• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. LIMBAH PENGALENGAN NANAS

Pengalengan adalah metode pengawetan nanas yang paling umum. Secara sederhana prosesnya adalah seperti berikut. Buah nanas disortasi menurut ukuran, bentuk dan kesempurnaan buahnya. Mahkota, kulit dan hati dipisahkan dan bentuk akhirnya berupa selindir yang berlubang di bagian tengah, yang kemudian dipotong dalam berbagai bentuk. Daging nanas tersebut kemudian diawetkan dilarutkan dalam larutan gula (Collins 1960). Pada berbagai industri pengalengan nanas, hati buah diolah menjadi sari buah dan mahkota buah digunakan untuk pembibitan (Indrawanto 1988), Limbah pengalengan nanas yang dimaksud adalah kulit nanas yang telah diperas untuk diambil sari buahnya atau disebut juga ampas kulit nanas. Tabel 1 berikut menunjukkan komposisi kimia ampas kulit nanas menurut beberapa sumber.

Tabel 1. Komposisi kimia kulit nanas (dalam % w/w bobot kering)

Komponen (a) (b)

Kadar abu 3.8 4.2

Kadar protein kasar 4.5 3.3 Kadar serat kasar 15.8 14.2 Kadar lemak kasar 1.6 1.7 Kadar karbohidrat 63.9 74.2 (a) Sidharta (1989)

(b) Hartadi et al. (1989)

Menurut Odonovan (1978), limbah pengolahan nanas diawetkan dengan cara pengeringan maupun fermentasi (ensilase). Pengeringan dapat dilakukan dengan atau tanpa menggunakan alat pengering. Fermentasi dilakukan dengan terlebih dahulu menambahkan bahan yang mempunyai kandungan bahan kering yang lebih tinggi. Aplikasi penggunaan ampas kulit nanas cukup luas, khususnya sebagai bahan pakan ruminansia. Menurut Ginting et al. (2005) dalam hasil penelitiannya yang berjudul “Substitusi hijauan dengan limbah nanas dalam pakan komplit pada kambing”, ampas kulit nanas dapat digunakan sebagai bahan pengganti pakan ternak hijauan dengan cara pengolahan limbah nanas menjadi silase limbah nanas. Namun pengolahan ampas kulit nanas menjadi silase tidak memberikan dampak pada peningkatan kadar protein yang cukup baik, oleh karena itu teknik pengolahan silase kurang sesuai dalam upaya meningkatkan kadar protein bahan.

(2)

2.2. PROTEIN SEL TUNGGAL

Secara umum, protein sel tungggal (PST) dapat didefinisikan sebagai sumber protein yang berasal dari mikroba seperti kapang, bakteri, khamir dan alga. PST merupakan salah satu harapan manusia dalam usaha pemenuhan kebutuhan protein utama di masa depan. Penggunaan PST untuk pemenuhan kebutuhan protein manusia masih sulit karena beberapa hal, seperti aroma, rasa, sampai kandungan RNA pada PST yang terlalu tinggi. Kenyataannya, produksi PST saat ini lebih berkembang dalam usaha pencapaian kebutuhan nutrisi pada ternak (Riyanto dan Andi 2007).

Menurut Batt dan Sinskey (1987), beberapa keuntungan penggunaan PST sebagai sumber protein konvensional adalah sebagai berikut;

- Laju pertumbuhan sel/produksi protein lebih tinggi dibandingkan dengan tumbuhan dan hewan - Kandungan protein sel yang tinggi (40-80 % per sel)

- Mampu menggunakan substrat beragam

- Tidak membutuhkan tempat yang besar serta tidak tergantung kondisi iklim.

