• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Metafora berperan penting dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Metafora berperan penting dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Untuk"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Metafora berperan penting dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Untuk menarik perhatian pembaca, judul-judul berita pada surat kabar, tabloid, atau majalah sering dinyatakan secara metaforis. Ekspresi metaforis biasanya juga mengisi percakapan di antara partisipan, baik dalam situasi formal maupun dalam situasi nonformal. Misalnya, ekspresi metaforis seperti membuang waktu, menang

berdebat, menyerang KPK, atau mendidih darah terdengar begitu akrab dan

lazim dalam bahasa Indonesia sehari-hari. Hal ini sejalan dengan pendapat Lakoff dan Johnson (1980: 3) yang mengatakan bahwa sistem konseptual manusia pada hakikatnya adalah metafora.

Sejauh mana peran metafora dalam bahasa diterangkan dengan baik oleh Hai-Yun (2007: 34). Menurut Hai-Yun, ada tiga fungsi komunikatif dari metafora. Pertama, metafora memungkinkan penutur bahasa untuk mengungkapkan gagasan-gagasan yang abstrak dan rumit apabila dia (merasa) terbatas dalam penggunaan bahasa harfiah. Kedua, metafora merupakan suatu cara komunikasi yang rapi sebab banyak informasi dapat disampaikan secara ringkas. Ketiga, metafora mampu memberikan gambaran yang lebih kaya, lebih hidup, dan lebih terperinci tentang pengalaman subjektif penutur bahasa daripada pengalaman tersebut diekspresikan secara harfiah (lihat juga Verspoor, 1993: 5; Croft dan Cruse, 2004: 193).

(2)

Metafora dalam kenyataannya merupakan suatu mekanisme yang lazim digunakan oleh penutur bahasa untuk mengungkapkan jenis-jenis peristiwa yang berbeda, khususnya peristiwa-peristiwa abstrak. Karena kelaziman itu, ekspresi metaforis dapat memengaruhi makna harfiah kata-kata (lihat Saeed, 1997: 16; Mercer, 2000: 79). Tidak terlalu mengherankan jika batas antara makna harfiah dan makna figuratif kadang-kadang sulit ditentukan dengan jelas. Lakoff dan Johnson (1980) mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan prinsip antara pemakaian bahasa harfiah dan pemakaian bahasa metaforis. Menurut kedua pelopor linguistik kognitif itu, hal itu terjadi karena “sebagian besar proses pikiran manusia adalah metaforis” dan “sistem konseptual manusia dibangun dan dibatasi secara metaforis” (Lakoff dan Johnson, 1980: 6).

Keadaan internal, khususnya keadaan emosional, sering dideskripsikan secara metaforis (Verspoor, 1993: 42; Sandström, 2006: 1; dan Rajeg, 2009: 4). Ekspresi metaforis untuk keadaan emosional didasari asumsi bahwa kualitas keadaan emosional sulit diungkapkan dan dipahami dengan baik jika hanya menggunakan bahasa harfiah. Apabila suatu keadaan emosional (misalnya, sedih) dapat dinamai dengan mudah, penutur bahasa pada umumnya terkendala dalam menyediakan deskripsi harfiah tentang kualitas pengalaman emosi tertentu, kecuali yang bersangkutan menggunakan ekspresi metaforis (misalnya, hancur

hatinya). Hal ini mencerminkan kegunaan metafora untuk konsep-konsep abstrak.

Sehubungan dengan hal itu, Hai-Yun (2007: 35) menjelaskan bahwa ada dua cara penutur bahasa dalam menyampaikan kualitas keadaan emosionalnya. Pertama, penutur menggunakan bahasa harfiah dalam mendeskripsikan suatu peristiwa yang dipicu oleh keadaan emosional tertentu dan dia berharap bahwa

(3)

petutur dapat menyimpulkan perasaannya dengan tepat. Pada kasus seperti ini, deskripsi harfiah tidak menggambarkan kualitas keadaan subjektif, tetapi menandai keadaan emosional yang diperolehnya. Kedua, penutur menggunakan metafora untuk mendeskripsikan kualitas keadaan emosionalnya. Pada cara yang kedua ini, deskripsi metaforis mengungkapkan upaya dalam menggolongkan kualitas keadaan subjektif.

