pengalaman spiritual dengan status

(31)

Ada dua pendapat mengenai hubungan antara status identitas dan spiritualitas. Pertama, Erikson (1950), Fowler (1981), Lerner dkk. (2003), Lerner, Alberts dkk., (2005), dan Marcia (1980) yang berpendapat bahwa ada potensi dalam remaja untuk memiliki komitmen dan eksplorasi dalam perkembangan spiritualitas mereka. Sebaliknya, Helmeniak (1996) menyatakan bahwa tidak ada eksplorasi dan komitmen pada remaja dalam hal spiritualitas. Dia berpendapat bahwa pada masa dewasalah mulai berkembang spiritualitas yang sebenarnya. Memang pada masa apapun akan berkembang spiritualitas, tapi spiritualitas yang sebenar-benarnya berkembang ada pada masa dewasa.

F. KERANGKA BERPIKIR

Spiritualitas adalah konsep yang subyektif dalam hal pengalaman dan oleh kerena itu sulit untuk dikonsepkan (Reed, 1992). Karena sifatnya yang subyektif ini, ada beberapa cara untuk menghubungkan perkembangan identitas dengan spiritualitas, yaitu: (a) spiritualitas adalah sikap yang dimiliki pada tahap perkembangan manapun (Wilber, 2000), (b) spiritualitas berkembang dengan cara yang sama secara kognitif dan emosional (Fowler, 1981), dan (c) spiritualitas tidaklah tergantung kepada perkembangan kognitif tapi berhubungan dengannya (Fowler, 1981; Wilber, 2000). Tiga peteori ini sepakat bahwa spiritualitas adalah perilaku atau nilai manusia yang jelas, yang bisa dimiliki dan bisa berkembang sebagai proses antarwaktu seperti identitas. Namun, tiga peteori ini tidak membuat pembatasan yang jelas apakah mereka cenderung menilai spiritualitas sebagai perilaku atau proses. Faktanya, definisi spuiritualitas masih tetap samar dengan deskripsinya baik sebagai perilaku atau proses yang di lain waktu akan

(32)

meng-ancam validitas penelitian juga menciptakan kesulitan bagi penemuan validitas konstruk. Hasil dari penelitian ini akan menambah pembahasan untuk pencarian kejelasan yang lebih jauh. Untuk penelitian ini, hubungan antara identitas dan spiritualitas dipahami saling berkaitan (Benson, Roehkepartin, & Rude, 2003) dan begitu juga dengan konsep spiritualitas dan religiusitas, saling berkait, tapi tidak sampai saling bergantung satu sama lain (Elkins, Hedstrom, Hughes, Leaf, & Saunders, 1998).

Erikson (1959) menyatakan bahwa selama masa remaja wacana pem-bentukan identitas adalah proses yang mencakup pempem-bentukan makna yang abstrak. Dengan kata lain, proses perkembangan identitas adalah puncak dari kemampuan untuk mencari dan menghubungkan zat yang berada di atas diri. Lerner, Alberts dkk. (2005) memperluas rumusan teori Erikson bahwa proses ini, pembuatan makna abstrak dan pembuatan makna abstrak dan menghubungkan dengan zat yang lebih tinggi, pada dasarnya adalah spiritual.

Sama dengan Erikson (1950, 1959), Fowler (1981) menyatakan bahwa teori stataus identitas Marcia (1980) berdasarkan kepada asumsi bahwa remaja memiliki potensi untuk berkembang lebih sehat. Menurut Marcia (1980) teori status identitas tidak menjelaskan proses linier, tapi sebuah cara untuk meng-klasifikasikan remaja perkembangan identitas remaja yang tengah dijalani oleh remaja waktu itu dan mungkin akan berubah lagi di waktu lain.

