• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab III Metode Pelaksanaan Detail Desain Embung Sangkok Bawi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab III Metode Pelaksanaan Detail Desain Embung Sangkok Bawi"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

III - 1 3.1. UMUM

Rencana pelaksanaan yang diuraikan dalam laporan ini merupakan rencana pelaksanaan yang telah disusun oleh Tim. Pekerjaan. ini didasarkan dari hasil kegiatan inspeksi detail pekerjaan, yang menghasilkan gambaran yang nyata terhadap persoalan yang dihadapi pada masing-masing embung yang ditetapkan.

3.2. RENCANA PELAKSANAAN

Adapun kegiatan yang akan dilakukan pada pekerjaan Detail Desain Embung Sangkok Bawi di Kabupaten Sumbawa, secara garis besar terdiri atas 4 (empat) tahap pekerjaan yaitu :

1) Tahap 1 : Pendahuluan(Persiapan dan Studi Awal); 2) Tahap 2 : Pekerjaan Pengukuran Topografi;

3) Tahap 2 : Pekerjaan Survey GeotekMektan; 4) Tahap 3 : Analisis/ Kajian dan Detail Desain; 5) Tahap 4 : Finalisasi Pekerjaan.

Secara prinsip pekerjaan tersebut meliputi 2 (dua) hal pokok yaitu :

a. Evaluasi keamanan embung berdasarkan parameter yang ditetapkan berdasarkan peraturan keamanan bendungan yang berlaku saat ini.

b. Usulan desain embung berdasarkan hasil survey pendahuluan lapangan detail dan berdasarkan usulan yang ada.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, maka kegiatan–kegiatan yang dilakukan pada masing–masing tahapan adalah sebagai berikut :

3.3. TAHAP PELAKSANAAN PEKERJAAN

3.3.1. Tahap I : Pendahuluan(Persiapan dan Studi Awal)

Kegiatan pendahuluan ini meliputi berbagai kegiatan seperti persiapan, pengumpulan data teknis serta penyusunan rencana kerja, dengan penjelasan sebagai berikut :

BAB III

METODOLOGI

PELAKSANAAN PEKERJAAN

(2)

a. Koordinasi

Segera setelah tanda tangan kontrak dan menerima SPMK, konsultan akan mempersiapkan diri dan melakukan koordinasi dengan tenaga ahli yang telah ditunjuk. Koordinasi ini juga akan dilakukan dengan pihak Direksi Pekerjaan untuk memantapkan rencana dan metode kerja.

b. Pengurusan Administrasi dan Keuangan

Administrasi yang harus segera dipersiapkan, diantaranya adalah: administrasi perijinan dan surat-surat pengantar, surat pemberitahuan pelaksanaan survai di lapangan, surat perizinan survey. Secara internal, Team Leader Konsultan akan menyusun anggaran biaya proyek.

c. Persiapan Kantor Lapangan dan Mobilisasi Personil dan Peralatan

Persiapan personil dan peralatan sebagaimana diusulkan dalam Dokumen Usulan Teknis akan segera disiapkan begitu juga dengan rencana lokasi Kantor Lapangan. Kegiatan ini akan dimintakan persetujuan dengan Direksi Pekerjaan. Setelah itu dilakukan mobilisasi personil dan peralatan/perlengkapan. Urutan pelaksanaan kegiatan persiapan diperlihatkan dalam bagan alir pada Gambar 3.1

Gambar 3.1 Bagan Alir Pekerjaan Persiapan d. Tinjauan Lapangan Pendahuluan

Tinjauan lapangan pendahuluan dapat dilakukan secara overlapping dengan pengumpulan data sekunder. Fokus tinjauan lapangan pendahuluan, diantaranya adalah :

Dokumen

Kontrak Kerja & SPMK

Koordinasi dengan Direksi Pekerjaan Persiapan Administrasi Persiapan Peralatan Persiapan Personil (Inti &

Penunjang) Disetujui Direksi Pekerjaan OK (dpt digunakan) melangkah Ya Tidak

(3)

III - 3

 Daerah lokasi embung, pelimpah dan daerah layanan

 Kondisi sumber air

Dari kegiatan ini diharapkan sudah mendapatkan gambaran untuk menyusun program kerja meliputi : survey, desain dan mobilisasi keseluruhan team.

e. Studi Meja

Studi meja dilakukan dengan menggunakan data dan laporan yang berhasil dikumpul-kan. Fokus studi meja ini adalah konsultan akan melakukan seleksi, tabulasi, evaluasi dan analisa data tersebut yang nantinya akan dapat digunakan untuk menyusun program kerja. Dengan mempelajari konsep awal pengembangan, evaluasi data sekunder, dan peninjauan lapangan pendahuluan diharapkan sudah dapat ditarik kesimpulan sementara mengenai problem yang terjadi serta memudahkan untuk menyusun program kerja detail.

f. Penyusunan rencana/program kerja

Dalam tahap kegiatan persiapan akan dilakukan pembuatan detail program kerja (jadwal kerja lebih rinci) dan penugasan personil serta metode pelaksanaan pekerjaan yang lebih mendetail. Semuanya itu, termasuk hasil studi literatur dan pengumpulan data dasar/ data pendukung, akan dilaporkan dalam Draft Laporan Pendahuluan yang akan dipresentasikan/ didiskusikan dengan pihak Pengguna Jasa dan pihak terkait lainnya yang dianggap perlu. Rencana Kerja Detail tersebut akan menjelaskan langkah dan tahapan pelaksanaan pekerjaan secara sistimatik dalam skala mingguan mulai dari kegiatan persiapan hingga penyelesaian akhir pekerjaan. Dengan bekal hasil studi meja, program kerja untuk survey, desain (analisis dan detail desain) serta mobilisasi keseluruhan Team akan dapat dilaksanakan secara cepat. Rencana Kerja Detail yang akan disiapkan, meliputi :

 Penyiapan personil tenaga ahli, tenaga teknik dan tenaga pendukung.

 Struktur organisasi pelaksanaan pekerjaan.

 Menyusun daftar job deskripsi masing-masing personil, berikut yang bertanggungjawab dan kewenangannya.

 Penyiapan peralatan dalam jumlah, kapasitas/kemampuan yang sesuai dan memadai untuk mendukung hasil pekerjaan yang memenuhi persyaratan yang ditetentukan.

 Penyediaan tenaga ahli yang profesional dan telah berpengalaman dalam melaksanakan pekerjaan sejenis.

 Penyusun jadwal pelaksanaan pekerjaan sesuai tahapan kegiatan dan diplot sesuai target penyelesaian setiap tahapan penyelesaian pekerjaan.

 Rencana penanganan proyek (definitif).

(4)

 Menyusun Network Planning yang didasarkan pada analisa teknis yang obyektif dan realistis.

 Menyusun jadwal penugasan personil sesuai keterlibatan masing-maiang dalam tahapan pelaksanaan pekerjaan.

 Menyusun Rencana daftar dan schedule peralatan yang akan digunakan.

g. Pengumpulan Data Sekunder

Dalam tahap persiapan ini, Konsultan akan menginventarisir lebih mendetail data-data sekunder apa saja yang sekiranya akan diperlukan untuk menunjang pelaksanaan pekerjaan ini. Selain jenis data, maka dalam tahap ini juga akan diinvetarisir lebih detail tentang sumber data dan harga data/ kompensasi peminjaman data-data yang diperlukan. Selanjutnya setelah diinventarisir maka Konsultan akan berupaya untuk mendapatkan data-data tersebut, baik melalui hasil kegiatan yang dilakukan di lapangan maupun data-data dari sumber-sumber resmi atau instansi-instansi pemerintah lainnya. Setelah terkumpul, maka data-data tersebut akan dikompilasi, dibagi-bagi sesuai kelompok data. Selanjutnya, dilakukan analisis awal terhadap kelompok-kelompok data tersebut, baik menyangkut kelengkapannya, validitasnya, maupun pemahaman awal terhadap isinya.

Data sekunder yang perlu dikumpulkan untuk menunjang pelaksanaan berbagai kegiatan analisa dan studi dalam pekerjaan ini antara lain meliputi :

 Peta topografi/ peta rupa bumi digital wilayah studi dan sekitarnya dengan skala 1 : 50.000 atau 1: 25.000

 Data citra satelit terbaru yang ada, mencakup kawasan wilayah studi dan sekitarnya

 Peta administratif desa, kecamatan, dan kabupaten/ kota

 Peta rencana umum tata ruang wilayah kabupaten/ kota yang berlaku E-19/102  Peta geologi regional dan geologi struktur

 Peta tata guna lahan  Peta jenis tanah

 Peta lahan kritis, kelerengan lahan dan kesesuaian lahan  Peta genangan banjir

 Data hidrologi curah hujan harian, bulanan, tahunan  Data debit harian, bulanan, tahunan (bila ada)  Data klimatologi

 Data debit banjir (bila ada)  Data sosial ekonomi :

 Data statistik (tingkat desa, kecamatan, kabupaten dengan edisi terbaru)  Data pendapatan per kapita penduduk.

(5)

III - 5

 Data hasil studi terdahulu : Diperoleh dari BWS Nusa Tenggara I yang menyediakan hasil Studi/desain yang terkait dengan pekerjaan ini.

 Data sarana dan prasarana SDA : Data bangunan-bangunan air yang ada dan sarana dan prasarana lainnya yang berhubungan dengan potensi pengembangan SDA di kawasan ini.

