• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubbul Jah (kasihkan kemegahan) 7. Hubbud Dunya (kasihkan dunia)

Dalam dokumen Syariat Hakikat Tarikat and Makrifat (Halaman 35-68)

SIFAT MAHMUDAH 1. Taubat (ةبوت)

6. Hubbul Jah (kasihkan kemegahan) 7. Hubbud Dunya (kasihkan dunia)

8. Takabbur (sombong) (ربكت)

9. ‘Ujub (bangga diri) (بجع )

10. Riya’(ءاير )

Salam dan trims pertanyaanya:

1- Syariat itu adalah ajaran Nabi saww. Hakikat itu adalah Perbuatan Nabi saww dan Hakikat itu adalah capaian Nabi saww.Sedang makrifat itu adalah capaian ilmu yang didapat dari takwa atau dalil-dalil. tetapi yang dimaksud di tulisan di atas adalah yang dicapai dengan takwa dan suluk. tetapi hadits yang ada, tanpa makrifat. Jadi, Nabi saww mengatakan:

"Syari'at itu adalah ajaranku. Thariqat itu adalah perbuatanku/amalanku. Hakikat itu adalah capaianku/keadaanku." 2- Urutannya, kalau tanpa makrifat, maka sudah jelas. tetapi yang harus diperhatikan bahwa urutan2 itu tanpa pembatalan. Jadi, urutan pertama itu harus dipertahankan walaupun seseorang sudah sampai ke thariqat dan hakikat. Karena yang sebelumnya adalah sebab bagi tingkatan berikutnya dan, sebab, tidak bisa dilepaskan dari akibatnya. Contohnya, kalau ilmu-ilmu di SD dilupakan, maka sekalipun seseorang sudah menjadi Doktor, ia akan

kembali menjadi anak-anak kecil lagi dan tidak akan tahu apa-apa lagi. Kalau seseorang sudah lupa akan 1+1=2, maka sekalipun ia sudah menjadi Doktor tentang atom sekalipun, akan kembali menjadi bodoh kembali. Jadi, jangan seperti para sok shufi (mutashawwafiha) yang mengatakan bahwa kalau sudah sampai ke thariqat atau hakikat, tidak perlu lagi kepada syari'at.

3- Tashawwuf yang Sebenarnya adalah yang mengajarkan wahdatulwujud dan berusaha mencapainya dengan benar (lihatCatatan-Catatan tentang ini -wahdatulwujud- di Catatan-catatanku yang sudah 16 seri itu). Tidak seperti para sok shufi yang tidak paham wahdatulwujud (hingga meyakini ittihaad dan huluul) dan berusaha mencapainya dengan wirid-wirid ini dan itu, goyang kanan dan kiri dan semacamnya. Orang-orang seperti ini dijuluki oleh Mulla Shadra ra Sebagai Mutashawwifah atau sok shufi.

4- Ilmu Ladunni adalah ilmu yang diilhamkan kepada seseorang dari sisi Allah. Ladun artinya sisi/dekat. Jadi, ilmu ladunni adalah yang dikirim dari sisi Allah seperti yang dikatakan di ayat Sebagai "min ladunnaa", yakni "dari sisi Kami".

Syariat, Tarekat, Hakekat, dan Makrifat

Di zaman saat ini seorang muslim terkadang telah dipusingkan atau dikotak-kotak dalam perbedaan antara Syari’at, Tarekat, Hakikat, dan Makrifat. Sebenarnya apa itu semua, Apakah itu sebuah kajian akademik ataukah sebuah dogma.

Syari’at adalah ilmu tentang perintah dan larangan Allah yang harus disampaikan kepada para Nabi dan Rasul melalui jalan wahyu (wahyu tasyri’), baik yang

langsung dari Allah maupun yang menggunakan perantaraan malaikat Jibril. Jadi semua wahyu yang diterima oleh para nabi semenjak Nabi Adam alaihissalam hingga nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ilmu laduni termasuk yang diterima oleh Nabi Musa A.s dari Nabi Khidir A.s.

Allah Swt berfirman tentang Khidhir A.s:

“Yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” ( Q.S Al-Kahfi: 65)Di dalam hadits Imam Al Bukhari, Nabi Khidir A.s berkata kepada Nabi MusaA.s :

“Sesungguhnya aku berada di atas sebuah ilmu dari ilmu Allah yang telah Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya.