   

(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. METODE PENELITIAN

Pendekatan penelitian ini adalah kuantitatif. Metode yang digunakan adalah metode survey dengan desain cross-sectional dan deskriptif dengan tiga instrumen kuesioner yaitu 1) kuesioner untuk mengungkap informasi demografis dari partisipan, 2) Ego Identity Process Questionnaire (EIPQ, Balistreri dkk., 1995), dan 3) Human Spiritual Scale (Wheat, 1991). Desain survey meneliti sebuah sampel dari sebuah populasi untuk memperoleh deskripsi kuantitatif tentang kecenderungan, sikap, atau opini sebuah populasi. Survey digunakan di banyak bidang ilmu, termasuk poendidikan, kesehatan, ekonomi, dan psikologi (Fink, 2003). Survey yang baik memiliki enam karakter, tujuan yang bisa dicapai dan spesifik, desain penelitian yang jelas, populasi dan sampel yang bisa di-jangkau, instrumen yang reliabel dan valid, analisis yang tepat, dan pelaporan hasil yang akurat (Fink, 2003).

Disini, alasan pengambilan metode survey sebagai metode penelitian adalah karena dengan survey dapat dilakukan generalisasi pada sebuah populasi dengan beradasarkan kepada sampel yang kecil dan dengan cepat dapat mem-peroleh data yang besar dan beragam.

B. SUBYEK PENELITIAN

Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah mahasiswa UPI dengan rentang usia 18 sampai 22 tahun. Setiap fakultas diambil rata-rata 60 mahasiswa. Berikut adalah gambaran mahasiswa yang menjadi subyek penelitian.

(34)

Tabel 3.1

Daftar Jumlah Subyek di Setiap Fakultas

Fakultas Subyek

Ilmu Pendidikan 74 orang

Pendidikan Ekonomi dan Bisnis 63 orang

Pendidikan Bahasa dan Seni 67 orang

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial 64 orang

Pendidikan Olahraga dan Kesehatan 60 orang

Pendidikan Tekonologi dan Kejuruan 70 orang

Pendidikan Mat. dan Ilmu Pengetahuan Alam 68 orang

C. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai bulan September 2009. Lokasi penelitian adalah Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.

D. INSTRUMEN

Ada tiga kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu 1) kue-sioner untuk mengungkap informasi demografis dari partisipan, 2) Ego Identity Process Questionnaire (EIPQ, Balistreri dkk., 1995), yang telah diadaptasi ke bahasa Indonesia yang digunakan untuk menentukan status identitas partisipan, 3) Human Spiritual Scale (Wheat, 1991) yang juga telah diadaptasi ke bahasa Indonesia yang didesain untuk mengukur seberapa tinggi tingkat spiritualitas partisipan.

1. Kuesioner Demografis

(35)

diri mereka sendiri apakah religius atau spiritual dan kedua-duanya sekaligus. Selain itu juga diminta informasi tentang jenis kelamin dan usia.

a. Ego Identity Process Quetionaire

Skala ini terdiri dari dua subskala yaitu skala eksplorasi dan komitmen. Dalam dua skala tersebut akan ditentukan mahasiswa yang memiliki tingkat eksplorasi rendah dan tinggi dan komitmen rendah dan tinggi. Skala ini terdiri dari 32 item dengan msing-masing 16 item untuk subskala eksplorasi dan komit-men. Skala menggunakan skala Likert dengan lima kategori jawaban.

Skala ini telah melalui analisis item dengan teknik korelasi item-total terkoreksi dan analisis reliabilitas dengan metode Alpha. Item-item dalam eksplorasi yang layak digunakan adalah 10 item dan demikian juga dengan item-item dalam skala komitmen. Selain itu, reliabilitas kedua skala juga diperoleh melalui SPSS dengan tingkat reliabilitas yang sedang. Berikut adalah korelasi item total 10 item final dan estimasi reliabilitas skala ini:

1) Analisis Item dan Reliabilitas Skala Eksplorasi

Tabel 3.2

Analisis Item dan Reliabilitas Skala Eksplorasi

R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A)

Mean Std Dev Cases 1. VAR00001 5.2022 1.3479 465.0 2. VAR00002 3.5892 1.7742 465.0 3. VAR00005 5.0366 .8934 465.0 4. VAR00008 4.1849 1.1672 465.0 5. VAR00009 4.3011 1.0746 465.0 6. VAR00010 4.8538 .8735 465.0 7. VAR00012 4.4323 .9332 465.0 8. VAR00013 3.3806 1.0982 465.0 9. VAR00014 4.5097 1.0131 465.0 10. VAR00016 3.3075 1.5278 465.0

(36)