Lebih jauh, ada berbagai kategori metafora untuk menyatakan keadaan emosional. Penamaan metafora itu didasari tipe emosi dasar yang disandangnya. Salah satu di antara kategori metafora itu ialah metafora cinta; artinya, konsep

cinta dinyatakan dengan bahasa metaforis atau bahasa figuratif. Rajeg (2009: 7)

berpendapat bahwa cinta tergolong konsep emosi yang “bermetafora” tinggi sebab

cinta selain dapat dianggap sebagai suatu hubungan, juga dianggap sebagai emosi.

Apabila cinta dipahami sebagai sebuah konsep emosi universal dapat diartikan bahwa ekspresi metaforis untuk konsep cinta ditemukan pada bahasa-bahasa di dunia meskipun cara-cara yang digunakan penutur dalam mengonseptualisasikan emosi cinta itu berbeda-beda.

Misalnya, dalam bahasa Inggris, konsep love memiliki lebih dari dua puluh ranah semantis yang berbeda yang dapat ditempatkan pada sumbernya, antara lain PERJALANAN, PERANG, API, dan PERMAINAN (Kövecses, 2006: 120—121). Akibat perbedaan pada konseptualisasi tentang cinta, jumlah ranah ‘cinta’ dalam bahasa Inggris tentunya berlainan dengan ranah ‘cinta’dalam bahasa-bahasa yang lain, termasuk dalam bahasa Angkola, yaitu bahasa yang umumnya dituturkan oleh masyarakat yang berdomisili di Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara.

(4)

Penelitian tentang metafora cinta dalam bahasa Angkola sangat penting untuk dilakukan. Sekurang-kurangnya, ada tiga alasan utamanya. Pertama, bahasa Angkola kaya akan ekspresi metaforis untuk menyatakan cinta. Perasaan cinta yang muncul di dalam diri seseorang didorong oleh suatu keinginan untuk selalu bersama atau keinginan untuk berada di dekat orang yang dicintai dan orang itu biasanya akan merasakan kerinduan yang mendalam apabila ditinggal pergi oleh pasangannya dalam jangka waktu yang lama.

Bukti tentang kekayaan metafora cinta dalam bahasa Angkola (selanjutnya disingkat MCBA) tercermin dari faktor budayanya. Dalam masyarakat Angkola, konsep holong, yang dapat diterjemahkan sebagai ‘cinta dan kasih sayang’, merupakan sumber dari segala sumber masyarakat hukum adat (Lubis, 2006: 25). Konsep holong bertalian erat dengan konsep domu ‘persatuan dan kesatuan’. Lubis (2006: 25) mengemukakan bahwa konsep holong dan domu merupakan falsafah hidup yang bulat dan utuh dalam masyarakat Angkola, seperti terdapat pada ungkapan holong manjalahi domu (‘kasih sayang akan menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan’) dan domu manjalahi holong (‘rasa persatuan dan kesatuan akan menumbuhkan kasih sayang’). Bertolak dari kenyataan itu tidak berlebihan jika ditafsirkan bahwa konsep cinta merupakan ekspresi pengalaman dasar pada masyarakat Angkola. Karena metafora merupakan konseptualisasi pengalaman manusia yang bersumber dari bahasa alami, jenis penelitian ini tentu dapat menyingkap konsepsi dan persepsi penutur bahasa Angkola tentang realitas sosialnya, terutama dalam penggolongan emosi cinta.

