• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya mengandalkan hidup dari tanah pertanian sehingga hal tersebut sering mengundang terjadinya konflik serta perebutan tanah, Persoalan tanah merupakan masalah yang sangat kompleks karena hal tersebut menyangkut keseluruhan hidup manusia, seperti produksi pertanian, taraf hidup keluarga tani, pemukiman penduduk dan lain sebagainya. Adanya pertambahan penduduk yang makin meningkat dengan luas tanah pertanian yang semakin sempit, akan meningkatnya konflik tentang pertanahan. Maka sudah semestinya tanah yang ada diatur penggunaannya agar benar-benar bermanfaat bagi masyarakat (Bachriadi.1999).

Melihat permasalahan tersebut maka pemerintah telah melakukan tindakan reforma agraria. Reforma agraria suatu kebijakan yang diagendakan oleh pemerintah pusat yang bertujuan mengurangi ketimpangan dan penguasaan dan kepemilikan tanah dalam menciptakan keadilan, menangani konflik dan sengketa agraria, menciptakan kemakmuran, menciptakan lapangan kerja, memperbaiki akses masyarakat terhadap sumber ekonomi, meningkatkan kedaulatan pangan, memperbaiki kualitas lingkungan hidup (PP No.86 Tahun 2018 pasal 2).

Reforma agraria diatur pada Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2018, pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa reforma agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

Peraturan Presiden No.86 Tahun 2018 mengatur tentang apapun yang dilaksanakan dalam menjalankan kebijakan reforma agraria baik itu berbagai klasifikasi obyek tanah, kriteria subyek penerima tanah, luas maksimum tanah, pemberian hak atas tanah. Obyek tanah dalam peraturan ini dibagi menjadi

(2)

2 sebelas kriteria antara lain; tanah Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang kadaluarsa, tanah terlantar bekas negara, tanah pelepasan hutan, tanah hasil penyelesaian sengketa, tanah absentee, dan lain-lainnya, kriteria obyek tanah ini dijelaskan di pasal 7 ayat 1 . Kriteria subyek penerima redistribusi tanah juga dijelaskan oleh Peraturan Presiden ini di pasal 12 ayat 3, dimana ada 25 kriteria yang digolongkan, antara lain; petani penggarap, buruh tani, nelayan kecil, nelayan tradisional, nelayan buruh, pembudidaya ikan kecil, penggarap lahan budidaya, petambak garam, guru, pedagang formal, dan lain-lainnya. Peraturan ini juga mengatur tentang aturan luas maksimum bidang tanah yang diredistribusikan seluas lima hektar ke subyek penerima tanah.

Peraturan Presiden No.86 Tahun 2018 adalah pembaruan dari sebelumnya yaitu Undang-Undang No.5 Tahun 1960 dan Undang–Undang No. 224 Tahun 1961 yang melahirkan kebijakan Landreform. Kebijakan Peraturan Presiden ini sendiri meluaskan kriteria dari subyek penerima redistribusi tanah dan obyek tanah redistribusi yang mencakup lebih banyak. Diperbarui kebijakan ini dari bentuk landreform ke reforma agraria sebagai bentuk pembaruan guna mengatur penggunaan tanah, sehingga penghalang yang timbul akibat ketimpangan dan konflik sengketa pertanahan dalam soal pemilikan tanah pertanian dapat diatasi. Pada dasarnya kebijakan ini menuntut adanya keadilan sosial dalam penguasaan tanah pertanian, emansipasi para petani, dan pembangunan sosial ekonomi yang merata pada seluruh masyarakat (Aisyah.2009).

Reforma agraria yang bertujuan mengatur penggunaan dan kepemilikan tanah ini dilakukan melalui redistribusi tanah. Makna redistribusi sendiri berbeda dengan distribusi. Distribusi mengarah ke penyaluran pembagian barang, produk maupun jasa yang diproduksi sendiri ke konsumen sehingga apa yang di distribusikan tersebar secara luas sedangkan Redistribusi adalah pendestribusian kembali dari suatu kelompok masyarakat kaya ke kelompok masyarakat miskin yang digunakan untuk memperluas pemerataan pendapatan dan kesejahteraan (Handy.2014). Konsep ini yang dipakai dalam sistem redistribusi tanah, wujud dari redistribusi tanah dimana tanah perhutani, tanah Hak Guna Usaha (HGU)

(3)

3 yang tidak diperpanjang, tanah terlantar yang awalnya dikuasai oleh Negara yang tidak dimanfaatkan sepenuhnya akan didistribusikan kepada masyarakat dengan tujuan agar tanah tersebut dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin serta dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar (Bachriadi.1999).

