• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Penyiaran untuk Mendukung Pembinaan Bahasa Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kebijakan Penyiaran untuk Mendukung Pembinaan Bahasa Indonesia"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

| 129

Kebijakan Penyiaran

Untuk Mendukung Pembinaan Bahasa Indonesia

Broadcasting Policy to Promote

The Enforcement of Good and Proper Bahasa Indonesia

Darmanto

Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BPPKI) Yogyakarta Balitbang SDM Kementerian Komunikasi dan Informatika

Jl. Imogiri Barat Km 5 Yogyakarta

e-mail: darmanto@gmail.com

Naskah diterima: 26-09-2015, direvisi: 04-12-2015, disetujui: 07-12-2015

Abstrak

Penelitian mengenai kebijakan penyiaran ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui wacana Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam Pasal 37-39 Undang-undang Penyiaran 2002. Dengan menggunakan metode analisis wacana model Van Dijk, diketahui bahwa antara elemen struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro tidak ditemukan adanya koherensi. Hal itu menunjukkan bahwa wacana mengenai Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam UU Penyiaran 2002 tidak cukup kuat sehingga berdampak pada sikap para pelaku penyiaran yang lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia yang tidak standar. Oleh karena itu untuk memerkuat upaya pembinaan Bahasa Indonesia melalui media penyiaran radio dan televisi perlu adanya perubahan Pasal 37-39 UU Penyiaran 2002.

Kata kunci: Kebijakan penyiaran, radio, televisi, pembinaan Bahasa Indonesia

Abstract

This research on broadcasting policy is conducted to discover the discourse regarding good and proper Bahasa Indonesia in Article 37-39, the Broadcasting Law No. 32/2002. Using the discourse analysis of Van Dijk, it is found that there are lacks of coherence among thematic, schematic, and semantic aspects. These findings indicate that the discourse regarding good and proper Bahasa Indonesia in the Broadcasting Law is considerably weak so that it affects the broadcasters who primarily use unstandardised Bahasa Indonesia. Therefore, it is necessary to amend Article 37-39 of the Broadcasting Law No. 32/2002 to strengthen the enforcement effort of Bahasa Indonesia through radio and television broadcasting media.

(2)

PENDAHULUAN

Studi mengenai kebijakan penyiaran di Indonesia sudah banyak dilakukan, terutama pascalahirnya UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran 2002). Wahyuni (2006) melakukan studi untuk melihat secara makro kebijakan penyiaran yang diambil pemerintah, mengapa kebijakan itu diambil, dan bagaimana prospek demokratisasi penyi-aran di Indonesia pascaberlakunya UU Penyi-aran 2002. Dua tahun berikutnya, Abrar (2008) melakukan telaah secara menyeluruh atas UU Penyiaran 2002 dengan maksud untuk mengetahui arah kebijakan penyiaran di Indonesia. Kemudian penelitian Primasanti (2009) dimaksudkan untuk mengetahui fak-tor-faktor yang menghambat implementasi sistem penyiaran berjaringan televisi seperti yang diamanatkan oleh UU Penyiaran 2002. Penelitian dengan topik yang sama, tetapi berbeda fokus dilakukan oleh Mardiana (2011).

Demikian pula penelitian tentang penggunaan bahasa dalam media penyiaran sudah banyak dilakukan. Thornborrow mene-mukan adanya hubungan antara media, baha-sa, dan kekuasaan. Menurutnya, media massa acap kali mewacanakan suatu istilah kebaha-saan yang tidak lazim bagi masyarakat, tetapi karena kekuatan dominatifnya maka apa yang diwacanakan tersebut lama kelamaan dapat diterima sebagai hal biasa (Thomas dan Wareing, 2007: 78-104).