Mikroba pada umumnya membutuhkan waktu yang singkat untuk tumbuh berkembang. Hal tersebut yang menjadikan protein sel lebih cepat diproduksi dibandingankan protein dari sumber hewan dan tanaman. Menurut Laskin (1977) waktu penggandaan sel beberapa organisme ditunjukkan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Waktu penggandaan sel beberapa organisme Organisme Waktu Penggandaan sel Bakteri dan khamir 20 -120 menit

Kapang dan algae 2 – 6 jam Rumput dan tanaman lain 1 – 2 minggu Ayam 2 – 4 minggu Babi 4 – 6 minggu Sapi 1 – 2 bulan Sumber : Laskin (1977)

Ada dua istilah yang digunakan untuk produk mikrobial, yaitu PST (Protein Sel Tunggal) dan

Microbial Biomass Product (MBP) atau Produk Biomassa Mikrobial (PBM). Bila mikroba yang

digunakan tetap berada dan bercampur dengan masa substratnya maka seluruhnya dinamakan PBM, sedangkan bila mikroba dipisahkan dari substratnya maka hasil panennya merupakan PST (Hariyum 1986).

Protein kasar adalah persentase unsur N yang terdapat pada suatu bahan. Komposisi kimia sel kering mikroba pada umumnya terdiri dari 50% unsur C, 20% unsur O, 14% unsur N dan unsur-unsur lainnya meliputi H, P, S, dan lain-lain (Fardiaz 1989). Semakin banyak sel yang tumbuh berkembang maka akan semakin tinggi kandungan proteinnya. Oleh karena itu salah satu indikator keberhasilan dalam usaha memproduksi protein sel tunggal adalah benyaknya sel yang tumbuh dan berkembang.

Setiap jenis mikroba memiliki kandungan unsur N yang berbeda-beda, serta memiliki karakteristik kebutuhan proses, substrat dan ukuran sel yang berbeda-beda. Menurut Riyanto dan Andi (2007), kandungan protein dari beberapa jenis mikroba ditunjukkan oleh Tabel 3 berikut.

(3)

Tabel 3. Kandungan protein mikroba Mikroorganisme Protein (% BK) Alga 47 – 63 Bakteri 50 – 83 Khamir 45 - 55 Kapang 31 – 55 Sumber : Riyanto dan Andi (2007)

2.3. FERMENTASI MEDIUM PADAT

Salah satu metode yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai gizi limbah ampas kulit nanas adalah pengolahan pakan secara biologis dengan fermentasi. Fermentasi adalah segala macam proses metabolisme dengan bantuan enzim dari mikroba (jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisis, dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu (Winarno et al. 1980).

Fermentasi pada dasarnya merupakan suatu proses enzimatik dimana enzim yang bekerja mungkin sudah dalam keadaan ter-isolasi yaitu dipisahkan dari selnya atau masih terikat di dalam sel. Reaksi enzim mungkin terjadi sepenuhnya di dalam sel karena enzim yang bekerja berdada di dalam sel (intraselular) dan dapat pula terjadi di luar sel (ekstraselular). Enzim pemecah makromolekul pada umumnya bersifat ekstraselular, yaitu diproduksi di dalam sel kemudian dikeluarkan dari sel ke substrat di sekelilingnya (Fardiaz 1989).

Makromolekul yang menjadi substrat utama kebutuhan mikroba fermentasi perlu dipecah menjadi bentuk senyawa yang lebih sederhana, disinilah peran enzim-enzim ekstraselular. Contohnya, makromolekul pati dipecah oleh amilase sehingga berubah menjadi glukosa yang dapat masuk ke dalam sel untuk metabolisme sel (Fardiaz 1989).

Menurut mediumnya proses fermentasi dibedakan menjadi dua, yaitu fermentasi medium padat dan fermentasi medium cair. Fermentasi medium padat adalah proses fermentasi yang substratnya tidak larut dan tidak mengandung air bebas, tetapi cukup mengandung air untuk keperluan mikroba. Proses fermentasi medium padat lebih dulu dikenal dari pada fermentasi medium cair, dan telah banyak diterapkan dalam berbagai proses fermentasi. Beberapa produk yang dihasilkan dari fermentasi medium padat antara lain adalah glukosa, etanol, dan asam sitrat serta produk tradisional seperti tempe (Senez 1979).