Data-data sekunder tersebut dapat diperoleh dengan mendatangi langsung instansi-instansi terkait yang memilikinya atau metode wawancara. Untuk memperoleh data dari instansi-instansi terkait tersebut diperlukan Surat Pengantar dari Pengguna Jasa untuk memenuhi azas legalitas dari Pelaksana Pekerjaan (Konsultan).

h. Penyusunan Draft Laporan Pendahuluan, Diskusi Draft Laporan Pendahuluan dan Penyusunan Laporan Pendahuluan

Semua kegiatan yang menyangkut persiapan dan koordinasi, pengumpulan data, studi meja dan kunjungan lapangan akan disusun dalam bentuk laporan pendahuluan. Secara umum, laporan ini berisikan :

• Maksud dan tujuan, informasi pengguna dan penyedia jasa.

• Temuan-temuan dari hasil survey awal dan permasalahan yang dihadapi

• Diagram alir Rencana Pekerjaan.

• Tahapan/metode pelaksanaan yang akan diterapkan dalam mengatasi

permasalahan yang ada

• Jadwal pelaksanaan, jadwal penugasan dan rencana mobilisasi personil • Daftar alat dan jadwal pengadaan peralatan

• Pekerjaan persiapan dan rencana pelaksanaan kerja

Selanjutnya, konsultan menyerahkan Draft Laporan Pendahuluan ke Direksi Pekerjaan untuk didiskusikan dalam rangka mendapatkan masukan, koreksi penyempurnaan dan rekomendasi dari Direksi Pekerjaan.

(6)

Gambar 3.2 Bagan Alir Penyusunan Laporan Pendahuluan 3.3.2. Tahap II : Pekerjaan Pengukuran Topografi

Metode pengukuran yang akan diterapkan agar dicapai hasil yang optimal dapat diuraikan sebagai berikut :

Disetujui Direksi Pekerjaan Tahap Persiapan OK PENGUMPULAN DATA SEKUNDER: 1. Peta Situasi 2. Laporan Exsiting 4. Data Hidrologi 5. Data Demografi 6. Data Pertanian

Pemahaman Tugas Masing-Masing Tenaga Ahli

Surat Pengantar dari Direksi (untuk mendapatkan data yg berada di luar kantor BWS) Surat Pengantar dari Direksi (untuk mendapatkan data yg berada di luar kantor BWS)

Tinjauan Lapangan Pendahuluan

Kompilasi Data, Analisis Pendahuluan dan Kajian Desain terdahulu

Data Cukup ?

Ya Belum

Penyusunan Program Kerja & Metode untuk :

Survey Desain

Mob Tenaga Ahli / Penunjang

Penyusunan Draft Laporan Pendahuluan

Masukan dari : Pengarahan Direksi Pekerjaan serta diskusi outline Daftar Isi

Masukan dari : Pengarahan Direksi Pekerjaan serta diskusi outline Daftar Isi

Diskusi Draft Laporan Pendahuluan Koreksi Draft Laporan

Pendahuluan

Laporan Pendahuluan Ya Belum

(7)

III - 7 1. Pekerjaan Persiapan

Pekerjaan persiapan yang dilakukan oleh tim swakelola adalah sebagai berikut : a) Menyiapkan administrasi yang diperlukan, seperti perijinan, surat jalan dan

sebagainya.

b) Mengumpulkan peta-peta yang ada kaitannya dengan pekerjaan dimaksud, termasuk peta topografi daerah studi skala 1 : 25.000 atau 1 : 50.000, tabel deklinasi matahari dan sebagainya.

c) Melakukan inventarisasi data koordinat titik acuan terdekat. d) Menyiapkan data-data pendukung lain yang diperlukan. e) Menyiapkan jadwal pekerjaan dan jadwal personi l.

f) Perencanaan jalur pengukuran dan rencana penempatan titik. g) Menyiapkan peralatan yang diperlukan.

h) Menyiapkan personil tim yang akan dilibatkan. i) Menyiapkan peta kerja, termasuk kontrol.

2. Pemasangan Monumentasi dan Patok Bantu

Ada 2 (dua) jenis monumentasi yang perlu dipasang yaitu : a) Bench Mark (BM)

Bench Mark yang terbuat dari beton menggunakan tulangan dengan ukuran 20 cm x 20 x cm x 100 cm . BM dilengkapi dengan baud yang diberi tanda silang pada bagian atasnya sebagai titik centering, serta diberi penamaan pada bagian samping menggunakan tegel. BM ini dipasang sejumlah 3 (tiga) pada masing-masing embung guna mengikat Poligon. Bagian yang muncul di atas tanah lebih kurang 20 cm.

b) Control Point (CP)

Control Point dengan ukuran 10 cm x 10 cm x 80 cm terbuat dari cor semen, dipasang dengan tujuan untuk memberikan acuan arah azimuth dari BM terpasang. Control point ini dipasang dengan posisi saling terlihat dengan BM terpasang.

Pemasangan Bench Mark ini diikuti dengan pemasangan Control Point (CP) sebagai arahan untuk menentukan azimuth titik tersebut. BM dan CP dipasang pada tempat yang stabil, aman dan mudah dalam pencariannya. c) Patok Bantu

Patok bantu dipasang pada setiap tempat berdiri alat poligon, situasi, cross section dan diantara tempat berdiri alat waterpass. Patok ini dibuat dari kayu dengan ukuran 3 cm x 5 cm x 40 cm. Patok kayu ini pada bagian atasnya dipasang paku payung sebagai penanda centering titik tempat berdiri alat atau titik berdiri rambu pada pengukuran waterpass. Untuk memudahkan penentuan patok, perlu juga diberikan peng-kodean atau penamaan masing-masing patok kayu tersebut dengan nama, huruf atau nomor.

(8)

3. Pengukuran Poligon

Pengukuran poligon dilakukan dengan mengukur sudut dan jarak beserta azimuth awal sebagai penentu arah Utara.

1). Pengukuran Sudut

Sudut ukur dengan menggunakan alat ukur Theodolith Wild–T2 atau sejenis. Pengukuran sudut dapat dijelaskan dengan gambar 4.1. berikut :

Gambar 3.3. Pengukuran Sudut Poligon

Sudut yang dipakai adalah sudut dalam yang merupakan hasil rata-rata dari pengukuran I dan II.

Bacaan I = 101030’29’’

Bacaan II = 101030’28’’

Rata-rata = 101030’28,5’’

Sedangkan untuk pengukuran jarak dilakukan dengan cara optis dan dicek dengan menggunakan meetband.

2). Hitungan Poligon

Poligon dihitung dengan cara sebagai berikut :

Gambar 3.4. Gambar Poligon

 sudut = (n  2) x 1800 

dimana :

 sudut = jumlah sudut dalam/sudut luar

n = jumlah titik poligon

a

e

d

c

b

f

1

6

5

4

3

2

d-6

d-5

d-4

d-3

d-2

d-1

101030’29’’ (bacaan I) 101030’28’’ (bacaan II)

(9)

III - 9

a,b,c,…f = besar sudut

d1,d2,..d6 = jarak antar titik poligon

 = kesalahan sudut yang besarnya sudah ditentukan (104 n)

Koordinat masing-masing titik poligon dengan persamaan dari gambar berikut :

Gambar 3.5. Model Matematis Hitungan Koordinat

Xb = Xa + dab Sin ab X

Xb = Ya + dab Cos ab X

dimana :

Xa, Ya = Koordinat titik A

Xb, Yb = Koordinat titik B

dab = Jarak datar antara titik A ke titik B

ab = Azimuth sisi titik A ke titik B

x, y = Koreksi

Sedangkan untuk koreksi Absis dan Ordinat digunakan metode Bouwditch berikut :

dimana :

xi, yi = Koreksi absis dan ordinat masing-masing koordinat

x, y = Koreksi absis dan ordinat keseluruhan

di = Jarak sisi – i

d = Jumlah jarak keseluruhan

4. Pengukuran Waterpass

Pengukuran Waterpass dilakukan untuk mengetahui perbedaan ketinggian antara dua titik, sehingga apabila salah satu titik diketahui ketinggiannya maka

ab

dab

Utara

B

(Xb,Yb

)

A

(Xa,Ya

)

di

xi = x

x ;

d

di

yi = x

y

d

(10)

titik selanjutnya dapat diketahui ketinggiannya. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan gambar sebagai berikut :

Gambar 3.6. Model Matematis Observasi Beda Tinggi

HA-B =bb – bd

dimana :

HA-B = Beda tinggi antara titik A dan titik B

bb = Bacaan rambu belakang

bd = Bacaan rambu depan

A, B = Titik yang di Observasi

Sehingga untuk mengetahui tinggi titik B dapat dicari dengan persamaan : HB = HA + HA-B

dimana :

HA = Tinggi titik A

HB = Tinggi titik B

HA-B = Beda tinggi antara titik A dan titik B

Rute pengukuran waterpass mengikuti rute pengukuran poligon dengan pembagian loop seperti pengukuran poligon. Pengukuran kerangka kontrol vertikal atau waterpass, harus diukur dengan spesifikasi sebagai berikut :

a) Kerangka Kontrol Vertikal harus diukur dengan cara loop, dengan menggunakan alat waterpass Wild Nak-2 atau yang sejenis.

b) Jarak antara tempat berdiri alat dengan rambu tidak boleh lebih besar dari 50 meter.

c) Baud-baud tripod (statip) tidak boleh longgar, sambungan rambu harus lurus betul serta perpindahan skala rambu pada sambungan harus tepat, serta rambu harus menggunakan nivo rambu.

d) Sepatu rambu digunakan untuk peletakan rambu ukur pada saat pengukuran. e) Jangkauan bacaan rambu berkisar antara minimal 0500 sampai dengan

maksimal 2750.

f) Data yang dicatat adalah bacaan ketiga benang yaitu benang atas, benang tengah dan benang bawah.

g) Pengukuran sipat datar dilakukan setelah BM dipasang, serta semua BM eksisting dan BM baru terpasang harus dilalui pengukuran waterpass.