Penugasan reforma agraria tersusun dalam kelembagaan reforma agraria yang terdiri dari 3 tingkat yaitu tingkat pusat, provinsi dan daerah. Dalam tingkat pusat dipimpin oleh Menteri Koordinator Perekonomian yang bertugas dalam mengoordinasikan penyediaan tanah obyek reforma agraria (TORA) dalam rangka penetapan aset dalam tingkat pusat. Pada tingkat provinsi dipimpin oleh gubernur yang bertugas dalam membidangi urusan penunjang seperti pekerjaan umum dan penataan ruang, kehutanan, transmigrasi pertanian, perumahan dan kawasan permukiman, perdagangan dan lain-lainnya. Dalam tingkat Kabupaten/Kota ini dipimpin oleh Bupati/Walikota dengan ketua pelaksana yaitu Kantor Pertanahan atau Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota.

Pemerintahan Joko Widodo selama tahun 2015-2019 menargetkan 9 Juta hektare tanah obyek reforma agraria selesai diredistribusikan dan dilegalisasi. 9 juta tanah tersebut berasal dari 4,1 juta hektar tanah negara dan 4,5 juta hektar tanah dilaur kawasan hutan, yang dibagi 4,5 juta untuk redistribusi tanah dan 4,5 juta untuk dilegalisasi tanah. Akan tetapi sampai pada pertengahan tahun 2019, realisasi reforma agraria masih jauh dari target khususnya dalam redistribusi tanah. tercatat realisasi janji terbilang rendah yakni 545.425 bidang dengan luas 412.351 Ha. Ini lah kelemahan mendasar yang patut menjadi catatan bagi Menteri ATR/Kepala BPN. Hal itu juga tidak sebanding dengan pencapaian prestasi dari program legalisasi yang bahkan jauh melampaui target dengan 12

Juta dalam kurun waktu 5 Tahun.

(http://www.KonsoriumPembaruanAgraria.co.id)

Provinsi Jawa Timur adalah provinsi teratas dengan konflik agraria tertinggi di Indonesia. Konsorium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat konflik di Jawa Timur semakin tahun semakin meningkat dengan signifikan. Pada data lokasi Prioritas Reforma Agraria KPA, konflik agraria di Jatim seluas 9.421,37 Ha di wilayah perkebunan dan 18.521 Ha di kawasan perhutanan, akan tetapi

(4)

4 masifnya penyelesaian konflik karena terbentuknya kebijakan yang kurang efektif (KPA.2018).

Provinsi Jawa Timur temasuk provinsi dalam skala kecil pembagian redistribusi dengan dibawah 10.000 Ha sama dengan di Jawa Tengah dan berbeda dengan Jawa Barat yang tergolong besar dengan sekitar 20.000 Ha. Dan yang paling besar ada Kalimantan Tengan dengan 1,3 Juta Ha tanah redistribusi. Akan tetapi Jawa Timur dengan skala kecil termasuk yang tergolong lambat pengerjaan redistribusi tanah tercatat sampai tahun 2018 masih 3700 Ha yang sudah terealisasikan (http://www.kementrianATR.co.id)

Program itu menghadapi berbagai tantangan yang harus diatasi oleh pemerintah baik dalam segala level yakni, pusat, provinsi dan kabupaten. Khususnya di Provinsi Jawa Timur sendiri, Pemerintah Provinsi Jawa Timur sudah menyiapkan dengan matang dalam menghadapi program Reforma Agraria ini dengan membentuk barisan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang akan melaksanakan kebijakan ini.