Dan engkau (juga) berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadamu yang aku tidak mengetahuinya juga.”Ilmu syari’at ini sifatnya mutlak kebenarannya, wajib dipelajari dan diamalkan oleh setiap Mukallaf (baligh dan Mukallaf) sampai datang ajal kematiannya.

Tarekat (Bahasa Arab: قرط, transliterasi: Tariqah) berarti “Jalan” atau “Metode”, dan mengacu pada aliran kegamaan tasawuf atau sufisme/ mistisme Islam. Di zaman sekarang ini, Tarekat merupakan jalan (pengajian) yang mengajak ke jalan illahiyah dengan cara Suluk (Taqarrub) yang biasanya dilakukan oleh Salik.

Hakikat (Haqiqat) adalah kata benda yang berarti kebenaran atau yang benar-benar ada. Yang berasal dari kata Hak (Al-Haq), yang berarti milik (kepunyaan) atau benar (kebenaran).

Kata “Haq“, secara khusus oleh orang-orang sufi sering digunakan sebagai istilah untuk Allah Swt, sebagai pokok (sumber) dari segala kebenaran, sedangkan yang berlawanan dengan itu semuanya disebut bathil (yang tidak benar).

Ma’rifat yaitu ilmu tentang sesuatu yang ghaib melalui jalan Kasyf (wahyu ilham/ terbukanya tabir ghaib) atau Ru’ya (mimpi) yang diberikan oleh Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin dan shalih. Ilmu kasyf inilah yang dimaksud dan dikenal dengan julukan “ilmu laduni” di kalangan ahli tasawwuf. Sifat ilmu ini tidak boleh diyakini atau di amalkan manakala menyalahi ilmu syari’at yang sudah termaktub di dalam mushaf Al-Qur’an maupun kitab-kitab hadits. Menyalahi di sini bisa berbentuk menentang, menambah, atau mengurangi.Ma’rifat juga berarti pengetahuan yang hakiki tentang illahiyah. Dengan orang menjalankan Syari’at, masuk Tarekat, kemudian ber-Hakikat untuk mendapatkan Makrifatullah sehingga menjadi hamba yang selalu mendekatkan diri setiap detik hanya ke Allah Swt. Lantas bagaimana jalannya

Seharusnya orang yang mengaku ber-Tarekat, ber-Hakikat dan ber-Makrifat harus berada didalam Syari’at. seharusnya perjalan spritual berasal dari Makrifat yang berarti berpengetahuan meluas dalam memahami Islam baik dalam Al-Qur’an, Hadist, Ushul Fiqih, Balaghoh, ‘Ard, dan Bahasa. Dengan keluasan makrifat orang akan mendapat Hakikat illahiyah yang melahirkan gerakan tarekat dan berujung pada inti Islam yang tidak lain Syari’at.

Perjalan Nabi Muhammad Saw dimulai dari Ma’rifat, Tarekat, Hakikat, dan akhirnya sampai pada Syari’at.

Ma’rifat adalah bertemu dan mencairnya kebenaran yang hakiki: yang disimbolkan saat Nabi Muhammad Saw bertemu dengan Malaikat Jibril A.s, Hakikat saat dia mencoba untuk merenungkan berbagai perintah untuk Iqra, Tarekat saat

Muhammad Saw berjuang untuk menegakkan jalannya dan Syari’at adalah saat Muhammad Saw mendapat perintah untuk sholat saat Isra’ Mi’raj yang merupakan puncak pendakian tertinggi yang harus dilaksanakan oleh umat muslim.

Munculnya istilah Tarekat, Hakikat, dan Makrifat dalam akademisi kajian Islam jauh setelah wafatnya Rasulullah Saw sekitar abad 5 Hijriyah. Sekitar zaman Hujjatul Islam Syekh Imam Al-Ghazali Asy-Syafi’i yang menyendiri dari kajian ilmiah

(falsafah) setelah menulis Tahafut al-Falasifah. Kemudian Al-Ghazali menjadi Sufi Sejati dengan menulis kitab sufi Ihya Ulumuddin. kemudian dunia Islam Timur Tengah tenggelam dalam sufi. Dan kemajuan Islam hanya di daerah Mongol, Turki, dan Spanyol yang diprakarsai oleh Ibn Rusdi.