A

B

bb

bd

(11)

III - 11

h) Slaag per seksi diusahakan genap dan jumlah jarak muka diusahakan sama dengan jarak belakang.

i) Pada jalur terikat, pengukuran dilakukan pergi-pulang dan pada jalur terbuka pengukuran dilakukan pergi-pulang dan double stand.

j) Kesalahan beda tinggi yang dicapai harus lebih kecil dari 7 mmD, dimana D adalah jumlah panjang jalur pengukuran dalam kilometer.

k) Semua data lapangan dan hitungan harus dicatat secara jelas dan sistematis, jika ada kesalahan cukup dicoret dan ditulis kembali didekatnya, serta tidak diperbolehkan melakukan koreksi menggunakan tinta koreksi.

l) Pekerjaan hitungan waterpass harus diselesaikan di lapangan, agar bila terjadi kesalahan dapat segera diketahui dan dilakukan pengukuran kembali hingga benar.

m) Perataan hitungan waterpass dilakukan dengan perataan metode Bouwditch.

4. Pengukuran Detail Situasi

Pengukuran detail situasi untuk mengetahui kondisi daerah sekitar, sehingga dari gambar yang dihasilkan dapat direncanakan dan dihitung tampungan embung tersebut, detail situasi diukur dengan metode sudut kutub sebagai berikut :

Gambar 3.7. Metode Sudut Kutub

dimana :

P10,P11,P12 = titik-titik poligon

S1,S2,S3 = sudut ikat masing-masing titik detil

d1,d2,d3 = jarak sisi masing-masing titik detil

a, b, c = titik-titik detil

Detail-detail tersebut diukur dengan menggunakan alat Theodolith Wild T0. Jarak

dan beda masing-masing sisi dan titik detail diukur dengan metode Tachimetry seperti pada gambar berikut :

B

ti

h

A

Dm

D

Dtgh

bt

d

1

d

2

d

3

S

3

S

2

S

1

a

P12 P11 P10

b

c

(12)

Gambar 3.8 Metode Tachimetry

HAB = bb – bd

dimana :

D = jarak datar

h = sudut vertikal

bt = bacaan benang tengah

ti = tinggi instrumen

HAB = beda tinggi antara titik A dan B

Untuk besaran jarak (D) diperoleh dengan persamaan : D = AY Cos2. h

dimana :

D = jarak datar

A = besaran konstanta alat (100)

Y = benang atas – benang bawah

h = sudut vertikal

5. Pengukuran Cross Section

Pengukuran cross section pada daerah dam site dimaksudkan untuk mengetahui kondisi tampang permukaan tanah pada posisi tegak lurus terhadap as sungai cross section, yang diukur dengan menggunakan alat Theodolith Wild T0.

Pada perencanaan ini pengukuran cross section dilakukan pada lokasi rencana embung, pada daerah genangan dan pada daerah trase saluran dengan uraian kriteria sebagai berikut :

a) Cross section diukur dengan interval 500 m sepanjang alinyemen saluran, interval 100 m untuk daerah genangan.

b) Penampang melintang diukur dengan mengambil detail yang mewakili dan sesuai dengan skala yang digunakan.

c) Lebar pengukuran cross section diukur 50 meter ke kiri dan 50 meter ke kanan dari rencana as saluran dan lebar pengukuran cross section untuk daerah genangan adalah sampai pada elevasi crest embung.

d) Pada setiap titik cross section dipasang patok kayu ukuran 3 cm x 5 cm x 40 cm dan di atasnya diberi paku sebagai titik acuan pengukuran.

e) Setiap center line titik cross section dipakai juga sebagai pengukuran long section.

(13)

III - 13

f)

Pengukuran cross section dilakukan dengan menggunakan alat theodolith

wild T0.

6. Pengukuran Profil Memanjang

Profil memanjang diukur sepanjang as sungai rencana daerah genangan dan lay out alinyemen yang direncanakan, elevasi profil yang diambil adalah elevasi center line sungai daerah genangan.

Spesifikasi dari pengukuran profil memanjang ini dapat diuraikan sebagai berikut :

a) Pengukuran profil dilakukan dengan interval 50 meter untuk daerah genangan.

b) Setiap perubahan detail yang memungkinkan untuk digambar berdasarkan skala diukur untuk penentuan profil memanjang.

c) Setiap center line cross section juga merupakan elevasi pada profil memanjang.

d)

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan theodolith wild T0.

e) Semua titik berdiri alat harus terikat pada poligon utama.

f) Semua data lapangan dan hitungan harus dicatat secara jelas dan rapi.

7. Pekerjaan Kantor (Perencanaan)

Pekerjaan kantor atau perencanaan dapat diuraikan sebagai berikut :

1). Pekerjaan Hitungan

Setelah hitungan awal pekerjaan pengukuran di lapangan terutama hitungan kerangka kontrol horizontal dan vertikal diselesaikan, maka proses selanjutnya adalah penghitungan data secara simultan. Hitungan-hitungan yang dilakukan adalah hitungan untuk data cross section dan detail situasi. Pekerjaan ini dapat dilakukan dengan menggunakan calculator maupun dengan menggunakan bantuan Personal Computer. Tahapan pekerjaan perhitungan ini meliputi :

(a) Pekerjaan hitungan sementara harus selesai di lapangan, sehingga kalau ada kesalahan dapat segera diulang untuk segera dapat diperbaiki.

(b) Stasiun pengamatan matahari (jika ada) dicantumkan dalam sketsa. (c) Hitungan poligon dan sipat datar menggunakan metode perataan

bowditch.

(d) Pada gambar sketsa dicantumkan pula salah penutup sudut poligon beserta jumlah titik, salah linear poligon beserta harga toleransi, serta jumlah jarak.

(14)

2). Pekerjaan Penggambaran

Pengukuran poligon dilakukan dengan mengukur sudut dan jarak beserta azimuth awal sebagai penentu arah utara.

Penggambaran dilakukan pada kertas kalkir ukuran A1 dan A3, dengan menggunakan Program Autocad. Gambar-gambar dilengkapi dengan penunjuk arah utara, legenda, skala, kop, judul gambar, disertai dengan kelengkapan yang diperlukan lainnya.

3.3.3. Tahap III : Pekerjaan Survey Geotek Mektan A.

Lingkup Pekerjaan Geoteknik dan Mektan

Kegiatan ini pada dasarnya adalah merupakan pekerjaan tahap awal yang bertujuan untuk memperoleh gambaran dan data dasar tentang kondisi geologi teknik dan parameter mekanika tanah lokasi pekerjaan. Hasil penyelidikan dapat digunakan untuk acuan dalam perencanaan struktur bangunan air yang diperlukan.

Lingkup pekerjaan ini meliputi :

− Pemetaan Geologi Permukaan pada daerah alternative as rencana waduk.

− Pemboran inti pada as bendungan, as rencana pelimpah, as rencana Bangunan Pengelak, rencana intake dan pada bangunan lainnya serta pengambilan sample tanah untuk alternatif usulan terpilih.

− Pengambilan sampel tanah/ Test Pit (Sumur Uji) pada daerah borrow area dengan kedalaman sesuai kondisi lapangan dilakukan bersama-sama dengan Direksi Pekerjaan.

− Untuk keperluan pemeriksaan index properties dan engineering properties di laboratorium mekanika tanah, maka harus diambil contoh-contoh tanah seperti berikut ini :

 Pengambilan undisturbed & disturbed samples

 Undisturbed sample & disturb sample dari lubang bor di lokasi rencana site embung, pelimpah dan rencana intake, diambil sesuai kebutuhan.

 Pengambilan sampel tanah tidak terganggu (undisturbed sample/UDS) di lokasi borrow area.

 Pengambilan contoh tanah asli (undisturbed sample) dilakukan dengan menggunakan tabung (tube).

− Penyelidikan contoh tanah di laboratorium mekanika tanah

Konsultan harus membuat catatan dan hasil pengujian serta draft hasil seluruh pengujian secara lengkap dan menyerahkan 5 (lima) rangkap kepada Pemberi Tugas, termasuk hasil perhitungan dan formulir-formulir laboratorium mekanika tanah yang diperlukan.

− Pencarian lokasi quarry untuk bahan urugan batu, transisi, filter dan struktur bangunan beton.

(15)

III - 15

Untuk memenuhi kontrak atau perintah-perintah khusus dari Pemberi Tugas, maka Konsultan harus melaksanakan pengujian laboratorium mekanika tanah sesuai dengan prosedur umum yang diuraikan di dalam BS.1377 Standard ASTM D-1586-67, ISRM, Suggested Method for Rock Characterization Testing & Monitoring, 1981 atau standar lain yang disetujui. Pengujian di laboratorium meliputi parameter-parameter tentang index properties dan engineering properties dari contoh-contoh tanah yang diambil.

B.

