• Tidak ada hasil yang ditemukan

Atrial Fibrilasi Fix Print YES

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Atrial Fibrilasi Fix Print YES"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

Fibrilasi atrium (atrial fibrillation, AF) adalah takikardia supraventrikuler dengan karakteristik aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi, suatu aritmia yang ditandai oleh gangguan koordinasi dari depolarisasi atrium. AF adalah gangguan irama yang paling sering ditemukan. AF sering terjadi pada pria dibandingkan wanita.1,2 Di Amerika Serikat diperkirakan 2,3 juta penduduk mengalami AF dengan >10% berusia diatas 50 tahun dan diperkirakan akan terus bertambah menjadi 4,78 juta pada tahun 2035.2 Angka kejadian fibilasi atrium dipastikan akan terus meningkat terkait dengan usia harapan hidup yang meningkat, perbaikan dalam manajemen penyakit jantung koroner maupun penyakit jantung kronis lainnya, serta sebagai konsekuensi dari semakin baiknya alat monitoring diagnosis.2

Literatur menyebutkan atrial fibrilasi (AF) merupakan salah satu kondisi aritmia yang paling umum terjadi pada usia diatas 75 tahun. Kejadian atrial fibrilasi meningkat dengan bertambahnya usia. Pada abad ke-21 ini semakin meningkat jumlah pasien dengan diagnosa atrial fibrilasi. Pada tahun 2001, jumlah pasien dengan atrial fibrilasi mencapai 2,3 juta di Amerika dan 4, 5 juta pasien di Eropa. Dan diperkirakan kejadian atrial fibrilasi akan terus meningkat 0,1% setiap tahunnya pada populasi umur 40 tahun ke atas, 1,5% pada wanita, dan2% pada lansia dengan umur lebih dari 80 tahun.2 Angka kejadian atrial fibrilasidi dunia pada tahun 2010 diperkirakan 2,66 miliar dan pada tahun 2050 diperkirakan sejumlah 12 miliar jiwa. Dalam dua dekade ini angka kematian akibat atrial fibrilasi meningkat 3.

AF dapat menyebabkan gagal jantung kongestif terutama pada pasien yang frekuensi ventrikelnya tidak dapat dikontrol. Adanya gagal jantung dihubungkan dengan prognosis yang lebih buruk. Studi terbaru menemukan adanya 10-30% AF pada pasien gagal jantung yang simptomatik, dengan peningkatan kematian 34% bila dibandingkan dengan gagal jantung itu sendiri. AF juga menurunkan status kesehatan, kapasitas jantung dan kualitas hidup seseorang.

(2)

Dalam dua dekade terakhir telah terjadi peningkatan angka rawat di rumah sakit akibat gangguan listrik jantung. Fungsi ventrikel kiri juga terganggu dengan adanya irama tidak teratur dan cepat, yang menyebabkan hilangnya fungsi kontraksi atrium dan meningkatnya tekanan pengisian pada saat akhir diastolik ventrikel kiri.3

Deteksi dini AF masih sangat sulit dilakukan sebab riwayat perjalanan penyakit AF sering tidak ditemukan (silent natural history). Sekitar sepertiga pasien dengan AF bersifat asimptomatik (AF asimptomatik)1. Tujuan utama dari terapi AF adalah untuk mengurangi gejala kardiovaskular, morbiditas dan mortalitas.4

(3)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Atrial fibrilasi (AF) adalah aritmia jantung menetap yang paling umum didapatkan. Ditandai dengan ketidakteraturan irama dan peningkatan frekuensi atrium sebesar 350-650 x/menit sehingga atrium menghantarkan implus terus menerus ke nodus AV.10 Konduksi ke ventrikel dibatasi oleh periode refrakter dari nodus AV dan terjadi tanpa diduga sehingga menimbulkan respon ventrikel yang sangat ireguler.4,11 Atrial fibrilasi dapat terjadi secara episodic maupun permanen. Jika terjadi secara permanen, kasus tersebut sulit untuk dikontrol.12

Atrial fibrilasi terjadi karena meningkatnya kecepatan dan tidak terorganisirnya sinyal-sinyal listrik di atrium, sehingga menyebabkan kontraksi yang sangat cepat dan tidak teratur (fibrilasi). Sebagai akibatnya, darah terkumpul di atrium dan tidak benar-benar dipompa ke ventrikel. Ini ditandai dengan heart rate yang sangat cepat sehingga gelombang P di dalam EKG tidak dapat dilihat.13 Ketika ini terjadi, atrium dan ventrikel tidak bekerja sama sebagaimana mestinya. 2.2 Epidemiologi

Atrial fibrilasi (AF) merupakan aritmia yang paling sering ditemui dalam praktik sehari-hari. Prevalensi AF mencapai 1-2% dan akan terus meningkat dalam 50 tahun mendatang.1,2 Framingham Heart Study yang merupakan suatu studi kohor pada tahun 1948 dengan melibatkan 5209 subjek penelitian sehat (tidak menderita penyakit kardiovaskular) menunjukkan bahwa dalam periode 20 tahun, angka kejadian AF adalah 2,1% pada laki-laki dan 1,7% pada perempuan.3 Sementara itu data dari studi observasional (MONICA multinational monitoring of trend and determinant in Cardiovascular disease) pada populasi urban di Jakarta menemukan angka kejadian AF sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan perempuan 3:2.4 Selain itu, karena terjadi peningkatan signifikan persentase populasi usia lanjut di Indonesia yaitu 7,74% (pada tahun 2000-2005) menjadi 28,68% (estimasi WHO tahun 2045-2050),5 maka angka kejadian atrium juga akan meningkat secara signifikan. Dalam skala yang lebih kecil, hal ini juga tercermin pada data di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang menunjukkan bahwa persentase kejadian atrium pada pasien rawat selalu

