• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

Rp. 3.000.000,- s/d Rp. 6.000.000,-, 9.52% Rp. 6.000.000,- s/d Rp. 10.000.000,-, 52.85% > Rp. 10.000.000,-, 36.63%

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Karakteristik dan Persepsi Masyarakat

5.1.1. Karakteristik dan Persepsi Responden Pantai Indah Kapuk Terhadap Lingkungan Hutan Angke Kapuk

Jumlah responden untuk studi CVM Pantai Indah Kapuk berjumlah 210 responden. Karakteristik responden dalam penelitian adalah pekerjaan, usia, pendidikan, pendapatan, tingkat pengeluaran dan jumlah tanggungan. Dari karakteristik tersebut, diharapkan dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat Pantai Indah Kapuk yang bermukim berdekatan dengan hutan mangrove Angke Kapuk. Berikut penjelasan karakteristik responden Pantai Indah Kapuk.

1) Pendapatan

Pendapatan responden Pantai Indah Kapuk per bulan tergolong sangat besar, untuk tingkat pendapatan kisaran Rp. 3.000.000,- – Rp. 6.000.000,- mencapai 9,52%. Sedangkan untuk tingkat pendapatan kisaran Rp. 6.000.000,- - Rp. 10.000.000,- mencapai 52,85% dan yang tingkat pendapatannya di atas Rp. 10.000.000,- per bulan mencapai 37,63%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 10. Tingkat responden menunjukkan bahwa responden merupakan penduduk dengan pendapatan yang tergolong tinggi, hal ini disebabkan sumber utama mata pencaharian atau pekerjaan mereka adalah sebagian besar sebagai wiraswasta (pengusaha) dan karyawan swasta.

(2)

wiraswasta, 80.48% karyawan swasta, 19.52% S L T A , 2 . 3 8 % Akademi, 27.14% Sarjana, 70.48% 2) Pekerjaan

Pekerjaan responden Pantai Indah Kapuk pada umumnya adalah sebagai wiraswasta dan karyawan swasta. Responden Pantai Indah Kapuk yang bekerja sebagai wiraswasta sebesar 80,48% dan yang bekerja sebagai karyawan swasta mencapai 19,52%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 11 beriku t ini.

Gambar 11. Pekerjaan Responden Pantai Indah Kapuk

3) Pendidikan

Tingkat pendidikan yang dimiliki responden Pantai Indah Kapuk tergolong tinggi, rata-rata responden Pantai Indah Kapuk berpendidikan sarjana dan akademi. Responden yang berpendidikan SLTA mencapai 2,38%, yang berpendidikan akademi mencapai 27,14% dan yang berpendidikan sarjana ke atas mencapai 70,48%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 12. Jika dilihat dari tingkat pendidikan, nampak bahwa pendidikan responden Pantai Indah Kapuk tergolong tinggi, keadaan ini disebabkan karena responden Pantai Indah Kapuk mampu menjangkau pendidikan tinggi didukung dengan tingkat pendapatan mereka yang juga tergolong tinggi.

(3)

dua orang, 15.71% tiga orang, 37.14% e m p a t o r a n g , 3 5 . 2 4 % > lima orang, 10.96% satu orang, 0.95% 30 - 40 tahun, 41.90% 40 - 50 tahun, 49.05% > 50 tahun, 6.67% 20 - 30 tahun, 2.38% 4) Usia

Kelompok usia dibagi menjadi lima golongan, yaitu golongan usia dibawah 20 tahun, golongan usia 20 – 30 tahun, golongan usia 30 – 40 tahun, golongan usia 40 – 50 tahun dan golongan usia diatas 50 tahun. Responden yang berumur 20 – 30 tahun mencapai 2,38%, responden berumur 30 – 40 tahun sebesar 41,90%, responden berumur 40 – 50 tahun mencapai 49,05% dan yang berumur di atas 50 tahun sebesar 6,67%. Untuk yang dibawah 20 tahun tidak ada responden, keadaan ini dikarenakan responden yang dipilh adalah yang mempunyai pendapatan dan sebagai kepala keluarga. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 13 berikut ini.

Gambar 13. Usia Responden Pantai Indah Kapuk

5) Jumlah Tanggungan

Tanggungan keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggung jawab seorang kepala keluarga yang terdiri dari anak-anak dan isteri. Responden yang memiliki jumlah tanggungan satu orang sebesar 0,95%, jumlah tanggungan dua orang mencapai 15,71%, jumlah tanggungan tiga orang sebesar 37,14%, jumlah tanggungan empat orang mencapai 35,24% dan responden yang memiliki tanggungan lima orang lebih sebesar 10,96% (Gambar 14).

(4)

Rp. 3.000.000,- s/d Rp. 6.000.000,-, 23.33% Rp. 6.000.000,- s/d Rp. 10.000.000,-, 68.09% > Rp. 10.000.000,-, 8.11% R p . 5 0 0 . 0 0 0 , - s / d R p . 3.000.000,-, 0.47% 6) Tingkat Pengeluaran

Tingkat pengeluaran atau biaya kebutuhan per bulan responden Pantai Indah Kapuk tergolong tinggi, hal ini diasumsikan juga dengan tingkat pendapatan yang tinggi maka pengeluaran juga cenderung tinggi. Tingkat pengeluaran kisaran Rp. 500.000,- s/d Rp. 3.000.000,- sebesar 0,47%, pengeluaran Rp. 3.000.000,- s/d Rp. 6.000.000,- sebesar 23,33%, sedangkan tingkat pengeluaran yang lebih besar lagi yaitu Rp. 6.000.000,- s/d Rp. 10.000.000,- sebesar 68,09% dan pengeluaran yang diatas Rp. 10.000.000,- sebesar 8,11% (Gambar 15).

Gambar 15. Tingkat Pengeluaran Responden Pantai Indah Kapuk

7) Persepsi Responden Pantai Indah Kapuk Terhadap Kualitas Lingkungan Hutan Angke Kapuk

Persepsi responden Pantai Indah Kapuk terhadap kualitas lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk dibagi menjadi tiga golongan persepsi, yaitu persepsi buruk, persepsi sedang dan persepsi baik. Data mengenai persepsi responden Pantai Indah Kapuk diberi peringkat dengan menggunakan Skala Likert, setiap responden diminta menilai terhadap pernyataan yang diajukan dengan kemungkinan jawaban : 1) sangat setuju, 2) setuju, 3) ragu-ragu, 4) tidak setuju, 5) sangat tidak setuju. Masing-masing jawaban tersebut diberi skornya 5, 4, 3, 2, dan 1 (Singarimbun 1995). Seluruh jawaban responden skornya dirata-rata sehingga diperoleh rata-rata persepsi responden Pantai Indah Kapuk. Rata-rata jawaban responden selanjutnya dikategorikan ke dalam tiga kategori Skala Likert yaitu kategori persepsi baik/tinggi (Skala Likert 4,00 – 5,00), persepsi sedang (Skala Likert 3,00 – 3,99), dan kategori rendah/buruk (Skala Likert 1,00 – 2,99). Berdasarkan hasil olahan data penelitian, persepsi buruk responden Pantai Indah Kapuk sebesar 36,61% persepsi sedang sebesar 33,33% dan persepsi baik sebesar 30,06%.

(5)

buruk , 36.61% sedang , 30.06% tinggi, 33.33% setuju, 95.24% tidak setuju, 4.76%

Gambar 16. Persepsi Responden PIK Terhadap Kualitas Lingkungan

8) Persepsi Responden Pantai Indah Kapuk Terhadap Perlunya Perbaikan Lingkungan Hutan Angke Kapuk

Hasil penelitian menunjukkan, secara umum responden Pantai Indah Kapuk setuju adanya perbaikan lingkungan hutan mangrove (Gambar 17). Keadaan ini dikarenakan responden melihat kondisi hutan mangrove semakin lama semakin mengalami degradasi lingkungan. Menurut responden, jika kualitas lingkungan terus mengalami penurunan, akan menimbulkan bahaya dan kerusakan lingkungan yang semakin parah.

Gambar 17. Persepsi Responden PIK terhadap Perlunya Perbaikan lingkungan

5.1.2. Karakteristik Dan Persepsi Petambak Terhadap Lingkungan Hutan Angke Kapuk

1) Pendapatan

Pendapatan responden petambak per bulan tergolong rendah dan sedang, untuk tingkat pendapatan dibawah Rp. 500.000,- sebesar 21,88%. Sedangkan untuk tingkat pendapatan kisaran Rp. 500.000,- s/d Rp.3000.000,- mencapai 68,75% dan yang tingkat pendapatannya kisaran Rp. 3.000.000,- s/d Rp. 6.000.000,- mencapai 9,37%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 18.

(6)

< Rp. 500.000,-, 21.88% Rp. 500.000,- s/d rp. 3.000.000,-, 68.75% Rp. 3.000.000,- s/d Rp. 6.000.000,-, 9.37% T a m a t S D , 3 4 . 3 7 % T a m a t S L T P , 4 0 . 6 2 % T a m a t S L T A , 2 5 . 0 1 % T a m a t S D , 3 4 . 3 7 % T a m a t S L T P , 4 0 . 6 2 % Tamat SLTA, 25.01%

Gambar 18. Tingkat Pendapatan Responden Petambak

2) Pendidikan

Tingkat pendidikan yang dimiliki responden petambak tergolong rendah sampai sedang, untuk pendidikan yang tamat SD, tamat SLTP dan SLTA persentasenya tidak terlalu jauh (Gambar 17). Responden yang berpendidikan tamat SD mencapai 34,37%, yang berpendidikan tamat SLTP mencapai 40,62% dan yang berpendidikan tamat sarjana sebesar 25,01%. Jika dilihat dari tingkat pendidikan, nampak bahwa pendidikan responden petambak tergolong rendah sampai sedang. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi pola pikir responden tentang informasi dan inovasi. Jika tingkat pendidikan rendah akan menghambat dalam menerima informasi dan inovasi.

Gambar 19. Ting kat Pendidikan Responden Petambak

3) Usia

Kelompok usia dibagi menjadi lima golongan, yaitu golongan usia dibawah 20 tahun, golongan usia 20 – 30 tahun, golongan usia 30 – 40 tahun, golongan usia 40 – 50 tahun dan golongan usia diatas 50 tahun. Responden berumur 30 – 40 tahun sebesar 34,37%, responden berumur 40 – 50 tahun mencapai 46,88% dan yang berumur di atas 50 tahun sebesar 18,75%. Untuk yang dibawah 20 tahun dan golongan usia 20 – 30 tahun tidak ada responden.