Metode Survey dan Penyelidikan Geologi

1) Pemboran Inti

Pengeboran inti dimaksudkan agar secara langsung dapat mengetahui karakteristik geologi dibawah permukaan tanah dengan cara pengambilan contoh-contoh tanah dan batuan yang terdapat pada kedalaman tertentu di bawah permukaan tanah, kemudian diadakan penelitian pada contoh-contoh tanah dan batuan tersebut, penganalisaan pada kecepatan pelaksanaan pengeboran, penelitian kemampuan daya dukung pada tiap-tiap lapisan, pengecekan tingkat permeabilitas dan lain-lain.

Volume Bor Inti :

 Bor inti dilakukan dengan kedalaman total 50 m, lengkap dengan NSPT dan

Permeability.

 Pelaksanaan pemboran ini termasuk pengambilan undisturb sampling, setiap 5 meter contoh tanah dan batuan.

 Undisturbed sampling Maksud dan tujuan :

Untuk memperoleh contoh tanah pada kedalaman tertentu guna keperluan penyelidikan di laboratorium, yang kelak akan menjadi parameter pondasi.

Alat utama yang digunakan sama dengan alat-alat pemboran inti, hanya saja ditambah dengan “sampling tube”.

2) Pengujian Penetrasi Standart (SPT)

Pada saat pengeboran inti telah mencapai suatu lapisan yang akan diuji, maka mata bor diganti dengan alat yang disebut standart split-barrel sampler dan kemudian pipa bor diturunkan kembali sehingga alat tersebut bertumpuan diatas lapisan yang akan diuji. Pada bagian atas dari pipa bor terdapat sebuah palu (dengan berat 63.5 kg) yang berbentuk cincin silinder yangn dapat turun naik dengan bebas setinggi 75 cm. Dengan menjatuhkan palu tersebut secara bebas beberapa kali dari ketinggian 75 cm dan menimpa tumpuan yang melekat pada pipa bor sedemikian sehingga splitbarrel sampler masuk kedalam lapisan yang diuji sedalam 30 cm.

(16)

Dan dengan menghitung jumlah pukulan (angka N) yang diperlukan untuk dapat memasukkan split-barrel sampler sedalam 30 cm tersebut dalam setiap pengujian, maka tingkat konsolidasi serta daya dukung dari setiap lapisan dapat dihitung. a. Uji SPT (standard penetration test) dilakukan bersamaan dengan pemboran inti

pada setiap interval kedalaman 3.00 m di setiap lubang bor.

b. Uji permeabilitas (permiability test) dilakukan bersamaan dengan pemboran inti pada setiap interval kedalaman 5,00 m di setiap lubang bor atau pada setiap perubahan perlapisan.

3) Pengujian Geser

Tujuan dari pengujian ini adalah untuk memperoleh harga-harga C dan tangen Φ yang akan digunakan untuk menghitung kekuatan geser dari suatu contoh bahan atau contoh tanah pondasi. Pengujian dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain pengujian desak bebas, pengujian geser langsung dan pengujian kompresi tri sumbu. Pengujian contoh-contoh tanah untuk bahan tubuh embung dilakukan dengan metode pengujian geser langsung.

4) Pengujian Lugeon (jika diperlukan)

Pengujian ini menggunakan lubang bor, dimana keadaan pondasi calon embung terdiri dari lapisan batuan. Peralatan pengujiannya relatif mudah dan angka permeabilitas yang dihasilkan akan dapat digunakan sebagai dasar pelaksanaan sementasi (grouting) untuk perbaikan pondasi. Pada kondisi batuan yang normal, maka pengujian-pengujian dilaksanakan sampai pada kedalaman ½ kali kedalaman calon embung. Sedangkan untuk kondisi batuan yang mempunyai banyak problema, maka pengujian dilaksanakan sampai pada kedalaman yang sama dengan kedalaman maksimum calon embung tersebut.

C.

Metode Pengujian Laboratorium Mekanika Tanah

Pekerjaan dilaksanakan untuk mendapatkan data sifat fisik dan sifat teknik tanah. Contoh tanah asli/tidak terganggu (undisturbed sample) diambil dari lubang bor inti di daerah penyelidikan untuk kemudian diuji di laboratorium mekanika tanah. Penyelidikann laboratorium antara lain meliputi : spesific gravity test, natural moisture content, volume unit weight, atterberg limit, grain size analisys, direct shear test, konsolidasi, compaction test dan permeability test.

Pengujian Contoh Tanah di Laboratorium Mekanika Tanah meliputi :

a. Index Properties, meliputi : Unit weight (n), Specific gravity (Gs), Natural Moisture Content (Wn),Grain size analysis, Atterberg Limit.

b. Engineering Properties, meliputi : Triaxial Test, Consolidation Test, Permeability Test, Compaction Test.

(17)

III - 17

1) Unit Density (γn) :

Untuk memperoleh nilai jenis berat isi tanah, maka tanah yang akan dikenakan pengujian ini adalah tanah dengan keadaan asli undisturbed sample.

2) Specify Gravity (Gs) :

Dilaksanakan untuk mendapatkan besaran berat jenis spesifik. Alat yang dipakai adalah : botol picnometer (50 cc–100 cc), timbangan (0.1 gr), oven, alat penumbuk dan pencampur contoh (mangkuk), kompor listrik. Prosedur pelaksanaan sesuai dengan standar BSI atau ASTM C.127 dan C.128.

3) Moisture Content (Wn) :

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendapatkan nilai kadar air contoh tanah dalam keadaan aslinya. Prosedur pelaksanaan sesuai dengan standar SNI atau ASTM D.2210. Tanah yang akan dikenakan pengujian ini adalah tanah dalam keadaan asli dengan prosedur dapat mengikuti ASTM D.2216-90.

4) Grain Size Analysis :

Pada tanah yang berbutir kasar dengan diameter butir lebih besar dari 75 mm (tertahan pada ayakan No.200), maka penentuan diameter butirnya dilakukan dengan metode ayakan (Sieve Analysis), sedangkan pada tanah yang berbutir halus atau tanah dengan diameter lebih kecil dari 7.5 mm (lolos melalui ayakan No.200) akan ditentukan dengan cara Hydrometer Analysis. Pembagian butir tanahnya digunakan USSC dengan prosedur yang sesuai dengan ASTM D.422-90. Analisa ukuran butiran meliputi penentuan secara kuantitatif pembagian ukuran partikel dalam tanah.

5) Atterberg Limit : • Liquid Limit (LL)

Batas cair/ liquid limit ini adalah nilai kadar air yang dinyatakan dalam prosentase dari contoh tanah yang dikeringkan dalam oven pada batas antara keadaan cair. Dimaksudkan untuk mendapatkan nilai batas cair dan batas plastis dari tanah sehingga dapat diklasifikasikan jenis tanahnya. Prosedur pelaksanaan sesuai dengan standard SNI atau ASTM D.423/D.424. Ini dapat ditentukan dengan cara menentukan nilai kadar air pada contoh tanah yang mempunyai jumlah ketukan sebanyak 25 kali dijatuhkan setinggi 1 cm pada kecepatan ketukan 2 kali setiap detiknya. Prosedurnya dapat mengikuti ASTM D.4318-84.

• Plastic Limit (PL).

Batas plastis ini adalah nilai kadar air pada batas bawah daerah plastis. Kadar air ini ditentukan dengan menggiling tanah yang melewati ayakan No.40 pada alat kaca sehingga membentuk diameter 3,2 mm dan memperlihatkan retakretak, prosedur dapat mengikuti ASTM D.4318-84.

(18)

• Shrinkage Limit.

Shrinkage limit adalah nilai maksimum kadar air pada keadaan dimana volume dan tanah ini tidak berubah, prosedur penentuan batas susut ini dapat mengikuti ASTM D.427-90.

6) Direct Shear :

Dimaksudkan untuk menentukan nilai kekuatan geser tanah dengan melakukan percobaan geser langsung (Direct Shear Test).

7) Compaction Test :

Salah satu cara untuk memperoleh hasil pemadatan yang maksimal telah banyak digunakan metode proctor (1983) di laboratorium. Dengan cara ini maka pegangan sebagai dasar-dasar pemadatan di lapangan dapat dilakukan seperti penentuan kadar air optimum (Wopt). Prosedur pengujian ini dapat dilakukan dengan menggunakan cara ASTM D.698-9.

8)

Konsolidasi, ASTM D.2435/70 :

Cara ini meliputi penentuan kecepatan dan besarnya konsolidasi pada tanah apabila ditekan dalam arahlateral dan dibebani serta dialirkan dalam arah axial. Maksud utama dari percobaan konsolidasi adalah untuk memperoleh data tanah yang dipergunakan untuk memperkirakan kecepatan dan besarnya penurunan struktur yang dibangun diatas tanah berbutir halus.

9)

Triaxial (UU & CU), ASTM D.2850/70 :

Triaxial Test atau sering juga disebut “Cylindrical Compression Triaxial Shear Test” dalam keadaan “Unconsolidated” (UU) yaitu tanpa dilakukan pengukuran tekanan air pori dalam pengujian ini..

3.3.4. Tahap III : Analisis/ Kajian dan Perencanaan Detail A. Analisis Hidrologi

Analisis hidrologi diperlukan untuk mengkaji ulang kondisi hidrologi daerah proyek termasuk daerah aliran sungai. Data yang digunakan adalah data dasar yang telah mendapatkan legalisasi dari Unit Hidrologi Prov. NTB dan Laporan Desain terdahulu (apabila ada). Data ini dilampirkan dalam Laporan Hidrologi.

Pekerjaan ini meliputi pemastian banyaknya air yang tersedia (water availability) serta kemungkinan air irigasi serta air untuk keperluan–keperluan lainnya.

