• Tidak ada hasil yang ditemukan

Syariat Hakikat Tarikat and Makrifat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Syariat Hakikat Tarikat and Makrifat"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

Di zaman saat ini seorang muslim terkadang telah dipusingkan atau dikotak-kotak dalam

perbedaan antara Syari'at, Tarekat, Hakikat dan Makrifat. Sebenarnya apa itu semua, apakah itu

sebuah kajian akademik ataukah sebuah dogma.

Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat

Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh

kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, syariat Islam merupakan panduan

menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini.

Sumber syariat adalah Al-Qur'an, As-Sunnah.

Tarekat (Bahasa Arab:

قرط

, transliterasi: Tariqah) berarti "jalan" atau "metode", dan mengacu

pada aliran kegamaan tasawuf atau sufisme/ mistisme Islam. Di zaman sekarang ini, tarekat

merupakan jalan (pengajian) yang mengajak ke jalan Ilahiyah dengan cara suluk (taqarrub) yang

biasanya dilakukan oleh salik.

Hakikat (Haqiqat) adalah kata benda yang berarti kebenaran atau yang benar-benar ada. Yng

berasal dari kata hak (al-Haq), yang berarti milik (kepunyaan) atau benar (kebenaran). kata Haq,

secara khusus oleh orang-orang sufi sering digunakan sebagai istilah untuk Allah, sebagai pokok

(sumber) dari segala kebenaran, sedangkan yang berlawanan dengan itu semuanya

disebut batil (yang tidak benar)

Makrifat berarti pengetahuan yang hakiki tentang Ilahiyah. Dengan orang menjalankan Syari'at,

masuk Tarekat, kemudian ber-Hakikat untuk mendapatkan Makrifatullah sehingga menjadi

hamba yang selalu mendekatkan diri setiap detik hanya ke Allah.

Lantas bagaimana jalannya

Seharusnya orang yang mengaku ber-Tarekat, ber-Hakikat dan ber-Makrifat harus berada

didalam Syari'at.

Seharusnya perjalan spritual berasal dari Makrifat yang berarti berpengetahuan meluas dalam

memahami Islam baik dalam Al-Qur'an, Hadis, Usul Fiqih, Balaghoh, 'Ard, dan Bahasa. Dengan

keluasan makrifat orang akan mendapat Hakikat Ilahiyah yang melahirkan gerakan tarekat dan

berujung pada inti Islam yang tidak lain Syari'at.

Perjalan Nabi Muhammad Saw dimulai dari ma’rifat, tarekat, hakikat dan akhirnya sampai pada

syariat.

Makrifat adalah bertemu dan mencairnya kebenaran yang hakiki: yang disimbolkan saat

Muhammad saw bertemu jibril, hakikat saat dia mencoba untuk merenungkan berbagai perintah

untuk iqra, tarekat saat muhammad saw berjuang untuk menegakkan jalannya dan syariat adalah

saat muhammad saw mendapat perintah untuk sholat saat isra mikraj yang merupakan puncak

pendakian tertinggi yang harus dilaksanakan oleh umat muslim.

Munculnya istilah Tarekat, Hakikat, dan Makrifat dalam akademisi kajian Islam jauh setelah

wafatnya Rasulullah Saw sekitar abad 5 Hijriyah. Sekitar zaman Hujjatul Islam Syeh Imam

(2)

Al-Ghazaly Asy-Syafi'i yang menyendiri dari kajian ilmiyah (falsafah) setelah menulis Tahafut

al-Falasifah. Kemuadian Al-Ghazali menjadi Sufi Sejati dengan menulis kitab sufi Ihya

Ulumuddin. kemudian dunia Islam Timur Tengah tenggelam dalam sufi. Dan kemajuan Islam

hanya di daerah Mongol, Turki, dan Spanyol yang diprakarsai Ibn Rusdi.

Tidak seharusnya seorang muslim sejati mengkotak-kotakan ini Syari'ah, ini Tarekat, ini

Hakekat, ini Makrifat, karena yang berkata demikian hanyalah orang yang tidak banyak

mengetahui ke-ilmuan Islam secara holistik.

Saidi Syekh Muhammad Hasyim Al-Khalidi guru Mursyid dari Ayahanda Prof. Dr. Saidi Syekh Kadirun Yahya MA. M.Sc mengibaratkan syariat laksana baju sedangkan hakikat ibarat badan. Dalam beberapa pantun yang Beliau ciptakan tersirat pesan-pesan tentang pentingnya merawat tubuh sebagai perhatian utama sedangkan merawat baju

juga tidak boleh dilupakan.

Imam Malik mengatakan bahwa seorang mukmin sejati adalah orang yang mengamalkan syariat dan hakikat secara bersamaan tanpa meninggalkan salah satunya. Ada adagium cukup terkenal, “Hakikat tanpa syariat adalah kepalsuan, sedang

syariat tanpa hakikat adalah sia-sia.” Imam Malik berkata, “Barangsiapa bersyariat tanpa berhakikat, niscaya ia akan menjadi fasik. Sedang yang berhakikat tanpa bersyariat, niscaya ia akan menjadi zindik.Barangsiapa menghimpun keduanya [syariat dan hakikat], ia benar-benar telah berhakikat.”

Syariat adalah hukum-hukum atau aturan-aturan dari Allah yang disampaikan oleh Nabi untuk dijadikan pedoman kepada manusia, baik aturan ibadah maupun yang lainnya. Apa yang tertulis dalam Al-Qur’an hanya berupa pokok ajaran dan bersifat universal, karenanya Nabi yang merupakan orang paling dekat dengan Allah dan paling memahami Al-Qur’an menjelaskan aturan pokok tersebut lewat ucapan dan tindakan Beliau, para sahabat menjadikan sebagai pedoman kedua yang dikenal sebagai hadist. Ucapan Nabi bernilai tinggi dan masih sarat dengan simbol-simbol yang memerlukan keahlian untuk menafsirkannya.

Para sahabat sebagai orang-orang pilihan yang dekat dengan nabi merupakan orang yang paling memahami nabi, mereka paling mengerti akan ucapan Nabi karena memang hidup sezaman dengan nabi. Penafsiran dari para sahabat itulah kemudian diterjemahkan dalam bentuk hukum-hukum oleh generasi selanjutnya. Para ulama sebagai pewaris ilmu Nabi melakukan ijtihad, menggali sumber utama hukum Islam kemudian menterjemahkan sesuai dengan perkembangan zaman saat itu, maka lahirlah cabang-cabang ilmu yang digunakan sampai generasi sekarang. Sumber hukum Islam itu kemudian dikenal memiliki 4 pilar yaitu : Al-Qur’an, Hadist, Ijmak dan Qiyas, itulah yang kita kenal dengan syariat Islam.

(3)

Untuk melaksanakan Syariat Islam terutama bidang ibadah harus dengan metode yang tepat sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan apa yang dilakukan Rasulullah SAW sehingga hasilnya akan sama. Sebagai contoh sederhana, Allah memerintahkan kita untuk shalat, kemudian Nabi melaksanakannya, para sahabat mengikuti. Nabi mengatakan, “Shalatlah kalian seperti aku shalat”. Tata cara shalat Nabi yang disaksikan oleh sahabat dan juga dilaksanakan oleh sahabat kemudian dijadikan aturan oleh Ulama, maka kita kenal sebagai rukun shalat yang 13 perkara. Kalau hanya sekedar shalat maka aturan 13 itu bisa menjadi pedoman untuk seluruh ummat Islam agar shalatnya standar sesuai dengan shalat Nabi. Akan tetapi, dalam rukun shalat tidak diajarkan cara supaya khusyuk dan supaya bisa mencapai tahap makrifat dimana hamba bisa memandang wajah Allah SWT.

Ketika memulai shalat dengan “Wajjahtu waj-hiya lillaa-dzii fatharas-samaawaati

wal-ardho haniifam-muslimaw- wamaa ana minal-musy-rikiin..” Kuhadapkan wajahku kepada wajah-Nya Zat yang menciptakan langit dan bumi, dengan keadaan lurus dan berserah diri, dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang musyrik.

Seharusnya seorang hamba sudah menemukan chanel atau gelombang kepada Tuhan, menemukan wajahnya yang Maha Agung, sehingga kita tidak termasuk orang musyrik menyekutukan Tuhan. Kita dengan mudah menuduh musyrik kepada orang lain, tanpa sadar kita hanya mengenal nama Tuhan saja sementara yang hadir dalam shalat wajah-wajah lain selain Dia. Kalau wajah-wajah-Nya sudah ditemukan di awal shalat maka ketika sampai kepada bacaan Al-Fatihah, disana benar-benar terjadi dialog yang sangat akrab antara hamba dengan Tuhannya.

Syariat tidak mengajarkan hal-hal seperti itu karena syariat hanya berupa hukum atau aturan. Untuk bisa melaksanakan syariat dengan benar, ruh ibadah itu hidup, diperlukan metodologi pelaksanaan teknisnya yang dikenal dengan Tariqatullah jalan kepada Allah yang kemudian disebut dengan Tarekat. Jadi Tarekat itu pada awalnya bukan perkumpulan orang-orang mengamalkan zikir. Nama Tarekat diambil dari sebuah istilah di zaman Nabi yaitu Tariqatussiriah yang bermakna Jalan Rahasia atau Amalan Rahasia untuk mencapai kesempurnaan ibadah. Munculnya perkumpulan Tarekat dikemudian hari adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar orang-orang dalam ibadah lebih teratur, tertib dan terorganisir seperti nasehat Syaidina Ali bin Abi Thalib kw, “Kejahatan yang terorganisir akan bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”.