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam menyiapkan proses fermentasi media padat, diantaranya sifat substrat (terutama derajat kristalisasi dan polimerisasi), dan sifat mikroorganisme (masing-masing mikroorganisme mempunyai kemampuan berbeda dalam memecah komponen substrat untuk keperluan metabolisme).

(4)

Perbedaan lebih spesifik antara fermentasi medium padat dan medium cair dijelaskan oleh Raimbault (1998) seperti pada tabel berikut.

Tabel 4. Perbedaan fermentasi media cair dan fermentasi media padat

Faktor Fermentasi media cair Fermentasi media padat

Substrat Media cair dengan nutrisi larut air Media padat dengan nutrisi larut dan tidak larut air

Higienitas kondisi Harus steril dan aseptis Tidak harus steril Konsumsi air Lebih tinggi Lebih rendah Panas yang dihasilkan Lebih merata Kurang merata Penggunaan aerasi

buatan

Mutlak Tidak mutlak Pengendalian pH Lebih mudah Lebih sukar Pengocokan Diperlukan Tidak diperlukan Konsentrasi produk Lebih rendah Lebih tinggi Homogenitas kultur Lebih baik Kurang baik Sumber : Raimbault (1998)

Metode fermentasi media padat menjadi sangat tepat pada upaya produksi produk biomasa mikrobial (PBM) dari ampas kulit nanas. Alasan utama adalah karena bahan utama yang bersifat padat atau tidak larut dalam air. Teknik fermentasi ini telah digunakan dalam produksi dan pengawetan beragam bahan makanan, produksi enzim, asam-asam organik, antibiotik, bahan bakar nabati, dan produk mikroba lainnya. Dewasa ini, penggunaan teknik fermentasi media padat telah digunakan untuk produksi enzim, metabolit primer dan sekunder mikroba, pigmen warna nabati, protein sel tunggal serta pengolahan limbah nabati untuk produksi makanan ternak.

Menurut Senez et al (1978), prosedur fermentasi medium padat yang telah dimodifikasi ternyata mampu meningkatkan kadar protein dari 2,5% menjadi 18%. Pada substrat berpati tinggi (pati singkong) yang digiling kasar (100 gram) ditambahkan dengan ammonium sulfat (9 gram), urea (2,7 gram), dan kalium orto fosfat (5 gram), serta air (100-120), kemudian diinokulasi dengan air yang berisi

Aspergillus niger dan diaduk dalam mixer adonan hingga terbentuk granula-granula dengan diameter 1

milimeter. Substrat yang telah diinokulasi kemudian diinkubasi pada suhu 30oC dengan pH awal 3,5 selama 30 jam.

Sumber nitrogen dan fosfat dibutuhkan oleh kapang dalam jumlah yang besar, atau disebut komponen makromolekul. Penelitian yang dilakukan oleh Senez et al., menggunakan sumber nitrogen berupa urea, dan ammonium sulfat, kemudian sumber fosfat dari kalium orto fosfat. Kapang membutuhkan unsur N untuk menyusun asam nukleat dan koenzim dalam selnya, dan unsur P untuk menyusun asam nukleat, fosfolipid dan koenzim (Fardiaz 1989). Penambahan nutrien perlu dilakukan pada substrat utama, agar sel kapang dapat berkembang lebih cepat.

Peran enzim dalam proses fermentasi sangat diperlukan untuk mendegradasi komponen-komponen karbohidrat dan lemak, sehingga dapat digunakan oleh mikroba sebagai sumber nutrisi setelah sisa gula dalam bahan habis. Proses konversi bahan menjadi biomasa sel berprotein pada PST dimulai dari proses degrdasi bahan oleh enzim-enzim yang disekresikan oleh mikroba terpilih.