Contohnya, perhatikan konsep cinta pada ekspresi metaforis dalam bahasa Angkola. Dengan metafora, peristiwa cinta pada kalimat (1) dan (2) terlihat lebih

(5)

jelas. Pada kalimat (1), ekspresi cinta diungkapkan secara langsung dengan kata

holong ‘kasih sayang’. Sebaliknya, pada kalimat (2) makna cinta dibentuk secara

tidak langsung melalui kombinasi antara kata parrasuan ‘hubungan’ dan kata

bondul makkalang ‘aral melintang’. Interpretasi yang diperoleh dari penjelasan ini

ialah bahwa kalimat (1) pada dasarnya bersumber dari ekspresi CINTA sebagai

KESATUAN (yang ditandai oleh penggunaan kata padomu ‘merajut’), sedangkan

kalimat (2) mengekspresikan CINTA sebagai PERJALANAN (yang ditandai oleh penggunaan kata bondul makkalang).

(1) Hami sannari giot padomu holong. 1Jm sekarang mau AKT.rajut sayang ‘Kami sedang merajut cinta.’

(2) Parrosuan on adong bondul makkalang. hubungan PART ada aral melintang ‘Hubungan ini mendapat rintangan.’

Pemahaman terhadap kategori cinta pada kedua contoh di atas didasari pertimbangan bahwa relasi metaforis sejatinya dibentuk oleh pemetaan pada ranah sumber dan ranah sasaran. Esensi metafora adalah pemahaman terhadap satu ranah pengalaman, yaitu ranah sasaran, berdasarkan ranah pengalaman lain, yaitu ranah sumber (lihat Lakoff dan Johnson, 1980: 117; Verspoor, 1993: 10—11; dan Palmer, 1996: 224). Pemahaman itu didasarkan pada seluruh ranah pengalaman, dan tidak didasarkan pada konsep-konsep yang terpisah. Dalam pengertian lain, sebuah makna baru tercipta pada ranah sumber dan makna itu kemudian dipetakan ke dalam ranah sasaran. Pemahaman terhadap makna (baru) itu dapat dicapai melalui satu penafsiran dengan memahami seluruh kalimat atau, dalam kerangka

(6)

linguistik kognitif, dengan menemukan persamaan makna umum yang terdapat di antara ranah sumber dan ranah sasaran.

Alasan yang kedua ialah bahwa penelitian tentang MCBA mempunyai nilai signifikansi yang tinggi. Alasan ini mengacu pada fakta bahwa makna cinta pada ekspresi metaforis tidak selalu mudah untuk ditafsirkan. Sebagai sebuah konsep emosi, ciri-ciri semantis yang termuat pada konsep cinta kadang-kadang bertumpang-tindih dengan ciri-ciri semantis pada konsep emosi lain (misalnya,

gembira). Hal ini tampak dengan jelas pada contoh-contoh berikut.

(3) Matania bolnang. 3Tg. terbelalak ‘Matanya berbinar.’ (4) Mukonia jeges. muka 3.Tg. cantik ‘Wajahnya berseri-seri.’ (5) Parmikimnia manarik. senyum 3Tg. AKT.tarik ‘Senyumnya sumringah.’

Metafora pada kalimat (3)—(5) di atas mencerminkan salah satu dari dua keadaan emosional, yakni cinta atau gembira. Tanpa pelibatan konteks, contoh-contoh itu cenderung ditafsirkan sebagai metafora gembira. Hal ini menunjukkan bahwa MCBA mengandung potensi ketaksaan yang tinggi dengan kategori metafora emosi yang lain sehingga tingkat analisisnya dianggap lebih rumit. Agar diperoleh interpretasi yang tepat perlu disediakan bukti-bukti pendukung tentang fenomena seperti itu.

(7)

Perlu dikemukakan bahwa metafora cinta juga memiliki batas yang kabur dengan metafora nafsu, seperti terlihat pada ekspresi Nafsunia kuat ‘Nafsunya meluap-luap’ atau dengan metafora takut, seperti pada ekspresi Tarottoknia

dotuk-dotuk ‘Jantungnya berdebar-debar’. Kesulitan lain ditemukan pada metafora sedih,

khususnya dalam pemuatan citra hati, seperti tampak pada kalimat Dohotnia

mangaciti ate-atekku ‘Dia menghancurkan hatiku’. Interpretasi terhadap kategori

emosi yang kabur seperti ini mensyaratkan penggunaan berbagai konteks yang tepat. Apabila tidak, interpretasi atas ekspresi metaforis itu menjadi kurang tepat dan kurang berterima dalam bahasa Angkola.