Dalam konteks Indonesia, studi me-ngenai bahasa dan media penyiaran, sudah cukup banyak dilakukan meskipun tingkatan-nya sangat mikro. Meiriani (2014) meneliti mengenai opini remaja tentang penggunaan Bahasa Alay dalam iklan di televisi untuk

pro-µlK‰ Œ š}Œ^ oµo Œy>À Œ•]^Ciyus Miapah_ di Desa Bukit Raya Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara. Masitoh (2013) melakukan penelitian untuk mengetahui wujud campur kode bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Jawa pada program acara Jampi Sayah di radio siaran Pop FM Gombong, Jawa Tengah. Puji,

et.al. (2012) meneliti tentang Variasi Bahasa Siaran Para Penyiar Radio Gelombang FM di Bandung pada Acara Permintaan Lagu Indonesia. Pada 2011 Sukoyo meneliti ten-tang interferensi Bahasa Indonesia dalam acara berita berbaZ • : Á ^Kuthane Dhe-we_ ]ds }Œ}budur Semarang. Adapun Roh-madi (2004) meneliti mengenai karakteristik bahasa penyiar radio JPI FM Solo.

Sumber-sumber yang disebutkan di depan menggambarkan bahwa studi yang telah dilakukan pendahulu masih terpisah-pisah antara kebijakan penyiaran pada satu sisi dan di sisi lain fokus pada isu penggunaan bahasa dalam siaran. Studi yang bertitik tolak dari kebijakan penyiaran dikaitkan dengan aspek bahasa sempat disinggung oleh Syar-fina (2014). Ia melihat titik lemah pengaturan aspek kebahasaan dalam UU No.32/2002 ka-rena tidak adanya sanksi bagi yang melanggar. Sebaliknya, menurut Hadi (2003) keberadaan Pasal 37-39 UU Penyiaran sebagai bentuk dukungan yang luar biasa terhadap bahasa Indonesia. Studi yang lain dilakukan oleh Darmanto (2014), tetapi cakupannya sangat mikro, yakni sebatas pelaksanaan kebijakan penyiaran untuk Programa 4 saluran khusus budaya RRI dalam upaya pemertahanan bahasa daerah.

Berdasarkan kajian atas hasil studi terdahulu diketahui bahwa belum ada pihak lain yang melakukan penelitian tentang kebijakan penyiaran sebagaimana tertuang dalam Pasal 37-39 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, khususnya pada Bab IV, Bagian Kedua š vš vP^ Z • ^] Œ v_.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana Bahasa Indone-sia diatur atau diwacanakan di dalam UU Penyiaran 2002. Secara keilmuan, hasil pene-litian ini dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam melihat atau menilai komitmen negara terhadap upaya pembinaan Bahasa Indo-nesia. Adapun secara pragmatis, hasil pene-litian ini dapat menjadi masukan bagi para pe-mangku kepentingan mengenai perlu

(3)

tidak-| 131 nya dilakukan perubahan (amandemen)

kebi-jakan penyiaran terkait dengan eksistensi Bahasa Indonesia.

Dalam penelitian ini, ada dua landasan teori yang digunakan, yaitu teori kebijakan publik dan pembinaan bahasa.

Menurut William N. Dunn, yang dimaksud dengan kebijakan publik (public policy) ialah pola ketergantungan yang kom-pleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling berhubungan, termasuk di dalamnya keputus-an ykeputus-ang dibuat oleh badkeputus-an atau kkeputus-antor Peme-rintah untuk bertindak atau tidak bertindak ketika ada masalah publik yang harus dipe-cahkan (Dunn,2003: 132). Kemudian menurut Friedrick, kebijakan publik adalah serangkaian kebijakan yang diusulkan oleh seseorang, ke-lompok atau pemerintah untuk memanfaat-kan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Nugroho, 2013: 4). Adapun menurut Easton kebijakan publik adalah pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh ang-gota masyarakat (Islamy, 2009: 19). Dapat pula dikatakan bahwa kebijakan publik adalah keputusan politik yang dikembangkan oleh

badan-badan dan pejabat pemerintah

(Agustino, 2012: 8).

Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik ialah keputusan politik yang dibuat oleh badan atau pejabat/administrator negara atau pemerin-tah dan bersifat mengikat guna mengatasi masalah yang timbul di masyarakat. Kebijakan publik senantiasa mengandung sejumlah elemen, yaitu: (1) ada tujuan bersama yang hendak dicapai, (2) terdapat masalah yang dapat menghambat tercapainya tujuan, (3) hanya badan/pejabat negara yang memiliki otoritas untuk membuat kebijakan, dan (4) kebijakan selalu bersifat mengikat.

Menurut Winarno (2008: 22), penye-butan istilah kebijakan sering kali diikuti dengan kata yang mencerminkan pokok per-masalah v Ç vP ] šµŒU • ‰ Œš] ^< ]i l v Luar Negeri Indonesia, Kebijakan Pertanian, Kebii l v l}v}u] /v }v •] _U v o ]vvÇ X

Mengacu pendapat tersebut, yang dimaksud dengan kebijakan penyiaran ialah keputusan politik yang dibuat oleh badan-badan atau pejabat/administrator negara/pemerintah yang bersifat mengikat guna mengatasi per-masalahan yang timbul dalam penyeleng-garaan penyiaran radio/televisi.

Berdasarkan wujud produknya, ada banyak jenis kebijakan publik, yaitu kebijakan yang bersifat formal, konvensi, ucapan peja-bat publik, dan perilaku pejapeja-bat publik. Kebi-jakan yang sifatnya formal terdiri dari: hukum, perundang-undangan, dan regulasi. Hukum bersifat membatasi atau melarang, sedang-kan perundang-undangan dibuat dengan semangat pembangunan bangsa sehingga bersifat mendinamisasi, mengantisipasi, dan memberikan ruang bagi inovasi. Adapun regulasi merupakan bentuk kebijakan formal ketiga yang tujuannya untuk mengatur alokasi aset dan kekuasaan negara oleh pemerintah kepada pihak non pemerintah (Nugroho, 2013 : 8-24). Dilihat dari jenis produknya, kebijakan yang diteliti ini berarti masuk kategori undang-undang.

Landasan teori kedua yang digunakan ialah mengenai pembinaan Bahasa Indonesia. < š ^‰ u ]v v Z • _ •µ Z u vi ] istilah khusus dan telah memasyarakat. Me-nurut Chaer (2013: 80-86) yang dimaksud de-vP v ^‰ u ]v v Z • _ o Z µ‰ Ç • -dar, terencana, dan sistematis mengenai pe-ningkatan mutu bahasa Indonesia dengan ba-ik dan benar sehingga masyarakat pemakai bahasa Indonesia memiliki kebanggaan dan kegairahan untuk menggunakannya. Target sasaran dari kegiatan pembinaan bahasa ada-lah masyarakat.

Ada dua alasan utama perlunya dilaku-kan pembinaan bahasa. Pertama, kemam-puan berbahasa Indonesia pada masyarakat belum memuaskan, bahkan pada masyarakat perdesaan masih ada yang belum bisa berba-hasa Indonesia. Kedua, banyak orang memiliki sikap negatif terhadap Bahasa Indonesia dan lebih bangga menggunakan bahasa asing.

(4)

ada banyak sarana/media yang dapat diman-faatkan. Selain melalui pengajaran di lembaga pendidikan formal maupun non formal, pembinaan bahasa dapat pula dilakukan me-lalui media massa seperti koran, majalah, ra-dio, dan televisi. Pembinaan bahasa melalui lembaga pendidikan memiliki target khalayak khusus, yakni kelompok ajar, sedangkan tar-get khalayak dari kegiatan pembinaan bahasa melalui media massa adalah masyarakat luas. Dengan demikian, target khalayak dari pem-binaan bahasa Indonesia melalui media penyiaran adalah pendengar siaran radio dan pemirsa televisi.

Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksud dengan kebijakan penyiaran untuk mendukung pembinaan Bahasa Indonesia ialah jenis kebijakan formal di bidang penyiar-an ypenyiar-ang di dalamnya berisi ketentupenyiar-an ypenyiar-ang dapat mendorong penggunaan Bahasa Indo-nesia yang baik dan benar dalam penyeleng-garaan siaran radio dan televisi dengan tujuan untuk meningkatkan apresiasi masyarakat ter-hadap Bahasa Indonesia sehingga mereka memiliki kebanggaan untuk menggunakan Bahasa Indonesia.