(7)

30 40 tahun, 34.37% 40 - 50 tahun, 46.88% > 50 tahun, 18.75% dua orang, 6.25% tiga orang, 28.12% empat orang, 34.38% > lima orang, 31.25%

Gambar 20. Tingkat Usia Res ponden Petambak

4) Jumlah Tanggungan

Responden yang memiliki jumlah tanggungan dua orang sebesar 6,25%, responden dengan jumlah tanggungan tiga orang mencapai 28,12%, sedangkan responden dengan jumlah tanggungan empat orang mencapai 34,88% serta responden yang memiliki tanggungan minimal lima orang lebih sebesar 31,25% (Gambar 21).

Gambar 21. Jumlah Tanggungan Responden Petambak

5) Tingkat Pengeluaran

Untuk responden petambak, tingkat pengeluaran atau biaya per bulan terbagi menjadi tiga kategori, yaitu pengeluaran dibawah Rp. 500.000,-, pengeluaran kisaran Rp. 500.000,- s/d Rp. 3.000.000,-, dan pengeluaran kisaran Rp. 3.000.000,- Rp. 6.000.000,-.

Tingkat pengeluaran dibawah Rp. 500.000,- mencapai 15,62%, pengeluaran Rp. 500.000,- s/d Rp. 3.000.000,- sebesar 75,00% dan tingkat pengeluaran Rp. 3.000.000,- s/d Rp. 6.000.000,- sebesar 9,38 (Gambar 22).

(8)

< Rp. 500.000,-, 15.62% R p . 5 0 0 . 0 0 0 , - s / d R p . 3.000.000,-, 75.00% Rp. 3.000.000,- s/d Rp. 6.000.000,-, 9.38% buruk , 33.37% sedang , 34.35% tinggi, 32.28%

Gambar 22. Tingkat Pengeluaran Responden Petambak

6) Persepsi Petambak Terhadap Kualitas Lingkungan Hutan Angke Kapuk

Persepsi Pe tambak terhadap kualitas lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk dibagi menjadi tiga golongan persepsi, yaitu persepsi buruk, persepsi sedang dan persepsi baik. Data mengenai persepsi responden petambak diberi peringkat dengan menggunakan Skala Likert, set iap responden diminta menilai terhadap pernyataan yang diajukan dengan kemungkinan jawaban : 1) sangat setuju, 2) setuju, 3) ragu-ragu, 4) tidak setuju, 5) sangat tidak setuju. Masing-masing jawaban tersebut diberi skornya 5, 4, 3, 2, dan 1 (Singarimbun 1995). Seluruh jawaban responden skornya dirata-rata sehingga diperoleh rata-rata persepsi responden petambak. Rata-rata jawaban responden selanjutnya dikategorikan ke dalam tiga kategori Skala Likert yaitu kategori persepsi baik/tinggi (Skala Likert 4,00 – 5,00), persepsi sedang (Skala Likert 3,00 – 3,99), dan kategori rendah/buruk (Skala Likert 1,00 – 2,99).Berdasarkan hasil olahan data penelitian, persepsi buruk sebesar 33,37% persepsi sedang sebesar 34,35% dan persepsi baik sebesar 32,28%.

(9)

setuju, 90.62% tidak setuju,

9.38%

7) Persepsi Petambak Terhadap Perlunya Perbaikan Lingkungan Hutan Angke Kapuk

Hasil penelitian menunjukkan, secara umum petambak setuju adanya perbaikan lingkungan hutan mangrove (Gambar 24). Keadaan ini dikarenakan responden melihat kondisi hutan mangrove semakin lama semakin mengalami degradasi lingkungan. Menurut responden, jika kualitas lingkungan terus mengalami penurunan, akan menimbulkan bahaya dan kerusakan lingkungan yang semakin parah.

Gambar 24. Persepsi Petambak Terhadap Perlunya Perbaikan Lingkungan

5.1.3. Perbandingan Persepsi Responden Pantai Indah Kapuk dan Petambak

5.1.3.1. Persepsi Responden Terhadap Kualitas Lingkungan Hutan Angke Kapuk

Persepsi responden Pantai Indah Kapuk terhadap kualitas lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk dibagi menjadi tiga golongan persepsi, yaitu persepsi buruk, persepsi sedang dan persepsi baik. Berdasarkan hasil olahan data penelitian, persepsi buruk responden Pantai Indah Kapuk sebesar 36,61% persepsi sedang sebesar 33,33% dan persepsi baik sebesar 30,06%.

Persepsi responden petambak terhadap kualitas lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk dibagi menjadi tiga golongan persepsi, yaitu persepsi buruk, persepsi sedang dan persepsi baik. Berdasarkan hasil olahan data penelitian, persepsi buruk responden petambak sebesar 33,37%, persepsi sedang sebesar 34,35% dan persepsi baik sebesar 32,28% (Gambar 25).

(10)

36.61% 33.37% 30.06% 34.35% 33.33% 32.28% 0.00% 5.00% 10.00% 15.00% 20.00% 25.00% 30.00% 35.00% 40.00%

buruk sedang tinggi

P e r s e p s i T e r h a d a p K u a l i t a s L i n g k u n g a n H u t a n M a n g r o v e

P a n t a i I n d a h K a p u k P e t a m b a k

Gambar 25. Komposisi Persepsi Responden Terhadap Kualitas Lingkungan

Berdasarkan kedua responden tersebut, cenderung memberikan persepsi yang buruk terhadap kualitas lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk saat ini. Persentase persepsi terhadap kualitas lingkungan yang cenderung buruk ini menunjukkan bahwa responden mema ndang kondisi lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk memang cenderung buruk dan mengalami kerusakan lingkungan. Responden memberikan penilaian bahwa kerusakan lingkungan lingkungan hutan mangrove terlihat dari semakin sedikitnya vegetasi hutan mangrove, kondisi pencemaran air yang semakin buruk, semakin menumpuknya sampah-sampah disekitar hutan mangrove, dan semakin berkurangnya fungsi atau manfaat dari hutan mangrove. Sehingga jelaslah untuk itu diperlukan upaya-upaya berupa perbaikan lingkungan hutan mangrove berupa program rehabilitasi hutan mangrove di Angke Kapuk.

5.1.3.2. Persepsi Responden Terhadap Perlunya Perbaikan Lingkungan Hutan Angke Kapuk

Terhadap program rehabilitasi hutan mangrove Angke Kapuk untuk perbaikan lingkungan, secara umum responden setuju adanya perbaikan lingkungan hutan mangrove (Gambar 26). Keadaan ini dikarenakan responden melihat kondisi hutan mangrove semakin lama semakin mengalami degradasi lingkungan. Menurut responden, jika kualitas lingkungan terus mengalami penurunan, akan menimbulkan bahaya dan kerusakan lingkungan yang semakin parah.

(11)

Kedua responden umumnya setuju bentuk perbaikan lingkungan di hutan Angke Kapuk adalah dengan tetap melakukan program penanaman kembali tanaman mangrove di areal hutan Angke Kapuk. Responden Pantai Indah Kapuk juga melihat bahwa bentuk perbaikan lingkungan lainnya adalah dengan membersihkan kawasan hutan tersebut dari adanya sampah-sampah plastik dan sampah rumah tangga. Mereka berpendapat, kawasan hutan Angke Kapuk sudah sangat kotor dengan limbah sampah plastik dan sampah rumah tangga khususnya di sekitar Suaka Margasatwa Muara Angke.

Responden Pantai Indah Kapuk juga berpendapat perlunya ada tanggul-tanggul penahan abrasi pantai disekitar pesisir hutan lindung, hal ini dikarenakan memang me reka menyadari tinggal berdekatan dan berdampingan dengan kawasan hutan lindung, mereka sadar dengan kualitas hutan lindung yang semakin baik maka tingkat abrasi dan intrusi air laut bisa dikurangi.

Para responden petambak juga berpendapat, bahwa bentuk perbaikan lingkungan di hutan Angke Kapuk adalah dengan menanggulangi pencemaran air di kawasan hutan Angke Kapuk tersebut. Hal ini dapat dimaklumi, jika dilihat dari pengalaman mereka sebagai petambak, dimana banyak ternak ikan-ikan yang mengalami keracunan/mati. Indikator lainnya dapat dilihat dari tambak udang, responden petambak berpendapat, bahwa dulu sewaktu tingkat pencemaran air di kawasan tersebut masih sangat kecil, mereka masih dapat bertambak udang, tetapi sekarang udang adalah sangat sensitif terhadap pencemaran air, sehingga tidak dapat hidup lagi dikawasan tambak mereka.

(12)

95.24% 90.62% 4.76%9.38% 0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00% 60.00% 70.00% 80.00% 90.00% 100.00%

setuju tidak setuju

P e r s e p s i T e r h a d a p P e r b a i k a n L i n g k u n g a n H u t a n M a n g r o v e

Pantai Indah Kapuk P e t a m b a k

Gambar 26. Komposisi Persepsi Responden Terhadap Perbaikan Lingkungan

5.2. Nilai Ekonomi Hutan Mangrove

Kawasan hutan mangrove Angke Kapuk merupakan kawasan hutan mangrove yang pengelolaannya berada dibawah Departemen Kehutanan dalam hal ini adalah Balai Konservasi Sumberdaya Alam DKI Jakarta dan Dinas Kehutanan dan Pertanian DKI Jakarta. Areal Suaka Margasatwa Muara Angke dan Taman Wisata Alam Angke Kapuk berada dibawah pengelolaan Departemen Kehutanan, sedangkan yang masuk dalam pengelolaan Dinas Kehutanan DKI Jakarta adalah Kawasan Hutan Lindung, Areal Pembibitan, Kawasan Jalur Hijau dan Jalan Tol.

Hutan mangrove di kawasan Angke Kapuk telah banyak memberikan manfaat terhadap masyarakat sekitarnya. Masyarakat sudah turun temurun mendapatkan manfaat dari hutan mangrove Angke Kapuk jauh sebelum adanya penyerahaan sebagian kepada PT. Mandara Permai.

Undang – Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dijelaskan bahwa setiap sumberdaya alam harus dikelola berdasarkan wawasan lingkungan, sehingga akan tetap terpeliharanya sistem jaring-jaring ekosistem dan terpeliharanya keanekaragaman hayati. Diperlukan adanya penilaian sumberdaya hutan mangrove, tidak hanya nilai pasar dari barang yang dihasilkan, tetapi juga jasa (nilai bukan pakai) yang ditimbulkan oleh sumberdaya hutan mangrove.

(13)

Dalam penelitian ini, penilaian sumberdaya hutan mangrove di kawasan Hutan Angke Kapuk dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu direct use value (nilai manfaat langsung), indirect use value (nilai manfaat tidak langsung), existence value (nilai manfaat keberadaan), option value (nilai manfaat pilihan) dan bequest value (nilai manfaat pewarisan).