(4)

meningkat setiap tahunnya, yaitu 7,1% pada tahun 2010, meningkat menjadi 9,0% (2011), 9,3% (2012) dan 9,8% (2013).5,6

Atrial fibrilasi menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas, termasuk stroke, gagal jantung serta penurunan kualitashidup. Pasien dengan AF memiliki risiko stroke 5 kali lebih tinggi dan risiko gagal jantung 3 kali lebih tinggi dibanding pasien tanpa AF.6 Stroke merupakan salah satu komplikasi AF yang paling dikhawatirkan, karena stroke yang diakibatkan oleh AF mempunyai risiko kekambuhan yang lebih tinggi. Selain itu, stroke akibat AF ini mengakibatkan kematian dua kali lipat dan biaya perawatan 1,5 kali lipat.7

Atrial fibrilasi juga berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain seperti hipertensi, gagal jantung, penyakit jantung koroner, hipertiroid, diabetes melitus, obesitas, penyakit jantung bawaan seperti defek septum atrium, kardiomiopati, penyakit ginjal kronis maupun penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Gagal jantung simtomatik dengan kelas fungsional New York Heart Association (NYHA) II sampai IV dapat terjadi pada 30% pasien AF, namun sebaliknya AF dapat terjadi pada 30-40% pasien dengan gagal jantung tergantung dari penyebab dari gagal jantung itu sendiri. Atrial fibrilasi dapat menyebabkan gagal jantung melalui mekanisme peningkatan tekanan atrium, peningkatan beban volume jantung, disfungsi katup dan stimulasi neurohormonal yang kronis. Distensi pada atrium kiri dapat menyebabkan AF seperti yang terjadi pada pasien penyakit katup jantung dengan prevalensi sebesar 30% dan 10-15 % pada defek septal atrium. Sekitar 20% populasi pasien AF mengalami penyakit jantung koroner meskipun keterkaitan antara AF itu sendiri dengan perfusi koroner masih belum jelas.2

2.3 Etiologi

Pada dasarnya etiologi yang terkait dengan atrial fibrilasi terbagi menjadi beberapa faktor-faktor, diantaranya yaitu2 :

a. Peningkatan tekanan atau resistensi atrium - Peningkatan katup jantung

- Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium - Hipertrofi jantung

(5)

- Kardiomiopati

- Hipertensi pulmo (chronic obstructive purmonary disease dan cor pulmonary chronic)

- Tumor intracardiac

b. Proses Infiltratif dan Inflamasi - Pericarditis atau miocarditis - Amiloidosis dan sarcoidosis - Faktor peningkatan usia c. Proses Infeksi

Demam dan segala macam infeksi d. Kelainan Endokrin

Hipertiroid, Feokromotisoma e. Neurogenik

Stroke, Perdarahan Subarachnoid f. Iskemik Atrium

Infark miocardial g. Obat-obatan Alkohol, Kafein

h. Keturunan atau Genetik 2.4. Elektrofisiologi Jantung

Melalui studi elektrofisiologi diketahui ada tiga jenis kumpulan sel-sel jantung yang dapat membangkitkan arus listrik, yakni; (1) sel-sel pacemaker (nodus SA, nodus AV), (2) jaringan konduksi khusus (serat-serat purkinje), dan (3) sel-sel otot ventrikel dan atrium. Stimulasi listrik atau potensial aksi yang terjadi pada ketiga sel-sel khusus ini dihasilkan oleh interaksi ionik transmembran, yaitu berupa transport berbagai ion utama melalui kanal-kanal khusus yang melewati membran sarcolema (suatu membran bilayer fosfolipid).

(6)

Transportasi ionik ini mempertahankan gradien konsentrasi dan tegangan antara intra dan ekstra sel. Dalam keadaan normal, konsentrasi Na+ dan Ca++ lebih tinggi diluar sel, sedangkan konsentrasi K+ lebih tinggi didalam sel.7

Pembentukan Potensial aksi

Seperti sel-sel hidup lainnya, sisi dalam sel-sel jantung memiliki muatan negatif dibandingkan sisi luarnya, sehingga menghasilkan perbedaan tegangan dikedua sisi membran yang disebut sebagai potensial transmembran. Potensial transmembran saat istirahat (–80 s/d –90 mV pada otot jantung dan –60 pada sel pacemaker) terjadi akibat adanya akumulasi molekul-molekul bermuatan negatif (ion-ion) didalam sel. Potensial aksi pada sel jantung memberikan pola yang khas, dan mencerminkan aktifitas listrik dari satu sel jantung. Secara klasik aksi potensial dibagi dalam 5 fase, namun untuk memudahkan pemahaman terhadap potensial aksi dapat disederhanakan menjadi 3 fase umum, yakni; fase depolarisasi, fase repolarisasi dan fase istirahat.15 Fase Depolarisasi Fase depolarisasi (fase 0) adalah fase awal dari potensial aksi yang timbul pada saat kanal Na+ membran sel terstimulasi untuk membuka. Bila hal ini terjadi, maka ion Na+ yang bermuatan positif akan serentak masuk ke dalam sel, sehingga menyebabkan potensial transmembran beranjak positif secara cepat. Perubahan resultan tegangan ini disebut depolarisasi. Depolarisasisatu sel jantung akan cenderung menyebabkan sel-sel

yang berdekatan ikut berdepolarisasi dan membuka kanal Na+ sel sebelahnya. Sekali sel berdepolarisasi, gelombang depolarisasi akan di hantarkan dari sel ke sel ke seluruh sel jantung. Kecepatan depolarisasi suatu sel menentukan cepatnya impuls listrik dihantarkan ke seluruh sel miokard. Bila kita melakukan sesuatu terhadap fase 0, berarti akan mempengaruhi kecepatan konduksi dari miokard. 5