Pembinaan bahasa dapat dilakukan melalui berbagai cara dan ragam media, tetapi untuk menjangkau target khalayak yang luas pilihan saluran yang paling tepat ialah media massa. Optimalisasi fungsi media mas-sa, khususnya media penyiaran (radio-televisi) dalam mendukung pembinaan baha-sa Indonesia memang baha-sangat dimungkinkan mengingat penyelenggaraan siaran radio/tv menggunakan frekuensi sebagai ranah publik dan jumlahnya terbatas sehingga berlaku me-kanisme kontrol.

Penelitian mengenai kebijakan penyia-ran yang mendukung pembinaan Bahasa In-donesia terasa urgen untuk dilakukan karena beberapa alasan.

Pertama, dalam dua dasa warsa ter-akhir perkembangan media penyiaran di Indo-nesia mengalami perkembangan yang signi-fikan. Secara kuantitatif, jumlah lembaga penyiaran televisi swasta (TVS) mencapai 439

stasiun, televisi publik 11, televisi komunitas 11, dan televisi berlangganan 182 penyeleng-gara. Adapun lembaga penyiaran radio swasta mencapai 1.828 stasiun, radio publik 75 stasiun, dan radio komunitas sebanyak 129. Data tersebut dihitung berdasarkan banyak-nya Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) yang dikeluarkan oleh pihak KPI (Rasyid, 2013: 62).

Kedua, dibanding dengan media massa lain, tingkat penetrasi media radio dan televisi pada masyarakat Indonesia sangat tinggi. Menurut NielsenMedia Reseach, ting-kat penetrasi media penyiaran televisi selama periode 2007-2008 mengalami peningkatan dari 92% menjadi 94%, sedangkan media radio pada periode yang sama meskipun mengalami penurunan dari 43% menjadi 41%, tetapi masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan media cetak. Selama periode yang sama tingkat penetrasi koran menurun dari 23% menjadi 21%, majalah dari 17% turun ke angka 13%, dan tabloid dari angka 17% menjadi 14% (Nugroho, dkk., 2009: 41). Kecenderungan tingginya angka penetrasi media televisi juga tampak dari hasil survei indikator akses dan penggunaan TIK pada Ru-mah Tangga tahun 2014 yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan SDM Kementerian Kominfo. Tingkat kepemi-likan televisi di rumah tangga secara nasional mencapai 87,2% dan radio sebanyak 27,2% (Kemen Kominfo, 2015).

Ketiga, media penyiaran memiliki karakteristik serentak (simultan), jangkauan pancarannya luas, proses penyampaian pesan sangat cepat, mampu menembus ruang pri-vat, menggunakan teknik announcing yang baik, memadukan antara kata, musik, sound

(untuk media radio) dan untuk siaran televisi ditambah dengan visual sehingga pesan yang disampaikan mudah diterima dan mem-pengaruhi khalayak.

Keempat, tingginya penetrasi media penyiaran tersebut tentu ikut berpengaruh terhadap sikap berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Ketika banyak program siaran televisi dan radio yang dalam praktiknya

(5)

| 133 menggunakan bahasa Indonesia yang tidak

standar atau istilah Assegaff (2011:193) disebut bahasa gado-gado, dengan sendirinya pengaruh yang ditimbulkan juga tidak baik. Kalangan anak-anak dan remaja di berbagai wilayah Indonesia kini cenderung kehilangan kemampuan untuk menggunakan secara baik bahasa lokal karena pengaruh siaran radio dan televisi.