Pada bagian ini akan dipaparkan tentang analisa curah hujan yang diolah sehingga bisa ditemukan curah hujan daerah. Metode yang digunakan dan cara pengujiannya juga di bahas dalam bab ini.

1. Pengisian Data Kosong

Pada saat ini dikenal 2 (dua) cara untuk memperkirakan data hujan yang hilang yaitu dengan cara "Normal Rasio Methode" (Linsley, et all, 1958)

(19)

III - 19

dan "Reciprocal Methode"/Inversed squared distance" (Simanton & Osborne, 1980), Untuk "Normal Rasio Methode" bisa digunakan bila variasi ruang hujan tidak terlalu besar, sedangkan pada "Reciprocal Methode" memanfaatkan jarak antar stasiun sebagai faktor koreksi. Cara yang digunakan dalam hal ini adalah cara Normal Rasio Methode.

Rumus yang dipakai dalam " Normal Rasio Methode" adalah sebagai berikut :

Px = l/n ( Nx PA /NA + Nx PB /NB + ... + Nx Pn /Nn )

dengan :

Px = Curah hujan stasiun pada stasiun x yang dicari (mm). Nx = Curah hujan normal tahunan di stasiun x.

NA = Curah hujan normal tahunan di stasiun A.

n = Jumlah stasiun referensi.

2. Uji Konsistensi Data

Sebelum data hujan ini dipakai terlebih dahulu harus melewati pengujian untuk kekonsistenan data tersebut. Uji konsistensi juga meliputi

homogenitas data karena data konsisten berarti data homogen, pengujian menggunakan dua metode yaitu :

1) Methode Lengkung Massa Ganda

Yaitu kurva kumulatif hujan tahunan stasiun yang ditinjau, dibandingkan dengan kurva kumulatif hujan tahunan stasiun referensi/acuan, pada kasus ini dilakukan dua pengujian yaitu kumulatif dari tahun kecil sampai tahun besar, dan dari kumulatif dari tahun yang besar ke tahun yang kecil. Hal ini dilakukan karena hasil yang menyimpang disebabkan oleh banyak hal dan bisa terjadi pada tahun awal pencatatan ataupun pada tahun-tahun terakhir tergantung pada keadaan alat dilapangan. Rumus yang dipakai adalah :

 

i 1 t n t

A

R

i

 

i i t n i

R

i

DMCt = ( Xt , Yt ) dengan :

Xt = Komulatif curah hujan tahunan stasiun A pada tahun

ke-t

Yt = Komulatif curah hujan tahunan stasiun referensi pada

tahun ke-t.

RA t = Curah hujan tahunan stasiun A

Ri = Rata-rata curah hujan tahunan stasiun referensi pada

(20)

2) Methode RAPS

Pengujian konsistensi dengan menggunakan data dari stasiun itu sendiri yaitu pengujian dengan komulatif penyimpangan terhadap nilai rata-rata dibagi dengan akar kumulatif rerata penyimpangan kuadrat terhadap nilai reratanya, lebih jelas lagi bisa dilihat pada rumus di bawah. 0 *0  S

Y

Y

dengan

k

n

S

k i

,...

3

,

2

,

1

*

1

n

Y

Y

D

n i y

 

1 1 2 2

nilai statistik Q dan R

* * k S maks Q  0  k  n R = maks** - min S** 0  k  n 0  k  n

Dengan melihat nilai statistik diatas maka dapat dicari nilai Qen dan Ren. Hasil yang didapat dibandingkan dengan nilai Qen syarat dan Ren syarat, jika lebih kecil maka data masih dalam batasan konsisten.

Tabel 3.1. Nilai Q/n0,5 dan R/n0,5

n 90 % Q/n95 %0.5 99 % 90 % R/n95 %0.5 99 % 10 20 30 40 100 1.05 1.10 1.12 1.14 1.17 1.22 1.14 1.22 1.24 1.27 1.29 1.36 1.29 1.42 1.48 1.52 1.55 1.63 1.21 1.34 1.40 1.44 1.50 1.62 1.28 1.43 1.50 1.55 1.62 1.75 1.38 1.60 1.70 1.78 1.85 2.00 Sumber Sri Harto, 1993:168

3. Curah Hujan Daerah Embung (DAS)

Curah hujan di daerah embung yang akan dibangun dilakukan dengan metode Theissen. Untuk mendapatkan curah hujan daerah (Catchment Rainfall) dari hujan suatu tempat saja dilakukan koreksi dengan faktor

(Sri Harto 1983), nilai faktor koreksi hujan ditetapkan yaitu :

(21)

III - 21

dengan :

 = Faktor reduksi hujan titik ke hujan daerah, tidak berdimensi

A = Luas DAS (Km2)

N = Jumlah stasiun hujan yang ada, tidak berdimensi

SIM = Faktor simetri, tidak berdimensi

S = Landai sungai rata-rata, tidak berdimensi

4. Analisa Ketersediaan Air

1) Curah Hujan Harian Maksimum

Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air adalah curah hujan rerata di seluruh daerah yang bersangkutan (curah hujan daerah), bukan curah hujan pada suatu titik tertentu. Besarnya nilai curah hujan rerata ini harus diperkirakan dari beberapa titik pengamatan curah hujan dengan menggunakan ketentuan yang berlaku. Biasanya curah hujan daerah dihitung dengan memperhitungkan weighting factor dari Poligon Thiesen berdasarkan data curah hujan dari stasiun penakar. Untuk studi ini karena data yang tersedia hanya dari satu stasiun, maka metode tersebut diatas tak dapat digunakan.

2) Analisa Distribusi Frekuensi

Dalam Analisis ini, keluaran yang dapat diperoleh adalah besaran curah hujan rancangan yang ditetapkan berdasarkan patokan perancangan tertentu. Untuk keperluan analisis lebih lanjut, maka ditetapkan curah hujan dengan kala ulang 2, 5, 10, 25, 50, 100, 200 dan 1000 tahun. Sejauh ini telah banyak dikemukakan metode untuk menentukan curah hujan rancangan. Kesesuaian metode yang ada ditentukan oleh variasi dan jenis distribusi data yang diperoleh. Dalam studi ini, analisis curah hujan rancangan akan dilakukan dengan menggunakan Metode EJ Gumbel dan Log Person Type III. Untuk menetapkan metode mana yang dapat diterapkan, maka akan dipilih setelah dilakukan pengujian tingkat kesesuaiannya yang secara rinci akan dibahas pada bagian berikutnya.

a. Analisis Distribusi Frekuensi Ej Gumbel

Persamaan umum yang digunakan adalah :

) SK * K ( R RT   dengan :

RT = Nilai curah hujan untuk periode ulang T

R = Curah hujan maksimum merata selama periode

pengamatan S = Simpangan baku K = Faktor frekuensi Sn Yn Yt 

(22)

Yn = Reduced Mean

Sn = Reduced Standard Deviation

Yt = Reduced Variated

= - (0,834 + 2,303 log log (T/(T-1)))

b. Analisis Distribusi Frekuensi Log Pearson Type III

Persamaan umum yang digunakan adalah :

1 1 LogX K*S LogX  

n

LogX

X

log

n i

1 1

1

1 2 1 1

n

)

LogX

LogX

(

S

n i 3 1 1 3 1

2

1

)

*

(

n

)

*

(

S

)

n

(

)

LogX

LogX

(

C

n i s

 dengan : S1 = Simpangan baku

Xt = Curah hujan rancangan periode ulang t tahun

Cs = Koefisien kepencengan (skewness koeficien)

K = Koefisien frekuensi

Koefisien frekuensi merupakan fungsi dari kala ulang (return

period) dan nilai koefisien kemencengan (Cs), yang nilainya

dapat ditentukan melalui Tabel.

c. Uji Kesesuaian Distribusi Frekuensi

Untuk melakukan uji ini, maka data dan hasil yang diperoleh secara teoritik harus diplot pada kertas distribusi frekuensi sesuai dengan metode yang digunakan. Langkah-langkah pengerjaan analisis ini secara rinci diuraikan sebagai berikut. 1. Urutkan data mulai dari terkecil hingga terbesar.

2. Tentukan probabilitas dari masing-masing titik uji dengan persamaan berikut ini :

% 100 1x m m P  

3. Plot titik-titik pengujian tersebut pada kertas distribusi.

4. Gambar garis/kurva sesuai dengan persamaan yang telah

diperoleh pada kertas distribusi.

5. Dengan cara overlay, tentukan beda (penyimpangan) antara data dan hasil secara teoritik.

(23)

III - 23

maupun horizontal.

Uji Kai Kuadrat (X2-test )

Uji kai kuadrat dimaksudkan menilai perbedaan yang terdapat antara frekwensi yang diobservasi dengan yang diharapkan (Murray R. Speigel, 1986 ; 213).

Metode ini digunakan untuk menguji simpangan secara vertikal, yang ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut ini : Ej ) Ej Oj ( X 2 2  dengan : X2 = Parameter uji

Oj = Frekwensi yang diobservasi (empirik)

Ej = Frekwensi yang diharapkan (teoritik)

Selanjutnya nilai Xcr dapat ditentukan dengan

menggunakan taraf keberartian 5 % dengan derajat bebas sesuai dengan persamaan berikut ini.