Permasalahan yang terjadi di Provinsi JAwa Timur adalah tingginya sengketa konflik dan penyelesaian konflik, pada Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 merupakan capaian penting dalam bidang agraria. Tetapi Perpres 86/2018 hanya mengatur operasional reforma agraria, hal ini berbeda dengan kebijakan sebelumnya yang lebih lengkap mengkaji menyelesaikan konflik. Seharusnya penyelesaian konflik juga menjadi tantangan terbesar dalam bidang agraria. Merujuk ke catatan tahunan Konsorium Pembaruan Agraria (KPA) pada tahun 2017 jumlah konflik mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya, yakni terdapat sekitar 659 kasus konflik agrarian dengan luasan wilayah konflik sebesar 520.491,87 hektar dan melibatkan sebanyak 652.738 KK. Dengan provinsi Jawa Timur menjadi provinsi dengan letusan jumlah sebanyak 32 kasus dan menjadikan Kota Pasuruan menjadi kota terbanyak kasus agraria sebanyak 16 kasus (KPA.2017).

Permasalahan yang lain yaitu Ketimpangan penguasaan lahan sering menjadi pemicu permasalahan Agraria. Di Jawa Timur ketimpangan penguasaan terjadi secara actual, hal itu terjadi melihat basis Provinsi Jawa Timur ditempati

(5)

5 sector-sektor yang mendukung investasi seperti kawasan industri, pertambangan, proyek pembangunan, pariwisata, dan kawasan hutan. Kawasan-kawasan seperti ini yang membuat penguasaan lahan mengalami ketimpangan yang mengakibatkan banyak keluarga petani tak bertanah, buruh-buruh tani, petani kecil, dan menurunya kuantitas profesi petani yang juga menyebabkan tingkat rakyat keluarga miskin secara structural tidak bisa menjamin kehidupannya dengan layak.

Permasalahan lainnya yaitu alih fungsi lahan Alih fungsi lahan juga menjadi alasan utama konversi lahan sawah. Konversi lahan pertanian merupakan suatu proses alamiah yang terkait dengan tiga masalah yaitu kelangkaan lahan, pertumbuhan penduduk (permukiman) dan Pembangunan infrastruktur. Bagi daerah-daerah yang tingkat kelangkaan lahannya tinggi seperti di Jawa Timur, maka konversi lahan akan sulit dihindari. Setiap daerah akan memiliki keinginan untuk maju dan berkembang yang membuat daerah-daerah pedesaan akan bertransformasi menjadi perkotaan, perkotaan akan berusaha menjadi megapolitan sehingga kebutuhan lahan untuk industry, perumahan, dan sarana infrastruktur public menjadi meningkat dengan diikuti harga kenaikan tanah semakin tahun semakin meningkat. Factor ekonomi inilah yang menjadi kesulitan tersendiri untuk menghindari alih fungsi lahan.

Kendala lainnya juga menyangkut dengan tanah absentee. Tanah absentee yaitu tanah pertanian yang terletak di luar wilayah kedudukan/domisili si pemilik tanah, alias tanah yang letaknya berjauhan dengan pemiliknya. Tanah absentee dilarang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) keberadaannya secara berlebihan dikarenakan dengn alasan kepentingan sosial dan perlindungan tanah. Dikhawatirkan jika tanah absentee yang tidak diolah akan menjadi tanah telantar atau tidak produktif sebab pemiliknya jauh. Tanah

absentee banyak terdapat di Jawa Timur khususnya yang ada di Kabupaten Malang. Kabupaten Malang sendiri terdapat ada beberapa yang melakukan pelanggaran absentee, tercatat ada 12 Orang yang ada di Kabupaten Malang yang terkena pelanggaran. Hal itu sampai saat ini masih belum bisa diatasi oleh

(6)

6 pihak Badan Pertanahan Nasional dikarenkan belum ada kebijakan yang baru dalam mengatasi permasalahan tersebut (Data BPN Kab.Malang Tahun 2018) Kendala selanjutnya adalah belum populernya isu reforma agraria di institusi pendidikan tinggi menyebabkan minimnya kajian ilmiah maupun ahli-ahli reforma agraria di Indonesia. Hal itu menyebutkan program ini kurang dikenal masyarakat dan perkembangannya terkesan lambat karena kurangnya dukungan masyarakat yang belum mengenal program nasional ini serta kajian-kajian tersebut untuk megukur dimana letak hambatan untuk diselesaikan dengan benar.