Fase Repolarisasi

Sekali suatu sel berdepolarisasi maka tidak akan berdepolarisasi kembali hingga aliran ionik kembali pulih selama depolarisasi. Proses mulai kembalinya ionion ketempatnya semula seperti saat sebelum depolarisasi disebut repolarisasi. Fase repolarisasi ini di tunjukkan oleh fase 1-3 kurva potensial aksi. Karena

(7)

depolarisasi berikutnya tidak dapat terjadi hingga repolarisasi, rentang waktu sejak akhir fase 0 hingga akhir fase 3 disebut sebagai periode refrakter (refractory periode). Fase 2 (fase plateau) dimediasi oleh terbukanya kanal lambat kalsium, yang akan menyebabkan ion kalsium yang bermuatan positif masuk kedalam sel.4,5

Fase Istirahat

Pada hampir semua sel jantung, fase istirahat (rentang waktu antara 2 potensial aksi sebagai fase 4) merupakan fase di mana tak ada perpindahan ion di membran sel. Namun pada sel-sel pacemaker tetap terjadi perpindahan ion melewati membran sel pada fase 4 ini dan secara bertahap mencapai ambang potensial, kemudian kembali berdepolarisasi membangkitkan impuls listrik yang dihantarkan ke seluruh jantung. Aktifitas fase 4 yang kemudian berdepolarisasi spontan disebut automatisitas.6

(8)

2.5 Patofisiologi Atrial Fibrilasi

Pada dasarnya mekanisme atrial fibriasi terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi fokal dan multiple wavelet reentry. Pada proses aktivasi fokal bisa melibatkan proses depolarisasi tunggal atau depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi fokal, fokus ektopik yang dominan adalah berasal dari vena pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari atrium kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik yang dapat mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan menggangu potensial aksi yang dicetuskan oleh nodus sino-atrial (SA).7

Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang berulang dan melibatkan sirkuit atau jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet reentry tidak tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi fokal, tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi depolarisasi. Timbulnya gelombang yang menetap dari depolarisasi atrial atau wavelet yang dipicu oleh depolarisasi atrial prematur atau aktivas aritmogenik dari fokus yang tercetus secara cepat. Pada multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode refractory, besarnya ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium biasanya akan disertai dengan pemendekan periode refractory dan terjadi penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebut yang akan meningkatkan sinyal elektrik dan menimbulkan peningkatan depolarisasi serta mencetuskan terjadinya atrial fibrilasi.7

(9)

Prinsip mekanisme elektrofisiologi fibrilasi atrium. A, Aktivasi fokal (focal activation). Fokus pencetus (ditandai bintang) seringkali terletak diantara muara vena-vena pulmonalis. Wavelets yang dihasilkan merupakan konduksi fibrilasi seperti pada multiple-wavelet reentry. B, Multiple-wavelet reentry. Wavelets (tanda panah) secara acak masuk kembali ke jaringan yang sebelumnya diaktivasinya atau diaktivasi oleh wavelets lain. Perjalanan wavelets bervariasi. LA - left atrium; PV- pulmonary vein; ICV – inferior vena cava; SCV - superior vena cava; RA - right atrium.

Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan mekanisme fibrilasi ventrikel kecuali bila prosesnya ternyata hanya di massa otot atrium dan bukan di massa otot ventrikel. Penyebab yang sering menimbulkan fibrilasi atrium adalah pembesaran atrium akibat lesi katup jantung yang mencegah atrium mengosongkan isinya secara adekuat ke dalam ventrikel, atau akibat kegagalan ventrikel dengan pembendungan darah yang banyak di dalam atrium. Dinding atrium yang berdilatasi akan menyediakan kondisi yang tepat untuk sebuah jalur konduksi yang panjang demikian juga konduksi lambat, yang keduanya merupakan faktor predisposisi bagi fibrilasi atrium.23

(10)

Re-entry. a) Impuls dari sinus mengaktifkan daerah A, b) Sebuah denyut prematur muncul pada daerah B, namun gagal mencapai daerah A karena daerah tersebut masih dalam masa refrakter setelah sebelumnya mendapat impuls dari sinus. c) Stimulus prematur berjalan lambat melewati rute lain dan kembali ke daerah A, dan saat itu masa refrakter daerah A baru saja selesai dan siap tereksitasi

kembali. d) daerah A akan melanjutkan impuls dan mengeksitasi daerah B dan lingkaran reentry akan muncul

dengan sendirinya.

2.6 Klasifikasi

Secara klinis FA dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu presentasi dan durasinya, yaitu:6

1. FA yang pertama kali terdiagnosis. Jenis ini berlaku untuk pasien yang pertama kali datang dengan manifestasi klinis FA, tanpa memandang durasi atau berat ringannya gejala yang muncul.

2. FA paroksismal adalah FA yang mengalami terminasi spontan dalam 48 jam, namun dapat berlanjut hingga 7 hari.

3. FA persisten adalah FA dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari atau FA yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik.