Kelima, media penyiaran radio dan televisi yang free to air menggunakan freku-ensi sebagai ranah publik sehingga membu-tuhkan mekanisme perizinan yang ketat. Hal itu memungkinkan upaya peningkatan peran media penyiaran untuk mendukung pembina-an Bahasa Indonesia dapat dilakukpembina-an melalui penerapan regulasi yang tepat. Regulasi yang baik mestinya dapat ^u u l• _ o ubaga penyiaran untuk mendukung pembinaan Bahasa Indonesia. Kalau selama ini penye-lenggaraan siaran radio dan televisi terkesan kurang peduli pada penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, hal itu disebabkan oleh regulasi yang ada memang tidak mampu memaksa mereka.

METODE

Salah satu problem dalam penelitian kebijakan ialah tidak dimilikinya metode ter-sendiri sehingga banyak meminjam metode dari ilmu lain. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan meminjam dari linguistik dan ilmu komunikasi, yaitu analisis wacana. Pilihan metode ini didasarkan pada jenis obyek yang diteliti berupa teks seperti halnya yang menjadi basis bangunan teori analisis wacana.

Adapun objek yang diteliti ialah pro-duk kebijakan penyiaran yang bersifat formal berupa UU Penyiaran 2002. Mengingat caku-pan isi Undang-undang sangat luas, maka riset ini memfokuskan pada Bab IV tentang ^W o l• v v ^] Œ v_U dan lebih khusus pada P] v < µ š vš vP ^ Z • ^] Œ v_ Ç vP terdiri dari Pasal 37-39.

Penentuan obyek didasarkan pada tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui bagaimana Bahasa Indonesia diatur atau diwacanakan di dalam UU Penyiaran 2002. Untuk membedah obyek penelitian tersebut digunakan metode analisis wacana model Van Dijk. Dalam pandangan Van Dijk, setiap teks tidak lahir di ruang hampa, tetapi merupakan representasi dari kognisi sosial dan struktur atau konteks sosial yang ada. Oleh karena itu, setiap wacana yang muncul, di dalamnya mengandung tiga dimensi, yaitu teks itu sendiri, kognisi sosial, dan konteks sosial (Eriyanto, 2005: 221-224). Kerangka pikir seperti itu sangat membantu jika digunakan untuk menganalisis teks kebijakan publik. Sebab, setiap kebijakan (teks) yang dibuat oleh pejabat publik pasti tidak dapat dilepas dari pengaruh kognisi sosial dan konteks sosial yang melingkupinya.

Melalui analisis wacana model Van Dijk, teks kebijakan yang menjadi fokus pene-litian dapat diketahui struktur makro atau makna globalnya, superstruktur (kerangka teks), dan struktur mikro atau makna lokal yang terkandung dalam teks kebijakan yang diteliti (Ibid.h.225-229).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dunia penyiaran radio dan televisi erat kaitannya dengan penggunaan bahasa. Salah satu masalah yang dihadapi terkait dengan isu tersebut ialah banyaknya praktik penyiaran yang menggunakan Bahasa Indonesia yang tidak standar. Namun, karena kekuatan media penyiaran dalam mempengaruhi publik sangat besar, maka praktik penggunaan baha-sa yang tidak standar dianggap sebagai suatu kelaziman dan pada akhirnya dianggap benar dan menjadi praktik kehidupan berbahasa di kalangan masyarakat luas (Thomas dan Wareing, 2007; Assegaff, 2011).

Sehubungan hal tersebut maka keha-diran peraturan perundangan yang tepat akan sangat membantu optimalisasi peran media

(6)

penyiaran dalam mendukung pembinaan Bahasa Indonesia. Produk kebijakan yang ada saat ini sebenarnya telah diarahkan untuk memberikan dukungan penguatan bagi pem-binaan Bahasa Indonesia. Untuk diketahui, selain UU No. 32/2002 terdapat sejumlah dokumen kebijakan penyiaran yang memuat ketentuan mengenai penggunaan bahasa siaran di radio dan televisi. Berdasarkan hasil studi pendahuluan, selain UU Penyiaran 2002 terdapat tiga jenis kebijakan formal dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur mengenai penggunaan bahasa siaran radio dan televisi, yaitu PP No.11, No. 50 dan No.51 yang ketiganya terbit tahun -2005. Di samping itu kebijakan lain yang me-muat ketentuan mengenai penggunaan baha-sa siaran, ialah Peraturan KPI No. 1 tahun 2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Peraturan KPI No. 2 Tahun 2012 tentang Standar Program Siaran.