(5)

Misalkan selulase berperan sebagai enzim pendegradasi selulosa (Raimbault 1998), lipase berperan untuk degradasi lemak, amilase untuk bahan berpati, dan peroksidase baik LiP maupun MnP berperan untuk mendegradasi ikatan lignin yang membungkus selulosa (Suparjo 2010).

Selulase adalah kelompok dari tiga enzim utama, yaitu; endo-β-1, 4-glucanase (disebut juga endocellulase /carboxymethyl cellulase/ Cx cellulase), exo-β-1, 4-glucanase (disebut juga cellobiohydrolase/ avicelase/ C1 cellulase) dan β-1, 4-glucosidase (cellobiase) (Knowles et al. 1987). Gambar berikut adalah mekanisme kerja selulase pada degradasi komponen selulosa menjadi glukosa (Anil 2008),

Gambar 1. Mekanisme kerja selulase (Anil 2008)

2.4. PEMILIHAN MIKROORGANISME

Mikroba yang dapat tumbuh dalam proses fermentasi media padat ialah khamir, kapang dan bakteri. Meski demikian, jamur berfilamen atau kapang adalah mikroba yang paling baik ditumbuhkan dengan cara ini mengingat substratnya yang padat serta kadar air dan kadar nutrisi larut air yang cenderung rendah untuk kultivasi bakteri secara optimum (Raimbault 1998).

Kapang merupakan organisme eukariotik heterotrof yang dapat bereproduksi secara seksual dengan cara plasmogami dan karyogami maupun secara aseksual dengan cara menghasilkan spora. Karena sifat hidupnya yang heterotrof, kapang banyak terdapat dalam bentuk simbion dengan organisme lain secara baik secara mutualisme maupun parasitisme.

Kapang yang tidak bersimbiosis biasanya tumbuh pada bangkai organisme. Sebagian besar jamur adalah organisme multisel yang memiliki hifa, yaitu serabut berdinding sel yang melingkupi sitoplasma jamur. Sejumlah hifa akan membentuk jaring-jaring yang disebut miselium. Pola pertumbuhan hifa kapang memberikan kemampuan untuk menembus ke dalam media padat. Dinding sel yang melekat dan percabangan miselium membentuk struktur yang kokoh (Campbell et al. 1999).

(6)

Pada teknik fermentasi media padat, enzim-enzim hidrolitik yang disekresikan pada ujung hifa tidak mengalami pengenceran seperti yang terjadi pada fermentasi media cair sehingga frekuensi interaksi enzim-enzim dengan substratnya dapat ditingkatkan dan penyebaran enzim dapat menjangkau hingga ke dalam substrat untuk memanfaatkan lebih banyak nutrisi yang terkandung di dalamnya (Raimbault 1998). Kapang yang biasa digunakan adalah Trichoderma sp, Penicillium sp, Fusarium sp; sedangkan algae yang biasa digunakan adalah Chlorella sorokimianan, Scenedesmus, Sinechoccus,

Spirullina (Hariyum 1986).

Penggunaan kapang sebagai inokulum fermentasi sudah banyak dilakukan karena pertumbuhannya relatif mudah dan cepat, kadar asam nukleat rendah (Scherllart, 1975). Pertumbuhannya pun mudah dilihat karena penampakannya yang berserabut seperti kapas yang mulanya bewarna putih, tetapi jika spora telah timbul akan terbentuk berbagai warna tergantung dari jenis kapang, dan kapang ini terdiri dari suatu thallus bercabang yang disebut hifa, dimana miselia merupakan masa hifa (Fardiaz 1989).