5.2.1. Direct Use Value (Nilai Manfaat Langsung)

Nilai manfaat langsung dari ekosistem hutan mangrove dilapangan, diidentifikasi ada beberapa kegiatan yang dilakukan masyarakat secara langsung sebagai sumber mata pencahariannya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat merupakan kegiatan yang dapat memberikan nilai manfaat langsung bagi mereka, diantaranya masyarakat memanfaatkan hutan mangrove untuk budidaya tambak bandeng dan mujair, mengambil benih bandeng, mengambil cacing laut, rekreasi memancing. Perhitungan nilai manfaat langsung berdasarkan harga pasar yang berlaku. Pendekatan ini yaitu dengan menghitung jenis jumlah produk langsung yang dapat dinikmati masyarakat dikalikan dengan harga pasar. Nilai manfaat langsung di hutan Angke Kapuk disajikan pada Tabel 5 berikut ini. Tabel 5. Nilai Manfaat Langsung Hutan Mangrove Angke Kapuk

Nilai Manfaat No Manfaat Nilai Manfaat (Rp/ha/thn)

(Rp/thn) Persentase (%) 1 Bandeng 7.450.382,- 488.000.000, - 57,06 2 Mujair 89.600,- 5.600.000,- 0,65 3 Benih Bandeng 2.978.776,- 133.330.000, - 15,59 4 Cacing Laut 1.957.105,- 87.600.000,- 10,24 5 Rekreasi pemancingan 97.051,- 4.344.000,- 0,51

6 Kayu sebagai kayu bakar 2.605.965,- 136.383.200, - 15,95

Total 15.178.879,- 855.257.200, - 100,00

Sumber : Data Primer Penelitian 2005

Pada Tabel 5 menyajikan hasil pengolahan data primer kegiatan selama penelitian yang menghasilkan nilai manfaat langsung di hutan Angke Kapuk sebesar Rp. 855.257.200,-. Persentase terbesar diberikan dari adanya pembukaan lahan pertambakan bandeng sebesar 57,06% atau mencapai

Rp. 488.000.000,- per tahun atau Rp. 7.450.382,- per ha per tahun (Lampiran 1). Perhitungan bandeng yang dihasilkan dari tambak yang ada di dalam kawasan hutan wisata Angke Kapuk.

Areal tambak dalam penelitian ini adalah yang berada di dalam kawasan Hutan Wisata Angke kapuk, yang saat ini berada dalam kondisi konflik antara

(14)

petambak dengan pemerintah. Jika dilihat dari hasil tambak yang cukup besar, mungkin itu merupakan salah satu alasan kenapa para petambak tersebut tidak mau meninggalkan lahan kawasan tersebut. Selain itu juga jika dilihat dari sejarahnya, memang pembukaan areal tambak tersebut sudah lama dilakukan oleh masyarakat tersebut.

Selain tambak bandeng juga terdapat tambak mujair, pada Tabel 6 terlihat persentase nilai tambak mujair untuk nilai manfaat langsung sangat kecil jika dibandingkan dengan tambak bandeng. Dari hasil wawancara dilapangan, nampak bahwa tambak mujair sifatnya hanya sampingan saja. Dari hasil pengamatan, tambak bandeng dan mujair dalam budidayanya digabung dalam satu tambak. Karena sifatnya sampingan, benih-benih ikan mujair tersebut benihnya berasal dari alam atau sengaja tidak disebar.

Nilai manfaat langsung berikutnya dari hutan Angke Kapuk adalah pengambilan benih bandeng oleh masyarakat sekitar. Nilai manfaat pengambilan benih bandeng cukup besar jika dilihat dari persentasenya, yaitu sebesar 15,59% dari total manfaat langsung di hutan Angke Kapuk. Nilai manfaat langsung dari pengambilan benih bandeng sebesar Rp. 133.330.000,-per tahun atau Rp. 2.978.776,- per ha per tahun (Lampiran 1). Pengambilan benih bandeng umumnya dilakukan oleh para petambak dan penjaga tambak, selain itu juga dilakukan oleh masyarakat yang memang bermatapencaharian mencari benih bandeng. Satu ekor benih bandeng dihargai Rp. 500,- dengan ukuran benih bandeng kira-kira panjang 9 – 12 cm. Rata-rata masyarakat bisa mendapatkan benih bandeng sekitar 50 – 100 ekor per hari, tangkapan akan lebih besar lagi disaat air laut sedang pasang. Pengambilan benih bandeng dilakukan didekat Hutan Wisata Angke Kapuk. yaitu disekitar sungai/kanal yang langsung terhubung dengan muara laut.

Manfaat berikutnya dari hutan hutan Angke Kapuk adalah pengambilan cacing laut ( Polychaeta). Pada Tabel 5 memperlihatkan nilai manfaat langsung dari pengambilan cacing laut adalah sebesar 10,24% dari total nilai manfaat langsung di hutan Angke Kapuk yaitu sebesar Rp. 87.600.000, per tahun atau sekiktar Rp. 1.957.105,- per ha per tahun (Lampiran 1). Pengambilan cacing laut dilakukan disekitar hutan lindung. Cacing laut digunakan sebagai umpan pada saat memancing ikan disekitar hutan Angke Kapuk. Harga cacing laut adalah Rp. 2.000,- per cup. Ukuran cup adalah kira-kira 300 ml atau berisi sekitar 15 ekor cacing. Pengambilan cacing laut hampir dilakukan setiap hari, tapi pada umumnya

(15)

dilakukan pada hari kamis dan jum’at, hal ini dilakukan untuk dijual pada hari sabtu dan minggu, karena pada hari-hari libur banyak pemancing yang memancing ikan disekitar hutan. Untuk nilai manfaat pemancingan, jika dilihat dari persentasenya tergolong kecil yaitu 0,51% atau hanya Rp. 4.344.000,- per tahun atau Rp. 97.051,- per ha per tahun. Untuk perhitungan nilai pemancingan, responden didapatkan yang sedang melakukan rekreasi pemancingan disekitar hutan lindung, sehingga untuk mengestimasi nilai rekreasi pemancingan untuk per hektarnya berdasrkan luasan dari hutan lindung tersebut.

Manfaat berikutnya dari hutan Angke Kapuk adalah nilai kayu yang dihasilkan. Estimasi nilai kayu di hutan Angke Kapuk dalam penelitian ini, berdasarkan dari potensi tegakan kayu mangrove yang digunakan sebagai sebagai kayu bakar, dan nilai kayu yang dihitung yang berada dalam hutan lindung dan Suaka Margasatwa Muara Angke, karena kedua kawasan tersebut relatif mempunyai vegetasi mangrove yang masih baik. Nilai kayu sebagai kayu bakar yang dihasilkan dalam penelitian ini sebesar Rp. 136.383.200,- per tahun atau sekitar 15,95% dari total nilai manfaat langsung di hutan Angke Kapuk , jika dikonversikan dalam per hektar sekitar Rp. 2.605.965,- per ha per tahun (Lampiran 1).

Dalam perhitungan nilai manfaat langsung, nilai budidaya tambak tetap dimasukan, walaupun usaha budidaya tambak yang dibuka oleh masyarakat ini sifatnya illegal. Nilai yang besar ini, cukup beralasan bagi masyarakat memanfaatkannya sebagai areal tambak, seperti yang terjadi pada saat ini. Areal tambak yang dihitung dalam penelitian ini, areal yang berada dalam kawasan Hutan Wisata Angke Kapuk.

Berdasarkan pengamatan dilapangan, nampak jelas dengan luas kira- kira 99,82 ha, sekitar 95% berubah menjadi areal tambak. Konflik-konflik masalah tersebut, memang sudah lama terjadi, dan sekarang masih dalam tahap-tahap penyelesaian dari pihak-pihak terkait. Konflik terjadi karena adanya pembukaan areal tambak yang sifatnya illegal di dalam kawasan hutan wisata.

5.2.2. Indirect Use Value (Nilai Manfaat Tidak Langsung)

Manfaat tidak langsung dari hutan mangrove adalah berupa manfaat fisik, manfaat biologis dan manfaat ekologis. Untuk manfaat fisik, dapat diestimasi atau dinilai dari adanya pembuatan bangunan air, yaitu pemecah gelombang ombak (break water). Manfaat tidak langsung biologis dapat berupa sebagai pemijahan

(16)

dan asuhan dan penyediaan bahan organik bagi udang. Seba gai manfaat tidak langsung ekologis, dapat diestimasi dari adanya serapan karbon.

Nilai pemecah gelombang sama dengan estimasi dari biaya pembuatan pemecah gelombang (break water). Break water dengan ukuran 1 m x 11 m x 2,5 m dengan daya tahan 10 tahun sebesar Rp. 4.153.880,- (Aprilwati 2001). Untuk perhitungan nilai pemecah gelombang atau sebagai penahan abrasi pantai diestimasi dari lokasi hutan lindung. Hutan lindung kawasan Angke Kapuk mempunyai panjang 5000 m yang berbatasan langsung dengan laut. Biaya yang dikeluarkan untuk membuat pemecah gelombang sepanjang 5000 m adalah Rp. 22.778.872.940,- dengan daya tahan 10 tahun, atau per tahunnya adalah Rp. 2.277.887.294,-. Nilai manfaat tidak langsung berupa manfaat fisik hutan mangrove Angke Kapuk adalah sebesar Rp. 2.277.887.294, - per tahun. Untuk mendapatkan nilai per hektarnya, didapatkan dari luasan hutan lindung yang ada sekarang, atau sekitar Rp. 50.891.137,- per ha per tahun (Lampiran 2).

Nilai manfaat ekologis tak langsung dari hutan mangrove Angke Kapuk adalah sebagai penyerap karbon. Potensi karbon untuk Rhizophora mucronata adalah 3258,34 kg/ha – 3957,44 kg/ha (Hilmi 2003). Untuk estimasi dalam penelitian ini, diambil nilai rata-ratanya yaitu 3607,89 kg/ha. Untuk perhitungan nilai serapan karbon dalam penelitian ini, hanya untuk kawasan hutan lindung dan Suaka Margasatwa Muara Angke dengan luas keduanya mencapai 69,68 ha,karena kedua kawasan tersebut vegetasinya relatif lebih rapat dan baik. Didapatkan nilai serapan karbon di hutan Angke Kapuk adalah Rp. 103.722.011,- per tahun atau Rp. 1.486.415,- per ha per tahun (Lampiran 2).

Untuk manfaat tidak langsung biologis, sebagai penjaga kestabilan siklus makanan pada ekosistem hutan mangrove didekati dengan nilai unsur hara yang dihasilkan serasah mangrove. Mengutip penelitian Sukardjo (1995), di hutan mangrove Angke Kapuk setiap hektar hutan mangrovenya menghasilkan gugur serasah sebanyak 13,08 ton/tahun, atau sekitar 4,85 ton berat kering. Berdasarkan hasil analisis, serasah tersebut mengandung unsur hara Nitrogen 10,5 kg/ha atau setara dengan 23,33 kg pupuk Urea, dan Pospor 4,72 kg/ha atau setara dengan 13,11 kg pupuk SP-36. Jika harga pupuk Urea dan SP-36 masing-masing adalah Rp. 1.100,- dan Rp. 1.500,-, maka manfaat tidak langsung biologis penjaga kestabilan siklus makanan pada ekosistem hutan mangrove adalah Rp. 45.328,- per ha per tahun, dengan luas hutan mangrove sebesar 180,11 ha maka manfaat tidak langsungnya sebesar Rp. 8.164.026,- per tahun (Lampiran 2).