Tidak seharusnya seorang muslim sejati mengkotak-kotakkan ini Syari’at, ini Tarekat, ini Hakekat, ini Ma’rifat, karena yang berkata demikian hanyalah orang yang tidak banyak mengetahui ke-ilmuan Islam secara holistik.

RAHASIA MA’RIFAT

Sangat sulit menjelaskan hakikat dan ma’rifat kepada orang-orang yang mempelajari agama hanya pada tataran Syari’at saja, menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist akan tetapi tidak memiliki ruh dari pada Al-Al-Qur’an itu sendiri. Padahal hakikat dari Al-Qur’an itu adalah Nur Allah yang tidak berhuruf dan tidak bersuara, dengan Nur itulah Rasulullah Saw memperoleh pengetahuan yang luar biasa langsung dari Allah Swt.

Hafalan tetaplah hapalan dan itu tersimpan di otak yang dimensinya rendah tidak adakan mampu menjangkau hakikat Allah Swt, otak itu baru sedangkan Allah Swt itu adalah Qadim sudah pasti Baru tidak akan sampai kepada Qadim. Kalau anda cuma belajar dari dalil dan mengharapkan bisa sampai kehadirat Allah Swt dengan dalil yang anda miliki maka PASTI anda tidak akan sampai kehadirat-Nya.

Ketika anda tidak sampai kehadirat-Nya sudah pasti anda sangat heran dengan ucapan orang-orang yang sudah berma’rifat, bisa berjumpa dengan Malaikat,

berjumpa dengan Rasulullah Saw, dan melihat Allah Swt, dan anda menganggap itu sebuah kebohongan dan sudah pasti anda mengumpulkan lagi puluhan bahkan ratusan dalil untuk membantah ucapan para ahli ma’rifat tersebut dengan dalil yang menurut anda sudah benar, padahal kadang kala dalil yang anda berikan justru sangat mendukung ucapan para Ahli Ma’rifat cuma sayangnya matahati anda dibutakan oleh hawa nafsu, dalam Al-Qur’an disebut “Khatamallahu ‘ala Qulubihim” (Tertutup mata hati mereka) itulah Hijab yang menghalangi anda menuju Tuhan. Rasulullah Saw menggambarkan Ilmu hakikat dan ma’rifat itu sebagai “Haiatul Maknun” artinya “Perhiasan yang sangat indah”.

Sebagaimana hadist yang dibawakan oleh Abu Hurairah R.a bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya sebagian ilmu itu ada yang diumpamakan seperti perhiasan yang indah dan selalu tersimpan yang tidak ada seoranpun mengetahui kecuali para Ulama Allah. Ketika mereka menerangkannya maka tidak ada yang mengingkari kecuali orang-orang yang biasa lupa (tidak berzikir kepada Allah Swt)” (H.R. Abu Abdir Rahman As-Salamy).

Di dalam hadist ini jelas ditegaskan menurut kata Nabi Muhammad Saw bahwa ada sebagian ilmu yang tidak diketahui oleh siapa pun kecuali para Ulama Allah yakni Ulama yang selalu hanya berdzikir kepada Allah Swt dengan segala

konsekwensinya. Ilmu tersebut sangat indah laksana perhiasan dan tersimpan rapi yakni ilmu Thariqat yang didalamnya terdapat amalan-amalan seperti Ilmu Latahif dan lain-lain.

Masih ingat kita cerita Nabi Musa A.s dengan Nabi Khidir A.s yang pada akhir perjumpaan mereka membangun sebuah rumah untuk anak yatim piatu untuk menjaga harta berupa emas yang tersimpan dalam rumah, kalau rumah tersebut dibiarkan ambruk maka emasnya akan dicuri oleh perampok, harta tersebut tidak lain adalah ilmu hakikat dan ma’rifat yang sangat tinggi nilainya dan rumah yang dimaksud adalah ilmu Syari’at yang harus tetap dijaga untuk membentengi agar tidak jatuh ketangan yang tidak berhak.

Semakin tegas lagi pengertian di atas dengan adanya hadist Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan dari Abu Hurairah R.a sebagai berikut :

“Aku telah hafal dari Rasulullah Saw dua macam ilmu, pertama ialah ilmu yang aku dianjurkan untuk menyebar luaskan kepada sekalian manusia yaitu Ilmu Syariat. Dan yang kedua ialah ilmu yang aku tidak diperintahkan untuk menyebarluaskan kepada manusia yaitu Ilmu yang seperti “Hai’atil Maknun”. Maka apabila ilmu ini aku sebarluaskan niscaya engkau sekalian memotong leherku (engkau

menghalalkan darahku).” (HR. Thabrani).Hadist di atas sangat jelas jadi tidak perlu diuraikan lagi, dengan demikian barulah kita sadar kenapa banyak orang yang tidak senang dengan Ilmu Thariqat?