Kalau ajaran-ajaran agama yang kita kenal dengan syariat itu tidak dilaksanakan dengan metode yang benar (Thariqatullah) maka ibadah akan menjadi kosong hanya sekedar memenuhi kewajiban agama saja. Shalat hanya mengikuti rukun-rukun dengan gerak kosong belaka, badan bergerak mengikuti gerakan shalat namun hati berkelana

(4)

kemana-mana. Sepanjang shalat akan muncul berjuta khayalan karena ruh masih di alam dunia belum sampai ke alam Rabbani.

Ibadah haji yang merupakan puncak ibadah, diundang oleh Maha Raja Dunia Akhirat, seharusnya disana berjumpa dengan yang mengundang yaitu Pemilik Ka’bah, pemilik dunia akhirat, Tuhan seru sekalian alam, tapi yang terjadi yang dijumpai disana hanya berupa dinding dinding batu yang ditutupi kain hitam. Pada saat wukuf di arafah itu adalah proses menunggu, menunggu Dia yang dirindui oleh sekalian hamba untuk hadir dalam kekosongan jiwa manusia, namun yang ditunggu tak pernah muncul.

Disini sebenarnya letak kesilapan kaum muslim diseluruh dunia, terlalu disibukkan aturan syariat dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan syariat itu dengan benar yaitu Tarekat. Ketika ilmu tarekat dilupakan bahkan sebagian orang bodoh menganggap ilmu warisan nabi ini sebagai bid’ah maka pelaksanaan ibadah menjadi kacau balau. Badan seolah-olah khusuk beribadah sementara hatinya lalai, menari-nari di alam duniawi dan yang didapat dari shalat itu bukan pahala tapi ancaman Neraka Wail. Harus di ingat bawah “Lalai” yang di maksud disana bukan sekedar tidak tepat waktu tapi hati sepanjang ibadah tidak mengingat Allah. Bagaimana mungkin dalam shalat bisa mengingat Allah kalau diluar shalat tidak di latih ber-Dzikir (mengingat) Allah? dan bagaimana mungkin seorang bisa berdzikir kalau jiwanya belum disucikan? Urutan latihannya sesuai dengan perintah Allah dalam surat Al ‘Ala, “Beruntunglah orang yang telah disucikan jiwanya/ruhnya, kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhan dan kemudian menegakkan shalat”.

Kesimpulan dari tulisan singkat ini bahwa sebenarnya tidak ada pemisahan antara ke empat ilmu yaitu Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat, ke empatnya adalah SATU. Iman dan Islam bisa dijelaskan dengan ilmu syariat sedangkan maqam Ihsan hanya bisa ditempuh lewat ilmu Tarekat. Ketika kita telah mencapai tahap Makrifat maka dari sana kita bisa memandang dengan jelas bahwa ke empat ilmu tersebut tidak terpisah tapi SATU.

Tulisan ini saya tulis dalam perjalanan ziarah ke Maqam Guru saya tercinta, teringat pesan-pesan Beliau akan pentingnya ilmu Tarekat sebagai penyempurnaan Syariat agar mencapai Hakikat dan Makrifat. Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi renungan dan memberikan manfaat untuk kita semua. Amin!

SYARIAT TARIKAT HAKIKAT dan MAKRIFAT

Ini hanyalah deskripsi yang hanya dapat di pahami secara konteks bukan dari apa yang

tertulis.pemahaman secara teks akan menimbulkan perdebatan,hanya melalui

(5)

perasaanlah ini dapat di pahami.

Bagi yang belum memahami semoga ini tidak menimbulkan pemahaman yang keliru

karena ungkapan ungkapan ini hanya dapat dimengerti oleh mereka yang telah

mempelajari serta memahami...

Syariat itu Zahir

Tarikat itu Batin

Hakikat itu Akhir

Makrifat itu Awal

Syariat itu Fi'il

Tarikat itu Asma

Hakikat itu Sifat

Makrifat itu zat

Syariat itu dengan Lidah

Tarikat itu dengan Hati

Hakikat itu dengan Nyawa

Makrifat itu dengan sir / rahasia

Syariat itu Syuhud

Tarikat itu Nur

Hakikat itu Ilmu

Makrifat itu Ujud

Syariat itu Islam

Tarikat itu Iman

Hakikat itu Tauhid

Makrifat itu Pengakuan

Lahir dan batin

Syariat itu Tubuh

Tarikat itu Nyawa

Hakikat itu Rahsia

Makrifat itu Tuhan

Syariat itu Ilmu Usuluddin

Tarikat itu Ilmu Tasaawuf

Hakikat itu Ilmu Tauhid

Makrifat itu Ilmu Usul Muftahul Ghuyyub

Syariat itu Kulit Daging Urat Tulang

Tarikat itu Api Angin Air Tanah

(6)

Hakikat itu Ujud Ilmu Nur Syuhud

Makrifat itu Zat Sifat Asma Fi'il

Syariat itu Awam

Tarikat itu Khas

Hakikat itu Khas ul khas

Makrifat itu Khawas

Syariat itu Ilmu yakin

Tarikat itu Ainul yakin

Hakikat itu Haqqul yakin

Makrifat itu Akmal yakin

Syariat itu Alam Isal

Tarikat itu Alam Roh

Hakikat itu Alam malakut

Makrifat itu Alam Kudus

Syariat itu Buih

Tarikat itu Ombak

Hakikat itu Laut

Makrifat itu Air

Bagi yang pernah mempelajari tasawwuf mungkin dapat mengerti dan memahami,dan

ini hanyalah sekedar pengertian yang sangat mendasar,dan dalam ilmu tasauf atau

tarikat pemahaman akan lebih terperinci,yang ingin mempelajari lebih mendalam dapat

menghubungi penulis atau dari guru-guru tarikat yang terpercaya.

Dalam SYARIAT ada hijab...

Tidak akan tertembus kecuali oleh HAKIKAT..

Syariat jalannya umat.. untuk berkhidmat,pada Yang Maha Kuat...

Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuh..

Ada yg bertanya tentang apakah yg dimaksudkan dengan Syariat.., apa itu Tarikat dan ada juga yang bertanya tentang Hakikat. Dengan segala keterbatasan, kami mencoba untuk menjelaskannya secara singkat, dengan harapan semoga dapat di pahami. ~ Mohon koreksi.

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah,

SYARIAT..adalah 'Pandangan Hidup' (syara), 'Pegangan Hidup' (syariah), dan 'Perjuangan Hidup' (manhaj) yg diwahyukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala utk seluruh umat manusia, agar diketahui, dipatuhi, dan dilaksanakan dlm hidup dan kehidupannya..

Sebagai PANDANGAN HIDUP..,

seorang muslim yg ISLAM oriented akan slalu setia pd syariat dlm berbagai persoalan hdpnya dgn senantiasa berpedoman kpd Al-Qur'an dan As-Sunnah.

(7)

Firman Allah SWT:

"Syara'a lakum mina alddiini maa washshaa bihi nuuhan waalladzii awhaynaa ilayka wamaa washshaynaa bihi ibraahiima wamuusaa wa'iisaa an aqiimuu alddiina walaa tatafarraquu fiihi kabura 'alaa almusyrikiina maatad'uuhum ilayhi allaahu yajtabii ilayhi man yasyaau wayahdii ilayhi man yuniibu..."

" (Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama^1341 dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)".

(QS Asy-Syura [42]:13) [^ 1341: Yang dimaksud : "agama" di sini ialah meng-Esakan Allah s.w.t.,

beriman kepada-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta menta'ati segala perintah dan larangan-Nya.]

Firman-Nya pula:

"Tsumma ja'alnaaka 'alaa syarii'atin mina al-amri faittabi'haa walaa tattabi' ahwaa-a alladziina laa ya'lamuuna..."

(Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS Al-Jatsiyah [45]:18)

"Wa-anzalnaa ilayka alkitaaba bialhaqqi mushaddiqan limaa bayna yadayhi mina alkitaabi wamuhayminan 'alayhi fauhkum baynahum bimaa anzala allaahu walaa tattabi' ahwaa-ahum 'ammaa jaa-aka mina alhaqqi likullin ja'alnaa minkum syir'atan waminhaajan walaw syaa-a allaahu laja'alakum ummatan waahidatan walaakin liyabluwakum fiimaa aataakum faistabiquu alkhayraati ilaa allaahi marji'ukum jamii'an fayunabbi-ukum bimaa kuntum fiihi takhtalifuuna..."

(Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian421 terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu422, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, (QS Al-Maidah [5]:48).

Dan utk mengetahui hakikat..makrifat.maka ada baiknya kita pahami dulu istilah2 yg sering dipakai oleh para sufi..

~ Tak kenal maka tak sayang.~

(8)

kebenaran esoteris yg merupakan batas-batas dari transendensi dan teologis.