 = n - (m + 1)

dengan,

 = Derajat bebas

n = Jumlah data amatan m = Jumlah pembatas fungsi agihan  Uji Smirnov - Kolmogorov

Uji Smirnov-Kolmogorov digunakan untuk menguji penyimpangan secara horizontal. Nilai penyimpangan yang di uji adalah nilai penyimpangan terbesar yang terjadi di antara titik uji. Untuk menilai kesesuaiannya, hasil tersebut harus dibandingkan dengan beda kritis yang merupakan fungsi taraf keberartian dan jumlah data (cr

dan n). Persamaan yang berlaku untuk ini ;

maks = ABS [Pt -Pe] < cr

dengan :

maks = Simpangan maksimum (%)

Pt = Probabilitas teoritis (%)

Pe = Probabilitas empiris (%)

cr = Simpangan kritis yang diperoleh dari tabel.

Dari hasil uji yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ketiga metode analisis distribusi frekuensi yang diterapkan sesuai untuk sebaran data curah hujan pada kedua DPS yang dianalisis. Untuk selanjutnya hasil analisis dari

(24)

metode Iwai Kadoya akan digunakan sebagai dasar analisis lebih lanjut (dipilih) oleh karena memberikan hasil yang moderat.

3) Curah Hujan Maksimum Yang Mungkin Terjadi (Probable Maximum Precipitation, PM)

Menurut kriteria yang ada bahwa suatu bendungan harus mampu menahan debit banjir maksimum yang mungkin terjadi, oleh sebab itu penetapan PMP menjadi sangatlah penting mengingat adanya anggapan bahwa banjir maksimum yang terjadi akibat dari terjadinya hujan maksimum yang terjadi secara merata di dalam DPS.

PMP dihitung dengan menggunakan cara statistik dari Hersfield dengan persamaan umum sebagai berikut :

Xm = X + Km . Sn

dengan :

Xm = Curah hujan maksimum yang mungkin terjadi

X = Nilai rerata dari data hujan maksimum yang terjadi pada setiap tahun

Sn = Standar deviasi data

Km = Variabel statistik, yang dipengaruhi oleh distribusi frekuensi

nilai-nilai ekstrim.

4) Hujan Netto dan Hujan Jam-Jaman a. Hujan Netto

Hujan netto merupakan bagian hujan yang menghasilkan limpasan langsung (Direct run-off). Limpasan langsung ini terdiri atas limpasan permukaan (surface run-off) dan interflow (air yang masuk ke dalam lapisan tipis di bawah permukaan tanah dengan permeabilitas rendah, yang keluar lagi di tempat yang lebih rendah dan berubah menjadi limpasan permukaan).

Dengan menganggap bahwa proses transformasi hujan menjadi limpasan langsung mengikuti proses linier dan tidak berubah oleh waktu, maka hujan netto (Rn) dapat dinyatakan sebagai :

Rn = C . R

dengan :

Rn = Hujan netto

C = Koefisien limpasan

R = Curah hujan total

Koefisien pengaliran adalah suatu variabel yang nilainya didasarkan pada kondisi daerah pengaliran dan karakteristik hujan yang jatuh di daerah tersebut. Adapun kondisi dan karakteristik tersebut adalah :

1. Keadaan hujan

(25)

III - 25

3. Kemiringan daerah aliran dan kemiringan dasar sungai 4. Daya infiltrasi dan perkolasi tanah

5. Kebasahan tanah

6. Suhu udara dan angin serta evaporasi

7. Tata guna lahan.

Secara praktis, nilai koefisien pengaliran menurut kondisi daerah pengaliran sungai dapat ditentukan menurut tabel berikut ini.

Tabel 3.2. Koefisien Pengaliran

KONDISI DPS KOEFISIEN PENGALIRAN

Pegunungan curam 0,75 - 0.90

Pegunungan tersier 0,70 - 0,80

Tanah berrelief berat & berhutan kayu 0,50 - 0,75

Dataran pertanian 0,45 - 0,60

Dataran sawah irigasi 0,70 - 0,80

Sungai di pegunungan 0,75 - 0,85

Sungai di dataran rendah 0,45 - 0,75

Sungai besar yang sebagian besar

alirannya berada di dataran rendah 0,50 - 0,75

Sumber : Suyono Sosrodarsono, 1980

Koefisien pengaliran pada tabel di atas didasarkan pada pertimbangan bahwa koefisien tersebut tergantung dari faktor-faktor fisik DPS. Dr. Kawakami menyusun suatu formulasi yang menyatakan bahwa untuk sungai tertentu, koefisien itu tidak tetap tetapi berbeda-beda tergantung dari besarnya curah hujan. Persamaan yang dimaksud secara matematis diuraikan sebagai berikut : f = 1 - R’/Rt = 1 - f’ dengan : f = koefisien pengaliran f’ = laju kehilangan (= /Rt*) Rt = Curah hujan (mm)

R’ = Kehilangan curah hujan

, s = tetapan

Rumus-rumus koefisien limpasan (koefisien pengaliran) rerata diuraikan pada tabel berikut ini.

Tabel 3.3. Rumus-rumus Koefisien Limpasan

No. Daerah Kondisi Sungai Curah Hujan Rumus

1 hulu f = 1 - 15,7/Rt3/4

2 tengah sungai biasa f = 1 - 5,65/Rt3/4

3 tengah sungai di zone

lava Rt > 200 mm f = 1 - 7,2/Rt

(26)

4 tengah Rt < 200 mm f = 1 - 3,14/Rt3/4

5 hilir f = 1 - 6,6/Rt3/4

b. Distribusi Hujan Jam-Jaman

Idealnya distribusi hujan jam-jaman ditentukan menurut data pengamatan dari stasiun pencatat hujan automatis. Oleh karena sulit diperoleh data tersebut, maka nilainya didekati dengan menggunakan persamaan empirik. Metode yang lazim digunakan adalah persamaan MONONOBE dengan anggapan curah hujan maksimum yang terjadi rata-rata selama 6 jam. Menurut persamaan Mononobe yang dimaksud.

RT = R24 / t * (t/T)2/3

dengan :

RT = Intensitas hujan rerata dalam T jam

R24 = Curah hujan efektif dalam 1 hari (24 jam)

t = Waktu konsentrasi hujan yang nilainya identik dengan lama terjadinya hujan per hari (5~6 jam)

T = Waktu mulai hujan

Sedangkan nisbah hujan jam-jaman ditentukan menurut persamaan berikut :

RT = t * Rt - (t - 1) * (RT-1)

dengan :

Rt = Prosentase intensitas hujan rerata dalam t jam.

RT-1 = Intensitas hujan dalam t jam.

1. Faktor simetri (SIM), yaitu hasil kali antara faktor lebar (WF) dengan luas DAS sebelah hulu (RUA).

2. Jumlah pertemuan sungai (JN) adalah jumlah semua pertemuan sungai di dalam DAS tersebut. Jumlah ini tidak lain adalah jumlah pangsa sungai tingkat satu dikurangi satu.

3. Kerapatan jaringan kuras (D), yaitu jumlah panjang sungai semua tingkat tiap satuan luas DAS.

5) Penetapan Hidrograf Satuan

Hidrograf satuan (unit hydrograph) adalah hidrograf limpasan langsung (direct runoff hydrograph) yang dihasilkan oleh hujan netto yang terjadi merata di seluruh DPS dan dengan intensitas yang tetap dalam satu satuan waktu yang ditetapkan. Bentuk dan dimensi hidrograf satuan menggambarkan karakteristik DPS yang ditinjau. Jika data pemantauan aliran sungai automatic (AWLR) tersedia, maka hidrograf satuan dapat langsung ditentukan dengan keluaran yang akurat, namun bila tidak tersedia data tersebut maka penentuannya dapat dilakukan dengan analisis hidrograf satuan

(27)

III - 27

sintetik.

Dalam studi ini, hidrograf satuan ditentukan melalui analisis hidrograf satuan sintetik sedangkan pendekatan dengan menggunakan data AWLR belum dapat dilakukan disebabkan belum tersedianya fasilitas AWLR. Metode yang digunakan pada studi ini adalah metode Nakayasu.

a. Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu

Dalam metode ini dibutuhkan parameter-parameter DPS sebagai data masukannya. Parameter-parameter tersebut dapat diukur dengan mudah dari peta topografi yang merupakan parameter DPS yang secara hidrologis mudah dijelaskan pengaruhnya terhadap hidrograf. Parameter-parameter yang dimaksud dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Tenggang waktu dari permulaan hujan sampai dengan puncak hidrograf (time to peak magnitude).

2. Tenggang waktu dari titik berat hujan sampai dengan titik berat hidrograf (time lag).

3. Tenggang waktu hidrograf (time base of hidrograf) 4. Luas daerah pengaliran.

5. Panjang sungai utama terpanjang (Lengt of the longest

channel).

6. Koefisien Tp

Rumus dari Hidrograf Satuan Nakayasu adalah :

0,3 0.3

6 , 3 T T R x A x C Q p o p  

Gambar 3.9. Hidrograf Satuan Nakayasu

Untuk menentukan Tp dan T0,3 menggunakan pendekatan

rumus, sebagai berikut :

Tp T0.3 Q (m3/dt) T (jam) Qp 0,3 Qp Qt = Qp t/TR 1,5 T0.3 2,5 T0.3 0,3 Qp Lengkung Naik Lengkung Turun

(28)

Tp = Tg + 0,8 tr T 0,3 = a x Tg

- Sungai dengan panjang lebih dari 15 Km, maka ; Tg = 0,40 + 0,058 L

- Sungai dengan panjang kurang dari 15 Km, maka ; Tg = 0,21 x L 0,7

dengan :

Qp = Debit puncak banjir (mm3)

Ro = Hujan Satuan (mm)

Tp = Tenggang Waktu dari permulaan hujan sampai

puncak banjir (jam)

T 0,3 = Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit,

dari debit puncak sampai menjadi 30 % dari debit puncak.