Melihat permasalahan pertanahan yang ada di Indonesia serta khususnya di Provinsi Jawa Timur maupun Kabupaten Malang serta peran dari pemerintah dalam mensiasati permasalahan kesejahteraan petani, meningkatkan perekonomian taraf hidup buruh tani yang rendah, menghilangkan atau meminimalisir kepemilikan tanah secara besar, dan penggunaan tanah yang lebih efektif maka itu harus dicangangkan kembali sebuah kebijakan yaitu kebijakan reforma agraria yang melahirkan program redistribusi tanah obyek reforma agraria (TORA). Maka perlu adanya evaluasi, dimana evaluasi ini pada dasarnya merupakan proses menentukan sejauh mana tujuan pemerintah dalam menangani masalah pertanahan yang ada di Indonesia khususnya di Provinsi Jawa Timur.

Evaluasi kebijakan ini akan mengkaji permasalahan pertanahan secara menyeluruh di Indonesia khususnya Provinsi Jawa Timur, melihat tujuan yang diusung oleh kebijakan ini, mendeskripsikan secara detail tentang pelaksanaan program, dan yang utama mengukur/menilai sejauh mana keefektifan dan manfaat program ini ke masyarakat. Dengan evaluasi kebijakan ini bukan hanya melihat pelaksanaannya sudah tepat atau tidak tapi juga dapat dilihat perubahan yang terjadi di masyarakat secara langsung baik dari segi kemakmuran, kesejahteraan, keadilannya dan juga melihat tujuan program yang dari awal dibentuk kebijakan ini sudah tercapai atau tidak.

Evaluasi kebijakan reforma agraria sangatlah penting untuk dilakukan, agar semua elemen yang terdapat dalam program tersebut memiliki sumbangsih yang besar dalam menangani masalah pertanahan sehingga penelitian evaluasi

(7)

7 kebijakan akan juga sedikit membantu untuk mengkaji dalam perumusan kebijakan dan diharapkan program ini dapat dijadikan pijakan dalam membuat kebijakan tindak lanjut dalam suatu program. Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini akan membahas tentang evaluasi kebijakan reforma agraria, dengan demikian peneliti akan mengangkat judul “Evaluasi peraturan presiden no. 86 Tahun 2018 tentang reforma agraria pada redistribusi tanah di Provinsi Jawa Timur di tahun 2018-2019”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dalam penelitian tersebut dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana evaluasi kebijakan Reforma Agraria di Provinsi Jawa Timur? 2. Apa dampak dari Kebijakan Reforma Agaria di Provinsi Jawa Timur?

1.3 Tujuan Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah penelitian, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui evaluasi kebijakan Reforma Agraria di Provinsi Jawa Timur 2. Untuk mengetahui dampak dari Kebijakan Reforma Agaria di Provinsi Jawa

Timur

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis, praktis maupun akademis, yakni sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil dari penelitian ini secara teoristis di harapkan agar dapat memperoleh pengetahuan yang lebih tentang bagaimana Evaluasi kebijakan Reforma Agraria Dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya tentang Kebijakan Reforma Agaria di Provinsi Jawa Timur

(8)

8 2. Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan kajian dan sumbangan pemikiran bagi upaya pengembangan Ilmu Pemerintahan, khususnya pada evaluasi kebijakan reforma agraria di provinsi Jawa Timur

b. Sebagai bahan masukan bagi tiap sektor atau stakeholder yang terlibat dalam mengatasi program Sertifikat Redistribusi TORA di Provinsi Jawa Timur. 3. Manfaat Akademis

a. Memberikan tambahan wawasan atau pengetahuan bagi peneliti sendiri dan pembaca tentang studi kebijakan, khususnya terkait pada evaluasi kebijakan reforma agraria di provinsi Jawa Timur

b. Memberikan sumbangan referensi bagi penelitian-penelitian yang akan datang yang dikaitkan dengan studi Badan Pertanahan dalam program Sertifikat Redistribusi TORA.

1.5 Definisi Konseptual 1. Evaluasi Kebijakan

Evaluasi dalam pengertian luasnya adalah suatu proses identifikasi untuk mengukur/ menilai apakah suatu kegiatan atau program yang dilaksanakan sesuai dengan perencanaan atau tujuan yang ingin dicapai. Nurkancana (1983) menyatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan berkenaan dengan proses untuk menentukan nilai dari suatu hal.

Evaluasi biasanya mencakup tentang kebijakan publik, Kebijakan adalah keputusan yang dibuat oleh suatu lembaga pemerintahan atau organisasi yang bersifat mengikat para pihak yang terkait dengan lembaga tersebut (Nugroho, 2014).