Dalam pengertian seperti ini, hakikat merupakan unsur ketiga dlm ilmu tasawuf, yakni:

 SYARI'AT (hukum yg mengatur);

 TAREKAT (suatu jalan atau cara); ~ sebagai suatu tahapan dalam perjalanan spiritual menuju ALLAH Al-HAQQ;

 HAKIKAT (Kebenaran yg essensial), dan...

 MA'RIFAT (mengenal ALLAH dengan sebenar-benarnya, baik Asma, Sifat, maupun Af'al-Nya). Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Inna haadzaa lahuwa haqqu alyaqiini, fasabbih biismi rabbika al'azhiimi.."

"Sungguh, yg demikian itu adalah hakikat yg meyakinkan maka bertasbihlah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Maha Besar." (QS Al-Waqiah [56]: 95-96)

"Fadzaalikumu allaahu rabbukumu alhaqqu famaatsaa ba'da alhaqqi illaa aldhdhalaalu fa-annaa tushrafuuna.."

"Maka ikutilah DIA Tuhanmu yang hakiki. Tidak ada sesudah kepastian itu melainkan kesesatan. Tetapi bagaimanakah kamu dapat dipalingkan dari kebenaran?" (QS Yunus [10]: 32)

Ilmu "HAKIKAT" ini termasuk ilmu Maknun (Ilmu yg tersimpan) yg tidak boleh disebarkan kecuali kepada ahlinya, karena mengandung unsur yg membahayakan bagi orang awam

(kebanyakan),sebagaimana yg diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. berikut ini:

"Saya meriwayatkan dari Rasulullah Saw. dua wadah ilmu: salah satunya telah saya sebarkan kepada kalian, adapun yg kedua seandainya saya sebarkan kepada kalian, niscaya kalian akan mengasah pisau utk memotong leherku ini (dua wadah itu ialah Syariat dan Hakikat)".

Al-Ghazali menegaskan bhw Ilmu HAKIKAT termasuk ilmu rahasia yg kelihatannya bertentangan dgn Ilmu yari'at, namun hakekatnya tidaklah bertentangan.

Ilmu ini, yg tdk boleh ditulis dan tdk boleh disebar-luaskan secara umum, tetapi harus disembunyikan kecuali kpd org2 yg terpercaya (yg dpt menyimpan amanah), sebagaimana yg diungkapkan oleh Imam Ali

(9)

Zainuddin bin Husein bin Ali bin Abu Thalib.

"Banyak Ilmu bagaikan mutu manikam. Seandainya aku sebar-luaskan,niscaya orang-orang menganggapku termasuk para penyembah berhala, dan banyak tokoh kaum Muslimin menganggap halal darahku hingga mereka menganggap membunuhku itu lebih baik."

HAKIKAT..juga disebut 'lubb' ("dalam", "saripati", "inti") kaitannya dgn sebuah frase Al-Qur'an (dlm surah Al-Qashash ayat 29, dan ayat2 lain).

Ulul Albab (org yg memiliki pengetahuan yg mendalam), yakni mereka yg memiliki pandangan atau

pengertian ttg HAKIKAT. Kaitannya dgn hal ini terdapat pada pepatah Sufi,

"Untuk mencapai Hakikat (inti), Anda harus mampu menghancurkan kulit",

yg mengandung pengertian bhw paham eksoterisme (perwujudan), melampaui batas-batas pemahaman eksoteris, karena esensi melampaui bentuk-bentuk luaran yg mana ia tdk dpt direduksikan kpd bentuk luaran yang bersifat eksoterik.

Lebih lanjut dpt dilihat dari uraian "SYARIAT".

Secara sederhana kita ambil contoh ibadah Shalat....yg menjadi inti daripd hakekat hidup kita

sekalian...yaitu " Hakekat hidup adalah ibadah kpd Allah Subhanahu wa Ta'ala(liya'buduni)..,sedangkan ibadah yg paling pokok dan utama adalah Shalat...!

SHALAT:

 SYARI'AT-nya adalah memenuhi kewajiban. Sesuai dgn firman-Nya;

" Inna alshshalaata kaanat 'alaa almu'miniina kitaaban mawquutaan.."

"Bahwa sesungguhnya shalat itu diwajibkan atas orang2 mukmin pd waktu-waktu yg sdh ditentukan." (QS An-Nisaa [4]:103).

 TAREKAT-nya adalah memberi pengaruh pada sikap dan membekas pada perbuatan.

HAKIKAT-nya...adalah zikir kpd ALLAH Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana firman-Nya:

"Innanii anaa allaahu laa ilaaha illaa anaa fau'budnii wa-aqimi alshshalaata lidzikrii.." "Sungguh, AKU inilah ALLAH, tiada Tuhan melainkan AKU. Maka sembahlah AKU dan tegakkanlah shalat ini utk zikir kepada-KU." (QS Thaha [20]:14)

(10)

"Shalat adalah Mi'raj-nya orang2 yg beriman." (HR Baihaqi dan Muslim) Seperti telah disinggung pada awal tulisan ini, dimana diuraikan bahwa:

SYARIAT..adalah 'Pandangan Hidup' (syara), 'Pegangan Hidup' (syariah), dan'Perjuangan Hidup'

(manhaj) yg diwahyukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala utk seluruh umat manusia, agar diketahui,

dipatuhi, dan dilaksanakan dlm hidup dan kehidupannya..

 Sebagai PANDANGAN HIDUP.., seorang muslim yg ISLAM oriented akan slalu setia pd syariat dlm berbagai persoalan hdpnya dgn senantiasa berpedoman kpd Al-Qur'an dan As-Sunnah (QS Asy-Syura:13., Al-Jatsiyah:18, QS Al-Maidah:48).

Sebagai PEGANGAN HIDUP, SYARI'AT diturunkan ALLAH Subhanahu wa Ta'ala., ke dunia ini dgn Ilmu-Nya yg tak terbatas. Oleh krn itu, SYARIAT bersifat UNIVERSAL.

Kemudian, DIA mengutus Rasulullah SAW. sebagai RAHMATAN LIL ALAMIIN yang memberlakukan Syariat sampai akhir zaman. (Lihat QS Al-Furqan:1; dan QS Al-Anbiya:107).

 Sebagai PERJUANGAN HIDUP, Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijtihad sebagai sumber syariat meliputi:

(1) Prinsip Dasar (Iman/Aqidah/Islam /Ibadah, dan Ikhsan/Akhlak) dan (2) Norma-norma Hukum Islam.

Menurut Syaikh Athaillah As-Sakandary dan para sufi, bhw amal perbuatan terdiri atas tiga bagian, yaitu:

 Amal Syariat; ~ Amal Tarekat, dan ~ Amal Hakikat; atau...

 Amal Islam, Amal Iman, dan Amal Ihsan; ATAU..

 Amal Ibadah, Amal Ubudiyyah, dan Amal Ubudah; ATAU..

 Amal Ahli Bidayah (tahap pemula); Amal ahli Wasat (tahap pertengahan), dan Amal Ahli Nihayah (tahap akhir).

SYARIAT untuk memperbaiki 'zawahir' atau 'zawarih' (anggota badan), TARIKAT utk memperbaiki 'dhamir' (hati); dan

HAKIKAT untuk memperbaiki 'sarair' (ruh).

Memperbaiki zahir (anggota badan) dgn tiga perkara pula yaitu:

(11)

 Sidq (jujur), dan

 Tumaninah (ketenangan).

Dan, memperbaiki 'Ruh' juga dgn tiga perkara, yaitu;

Muraqabah (waspada/merasa di awasi/seolah-olah melihat ALLAH Subhanahu wa Ta'ala),

Musyahadah (menyaksikan Asma, Sifat, dan Afal Alllah Subhanahu wa Ta'ala.), dan,

Makrifat (mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala.) ATAU..

 Memperbaiki Zahir (anggota badan) yaitu dgn 'menjauhi larangan Allah Swt.dan mengikuti perintah-Nya.

 Memperbaiki Hati yaitu dgn menjauhi sifat2 tercela dan menghiasinya dgn sifat2 utama..Dan,..

 Memperbaiki Ruh yaitu dgn menghinakannya dan menundukkannya shgga menjadi terdidik adab,tawaduk, dan berbudi..

 Ahli Syariat ialah org yg melaksanakan amal ibadah 'litalabil ujur' (krn mengharapkan upah atau pahala dari Allah Swt.).

 Ahli Tarekat msh dlm perjalanan antara syariat dan hakikat..Sedangkan..

 Ahli Hakikat ialah orang2 melaksanakan 'ibadah' (pengabdian kpd Allah Swt.) se mata2 krn mengikuti perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. (ikhlas), disertai dgn rasa'khawf' (takut/gentar), 'raja' (harap), 'mahabbah' (cinta) dst..

Syaikh Athaillah As-Sakandariyah berkata;

"Orang yg telah sampai pada Hakikat Islam, maka ia tdk kuasa menghindari melaksanakan Syariat;

 Orang yg telah sampai pada Hakikat Iman, maka ia tidak kuasa berpaling kepada amal perbuatan atas dasar selain Allah Subhanahu wa Ta'ala (riya);

(12)

 Dan, orang yg telah sampai pd Hakikat Ihsan, maka ia tidak kuasa berpaling kepada segala apapun selain Allah Swt."