Karena ilmu itu memang amat rahasia, sahabat Rasulullah Saw saja tidak di izinkan untuk disampaikan secara umum, karena ilmu itu harus diturunkan dan mendapat izin dari Rasulullah Saw, dari nabi izin tersebut diteruskan kepada Khalifah nya terus kepada para Aulia Allah sampai saat sekarang ini. Jika ilmu Hai’atil Maknun itu disebarkan kepada orang yang belum berbait dzikir atau “disucikan” sebagaimana telah firmankan dalam Al-Qur’an surat Al-‘Ala, orang-orang yang cuma Ahli Syari’at semata-mata, maka sudah barang tentu akan timbul anggapan bahwa ilmu jenis kedua ini yakni Ilmu Thariqat, Hakikat, dan Ma’rifat adalah Bid’ah Dlolalah.

Dan mereka ini mempunyai I’tikqat bahwa ilmu yang kedua tersebut jelas di ingkari oleh Syara’. Padahal tidak demikian, bahwa hakekat ilmu yang kedua itu tadi justru merupakan inti sari daripada ilmu yang pertama artinya ilmu Thariqat itu inti sari dari Ilmu Syari’at.

Oleh karena itu jika anda ingin mengerti Thariqat, Hakekat, dan Ma’rifat secara mendalam maka sebaiknya anda berbai’at saja terlebih dahulu dengan Guru Mursyid (Khalifah) yang ahli dan diberi izin dengan Taslim dan Tafwidh dan ridho. Jadi tidak cukup hanya melihat tulisan buku-buku lalu mengingkari bahkan mungkin mudah timbul prasangka jelek terhadap ahli thariqat. Dalam setiap peristiwa yang mewarnai kehidupan ini, seringkali kita tidak mampu atau tidak mau menangkap kehadiran Allah Swt dengan segala sifat-sifat-Nya. Padahal sifat-sifat Allah Swt sangat terkait erat dengan ayat-ayat Kauniyah-Nya yang terhampar di atas muka bumi-Nya.

Betapa Allah Swt melalui ayat-ayat Kauniyah-Nya- memang ingin menunjukkan ke-Maha Kuasaan-Nya dan ke-ke-Maha Besaran-Nya agar hamba-hamba-Nya senantiasa mawas diri, waspada dan berhati-hati dalam bertindak dan berperilaku agar tidak mengundang turunnya sifat Jalilah-Nya yang tidak akan mampu dibendung, apalagi dilawan oleh siapa pun, dengan upaya dan sarana kekuatan apapun tanpa

terkecuali, karena memang Allah Swt-lah satu-satunya pemilik kekuatan dan kekuasaan terhadap seluruh makhluk-Nya.

Berdasarkan pembacaan terhadap ayat-ayat Al Qur’an secara berurutan, terdapat paling tidak empat ayat yang menyebut sifat-sifat Jamilah dan Jalilah Allah Swt secara berdampingan, yaitu: pertama, surah Al-Ma’idah [5]: 98, :

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Kedua, akhir surah Al-An’am [6]: 165, “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Ketiga, surah Ar-Ra’d [13]: 6, “Mereka meminta kepadamu supaya disegerakan (datangnya) siksa, sebelum (mereka meminta) kebaikan, padahal telah terjadi bermacam-macam contoh siksa sebelum mereka. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai ampunan (yang luas) bagi manusia sekalipun mereka zhalim, dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar sangat keras siksanya”.

Dan keempat, surah Al-Hijr [15]: 49-50, “Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya adzab-Ku adalah adzab yang sangat pedih”.

Pada masing-masing ayat di atas, Allah Swt menampilkan Diri-Nya dengan dua sifat yang saling berlawanan; Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang yang

merupakan esensi dari sifat Jamilah-Nya, namun pada masa yang sama ditegaskan juga bahwa Allah Swt amat keras dan pedih siksaan-Nya yang merupakan cermin dari sifat Jalilah-Nya. Menurut Ibnu Abbas R.a, seorang tokoh terkemuka tafsir dari kalangan shahabat, ayat-ayat tersebut merupakan ayat Al Qur’an yang sangat diharapkan oleh seluruh hamba Allah Swt (Arja’ Ayatin fi Kitabillah).