Namun, pada kenyataannya kebijakan yang ada belum mampu memecahkan per-soalan Bahasa Indonesia di media penyiaran. Praktik penggunaan Bahasa Indonesia yang tidak standar masih terjadi dalam siaran radio dan televisi kita. Bahkan ada kecenderungan intensitas penggunaan bahasa Indonesia yang tidak standar semakin banyak terjadi. Hipote-sis sementara, hal itu terjadi karena kebijakan

Ç vP lµŒ vP u u]o]l] l lµ š v ^u u l

-• _l ‰ ‰ Œ ‰ o lµ •] Œ v µvšµl u vP

gu-nakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Apakah benar demikian? Untuk menemukan jawabannya, diperlukan analisis tentang isi teks kebijakan yang bersangkutan, yaitu Pasal 37-39 UU Penyiaran 2002.

Sesuai dengan tujuan penelitian untuk mengetahui bagaimana UU Penyiaran 2002 mengatur penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam penyiaran radio/tele-visi, maka dilakukan analisis kritis terhadap teks Pasal 37-39 UU Penyiaran 2002. Metode yang digunakan ialah analisis wacana model Van Dijk. Dalam analisis wacana, pendekatan yang digunakan bersifat kritis sehingga akan dapat mengungkap makna yang sebenarnya

atau makna yang ada di balik teks.

Menurut perspektif analisis wacana model Van Dijk, suatu Kebijakan dapat dikata-kan baik apabila terdapat koherensi antara tiga elemen, yaitu struktur makro, superstruk-tur, dan struktur mikro. Untuk itu berikut akan dilakukan telaah dari masing-masing elemen. Struktur Makro

Menurut Van Dijk, setiap teks terdiri dari beberapa tingkatan/struktur yang saling melengkapi, yaitu struktur makro, super-struktur, dan struktur mikro. Struktur makro memperlihatkan tema/topik yang dibahas dalam suatu teks. Topik menunjukkan konsep dominan, sentral, dan yang dianggap paling penting (Eriyanto.loc.cit). Struktur makro dari suatu teks dapat diketahui setelah membaca seluruh bagian dari teks yang diteliti.

Jika dalam analisis wacana atas teks berita media massa topik dapat diidentifikasi berdasarkan judul dan lead berita (Eriyanto, 2005: 232), cara tersebut tidak serta merta dapat diterapkan dalam analisis teks kebija-kan. Sebab dalam teks kebijakan tidak ada yang disebut dengan lead dan judul secara spesifik. Dalam teks undang-undang, sub-sub tema dari permasalahan utama yang mem-bentuk tematik dinyatakan melalui tahapan

Œµ‰ ^ U P] vU‰ • oU v Ç š_X d]vP

-l š v^ _ lam undang-undang

dimaksud-kan untuk mengerangkai pengaturan bebe-rapa sub permasalahan yang masih dalam satu kelompok (cluster) dan memiliki hubungan erat antara bagian satu dengan o ]vvÇ X < uµ ] v o À o ^ P] v_ u vP šµŒ satu sub permasalahan yang lebih spesifik. Pengaturannya bisa saja dalam satu pasal, tetapi bisa juga lebih dari satu pasal. Dengan demikian struktur makro dalam konteks pene-litian ini dapat diidentifikasi berdasarkan judul bab, judul bagian, bunyi pasal demi pasal, dan ayat demi ayat.

Dalam teks UU No. 32/2002, kebijakan mengenai aspek kebahasaan diatur dalam

/s u vP v ] ^W o l• v v ^] Œ v_X ini terdiri dari 9 bagian, dan pada bagian

(7)

| 135 kedua diatur tentang ^ Z • ^] Œ v_X P] v

kedua ini terdiri dari tiga pasal (37-39) dan enam ayat yang selengkapnya dapat dilihat pada Tabel mengenai Ketentuan Pengaturan Pasal 37-39 UU Penyiaran 2002.