N of Statistics for Mean Variance Std Dev Variables SCALE 42.7978 37.5840 6.1306 10 Item-total Statistics

Scale Scale Corrected

Mean Variance Item- Alpha if Item if Item Total if Item Deleted Deleted Correlation Deleted VAR00001 37.5957 30.8836 .3260 .6637 VAR00002 39.2086 28.3249 .3236 .6749 VAR00005 37.7613 32.5226 .4184 .6517 VAR00008 38.6129 31.2378 .3820 .6526 VAR00009 38.4968 32.8281 .2924 .6683 VAR00010 37.9441 31.6951 .5212 .6381 VAR00012 38.3656 32.6635 .3796 .6563 VAR00013 39.4172 32.9764 .2697 .6721 VAR00014 38.2882 32.3047 .3693 .6565 VAR00016 39.4903 29.7160 .3322 .6652 Reliability Coefficients N of Cases = 465.0 N of Items = 10 Alpha = .6830

Dari sepuluh item yang dipilih jadi item final ada beberapa item yang memiliki korelasi item total yang lebih kecil dari 0,3. Item-item itu diambil karena jika item tersebut dihapus maka itemnya tidak memadai untuk dipakai mengukur eksplorasi. Item-item itu dimsukkan dengan pertimbangan bahwa item-item itu tidak begitu jauh dari 0,3. Item-item itu berada diatas 0,25 yang merupakan nilai yang bisa diterima jika kondisi mendesak.

Reliabilitas skala ini sebesar 0,683 yang cukup untuk dikatakan tinggi untuk skala yang hanya berisikan 10 item.

(37)

2) Analisis Item dan Reliabilitas Skala Komitmen Tabel 3.3

Analisis Item dan Reliabilitas Skala Komitmen RELIABILITY ANALYSIS - SCALE (ALPHA) Mean Std Dev Cases 1. VAR00001 5.0944 .8268 466.0 2. VAR00002 4.3820 1.0716 466.0 3. VAR00003 5.0365 .9116 466.0 4. VAR00005 5.1567 .8596 466.0 5. VAR00006 2.9464 1.2509 466.0 6. VAR00010 4.7511 .9494 466.0 7. VAR00012 3.9528 1.1958 466.0 8. VAR00013 4.1717 1.1624 466.0 9. VAR00015 4.4893 1.1307 466.0 10. VAR00016 3.9206 1.3361 466.0 N of Statistics for Mean Variance Std Dev Variables SCALE 43.9013 29.7795 5.4571 10 Item-total Statistics

Scale Scale Corrected

Mean Variance Item- Alpha if Item if Item Total if Item Deleted Deleted Correlation Deleted VAR00001 38.8069 25.7863 .3942 .6438 VAR00002 39.5193 24.9383 .3450 .6484 VAR00003 38.8648 26.3666 .2758 .6607 VAR00005 38.7446 26.1389 .3301 .6527 VAR00006 40.9549 24.9894 .2579 .6682 VAR00010 39.1502 25.3838 .3653 .6459 VAR00012 39.9485 24.5092 .3243 .6530 VAR00013 39.7296 23.3590 .4512 .6260 VAR00015 39.4120 24.5697 .3507 .6472 VAR00016 39.9807 23.9072 .3128 .6578 Reliability Coefficients N of Cases = 466.0 N of Items = 10 Alpha = .6741

Dari sepuluh item yang dipilih jadi item final ada beberapa item yang memiliki korelasi item total yang lebih kecil dari 0,3. Item-item itu diambil karena jika item tersebut dihapus maka itemnya tidak memadai untuk dipakai mengukur eksplorasi. Item-item itu dimsukkan dengan pertimbangan bahwa item-item itu tidak begitu jauh dari 0,3. Item-item itu berada diatas 0,25 yang merupakan nilai

(38)

yang bisa diterima jika kondisi mendesak. Reliabilitas skala ini sebesar 0,674 yang cukup untuk dikatakan tinggi untuk skala yang hanya berisikan 10 item.