Evaluasi umumnya digunakan untuk menilai keefektifan kebijakan publik guna mempertanggungjawabkan kepada konstituennya. Sejauh mana harapan program yang direncanakan tercapai serta melihat sejauhmana gap antara harapan dan realita.

Menurut William Dunn (2003) tahapan evaluasi kebijakan merupakan usaha dalam mendiskripsikan antara operasi program kebijkan dan hasilnya,

(9)

9 sehingga sumber utama dalam evaluasi kebijakan adalah implementasi kebijakan. Evaluasi kebijakan mampu memberikan informasi terkait tentang kinerja suatu kebijakan, khususnya pada tahapan pelaksanaan (implementasi) kebijakan public.

Dunn selanjutnya membagi evaluasi kebijakan menjadi tiga berdasarkan waktu evaluasi, yaitu “sebelum dilaksanakan”, “pada waktu dilaksanakan” dan “sesudah dilaksanakan”. Evaluasi pada waktu pelaksanaan umumnya disebut pula sebagai evaluasi proses, sementara evaluasi setelah kebijakan diimplementasikan, disebut sebagai evaluasi konsekuensi (output) kebijakan atau evaluasi dampak pengaruh (outcome) kebijakan, atau disebut juga sebagai evaluasi sumatif (Akbar.2016). Lebih lanjut menjelaskan evaluasi kebijakan mengarah ke penilaian pengaruh kebijakan dengan indikator identifikasi program dan masalah serta pengukuran atau penilaian hasil dari kebijakan tersebut setalah diimplementasikan. Dan penghambat kebijakan berdasarkan permasalahan SDM, Properti atau alat, Komunikasi.

2. Reforma Agraria

“Reforma Agraria” (RA) atau “Agrarian Reform” adalah suatu penataan kembali (penataan ulang) susunan pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria (terutama tanah), untuk kepentingan rakyat kecil (petani, buruh tani, tunakisma, dan lain-lainnya), secara menyeluruh dan komperhensif (lengkap) (Gunawan Wiradi.2018)

Penataan ulang dalam reforma agraria ini secara menyeluruh dan komperhensif artinya, pertama, sasarannya bukan hanya tanah pertanian, tetapi juga tanah-tanah kehutanan, perkebunan, pertambangan, pengairan, kelautan dan lain-lainnya. Pendek kata, semua sumber-sumber agraria. Kedua, kebijakan ini harus disertai program-program penunjangnya seperti, penyuluhan dan pendidikan tentang teknologi produksi, program perkreditan, pemasaran dan lain sebagainya

Reforma agraria ini didasari prinsip-prinsip utama y ang harus dipegang:

(10)

10 b. Tanah tidak dijadikan komoditi komersial, yaitu tidak boleh dijadikan barang

dagangan (jual-beli yang semata-mata untuk mencari keuntungan), c. Tanah mempunyai fungsi sosial.

3. Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018

Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Perpres ini adalah pembaruan kajian dari undang-undang pokok agraria tahun 1960 yang melahirkan kebijakan yaitu Peraturan Pemerintah No.224 tahun 1961 tentang landredorm.

Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 tentang reforma agraria ini menjelaskan tentang operasional kinerja dari reforma agraria, baik itu subyek penerima tanah, obyek tanah reforma agraria, penetapan luas maksimum dan lain- lain.

4. Redistribusi Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA)

Redistribusi tanah adalah pembagian tanah-tanah yang dikuasai oleh negara dan telah ditegaskan menjadi obyek reforma agraria yang diberikan kepada para subyek penerima yang telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan presiden no.86 tahun 2018 yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat khususnya para petani penggarap ( Novprastya.2014 ).

Redistribusi tanah obyek reforma agraria merupakan suatu perubahan besar dalam struktur agraria yang membawa peningkatan akses petani miskin pada lahan, serta kepastian penguasaan (tenure) bagi mereka yang menggarap lahan. Redistribusi tanah saat ini menjadi suatu persoalan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia dengan mengingat kebutuhan akan tanah sangat meningkat untuk pertumbuhan pembangunan yang terjadi di mana-mana sedangkan tanah itu sendiri tetap (Aisyah..2014).