(11)

4. FA persisten lama (long standing persistent) adalah FA yang bertahan hingga ≥1 tahun, dan strategi kendali irama masih akan diterapkan.

5. FA permanen merupakan FA yang ditetapkan sebagai permanen oleh dokter (dan pasien) sehingga strategi kendali irama sudah tidak digunakan lagi. Apabila strategi kendali irama masih digunakan maka FA masuk ke kategori FA persisten lama.

Gambar 2. Klasifikasi atrial fibrilasi1

Klasifikasi FA seperti di atas tidaklah selalu eksklusif satu sama lain. Artinya, seorang pasien mungkin dapat mengalami beberapa episode FA paroksismal, dan pada waktu lain kadang-kadang FA persisten, atau sebaliknya. Untuk itu, secara praktis, pasien dapat dimasukkan ke salah satu kategori di atas berdasarkan manifestasi klinis yang paling dominan.

Berdasarkan laju respon ventrikel, AF dibagi menjadi :

1. AF respon cepat (rapid response) dimana laju ventrikel >100 kali/menit 2. AF respon lambat (slow response) dimana laju ventrikel ±60 kali/menit 3. AF respon normal (normo response) dimana laju ventrikel antara 60-100

(12)

2.6. Penegakan Diagnosis a. Anamnesis

AF memiliki gejala klinis yang luas (seperti yang tercantum pada Tabel 1). Beberapa kasus bisa jadi asimptomatik. Keluhan yang sering dialami pasien adalah palpitasi, dispneu, fatigue, mata berkunang-kunang dan nyeri dada. Karena gejala AF tidak spesifik maka tidak bisa digunakan untuk menegakkan dan menentukan onset AF.5 AF dapat pula diawali dengan manifestasi stroke atau TIA (transient ischemic attack) sehingga beralasan bila penyakit ini disebut asimptomatik dan sering pula AF kembali secara spontan (self terminating)

b. Pemeriksaan Penunjang

Adanya denyut irregular seharusnya selalu memunculkan kecurigaan ke arah AF, dan untuk memastikannya perlu dilakukan pemeriksaan dengan EKG1.Bila EKG tidak menunjukkan adanya AF namun dugaan AF sangat kuat maka sebaiknya lakukan pengawasan dengan Holter 24 jam untuk mendokumentasikan ada tidaknya aritmia. Jika pasien tidak stabil karena hipotensi, ongoing ischemia, gagal jantung berat,kardioversi elektrik darurat harus segera dilakukan. Namun, bila klinis pasien stabil, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seharusnya dilakukan dan difokuskan pada pencarian penyabab dasar yang memicu dan kondisi komorbid yang menyertai. Pemeriksaan standar yang biasanya dilakukan untuk evaluasi fungsi jantung dan identifikasi kondisi komorbid termasuk EKG, darah lengkap, profil metabolik lengkap, pengukuran hormon tiroid, foto thoraks dan ekokardiografi5.

Tabel 1. Evalusi klinis pasien dengan AF6

Evaluasi minimum Pemeriksaan tambahan 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

 Ada tidaknya gejala klinis AF  Klasifikasi AF (first episode,

paroxysmal, persistent, or permanent)

 Onset serangan pertama atau waktu ditegakknya AF

Satu atau beberapa pemeriksaan berikut perlu dilakukan

1. Six-minute walk test

Jika efektifitas terapi rate control masih dipertanyakan 2. Exercise testing

(13)

 Frekuensi, durasi, faktor pemicu dan cara berakhirnya AF

 Respon terhadap obat yang diberikan

 Adanya penyakit jantung yang mendasari atau kondisi lain seperti hipertiroid atau konsumsi alkohol

2. EKG, untuk identifikasi  Ritme (memastikan AF)  Hipertrofi ventrikel kiri

 Durasi dan morfologi gelombang P

 Preeksitasi

Bundle branch block  MI

 Aritmia atrial lainnya

 Mengukur interval R-R, QRS dan QT sebagai evaluasi terhadap terapi antiaritmia 3. Ekokardiografi, untuk identifikasi

 Penyakit katup jantung  Ukuran atrium kanan dan kiri  Ukuran dan fungsi ventrikel

kiri

 Tekanan ventrikel kanan (hipertensi pulmonal)

 Hipertrofi ventrikel kiri

 Thrombus atrium kiri (sensitivitas rendah)

 Penyakit perikardium

4. Pemeriksaan tiroid, ginjal dan fungsi hati

Pada first episode AF dengan denyut jantung sulit dikontrol

Jika efektifitas terapi rate control pada AF permanen masih dipertanyakan

 Untuk mencari tahu adanya AF yang dipicui oleh latihan

3. Holter monitoring

 Jika tipe aritmia masih dipertanyakan

 Sebagai alat untuk evaluasi terapi rate control

4. Foto thoraks, untuk evaluasi  Bila penemuan klinis

mengarah kepada abnormalitas parenkim paru dan pembuluh darah paru

2.7. Tata Laksana

Tata laksana AF bertujuan untuk mengurangi gejala dan mencegah komplikasi. Pencegahan komplikasi AF diupayakan melalui terapi antitrombotik, mengontrol laju ventrikel (rate control) dan terapi adekuat terhadap penyakit jantung penyerta. Terapi tersebut juga akan menghilangkan symptom, tetapi untuk

(14)

menghilangkan symptom sepenuhnya diperlukan terapi kontrol irama (rhythm control) melalui kardioversi, terapi antiaritmia atau bahkan ablasi.7