(17)

Secara lebih rinci nilai manfaat langsung di hutan Angke Kapuk disajikan pada Tabel 6 berikut ini.

Tabel 6. Nilai Manfaat Tidak Langsung Hutan Mangrove Angke Kapuk

Nilai Manfaat No Manfaat Nilai Manfaat (Rp/ha/thn)

(Rp/thn) Persentase (%)

1 Penahan abrasi pantai 50.891.13 7,- 2.277.887.294,- 95,32

2 Penyerap karbon 1.486.415,- 103.722.011, - 4,34

3 Penjaga kestabilan siklus makanan 45.328,- 8.164.026,- 0,34

Total 52.422.880,- 2.389.773.331,- 100,00

Sumber : Data Primer Penelitian 2005

Pada Tabel 6 menyajikan bahwa total nilai manfaat tidak langsung di hutan Angke Kapuk mencapai Rp. 2.389.773.331,- per tahun atau Rp. 52.422.880,- per ha per tahun. Persentase manfaat tidak langsung terbesar adalah manfaat tidak langsung fisik yaitu manfaat penahan abrasi pantai sebesar 95,32% dari nilai total manfaat tidak langsung, yaitu sebesar Rp.2.277.887.294,- per tahun.

Tabel 7. Nilai Manfaat Langsung dan Nilai Manfaat Tidak Langsung Hutan Mangrove Angke Kapuk

Nilai Manfaat No Manfaat Nilai Manfaat (Rp/ha/thn)

(Rp/thn) Persentase (%)

1 Manfaat langsung 15.178.879,- 855.257.200, - 26,36

2 Manfaat tidak langsung 52.422.880,- 2.389.773.331,- 73,64

Total 67.601.759,- 3.245.030.531,- 100,00

Sumber : Data Primer Penelitian 2005

Pada Tabel 7 terlihat perbandingan nilai manfaat tidak langsung dengan nilai manfaat langsung. Persentase nilai manfaat tidak langsung sebesar 73,64% lebih besar jika dibandingkan dengan persentase nilai manfaat langsung dengan nilai 26,36%. Hal menggambarkan bahwa, keberadaan suatu ekosistem hutan mangrove dengan manfaat tidak langsung berupa penahan abrasi pantai, penyerap karbon, dan penjaga kestabilan siklus makanan, memberikan manfaat jauh lebih besar dibandingkan pemanfaatan langsung dari ekosistem hutan mangrove. Terkadang adanya pemanfaatan secara langsung dari hutan mangrove justru merusak ekosistem mangrove tersebut.

(18)

26.36%

73.64%

Gambar 27. Distribusi Nilai Manfaat Langsung dan Nilai Manfaat Tidak Langsung Hutan Mangrove Angke Kapuk

5.2.3. Manfaat Pilihan

Manfaat pilihan hutan mangrove Angke Kapuk didekati menggunakan nilai manfaat keanekeragaman hayati (biodiversity). Manfaat pilihan ini adalah nilai dari keanekaragaman hayati (biodiversity) yang dapat ditangkap dari keberadaan hutan mangrove. Menurut Ruitenbeek (1992) dalam Handayani (2004), nilai manfaat pilihan keanekaragaman hayati adalah US $ 15/ha/tahun.

Nilai tukar rupiah terhadap US $ pada saat penelitian sebesar Rp 9.300,-. Untuk perhitungan nilai pilihan, areal penelitian mencakup hutan lindung, Suaka Margasatwa Muara Angke, hutan wisata, dan kebun pembibitan kehutanan, yang luasnya 180,11 ha, maka nilai manfaat pilihan hutan mangrove Angke Kapuk adalah Rp.115.744.089,- per tahun atau Rp. 642.630,- per ha per tahun (Lampiran 3).

5.2.4. Manfaat Pewarisan

Nilai pewarisan adalah nilai yang didasarkan pada suatu keinginan individu atau masyarakat untuk mewariskan kawasan konservasi kepada generasi yang akan datang. Bagi kawasan hutan Angke Kapuk nilai warisan adalah korbanan yang diberikan masyarakat yang hidup sekarang untuk menjaga kelestarian kawasan hutan Angke Kapuk agar tetap utuh untuk diberikan kepada generasi yang akan datang. Nilai pewarisan dari suatu kawasan hutan, dapat diestimasi dari jumlah bibit bakau yang dihasilkan.

Berdasarkan data dan wawancara dengan pegawai dinas kehutanan diketahui bahwa, pembibitan tidak dilakukan lagi di areal kebun pembibitan, tetapi dilakukan didekat hutan lindung. Jumlah bibit yang dihasilkan dari hutan lindung seluas 44,76 ha per tahun tersebut sebanyak 10.000 bibit. Harga bibit bakau dengan ketinggian kira- kira 50 cm adalah Rp. 3.500,-. Nilai pewarisan yang dihasilkan adalah Rp. 35.000.000,- per tahun atau Rp. 780.500,- per ha per tahun (Lampiran 3).

(19)

5.2.5. Manfaat Keberadaan.

Nilai keberadaan adalah nilai yang bukan dihasilkan dari institusi pasar dan tidak ada kaitannya dengan fungsi perlindungan asset prosduktif atau proses produksi secara langsung maupun tidak langsung. Nilai keberadaan kawasan hutan Angke Kapuk adalah nilai yang diberikan masyarakat,baik itu penduduk setempat maupun pengunjung terhadap kawasan tersebut atas manfaat spiritual, estetika, dan kultural.

Nilai manfaat keberadaan hutan mangrove didapatkan dengan wawancara langsung kepada responden, baik itu kepada masyarakat sekitar maupun pengunjung yang mendatangi kawasan Angke Kapuk dalam hal ini adalah kawasan hutan lindung, Suaka Margasatwa Muara Angke dan Taman Wisata Angke Kapuk. Pemilihan responden berdasarkan lokasi tempat tinggal, pekerjaan dan tingkat pendidikan. Jumlah responden yang diambil sebanyak 55 orang, yang terdiri dari 15 orang warga Kelurahan Kapuk Muara, 15 orang warga Kelurahan Kamal Muara dan 25 orang warga Pluit. Berdasarkan tingkat pendidikan, responden umumnya terdiri dari pendidikan SD 14 orang, SLTP 12 orang, SLTA 20 orang dan Perguruan Tinggi 9 orang. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini.

(20)

Tabel 8. Rata-rata Nilai Keberadaan Hutan Angke Kapuk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Responden Rata-rata Nilai Keberadaan Tingkat Pendidikan Kelurahan

(orang) (Rp)

Pekerjaan

Kapuk Muara 1 petambak,

buruh,

Kamal Muara 6 dan nelayan

SD

Pluit 7

Jumlah 14 180,000

Rata-rata 13,846

Kapuk Muara 6 wiraswasta,

Kamal Muara 2 staff kelurahan,

Pluit 4 pedagang, buruh bangunan, SMP karyawan pabrik, Jumlah 12 288,000 Rata-rata 24,000

Kapuk Muara 5 wiraswasta,

Kamal Muara 5 staff kelurahan,

Pluit 10 pedagang, buruh bangunan, karyawan pabrik, SMA karyawan Jumlah 20 942,000 Rata-rata 47,100

Kapuk Muara 3 staff kelurahan,

Kamal Muara 3 Wiraswasta,

Perguruan Tinggi

Pluit 3 karyawan

Jumlah 9 552,000

Rata-rata 61,333

Sumber : Data Primer Penelitian 2005

Berdasarkan tingkat pendidikan, nampak bah wa nilai keberadaan yang diberikan oleh masyarakat berbeda. Pada tingkat pendidikan SD, dari 20 responden rata-rata memberikan nilai keberadaan Rp.13.333,- per ha per tahun. Pekerjaaan responden yang berpendidikan SD umumnya sebagai petambak, nelayan dan buruh. Kisaran nilai yang mereka berikan untuk menilai keberadaan hutan mangrove Angke Kapuk yaitu Rp. 12.000, sampai Rp. 18.000,-.

Pada kelompok responden yang berpendidikan SLTP, umumnya menilai keberadaan hutan mangrove Angke Kapuk rata-rata Rp. 24.000,- per ha per tahun, dengan kisaran antara Rp. 12.000,- sampai Rp. 36.000,- per ha per tahun.

(21)

Umumnya mereka bekerja sebagai staff kelurahan, pedagang, buruh, wiraswasta dan karyawan pabrik.

Untuk tingkat pendidikan SLTA dan Perguruan tinggi, masing-masing memberikan rata-rata nilai keberadaan hutan mangrove Angke Kapuk sebesar Rp. 47.100,- per ha per tahun dan Rp. 61.333,- per ha per tahun. Berdasarkan luas wilayah penelitian yaitu hutan lindung, Suaka Margasatwa Muara Angke, hutan wisata dan kebun pe mbibitan kehutanan yang luasnya 180,11 ha, dan jumlah populasi (Kepala Keluarga) di tiga kelurahan tersebut, didapatkan nilai keberadaan hutan Angke Kapuk rata-rata sebesar Rp. 4.393.489,- per ha per tahun atau sebesar Rp. 791.311.418,20,- per tahun (Lampiran 4).

5.2.6. Estimasi Nilai Manfaat Total Hutan Mangrove Angke Kapuk

Nilai manfaat total hutan mangrove Angke Kapuk adalah merupakan penjumlahan dari nilai manfaat langsung, nilai manfaat tidak langsung, nilai pilihan, nilai pewarisan dan nilai keberadaan. Perhitungan jumlah nilai manfaat total didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut :

• Antara nilai-nilai tersebut tidak terdapat saling tumpah tindih (duplikasi penilaian),

Masing- masing nilai bersifat non rivalry terhadap nilai yang lain sehingga penilaian terhadap suatu nilai tidak mempengaruhi (menambah atau mengurangi) nilai yang lain,

• Terhadap sebagian kawasan atau seluruh kawasan tersebut tidak dilakukan konversi yang menyebabkan perubahan lahan secara signifikan.