Menurut Syaikh Ali bin al-Haitamy r.a.,

 "Syariat ialah apa yg berkaitan dgn 'taklif' (pembebanan suatu ibadah), sdgkan Hakikat ialah apa yg dpt menghasilkan 'mengenal Allah'. Syariat dikuatkan oleh Hakikat.., dan hakikat terikat dgn syariat.

 Syariat adalah sbg wujud perbuatan Allah Swt., dan melaksanakannya dengan syarat disertai ilmu melalui perantaraan para Rasul, sdgkan Hakikat ialah 'menyaksikan hal ihwal mengenal Allah Swt. dan menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya tanpa ada perantaraan".

Syaikh al-Arif Billah Sayyid Ibrahim ad-Dasuqi al-Quraisy r.a., berkata:

 "Syariat adalah POKOK, sdgkan Hakikat adalah CABANG. Syariat mengandung segala ilmu yg disyariatkan, sdkan Hakikat mengandung segala ilmu yg tersembunyi, dan seluruh maqam (kedudukan di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala) bertingkat-tingkat di dlm keduanya".

"Syariat itu Pohon dan Hakikat itu Buahnya."

"Ahli Syariat akan batal shalatnya dgn bacaan yg buruk, sedangkan..

ahli Hakikat akan batal shalatnya dgn akhlak yg buruk.~ Jadi apabila di dlm bathinnya terdapat kedengkian atau iri hati, buruk sangka kpd seseorang, mencintai dunia, shalatnya batal.

Karena sesungguhnya pemilik akhlak buruk itu berada pada hijab (terhalang) dari menyaksikan keagungan Allah Swt. di dlm shalat. Dan org yg hatinya terhijab maka ia tidak shalat, krn sesungguhnya shalat adalah sebuah hubungan dgn Allah Swt.".

Seorang Sufi bersyair..: Dalam Syariat Ada hijab..

Tidak akan tertembus kecuali oleh Hakikat.... Syariat jalannya umat....

untuk khidmat pada Yang Maha Kuat..

Sedang Hakikat ada syariat...yang samar bagi umat Hingga disangka sesat...Padahal jalan yg selamat.. Syariat adalah awalan... Hakikat bukan akhiran.. Karena pada hakikat terdapat syariat...

(13)

Yang berbeda dengan syariat... awalan, pada khidmat umat.... Padahal pada tiap ayat ada makna..

yang tersirat dan tersurat.. Adalah sabda Rasul berpendapat.. Maka apakah mereka tidak melihat..?... Pada tiap-tiap umat ada syariat... Begitulah ayat berpendapat... Apakah mereka tidk melihat..?... Maka Hakikat dalah Syariat... Yang berasal dari syariat umat... Sedangkan dia berpijak

Maka bagaimanakah Hakikat dikatakan sesat?... Sedangkan dia berpijak pada syariat..

Yang dibawa oleh Rasul yang mulia.. sebagai amanat..

Tetapi Allah mempunyai pendapat..

Siapakah para hamba yang mendapat hidayah... Untuk dapatmengenal hakikat...

Maka siapa yang menolaknya... berarti melepaskan hidayah..

Karena mencapai makrifat adalah...., dengan syariat Yang terususun dengan hakikat..

Maka syariat dan hakikat adalah syariat-Nya.. Apakah mereka tidak melihat?

======

Segala puji hanya bagi Allah 'Azza wa Jalla semata.., dan Shalawat dan Sallam semoga senantiasa tercurah bagi junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam beserta ahlul baitnya, para sahabat serta para pengikutnya yang setia hingga akhir

zaman.-Wassalam

Apa Itu Tasawuf?

Pengertian tasawuf yang jelas masih sangat jarang di mengerti oleh orang banyak. Istilah "tasawuf" (sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian. Menurut pendapat lain kata itu berasal dari kata kerja bahasa Arab safwe yang berarti orang-orang yang terpilih.

(14)

Makna ini sering dikutip dalam literatur sufi. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam salat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari shuffa, ini serambi rendah terbuat dari tanah liat dan sedikit nyembul di atas tanah di luar Mesjid Nabi di Madinah, tempat orang-orang miskin berhati baik yang mengikuti beliau sering duduk-duduk. Ada pula yang menganggap bahwa kata tasawuf berasal dari shuf yang berarti bulu domba, yang me- nunjukkan bahwa orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin kurang mempedulikan penampilan lahiriahnya dan sering memakai jubah sederhana yang terbuat dari bulu domba sepanjang tahun.

Apa pun asalnya, istilah tasawuf berarti orang yang tertarik kepada pengetahuan batin, orang-orang yang tertarik untuk menemukan suatu jalan atau praktik ke arah kesadaran dan pencerahan batin. Penting diperhatikan bahwa istilah ini hampir tak pernah digunakan pada dua abad pertama Hijriah. Banyak pengritik sufi, atau musuh-musuh mereka, mengingatkan kita bahwa istilah tersebut tak pernah terdengar di masa hidup Nabi Muhammad saw, atau orang sesudah beliau, atau yang hidup setelah mereka.

Namun, di abad kedua dan ketiga setelah kedatangan Islam (622), ada sebagian orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan dengan tasawuf, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian diri, penyucian "hati", dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan mereka melihat Dia, dengan mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia, Dia melihat mereka. Inilah makna istilah tasawuf sepanjang zaman dalam konteks Islam.

Saya kutipkan di bawah ini beberapa definisi dari syekh besar sufi:

• Imam Junaid dari Baghdad (m.910) mendefinisikan tasawuf sebagai "mengambil setiap sifat mulia dan meningga1kan setiap sifat rendah". Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (m.1258), syekh sufi besar dari Arika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan". Syekh Ahmad Zorruq (m.1494) dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut:

Ilmu yang dengannya Anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan Anda tentang jalan Islam,khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal Anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata. Ia menambahkan, "Fondasi tasawuf ialah pengetahuan tentang tauhid, dan setelah itu Anda memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian; apabila tidak demikian maka Anda tidak akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'."

(15)

• Menurut Syekh Ibn Ajiba (m.1809):

Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya Anda belajar bagaimana berperilaku supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnva adalah amal. dan akhirnva adalah karunia Ilahi.

• Syekh as-Suyuthi berkata, "Sufi adalah orang yang bersiteguh dalam kesucian kepada Allah, dan berakhlak baik kepada makhluk".

Dari banyak ucapan yang tercatat dan tulisan tentang tasawuf seperti ini, dapatlah disimpulkan bahwa basis tasawuf ialah penyucian "hati" dan penjagaannya dari setiap cedera, dan bahwa produk akhirya ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan Penciptanya. Jadi, sufi adalah orang yang telah dimampukan Allah untuk menyucikan "hati"-nya dan menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada jalan yang benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaik-baiknya oleh Nabi Muhammad saw.

Dalam konteks Islam tradisional tasawuf berdasarkan pada kebaikan budi ( adab) yang akhirnya mengantarkan kepada kebaikan dan kesadaran universal. Ke- baikan dimulai dari adab lahiriah, dan kaum sufi yang benar akan mempraktikkan pembersihan lahiriah serta tetap berada dalam batas-batas yang diizinkan Allah, la mulai dengan mengikuti hukum Islam, yakni dengan menegakkan hukum dan ketentuan-ketentuan Islam yang tepat, yang merupakan jalan ketaatan kepada Allah. Jadi, tasawuf dimulai dengan mendapatkan pe- ngetahuan tentang amal-amal lahiriah untuk membangun, mengembangkan, dan menghidupkan keadaan batin yang sudah sadar.

Adalah keliru mengira bahwa seorang sufi dapat mencapai buah-buah tasawuf, yakni cahaya batin, kepastian dan pengetahuan tentang Allah (ma'rifah) tanpa memelihara kulit pelindung lahiriah yang berdasarkan pada ketaatan terhadap tuntutan hukum syariat. Perilaku lahiriah yang benar ini-perilaku--fisik--didasarkan pada doa dan pelaksanaan salat serta semua amal ibadah ritual yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw untuk mencapai kewaspadaan "hati", bersama suasana hati dan keadaan yang menyertainya. Kemudian orang dapat majupada tangga penyucian dari niat rendahnya menuju cita-cita yang lebih tinggi, dari kesadaran akan ketamakan dan kebanggaan menuju kepuasan yang rendah hati (tawadu') dan mulia. Pekerjaan batin harus diteruskan da1am situasi lahiriah yang terisi dan terpelihara baik

(16)

dukungan para ulama besar Fiqih pendiri 4 mazhab besar dan juga pendapat ulama besar zaman sekarang seperti Syekh Yusuf Al-Qardawi dalam dua tulisan yaitu Kesaksian Ulama Fiqih Tentang Tasawuf dan khusus pendapat Syekh Yusuf Qardawi terhadap tasawuf bisa di baca di Fatwa Al-Qardawi Tentang Tasawuf. Berikut adalah tulisan yang saya kutip sebuah komentar dari blog MutiaraZuhud tentang kehidupan Rasulullah dan Para Sahabat yang menjadi sumber ajaran tasawuf untuk meyakinkan kita semua bahwa ajaran tasawuf adalah benar-benar ajaran Rasulullah SAW.

Benih-benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan perilaku nabi Muhammad SAW.