Gambar 4. Kaskade tata laksana AF1

Pada kasus AF paroksismal, target terapi umumnya adalah mereduksi aritmia yang terjadi dan mempertahankan irama sinus. Sedangkan pada AF permanen, pendekatan rate control lebih menjadi pilihan2. Terapi pada pasien AF yang persisten masih kontroversial apakah berusaha untuk mempertahankan irama sinus atau membiarkan pasien dalam irama AF dan mengontrol laju jantung. Sampai saat ini pada tahap awal para klinisi tetap berusaha tetap mempertahankan irama sinus dengan kardioversi dan obat antiaritmia3. Namun apapun jenis fibrilasi atriumnya,upaya prevensi risiko tromboemboli, meredakan gejala klinis dan hemodinamik serta penanganan komorbid merupakan aspek penting manajemen keseluruhan.2

Strategi dalam pengobatan AF adalah sebagai berikut: 1. Antitrombotik

Pemilihan antitrombotik harus didasarkan ada tidaknya faktor risiko stroke dan tromboemboli, pengelompokan menggunak skor CHADS2. CHADS2 yang merupakan singkatan dari Cardiac failure, Hypertension, Age (>75 tahun), Diabetes Mellitus dan riwayat Stroke atau TIA masing-masing diberi skor 1 kecuali riwayat stroke mendapat skor 2. Makin tinggi skor CHADS2, maka makin

(15)

tinggi risiko stroke, dalam hal ini skor 0 dikelompokkan sebagai risiko rendah, skor 1-2 risiko sedang dan skor >2 adalah risiko tinggi.7

Gambar 5. Skema pemilihan antitrombotik1 2. Kontrol laju

Terapi awal setelah awitan AF harus selalu meliputi antitrombotik yang adekuat dan mengontrol laju ventrikel.7 Strategi menurunan laju ventrikel dikenal sebagai laju kontrol, berfungsi untuk memperbaiki pengisian diastolik, perfusi koroner, menurunkan kebutuhan energi miokardium dan mencegah kardiomiopati yang diperantarai oleh takikardi.5

Target utama dari pendekatan ini adalah meredakan gejala klinis dan pencegahan komplikasi hemodinamik dengan cara mengontrol respons laju ventrikel. Target terapi adalah laju ventrikel antara 60-80 kpm saat istirahat dan 90-115 kpm saat beraktivitas sedang. Obat yang menjadi lini pertama adalah golongan penyekat beta (metoprolol dan atenolol). Jika monoterapi belum berhasil, maka agen kedua atau ketiga dapat ditambahkan. Golongan antagonis kalsium non-dihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil dapat menjadi pilihan lini kedua pada pasien yang kontraindikasi atau nontoleransi dengan penyekat beta. Penyekat beta dan antagonis kalsium bersifat depresif terhadap fungsi ventrikel sehingga harus berhati-hati dalam penggunaannya pada pasien dengan hipotensi atau payah jantung. Digoxin dapat dijadikan pilihan sebagai kontrol laju pada pasien payah jantung dengan fibrilasi atrium. Namun digoxin kurang efektif dalam mengontrol denyut jantung pada saat beraktivitas atau dalam kondisi hiperadrenergik seperti demam, tirotoksikosis dan pasca operasi.Upaya non-farmakologis berupa ablasi nodus AV dan pacing dapat menjadi pilihan yang efektif dalam control laju bagi pasien yang gagal terapi dengan agen-agen farmakologis2.

(16)

3. Kontrol irama

Merubah AF ke irama sinus dilakukan bila pasien masih terdapat gejala simtomatik dengan pendekatan kontrol laju. Harus diingat bahwa pendekatan kontrol irama belum menunjukkan hasil yang lebih baik dalam hal penurunan mortalitas atau kejadian tromboemboli dibandingkan dengan pendekatan kontrol laju. Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan kontrol irama hanya bila pasien masih simtomatik.7

Kontrol irama atau kardioversi mengacu pada upaya reversi dan mempertahankan irama sinus dalam waktu panjang. Kontrol irama dapat dicapai secara farmakologis dengan menggunakan agen anti-aritmia maupun dengan kardioversielektrik. Kardioversi secara farmakologis kurang efektif jika dibandingkan dengan kardioversi elektrik bifasik. Namun metode kardioversi manapun akan membawa risiko tromboemboli, terutama jika aritmia telah berlangsung > 48jam, kecuali jika profilaksis dengan antikoagulan telah diberikan sebelumnya.2 Agen farmakologik yang dapat dipakai adalah flecainide, dofetilide, propafenone, dan ibutilide. Amiodaron masih merupakan obat dengan efektifitas yang paling baik untuk control irama.7 Sebaiknya kardioversi farmakologik dimulai kurang dari 7 hari setelah onset fibrilasi atrium agar efektivitasnya lebih baik. Panduan dari NICE (National Institute for Health and Clinical Exellence) menganjurkan strategi kontrol laju sebagai pilihan pertama pada pasien dengan fibrilasi atrium persisten dengan karakteristik sebagai berikut; berusia > 65 tahun, dengan penyakit jantung koroner, kontraindikasi terhadap agen antiaritmia,tanpa adanya gagal jantung kongestif, dan tidak cocok untuk kardioversi. Sedangkan strategi rhythm control selayaknya menjadi pilihan pertama pada fibrilasi atrium persisten yang bergejala, usia pasien lebih muda, tampil pertama kali sebagai fibrilasi atrium ataupun paroksismal terhadap suatu presipitan.2