Ampas kulit nanas merupakan bahan berserat tinggi, yang tersusun oleh beberapa komponen diantaranya; selulosa, lignin dan hemiselulosa. Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman dan hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni di alam, melainkan berikatan dengan bahan lain, yaitu lignin dan hemiselulosa membentuk suatu lignoselulosa (Murni et al. 2008). Selain serat, komponen lain yang berpotensi sebagai sumber nutrisi bagi sel adalah kandungan gula, lemak dan pati yang ada di dalamnya. Pemilihan jenis mikroorganisme untuk proses fermentasi ampas kulit nanas lebih diutamakan pada jenis kapang pendegradasi serat, yaitu kapang dengan sifat selulitik.

2.4.1. Aspergillus niger

A. niger adalah kapang anggota genus Aspergillus, famili Eurotiaceae, ordo Eutiales, sub-klas

Plectomycetetidae, kelas Ascomycetes, sub-divisi Ascomycotina dan divisi Amastigmycota (Hardjo et

al. 1989). A. niger mempunyai kepala pembawa konidia yang besar, bulat dan berwarna hitam coklat

atau ungu coklat. Kapang ini mempunyai bagian yang khas yaitu hifanya berseptat, spora yang bersifat aseksual dan tumbuh memanjang di atas stigma, mempunyai sifat aerobik, sehingga dalam pertumbuhannya memerlukan oksigen dalam jumlah yang cukup. Gambar 2 menunjukkan penampang kepala konidia A. niger.

Gambar 2. Penampang kepala konidia A. niger

A. niger termasuk mikroba mesofilik dengan pertumbuhan maksimum pada suhu 35°C - 37°C

dan derajat keasaman untuk pertumbuhan mikroba ini adalah 2 - 8,8, tetapi pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau pH yang rendah (Fardiaz 1989).

(7)

A. niger dikenal sebagai kapang penghasil asam sitrat, aniline, pektinase, selulase, β-1,4-glikan hidrolase, protease, α-amilase, glukoamilase, maltase, β-galaktosidase, α-glukosidase, asam glukonat, glukosa oksidase, asam oksalat, fosfodiestrase, ribonuklease, pupulan 4-glukonahidrolase, β-xilosidase, xilanase, dan lipase (Selvakumar et al. 1996)

Pada penelitian sebelumnya kapang A. niger pada media padat yaitu campuran limbah lumpur sawit dan tepung kepala udang, berhasil meningkatkan kadar protein kasar dari 12.74% menjadi 37.72% dengan inkubasi selama 6 hari (Mirwandhono et al. 2004)

2.4.2. Trichoderma viride

Salah satu mikroorganisme yang mampu memanfaatkan selulosa untuk pertumbuhannya adalah kapang Trichoderma viride. Kapang ini menghasilkan enzim selulitik yang sangat efisien, terutama enzim yang mampu mengkatalisis reaksi hidrolisis kristal selulosa. Trichoderma viride berhasil digunakan untuk memproduksi selulase menggunakan substrat dari kulit ari beras serta meningkatkan kadar protein dan daya cerna jerami padi (Mojsov 2010). Trichoderma viride tumbuh baik pada substrat selulosa (serat), begitu juga dengan ampas kulit nanas dengan kadar seratnya yang tinggi. Morfologi Trichoderma viride yang sudah tua berwarna hijau terang karena terbentuknya bola-bola konidia yang lekat satu sama lain. Gambar 3 merupakan tampilan mikroskopik pertumbuhan miselia dan spora kapang T. virid.

Gambar 3. Miselia dan spora Trichoderma viride (http://botit.botany.wisc.edu)

T. viride banyak terdapat di tanah dan aktif dalam proses amonifikasi dan dekomposisi selulosa.

Kapang Trichoderma viride dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas jerami padi melalui metode fermentasi, meningkatkan konsentrasi NH3 dan kecernaan bahan kering dan bahan organik

(Widiyandari 2002).

Kisaran suhu optimum pertumbuhan Trichoderma viride berkisar antara 25-36oC. Pada suhu 26oC dan 32oC kapang masih tumbuh dengan baik. Kisaran pH pertumbuhan kapang adalah selang pH 1.5 hingga 9 dengan pH optimum 5 dan 5.5 (Domsch dan Gams 1972).

