• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

5

Anjing termasuk keluarga Canidae, bersaudara dengan serigala, rubah, dan anjing rakun. Diantara semua anggota Canidae, anjing mempunyai hubungan yang paling dekat dengan serigala, yang merupakan nenek moyang anjing. Secara umum keluarga Canidae memiliki ciri-ciri tubuh kecil memanjang, telinga dan moncong runcing, penciuman tajam, dapat berlari dengan cepat dan memiliki kemampuan untuk berenang (Pennisi, 2002).

Anjing merupakan salah satu mamalia karnivora yang memiliki berbagai peran dalam kehidupan manusia. Anjing diperkirakan telah menghuni bumi jutaan tahun yang lalu. Diduga bahwa anjing pertama kali hidup di Asia atau Eurasia, kemudian berpindah dari satu benua ke benua lain terutama ke Benua Amerika ketika daratan Eurasia belum terpisah dengan daratan Amerika. Bukti keberadaan anjing di Indonesia pada jaman dulu dapat dilihat di situs purbakala Gilimanuk, Provinsi Bali. Di tempat ini dapat ditemukan tulang belulang anjing selain penemuan tulang belulang manusia (Puja, 2011).

Ada beberapa teori antropologi mengenai domestikasi anjing. Teori pertama menduga manusia yang mulai membentuk peradaban, tertarik pada kemampuan anjing melacak binatang buruan. Mereka menangkap anak anjing, memelihara dan melakukan seleksi untuk mendapatkan turunan yang jinak. Teori kedua, anjing yang mendekati manusia karena tertarik pada produk khas peradaban, yakni sampah. Teori ketiga disebut juga teori adaptasi. Teori ini merupakan teori yang diyakini mendekati realita, dimana manusia dan anjing merupakan dua kelompok pemburu yang saling bersaing. Namun seiring dengan perkembangan peradaban, kedua kelompok tersebut mulai melakukan aktivitas berburu dengan bekerja sama. Ketika mangsa mulai berkurang akibat kondisi alam yang kurang menguntungkan, nenek moyang anjing mulai bergantung pada manusia hingga akhirnya anjing menjadi binatang yang dimanfaatkan oleh manusia (Pennisi 2002).

(2)

Hasil penelitian molekular, menunjukan anjing (Canis lupus familiaris) merupakan keturunan dari satu atau lebih populasi srigala liar (Canis lupus) (Dharmawan, 2009). Ciri mendasar yang menjadi persamaanantara anjing dan srigala yaitu, karakteristik ekornya, periode kebuntingan yang sama, memiliki sifat membatasi wilayah, hidup berkelompok, dan penyakit serta parasit yang dijumpai umumnya sama. Perbedaan yang mencolok antara anjing dan serigala terletak pada sifat yang liar dan galak dari serigala. Sedangkan, anjing yang telah didomestikasi mempunyai sifat yang jinak (Puja, 2011). Menurut Budiana (2006), anjing telah didomestikasi dari serigala sejak 10.000 hingga 15.000 tahun yang lalu. Saat ini anjing telah berkembang menjadi ratusan ras dengan berbagai macam variasi, mulai dari anjing dengan tinggi badan beberapa puluh centimeter seperti Chihuahua, hingga Irish Wolfhound yang tingginya lebih dari satu meter. Warna bulu anjing bisa beraneka ragam, putih, hitam, merah, abu-abu, dan coklat. Selain itu, anjing memiliki berbagai jenis bulu, mulai dari yang sangat pendek hingga yang panjangnya bisa mencapai beberapa centimeter. Bulu anjing bisa lurus atau keriting dan bertekstur kasar, hingga lembut seperti benang wol (Dharmawan, 2009).

Anjing merupakan hewan yang menyenangkan untuk dijadikan teman karena merupakan hewan yang setia dan jujur. Kemampuan penciuman serta pendengaran yang baik, sehingga dapat dimanfaatkan apabila dapat mendidiknya dengan baik (Dharmawan, 2009). Beberapa alasan orang memelihara anjing adalah sebagai teman, kesenangan, kebanggaan (prestige), dan tambahan aktivitas (Budiana, 2006).

(3)

2.2 Ancylostoma spp.

2.2.1 Taksonomi

Berdasarkan taksonomi, cacing Ancylostoma spp termasuk dalam kelas Nematoda dan ordo strongylida, secara lengkap sistematika ponggolongan cacing Ancylostoma spp. adalah sebagai berkut. (Soulsby, 1982).