(17)

Skema Pemilihan antiaritmia untuk mempertahankan irama sinus pada pasien dengan AF paroksismal dan persisten berulang6

4. Ablasi

Indikasi ablasi AF adalah AF simtomatik yang refrakter atau intoleren terhadap terapi paling tidak satu antiaritmia kelas 1 atau 3. Ablasi juga dapat dilakukan pada pasien gagal jantung simtomatik. Ada juga pasien yang memilih ablasi sebagai upaya terbebas dari keharusan minum antikoagulan jangka panjang. Adanya thrombus di atrium kiri merupakan kontraindikasi ablasi.7

BAB III

LAPORAN KASUS 1. Identitas Pasien

Nama : Tn. SB

Umur : 52 tahun

(18)

No. CM : 0-82-07-79

Alamat : Dusun Lamteh

Tgl. Masuk RS : 13 Juni 2015 Tgl. Pemeriksaan : 15 Juni 2015 2. Anamnesis

Keluhan utama : Sesak nafas Keluhan tambahan : Pusing berputar Riwayat penyakit sekarang:

Pasien dirujuk dari RSIA dengan keluhan sesak nafas yang terjadi sejak 1 bulan lalu yang makin memberat dalam 1 minggu SMRS. Sesak ini berhubungan dengan aktivitas yang dilakukan pasien. Aktivitas yang memicu sesak ini berupa pekerjaan yang rutin dilakukan sehari-hari seperti naik beberapa anak tangga, dan berjalan ke kamar mandi. Keluhan sesak berkurang saat pasien tidur dengan dua bantal. Keluhan sesak tidak disertai dengan nyeri dada. Pasien juga kadang merasa berdebar-debar yang juga hilang saat beristirahat. Pasien juga mengaku cepat merasa lelah saat melakukan aktifitas. Selain itu pasien juga mengeluhkan pusing berputar yang dirasakan beberapa jam sebelum masuk rumah sakit. Riwayat pusing sebelumnya tidak ada, keluhan ini berkurang saat pasien beristirahat. Keluhan gangguan BAK dan BAB disangkal.

Riwayat penyakit dahulu:

Riwayat hipertensi (+) pertama kali diketahui 5 tahun yang lalu, riwayat diabetes mellitus (+) sejak 5 tahun yang lalu, riwayat stroke (-).

Riwayat penggunaan obat: Insulin novomix 22-0-20 Riwayat penyakit keluarga:

Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien. Ada riwayat hipertensi dalam keluarga yaitu ayah pasien.

(19)

Riwayat kebiasaan sosial:

Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak lebih dari 30 tahun yang lalu, sehari 1 bungkus rokok.

3. Vital Sign

Kesadaran : Kompos mentis (E4 M6 V5) Tekanan darah : 140/80 mmHg

Nadi : 110 kali/menit, irreguler

RR : 25 kali/menit

T : 36,70C

4. Pemeriksaan Fisik Kepala : normocephali

Mata : konjungtiva palpebral inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-) Telinga : normotia, serumen (-/-)

Hidung : NCH (-), sekret (-)

Mulut : sianosis (-), mukosa bibir lembab (+) Leher : pembesaran KGB (-), JVP R-2 cmH2O Thorax :

Inspeksi : simetris, retraksi SS, IC dan epigastrium (-) Palpasi : nyeri tekan (-), SF kanan = SF kiri

Perkusi : sonor (+/+) di seluruh lapangan paru Auskultasi : ves (+/+), rh (-/-) basah halus, wh (-/-)

Cor :

Inspeksi : Ictus cordis tak tampak

Palpasi : Ictus teraba di ICS V 2 jari lateral midclavikula sinistra Perkusi : Batas jantung kanan di linea parasternalis dekstra batas jantung kiri di 2 jari lateral dari linea midclacicula sinistra

Auskultasi : Bunyi jantung I>II, irregular (+), bising(-)

Abdomen :

Inspeksi : simetris, distensi (-)

Palpasi : soepel, nyeri tekan episgastrium (+), hepar/lien/renal tidak teraba

Perkusi : timpani

Auskultasi : peristaltik (+) 4x/i, bising usus (-)

Ekstremitas:

Ekstremitas superior : sianosis(-/-), edema(-/-), pucat(-/-), akral dingin (-/-) Ekstremitas inferior : sianosis(-/-), edema(-/-), pucat(-/-), akral dingin(-/-) CRT <2”

(20)

EKG (14 Juni 2015)

Interpretasi :

• Ritme : Atrial Fibrilasi • Rate : 110 bpm • Axis : normoaxis • Interval PR : sulit dinilai • Gel P : sulit dinilai • Complex QRS : 0.04 s • ST Elevasi : negatif • ST Depresi : negatif • T inverted : positif V1, V2, V3, V4 • Q patologis : negative • RSR’ : negative

• Kesan : Atrial Fibrilasi rapid respon, irregular, HR 110 x /min, iskemik anteroseptal

(21)

• Ritme : Atrial Fibrilasi • Rate : 90 bpm

• Axis : normoaxis • Interval PR : sulit dinilai • Gel P : sulit dinilai • Complex QRS : 0.04 s • ST Elevasi : negatif • ST Depresi : negatif • T inverted : positif V1, V2, V3, V4 • Q patologis : negative • RSR’ : negative

• Kesan : Atrial Fibrilasi normo respon, irregular, HR 90 x/min, iskemik anteroseptal