Peristiwa dan Perilaku Hidup Nabi. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari beliau berkhalawat (mengasingkan diri) di Gua Hira, terutama pada bulan Ramadhan disana nabi banyak berzikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengasingan diri Nabi SAW digua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalawat. Kemudian puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah SWT tercapai ketika melakukan Isra Mikraj. Di dalam Isra Mikraj itu nabi SAW telah sampai ke Sidratulmuntaha (tempat terakhir yang dicapai nabi ketika mikraj di langit ke tujuh), bahkan telah sampai kehadiran Ilahi dan sempat berdialog dgn Allah. Dialog ini terjadi berulang kali, dimulai ketika nabi SAW menerima perintah dari Allah SWT tentang kewajiban shalat lima puluh kali dalam sehari semalam. Atas usul nabi Musa AS, Nabi Muhammad SAW memohon agar jumlahnya diringankan dengan alasan umatnya nanti tidak akan mampu melaksanakannya. Kemudian Nabi Muhammad SAW terus berdialog dengan Allah SWT. Keadaan demikian merupakan benih yang menumbuhkan sufisme dikemudian hari.

Perikehidupan (sirah) nabi Muhammad SAW juga merupakan benih-benih tasawuf yaitu pribadi nabi SAW yang sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona dengan kemewahan dunia. Dalam salah satu Doanya ia memohon: ”Wahai Allah, Hidupkanlah

aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin” (HR.at-Tirmizi, Ibnu

Majah dan al-Hakim).

“Pada suatu waktu Nabi SAW datang kerumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq. Ternyata dirumahnya tidak ada makanan. Keadaan ini diterimanya dengan sabar, lalu ia menahan lapar dengan berpuasa” (HR.Abu Dawud, at-Tirmizi dan

an-Nasa-i) .

Ibadah Nabi Muhammad SAW. Ibadah nabi SAW juga sebagai cikal bakal tasawuf. Nabi SAW adalah orang yang paling tekun beribadah. Dalam satu riwayat dari Aisyah RA disebutkan bahwa pada suatu malam nabi SAW mengerjakan shalat malam, didalam

salat lututnya bergetar karena panjang dan banyak rakaat salatnya. Tatkala rukuk dan sujud terdengar suara tangisnya namun beliau tetap melaksanakan salat sampai azan Bilal bin Rabah terdengar diwaktu subuh. Melihat nabi SAW demikian tekun melakukan

(17)

salat, Aisyah bertanya: ”Wahai Junjungan, bukankah dosamu yang terdahulu dan yang akan datang diampuni Allah, mengapa engkau masih terlalu banyak melakukan salat?” nabi SAW menjawab:” Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur” (HR.Bukhari

dan Muslim).

Selain banyak salat nabi SAW banyak berzikir. Beliau berkata: “Sesungguhnya saya

meminta ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya setiap hari tujuh puluh kali”

(HR.at-Tabrani).

Dalam hadis lain dikatakan bahwa Nabi SAW meminta ampun setiap hari sebanyak seratus kali (HR.Muslim). Selain itu nabi SAW banyak pula melakukan iktikaf dalam mesjid terutama dalam bulan Ramadan.

Akhlak Nabi Muhammad SAW. Akhlak nabi SAW merupakan acuan akhlak yang tidak ada bandingannya. Akhlak nabi SAW bukan hanya dipuji oleh manusia, tetapi juga oleh Allah SWT. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah SWT yang artinya: “Dan sesungguhnya

kami (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(QS.Al Qalam:4) ketika

Aisyah ditanya tentang Akhlak Nabi SAW, Beliau menjawab: Akhlaknya adalah Qur’an”(HR.Ahmad dan Muslim). Tingkah laku nabi tercermin dalam kandungan Al-Qur’an sepenuhnya.

Dalam diri nabi SAW terkumpul sifat-sifat utama, yaitu rendah hati, lemah lembut, jujur, tidak suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh, santun dan tidak mabuk pujian. Nabi SAW selalu berusaha melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya dan tidak pernah berputus asa dalam berusaha.

Oleh karena itu, Nabi SAW merupakan tipe ideal bagi seluruh kaum muslimin, termasuk pula para sufi. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya:”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.”.

Kehidupan Empat Sahabat Nabi Muhammad SAW.

Sumber lain yang menjadi sumber acuan oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat yang berkaitan dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh karena setiap orang yang meneliti kehidupan rohani dalam islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi diabad-abad sesudahnya.

Kehidupan para sahabat dijadikan acuan oleh para sufi karena para sahabat sebagai murid langsung Rasulullah SAW dalam segala perbuatan dan ucapan mereka senantiasa mengikuti kehidupan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu perilaku kehidupan mereka dapat dikatakan sama dengan perilaku kehidupan Nabi SAW, kecuali hal-hal tertentu yang khusus bagi Nabi SAW. Setidaknya kehidupan para sahabat adalah kehidupan yang paling mirip dengan kehidupan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW

(18)

karena mereka menyaksikan langsung apa yang diperbuat dan dituturkan oleh Nabi SAW. Oleh karena itu Al-Qur’an memuji mereka: ” Orang-orang yang terdahulu lagi

pertama-tama (masuk islam) diantara orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah sediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya, mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS.At Taubah:100).

Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi menulis didalam bukunya, Kitab al-Luma`, tentang ucapan Abi Utbah al-Hilwani (salah seorang tabiin) tentang kehidupan para sahabat:” Maukah saya beritahukan kepadamu tentang kehidupan para sahabat Rasulullah SAW? Pertama, bertemu kepada Allah lebih mereka sukai dari pada kehidupan duniawi. Kedua, mereka tidak takut terhadap musuh, baik musuh itu sedikit maupun banyak. Ketiga, mereka tidak jatuh miskin dalam hal yang duniawi, dan mereka demikian percaya pada rezeki Allah SWT.”

Adapun kehidupan keempat sahabat Nabi SAW yang dijadikan panutan para sufi secara rinci adalah sbb:

Abu Bakar as-Siddiq.

Pada mulanya ia adalah salah seorang Kuraisy yang kaya. Setelah masuk islam, ia menjadi orang yang sangat sederhana. Ketika menghadapi perang Tabuk, Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, Siapa yang bersedia memberikan harta bendanya dijalan Allah SWT. Abu Bakar lah yang pertama menjawab:”Saya ya Rasulullah.” Akhirnya Abu Bakar memberikan seluruh harta bendanya untuk jalan Allah SWT. Melihat demikian, Nabi SAW bertanya kepada: ”Apalagi yang tinggal untukmu wahai Abu Bakar?” ia menjawab:”Cukup bagiku Allah dan Rasul-Nya.”

Diriwayatkan bahwa selama enam hari dalam seminggu Abu Bakar selalu dalam keadaan lapar. Pada suatu hari Rasulullah SAW pergi kemesjid. Disana Nabi SAW bertemu Abu Bakar dan Umar bin Khattab, kemudian ia bertanya:”Kenapa anda berdua sudah ada di mesjid?” Kedua sahabat itu menjawab:”Karena menghibur lapar.”

Diceritakan pula bahwa Abu Bakar hanya memiliki sehelai pakaian. Ia berkata:”Jika seorang hamba begitu dipesonakan oleh hiasan dunia, Allah membencinya sampai ia meninggalkan perhiasan itu.” Oleh karena itu Abu Bakar memilih takwa sebagai ”pakaiannya.” Ia menghiasi dirinya dengan sifat-sifat rendah hati, santun, sabar, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan ibadah dan zikir.

Umar bin Khattab

Umar bin Khattab yang terkenal dengan keheningan jiwa dan kebersihan kalbunya, sehingga Rasulullah SAW berkata:” Allah telah menjadikan kebenaran pada lidah dan hati Umar.” Ia terkenal dengan kezuhudan dan kesederhanaannya. Diriwayatkan, pada

(19)

suatu ketika setelah ia menjabat sebagai khalifah, ia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas sobekan.

Diceritakan, Abdullah bin Umar, putra Umar bin Khatab, ketika masih kecil bermain dengan anak-anak yang lain. Anak-anak itu semua mengejek Abdullah karena pakaian yang dipakainya penuh dengan tambalan. Hal ini disampaikannya kepada ayahnya yang ketika itu menjabat sebagai khalifah. Umar merasa sedih karena pada saat itu tidak mempunyai uang untuk membeli pakaian anaknya. Oleh karena itu ia membuat surat kepada pegawai Baitulmal (Pembendaharaan Negara) diminta dipinjami uang dan pada bulan depan akan dibayar dengan jalan memotong gajinya.

Pegawai Baitulmal menjawab surat itu dengan mengajukan suatu pertanyaan, apakah Umar yakin umurnya akan sampai bulan depan. Maka dengan perasaan terharu dengan diiringi derai air mata , Umar menulis lagi sepucuk surat kepada pegawai Baitul Mal bahwa ia tidak lagi meminjam uang karena tidak yakin umurnya sampai bulan yang akan datang.

Disebutkan dalam buku-buku tasawuf dan biografinya, Umar menghabiskan malamnya beribadah. Hal demikian dilakukan untuk mengibangi waktu siangnya yang banyak disita untuk urusan kepentingan umat. Ia merasa bahwa pada waktu malamlah ia mempunyai kesempatan yang luas untuk menghadapkan hati dan wajahnya kepada Allah SWT.