Tabel 9. Ringkasan Perhitungan Nilai Manfaat Total Hutan Angke Kapuk

Nilai Manfaat No Manfaat Nilai Manfaat (Rp/ha/thn)

(Rp/thn) Persentase (%)

1 Manfaat langsung 15.178.879,- 855.257.200, - 20,43

2 Manfaat tidak langsung 52.422.880,- 2.389.773.331,- 57,07

3 Manfaat pilihan 642.630,- 115.744.089, - 2,76

4 Manfaat pewarisan 780.500,- 35.000.000,- 0,84

5 Manfaat keberadaan 4.393.489,- 791.311.418, - 18,90

Total 73.418.378,- 4.187.086.038,- 100,00

(22)

Manfaat Langsung, 20.43% Manfaat Tidak Langsung, 57.07% Manfaat Pilihan, 2.76% Manfaat Pewarisan, 0.84% Manfaat Keberadaan, 18.90%

Berdasarkan Tabel 9 di atas, nilai manfaat total hutan mangrove Angke Kapuk sebesar Rp. 4.187.086.038,- per tahun. Dari nilai total tersebut, nilai manfaat tidak langsung memberikan sumbangan terbesar yaitu Rp. 2.389.773.331,- dari nilai manfaat total.

Nilai-nilai manfaat tidak langsung yang dihitung dalam penelitian ini adalah nilai manfaat tidak langsung sebagai penahan abrasi, penyerap karbon, dan penjaga kestabilan siklus makanan. Penilaian sebagai penahan abrasi memberikan kontribusi terbesar sebagai nilai manfaat tidak langsung. Nilai manfaat kedua terbesar setelah nilai manfaat tidak langsung adalah nilai manfaat langsung yang memberikan nilai sebesar Rp. 855.257.200,- per tahun, kemudian diikuti oleh nilai manfaat keberadaan sebesar Rp. 791.311.418,-.

Berdasarkan distribusi persentasenya, nilai manfaat tidak langsung memberikan persentase terbesar yaitu 57,07%, kemudian nilai manfaat langsung sebesar 20,43% dan nilai manfaat keberadaan sebesar 18,90%. Lebih jelasnya pada Gambar 28 berikut ini.

Gambar 28. Distribusi Nilai Manfaat Total Hutan Mangrove Angke Kapuk

Nilai ekonomi total hutan mangrove Angke Kapuk yang meliputi hutan lindung, Suaka Margasatwa Muara Angke, hutan wisata dan kebun pembibitan adalah sebesar Rp. 4.187.086.038,- per tahun atau Rp. 73.418.378,- per ha per tahun. Kawasan hutan Angke Kapuk yang dikelola pemerintah seluas 327,70 ha, dan yang dikelola oleh PT. Mandara Permai seluas 827,18 ha yang dikonversi menjadi pemukiman Pantai Indah Kapuk dengan sarana dan prasarananya. Apabila dihitung nilai ekonomi total sebelum terjadi konversi yang dilakukan PT. Mandara Permai, maka nilai total ekonomi hutan Angke Kapuk seluas 1154,88 ha sebesar Rp. 84.789.416.385,- per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum

(23)

terjadi konversi, hutan mangrove memberikan manfaat yang jauh lebih besar dibandingkan setelah terjadi konversi menjadi areal pemukiman maupun areal fungsi lahan lainnya.

Mengingat fungsi dan nilai hutan mangrove yang sangat strategis, perlu dilakukan upaya aktif bagi perlindungan dan pelestarian bagi kawasan hutan Angke Kapuk yang tersisa. Beberapa aspek yang menunjang dan perlu lebih diperhatikan adalah : (1) Aspek sumber daya manusia berupa pendidikan, pelatihan dan penyuluhan bagi aparatur pemerintah dan masyarakat, (2) Aspek kelembagaan, berupa rancangan peraturan perundangan antar lembaga pemerintah tentang bentuk-bentuk pengelolaan dan pelestarian mangrove. (3) Aspek tata ruang, berupa penataan yang sesuai fungsi, peruntukan dan pemanfaatannya, sehingga ada pembagian tugas dan kewenangan yang jelas bagi masing- masing instansi di pusat dan daerah dalam merencanakan, memanfaatkan dan mengendalikan penggunaan ruang yang berfungsi sebagai kawasan konservasi.

5.3. Analisis WTP Pantai Indah Kapuk 5.3.1. Keragaan WTP Pantai Indah Kapuk

Kegiatan perbaikan lingkungan di hutan mangrove Angke Kapuk dilakukan melalui program rehabilitasi lahan mangrove yang dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah departemen kehutanan dan pemerintah daerah setempat.

Upaya perbaikan lingkungan tidak hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah tetapi sangat diperlukan adanya partisipasi dan swadaya dari masyarakat, sehingga perlu adanya informasi mengenai kesediaan membayar (Willingness to Pay) dari masyarakat. Untuk mengetahui berapa kesanggupan masyarakat untuk menyumbang terhadap upaya perbaikan lingkungan tersebut, maka dalam penelitian ini dirancang skenario sebagai berikut :

(24)

Penelitian ini menggunakan kuisioner pilihan dikotomis (Dichotomous Choice) untuk mengukur WTP setiap responden dalam survei CVM. Responden diberikan pertanyaan yang jawabannya menerima atau menolak untuk terlibat dalam skenario tersebut. Dengan kata lain jawaban yang diperlukan dari setiap responden adalah “ya” atau “tidak” dengan penawaran yang diberikan. Mudah bagi responden untuk membuat keputusan dalam pertanyaan Dichotomous Choice karena mereka dapat mengenali dengan pilihan diskrit (tidak kontinyu) dalam transaksi pasar.

Jumlah responden Pantai Indah Kapuk yang bersedia membayar untuk perbaikan lingkungan lebih besar jika dibandingkan dengan responden yang tidak bersedia membayar terhadap perbaikan lingkungan.

Tabel 10. Jumlah Responden Pantai Indak Kapuk Yang Bersedia/Tidak Bersedia Membayar.

Kesediaan Membayar Untuk Respon Responden Pantai Indah Ka puk Perbaikan Lingkungan Frekuensi Persentase

(n) (%)

Bersedia membayar 162 77,14

Tidak bersedia 48 22,86

Jumlah 210 100,00

Sumber : Diolah dari data penelitian 2005

Jumlah responden yang bersedia membayar untuk perbaikan lingkungan cukup besar, yaitu sekitar 77,14% dari total jumlah responden. Sedangkan jumlah responden yang tidak bersedia membayar untuk perbaikan lingkungan sebesar 22,86% dari total jumlah responden. Berbagai macam alasan terkemuka, mengapa mereka tidak mau membayar untuk perbaikan lingkungan (Tabel 11).

Kawasan hutan mangrove Angke Kapuk merupakan salah satu kawasan konservasi yang berada di DKI Jakarta. Hutan mangrove Angke Kapuk dalam dekade terakhir ini mengalami tekanan degradsi yang cukup kritis. Adanya degradasi lingkungan tersebut lambat laun mengikis luas hutan mangrove yang semakin berkurang. Kekhawatiran yang timbul adalah semakin meningkatnya degradasi yang berpengaruh terhadap proses pembangunan berkelanjutan.

Seiring hal tersebut, pemerintah akan memprioritaskan kawasan mangrove Angke Kapuk untuk dilakukan rehabilitasi kawasan hutan tersebut. Dana rehabilitasi kawasan tersebut selain dari pemerintah juga adanya sumbangan dari pihak swasta dan lembaga swadaya masyarakat. Pada saat ini, besarnya dana rehabilitasi per satuan luas hektar adalah Rp. 9.000.000,-, tetapi dana tersebut dirasakan tidak mencukupi untuk membiayai program tersebut.

Pemerintah hendak melibatkan masyarakat dalam program perbaikan lingkungan. Seandainya skenario program tersebut dilaksanakan :

• Apakah masyarakat bersedia membayar/menyumbang untuk membiayai kegiatan

perbaikan lingkungan tersebut?

• Jika bersedia,berapa besarnya jumlah uang yang bersedia dibayarkan

(25)

Tabel 11. Jumlah Responden Pantai Indah Kapuk yang Tidak Bersedia membayar Berdasarkan Alasan

Alasan Responden Tidak Bersedia Responden Pantai Indah Kapuk Membayar Frekuensi Persentase No

(n) (%)

1 Perbaikan kualitas lingkungan adalah tanggung

jawab pemerintah 14 29,17

2 Perbaikan kualitas lingkungan adalah tanggung

jawab PT. Mandara Permai 7 14,58

3 Dana untuk perbaikan lingkungan sudah ada

di instansi yang terkait 17 35,42

4 Seharusnya pemerintah bisa menggalang dana

dari pihak swasta, LSM dan lembaga donor 10 20,83

Jumlah 48 100,00

Sumber : Diolah dari data penelitian 2005

Alasan responden Pantai Indah Kapuk tidak bersedia membayar upaya perbaikan lingkungan adalah mereka beranggapan bahwa dana untuk perbaikan lingkungan sudah ada di instansi terkait (35,42%), perbaikan kualitas lingkungan adalah tanggung jawab pemerintah (29,17%), seharusnya pemerintah bisa menggalang dana dengan swasta, LSM dan lembaga donor (20,83%) dan alasan yang memberikan respon bahwa PT. Mandara Permai juga punya tanggung jawab (14,58%).

Secara rata-rata nilai uang yang bersedia dibayarkan responden Pantai Indah Kapuk sebesar Rp. 12.067,901,- per bulan atau dibulatkan menjadi Rp. 12.100,- per bulan. Adapun jumlah responden Pantai Indah Kapuk dan nilai WTP yang bersedia dibayarkan disajikan pada Tabel 12 berikut.

Tabel 12. Distribusi Nilai WTP Responden Pantai Indah Kapuk

Respon Responden Pantai Indah Kapuk Nilai WTP Frekuensi Persentase No (Rp/bulan) (n) (%) 1 10.000,- 11 6,79 2 10.500,- 5 3,09 3 11.000,- 18 11,11 4 11.500,- 20 12,34 5 12.000,- 46 28,39 6 12.500,- 28 17,28 7 13.000,- 14 8,64 8 13.500,- 7 4,32 9 14.000,- 8 4,94 10 14.500,- 2 1,23 11 15.000,- 3 1,87 Jumlah 162 100,00

(26)

Berdasarkan skenario yang dibuat dalam penelitian ini, nilai WTP yang ditawarkan kepada responden adalah berkisar dari Rp. 10.000,-per bulan – Rp. 15.000,-per bulan, hal ini dilakukan untuk menghindari kesulitannya responden dalam memberikan nilai nominal yang mereka berikan. Kisaran nilai WTP yang ditawarkan tersebut, berdasarkan dengan membagi dana-dana rehabilitasi di kawasan penelitian dengan luasan kawasan mangrove tersebut, dan kemudian dibagi lagi dengan jumlah kepala keluarga yang ada di Perumahan Pantai Indah Kapuk.

Jika dikaitkan dengan pendapatan responden Pantai Indah Kapuk yang rata-rata mempunyai pendapatan Rp. 6.000.000,-/bulan, nampak memang nilai WTP kecil dibandingan pendapatan. Walaupun responden Pantai Indah Kapuk mempunyai pendapatan yang relatif tinggi, namun mereka juga mempunyai tingkat pengeluaran yang besar pula. Faktor-faktor inilah yang mempengaruhi juga besarnya nominal yang responden berikan. Selain itu juga faktor persepsi responden yang tergolong relatif rendah terhadap lingkungan hutan mangrove.