(11)

11 Peta Pemikiran Iya Tidak 1. Definisi Permasalahan 2. Penyelesaian Permasalahan Pengukuran / Penilaian 1. Pelaksanaan Kebijakan 1. 1. Ekonomi Masyarakat 2. 2. Kesejahteraan Sosial Masyarakat 1. 1. Perencanaan 2. 2. Penyusunan kinerja 3. 3. Pelaksanaan

Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional

Provinsi Jawa Timur

Masyarakat Subyek Penerima tanah. Badan Pertanahan Nasional

Kota/ Kabupaten

Masyarakat

Subjek Penerima

Masyarakat

Subjek Penerima

Tujuan Kebijakan

Evaluasi

Kebijakan

Diolah Peneliti tahun 2020.

Penataan Agraria

Perbaikan Ekonomi

Masyarakat

Peningkatan kesejahteraan

Keadilan kepemilikan

Penyelesaian Konflik

1. Penetapan Tujuan 2. Skala Tujuan Analisa Permasalahan

(12)

12 Peta pemikiran berisi beberapa tahapan, tahapan pertama adalah landing sector pemerintah yang terlibat terdiri atas Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur, Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota dan Masyarakat yang terlibat seperti subyek penerima Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA). Tahapan kedua adalah indicator teori Evaluasi Kebijakan yang dikemukakan oleh Edward A. Scuhman yang berisi langkah-langkah dalam mengevaluasi kebijakan yaitu analisis terhadap masalah, identifikasi tujuan kebijakan yang akan dievaluasi, deskripsi kegiatan kebijakan, dan pengukuran terhadap perubahan yang terjadi. Setiap indicator teori yang dijelaskan memiliki subitem masing-masing yang lebih memperinci pembahasan dan konsep dalam setiap indicator.

Evaluasi Kebijakan adalah suatu langkah yang dipilih guna mengetahui latar belakang dan tujuan dari suatu kebijakan dikeluarkan dan mengukur atau menilai keberhasilan kebijakan yang dirasakan oleh masyarakat seperti ada di kolom (iya) atau tidak dirasakan yang berarti tidak adanya keberhasilan dan harus diperbaiki lagi khususnya Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur selaku lembaga yang berwenang dalam koordinasi baik perumusan kebijakan, perencanaan strategis dan implementasi program nasional Reforma Agraria.

1.6 Definisi Operasional

1. Evaluasi Kebijakan Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 di Provinsi Jawa Timur. 1. Analisis permasalahan yang terjadi sebelum adanya kebijakan Reforma Agraria di Provinsi

Jawa Timur.

a. Definisi Permasalahan yang terjadi Sebelum adanya Reforma Agraria. b. Penyelesaian Permasalahan Reforma Agraria

2. Identifikasi tujuan dari adanya kebijakan Reforma Agraria di Provinsi Jawa Timur. a. Penetapan Tujuan Kebijakan

b. Skala keberhasilan dalam tujuan kebijakan.

3. Jelaskan pelaksanaan kebijakan Reforma Agraria di Provinsi Jawa Timur. a. Perencanaan strategis Kebijakan Reforma Agraria.

b. Penyusunan Sumber daya manusia. c. Pelaksanaan Kebijakan Reforma Agraria

4. Mengukuran dan menilai terhadap perubahan yang terjadi setelah adanya kebijakan Reforma Agraria di Provinsi Jawa Timur.

(13)

13 a. Perubahan Segi Ekonomi

b. Perubahan Kesejahteraan Sosial

2. Dampak kebijakan Reforma Agraria di Provinsi Jawa Timur. 1. Perubahan Peningkatan EKonomi.

a. Pertumbuhan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Provinsi Jawa Timur. b. Pertumbuhan Sektor Pertanian.

1.7 Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode Kualitatif. Penelitian kualitatif adalah metode yang lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah. Metode penelitian ini menggunakan teknik analisis mendalam (in-depth analysis) yaitu mengkaji permasalahan secara kasus perkasus (Reza Parluvi,2010)

2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah orang yang dimintai keterangan dan informasi terkait permasalahan dalam penelitian. Dalam penelitian ini dilakukan kepada pihak yang dianggap mengetahui tentang bagaimana ketetapan sasaran dari program reforma agraria di Desa SananKerto Kecamtan Turen Kabupaten Malang yaitu :

a. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur

b. Staff Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur Bidang Penataan ruang.