Usman bin Affan

Usman bin Affan yang menjadi teladan para sufi dalam banyak hal. Usman adalah seorang yang zuhud, tawaduk (merendahkan diri dihadapan Allah SWT), banyak mengingat Allah SWT, banyak membaca ayat-ayat Allah SWT, dan memiliki akhlak yang terpuji. Diriwayatkan ketika menghadapi Perang Tabuk, sementara kaum muslimin sedang menghadapi paceklik, Usman memberikan bantuan yang besar berupa kendaraan dan perbekalan tentara.

Diriwayatkan pula, Usman telah membeli sebuah telaga milik seorang Yahudi untuk kaum muslimin. Hal ini dilakukan karena air telaga tersebut tidak boleh diambil oleh kaum muslimin.

Dimasa pemerintahan Abu Bakar terjadi kemarau panjang. Banyak rakyat yang mengadu kepada khalifah dengan menerangkan kesulitan hidup mereka. Seandainya rakyat tidak segera dibantu, kelaparan akan banyak merenggut nyawa. Pada saat paceklik ini Usman menyumbangkan bahan makanan sebanyak seribu ekor unta.

Tentang ibadahnya, diriwayatkan bahwa usman terbunuh ketika sedang membaca Al-Qur’an. Tebasan pedang para pemberontak mengenainya ketika sedang membaca surah Al-Baqarah ayat 137 yang artinya:…”Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” ketika itu ia tidak sedikitpun beranjak dari tempatnya, bahkan tidak mengijinkan orang mendekatinya.

(20)

Ketika ia rebah berlumur darah, mushaf (kumpulan lembaran) Al-Qur’an itu masih tetap berada ditangannya.

Ali bin Abi Talib

Ali bin Abi Talib yang tidak kurang pula keteladanannya dalam dunia kerohanian. Ia mendapat tempat khusus di kalangan para sufi. Bagi mereka Ali merupakan guru kerohanian yang utama. Ali mendapat warisan khusus tentang ini dari Nabi SAW. Abu Ali ar-Ruzbari , seorang tokoh sufi, mengatakan bahwa Ali dianugerahi Ilmu Laduni. Ilmu itu, sebelumnya, secara khusus diberikan Allah SWT kepada Nabi Khaidir AS, seperti firmannya yang artinya:…”dan telah Kami ajarkan padanya ilmu dari sisi Kami.” (QS.Al Kahfi:65).

Kezuhudan dan kerendahan hati Ali terlihat pada kehidupannya yang sederhana. Ia tidak malu memakai pakaian yang bertambal, bahkan ia sendiri yang menambal pakiannya yang robek.

Suatu waktu ia tengah menjinjing daging di Pasar, lalu orang menyapanya:”Apakah tuan tidak malu memapa daging itu ya Amirulmukminin (Khalifah)?” Kemudian dijawabnya:”Yang saya bawa ini adalah barang halal, kenapa saya harus malu?”.

Abu Nasr As-Sarraj at-Tusi berkomentar tentang Ali. Katanya:”Di antara para sahabat Rasulullah SAW Amirulmukminin Ali bin Abi Talib memiliki keistimewahan tersendiri dengan pengertian-pengertiannya yang agung, isyarat-isyaratnya yang halus, kata-katanya yang unik, uraian dan ungkapannya tentang tauhid, makrifat, iman, ilmu, hal-hal yang luhur, dan sebagainya yang menjadi pegangan serta teladan para sufi.

Kehidupan Para Ahl as-Suffah. Selain keempat khalifah di atas, sebagai rujukan para sufi dikenal pula para Ahl as-Suffah. Mereka ini tinggal di Mesjid Nabawi di Madinah dalam keadaan serba miskin, teguh dalam memegang akidah, dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Diantara Ahl as-Suffah itu ialah Abu Hurairah, Abu Zar al-Giffari, Salman al-Farisi, Mu’az bin Jabal, Imran bin Husin, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Huzaifah bin Yaman. Abu Nu’aim al-Isfahani, penulis tasawuf (w. 430/1038) menggambarkan sifat Ahl as-Suffah di dalam bukunya Hilyat al-Aulia`(Permata para wali) yang artinya: Mereka adalah kelompok yang terjaga dari kecendrungan duniawi, terpelihara dari kelalaian terhadap kewajiban dan menjadi panutan kaum miskin yang menjauhi keduniaan. Mereka tidak memiliki keluarga dan harta benda. Bahkan pekerjaan dagang ataupun peristiwa yang berlangsung disekitar mereka tidak lah melalaikan mereka dari mengingat Allah SWT. Mereka tidak disedihkan oleh kemiskinan material dan mereka tidak digembirakan kecuali oleh suatu yang mereka tuju.

Diantara Ahl as-Suffah itu ada yang mempunyai keistimewahan sendiri. Hal ini memang diwariskan oleh Rasulullah SAW kepada mereka seperti Huzaifah bin Yaman yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW tentang ciri-ciri orang Munafik. Jika ia berbicara tentang

(21)

orang munafik, para sahabat yang lain senantiasa ingin mendengarkannya dan ingin mendapatkan ilmu yang belum diperolehnya dari Nabi SAW. Umar bin Khattab pernah tercengang mendengar uraian Huzaifah tentang ciri-ciri orang munafik.

Adapun Abu Zar al-Giffarri adalah seorang Ahl as-Suffah termasyur yang bersifat sosial. Ia tampil sebagai prototipe (tokoh pertama) fakir sejati. Abu Zar tidak pernah memiliki apa-apa, tetapi ia sepenuhnya milik Allah SWT dan akan menikmati hartanya yang abadi. Apabila ia diberikan sesuatu berupa materi, maka materi tersebut dibagi-bagi kepada para fakir miskin.

Begitu juga Salman Al Farisi salah seorang Ahli Suffah yang hidup sangat sederhana sampai akhir hanyatnya. Beliau merupakan salah satu Ahli Silsilah dari Tarekat Naqsyabandi yang jalur keguruan bersambung kepada Saidina Abu Bakar Siddiq sampai kepada Rasulullah SAW.

Mudah-mudahan tulisan di atas menjadi informasi yang bermanfaat bagi kita semua sehingga tidak ragu dalam berguru mengamalkan ajaran Tasawuf yang merupakan inti sari Islam yang bersumber dari ajaran Rasulullah SAW dan kemudian ajaran mulia ini diteruskan oleh Para Sahabat, Tabi’in, Tabi Tabi’in serta para Guru Mursyid sambung menyambung dengan tetap menjaga kemurniannya sehingga ajara tasawuf zaman Rasulullah SAW sampai kepada kita tetap dalam keadaan murni. Para Guru Mursyid adalah khalifah Rasulullah SAW ulama Warisatul Anbiya yang menjaga amanah Rasulullah SAW, tidak berani menambah dan mengurangi sehingga ilmu Tasawuf itu tetap terjaga sepanjang zaman.

TASAWWUF DALAM PANDANGAN SYEKH ABDUL QADIR AL JAILANI

Syaikh Abdul Qadir al Jaelani berkata mengenai hakekat seorang sufi pada firman Allah Swt:

Katakanlah: “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (‘mengharapkan kepatuhan’) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada

Tuhannya.” (Al-Furqan: 57)

Katakanlah: Kepada mereka dengan mengejek dan tegas.

“Aku tidak meminta kepadamu Sama sekali tidak menuntut Dalam menyampaikan risalah itu,dalam menyampaikan tabligku padamu, atas wahyu yang diturunkan kepadaku, dan pemberianku pelajaran kepadamu, semata karena tuntutan Wahyu Ilahi.”

Upah dan harta yang aku ambil dari kalian, lalu aku jadikan sebagai sarana untuk meraih tahta dan kekayaan serta berbagai kebanggaan. Sebagaimana yang banyak dilakukan oleh para Syeikh yang bodoh di zaman ini yang tak lebih dari pembantu-pembantu syetan yang mengaitkan dirinya dengan kaum Sufi.

Mereka inilah yang menggerakkan bentuk tipuan, tipudaya, dan mengeruk harta kaum awam yang lemah setelah merusak akidah mereka, dengan berbagai macam pemalsuan, penipuan, menghalalkan yang haram dan membolehkan hal yang dilarang serta memperkaya diri.

(22)

mereka memiliki banyak pengikut dan pendukung, mereka pun menyiapkan kontributor dan dukungan untuk tipuan mereka ini.

Setelah itu mereka membangkang kepada penguasa dan memiliki niat untuk keluar dari kekuasaan pemerintahan, memberontak kepada mereka serta menyibukkan diri dengan menghancurkan negeri dan menekan orang yang beriman, merampas harta masyarakat dan harga diri mereka bahkan

memenjarakan keturunan mereka.

Pada saat yang sama mereka mengklaim diri sebagai orang yang benar, orang yang ma’rifat kepada Allah, mengklaim sebagai orang yang beriman, menjadi ahli hakikat dan yaqin. Ingatlah bahwa hal tersebut merupakan kerugian yang nyata dan kejahatan yang besar. Semoga Allah Swt melindungi kita dari kejahatan nafsu kita dari perbuatan buruk kita.

Namun aku tidak menuntut dengan tablighku ini, melainkan sebagai hidayah bagi orang-orang yang mau mencari jalan kepada Tuhannya.”

Yang mendidiknya dengan berbagai kemuliaan, jalan menuju Tuhannya yang bisa meraih ma’rifat dan peng-Esaan padaNya.