Tabel. Ketentuan Pengaturan Pasal 37-39 UU Penyiaran 2002

Pasal Ayat Bunyi Pengaturan

37 Bahasa pengantar utama dalam penyelenggaraan program siaran harus Bahasa Indonesia yang baik dan benar

38 (1) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam penyelenggaraan program siaran muatan lokal dan, apabila diperlukan, untuk mendukung mata acara tertentu

(2) Bahasa asing hanya dapat digu-nakan sebagai bahasa pengantar sesuai dengan keperluan suatu mata acara siaran.

39 (1) Mata acara siaran berbahasa asing dapat disiarkan dalam bahasa aslinya dan khusus untuk jasa penyiaran televisi harus diberi teks Bahasa Indonesia atau secara selektif disulihsuarakan ke dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan keperluan mata acara tertentu. (2) Sulih suara bahasa asing ke dalam

Bahasa Indonesia dibatasi paling banyak 30% (tiga puluh per seratus) dari jumlah mata acara berbahasa asing yang disiarkan (3) Bahasa isyarat dapat digunakan

dalam mata acara tertentu untuk khalayak tunarungu.

Di antara Pasal 37 t 39 muncul frase, ^ hasa Indonesia_ • vÇ l š]P l o]Uš š ‰] keberadaannya tidak koheren. Frase ^ Z •

/v }v •] _Ç vP uµv µo o uBagian Kedua

tersebut masing-masing memiliki konteks tersendiri. Dari tiga pasal yang ada di bagian kedua terlihat sangat jelas bahwa tema yang tampak paling menonjol ialah mengenai penggunaan bahasa siaran dalam arti luas, jadi tidak terbatas pada pengaturan mengenai Bahasa Indonesia. Dalam tiga pasal tersebut pengaturan bahasa siaran mencakup peng-gunaan Bahasa Indonesia, bahasa daerah,

bahasa asing, dan bahasa isyarat pada siaran televisi. Dengan demikian, dilihat dari elemen struktur makro, wacana mengenai pembina-an Bahasa Indonesia melalui media penyiarpembina-an tidak cukup kuat atau kurang menonjol. Superstruktur

Elemen kedua dalam analisis wacana menurut Van Dijk ialah superstruktur, yaitu kerangka atau alur penyajian suatu teks sehingga membentuk bangunan narasi yang utuh. Superstruktur berkaitan erat dengan skematik, yakni alur atau skema cerita yang merupakan rangkaian dari bagian per bagian sehingga membentuk cerita/wacana yang se-penuhnya menghadirkan pesan atau wacana tersendiri (Eriyanto, 2005: 226-228).

Dalam teks berita, elemen super-struktur dapat diidentifikasi pada setiap item-/judul, tentu tidak demikian halnya dengan teks kebijakan berupa undang-undang. Superstruktur tidak cukup hanya dilihat dari level bab, bagian, maupun pasal dan ayat yang bersangkutan. Untuk melihat aspek superstruktur, jika perlu harus dilihat dari level konsideran (menimbang) yang pada umumnya berisi landasan filosofis, sosiologis, yuridis, dan politik. Selain itu dapat pula dilihat dari bagian ketentuan umum, asas, tujuan, fungsi, dan arah suatu kebijakan; kemudian dilihat dari level bab/bagian yang mempunyai keterkaitan langsung dengan tema yang bersangkutan sampai dengan bagian penutup.

Dalam penelitian ini, elemen super-struktur pertama-tama dilihat dari o À o^ U P] vU‰ • oU v Ç š_yang secara eksplisit mengatur ketentutan mengenai kebahasaan dalam siaran radio dan televisi, yaitu pasal 37-39 yang seluruhnya terdiri dari 6 ayat. Setelah itu dilihat pada level konsideran, ketentuan umum (Pasal 1) , asas (Pasal 2), tujuan (Pasal 3), fungsi (Pasal 4), dan arah penyiaran (Pasal 5).