(8)

2.4.3. Rhizopus Oligosporus

R. oligosporus merupakan kapang dari genus Rhizopus, famili mucoraceae, ordo mucorales,

sub-divisi zygomycotina, sub-divisi eumycota (Fardiaz 1989). Kapang ini banyak digunakan dalam pembuatan tempe, dan banyak dapat ditemukan di alam, karena hidupnya bersifat saprofit (Shurtleff dan Ayogi 1979). Gambar 4 menunjukkan tampilan mikroskopik miselium dan spora R. oligosporus.

Gambar 4. Tampilan mikroskopik miselium dan spora R. oligosporus (http://www.agro.cmu.ac.th)

R. oligosporus merupakan kapang yang mampu penghasil enzim amilase, lipase, dan

glukoamilase (Raimbault 1998). R. oligosporus termasuk ke dalam golongan mikroorganisme mesophilik, dengan batas suhu antara 25 – 37 oC, tumbuh baik pada suhu 30 oC (Riyanto dan Andi 2007).

Pada penelitian sebelumnya, R. oligosporus berhasil meningkatkan kadar protein kasar substrat yang berupa campuran limbah kelapa sawit dan hidrolisat tepung kepala udang. Peningkatan tersebut cukup baik, dari 12.74% hingga 27.21% dengan waktu inkubasi enam hari (Mirwandhono et al. 2004). Hasil penelitian Riyanto dan Andi (2007) pada upaya peningkatan kadar protein ampas tapioka, kondisi optimum proses fermentasi terjadi pada kadar air subtrat 65% dengan pH 6. Penelitian tersebut berhasil meningkatkan kadar protein ampas tapioka dari 1.06% menjadi 19.63%.

2.4.4. Phanerochaete chrysosporium

P. chrysosporium termasuk dalam filum Basidiomycota, divisi basidiomycetes ordo poliprales

keluarga Phanerochaetacea genus Phanerochaete (Burdsall dan Eslyn 1974). Kapang ini tumbuh dengan membentuk sekumpulan miselia dan berkembang biak secara aseksual dengan pembentukkan

conidiospore (Dhawale dan Kessler, 1993) dan secara basidiospere (Gelpke 2002). P. chrysosporium

juga sering disebut sebagai kapang pelapuk putih (perez et al. 2002). Gambar 5 menunjukan penampang melintang miselium P. chrysosporium .

(9)

Gambar 5. Miselium P. chrysosporium (http://genome.jgi-psf.org)

Kapang ini mempunyai kemampuan mendegradasi lignin secara efektif melalui sekresi peroksidase yang mengkatalis oksidasi awal (Hattaka 1994). P. chrysosporium mempunyai kondisi optimum pertumbuhan pada suhu 40oC, pH antara 4 -7, dan kondisi aerob (Fadilah et al 2008). Keadaan ligninolitik adalah keadaan di mana jamur mengeluarkan enzim yang dapat mendegradasi lignin. Pada jamur pelapuk putih, enzim yang dikeluarkan adalah enzim peroksidase. P.

chrysosporium mengeluarkan enzim hemeperoksidase, yaitu lignin peroksidase (LiP) dan mangan

peroksidase (MnP) (Fadilah et al. 2008).

2.5. KULTUR CAMPURAN SEBAGAI STARTER FERMENTASI

Pemilihan jenis kapang sebagai starter fermentasi didasarkan pada karakteristik substrat yang digunakan. Jenis kapang amilolitik (penghasil amilase) digunakan untuk jenis substrat berpati (amilosa), kapang selulitik (penghasil selulase) untuk jenis substrat berselulosa, kapang lignolitik (penghasil enzim Ligninase) untuk jenis substrat bahan lignoselulosa, dan jenis-jenis kapang lainnya. Penggolongan jenis-jenis kapang tersebut mencirikan kemampuan kapang mensintesis spesifik enzim.