Berdasarkan tingkat eksplorasi dan komitmen akan ditentukan status identitas mereka dengan skema kuadran sebagai berikut:

Gambar 3.1

Kuadran Status Identitas

Penentuan tingkat atau norma penyekoran eksplorasi sebagai berikut:

Tabel 3.4

Norma Skor Eksplorasi

Kategori Skoring Tinggi >M = >43 Rendah ≤M = ≤43

Sedangkan, penentuan tingkat atau norma penyekoran komitmen adalah sebagai berikut:

Tabel 3.5 Norma Skor Komitmen

Kategori Skoring Tinggi >M = >44 Rendah ≤M = ≤44

(39)

b. Human Spiritual Scale

Skala ini terdiri dari 16 item pernyataan dalam bentuk skala Likert yang terdiri dari lima kategori jawaban. Skor skala ini adalah skor total dari 16 item yang direspons oleh responden. Skala ini memiliki reliabilitas yang tinggi. Berikut adalah tabel reliabilitas skala Human Spiritual Scale.

1) Analisis Item dan Reliabilitas Human Spiritual Scale Tabel 3.6

Analisis Item dan Reliabilitas Human Spiritual Scale

R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Mean Std Dev Cases

1. VAR00002 2.2500 1.2634 464.0 2. VAR00003 3.4009 .9742 464.0 3. VAR00005 4.5625 .6063 464.0 4. VAR00006 4.2823 .7465 464.0 5. VAR00007 4.4375 .6134 464.0 6. VAR00008 3.9461 .7909 464.0 7. VAR00009 3.4698 .8664 464.0 8. VAR00010 4.3815 .6854 464.0 9. VAR00011 4.4784 .6436 464.0 10. VAR00012 4.1918 .6923 464.0 11. VAR00014 4.1207 .7569 464.0 12. VAR00015 3.1983 .9612 464.0 13. VAR00017 3.6573 .7948 464.0 14. VAR00018 3.9763 .7647 464.0 15. VAR00019 4.2198 .7253 464.0 16. VAR00020 3.6961 .8795 464.0 N of Statistics for Mean Variance Std Dev Variables SCALE 62.2694 41.4499 6.4382 16

Item-total Statistics

Scale Scale Corrected

Mean Variance Item- Alpha if Item if Item Total if Item Deleted Deleted Correlation Deleted VAR00002 60.0194 35.3538 .2995 .7986 VAR00003 58.8685 35.8164 .4017 .7828 VAR00005 57.7069 38.8642 .2934 .7894 VAR00006 57.9871 37.4296 .3791 .7840

(40)

VAR00007 57.8319 37.9069 .4193 .7825 VAR00008 58.3233 36.3532 .4688 .7775 VAR00009 58.7996 36.5278 .3983 .7826 VAR00010 57.8879 36.7347 .5110 .7760 VAR00011 57.7909 37.2931 .4761 .7788 VAR00012 58.0776 37.4324 .4177 .7818 VAR00014 58.1487 37.6215 .3506 .7859 VAR00015 59.0711 36.5068 .3460 .7875 VAR00017 58.6121 37.5425 .3363 .7870 VAR00018 58.2931 36.1990 .5071 .7750 VAR00019 58.0496 37.2956 .4096 .7821 VAR00020 58.5733 36.0205 .4410 .7792 RELIABILITY ANALYSIS - SCALE (ALPHA)

Reliability Coefficients

N of Cases = 464.0 N of Items = 16 Alpha = .7939

Penentuan tingkat atau norma penyekoran spiritualitas adalah sebagai berikut:

Tabel 3.7

Dasar Norma Skor Spiritualitas

Kategori Dasar Skoring Tinggi M + ×(1 SD)< X

Sedang M − ×(1 SD)< XM+ ×(1 SD) Rendah XM− ×(1 SD)

Dengan patokan penyekoran diatas maka setiap batas skor diperoleh sebagai berikut: 1 63 1 6 69 + × = + × = M ( SD) ( ) 1 63 1 6 57 − × = − × = M ( SD) ( )

(41)

Dengan batasan itu maka akan diperoleh kategori skor sebagai berikut:

Tabel 3.8

Norma Skor Spiritualitas

Kategori Dasar Skoring Tinggi >69

Sedang 58 69− Rendah ≤57

E. ANALISIS DATA

Ada beberapa analisis yang digunakan dalam penelitian ini:

1) Analisis deskriptif, yaitu menggambarkan dengan tabel frekuensi-frekuensi, rata-rata, deviasi standar, yang berkaitan dengan data dalam beberapa kelompok. Kelompok yang akan dideskripsikan adalah deskripsi tingkat univer-sitas, fakultas dan setiap status identitas.