Tabel 3.1 Pemeriksaan Laboratorium: Tanggal 13-06-2015

Pemeriksaan Laboratorium Hasil Nilai Normal

Darah Rutin Hb 16,3 gr/dl 12-15 gr/dl Ht 46 % 37-47 % Leukosit 11.700 /mm3  4.500-10.500/mm3 Eritrosit 5,7 x 106 /µL 4,2-5,4 jt/ µL Trombosit 176.000 / mm3 150.000-450.000/mm3 Hitung Jenis Eosinofil 1 0-6 Basofil 0 0-2 Netrofil batang 0 0-1 Netrofil segmen 46 50-70 Limfosit 45 20-40 Monosit 8 2-8 Elektrolit

Natrium (Na) 143 mmol/L 135-145 mmol/L

Kalium (K) 2,5 mmol/L 3,5-4,5 mmol/L

Klorida (Cl) 96 mmol/L 90-110 mmol/L

Diabetes

Glukosa Darah Sewaktu 295 <200 mg/dl

Ginjal-Hipertensi

(22)

Kreatinin 0,70 0,51-0,95 mg/dl

Jantung

Troponin I < 0,10 < 1,5 ng/ml

CK-MB 27 < 25 U/L

Tabel 3.2 Pemeriksaan Laboratorium: Tanggal 16-06-2015

Pemeriksaan Laboratorium Hasil Nilai Normal

Elektrolit

Natrium (Na) 141 mmol/L 135-145 mmol/L

Kalium (K) 3,6 mmol/L 3,5-4,5 mmol/L

Klorida (Cl) 99 mmol/L 90-110 mmol/L

Diabetes

Glukosa Darah Sewaktu 233 <200 mg/dl

Ginjal-Hipertensi Ureum 26 13-43 mg/dl Kreatinin 0,60 0,51-0,95 mg/dl Diabetes HbA1c 7,30 < 6,5 % Ekokardiografi ( 15 Juni 2015)

(23)

Kesimpulan :

TR mild, MR mild, EF 25,26%, disfungsi diastolic, LV wall motion hipokinetik segmen anteroseptal.

6. Diagnosis Kerja

Atrial fibrilasi normo respon + DM tipe 2 + Vertigo. 7. Penatalaksanaan

7.7.1 Non-Medikamentosa - Bed rest

- Kurangi asupan lemak

- Meningkatkan konsumsi buah dan sayur. 7.7.2 Medikamentosa  Bisoprolol 2 x 2,5 mg  Aspilet 1 x 80 mg  Clopidogrel 1x 75 mg  Esvat 1x 20 mg (malam)  Aspar k 3x1  SC novomix 24-0-20 IU  Vastigo 3x1 8. Planning Diagnostik - EKG serial setiap hari - Angiografi coroner - KGD/hari

- Foto thorax 9. Prognosis

Quo ad Vitam : Dubia ad bonam Quo ad Functionam : Dubia ad malam

(24)

Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam

10. Anjuran Ketika Pulang

- Perbanyak istirahat di rumah

- Olahraga teratur yang dilatih dengan mobilisasi bertahap

- Hindari makanan berlemak dan mengandung garam yang berlebih - Minum obat yang teratur

(25)

BAB IV

ANALISA KASUS

Pada kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis pasien didapatkan keluhan sesak nafas dan berdebar-debar yang hilang sendiri dengan beristirahat. Hasil pemeriksaan EKG ditemukan irama asinus, dengan normo aksis, sementara gelombang P sulit dinilai dan interval P-R sulit dinilai, sehingga disimpulkan adanya suatu atrial fibrilasi.

Gambaran EKG pada AF terdapat irama yang tidak teratur dengan frekuensi laju jantung bervariasi (bisa normal/lambat/cepat). Jika laju jantung <60 kali/menit disebut AF dengan respon ventrikel lambat, jika laju jantung 60-100 kali/menit disebut AF respon ventrikel normal, sedangkan jika laju jantung >100 kali/menit disebut AF dengan respon ventrikel cepat.

AF terjadi karena tidak terorganisirnya sinyal listrik dibagian atrium, sehingga menyebabkan kontraksi yang tidak teratur. Akibat dari hal ini, darah terkumpul diatrium dan tidak benar-benar dipompa ke ventrikel, sehingga heart rate pasien berfluktuasi, dan gelombang P didalam EKG tidak dapat dilihat (sulit dinilai).

Pada anamnesis pasien mengeluhkan jantung yang berdebar-debar, gambaran EKG yang menunjukkan tidak adanya gelombang P, interval R-R yang tidak teratur atau irama yang ireguler, dan tidak didapati interval PR, dengan durasi QRS normal. Gambaran EKG tanggal 15 Juni 2015, HR: 110x/menit, Dari Anamnesis dan gambaran EKG pasien didiagnosis dengan atrial fibrilasi rapid respon.

Pasien datang dengan keluhan merasa cepat lelah, yang dirasakan pada saat beraktivitas, berdebar-debar. Fungsi kontraksi atrial yang sangat berkurang pada atrial fibrilasi akan menurunkan curah jantung dan berisiko menyebabkan gagal jantung kongestif.6 AF dapat mempermudah perkembangan dan perburukan gagal jantung dengan beberapa cara seperti peningkatan laju jantung istirahat, respon laju jantung yang berlebihan terhadap latihan dapat menyebabkan menurunnya waktu pengisian diastolik dan penurunan curah jantung.7

(26)

Pada dasarnya AF tidak memberikan tanda dan gejala yang khas pada perjalanan penyakitnya. Umumnya gejala dari AF adalah peningkatan atau perlambatan denyut jantung, ketidakteraturan irama jantung dan ketidakstabilan hemodinamik. Disamping itu AF juga memberikan gejala lain yang disebabkan oleh penurunan oksigenisasi darah kejaringan, seperti pusing, kelemahan, kelelahan, sesak, dan nyeri dada. Tetapi 90% episode dari AF tidak memberikan gejala tersebut.