Phylum : Nemathelminthes Klas : Nematoda

Sub Clas : Secernentea Ordo : Strongylida Sub Ordo : Strongylata

Super familia : Ancylostomatoidea Familia : Ancylostomatidae Sub Familia : Ancylostominae Genus : Ancylostoma

Species : Ancylostoma caninum ; Ancylostoma braziliense;

Ancylostoma ceylanicum.

2.2.2. Morfologi

Cacing Ancylostoma spp. dewasa berbentuk silindris seperti kumparan dan berwarna putih keabu-abuan atau kemerah-merahan tergantung banyaknya darah yang dihirap (Soulsby, 1982), Ujung anterior yeng membengkok ke dorsal, dan mempunyai kapsula bukal yang dalam dengan satu sampai tiga pasang gigi ventral pada tepinya dan dua lanset segitiga atau gigi dorsal di dalamnya, vulva cacing betina terletak pada sepertiga posterior tubuh. Cacing jantan mempunyai sepasang spikulum sama besar dan sebuah gubernakulum (Levine. 1994) Esofagus cacing Ancylostoma spp. berupa otot, bentuknya membulat dan usus berbentuk tabung lurus (Soulsby, 1982).

Telur cacing Ancylostoma spp, termasuk tipe strongyloid, yaitu dengan bentuk ujung-ujung yang membulat berbentuk oval, tumpul dengan selapis kulit hyalin tipis dan transparan. Telur berbagai spesies Ancylostoma spp sulit

(4)

dibedakan, perbedaan hanya sedikit dalam ukurannya saja. Sedangkan perbedaan pada berbagai spesies Ancylostoma spp, dapat dilihat terutama pada ukurannya, rongga mulut dan bursanya pada cacing jantan (Subronto, 2006).

2.2.2.1. Ancylostoma caninum

Ancylostoma caninum mempunyai tubuh yang berbentuk silindris memanjang. Panjang cacing dewasa adalah 10 – 16 mm. Jenis cacing ini memiliki tiga lapisan (triploblastik) atau terdiri dari tiga lapis blastula (lapisan ini terbentuk dan berkembang di dalam telur). Cacing nematoda ini merupakan cacing yang mempunyai kapsul buchalis di bagian anterior tubuhnya. Ancylostoma caninum memiliki kapsul buchalis yang berkembang dengan baik dan melengkung secara permanen. Pada kapsul buchalis ini terdapat gigi-gigi ventral atau yang disebut juga lempeng pemotong terdiri dari 3 pasang gigi ventral di tepi anterior dan 1 pasang gigi dorsal berbentuk triangular di dalam rongga yang lebih dalam (Bowman, 2009).Kait atau gigi cacing ini membengkok ke dalam pada ujung posteriornya (Noble, 1989). Panjang esofagus cacing Ancylostoma spp hampir sepertiga dari panjang tubuh cacing tersebut. Bentuk gigi dan panjang esofagus inilah yang sering di pakai sebagai perbandingan dengan cacing genus Uncinaria sp (Samosir, 2008).

Warna cacing Ancylostoma caninum kemerahan atau keabuan, tergantung ada atau tidaknya darah di saluran pencernaan cacing. Telur cacing Ancylostoma caninum berukuran sekitar 60x40 mikron. Telur tipe strongiloid berbentuk oval atau elips, bercangkang tipis dan halus mengandung embrio dengan tahap morula. Telur berisi 2 sampai 8 sel morula yang siap berkembang menjadi larva (Bowman, 2009).

2.2.2.2. Ancylostoma braziliense

Ancylostoma braziliense ini mirip dengan Ancylostoma caninum, tetapi kapsul buchalis memanjang dan berisi dua pasang gigi ventral, yang sebelah lateral besar dan sebelah medial sangat kecil. Ancylostoma braziliense juga terdapat sepasang gigi segitiga di dasar kapsul buchalis. Panjang yang jantan 5 - 8 mm dan berdiameter 190 - 270 mikron, dengan spikulum langsing 700 - 1000 dan

(5)

gubernakulum 70 - 80 mikron. Cacing betina panjangnya 6 - 9 mm dan berdiameter 220 - 230 mikron, dengan telur berukuran 75 - 95 x 41 - 45 mikron. Cacing betina dewasa mengeluarkan 4.000 telur setiap hari dan suhu maksimum yang dibutuhkan untuk perkembangan telur cacing ini lebih tinggi dari pada Ancylostoma caninum (Levine, 1994).