2) Uji korelasi, yaitu korelasi antara status identitas dan tingkat spiritualitas. Statistik yang digunakan dalam uji korelasi ini adalah korelasi kontingensi, karena dua variabel (status identitas) memiliki level pengukuran nominal. Level pengukuran dua variabel itu nominal karena responden dikelompokkan dalam empat kelompok status identitas dan tiga kelompok tingkat spiritualitas.

3) Melakukan uji beda tingkat spiritualitas untuk antar status identitas, jenis kelamin, usia, dan perasaan akan pentingnya religius dan spiritualitas. Analisis ini akan menggunakan ujit t dan analysis of variance (ANOVA).

(42)

4) Analisis demografis. Analisis menggambarkan bagiamana kaitan antara karakteristik demografis subyek berkaitan dengan variable eksplorasi, komitmen, dan spiritualitas. Variabel demografis diantaranya usia, jenis kelamin, perasaan pentingnya religiusitas, perasaan pentingnya spiritualitas, dan penilaian diri apakah sebagai orang yang religius atau spiritualitas.

   

(43)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. GAMBARAN DEKSRIPTIF UNIVERSITAS DAN FAKULTAS 1. Universitas Pendidikan Indonesia

Tabel 4.1

Statistik Deksriptif Eksplorasi, Komitmen, dan Spiritualitas Mahasiswa UPI

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

EKSPLORASI KOMITMEN SPIRITUALITAS

Mean 42.7918 43.9013 62.8090 N 466 466 466 Std. Deviation 6.12536 5.45706 6.38041 Minimum 23.00 21.00 43.00 Maximum 60.00 59.00 80.00 Variance 37.520 29.779 40.710 Range 37 38 37 a. Eksplorasi

Rata-rata eksplorasi mahasiswa UPI sebesar 42,79 dengan skor paling rendah sebesar 23 dan skor paling tinggi sebesar 60. Skor terendah yaitu 23 berarti memililiki rata-rata skor item sebesar 2,3 dan skor ini jauh lebih tinggi dari skor teoritis paling rendah yaitu 10. Skor tertinggi memiliki rata-rata skor item sebesar 6 atau skor paling maksimal yang bisa dicapai dalam skala eksplorasi yang jumlah itemnya sebanyak 10 item dengan opsi jawaban sebanyak 6 dengan rentang skor 1 sampai 6.

b. Komitmen

Rata-rata komitmen mahasiswa UPI sebesar 42,79 dengan skor paling rendah sebesar 21 dan skor paling tinggi sebesar 59. Skor terendah yaitu 21 berarti

(44)

memililiki rata-rata skor item sebesar 2,1 dan skor ini jauh lebih tinggi dari skor teoritis paling rendah yaitu 10. Skor tertinggi memiliki rata-rata skor item sebesar 5,9 atau hanya berbeda 0,01 dengan skor paling maksimal yang bisa dicapai dalam skala komitmen yang jumlah itemnya sebanyak 10 item dengan opsi jawaban sebanyak 6 dengan rentang skor 1 sampai 6.

c. Spiritualitas

Rata-rata spiritualitas mahasiswa UPI sebesar 62,81 dengan skor paling rendah sebesar 43 dan skor paling tinggi sebesar 80. Skor terendah yaitu 43 memiliki rata-rata skor item sebesar 2,6 dan skor ini jauh lebih tinggi dari skor teoritis paling rendah yaitu 16. Skor tertinggi memiliki rata-rata skor item sebesar 5 atau berbeda 1 skor dengan rata-rata skor paling maksimal yang bisa dicapai dalam skala spiritualitas yang jumlah itemnya sebanyak 16 item dengan opsi jawaban sebanyak 6 dengan rentang skor 1 sampai 6.