Syaikh Abdul Qadir Jaelani berkata mengenai sifat-sifat perilaku ruhani kaum Sufi dan peringkat kaum Sufi, dengan firman Allah Swt:

“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat.” (Fathir: 27)

“Tidakkah kamu melihat, Wahai orang yang melihat, yang mengambil pelajaran (dari penglihatannya) bahwasanya Allah Dzat Yang memiliki kemampuan sempurna, bagaimana menurunkan melimpahkan dari sisi langit yakni langit Asma’ dan Sifat Dzatiyah.

Hujan yang menghidupkan bumi-bumi yang mati yang keras kerontang dalam terapan ketiadaannya lalu Kami hasilkan dari hujan-hujan itu yakni dengan air yang melimpah yang memancar dari Lautan Dzat pada bumi watak manusia.

Buah-buahan

berbagai hidangan yang beragam berupa ma’rifat-ma’rifat, hakikat-hakikat, kilatan cahaya dan limpahan anugerah yang melintas pada para pecinta dan para KekasihNya menurut kondisi ruhani dan

maqom mereka.Yang beraneka macam jenisnya. Dengan segala metodenya baik secara ilmul yaqin, ainul yaqin maupun haqqul yaqin. Dan di antara gunung-gunung itu Yaitu para Wali Autad dan Wali Quthub yang siap menerima limpahan karomah dan ketersingkapan ruhani.

Ada garis-garis

yakni garis jalan yang memiliki arah jalan menuju Ka’bah Dzat dan Arafahnya Asma’ dan Sifat, Putih bersih sampai puncak kemurniannya tanpa ada campuran dan perpaduan dengan berbagai ragam kenyataan alam dan hawa nafsu sama sekali.

Dan, sebagian, merah yang beraneka macam warnanya, sesuai dengan peringkat kedekatan mereka kepada Allah Ta’ala dan jaraknya dengan derajat utama.

Dan, sebagian, ada (pula) yang hitam pekat.”

Berakhir pada hitam dan kegelapan, yang tidak menyisakan sama sekali wujudnya dengan peringkat pertama, bahkan malah kontradiksi dan merusak martabat itu, yang sama sekali tidak memiliki hubungan antara keduanya.

Dikatakan: Allah Swt menyinggung dengan istilah garis-garis putih kepada kelompok Sufi yaitu orang-orang yang telah membersihkan bathin mereka dari sesuatu selain Allah Swt, bersih dari ciptaan bentuk semesta dan berbagai ragam relativitas.

AlIah Swt juga menyinggung dengan istilah garis-garis merah yang beraneka macam warnanya kepada kelompok mutakallimin, yaitu orang-orang yang telah mengkaji Dzat dan Sifat Allah Swt yang dikuatkan dengan dalil aqli dan naqli yang tidak dkuatkan dengan mukasyafah dan musyahadah, yang

menghasilkan asumsi dan kebingungan, kecuali langka jumlahnya.

(23)

orang-orang yang tebal hijabnya serta tebal pula kain penutup serta tabir mereka, sehingga tidak lagi tersisa di hati mereka suatu tempat sedikitpun yang layak untuk menerima pancaran sinar cahaya al Haq Allah Swt, bahkan mereka telah menghitamkan cahaya tersebut serta membentuknya lalu mengeluarkannya dari fitrah suci Allah, yang Allah Swt ciptakan untuk manusia.

Syaikh Abdul Qadir Jaelani berkata mengenai sifat para ‘arif billah pada firman Allah Swt:

“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” DanKami keluarkan dari pengaruh pendidikan dibalik air dan menghidupkan bumi yang mati itu, Demikian (pula) di antara manusia yang tenggelam dalam kelalaian dan kealpaan.

Dan binatang-binatang melata terlepas dari peringkat pemahaman dan perasaan yang berhubungan dengan kehidupan dunia dan akhirat.

Dan binatang-binatang ternak yang terlena oleh kenikmatan jasmani dan syahwat nafsu. Ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya),Yakni jenis-jenis, kelompok, bentuk dan gerakannya. Intinya. Sesungguhnya yang takut kepada Allah Dan takut akan hantaman Allah di antara hamba-hamba-Nya yang dicipta dari ketiadaan tersembunyi, melalui percikan aliran Lautan WujudNya menurut terapan Sifat KedermawananNya.

Hanyalah ulama Yang ma’rifat kepada Allah Swt dan sifat-sifatNya yang paripurna yang melimpah pada mereka, dan AsmaNya yang Agung, yang melebur dalam hakikat derajat Tauhid, yang tersingkap melalui rahasia Wahdatudz-Dzat pada seluruh manifestasiNya, karena yang paling takut kepada Allah Swt adalah yang paling mengenalNya. Karena itulah Rasulullah Saw bersabda, “Akulah yang paling takut kepada Allah dan paling taqwa padaNya.” (Hr. Bukhari)

Bagaimana para arifun tidak takut kepada Allah Swt.? Sesungguhnya Allah Yang berselendang dengan selendang Keagungan dan Kebesaran.

Maha Perkasa Mengalahkan hamba yang dikehendaki untuk mendapatkan siksaNya.

Lagi Maha Pengampun Atas dosa-dosa orang yang bertaubat kepada Allah Swt, dan kembali kepadaNya

https://sufimudaakhirzaman.wordpress.com/

Menguak Kembali Definisi Tasawuf

Dalam sejarah perkembangan nya, Sufi dan Tasawuf beriringan. Beberapa sumber dari kitab-kitab yang berkait dengan sejarah Tasawuf memunculkan berbagai definisi. Definisi ini pun juga berkait dengan para tokoh Sufi setiap zaman, disamping pertumbuhan akademi Islam ketika itu. Namun Reinold Nicholson, salah satu guru para orientalis, membuat telaah yang terlalu empirik dan sosiologik mengenai Tasawuf atau Sufi ini, sehingga definisinya menjadi sangat historik, dan terjebak oleh paradigma akademik-filosufis. Pandangan Nicolson tentu diikuti oleh para orientalis berikutnya yang mencoba menyibak khazanah esoterisme dalam dunia Islam, seperti J Arbery, atau pun Louis Massignon. Walaupun sejumlah penelitian mereka harus diakui cukup berharga untuk menyibak sisi lain yang selama ini terpendam.

Bahwa dalam sejarah perkembangannya menurut Nicholson, tasawuf adalah sebagai bentuk ekstrimitas dari aktivitas keagamaan di masa dinasti Umawy, sehingga para

(24)

aktivisnya melakukan ‘Uzlah dan semata hanya demi Allah saja hidupnya. Bahkan lebih radikal lagi Tasawuf muncul akibat dari sinkretisme Kristen, Hindu, Buddha dan Neo-Platonisme serta Hellenisme.

Penelitian filosofis ini, tentu sangat menjebak, karena fakta-fakta spiritual pada dasarnya memiliki keutuhan otentik sejak zaman Rasulullah Muhammad Saw, baik secara tekstual maupun historis.

Dalam kajian soal Sanad Thariqat, bisa terlihat bagaimana validitas Tasawuf secara praktis, hingga sampai pada alurnya Tasawuf Rasulullah Saw. Fakta itulah yang nantinya bisa membuka cakrawala historis, dan kelak juga berpengaruh munculnya berbagai ordo Thariqat yang kemudian terbagi menjadi Thariqat Mu’tabarah dan Ghairu Mu’tabarah.

Pandangan paling monumental tentang Tasawuf justru muncul dari Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang Ulama sufi abad ke 4 hijriyah. Al-Al-Qusyairy sebenarnya lebih menyimpulkan dari seluruh pandangan Ulama Sufi sebelumnya, sekaligus menepis bahwa definisi Tasawuf atau Sufi muncul melalui akar-akar historis, akar bahasa, akar intelektual dan filsafat di luar dunia Islam. Walaupun tidak secara transparan Al-Qusyairy menyebutkan definisinya, tetapi dengan mengangkat sejumlah wacana para tokoh Sufi, menunjukkan betapa Sufi dan Tasawuf tidak bisa dikaitkan dengan sejumlah etimologi maupun sebuah tradisi yang nantinya kembali pada akar Sufi.

Dalam penyusunan buku Ar-Risalatul Qusyairiyah misalnya, ia menegaskan bahwa apa yang ditulis dalam risalah tersebut untuk menunjukkan kepada mereka yang salah paham terhadap Tasawuf, semata karena kebodohannya terhadap hakikat Tasawuf itu sendiri. Menurutnya Tasawuf merupakan bentuk amaliyah, ruh, rasa dan pekerti dalam Islam itu sendiri. Ruhnya adalah friman Allah Swt.:

“Dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)

kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglkah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya.,” (Q.s.

Asy-Syams: 7-8)

”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri dan dia berdzikir

nama Tuhannya lalu dia shalat.” (Q.s. Al-A’laa: 14-15)

“Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan

tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang alpa.” (Q.s. Al-A’raaf: 205)

“Dan bertaqwalah kepada Allah; dan Allah mengajarimu (memberi ilmu); dan Allah

Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.s. Al-Baqarah : 282)

(25)

“Ihsan adalah hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya,

maka apabila engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.r. Muslim,

Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i)

Tasawuf pada prinsipnya bukanlah tambahan terhadap Al-Qur’an dan hadits, justru Tasawuf adalah implementasi dari sebuah kerangka agung Islam.