2.2.2.3 Ancylostoma ceylanicum

Ancylostoma ceylanicum mirip sekali dengan Ancylostoma braziliense, tetapi berbeda pada pasangan sebelah dalam dari gigi ventral yang lebih besar dari pada yang dimiliki oleh Ancylostoma braziliense dan juga terdapat perbedaan dari jari-jari bursanya (Levine, 1994).

2.2.3 Siklus Hidup

Siklus hidup cacing Ancylostoma spp. bersifat langsung, tanpa hospes antara (Ilustrasi pada Gambar 2.1). Cacing betina dewasa di dalam usus memproduksi sejumlah besar telur yang dikeluarkan bersama tinja hewan. Seekor cacing betina dewasa dapat mengeluarkan 16.000 telur per hari (Soulsby, 1982). Telur yang dikeluarkan bersama tinja induk semang dalam kondisi lingkungan yang optimum akan segera berkembang menjadi larva stadium pertama yang masih berada dalam telur.

Dalam waktu 12 - 36 jam telur cacing akan menetas dan larva stadium pertama yang berukuran sekitar 275 mikron akan keluar, Larva stadium pertama makanannya adalah sisa-sisa organik dan bakteri yang banyak terdapat pada tinja dan tanah (Georgi and Georgi, 1990). Larva stadium pertama ini akan tumbuh dan melepaskan selubung tubuh (molting) yang kemudian berkembang menjadi larva stadium kedua (Samosir, 2008).

Larva stadium kedua ini mengalami proses makan dan tumbuh seperti stadium pertama dan mempunyai bentuk oesophagus yang filariformis. Beberapa hari kemudian ia kembali memasuki fase lethargi (istirahat) serta ekdisis yang kedua dan menjadi larva stadium ketiga yaitu stadium larva infektif. Larva stadium ini mempunyai oesophagus filariformis, rongga mulutnya menutup,

(6)

bergerak aktif dan hidup dari cadangan makanan yang tampak sebagai granula - granula di dalam tubuhnya (Brotowidjoyo, 1987).

Setelah lebih kurang satu minggu akan terbentuk larva infektif atau stadium ketiga dan siap menginfeksi hewan yang rentan. jika larva stadium ketiga termakan oleh hospes definitif maka larva ini akan berkembang menjadi cacing dewasa. Larva infektif ini mempunyai selubung kutikula ganda yang berfungsi sebagai perlindungan tubuh dari pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan seperti kekeringan. (Samosir, 2008). Kondisi sekitar telur yang kering atau sebaliknya membeku seperti yang biasas terdapat di pegunungan atau di daerah empat musim, akan memperpanjang waktu perkembangan larva atau malah mematikannya. Biasanya faktor-faktor suhu dan kelembaban di suatu daerah menetukan kelangsungan hidup larva dan cacing di daerah tersebut (Levine, 1994).

Berbagai perkembangan terjadi tergantung jalan masuk larva infektif yaitu, 1. Infeksi menembus kulit.

Larva aktif menembus kulit ataupun menembus membran mukosa mulut dan mencapai pembuluh darah kemudian bersama aliran darah menuju jantung dan mengalami migrasi peredaran darah. Kemudian menuju paru-paru dan disana mengalami pergantian kulit (larva 4) dan melalui trakea tertelan sampai di usus menjadi dewasa. Cacing dewasa mengaitkan diri pada mukosa usus halus dan menghisap darah (Brotowidjoyo, 1987).

2. Infeksi trans-mammaria dan intra-uterus

Larva infektif yang memasuki tubuh mengikuti migrasi somatik dan menjadi dorman pada otot-otot yang dicapai. Larva stadium 3 Ancylostoma spp. tinggal dorman di dalam otot bisa bertahan selama 240 hari, dan larva ini menjadi infeksius pada saat laktasi (Noble dan Noble, 1989).

Dalam migrasinya larva dapat mencapai uterus, menembus selaput janin, hingga anak anjing yang baru dilahirkan pun telah mengandung larva di dalam tubuhnya. Larva tersebut dapat juga mencapai kelenjar susu, dan dapat terlarut di dalam air susu, hingga anak anjing yang

(7)

masih menyusu pun dapat terinfeksi melalui air susu yang diminum. Larva stadium ketiga dapat diisolasi dari kelenjar susu induk pada hari ke-20 tidak hanya dapat diisolasi dari kolostrum, akan tetapi sudah sejak dua hari sampai dengan sepuluh hari pascalahir (sampai periode laktasi berakhir) (Subronto, 2006).