Tabel 4.2

Frekuensi Tingkat Spiritualitas Mahasiswa UPI

99 21.2 21.2 21.2 294 63.1 63.1 84.3 73 15.7 15.7 100.0 466 100.0 100.0 Rendah Sedang Tinggi Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Sebagian besar mahasiswa UPI tingkat spiritualitasnya sedang, yaitu sebesar 63 persen. Sebagian lain mereka memiliki tingkat spiritualitas rendah yaitu sebesar 21,2 persen yang sedikit lebih banyak dari tingkat spiritualitas tinggi yang sebesar 15,7 persen. Bahkan diantara mereka yang memiliki spiritualitas

(45)

d. Status Identitas

Tabel 4.3

Status Identitas Mahasiswa UPI

111 23.8 23.8 23.8 156 33.5 33.5 57.3 100 21.5 21.5 78.8 99 21.2 21.2 100.0 466 100.0 100.0 Achievement Diffusion Foreclosure Moratorium Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Dari 466 mahasiswa yang menjadi sampel dalam penelitian ini, paling banyak status identitas mereka adalah diffusion, yaitu sebanyak 156 mahasiswa atau sebesar 33,5 persen. Jumlah mahasiswa yang masuk ke status identitas achievement sebanyak 111 mahasiswa atau sebesar 23,8 persen atau yang terbanyak kedua setelah diffusion. Selanjutnya, status identitas foreclosure sebanyak 100 mahasiswa atau sebesar 21,5 persen atau terbanyak ketiga dan ter-banyak terakhir adalah status identitas moratorium, yaitu seter-banyak 99 mahasiswa atau 21,2 persen.

2. Fakultas Ilmu Pendidikan

Tabel 4.4

Statistik Deksriptif Eksplorasi, Komitmen, dan Spiritualitas Mahasiswa UPI Fakultas Ilmu Pendidikan

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

EKSPLORASI KOMITMEN SPIRITUALITAS

Mean 44.0000 42.6892 63.2027 N 74 74 74 Std. Deviation 5.56899 4.95991 6.64559 Minimum 24.00 30.00 43.00 Maximum 58.00 54.00 79.00 Variance 31.014 24.601 44.164

Gambar

Gambar 2.1   Kategori Status Identitas
Tabel Anova Eksplorasi antar Mahasiswa   Fakultas-fakultas Se-UPI  EKSPLORASI 473.419 6 78.903 2.134 .048 16973.390 459 36.979 17446.809 465Between GroupsWithin GroupsTotalSum of
Tabel Anova Komitmen antar Mahasiswa   Fakultas-fakultas Se-UPI  KOMITMEN 521.267 6 86.878 2.992 .007 13326.193 459 29.033 13847.459 465Between GroupsWithin GroupsTotalSum of
Tabel Kontingensi Hubungan Status Identitas dan Spiritualitas   Mahasiswa UPI  Count 19 62 30 111 44 102 10 156 17 69 14 100 19 61 19 99 99 294 73 466AchievementDiffusionForeclosureMoratoriumSTATUSIDENTITASTotal

Referensi

Dokumen terkait

Agar dapat diketahui perubahan kecepatan akibat gaya sentrifugal di tikungan, maka seluruh data hasil pengukuran kecepatan pada lokasi 3 (tiga) dibuatkan hubungan

diartikan sebagai suatu proses berpikir yang menggunakan pengetahuan matematika dalam menghadapi suatu permasalahan untuk mencari jalan keluar atau menemukan solusi dari

Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah kualitas mikrobiologik keju impor dengan judul: Kajian Tingkat Keamanan Keju Impor Ditinjau dari Pencemaran

Sesuai dengan Pasal 1 angka 2 dalam Ketentuan Umum Undang-Undang No.5 tahun 1999, “Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha

(2) Subbagian Perencanaan Program II mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan koordinasi dan penyusunan rencana pendayagunaan hasil penelitian, pengembangan,

yang berasal dari Neraca Publikasi Komponen Permodalan (Bahasa Indonesia) Jumlah (Dalam Juta Rupiah) Modal Inti Utama (Common Equity Tier I) /CET 1: Instrumen dan.. Tambahan

Silinder kerja hidrolik merupakan komponen utama yang berfungsi untuk merubah dan meneruskan daya dari tekanan fluida, dimana fluida akan mendesak piston yang

Tuturan yang ada dalam spanduk di wilayah kota Surakarta setelah dianalisis ditemukan data yang berupa tindak tutur ilokusi dengan bentuk asertif yang meliputi