Nilai WTP terbanyak yang disumbangkan responden Pantai Indah Kapuk ada pada nominal Rp. 12.000,- yaitu sebesar 28,39%. Kemudian diikuti dengan Rp. 12.500,- sebesar 17,28% dan Rp. 11.000,- sebesar 12,34%. Lebih jelasnya tentang distribusi penyebaran nilai WTP pada Gambar 29. Rata-rata nilai WTP sebesar Rp. 12.067,901,- yang dibulatkan menjadi Rp. 12.100,- dan dapat ditentukan WTP agregat atau WTP total dari masyarakat Pantai Indah Kapuk. Jumlah responden yang bersedia membayar adalah 162 responden dari 210 responden Pantai Indah Kapuk, dan jumlah kepala keluarga masyarakat yang tinggal di perumahan Pantai Indah Kapuk sebanyak 1477 KK, maka didapatkan WTP agregat sebesar Rp. 13.786.740,- per bulan atau sebesar Rp. 165.440.880,- per tahun.

(27)

6.79% 3.09% 11.11% 12.34% 28.39% 17.28% 8.64% 4.32% 4.94% 1.23% 1.87% 0.00% 5.00% 10.00% 15.00% 20.00% 25.00% 30.00% Persentase 10.000,- 10.500,- 11.000,- 11.500,- 12.000,- 12.500,- 13.000,- 13.500,- 14.000,- 14500,-

15.000,-Nilai WTP Responden Pantai Indah Kapuk

Gambar 29. Distribusi Nilai WTP Pantai Indah Kapuk

5.3.2. Variabel Yang Berpengaruh Terhadap Kesediaan Membayar dan Nilai WTP

Tahap selanjutnya dari WTP adalah menggunakan regresi logistik untuk dapat melihat keterkaitan antara variabel-variabel penduga terhadap kesediaan membayar dan seberapa besar responden mau membayar kompensasi untuk perbaikan lingkungan. Dengan demikian variabel mana yang paling berpengaruh dan yang paling besar peluangnya dalam menentukan kesediaan dan besarnya responden membayar.

Regresi logistik untuk pemodelan WTP ini menggunakan dua model yaitu :

• Model yang menunjukkan kesediaan responden (jawaban ya/tidak) untuk ikut berpartisipasi dalam perbaikan lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk. Dalam hal ini variabel dependent adalah bersedia atau tidaknya responden untuk membayar perbaikan lingkungan.

• Model yang menunjukkan besarnya nilai WTP yang dibayar responden untuk perbaikan lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk. Nilai rata-rata WTP dijadikan cut off, dimana besar nilai WTP x = 1 (kodenya 1), dan nilai WTP < x = 0 (kodenya 0).

Variabel independent yang digunakan dalam penelitian ini adalah : pendapatan, pendidikan, usia, tingkat pengeluaran, jumlah tanggungan, pekerjaan, persepsi tentang perbaikan lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk, dan persepsi tentang kualitas lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk.

(28)

Tabel 13. Variabel- Variabel Dalam Analisis Regresi Logistik

Nama Variabel

Dependent Independent Deskripsi

Keinginan untuk membayar terhadap perbaikan lingkungan Y1

hutan mangrove Angke Kapuk 0 = Tidak bersedia

1 = Bersedia membayar

Besarnya nilai WTP responden Pantai Indah Kapuk

0 = < Rp. 12.068,- Y2 1 = Rp. 12.068,- Pekerjaan 1 = Pegawai Negeri/TNI/POLRI 2 = Karyawan Swasta X1 3 = Wiraswasta Usia 1 = < 30 tahun 2 = 30 - 50 tahun X2 3 = > 50 tahun Pendidikan 1 = Tamat SD 2 = Tamat SLTP 3 = Tamat SLTA X3 4 = Tamat Akademi/PT Pendapatan 1 = Rp. 3.000.000,- s/d Rp. 6.000.000,- 2 = Rp. 6.000.000,- s/d Rp. 10.000.000,- X4 3 = > Rp. 10.000.000,- Jumlah Tanggungan 1 = 1 - 2 orang 2 = 3 - 4 orang X5 3 = 5 orang Tingkat Pengeluaran 1 = < Rp. 3.000.000, - 2 = Rp. 3.000.000,- s/d Rp. 6.000.000,- 3 = Rp. 6.000.000,- s/d Rp.10.000.000,- X6 4 = > Rp. 10.000.000,-

Persepsi mengenai kualitas lingkungan

hutan mangrove Angke Kapuk 1 = Buruk

2 = Sedang

X7

3 = Baik

Persepsi perlunya perbaikan lingkungan

hutan mangrove Angke Kapuk 1 = Rendah

2 = Sedang

X8

3 = Tinggi Sumber : Diolah dari data penelitian 2005

(29)

5.3.3. Model Regresi Logistik Ya/Tidak WTP Pantai Indah Kapuk

Untuk mengetahui kesediaan membayar responden maka dilakukan regresi logistik dengan memasukkan variabel-variabel independent dan variabel dependent. Variabel dependent dikategorikan menjadi 2 yaitu : yaitu bersedia membayar (kode 1) dan tidak bersedia membayar (kode 0).

Interpretasi koefisien untuk model regresi logistik dapat dilakukan dengan melihat odds ratio. Odds ratio menggambarkan ukuran asosiasi yang memperkirakan berapa besar kecenderungan pengaruh variable independent terhadap variable dependent. Jika variable independent mempunyai nilai koefisien (â) positif, maka odds rationya akan bernilai lebih dari satu. Sebaliknya jika koefisien (â) negatif, maka odds rationya bernilai kurang dari satu.

Tabel 14. Hasil Regresi Logistik Kesediaan Membayar Responden Pantai Indah Kapuk

Responden Pantai Indah Kapuk Variabel Independent

Koefisien Signifikan Odds Ratio Pekerjaan 3(wiraswasta) 1.600 0.035** 4.95 Usia 1(< 30 thn) 0.109 0.195tn 1.11 2(30 – 50 thn) 0.253 0.288tn 3.50 Pendidikan 3(SLTA) 0.601 0.017** 1.82 4(Akademi/PT) 1.281 0.004*** 3.60 Pendapatan 2(Rp.6.000.000,- s/d Rp.10.000.000) 1.836 0.072** 6.27 3(>Rp.10.000.000,-) 2.170 0.056* 8.76 Pengeluaran 3(Rp.6.000.000,- s/d Rp.10.000.000,-) -1.140 0.345tn 0.32 4(>Rp.10.000.000,-) -2.210 0.459tn 0.11 Jumlah tanggungan 2(3 -4 orang) -0.163 0.035** 0.85

Persepsi kualitas lingkungan

1(Buruk) 1.452 0.267tn 4.27

Persepsi perlunya perbaikan lingkungan

2(sedang) 1.984 0.126tn 7.27

3(tinggi) 2.507 0.164tn 12.29

Sumber : Diolah data primer penelitian 2005 * signifikan á 10% R-Sq = 87,14% * *signifikan á 5% R-Sq(adjust) = 86,63% * **signifikan á 1%

Berikut ini akan diuraikan variabel- variabel yang berpengaruh terhadap kesediaan membayar terhadap perbaikan lingkungan.

(30)

1) Pekerjaan

Pekerjaan responden Pantai Indah Kapuk yang sebagian besar sebagai wiraswasta berpengaruh sangat nyata (p< 0,01) terhadap WTP responden. Koefisien yang positif pada variabel pekerjaan menunjukkan bahwa pekerjaan responden sebagai wiraswasta berpeluang 4,95 kali dibandingkan pekerjaan yang lain untuk kesediaan membayar dalam perbaikan lingkungan. Keadaan ini diasumsikan karena masyarakat yang berprofesi sebagai wiraswasta cenderung mempunyai tingkat pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan yang lain.

2) Usia

Pada variabel ini koefisiennya bernilai positif, yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat usia semakin tinggi pula kesediaaan membayar terhadap perbaikan lingkungan. Pada tingkat usia dibawah 30 tahun berpeluang 1,11 kali bersedia membayar dibandingkan dengan tingkat usia dibawahnya. Responden dengan tingkat usia 30 – 50 tahun berpeluang 3,5 kali bersedia membayar dibandingkan dengan tingkat usia yang lebih rendah.

3) Pendidikan

Pendidikan seseorang sangat mempengaruhi keinginan membayar terhadap upaya perbaikan lingkungan. Koefisien yang positif menunjukkan bahwa, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula keinginannya untuk kesediaannya membayar terhadap perbaikan lingkungan. Responden dengan tingkat pendidikan SLTA berpeluang 1,82 kali bersedia membayar dibandingkan dengan responden yang lebih rendah pendidikannya. Sedangkan responden dengan tingkat pendidikan akademi/perguruan tinggi, berpeluang 3,60 kali bersedia membayar dibandingkan dengan responden dengan tingakt pendidikan lebih rendah.

4) Pendapatan

Variabel pendidikan seseorang berpengaruh dalam keinginan membayar terhadap upaya perbaikan lingkungan. Dengan koefisien yang positif menunjukkan bahwa, semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang, semakin tinggi pula keinginannya untuk kesediaannya membayar terhadap perbaikan lingkungan. Responden Pantai Indah Kapuk adalah tergolong masyarakat dengan pendapatan yang tinggi. Responden dengan tingkat pendapatan Rp. 6.000.000,- s/d Rp.

(31)

10.000.000,- berpeluang 6,72 kali bersedia membayar dibandingkan dengan responden yang lebih rendah pendapatannya. Sedangkan responden dengan tingkat pendapatan diatas Rp. 10.000.000,- berpeluang 8,76 kali bersedia membayar dibandingkan dengan responden dengan tingkat pendapatan dibawahnya.

5) Tingkat Pengeluaran

Hasil regresi logistik, variabel tingkat pengeluaran berkoefisien negatif. Hal ini menunjukkan bahwa, semakin tinggi tingkat pengeluaran semakin kecil kesediaan membayar terhadap upaya perbaikan lingkungan. Responden dengan tingkat pengel uaran diatas Rp 10.000.000,- hanya berpeluang 0,11 kali bersedia membayar dibandingkan dengan responden yang tingkat pengeluarannya lebih sedikit. Responden dengan tingkat pengeluaran Rp. 6.000.000,- s/d Rp. 10.000.000,- hanya berpeluang 0,32 kali bersedi a membayar dibandingkan dengan responden yang tingkat pengeluarannya lebih sedikit.