3. Infeksi melalui oral.

Larva infektif (stadium 3) tertelan bersama makanan dan minuman. Pada infeksi per oral juga dijumpai sebagian larva infektif akan menembus membran mukosa mulut dan farings selanjutnya bermigrasi mengikuti peredaran darah seperti pada infeksi melalui kulit (Noble dan Noble, 1989).

4. Infeksi melalui hospes paratenik (paratenic host)

Larva yang bermukim di dalam tubuh hewan yang bertindak sebgai hospes paretenik misalnya mencit dapat menginfeksi anjing dan kucing atau spesies lain yang rentan cacing tambang, bila binatang hospes paretenik tersebut termakan. (Subronto, 2006).

(8)

2.2.4 Patogenesis

Cacing dewasa di dalam usus halus penderita akan mengaitkan dirinya pada mukosa usus halus induk semang dan menghisap darah. Cacing tidak tinggal di satu tempat untuk beberapa lama, tetapi cenderung berpindah - pindah mengaitkan dirinya pada mukosa usus di sebelahnya. Dalam satu hari seekor cacing dewasa bisa menghisap darah sekitar 0,01 - 0,08 ml. Cacing juga dapat mengeluarkan zat anti koagulan yang menyebabkan darah tetap mengalir beberapa lama dari tempat cacing mengaitkan dirinya (Levine, 1994). Akibat dari cacing tersebut akan menyebabkan anemia pada induk semang dan nekrosis pada tempat-tempat cacing mengaitkan dirinya. Anemia yang ditimbulkan bersifat mikrositik hipokromik dan terjadi defiisiensi zat besi dan protein, selanjutnya bila infeksi berat terjadi hipoproteinemia yang dapat menyebabkan teriadinya oedema pulmonum. Bekas luka karena kaitan cacing pada membran mukosa usus sering diikuti terjadi infeksi sekunder oleh bakteri, sehingga menimbulkan enteritis yang ditandai dengan diare berdarah dan berlendir (Brotowidjoyo, 1987).

Patogenesa pada manusia dimulai dari telur pada tinja menetas di permukaan tanah dalam waktu 1 hari dan berkembang menjadi larva infektif tahap ketiga setelah sekitar 1 minggu. Larva dapat bertahan hidup selama beberapa bulan jika tidak terkena matahari langsung dan berada dalam lingkungan yang hangat dan lembab. Kemudian jika terjadi kenaikan suhu, maka larva akan mencari pejamunya. Setelah menempel pada manusia, larva merayap di sekitar kulit untuk tempat penetrasi yang sesuai. Akhirnya, larva menembus ke lapisan korneum epidermis. Larva infektif mengeluarkan protease dan hialuronidase agar dapat bermigrasi di kulilt manusia (Heukelbach dan Feldmeier, 2008). Selanjutnya, larva bermigrasi melalui jaringan subkutan membentuk terowongan yang menjalar dari satu tempat ke tempat lainnya (Shulmann et al., 1994 dalam Palgunadi, 2010).

(9)

2.2.5 Gejala Klinis

Gejala klinis yang di perlihatkan adalah diare berdarah, dan jika disertai infeksi sekunder oleh bakteri maka akan teradi diare berdarah bercampur lendir selanjutnya diikuti oleh dehidrasi, lemah, kurus dan anemia, dapat pula disertai oedema dan muntah (Soulsby, 1982; Nugroho dan Wendrato, 1988). Dermatitis dapat terjadi pada infeksi melalui kulit yang disertai dengan infeksi sekunder oleh bakteri, juga dapat ditemukan ulserasi dan ganggrenosa (Dunn, 1978). Bila larva bermigrasi dan diam dalam paru - paru bisa menimbulkan pneumonia hemoragika yang disertai sesak nafas ( Nugroho dan Wendrato, 1988).

2.3 Kerangka Konsep

Kunjungan wisatawan yang datang ke Bali mengalami peningkatan. Tahun 2015, jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali berjumlah 2.992.925 orang selama Januari sampai September atau naik 7,63 persen jika dibandingkan periode sama 2014 hanya 2.780.741 orang (Fanany, 2015). Hal ini tentunya positif bagi perkembangan wisata di Bali sebagai daerah wisata dengan tingkat kebudayaan yang tinggi.