Secara lebih rinci, Al-Qusyairy meyebutkan beberapa definisi dari para Sufi besar: Muhammad al-Jurairy:

“Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang tercela.” Al-Junaid al-Baghdadi:

“Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu

bersama denganNya.”

“Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah Swt. Tanpa keterikatan

dengan apa pun.”

“Tasawuf adalah perang tanpa kompromi.”

“Tasawuf adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang

selain mereka.”

“Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang diserta sama’, dan tindakan yang

didasari Sunnah Nabi.”

“Kaum Sufi seperti bumi, yang diinjak oleh orang saleh maupun pendosa; juga seperti

mendung, yang memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu.”

“Jika engkau melihat Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriyahnya, maka

ketahuilah bahwa wujud batinnya rusak.”

Al-Husain bin Manshur al-Hallaj:

“Sufi adalah kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun menerimanya dan juga tidak

menerima siapa pun.”

Abu Hamzah Al-Baghdady:

“Tanda Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia,

bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tertinggi setelah mengalami kehinaan, menjadi masyhur setelah tersembunyi.”

Amr bin Utsman Al-Makky:

“Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik saat itu.” Mohammad bin Ali al-Qashshab:

“Tasawuf adalah akhlak mulia, dari orang yang mulia di tengah-tengah kaum yang

(26)

Samnun:

“Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki apapun.” Ruwaim bin Ahmad:

“Tasawuf artinya menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan apa pun yang

dikehendakiNya.”

“Tasawuf didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinan dan kefakiran, mencapai

sifat hakikat dengan memberi, dengan mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri dan meninggalkan sikap kontra, dan memilih.”

Ma’ruf Al-Karkhi:

“Tasawuf artinya, memihak pada hakikat-hakikat dan memutuskan harapan dari semua

yang ada pada makhluk”.

Hamdun al-Qashshsar:

“Bersahabatlah dengan para Sufi, karena mereka melihat dengan alasan-alasan untuk

memaafkan perbuatan-perbuatan yang tak baik, dan bagi mereka perbuatan-perbuatan baik pun bukan suatu yang besar, bahkan mereka bukan menganggapmu besar karena mengerjakan kebaikan itu.”

Al-Kharraz:

“Mereka adalah kelompok manusia yang mengalami kelapangan jiwa yang

mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan segala-galanya. Mereka diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat di hatinya, ingatlah, menangislah kalian karena kami.”

Sahl bin Abdullah:

“Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis.” Ahmad an-Nuury:

“Tanda orang Sufi adalah ia rela manakala manakala tidak punya, dan peduli orang lain

ketika ada.”

Muhammad bin Ali Kattany:

“Tasawuf adalah akhlak yang baik, barangsiapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti ia

melebihimu dalam Tasawuf.”

Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary:

“Tasawuf adalah tinggal di pintu Sang Kekasih, sekali pun engkau diusir.”

“Tasawuf adalah Sucinya Taqarrub, setelah kotornya berjauhan dengannya.”

Abu Bakr asy-Syibli:

“Tasawuf adalah duduk bersama Allah Swt. tanpa hasrat.”

“Sufi terpisah dari manusia, dan bersambung dengan Allah Swt. sebagaimana

difirmankan Allah Swt, kepada Musa, “Dan Aku telah memilihmu untuk DiriKu.” (Thoha:

41) dan memisahkannya dari yang lain. Kemudian Allah Swt. berfirman kepadanya, “Engkau tak akan bisa melihatKu.”

(27)

“Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Tuhan Yang Haq.”

“Tasawuf adalah kilat yang menyala, dan Tasawuf terlindung dari memandang

makhluk.”

“Sufi disebut Sufi karena adanya sesuatu yang membekas pada jiwa mereka. Jika bukan

demikian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka.”

Al-Jurairy:

“Tasawuf berarti kesadaran atas keadaan diri sendiri dan berpegang pada adab.” Al-Muzayyin:

“Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq.” Askar an-Nakhsyaby:

“Orang Sufi tidaklah dikotori suatu apa pun, tetapi menyucikan segalanya.” Dzun Nuun Al-Mishry:

“Kaum Sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah Swt. diatas segala-galanya dan yang diutamakan

oleh Allah di atas segala makhluk yang ada.”

Muhammad al-Wasithy:

“Mula-mula para Sufi diberi isyarat, kemudian menjadi gerakan-gerakan, dan sekarang

tak ada sesuatu pun yang tinggal selain kesedihan.”

Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusy:

“Aku bertanya kepada Ali al-Hushry, siapakah, yang menurutmu Sufi itu? ” Lalu ia

menjawab, “Yang tidak di bawa bumi dan tidak dinaungi langit.” Dengan ucapannya menurut saya, ia merujuk kepada keleburan.”

Ahmad ibnul Jalla’:

“Kita tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiyah, namun kita tahu bahwa mereka

adalah orang-orang yang miskin, sama sekali tidak memiliki sarana-sarana duniawi. Mereka bersama Allah Swt. tanpa terikat pada suatu tempat tetapi Allah Swt, tidak menghalanginya dari mengenal semua tempat. Karenanya disebut Sufi.”

Abu Ya’qub al-Madzabily:

“Tasawuf adalah keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus.” Abul Hasan as-Sirwany:

“Sufi itu yang bersama ilham, bukan dengan wirid yang meyertainya.” Abu Ali Ad-Daqqaq:

“Yang terbaik untuk diucapkan tentang masalah ini adalah, “Inilah jalan yang tidak

cocok kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah Swt, untuk menyapu

kotoran binatang.”

“Seandainya sang fakir tak punya apa-apa lagi kecuali hanya ruhnya, dan ruhnya ditawarkannya pada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekor pun yang menaruh perhatian padanya.”

(28)

“Tasawuf adalah berpaling dari sikap menentang ketetapan Allah.”

Dari seluruh pandangan para Sufi itulah akhirnya Al-Qusayiry menyimpulkan bahwa Sufi dan Tasawuf memiliki terminologi tersendiri, sama sekali tidak berawal dari etimologi, karena standar gramatika Arab untuk akar kata tersebut gagal membuktikannya.

Alhasil, dari seluruh definisi itu, semuanya membuktikan adanya adab hubungan antara hamba dengan Allah Swt, dan hubungan antara hamba dengan sesamanya. Dengan kata lain, Tasawuf merupakan wujud cinta seorang hamba kepada Allah dan RasulNya, pengakuan diri akan haknya sebagai hamba dan haknya terhadap sesama di dalam amal kehidupan.

Terminologi Tasawuf

Di dalam dunia Tasawuf muncul sejumlah istilah-istilah yang sangat populer, dan menjadi terminologi tersendiri dalam disiplin pengetahuan. Dari istilah-istilah tersebut sebenarnya merupakan sarana untuk memudahkan para pemeluk dunia Sufi untuk memahami lebih dalam. Istilah-istilah dalam dunia Sufi, semuanya didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Karena dibutuhkan sejumlah ensiklopedia Tasawuf untuk memahami sejumlah terminologinya, sebagaimana di bawah ini, yaitu:

Ma’rifatullah, Al-Waqt, Maqam, Haal, Qabdh dan Basth, Haibah dan Uns, Tawajud – Wajd – Wujud, Jam’ dan Farq, Fana’ dan Baqa’, Ghaibah dan Hudhur, Shahw dan Sukr, Dzauq dan Syurb, Mahw dan Itsbat, Sitr dan Tajalli, Muhadharah, Mukasyafah dan Musyahadah, Lawaih, Lawami’ dan Thawali’, Buwadah dan Hujum, Talwin dan Tamkin, Qurb dan Bu’d, Syari’at dan Hakikat, Nafas, Al-Khawathir, Ilmul Yaqin, Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin, Warid, Syahid, Nafsu, Ruh, Sirr, dan yang lainnya.

Kemudian istilah-istilah yang masuk kategori Maqomat (tahapan) dalam Tasawuf, antara lain:

Taubat, Mujahadah, Khalwat, Uzlah, Taqwa, Wara’, Zuhud, Diam, Khauf, Raja’, Huzn, Lapar dan Meninggalkan Syahwat, Khusyu’ dan Tawadhu’, Jihadun Nafs, Dengki, Pergunjingan, Qana’ah, Tawakkal, Syukur, Yakin, Sabar, Muraqabah, Ridha, Ubudiyah, Istiqamah, Ikhlas, Kejujuran, Malu, Kebebasan, Dzikir, Futuwwah, Firasat, Akhlaq, Kedermawaan, Ghirah, Kewalian, Doa, Kefakiran, Tasawuf, Adab, Persahabatan, Tauhid, Keluar dari Dunia, Cinta, Rindu, Mursyid, Sama’, Murid, Murad, Karomah, Mimpi, Thariqat, Hakikat, Salik, Abid, Arif, dan seterusnya.

Seluruh istilah tersebut biasanya menjadi tema-tema dalam kitab-kitab Tasawuf, karena perilaku para Sufi tidak lepas dari substansi dibalik istilah-sitilah itu semua, dan nantinya di balik istilah tersebut selain bermuatan substansi, juga mengandung “rambu-rambu” jalan ruhani itu sendiri.

Referensi

Dokumen terkait