c. Masyarakat yang menjadi sasaran program Kota Pasuruan

3. Sumber Data

Sumber data penelitian ini berasal dari pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan program Redistribusi Tanah Obyek Landeform Peneliti menggunakan sumber data yang didasarkan pada klasifikasi sumber datanya, yakni :

(14)

14 Data Primer adalah data atau keterangan yang diperoleh peneliti secara langsung dari sumbernya (Waluya, 2007:79). Dengan kata lain, data primer didapatkan peneliti pada saat turun ke lapangan. Sebagaimana data primer yang didapatkan dari hasil observasi dan wawancara peneliti dengan subyek penelitian perihal evaluasi kebijakan Peraturan Presiden nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria di Provinsi Jawa Timur.

b) Data Sekunder

Data sekunder diguanakan untuk mendapatkan landasan teori penelitian dan memperkuat data primer yang telah diperoleh melalui observasi dan wawancara, data sekunder diperoleh melalui data dokumentasi, dengan menggunakan sember-sumber :

1) Peraturan Agraria, Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 mengenai Redistribusi Tanah Obyek Landreform

2) Jurnal / penelitian terkait mengenai Redistribusi Tanah Obyek Landreform 3) Buku mengenai Redistribusi Tanah Obyek Landreform

4) Berita dalam surat kabar atau online mengenai Redistribusi Tanah Obyek Landreform 5) Kuisioner dalam pengukuran hasil kebijakan yang dialami masyarakat

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa observasi dan wawancara. 1) Observasi

Pada saat penelitian sebelum dilakukan wawancara peneliti akan terlebih dahulu melakukan observasi. Dengan melakukan observasi secara langsung maka peneliti akan menemukan fenomena-fenomena dilapangan mengenai Program Redistribusi Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) di Provinsi Jawa Timur.

2) Wawancara

Untuk memperoleh penjelasan lebih lanjut atau mengetahui fakta dari sebuah fenomena yang diamati, maka peneliti akan melakukan wawancara kepada subjek penelitian, agar data yang diperoleh objektif. Hal ini juga bertujuan untuk menemukan hubungan antara beberapa fenomena yang terjadi sehingga nantinya akan didapat kesimpulan dalam penelitian ini. Selain itu, untuk memperoleh penjelasan atas pertanyaan atau kurangnya pemahaman peneliti terhadap suatu hal. 3) Dokumentasi

(15)

15 Dokumen yang bisa berupa tulisan, gambar atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumentasi dalam penelitain ini dimaksudkan sebagai upaya untuk memperkuat data yang diperolah dari informan lapangan guna mendukung proses penelitian. Dokumentasi didapat dari instansi terkait bisa berupa foto, dokumen, peraturan, arsip dll. Selanjutnya bisa dari jurnal, catatan lapang peneliti, notulensi rapat yang nantinya akan memperkuat data.

4) Kuisioner

Kuesioner merupakan alat teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya. (Iskandar, 2008: 77).

Dalam hal ini peneliti membuat pertanyaan tertulis kemudian dijawab oleh responden. Bentuk angket adalah angket tertutup, yaitu angket yang soal-soalnya menggunakan teknik pilihan ganda atau sudah ada pilihan jawaban, sehinggarensponden tinggal memilih jawaban yang sudah tersedia.

Teknik kuisioner menggunakan skala likert, yaitu skala sikap yang disusun untuk mengungkap sikap pro dan kontra, positif dan negatif, setuju dan tidak setuju terhadap suatu objek sosial. Skala sikap model likert berisi pernyataan sikap,yaitu suatu pernyataan mengenai obyek sikap. Adapun skor individu pada skala sikap, dimana merupakan skor sikapnya pernyataan yang ada dalam skala.

Sampel diperolah dengan memilih Kepala dan staff Kanwil BPN Provinsi Jawa Timur yang terlibat dalam kegiatan program Redistribusi TORA di tahun 2018. Serta Masyarakat Provinsi Jawa Timur yang menjadi subyek penerima Redistribusi TORA di tahun 2018 sejumlah kurang dari 200 Orang.

5. Fokus Penelitian

Fokus kajian penelitian ini yakni mengenai evaluasi kebijakan pada program sertifikat redistribusi TORA yang diselenggarakan di oleh Kementrian Agraria dan Tata Ruang yang diturunkan kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur selaku badan yang berwenang dalam pengurusan pertanahan di Provinsi Jaaw Timur. Kemudian Peneliti akan menjelaskan hasil dari kebijakan program yang berguna dan bermanfaat untuk rakyat yang menjadi penerima program redistribusi tanah ini. Selain itu, peneliti juga menjelaskan mengenai faktor penghambat dari kebijakan program redistribusi TORA yang sudah diimplementasikan.