Karena menurut Ibnu Katsir R.a – ayat-ayat ini akan melahirkan dua sikap yang benar secara seimbang dari hamba-hamba Allah Swt yang beriman, yaitu sikap harap terhadap sifat-sifat Jamilah Allah dan sikap cemas serta khawatir akan ditimpa sifat Jalilah Allah (Ar-Raja’ wal Khauf).

Sementara Imam Al-Qurthubi memahami ayat tentang sifat-sifat Allah Swt semakna dengan hadits Rasulullah Saw yang menegaskan,

“Sekiranya seorang mukmin mengetahui apa yang ada di sisi Allah Swt dari ancaman adzab-Nya, maka tidak ada seorangpun yang sangat berharap akan mendapat surga-Nya.

Dan sekiranya seorang kafir mengetahui apa yang ada di sisi Allah Swt dari rahmat-Nya, maka tidak ada seorangpun yang berputus asa dari rahmat-Nya”. ( HR.

Muslim)

Dalam konteks ini, Syekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, seorang tokoh tafsir berkebangsaan Mesir mengelompokkan sifat-sifat Allah Swt yang banyak

disebutkan oleh Al Qur’an kedalam dua kategori, yaitu sifat Jamilah dan Sifat-sifat Jalilah. Kedua Sifat-sifat itu selalu disebutkan secara beriringan dan berdampingan. Tidak disebut sifat-sifat Jamilah Allah, melainkan akan disebut setelahnya sifat-sifat Jalilah-Nya. Begitupula sebaliknya.

Dan memang begitulah Sunnatul Qur’an selalu menyebutkan segala sesuatu secara berlawanan; antara surga dan neraka, kelompok yang dzalim dan kelompok yang baik, kebenaran dan kebathilan dan lain sebagainya. Semuanya merupakan sebuah pilihan yang berada di tangan manusia, karena manusia telah dianugerahi oleh Allah Swt kemampuan untuk memilih, tentu dengan konsekuensi dan pertanggung jawaban masing-masing.

“Bukankah Kami telah memberikan kepada (manusia) dua buah mata,. lidah dan dua buah bibir. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan; petunjuk dan kesesatan”. (QS. Al-Balad: 8-10)

Sifat Jalilah yang dimaksudkan oleh beliau adalah sifat-sifat yang menunjukkan kekuasaan, kehebatan, cepatnya perhitungan Allah Swt dan kerasnya ancaman serta adzab Allah Swt yang akan melahirkan sifat Al-Khauf (rasa takut, khawatir) pada diri hamba-hamba-Nya. Manakala Sifat Jamilah adalah sifat-sifat yang menampilkan Allah Swt sebagai Tuhan Yang Maha Pengasih, Penyayang,

Pengampun, Pemberi Rizki, dan sifat-sifat lainnya yang memang sangat dinanti-nantikan kehadirannya oleh setiap hamba Allah Swt tanpa terkecuali. Dan jika dibuat perbandingan antara kedua sifat tersebut, maka sifat jamilah Allah jelas lebih banyak dan dominan dibanding sifat jalilah-Nya. Pada tataran Implementasinya, pemahaman yang benar terhadap kedua sifat Allah Swt tersebut bisa ditemukan dalam sebuah hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik R.a. Anas menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah Saw bertakziyah kepada seseorang yang akan meninggal dunia.

Ketika Rasulullah Saw bertanya kepada orang itu, “Bagaimana kamu mendapatkan dirimu sekarang?”,

Ia menjawab, “Aku dalam keadaan harap dan cemas”. Mendengar jawaban laki-laki itu, Rasulullah Saw bersabda, ‘Tidaklah berkumpul dalam diri seseorang dua

perasaan ini, melainkan Allah Swt akan memberikan apa yang dia harapkan dan menenangkannya dari apa yang ia cemaskan”. (HR. At Tirmidzi dan Nasa’i).