6) Jumlah Tanggungan

Sama dengan variabel tingkat pengeluaran, koefisien dari variabel jumlah tanggungan juga bernilai negatif. Hal ini menunjukkan bahwa, semakin tinggi jumlah tanggungan, maka responden cenderung semakin kecil kesediaanya membayar terhadap upaya perbaikan lingkungan. Responden dengan jumlah tanggungan (3 -4 orang) berpeluang 0,85 kali bersedia membayar dibandingkan dengan responden yang jumlah tanggungannya lebih kecil. Dengan nilai koefisien yang negatif, mengindikasikan bahwa semakin tinggi jumlah tanggungan, cenderung responden tidak akan bersedia membayar.

7) Persepsi Terhadap Kualitas Lingkungan

Responden yang beranggapan bahwa kualitas lingkungan disekitar hutan Angke Kapuk buruk, cenderung akan berpeluang kesediaan membayar yang lebih tinggi. Responden yang menganggap kualitas lingkungan buruk, berpeluang 4,32 kali bersedia membayar.

8) Persepsi Perlunya Perbaikan Lingkungan

Persepsi terhadap perlunya perbaikan lingkungan menunjukkan koefisien yang positif. Keadaan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi seseorang, maka peluang kesediaannya membayar semakin tinggi. Responden yang berpersepsi tinggi terhadap perlunya perbaikan lingkungan berpeluang 12,29 kali

(32)

bersedia membayar. Sedangkan responden yang berpersepsi sedang berpeluang 7,27 kali bersedia membayar terhadap perlunya perbaikan lingkungan.

Berdasarkan Tabel.14 diatas, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesediaan membayar responden Pantai Indah Kapuk adalah faktor pekerjaan, pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan.

5.3.4. Model Regresi Logistik Nilai WTP Pantai Indah Kapuk

Untuk mengetahui besarnya nilai WTP yang dibayarkan maka dilakukan regresi logistik dengan memasukkan variabel-variabel independent dan variabel dependent yang dikategorikan menjadi dua, yaitu : 1 Rp. 12.068, - dan 0 < Rp. 12.068,-. Hasil regresi logistik besarnya nilai WTP yang dibayarkan oleh responden dapat dilihat pada Tabel 15 berikut ini.

Tabel 15. Hasil Regresi Logistik Nilai WTP Responden Pantai Indah Kapuk Responden Pantai Indah Kapuk Variabel Independent

Koefisien Signifikan Odds Ratio Pekerjaan 3(wiraswasta) 1.847 0.295tn 6.34 Usia 2(30 – 50 thn) 1.131 0.030** 3.10 3(> 50 thn) 1.909 0.040** 3.29 Pendidikan 3(SLTA) 1.142 0.078* 3.13 Pendapatan 2(Rp.6.000.000,- s/d Rp.10.000.000) 1.778 0.269tn 5.92 3(>Rp.10.000.000,-) 1.942 0.096* 6.97 Pengeluaran 3(Rp.6.000.000,- s/d Rp.10.000.000,-) -0.857 0.411tn 0.42 4(>Rp.10.000.000,-) -1.022 0.290tn 0.36 Jumlah tanggungan 2(3 -4 orang) -0.654 0.082* 0.52

Persepsi kualitas lingkungan

1(Buruk) 1.631 0.222tn 5.11

Persepsi perlunya perbaikan lingkungan

2(sedang) 0.897 0.096* 2.45

3(tinggi) 1.161 0.072* 3.19

Sumber : Diolah data primer penelitian 2005 * signifikan á 10% R-Sq = 85,56% * *signifikan á 5% R-Sq(adjust) = 84,80% * **signifikan á 1%

Berikut ini akan diuraikan variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kesediaan membayar terhadap perbaikan lingkungan.

(33)

1) Pekerjaan

Pekerjaan responden Pantai Indah Kapuk yang sebagian besar sebagai wiraswasta berpengaruh nyata (p< 0,10) terhadap WTP responden. Koefisien yang positif pada variabel pekerjaan menunjukkan bahwa pekerjaan responden sebagai wiraswasta berpeluang 6,34 kali lebih tinggi dibandingkan pekerjaan yang lain untuk besarnya nilai yang dibayarkan dalam perbaikan lingkungan. Keadaan ini diasumsikan karena masyarakat yang berprofesi sebagai wiraswasta cenderung mempunyai tingkat pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan yang lain.

2) Usia

Variabel usia berpengaruh terhadap besarnya nilai yang dibayarkan untuk perbaikan lingkungan. Pada variabel ini koefisiennya bernilai positif, yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat usia semakin tinggi pula peluang membayar terhadap perbaikan lingkungan. Hal ini diasumsikan, masyarakat yang mempunyai usia lebih tua lebih mempunyai kepedulian terhadap lingkungan. Responden dengan tingkat usia 30 – 50 tahun berpeluang 3,10 kali lebih tinggi nilai WTPnya dibandingkan dengan tingkat usia yang lain. Sedangkan responden dengan usia diatas 50 tahun berpeluang 3,29 kali lebih tinggi nilai WTPnya dibandingkan tingat usia dibawahnya.

3) Pendidikan

Pendidikan seseorang sangat mempengaruhi besarnya nilai WTP yang dibayarkan untuk perbaikan lingkungan. Koefisien yang positif menunjukkan bahwa, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula nilai peluang membayar terhadap perbaikan lingkungan. Responden dengan tingkat pendidikan akademi/perguruan tinggi, berpeluang 3,13 kali lebih tinggi nilai WTPnya dibandingkan dengan responden dengan tingkat pendidikan lebih rendah.

4) Pendapatan

Variabel pendidikan seseorang berpengaruh terhadap besarnya nilai WTP yang dibayarkan dalam upaya perbaikan lingkungan. Dengan koefisien yang positif menunjukkan bahwa, semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang, semakin tinggi pula peluang membayar terhadap perbaikan lingkungan. Responden Pantai Indah Kapuk adalah tergolong masyarakat dengan pendapatan yang tinggi. Responden dengan tingkat pendapatan Rp. 6.000.000,- s/d Rp.

(34)

10.000.000,- berpeluang 5,92 kali lebih tinggi nilai WTPnya dibandingkan dengan responden yang lebih rendah pendapatannya. Sedangkan responden dengan tingkat pendapatan diatas Rp. 10.000.000,- berpeluang 6,92 kali lebih tinggi nilai WTPnya dibandingkan dengan responden dengan tingkat pendapatan dibawahnya.

5) Tingkat Pengeluaran

Hasil regresi logistik, variabel tingkat pengeluaran berkoefisien negatif. Hal ini menunjukkan bahwa, semakin tinggi tingkat pengeluaran semakin kecil nilai WTP yang dibayarkan . terhadap upaya perbaikan lingkungan. Responden dengan tingkat pengeluaran diatas Rp 10.000.000,- hanya berpeluang 0,36 kali lebih tinggi nilai WTPnya dibandingkan dengan responden yang tingkat pengeluarannya lebih sedikit. Responden dengan tingkat pengeluaran Rp. 6.000.000,- s/d Rp. 10.000.000,- hanya berpeluang 0,42 kali lebih tinggi nilai WTPnya dibandingkan dengan responden yang tingkat pengeluarannya lebih sedikit.

6) Jumlah Tanggungan

Sama dengan variabel tingkat pengeluaran, koefisien dari variabel jumlah tanggungan juga bernilai negatif. Responden dengan jumlah tanggungan (3 - 4 orang) berpeluang 0,52 kali lebih tinggi nilai WTPnya dibandingkan dengan responden yang lain. Dengan nilai koefisien yang negatif, mengindikasikan bahwa semakin tinggi jumlah tanggungan, cenderung responden semakin kecil peluang nilai WTPnya.

7) Persepsi Terhadap Kualitas Lingkungan

Responden yang beranggapan bahwa kualitas lingkungan disekitar hutan Angke Kapuk buruk, cenderung akan berpeluang nilai WTPnya lebih tinggi. Responden yang menganggap kualitas lingkungan buruk, berpeluang 5,11 kali lebih tinggi nilai WTPnya.

8) Persepsi Perlunya Perbaikan Lingkungan

Persepsi terhadap perlunya perbaikan lingkungan menunjukkan koefisien yang positif. Keadaan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi seseorang, maka peluang nilai WTPnya semakin tinggi. Responden yang berpersepsi tinggi terhadap perlunya perbaikan lingkungan berpeluang 3,19 kali lebih tinggi nilai WTPnya dibandingkan yang berpersepsi lebih rendah. Sedangka responden yang

(35)

berpersepsi sedang berpeluang 2,45 kali lebih tinggi nilai WTPnya dibandingkan yang berpersepsi lebih rendah.

Berdasarkan Tabel.15 diatas, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap besarnya nilai kesediaan membayar responden Pantai Indah Kapuk adalah faktor usia, pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan.

5.4. Analisis WTA Petambak 5.4.1. Keragaan WTA Petambak

Kegiatan perbaikan lingkungan di hutan mangrove Angke Kapuk dilakukan melalui program rehabilitasi lahan mangrove yang dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah departemen kehutanan dan pemerintah daerah setempat.

Upaya perbaikan lingkungan tidak hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah tetapi sangat diperlukan adanya partisipasi dari masyarakat. Untuk kawasan Hutan Wisata Alam Angke Kapuk yang digarap oleh para petambak diperlukan adanya informasi mengenai kesediaan menerima kompensasi (WTA) dari masyarakat. Untuk mengetahui berapa kesanggupan masyarakat untuk menerima kompensasi terhadap upaya perbaikan lingkungan tersebut, maka dalam penelitian ini dirancang skenario sebagai berikut :

Penelitian ini menggunakan kuisioner pilihan dikotomis (Dichotomous Choice) untuk mengukur WTP setiap responden dalam survei CVM. Responden diberikan pertanyaan yang jawabannya menerima atau menolak untuk terlibat dalam scenario tersebut. Dengan kata lain jawaban yang diperlukan dari setiap

Kawasan hutan mangrove Angke Kapuk merupakan salah satu kawasan konservasi yang berada di DKI Jakarta. Hutan mangrove Angke Kapuk dalam dekade terakhir ini mengalami tekanan degradasi yang cukup kritis. Adanya degradasi lingkungan tersebut lambat laun mengikis luas hutan mangrove yang semakin berkurang. Kekhawatiran yang timbul adalah semakin meningkatnya degradasi yang berpengaruh terhadap proses pembangunan berkelanjutan.

Seiring hal tersebut, pemerintah akan memprioritaskan kawasan mangrove Angke Kapuk untuk dilakukan rehabilitasi kawasan hutan tersebut. Khusus untuk kawasan Hutan Wisata Alam Angke Kapuk yang sebagian besar kawasan telah digarap oleh para petambak, pemerintah berencana menghijaukan kembali kawasan tersebut. Untuk hal tersebut, pemerintah akan memberikan kompensasi kepada para petambak untuk meninggalkan kawasan Hutan Wisata Alam Angke Kapuk. Kompensasi yang diberikan pemerintah sebesar Rp. 10.000.000,- per ha – Rp. 13.500.000,- per ha.