(16)

16 6. Teknik Analisa Data

Teknik analisis ndata adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, karena jenis penelitian ini deskriptif kualitatif maka peneliti menggunakan analisis data yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman.

Analisis data dalam penelitian kualitatif ini dilakukan sejak sebelum terjun ke lapangan, observasi, selama pelaksanaan penelitian di lapangan dan setelah selesai penelitian di lapangan. Data penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan cara mengorganisasi data yang diperoleh kedalam sebuah kategori, menjabarkan data kedalam unit-unit, menganalisis data yang penting, menyusun atau menyajikan data yang sesuai dengan masalah penelitian dalam bentuk laporan dan membuat kesimpulan agar mudah untuk dipahami. Sesuai dengan jenis penelitian di atas, maka peneliti menggunakan model interaktif dari Miles dan Huberman untuk menganalisis data hasil penelitian. Aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. (Miles, Huberman dan Saldana, 2014: 14)

Komponen-komponen analisis data model interaktif dijelaskan sebagai berikut: 1. Reduksi Data (Data Reduction)

Data yang diperoleh peneliti di lapangan melalui wawancara, observasi dan dokumentasi direduksi dengan cara merangkum, memilih dan memfokuskan data Pengumpulan data Penyajian data Reduksi data. Kesimpulan Penarikan /verifikasi pada hal-hal yang sesuai dengan tujuan penelitian. Pada tahap ini, peneliti melakukan reduksi data dengan cara memilah-milah, mengkategorikan dan membuat abstraksi dari catatan lapangan, wawancara dan dokumentasi.

2. Penyajian Data (Data Display)

Penyajian data dilakukan setelah data selesai direduksi atau dirangkum. Data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi dianalisis kemudian disajikan dalam bentuk CW (Catatan Wawancara), CL (CatatanLapangan) dan CD (Catatan Dokumentasi). Data yang sudah disajikan dalam bentuk catatan wawancara, catatan lapangan dan catatan dokumentasi diberi kode data untuk mengorganisasi data, sehingga peneliti dapat menganalisis dengan cepat

(17)

17 dan mudah. Peneliti membuat daftar awal kode yang sesuai dengan pedoman wawancara, observasi dan dokumentasi. Masing-masing data yang sudah diberi kode dianalisis dalam bentuk refleksi dan disajikan dalam bentuk teks.

3. Kesimpulan, Penarikan atau Verifikasi (Conclusion Drawing/Verification)

Langkah terakhir dalam analisis data kualitatif model interaktif adalah penarikan kesimpulan dari verifikasi. Berdasarkan data yang telah direduksi dan disajikan, peneliti membuat kesimpulan yang didukung dengan bukti yang kuat pada tahap pengumpulan data. Kesimpulan adalah jawaban dari rumusan masalah dan pertanyaan yang telah diungkapkan oleh peneliti sejak awal.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk ekstraksi fitur tekstur akan didapatkan nilai dari histogram fitur yang dihasilkan dan akan dilakukan pengujian dengan kuantisasi panjang histogram, sedangkan

1) Sumber data primer adalah data yang didapatkan langsung dar sumber nya. Data primer ini biasanya didapatkan secara langsung di tempat penelitian oleh

Koordinator penelitian klinik kerjasama dengan National Institute of Allergy and Infectious Diaseses (NIAID) untuk Acute Febrile Illness dan South East Asia Infectious

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya, data primer yang dimaksud adalah:.. 1) Ta’mir Masjid, yaitu kepala yayasan atau kiai yang menentukan infaq

 Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti secara langsung dari sumber datanya..  Data Sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan

kontribusi pekerjaan publik yang dibayar, sedangkan pekerjaan perempuan di aspek domestik tidak diperhitungkan (Puspitawati 2012). Di daerah perdesaan, wanita

Allah Bapa, Sumber kasih Karunia yang telah memanggil kamu dalam Tuhan Yesus Kristus kepada kemuliaan-Nya yang kekal akan melengkapi, meneguhkan, menguatkan dan

[r]