Tg = time lag yaitu waktu antara hujan sampai dengan debit puncak (jam).

a = Parameter Hidrograf

tr = Satuan Waktu hujan (1jam)

Rumus tersebut diatas merupakan rumus empiris, oleh sebab itu dalam penerapannya terhadap suatu daerah aliran sungai harus didahului dengan pemulihan parameter-parameter yang sesuai seperti pemilihan nilai Tp, a, dan pola distribusi hujan agar didapatkan suatu pola hidrograf yang mendekati dengan hidrograf banjir yang diamati.

Persamaan satuan hidrograf adalah :

- Pada Waktu naik ;

0  t  Tp

Qt = Q maks (t :Tp) 2,4

- Pada waktu kurva turun : a. 0  t  (Tp – T 0,3) b. (Tp + T 0,3)  t  (Tp + T0.3 + T0.32) Qt = Q maks 0,3 ^ ((t-Tp+T0,3)/(1,5T0,3)) c. t  (Tp + T 0,3 + 1,5 T 0,3) Qt = Q maks 0,3 ^ (t-Tp+1,5 T0,3/1,5 T0,3) B. Analisis Hidrolika

Analisis hidrolika merupakan perhitungan ulang prilaku aliran air dengan menganalisis berdasarkan hukum kontinuitas dan hukum kekekalan energi. Gaya-gaya yang bekerja pada aliran disebabkan gaya gravitasi dan gaya tekan serta dinamika air.

(29)

III - 29

Perhitungan hidrolika meliputi routing tampungan, hidrolika pelimpah dan hidrolika intake. Routing tampungan dihitung berdasarkan banjir rencana, hasil routing berupa tinggi air maksimum dari perhitungan kapasitas pelimpah yang ditentukan terlebih dahulu.

Maksud analisis hidrolika ini adalah untuk membandingkan desain awal dengan desain hasil perhitungan kembali terhadap debit rencana pada model tampungan, desain pelimpah dan desain intake, sehingga akan didapatkan hasil detail desain yang aman terhadap prilaku air debit rencana.

1) Aliran Saluran Terbuka a. Energi

Energi yang bekerja pada aliran air dalam suatu saluran terbuka dibagi menjadi dua yaitu : Energi kinetik dan Energi potensial. Diperkirakan bahwa aliran tersebut bergerak parallel, searah dan kecepatannya pada semua titik pada suatu penampang melintang sama dengan kecepatan rata-rata V. Beradasarkan gambar 3.8. bahwa energi potensial yang dimiliki oleh masa adalah W (h1 + h2), dimana W adalah berat masa (m) dan energi kinetiknya adalah :

W g V

2 2

Jadi total energinya adalah : Em = W

          g V h h 2 2 1 2 (1)

Jika hal ini berlaku untuk semua masa aliran dalam penampang melintang dengan debit Q dengan satuan berat W, total energi per detik pada penampang E adalah :

E = Qw     g V Z d 2 2 (2)

Tinggi energi absolut HA, dinamakan dengan persamaan Bernoulli : HA = d + Z     g V 2 2 (3)

(30)

Gambar. 3.10. Karakteristik Aliran Saluran Terbuka

Energi yang ada pada penampang melintang yang berhubungan dengan dasar saluran dinamakan dengan Spesifik Energi. Tinggi energi yang sama yang dinyatakan dengan tinggi Spesifik Energi dan dinyatakan sebagai : HE = d + g V 2 2 (4)

dimana Q = A . V, persamaan (4) dapat dinyatakan HE = d + 2

2 2ga

Q

(5)

Untuk suatu saluran yang berbentuk trapezoid dimana b adalah lebar dasar dan z menunjukkan kemiringan dinding lereng, jika q dinyatakan sebagai Q/b dan a dinyatakan sebagai d (d + zd), maka persamaan (5) dapat ditulis : HE = d + 2 2 2 1 2        b zd gd q (6)

Persamaan (5) bisa digambarkan sebagai suatu grafik sebagaimana yang ditunjukkan dalam gambar 3.8. Diagram tersebut menggambarkan beberapa nilai debit dalam suatu saluran yang berbentuk persegi empat. Tampaknya ada dua nilai d, dH dan dL untuk masing-masing nilai HE kecuali pada titik dimana HE dalam keadaan minimum dimana terdapat hanya satu nilai.

Kedalaman yang mempunyai energi minimum disebut dengan energi kritis dan kedalaman nilai-nilai lain dinamakan dengan kedalaman peralihan (alternate).

Kedalaman yang terletak diatas kedalaman kritis berada pada baris aliran sub-kritis (disebut sebagai kedalaman subkritis) dan yang terletak di baris aliran superkritis (disebut dengan kedalaman superkritis).

b. Aliran Kritis

Aliran kritis dapat didefinisikan sebagai berikut : 1. Debit Kritis

Debit maksimum untuk suatu energi khusus yang diijinkan, atau debit yang akan terjadi dengan energi khusus minimum.

2. Kedalaman Kritis

Kedalaman dimana aliran debit dalam keadaan maksimum untuk energi khusus yang diijinkan terjadi atau kedalaman suatu debit yang diijinkan terjadi dengan energi khusus minimum.

(31)

III - 31

3. Kecepatan Kritis

Kecepatan rata-rata pada saat debit dalam keadaan kritis. 4. Lereng Kritis

Lereng yang akan menahan debit yang diijinkan pada kedalaman kritis yang sama pada sebuah saluran.

5. Aliran Subkritis

Kondisi aliran dimana kedalaman lebih besar daripada aliran kritis, sebaliknya kecepatannya lebih kecil.

6. Aliran Superkritis

Kondisi aliran dimana kedalaman lebih kecil daripada aliran kritis, sebaliknya kecepatan lebih besar.

Hubungan antara penampang melintang dengan debit yang memang harus ada sehingga aliran dapat terjadi adalah :

g Q2 = T A 2 (7) dimana :

A = Luas penampang melintang T = Lebar permukaan air

Jika Q² = A² . v², maka persamaan (7) dapat ditulis : g Vc 2 2 = T A 2 (8)

Juga, jika A = dm T, dimana dm adalah kedalaman aliran rata-rata pada penampang, maka persamaan (8) dapat ditulis ulang menjadi : hvc =

2

dmc

(9) Jadi persamaan (4) dapat dibuat :

HE = dc + 2

dmc

(10)

Dari persamaan-persamaan diatas, didapatkan hubungan tambahan sebagai berikut : dmc = 2 2 Vc (11) dmc = g A Qc 2 2 (12) vc = gdmc (13) vc = T Ag = 3.13 T A (14)

Kedalaman kritis untuk penampang segi empat dijelaskan dengan persamaan :

(32)

dc = g Vc2 = 2 2 2 2 4 2 z b g Vc z b (15) dimana

z = rasio lereng dinding saluran dari horizontal sampai dengan vertikal

c. Rumus Manning

Sebagian besar analisa hidrolis yang dibahas dalam teks ini, untuk aliran di dalam saluran terbuka menggunakan rumus Manning. Ini merupakan bentuk khusus dari rimus Chezy, pengembangannya secara lengkap terdapat dalam kebanyakan teksbook tentang mekanika fluida.

Rumus tersebut dapat ditulis sbb : V = 1 R2/3 S1/2 n (16) atau : Q = 1 AR2/3 S1/2 n (17) dimana :

A = penampang melintang daerah aliran dalam meter persegi

V = kecepatan dalam meter perdetik

n = koefisien kekasaran

R = jari-jari hidrolis = daerah (A)/keliling basah (P) dan

S = kemiringan gradien energi

Nilai koefisien kekasaran n, berbeda menurut kekasaran fisik dinding dan dasar saluran, ukuran dan bentuk penampang melintang, penjajaran dan tipe serta kondisi materi yang membentuk keliling basah.

d. Hukum Bernoulli

Hukum Bernoulli yang merupakan dasar konservasi energi pada aliran saluran terbuka dapat dijelaskan. Tinggi energi absolut pada setiap penampang sama dengan tinggi energi absolut pada suatu penampang hilir ditambah dengan kehilangan tinggi energi (intervening).

Berkaitan dengan persamaan (3), dari gambar 3.8. dapat ditulis : Z2 + d2 + hv2 = Z1 +hv1 + hL (18)

Dimana hL melambangkan semua kehilangan tinggi energi antara penampang 2 (subscript 2) dan penampang 1 (subscript 1).

Kehilangan tinggi energi yang demikian itu sebagian besar disebabkan oleh kehilangan akibat gesekan juga akibat dari pusaran, peralihan, gangguan, benturan dan sebagainya.

(33)

III - 33

Jika debit pada suatu penampang melintang satu saluran adalah konstan sesuai dengan waktu, maka aliran tersebut adalah tetap. Jika aliran tetap tersebut terjadi pada semua penampang yang terjangkau, aliran tersebut akan bergerak terus menerus.