Beberapa jenis kapang dapat mensintasis enzim yang kompleks, namun sebagian kapang spesifik pada enzim tertentu. Aspergillus niger mensekresi enzim yang kompleks, meliputi selulase, amilase, xilanase, lipase dan lain-lain (Selvakumar et al. 1996), Rhizopus oligosporus mampu mensekresi amilase dan lipase (Raimbault 1998). Trichoderma viride menjadi kapang spesifik dengan sekresi enzim selulase. Penggunaan kultur campuran sebagai starter fermentasi memungkinkan terjadinya aktivitas degradasi bahan yang lebih kompleks dan simultan (Holzapfel 2000).

Pencampuran beberapa jenis kapang sebagai starter untuk satu jenis bahan diharapkan dapat mendegradasi bahan lebih efktif. Hal tersebut didukung oleh komposisi kimia dari subtrat fermentasi media padat yang tidak seragam. Komposisi kimia ampas kulit nanas contohnya, memiliki komposisi berupa bahan serat tinggi (lignoselulosa), lemak rendah (Hartadi et al. 1989), dan berpati rendah (0.72 mg/g BK kulit nanas) (Cordenunsi et al. 2010). Penggunaan kultur tunggal dalam fermentasi akan mengakibatkan spesifikasi degradasi komposisi bahan yang spesifik pada jenis komposisi bahan tertentu, sehingga kurang optimal dalam pemanfaatan bahan. Serta mengakibatkan pertambahan sel kapang menjadi kurang optimal.

Penggunaan kultur campuran dalam fermentasi sering dijumpai pada starter proses fermentasi makanan tradisional (Holzapfel 2000), misalkan pada proses fermentasi kapang dalam pembuatan kecap berperan kapang Aspergillus oryzae, A. flavus, A. niger dan Rhizophus oligosporus, produk tempe dengan kultur campuran jenis Rhizopus sp dan lain-lain (Santoso 2005).

Gambar

Tabel 1.  Komposisi kimia kulit nanas (dalam % w/w bobot kering)
Tabel 2.  Waktu penggandaan sel beberapa organisme
Tabel 3.  Kandungan protein mikroba  Mikroorganisme  Protein (% BK)  Alga  47 – 63  Bakteri  50 – 83  Khamir  45 - 55   Kapang  31 – 55
Tabel 4.  Perbedaan fermentasi media cair dan fermentasi media padat
+4

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Sedangkan menurut Adisasmita(2011) efisiensi adalah komponen input yang digunakan seperti waktu, tenaga dan biaya dapat dihitung penggunaannya dan tidak berdampak pada

ma Î la Í ah dan mafsadah dapat diketahui manusia, kecuali beberapa perkara yang tidak dapat diketahui seperti hal-hal yang bersifat ta' É bbud Ê. Berasaskan kedua-

Berdasarkan hasil yang diperoleh terhadap pertumbuhan misellium bibit F1 jamur tiram dan jamur merang tertinggi pada media kacang hijau yaitu 7,5cm kerapatannya rapat sangat

Pengujian Performa Baterai Nickel-Metal Hydride (Nimh) Untuk Mobil Listrik Satu Penumpang Pada Kompetisi Balap Mobil Listrik Ene1-Gp Jepang 2017 (Dedy Ramdhani Harahap) dapat diraih

PEDOMAN PEMBERIAN LAYANAN HUKUM BAGI MASYARAKAT TIDAK MAMPU DI PENGADILAN.. DIREKTUR JENDERAL BADAN

Pada hari ini Senin tanggal Dua Puluh Sembilan bulan Agustus tahun Dua Ribu Enam Belas (29-08-2016) bertempat di Sekretariat ULP Kabupaten Sumbawa, Kelompok Kerja 43

Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya,