• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data dan Metodologi. III.1 Data III.1.1 Outgoing Longwave Radiation (OLR)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Data dan Metodologi. III.1 Data III.1.1 Outgoing Longwave Radiation (OLR)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Bab III Data dan Metodologi

III.1 Data

III.1.1 Outgoing Longwave Radiation (OLR)

Outgoing Longwave Radiation (OLR) merupakan fluks gelombang panjang yang diemisikan dari bumi dan awan ke luar angkasa. OLR bertambah seiring dengan temperatur dan diatenuasikan oleh awan-awan dan gas-gas atmosfer lainnya yang dapat memancarkan kembali radiasi tersebut ke angkasa sesuai dengan temperaturnya masing-masing. Jika ditinjau dari segi anomali OLR maka nilai anomali yang rendah menunjukkan awan yang tinggi dan dingin atau permukaan yang dingin sedangkan anomali tinggi menunjukkan fenomena sebaliknya. Di daerah tropis anomali OLR terutama dihasilkan dari anomali-anomali tutupan awan tinggi. OLR diukur dengan satuan (W/m2).

Data OLR merupakan data global dunia. Data ini mempunyai resolusi spasial 2,5° x 2,5°. Tersedia dari tahun 1974 - September 2006 dan akan terus ditambah. Resolusi temporal berupa rata-rata harian. Data diperoleh dari http://www.cdc.noaa.gov.

Nilai OLR dapat dikonversi menjadi indeks konvektif dengan menggunakan rumus sederhana (Matsumoto dan Murakami 2002):

Ic = 220 – OLR , OLR ≤ 220 Wm-2 = 0 , OLR > 220 Wm-2

III.1.2 Citra GMS-GOES-MTSAT kanal IR1

Citra inframerah (IR) didapatkan dari radiasi yang dipancarkan oleh permukaan bumi, atmosfer bumi dan puncak awan pada panjang gelombang thermal inframerah (10 - 12 µm). Dari citra ini diperoleh informasi mengenai temperatur puncak awan yang dicirikan dengan indeks kecerahan dalam satuan pixel. Temperatur dalam satuan Kelvin diperoleh setelah data dikonversi dengan tabel kalibrasi. Citra inframerah dapat digunakan untuk mencirikan jenis-jenis awan. Awan rendah relatif lebih hangat dibandingkan dengan awan yang tinggi. Keuntungan dari citra inframerah dapat memberikan citra pada siang dan malam hari.

(III.1)

Citra inframerah thermal menunjukkan temperatur daratan, lautan atau temperatur puncak awan yang ada di atas permukaan bumi. Temperatur yang hangat berkisar 0 – 30° C umumnya merupakan rata-rata daratan dan lautan tanpa tutupan awan dan jika temperatur yang sangat dingin menunjukkan puncak awan yang sangat tinggi yang biasanya menunjukkan aktivitas konvektif yang sangat kuat.

(2)

Resolusi spasial data 1/20 derajat. Dimensi citra 1800 x 1800 pixels. Format data dalam bentuk PGM (Portable Gray Map) dengan kompresi file Gzip. Data tersedia di

http://weather.is.kochi-u.ac.jp. Data ini diambil dari tiga satelit yaitu; GMS5, GOES9 dan MTSAT.

Maddox (1980) dalam Houze (1993) menganalisis data satelit IR yang telah dipertinggi dan menggunakan parameter citra puncak awan untuk mengidentifikasi MCC. Dari hasil ini disebutkan perisai awan dingin kontinu mempunyai temperatur IR ≤ 241 K dan mempunyai area ≥100.000 km2. Dari hasil ini dapat dikembangkan nilai parameter baru indeks konvektif. Rumus yang diterapkan dalam penelitian ini adalah:

Ic = 0 ; Tbb ≥ 240 = 240 – Tbb ; Tbb < 240

III.1.3 Final Analysis (Final Global Data Assimilation System (FNL))

Data FNL analisis merupakan data operasional dari National Centers for Environmental Prediction (NCEP). FNL menyediakan tulang punggung sistem global. FNL mengumpulkan data pengamatan kurang lebih enam jam lalu pengamatan sinoptik dan kemudian dibuat analisis global dan 3, 6 dan 9 jam prediksi (tebakan pertama untuk analisis berikutnya) 4 kali tiap hari. FNL di run pada resolusi tertinggi, saat ini T254 L64. Koordinat horizontal triangular spektral terpotong setelah bilangan gelombang 254 dan koordinat vertikal sigma dengan 64 level. Resolusi horizontal secara kasar equivalen dengan global 55 km mesh. Resolusi vertikal dari 997.3 mb sampai 0.266 mb untuk tekanan permukaan 1000 mb dan diperkirakan 680 m mesh pada 250 mb.

(III.2)

Data FNL mempunyai cakupan wilayah 90° LU - 90° LS, 0° BT – 360° BT dengan resolusi 1° x 1°. Format data adalah WMO GRIB1. Data tersedia dalam 6 jam-an untuk waktu 00Z, 06Z, 12Z dan 18Z tiap hari. Data ini digunakan sebagai syarat awal dan batas model.

III.1.4 Data Lain

Data lainnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah data radiosonde dan data optical rain gauge (ORG). Data radiosonde digunakan untuk pengecekan hasil luaran model dengan pengamatan permukaan. Pengecekan ini dapat menentukan ketepatan penggunaan parameterisasi yang diuji. Selain itu, data ini juga digunakan untuk pengecekan keakuratan data FNL. Data ini diperoleh dari situs http://weather.uwyo.edu. Dari data radiosonde dipilih dua stasiun yang berada dalam cakupan domain model dan tersedia sesuai dengan tanggal simulasi model. Dua stasiun yang dipilih adalah stasiun Tabing/Padang dan Changi/Singapura.

Data ORG diperoleh dari hasil pengamatan di Kototabang. Pengamatan ini merupakan hasil kerjasama beberapa instansi dari Indonesia dan Jepang. Instansi yang terlibat dalam kerjasama ini antara lain adalah; Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT),

(3)

Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Universitas Kyoto, Universitas Kobe dan Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC). Data ORG dicatat setiap menit dan merupakan data laju curah hujan dengan satuan (mm/jam). Pada penelitian ini data ORG diolah menjadi data tiap jam. Data ORG berguna untuk menentukan tanggal simulasi studi kasus. Dari data ini dibagi menjadi empat kelompok yaitu; tanggal dengan hujan lebat, sedang, kecil dan tidak ada hujan.

III.2 Metodologi

III.2.1 Pembagian Tipe Pola Diurnal

a) Diagram Hovmöller

Langkah pertama dalam pembagian tipe pola diurnal adalah pengklasifikasian pola konveksi berdasarkan daerah pengaruh skala konveksi. Hasil dari klasifikasi ini diperoleh tiga macam pola konveksi, yaitu; konveksi besar, peralihan dan konveksi lokal. Data yang digunakan pada proses ini adalah OLR. Data ini diubah terlebih dahulu menjadi indeks konvektif dengan menggunakan rumus (III.1). Dan diplot menjadi diagram Hovmöller (waktu-bujur) dan kemudian dianalis hasil yang diperoleh. Plot Hovmöller dilakukan dengan merata-ratakan lintang dari 6° LU - 6° LS. Penampang bujur dari 80° BT - 140° BT dan waktu dari September 2005 – Agustus 2006.

b) Penampang Melintang Pola Konveksi Diurnal

Data satelit kanal IR1 digunakan untuk melihat tutupan awan. Selain itu dapat digunakan untuk pendugaan terjadinya curahan dari perkiraan temperatur puncak awan. Pola diurnal dilihat dengan mengambil komposit per-bulan selama 5 tahun. Plot penampang melintang terhadap waktu dilakukan pada area (10° LS, 90° BT), (14° LS, 94° BT), (0° LS, 108° BT), (4° LU, 104° BT) (dapat dilihat pada gambar III.1).

Pada pengolahan ini hanya diambil sampel empat bulan. Penentuan pengambilan sampel berdasarkan pola konveksi hasil analisis dengan data OLR yang dilakukan pada pengolahan sebelumnya untuk Pulau Sumatra. Dari kriteria ini diambil dua bulan yang merupakan konveksi kuat dan lemah yaitu bulan November dan Juli. Dua bulan lainnya diambil yang merupakan bulan diantara dua bulan sebelumnya yaitu Januari dan April.

Gambar III.1 Daerah perhitungan untuk analisis penampang melintang.

c) Plot Distribusi Spasial Aktivitas Konveksi Diurnal

Plot spasial dilakukan juga untuk data satelit IR1. Plot ini berguna untuk melihat distribusi tutupan awan tiap jam. Plot dilakukan untuk wilayah Pulau Sumatra dengan koordinat 6° LU - 6° LS dan 90° BT - 110° BT. Gambar topografi Pulau Sumatra (Gambar III.2) menunjukkan distribusi tinggi elevasi yang berbeda. Dataran tinggi didominasi pada Pulau Sumatra dibagian barat. Pada bagian ini membentang jajaran bukit Barisan yang memanjang dari ujung utara sampai selatan Pulau Sumatra. Dibagian utara

(4)

Pulau Sumatra langsung menghadap ke Samudera Hindia. Pada bagian ini juga terdapat jajaran pulau-pulau kecil yang membentang dari 2° LU - 4° LS sedangkan dibagian timur relatif didominasi oleh dataran rendah. Hasil plot ini diharapkan dapat menunjukkan karakteristik pola diurnal secara keseluruhan dari Pulau Sumatra. Dari hasil ini juga ingin diketahui apakah pola diurnal di setiap daerah sama disepanjang Pulau Sumatra. Diharapkan pula dari plot ini dapat menunjukkan adanya pengaruh topografi dan juga keberadaan pulau-pulau kecil di sepanjang Pulau Sumatra.

Gambar III.2 Topografi Pulau Sumatra.

III.2.2 Simulasi Model

(5)

Model yang digunakan adalah Weather Research and Forecasting – Advanced Research

WRF (WRF-ARW). WRF merupakan model generasi lanjutan sistem prediksi cuaca

numerik skala meso yang didesain untuk melayani prediksi operasional dan kebutuhan penelitian atmosfer. Model ini mempunyai keistimewaan inti dinamik yang berlipat, variasi 3-dimensional (3DVAR) sistem asimilasi data dan arsitektur perangkat lunak yang mengijinkan untuk melakukan komputasi secara paralel dan sistem yang ekstensibel. WRF cocok untuk aplikasi yang luas dari skala meter sampai ribuan kilometer.

Usaha untuk mengembangkan WRF merupakan kerjasama kolaborasi, yang pada prinsipnya antara National Center for Atmospheric Research (NCAR), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), National Centers for Environmental Prediction (NCEP) dan Forecast Systems Laboratory (FSL), Air Force Weather Agency (AFWA), Naval Research Laboratory, Universitas Oklahoma dan Federal Aviation Administration (FAA).

III.2.2.2 Penjelasan Singkat Model

Kemampuan yang dijanjikan WRF antara lain adalah:

• Seluruh set persamaan yang kompresibel, Euler nonhydrostatik dengan kemampuan opsi hidrostatik juga tersedia. Persamaan ini kekal untuk variabel skalar.

• Model menggunakan koordinat vertikal mengikuti terrain, tekanan-hidrostatik dengan model puncak permukaan tekanan konstan. Grid horizontal adalah Arakawa-C grid. • Skema integrasi waktu model menggunakan skema Runge-Kutta orde ketiga, dan

diskritisasi spasial menggunakan skema orde kedua dan keenam.

• Model mendukung baik aplikasi ideal maupun data real dengan bermacam pilihan kondisi lateral dan batas atas.

• Model mendukung pilihan one-way, two-way dan moving nest.

• Model dapat berjalan pada kebanyakan mesin dengan single-processor, shared dan distributed-memory

III.2.2.3 Persamaan Pengatur

III.2.2.3.1 Koordinat Vertikal dan Variabel

Persamaan WRF-ARW menggunakan formulasi koordinat vertikal tekanan hidrostatik mengikuti terrain yang dilambangkan dengan η dan didefinisikan sebagai:

(III.3)

ph merupakan komponen tekanan hidrostatik dan phs dan pht mengacu pada nilai

sepanjang permukaan dan puncak. Definisi koordinat diajukan oleh Laprise (1992), yang merupakan σ koordinat tradisional yang banyak digunakan oleh model atmosfer hidrostatik. η bervariasi dari nilai 1 pada permukaan dan 0 pada puncak batas atas domain model. Koordinat vertikal ini juga disebut sebagai koordinat vertikal massa.

(6)

Sebelum menyusun persamaan penyelesaian dalam bentuk diskrit, ada baiknya untuk mengetahui persamaan pengatur menggunakan variabel perturbasi untuk mengurangi kesalahan akibat pemotongan pada perhitungan gradien tekanan horizontal pada penyelesaian diskrit dan juga untuk mengurangi kesalahan pembulatan mesin pada perhitungan gradien tekanan vertikal dan gaya apung. Untuk tujuan ini, variabel baru didefinisikan dalam bentuk perturbasi dari keadaan setimbang hidrostatik, dan didefinisikan variabel keadaan referensi (dilambangkan dengan garis di atas) yang hanya merupakan fungsi ketinggian dan memenuhi persamaan pengatur atmosfer. Keadaan referensi adalah kesetimbangan hidrostatik dan hanya fungsi z. Sehingga diperoleh,

Karena koordinat permukaan η tidak horizontal, profil referensi merupakan fungsi dari

(

. Bagian setimbang hidrostatik gradien tekanan pada referensi data sounding dapat dihilangkan tanpa aproksimasi persamaan menggunakan variabel pertubasi ini. Persamaan momentum dituliskan:

(III.4)

(III.5)

(III.6) dan persamaan kekekalan massa dan persamaan geopotensial adalah

(7)

(III.7)

(III.8)

Persamaan yang tidak berubah adalah persamaan kekekalan temperatur potensial dan skalar

(III.9)

(III.10) Pada sistem persamaan perturbasi hubungan hidrostatik menjadi

(III.11)

Persamaan-persamaan ini membentuk persamaan penyelesaian dalam ARW.

III.2.2.3.3 Diskritisasi Model

a) Diskritisasi Temporal

Penyelesaian ARW menggunakan skema integrasi pemisahan-waktu. Secara umum, mode frekuensi lambat atau rendah (signifikan secara meteorologi) diintegrasi menggunakan Runge-Kutta orde ketiga (RK3) skema integrasi waktu, sementara mode akustik frekuensi tinggi diintegrasi melalui langkah waktu yang lebih kecil untuk menjaga kestabilan numerik. Mode akustik penjalaran secara horizontal (termasuk mode eksternal yang muncul pada persamaan koordinat massa menggunakan kondisi batas atas tekanan konstan) diintegrasi menggunakan skema integrasi waktu maju-mundur dan mode akustik penjalaran secara vertikal dan osilasi apung diintegrasi menggunakan skema implisit secara vertikal (menggunakan langkah waktu akustik).

Integrasi pemisahan-waktu mirip dengan yang dikembangkan pertama kali oleh Klemp dan Wilhelmson (1978) dan dianalisis oleh Skamarock dan Klemp (1992). Skema RK3 pemisahan-waktu dideskripsikan dalam bentuk umum dalam Wicker dan Skamarock (2002). Perbedaan utama antara deskripsi yang ditemukan dalam referensi dan implementasi ARW diasosiasikan dengan penggunaan koordinat vertikal massa dan bentuk set persamaa fluks, bersama dengan penggunaan variabel perturbasi untuk komponen akustik integrasi pemisahan-waktu. Integrasi mode-akustik merupakan bentuk koreksi integrasi RK3.

b) Diskritisasi Spasial

Diskritisasi spasial pada penyelesaian ARW menggunakan C grid staggering untuk variabel-variabel pada Gambar III.3. Kecepatan normal di-staggered-kan satu setengah grid panjang dari variabel-variabel termodinamika. Indek variabel (i,j) untuk permukaan horizontal dan (i,k) untuk permukaan vertikal, mengindikasikan lokasi variabel dengan (x,y,η) = (i∆x,j∆y,k∆η). Kita akan melambangkan titik dengan θ diletakkan pada titik massa, dan seperti halnya lokasi u, v dan w didefinisikan sebagai titik u, titik v dan titik

(8)

titik-titik (i,j) (titik-titik-titik-titik massa) pada grid diskrit, geopotensial didefinisikan pada titik-titik-titik-titik

w, dan variabel-variabel udara lembab qm didefinisikan pada titik-titik massa.

Variabel-variabel diagnostik yang digunakan pada model, tekanan p dan invers densitas α dihitung pada titik-titik massa. Panjang grid ∆x dan ∆y konstan pada perumusan model; perubahan pada panjang grid fisik diasosiasikan dengan bermacam-macam proyeksi spherikal diperhitungkan menggunakan faktor peta. Panjang grid vertikal ∆η tidak konstan; panjang ini ditentukan saat inisialisasi. Pengguna bebas untuk menentukan nilai

η pada level model dengan ketentuan η = 1 pada permukaan dan η = 0 pada puncak

model, dan η berkurang secara monotonik antara permukaan dan puncak model. Dengan menggunakan definisi grid dan variabel ini, kita dapat mendefinisikan diskritisasi spasial untuk penyelesaian ARW.

Gambar III.4 Grid horizontal dan vertikal pada ARW.

III.2.2.4 Perhitungan Parameter Uji Model

Luaran model menghasilkan variabel yang jumlahnya lebih dari 50. Daftar lengkap variabel luaran model dapat dilihat pada bagian Lampiran A. Dari sekian banyak variabel luaran model tidak ada yang kompatibel (bersesuaian) dengan data pengamatan yang tersedia dalam penelitian ini. Oleh karena itu perlu dicari variabel yang dapat digunakan untuk perbandingan langsung dengan data pengamatan. Variabel yang kompatibel dengan data pengamatan dapat diturunkan dari variabel luaran model. Variabel yang memungkinkan digunakan sebagai parameter uji adalah cloud top temperature (temperatur puncak awan) yang selanjutnya disebut CTT. Variabel ini dapat dibandingkan dengan data IR1 karena mempunyai makna fisis yang sama dan juga satuan yang dapat disamakan. Parameter CTT dihitung dengan menginterpolasi temperatur ke level unit kedalaman optik sampai kedalam awan (mulai dari puncak model). Ekspresi absorpsi penampang melintang es awan dan air awan diperoleh dari Dudhia (1989). Parameter CTT dihitung menggunakan program RIP yang ditulis oleh Stoelinga (2006). Program perhitungan parameter CTT dapat dilihat pada Lampiran B.

(9)

III.2.2.5 Pelaksanaan Simulasi

Studi kasus dipilih dari hasil pengolahan data satelit kanal IR1. Pemilihan waktu diambil dengan mencari keadaan yang dapat menggambarkan pola siklus diurnal kuat. Bulan yang diambil diharapkan mencerminkan keadaan konveksi kuat dan selalu tetap pada setiap bulannya dalam periode penelitian (5 tahun dari tahun 2002-2006). Daerah simulasi dibagi menjadi tiga domain; domain 1 resolusi 30 km, domain 2 resolusi 10 km, domain 3 resolusi 5 km. Domain 1 dan 2 menggunakan nesting 2 arah, sedang domain 3 dijalankan terpisah (offline nesting). Daerah domain simulasi dapat dilihat pada Gambar III.5.

Langkah selanjutnya adalah pengujian parameterisasi. Parameterisasi yang diuji adalah parameterisasi mikrofisika dan juga parameterisasi lapisan batas planeter (planetary

boundary layer (PBL)). Hal ini dilakukan dengan asumsi proses konveksi dapat

ditentukan dari proses mikrofisika dan juga bergantung pada tinggi lapisan batas. Parameterisasi uji untuk proses mikrofisika adalah skema WRF Single-Moment 3-class (WSM3) (Hong et al. 2004), skema Purdue Lin (Lin et al. 1983, Rutledge dan Hobbs 1984), skema Thompson (Thompson et al. 2004), dan WRF Single-Moment 6-class (WSM6). Parameterisasi lapisan batas yang diuji adalah parameterisasi Yonsei University (YSU) dan Medium Range Forecast Model (MRF) (Hong dan Pan 1996). Langkah selanjutnya adalah mensimulasikan empat keadaan yang dipilih berdasarkan analisis data ORG. III.2.3 Verifikasi

Verifikasi hasil luaran model dilakukan dengan membandingkan dengan data pengamatan yang tersedia (data IR1, ORG, radiosonde). Metode yang dilakukan dengan membandingkan pengamatan dan hasil luaran model secara statistik yaitu root mean square error dan koefisien korelasi. Variabel yang dibandingkan dengan data radiosonde adalah angin komponen u dan v (U & V), temperatur (T), kelembaban relatif (RH), temperatur potensial (θ) dan mixing ratio. Untuk merangkum hasil pengujian parameterisasi model digunakan diagram Taylor (Taylor 2001). Hasil simulasi studi kasus dikorelasikan dengan data IR1. Parameter yang digunakan untuk korelasi adalah CTT.

(10)

Gambar III.5 Peta daerah simulasi. Kode-kode d01, d02 dan d03 di dalam garis

putus-putus menunjukkan domain model satu, dua dan tiga.

Gambar

Gambar III.2 Topografi Pulau Sumatra.
Gambar III.4 Grid horizontal dan vertikal pada ARW.

Referensi

Dokumen terkait

Kalau dia melayani anggota lebih baik maka anggota juga akan melayani umat atau orang yang harus dilayani dengan lebih baik pula.. Dalam konteks kongregasi itu berarti

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) rata-rata nilai Feed Convertion Ratio (FCR) menunjukkan hasil yang sangat baik, yaitu kurang dari FCR Standar yang

Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang- undangan yang merupakan pelaksanaan dari Undang- Undang Nomor 17

Namun kita bersyukur bahwa Firman Tuhan tidak hanya berhenti pada kesadaran dan pengakuan Yesaya akan dosa- dosanya melainkan dilanjutkan kepada tindakan Allah di dalam

keluarkanlah Kami dari negeri (Makkah) ini, Yang penduduknya (kaum kafir musyrik) Yang zalim, dan Jadikanlah bagi Kami dari pihakMu seorang pemimpin Yang mengawal (keselamatan

Badan Kepegawaian Daerah Kota Bima yang merupakan salah satu dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD) Pemerintah Kota Bima tentunya berkewajiban menyusun rencana

Zulham Sischa ( 2006 ) : “ Hubungan Antara Kekuatan Otot Punggung Dan Kekuatan Otot Lengan Dengan Kecepatan Gerak Bantingan Bahu pada Atlet Gulat Kota Semarang Tahun

Sehingga dapat dikatakan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran sirkuit belajar gerak (Model PAKEM Penjasorkes) lebih efektif dalam meningkatkan