Sejalan dengan itu, populasi anjing di Bali juga terus bertambah. Rhismawati (2015) melaporkan bahwa saat ini populasi anjing di Pulau Dewata yang diprediksi jumlahnya di atas 400 ribu ekor. Sedangkan Ramadhani (2015) melaporkan populasi anjing di Bali diperkirakan hampir mencapai 500 ribu ekor, atau setara dengan seperdelapan total penduduk Bali yang mencapai empat juta jiwa. Ancylostoma spp, merupakan parasit yang sangat penting pada anjing karena cacing ini merupakan cacing penghisap darah dan bersifat zoonosis. Bagi anjing yang mempunyai kebiasaan hidup berkeliaran bebas pada tempat – tempat kotor akan mudah terinfeksi oleh parasit cacing tersebut (Kelly, 1977; Georgi dan Georgi, 1990). Tingginya populasi anjing berkaitan dengan penyebaran penyakit Ancylostoma spp terutama di daerah kawasan wisata karena masih banyak anjing yang berkeliaran di objek – objek wisata menyebabkan meningkatnya kontaminasi lingkungan oleh telur cacing dan larva yang berasal dari feses anjing. Tumpukan feses adalah jalan utama penyebaran infeksi cacing dan dapat ditularkan ke

(10)

manusia yang hidup berdampingan dengan anjing tersebut. Dengan menyebarkanya infeksi parasit yang bersifat zoonosis akan berdampak terhadap ekonomi, ketentraman dan batin masyarakat terutama wisatawan di Bali, sehingga perlu dilakukan pendataan untuk mengetahui prevalensi infeksi cacing Ancylostoma spp. pada anjing di kawasan wisata di Bali.

Faktor cara pemeliharaan sangat berperan terhadap peluang terjadinya infeksi cacing Ancylostoma spp. Bagi anjing yang mempunyai kebiasaan hidup berkeliaran bebas pada tempat –tempat kotor akan mudah terinfeksi oleh parasit cacing tersebut (Kelly, 1997; Georgi dan Georgi, 1990). Faktor yang juga mempengaruhi jalannya infeksi yaitu umur dan jenis kelamin. Umur dan jenis kelamin hewan berpengaruh terhadap beban cacing yang disebabkan oleh pengaruh hormon (Tizard, 1988). Menurut Dubson (1965) bahwa hewan jantan lebih peka terhadap infeksi cacing dibandingkan betina. Sedangkan umur, umumnya hewan-hewan dewasa daya tahan tubuh terhadap infeksi parasit lebih tinggi daripada anjing dewasa (Georgi dan Georgi, 1990). Semua anjing baik ras apapun, pada jenis kelamin apapun atau umur berapapun, dapat terinfeksi oleh cacing. Pada umumnya hewan yang mempunyai resistensi tubuh lebih rendah memiliki peluang terinfeksi penyakit lebih besar (Akhira et al, 2013).

Gambar

Gambar 2.1. Siklus Hidup Ancylostoma spp.

Referensi

Dokumen terkait

Hari ini, F-15 Eagle adalah salah satu dari beberapa pesawat pada yang masih digunakan oleh pasukan AS termasuk Garda Nasional serta Angkatan Udara.. Eagle sering dianggap sebagai

2007 “Perbaikan Kondisi Kerja Dengan Pendekatan Ergonomi Total Menurunkan Keluhan Muskuloskeletal Dan Kelelahan Serta Meningkatkan Produktivitas Dan Penghasilan Perajin

Data untuk mengidentifikasi kesiapan guru mata pelajaran IPS SMP Negeri se-kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara dalam mendukung kurikulum 2013 diungkapkan dengan

Panjang tiap langkah yang dibuat pelari dapat dianggap sebagai jumlah dari tiga jarak yang terpisah : Jarak takeoff (takeoff distance), yaitu jarak horisontal titik berat badan

d) (etode galian tahap satu. Penggalian dilakukan backhoe dan material langsung di dumping ke dumptruck !posisi dumptruck yang optimal di mana sudut s%ing bucket *-+ dera'at),

dianalisis dengan menggunakan analisis SWOT yang digunakan untuk menganalisa situasi perusahaan yang mencakup ancaman, peluang , kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dan

Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang

Aset Tetap adalah Barang Milik Daerah berupa aset berwujud yang memiliki dan/atau dikuasai Pemerintah Daerah yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, mempunyai