Pemerintah hendak melibatkan masyarakat dalam program perbaikan lingkungan. Seandainya skenario program tersebut dilaksanakan :

• Apakah masyarakat bersedia menerima kompensasi dalam rangka kegiatan

perbaikan lingkungan tersebut?

• Jika bersedia,berapa besarnya jumlah uang yang bersedia diterima masyarakat

(36)

responden adalah “ya” atau “tidak” dengan penawaran yang diberikan. Mudah bagi responden untuk membuat keputusan dalam pertanyaan Dichotomous Choice karena mereka dapat mengenali dengan pilihan diskrit (tidak kontinyu) dalam transaksi pasar.

Jumlah responden petambak yang bersedia menerima untuk perbaikan lingkungan lebih besar jika dibandingkan dengan responden yang tidak bersedia menerima terhadap perbaikan lingkungan. Jumlah responden yang bersedia menerima untuk perbaikan lingkungan cukup besar, yaitu 87,50% dari total jumlah responden. Sedangkan jumlah responden yang tidak bersedia menrima untuk perbaikan lingkungan sebesar 12,50% dari total jumlah responden (Tabel 16).

Tabel 16. Jumlah Petambak Yang Bersedia/Tidak Bersedia Menerima

Kesediaan Menerima Untuk Respon Responden Petambak Perbaikan Lingkungan Frekuensi Persentase

(n) (%)

Bersedia menerima 28 87,50

Tidak bersedia 4 12,50

Jumlah 32 100,00

Sumber : Diolah dari data penelitian 2005

Namun dari 32 petambak, ada 4 petambak atau 12,50% dari total petambak yang menolak kompensasi yang diberikan. Alasan petambak untuk tidak bersedia menerima kompensasi dalam upaya perbaikan lingkungan adalah mereka beranggapan bahwa dana kompensasi yang ditawarkan terlalu kecil buat mereka. Dengan dana kompensasi sekitar Rp. 10.000.000,- per ha - Rp 13.500.000,- per ha berarti sama dengan kira- kira Rp. 1.000,- per m2 - Rp. 1.350,- per m2, bagi mereka itu terlalu kecil, karena mereka beranggapan selayaknya dana kompensasi sekitar Rp. 10.000,- per m2.

Secara rata-rata nilai uang kompensasi yang bersedia diterima petambak sebesar Rp. 1.332,1429,- per m2 atau Rp. 13.321.429,- per ha. Luas Hutan Wisata Angke Kapuk adalah 99,82 ha. Adapun jumlah petambak dan nilai WTA yang bersedia diterima disajikan pada Tabel 17 berikut.

(37)

Tabel 17. Distribusi Nilai WTA Petambak

Respon Responden Petambak Nilai WTA Frekuensi Persentase No (Rp/m2) (n) (%) 1 1.000,- 0 0,00 2 1.050,- 0 0,00 3 1.100,- 0 0,00 4 1.150,- 0 0,00 5 1.200,- 0 0,00 6 1.250,- 2 7,14 7 1.300,- 6 21,43 8 1.350,- 20 71,43 Jumlah 28 100,00

Sumber : Diolah dari data penelitian 2005

Nilai WTA terbanyak yang diterima responden petambak ada pada nominal Rp. 1.350,- yaitu sebesar 71,43%. Kemudian diikuti dengan Rp. 1.300,- sebesar 21,43% dan Rp. 1.200,- sebesar 7,14%. Nampak bahwa sebagian besar petambak mau menerima kompensasi dengan nilai nominal yang besar. Hal ini diasumsikan wajar saja, karena setiap orang tentu akan memilih atau menerima sumbangan kompensasi dengan nilai nominal yang besar.

5.4.2. Variabel Yang Berpengaruh Terhadap Kesediaan Menerima dan Nilai WTA

Tahap selanjutnya dari WTA adalah menggunakan regresi logistik untuk dapat melihat keterkaitan antara variabel-variabel penduga terhadap kesediaan menerima dan seberapa besar petambak mau menerima kompensasi untuk perbaikan lingkungan.

Regresi logistik untuk pemodelan WTA ini menggunakan dua model yaitu :

• Model yang menunjukkan kesediaan responden (jawaban ya/tidak) untuk ikut berpartisipasi dalam perbaikan lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk. Dalam hal ini variabel dependent adalah bersedia atau tidaknya responden untuk menerima kompensasi perbaikan lingkungan.

• Model yang menunjukkan besarnya nilai WTA yang diterima responden untuk perbaikan lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk. Nilai rata-rata WTA dijadikan cut off, dimana besar nilai WTA x = 1 (kodenya 1), dan nilai WTA < x = 0 (kodenya 0).

Variabel independent yang digunakan dalam penelitian ini adalah : pendapatan, pendidikan, usia, tingkat pengeluaran, jumlah tanggungan, persepsi tentang perbaikan lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk, dan persepsi tentang kualitas lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk.

(38)

Tabel 18. Variabel- Variabel Dalam Analisis Regresi Logistik

Nama Variabel

Dependent Independent Deskripsi

Keinginan untuk menerima terhadap perbaikan lingkungan Y1

hutan mangrove Angke Kapuk 0 = Tidak bersedia

1 = Bersedia menerima Besarnya nilai WTA Petambak

0 = < Rp. 1.332, - Y2 1 = Rp. 1.322,- Usia 1 = < 30 tahun 2 = 30 - 50 tahun X1 3 = > 50 tahun Pendidikan 1 = Tamat SD 2 = Tamat SLTP 3 = Tamat SLTA X2 4 = Tamat Akademi/PT Pendapatan 1 = < Rp. 500.000,- 2 = Rp. 500.000, - s/d Rp. 3.000.000,- X3 3 = > Rp. 3.000.000, - Jumlah Tanggungan 1 = 1 - 2 orang 2 = 3 - 4 orang X4 3 = 5 orang Tingkat Pengeluaran 1 = < Rp. 500.000,- 2 = Rp. 500.000, - s/d Rp. 3.000.000,- X5 3 = > Rp. 3.000.000, -

Persepsi mengenai kualitas lingkungan

hutan mangrove Angke Kapuk 1 = Buruk

2 = Sedang

X6

3 = Baik

Persepsi perlunya perbaikan lingkungan

hutan mangrove Angke Kapuk 1 = Rendah

2 = Sedang

X7

3 = Tinggi Sumber : Diolah dari data penelitian 2005

5.4.3. Model Regresi Logistik Ya/Tidak WTA Petambak

Untuk mengetahui kesediaan menerima maka dilakukan regresi logistik dengan memasukkan variabel-variabel independent dan variabel dependent. Variabel dependent dikategorikan menjadi 2 yaitu : yaitu bersedia menerima (kode 1) dan tidak bersedia menerima (kode 0).

Interpretasi koefisien untuk model regresi logistik dapat dilakukan dengan melihat odds ratio. Odds ratio menggambarkan ukuran asosiasi yang memperkirakan berapa besar kecenderungan pengaruh variabel independent

(39)

terhadap variabel dependent. Jika variabel independent mempunyai nilai koefisien (â) positif, maka odds rationya akan bernilai lebih dari satu. Sebaliknya jika koefisien (â) negatif, maka odds rationya bernilai kurang dari satu.

Tabel 19. Hasil Regresi Logistik Kesediaan Menerima Petambak Petambak Variabel Independent

Koefisien Signifikan Odds Ratio Usia 2(30 – 50 thn) 0.993 0.150tn 2.70 3(> 50 thn) 1.092 0.168tn 2.98 Pendidikan 3(SLTA) -1.171 0.082* 0.31 Pendapatan 1(< Rp.500.000,-) -0.083 0.047** 0.92 2(Rp.500.000,- s/d Rp.3.000.000,-) -1.109 0.031** 0.33 Pengeluaran 2(Rp.500.000,- s/d Rp.3.000.000,-) 1.963 0.243tn 7.12 Jumlah tanggungan 2(3 -4 orang) 2.244 0.061* 9.43 3(>5 orang) 2.773 0.082* 16.01

Persepsi kualitas lingkungan

1(Buruk) 0.399 0.455tn 1.49

Persepsi perlunya perbaikan lingkungan

2(sedang) 1.191 0.197tn 3.29

3(tinggi) 1.611 0.405tn 3.41

Sumber : Diolah data primer penelitian 2005 * signifikan á 10% R-Sq = 81,74% * *signifikan á 5% R-Sq(adjust) = 75,40% * **signifikan á 1%

Berikut ini akan diuraikan variabel- variabel yang berpengaruh terhadap kesediaan membayar terhadap perbaikan lingkungan.

1) Usia

Responden pada tingkat usia 30 – 50 tahun berpeluang 2,70 kali bersedia menerima dibandingkan dengan tingkat usia dibawahnya. Responden dengan tingkat usia diatas 50 tahun berpeluang 2,98 kali bersedia membayar dibandingkan dengan tingkat usia yang lebih rendah.

2) Pendidikan

Pendidikan seseorang sangat mempengaruhi keinginan menerima terhadap upaya perbaikan lingkungan. Responden dengan tingkat pendidikan SLTA berpeluang 0,31 kali bersedia menerima dibandingkan dengan responden dengan tingkat pendidikan lebih tinggi.

Gambar

Gambar 11.  Pekerjaan Responden Pantai Indah Kapuk
Gambar 14.  Jumlah Tanggungan Responden Pantai Indah Kapuk
Gambar 15.  Tingkat Pengeluaran Responden Pantai Indah Kapuk
Gambar 16.  Persepsi Responden PIK Terhadap Kualitas Lingkungan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan dan positif terhadap besarnya WTP pengunjung Telaga Ngebel dalam upaya pelestarian obyek wisata alam di Kota Ponorogo yaitu

Koefisien determinasi menunjukkan besarnya pengaruh variabel bebas yaitu kualitas aktiva produktif dan likuiditas terhadap profitabilitas pada bank-bank yang

Berdasarkan hasil data yang diolah dalam penelitian ini, terlihat pada variabel jumlah penduduk (PD) menunjukkan hasil yang positif signifikan terhadap kemiskinan sebesar

Koefisien regresi X 2 (cara berkomunikasi) sebesar 0,459 (b 2 ), menunjukkan besarnya pengaruh X 2 (cara berkomunikasi) terhadap keputusan pembelian, koefisien

Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang maupun jangka pendek, variabel pertumbuhan ekonomi tidak mampu berpengaruh secara positif yang signifikan terhadap

Hasil pengujian variabel secara individu (uji t) menunjukkan bahwa perputaran persediaan secara parsial berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap profitabilitas

Berdasarkan nilai koefisien variabel dan nilai signifikansi tersebut, maka Personal Financial Need berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap Financial

Selain itu, penelitian Putri menyatakan bahwa keuangan syariah juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, hasil analisis menunjukkan