Alasan yang ketiga ialah bahwa penelitian ini, sejauh yang diketahui, belum pernah dikerjakan, lebih-lebih penelitian yang berbasis pada ancangan linguistik kognitif. Perhatian dan minat dari para ahli semantik untuk meneliti metafora emosi baru muncul akhir-akhir ini (lihat Rajeg, 2009; Mulyadi, 2010a, b). Penelitian yang ada umumnya mengandalkan korpus yang terbatas sehingga belum dapat merumuskan generalisasi yang valid tentang metafora emosi. Terkait dengan hal ini, benar bahwa Siregar (2004) telah mengkaji metafora politik dalam bahasa Indonesia secara mendalam, tetapi hasil penelitiannya berbeda dengan masalah yang dibicarakan dalam penelitian ini.

Penelitian semantik pada bahasa-bahasa daerah mencakup aspek-aspek semantis yang umum, seperti tipe-tipe makna, sinonim, antonim, ketaksaan makna, dan lain-lain (Silalahi, 2005: 96). Analisis metafora pada bahasa-bahasa daerah, antara lain, dikerjakan oleh Silalahi (2005) dan Nurismilida (2010). Akan tetapi, kedua jenis penelitian itu berbeda dengan penelitian MCBA walaupun ada kontribusinya pada tingkatan tertentu (lihat Bab II). Dengan korpus data yang luas,

(8)

jelaslah bahwa penelitian ini dimungkinkan untuk menghasilkan suatu generalisasi yang valid tentang kategori semantis MCBA dan pemetaan konseptual pada kedua ranahnya.

1.2 Perumusan Masalah

Penelitian ini pada dasarnya membahas relasi cinta (sebuah konsep abstrak) dengan berbagai peristiwa konkret seperti perjalanan, benda, cairan, api,

perang, atau binatang buas yang ditemukan dalam bahasa Angkola. Relasi

semantis antara konsep konkret dan konsep abstrak itu meliputi dua subjek penelitian yang menarik untuk diuji. Masalah penelitian ini dirumuskan secara ringkas sebagai berikut:

(1) Bagaimanakah kategorisasi semantis dari metafora cinta yang terdapat dalam bahasa Angkola?

(2) Bagaimanakah pemetaan konseptual metafora cinta pada ranah sumber dan ranah sasaran dalam bahasa Angkola?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

(1) mendeskripsikan pola-pola berbahasa penutur bahasa Angkola, khususnya ekspresi yang terkait dengan metafora cinta;

(2) menjelaskan konsepsi dan persepsi penutur bahasa Angkola tentang ekspresi cinta secara metaforis.

(9)

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini tentu bertalian dengan masalah penelitian. Sejalan dengan masalah penelitian, penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

(1) mendeskripsikan kategorisasi metafora cinta dalam bahasa Angkola;

(2) menerangkan pemetaan ranah sumber dan ranah sasaran pada metafora cinta dalam bahasa Angkola.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis penelitian ini ialah:

(1) menjadi salah satu model acuan yang dapat diadopsi untuk melakukan penelitian metafora emosi (khususnya metafora cinta) yang berbasis pada ancangan linguistik kognitif,

(2) memperkaya dan memperluas wawasan para mahasiswa yang menekuni bidang semantik tentang kajian metafora cinta dalam perspektif linguistik kognitif.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari hasil penelitian ini ialah:

(10)

(2) menumbuhkan pemahaman penutur bahasa-bahasa daerah lain tentang karakteristik budaya Angkola.

1.5 Definisi Istilah

Dalam penelitian ini terdapat sejumlah istilah yang perlu dibatasi dengan ketat untuk menghindari terjadinya salah tafsir. Istilah-istilah yang dimaksud meliputi cinta, metafora, metonimi, kategori, dan skema-citra. Berikut ini dijelaskan pengertian dari istilah-istilah tersebut.