Q = A1V1 = A2V2 (19)

Persamaan (19) disebut dengan persamaan kontinuitas, persamaan (18) dan (19) dipecahkan secara bersamaan merupakan rumus dasar yang dipakai dalam pemecahan masalah aliran pada saluran terbuka.

e. Gradien Energi dan Hidrolis

Gradien hidrolis pada saluran terbuka adalah permukaan air. Gradien energi berada diatas gradien hidrolis dimana satu jarak sama dengan tinggi kecepatan menurunnya gradien energi pada saluran dengan panjang tertentu menandakan hilangnya energi baik yang disebabkan oleh gesekan ataupun pengaruh-pengaruh lain. Hubungan antara gradien energi dan gradien hidrolis mencerminkan tidak hanya kehilangan energi tetapi juga perubahan antara energi potensial dan energi kinetik. Untuk aliran seragam gradien-gradiennya paralel dan kemiringan muka air menunjukkan gradien kehilangan akibat gesekan. Dalam aliran dengan kecepatan yang tinggi gradien hidrolis lebih terjal daripada gradien energi yang menunjukkan suatu perubahan prosesif, dari energi potensial menjadi energi kinetik. Sebaliknya untuk kecepatan yang rendah gradien energi lebih terjal daripada gradien hidrolis yang menunjukkan suatu perubahan dari energi kinetik menjadi energi potensial. Hubungan yang progresif dari gradien-gradien energi tersebut dapat dijelaskan dengan Hukum Bernoulli. Kemiringan rata-rata gradien energi adalah Δhf, dimana :

Δhf = L S S         2 2 1 (20)

Rumus berikut dibuat berdasarkan sifat-sifat hidrolis pada tiap-tiap potongan dan koefisien kekasaran :

Δhf = L R V R V n                     2 3 / 2 2 3 / 2 2 2 1 1 2 (21)

Jika kemiringan kekasaran rata-rata (Sf) sama dengan 2 1 2 S S  = L hf  

dan Sb adalah kemiringan dasar saluran dengan

mensubstitusikan s, dan ΔL dengan Z2-Z1 dan HE dengan (d + hv),

(34)

ΔL = Sf Sb HE HE   2 1 (22)

f.

Kehilangan Energi

1. Peralihan Lambat Laun

Gambar 3.11. Saluran Berubah Lambat Laun

Dari gambar diatas dapat dijelaskan v1, v2 dan v3 adalah kecepatan

pada tiap potongan.

Kehilangan tinggi pada peralihan dihitung dengan rumus : 2. Penyempitan Lambat Laun

Hgc = fgc

g V V . 2 2 1 2  dimana :

hgc = kehilangan energi masuk (m)

fgc = koefisien kehilangan energi = 0,2 (KP-03)

3. Pelebaran Lambat Laun hge = fge

g V V . 2 2 3 2  dimana :

hge = kehilangan energi keluar (m)

fge = koefisien kehilangan energi = 0,4 (KP-03)

4. Peralihan

Gambar 3.12. Saluran Berubah Tiba-tiba

Dari gambar diatas dapat dijelaskan v1, v2 dan v3 adalah kecepatan

pada tiap potongan.

v

1

Transisi

v

2

v

1

<v

2

dan v

3

<v

2

lebar permukaan

air

v

3

lebar permukaan air

v

1

v

2

v

3

(35)

III - 35 a. Penyempitan Tiba-tiba hsc = fsc

g V V . 2 2 1 2  dimana :

hsc = kehilangan energi masuk (m)

fsc = koefisien kehilangan energi = 0,5 (KP-03)

b. Pelebaran Tiba-tiba hse = fse

g V V . 2 2 3 2  dimana :

hse = kehilangan energi keluar (m)

fse = koefisien kehilangan energi = 1,0 (KP-03) 5. Kehilangan Aliran Masuk dan Keluar

a. Kehilangan Aliran Masuk hi = fi . g

V

2 2

dimana :

hi = kehilangan aliran masuk

fi = koefisien kehilangan = 0,5

V = kecepatan sesudah masuk (m/dt)

b. Kehilangan Aliran Keluar ho = fo . g

V

2 2

dimana :

ho = kehilangan aliran keluar

fo = koefisien kehilangan = 0,50

V = kecepatan sesudah keluar (m/dt)

6. Kehilangan di Belokan dan Tikungan

Bagian belokan dan tikungan pada siphon atau pipa menyebabkan perubahan arah aliran dan sebagai akibatnya perubahan kecepatan.

hb = fb . g V 2 2 dimana :

hb = kehilangan pada belokan

fb = koefisien kehilangan (lihat tabel 3.2.)

V = kecepatan sesudah keluar

2) Aliran di Atas Pelimpah

Pelimpah disediakan pada bendung (diverson dam) untuk melewatkan kelebihan air yang masuk ke dalam saluran (atau terowongan, sesuai dengan keadaannya) dan pada waduk untuk melewatkan kelebihan air yang

(36)

tidak dapat tertampung dalam waduk. Desain pelimpah yang aman adalah sangat penting untuk pengamanan keseluruhan bendung atau waduk.

A. Analisa Hidrolis Pelimpah

Analisis hidraulik digunakan untuk menentukan dimensi pelimpah dan tinggi jagaan (freeboard), sedangkan dimensi struktur akhir ditentukan berdasar optimasi lebar pelimpah yang dihubungkan dengan biaya timbunan. Dimana bangunan pelimpah umumnya terdiri dari empat bagian utama yaitu :

1. Saluran Pengarah Aliran 2. Saluran Pengatur Aliran 3. Saluran Peluncur 4. Peredam Energi

Skema bangunan pelimpah secara umum dapat digambarkan sebagai berikut :

Saluran Pengatur Saluran Peluncur Peredam Energi

Tipe limpahan frontal samping lengkung corong

tipe tranpilin tipe terowongan

tipe pipa dasar bendungan

tipe loncatan tipe kolam olakan tipe terjunan bebas Tipe siphon

Tipe penyadap terowongan

Tipe penyadap bebas

Gambar 3.13. Denah Bangunan Pelimpah 1. Saluran Pengarah Aliran

Bagian ini berfungsi sebagai penuntun dan pengarah aliran agar tetap dalam kondisi hidrolika yang baik. Pada saluran ini kecepatan masuk air supaya tidak melebihi 4 m³/dt lebar saluran mengecil ke arah hilir,

Sal. Pengarah Sal. Pengatur Sal. Peluncur Peredam Energi

(37)

III - 37

kedalaman dasar saluran pengarah aliran biasanya diambil lebih besar 1/5 x tinggi rencana limpasan diatas mercu ambang pelimpah.

2. Saluran Pengatur Aliran

Bagian ini berfungsi sebagai pengatur kapasitas aliran (debit) air yang melintasi bangunan pelimpah. Ada beberapa tipe yang biasa digunakan yaitu :

Gambar 3.14. Saluran Pengatur Aliran

a. Tipe ambang bebas (flowing into canal type) a.1. Ambang berbentuk persegi empat

ho = 3 D b = 1.704 D3/2 C Q

a.2. Ambang berbentuk trapezium

ho =

z b ZDb D Z b ZD 10 9 16 16 2 3 2 2 2 Q = AVo = C 2gh0

Dho

bZ

Dho

dimana :

Q = kedalaman air tertinggi di dalam saluran pengarah aliran (m) C = koefisien pengaliran (C = 1,00 untuk setengah lingkaran dan C =

0,82 untuk persegi empat)

ho = tinggi penurunan permukaan air di dalam saluran pengarah (m)

A = penampang basah (m²)

vo = kecepatan rerata aliran (m/dt)

b. Tipe bendung pelimpah (over flow weir type)

Bendung pelimpah sebagai salah satu komponen dari saluran pengatur aliran dibuat untuk lebih meningkatkan pengaturan serta memperbesar debit air yang akan melintasi pelimpah. Debit yang melalui pelimpah dengan ambang tetap dihitung berdasar rumus :

Q = C x L x H3/2

dimana :

Q = debit yang lewat pelimpah (m/dt)

C = koefisien limpahan

L = lebar efektif ambang pelimpah (m)

H = tinggi air diatas ambang pelimpah (m)

ho

Gambar

Gambar 3.1 Bagan Alir Pekerjaan Persiapan d. Tinjauan Lapangan Pendahuluan
Gambar 3.2 Bagan Alir Penyusunan Laporan Pendahuluan 3.3.2. Tahap II : Pekerjaan Pengukuran Topografi
Gambar 3.3.  Pengukuran Sudut Poligon
Gambar 3.5. Model Matematis Hitungan Koordinat
+7

Referensi

Dokumen terkait

pendapatan daerah melalui upaya intensifikasi dan ekstensifikasi, penyusunan rencana pendapatan asli daerah, bagi hasil dan lain-lain pendapatan daerah yang sah,

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Pasal 3 Ayat 4 dalam Aqib (2009: 60) kompetensi pedagogik sebagaimana dimaksud pada ayat 2

Berdasarkan hasil angket respon siswa kelas eksperimen lebih dari 50% siswa setuju pembelajaran menggunakan multimedia membantu siswa dalam memahami konsep

Isolat yang menyebabkan benih berkecambah secara normal (minimal sama dengan kontrol) atau diduga potensial memicu pertumbuhan tanaman, merupakan isolat yang terutama

Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa pada kelas eksperimen sikap kreatif siswa dengan menggunakan model pembelajaran SiMaYang memiliki peningkatan yang

a) Periode pengumpulan; pada tahapan ini dikumpulkan data sebanyak mungkin dengan berbagai instrument yang memungkinkan dilakukan seperti, wawancara dengan menggunakan

Nach dem Lese n (setel ah mem baca ) -Siswa memberikan pertanyaan mengenai cerita pendek yang telah dibaca tersebut, -Siswa menceritaka n kembali dengan menggunak an

Menerapkan sebuah program gerakan literasi guna untuk meningkatkan minat baca kepada siswa dan perpustakaan menjadi salah satu fasilitas yang dapat digunakan