Pasien mempunyai riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu. Hipertensi dapat menyebabkan kerusakan organ target termasuk jantung. Hipertensi yang berkepanjangan dan tidak terkendali dapat mengubah struktur miokard, pembuluh darah dan sistem konduksi jantung. Perubahan ini dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri, dilatasi atrium kiri, disfungsi sistolik dan diastolik. Hal ini mempermudah terjadinya aritmia.

Tujuan yang ingin dicapai pada pengobatan AF adalah mengembalikan ke irama sinus, mengontrol laju irama ventrikel dan pencegahan tromboemboli.7 Pada kasus ini diberikan Bisoprolol 2 x 2,5 mg, Aspilet 1 x 80 mg, Clopidogrel 1x 75 mg, Esvat 1x 20 mg (malam), Aspar k 3x1.

Pemilihan antitrombotik harus didasarkan ada tidaknya faktor risiko stroke dan tromboemboli, pengelompokan menggunak skor CHADS2. CHADS2 yang merupakan singkatan dari Cardiac failure, Hypertension, Age (>75 tahun), Diabetes Mellitus dan riwayat Stroke atau TIA masing-masing diberi skor 1 kecuali riwayat stroke mendapat skor 2. Makin tinggi skor CHADS2, maka makin tinggi risiko stroke, dalam hal ini skor 0 dikelompokkan sebagai risiko rendah, skor 1-2 risiko sedang dan skor >2 adalah risiko tinggi.7 Pasien pada kasus memiliki pasien hipertensi memiliki skor CHADS2 2 yang artinya risiko sedang maka diberkan Heparin sebagai antikoagulan.

Tatalaksan selanjutnya untuk AF adalah menurunkan laju ventrikel. Pada pasien gambaran EKG adalah atrial fibrilasi dengan rapid ventrikular response sehingga dapat diberikan digitalis (digoxin). Target terapi adalah laju ventrikel antara 60-80 kali saat istirahat dan 90-115 kpm saat beraktivitas sedang.. Tujuan dari penurunan laju ventrikel atau laju kontrol adalah memperbaiki pengisian diastolik, perfusi koroner, menurunkan kebutuhan energi miokardium dan mencegah kardiomiopati yang diperantarai oleh takikardi.6

(27)

BAB V KESIMPULAN

Fibrilasi atrium (atrial fibrillation, AF) adalah takikardia supraventrikuler dengan karakteristik aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi, suatu aritmia yang ditandai oleh gangguan koordinasi dari depolarisasi atrium. AF adalah gangguan irama yang paling sering ditemukan. AF sering terjadi pada pria dibandingkan wanita. Angka kejadian fibilasi atrium dipastikan akan terus meningkat terkait dengan usia harapan hidup yang meningkat, perbaikan dalam manajemen penyakit jantung koroner maupun penyakit jantung kronis lainnya, serta sebagai konsekuensi dari semakin baiknya alat monitoring diagnosis.

Deteksi dini AF masih sangat sulit dilakukan sebab riwayat perjalanan penyakit AF sering tidak ditemukan (silent natural history). Sekitar sepertiga pasien dengan AF bersifat asimptomatik (AF asimptomatik)1. Tujuan utama dari terapi AF adalah untuk mengurangi gejala kardiovaskular, morbiditas dan mortalitas

(28)

1. European Society of Cardiology. Guidelines for the management of atrial fibrillation. European Heart Journal. 2010. 31. p.2369–2429.

2. Dinarti LK, Suciadi LP. Stratifikasi Risiko dan Strategi Manajemen Pasien dengan Fibrilasi Atrium. Maj Kedokt Indon. 2009. Vol.59 (6). p. 277-284. 3. Yansen I, Yuniadi Y. Tata Laksana Fibrilasi Atrium:Kontrol Irama atau Laju

Jantung. CDK-202. 2013. Vol.40 (3). p.171-175.

4. Rienstra M et al. Symptoms and Functional Status of Patients With Atrial Fibrillation: State of the Art and Future Research Opportunities. Circulation. 2012. 125:p.2933-2943.

5. Gutierrez C et al. Atrial Fibrillation: Diagnosis and Treatment. American Family Physician. 2011. Vol.83 (1). p. 61-68.

6. American College of Cardiology Foundation and American Heart Association. ACCF/AHA Pocket Guideline Management of Patients With Atrial Fibrillation (Adapted from the 2006 ACC/AHA/ESC Guideline and the 2011 ACCF/AHA/HRS Focused Updates). ACC/AHA. 2011.

7. Yuniadi Y. Waspada Fibrilasi Atrium. Dalam: Rilantono Lily L. Penyakit Kardiovaskular (PKV) 5 Rahasia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2012. p.390-408.

Gambar

Gambar 6. Pola potensial aksi masing-masing sistim konduksi jantung
Gambar 3. A. Proses aktivasi fokal atrial fibrilasi dan B. Proses Multiple
Gambar 2. Klasifikasi atrial fibrilasi 1
Tabel 1. Evalusi klinis pasien dengan AF 6
+5

Referensi

Dokumen terkait