Sahabat Abdullah bin Umar R.a seperti dinukil oleh Ibnu Katsir memberikan kesaksian bahwa orang yang dimaksud oleh ayat-ayat di atas adalah Utsman bin Affan R.a. Kesaksian Ibnu Umar tersebut terbukti dari pribadi Utsman bin Affan R.a bahwa ia termasuk sahabat yang paling banyak bacaan Al Qur’an dan sholat malamnya. Sampai Abu Ubaidah R.a meriwayatkan bahwa Utsman bin Affan R.a terkadang meng-khatamkan bacaan Al Qur’an dalam satu rakaat dari sholat malamnya. Sungguh satu tingkat kewaspadaan hamba Allah Swt yang tertinggi bahwa ia senantiasa khawatir dan cemas akan murka dan ancaman adzab Allah Swt dengan terus meningkatkan kualitas dan kuantitas pengabdian kepada-Nya.

Disamping tetap mengharapkan rahmat Allah Swt melalui amal sholehnya.

Betapa peringatan dan cobaan Allah Swt justru datang saat kita lalai, saat kita terpesona dengan tarikan dunia dan saat kita tidak menghiraukan ajaran-ajaran-Nya, agar kita semakin menyadari akan keberadaan sifat-sifat Allah Swt yang Jalillah maupun yang Jamilah untuk selanjutnya perasaan harap dan cemas itu terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari. Boleh jadi saat ini Allah Swt masih berkenan hadir dengan sifat Jamilah-Nya dalam kehidupan kita karena kasih sayang-Nya yang besar, namun tidak tertutup kemungkinan karena dosa dan kemaksiatan yang selalu mendominasi perilaku kita maka yang akan hadir justru sifat Jalilah-Nya. Na’udzu Billah.

Memang hanya orang-orang yang selalu waspada yang mampu mengambil hikmah dan pelajaran dari setiap peristiwa yang terjadi. Saatnya kita lebih mawas diri dan meningkatkan kewaspadaan dalam segala bentuknya agar terhindar dari sifat Jalilah Allah Swt dan senatiasa meraih sifat jamilah-Nya.

Dan itulah tipologi manusia yang dipuji oleh Allah Swt dalam firman-Nya yang bermaksud,

“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia senantiasa cemas dan khawatir akan (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”

Sesungguhnya orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Az-Zumar [39]: 9)

Semoga kasih sayang Allah Swt yang merupakan cermin dari sifat Jamilah-Nya senantiasa mewarnai kehidupan ini dan menjadikannya sarat dengan kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan lahir dan bathin. Dan pada masa yang sama, Allah Swt berkenan menjauhkan bangsa ini dari sifat Jalilah-Nya yang tidak mungkin dapat dibendung dengan kekuatan apapun karena memang mayoritas umat ini mampu merealisasikan nilai iman dan takwa dalam kehidupan sehari-hari mereka.

APABILA TUHAN MEMBUKAKAN BAGIMU JALAN UNTUK MA’RIFAT, MAKA JANGAN HIRAUKAN TENTANG AMALMU YANG MASIH SEDIKIT KARENA ALLAH SWT TIDAK MEMBUKA JALAN TADI MELAINKAN DIA BERKEHENDAK MEMPERKENALKAN DIRI-NYA KEPADA KAMU.

Pengertian Amal, Qada dan Qadar, Tadbir dan Ikhtiar, Do’a, dan Janji Allah Swt, semuanya itu mendidik rohani agar melihat ke dalam diri betapa kecilnya apa yang datang dari seorang hamba dan sebaliknya betapa besar apa yang dikaruniakan oleh Allah Swt.

Rohani yang terdidik seperti ini akan membentuk sikap beramal tanpa melihat kepada amalan itu, tapi sebaliknya melihat amalan itu sebagai karunia dari Allah Swt yang wajib disyukuri. Orang yang terdidik seperti ini tidak lagi membuat tuntutan kepada Allah Swt tetapi membuka hati nuraninya untuk menerima taufik dan hidayah dari Allah Swt.

Orang berpikiran jernih akan menuju kepada kesucian hati dan akan mudah menerima pancaran Nur Sirr. Mata hatinya akan melihat kepada hakikat bahwa Allah Swt, Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Suci, dan Maha Tinggi tidak mungkin ditemui dan dikenali kecuali jika Dia sendiri yang ingin ditemui dan dikenali. Tidak

Dalam dokumen Syariat Hakikat Tarikat and Makrifat (Halaman 35-68)

Dokumen terkait