Istilah cinta mengacu pada jenis emosi yang dipicu oleh pikiran tentang keinginan melakukan hal-hal yang baik kepada orang lain (Wierzbicka, 1999: 53). Emosi cinta melibatkan dua jenis partisipan, yaitu orang yang merasakan cinta (pecinta) dan orang yang menjadi sasaran, penyebab, atau objek cinta (Tissari, 2006: 136). Di sini cinta yang diekspresikan menyangkut dua jenis hubungan, yaitu hubungan romantis dan hubungan keluarga.

Selanjutnya, metafora ialah mekanisme kognitif dalam memahami satu ranah pengalaman berdasarkan struktur konseptual dari ranah pengalaman lain yang bertalian secara sistematis (Lakoff dan Johnson, 1980: 117; Verspoor, 1993: 10; dan Kövecses, 2006: 130). Kedua ranah ini disebut ranah sumber dan ranah sasaran. Ranah sumber ialah jenis ranah yang lebih konkret, sedangkan ranah sasaran adalah jenis ranah yang lebih abstrak (Kövecses, 2006: 117).

Istilah metafora bertalian dengan istilah metonimi, yaitu sebuah proses kognitif tempat elemen konseptual atau entitas (benda, peristiwa, sifat), sumber, menyediakan akses mental kepada entitas konseptual yang lain (benda, peristiwa, sifat), sasaran, dalam kerangka, ranah, atau model kognitif ideal yang sama

(11)

(Kövecses, 2006: 99; Lakoff dan Johnson, 1980: 36; dan Palmer, 1996: 232— 233). Berbeda dengan metafora yang fungsi utamanya adalah pemahaman, metonimi berfungsi referensial; artinya, metonimi memungkinkan penggunaan satu entitas untuk mengacu pada entitas lain. Perbedaan yang lain ialah bahwa jika metafora dipetakan melintasi ranah konseptual, pemetaan pada metonimi terjadi pada satu ranah tunggal (Saeed, 2003: 352).

Istilah berikutnya ialah kategori yang dibatasi oleh Lakoff (1987: 17) sebagai kumpulan ciri umum dari anggota kategori sehingga tidak ada anggota yang lebih utama dari anggota lainnya. Pada bagian yang lain, Lakoff (1987: 6) berpendapat bahwa kategori adalah suatu wadah abstrak, dan benda-benda terletak di dalam atau di luar kategori. Benda-benda dianggap sebagai kategori yang sama jika dan hanya jika memiliki ciri-ciri tertentu secara umum. Ciri-ciri yang umum itu digunakan untuk membatasi kategori.

Istilah terakhir yang digunakan dalam penelitian ini ialah skema-citra, yaitu “pola-pola dinamis yang berulang dari interaksi perseptual kita dan program mekanis yang menyatu dengan pengalaman kita” (Johnson, 1987: xix dalam Kövecses, 2006: 207). Dalam kaitan dengan definisi skema-citra, Kövecses (2006: 207—208) menegaskan bahwa skema citra mempunyai dua ciri semantis yang penting: pertama, skema-citra pada dasarnya adalah imajistik dan tidak proposisional dan kedua, skema-citra sangat skematik, atau abstrak.

Referensi

Dokumen terkait

Memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Peppres 54 Tahun 2010 beserta perubahannya dan Dokumen Pengadaan Nomor : 01/Pokja- 11/Dis.Dikbud/PL/KONTES/VIII/2016, tanggal 22 Agustus

Pada pembuatan Peta Aliran Proses diperoleh jumlah operasi sebanyak 18 dengan waktu total operasi sebesar 64,2 menit, pemeriksaan sebanyak 6 dengan waktu total pemeriksaan sebesar

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA.. FAKULTAS ILMU

[r]

Surat Dispensasi Skor TOEFL dan TI (Bagi yang tidak luluse. saja)

[r]

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA.. FAKULTAS

[r]