Langkah ini dimaksudkan untuk me-ngetahui konteks kebijakan yang termuat dalam Pasal 37-39 tersebut memang sejak

(8)

awal sudah menjadi pertimbangan utama atau tidak sehingga perlu diatur dengan pasal tersendiri. Ketika alurnya dibangun sejak bagian konsideran, lalu tertuang di bagian ketentuan umum, selanjutnya disebutkan di bagian asas, tujuan, fungsi dan arah; baru kemudian tertuang pada pasal yang ber-sangkutan, hal itu menunjukkan adanya konstruksi yang kuat pada aspek super-struktur. Apalagi jika pengaturan pada pasal tersebut ditindaklanjuti dengan ketentuan sanksi administrasi maupun ketentuan pida-na, hal itu menunjukkan kuatnya superstruk-tur. Sebaliknya, ketika suatu isu tidak masuk dalam bagian konsideran, ketentuan umum, asas, tujuan, fungsi, dan arah penyiaran, hal itu mengindikasikan lemahnya aspek super-struktur yang berarti isunya tidak dianggap krusial. Begitu juga ketika pasal yang bersang-kutan tidak disertai pengaturan lebih lanjut pada bagian sanksi administrasi dan bagian ketentuan pidana, hal itu berarti tidak memiliki superstruktur yang kuat.

Bertitik tolak dari kerangka pikir seperti itu, untuk mengetahui superstruktur teks kebijakan penyiaran dalam mendukung pembinaan Bahasa Indonesia dilakukan pene-lusuran pada bagian konsideran. Hasilnya menunjukkan bahwa pada bagian itu tidak ditemukan kalimat atau pun frase yang secara eksplisit menggambarkan adanya komitmen negara dalam mendukung pembinaan Bahasa Indonesia melalui institusi penyiaran radio dan televisi.

u]l] v ‰µo ‰ P] v ^l š v

-tuan uuµu_, yakni Pasal 1 yang terdiri dari 14 ayat, di dalamnya tidak ada wacana mengenai penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kecenderungan yang sama ditemukan pada bagian asas (Pasal 2), tujuan (Pasal 3), fungsi (Pasal 4), dan arah penyiaran (Pasal 5). Di pasal-pasal tersebut tidak ditemukan kalimat atau pun frase yang secara eksplisit menyatakan dukungannya terhadap upaya pembinaan Bahasa Indonesia melalui lem-baga penyiaran.

Dengan demikian, aspek superstruktur

terkait dengan dukungan pembinaan Bahasa Indonesia melalui media penyiaran hanya di-temukan pada Pasal 37-39, dan lebih khusus lagi hanya ada di Pasal 37 dan 39. Pasal 38 ter-nyata tidak mewacanakan mengenai Bahasa Indonesia, melainkan pengaturan dalam hal penggunaan bahasa daerah dan bahasa asing. Untuk mengetahui aspek skematik mengenai wacana penggunaan Bahasa Indo-nesia yang baik dan benar, selanjutnya dilaku-kan pelacadilaku-kan pada Bab VIII Pasal 55 tentang ^• vl•] u]v]•šŒ š](_XPasal ini terdiri dari tiga ayat. Ayat (1) mengidentifikasi pasal-pasal dan ayat dalam UU No.32/2002 yang ketika dilanggar layak untuk dijatuhi sanksi trasi. Ayat (2) mengatur jenis sanksi adminis-trasi yang dapat diberikan, dan ayat (3) me-ngatur tata cara menjatuhkan sanksi adminis-šŒ •]Xd Œl ]š vP v^ Z • ^] Œ v,_ternyata yang disebut pada Pasal 55 hanya Pasal 39 ayat (1) yang berbunyi:

^D š Œ •] Œ v Œ Z • •]vP ‰ š

disiarkan dalam bahasa aslinya dan khusus untuk jasa penyiaran televisi harus diberi teks Bahasa Indonesia atau secara selektif disulihsuarakan ke dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan keperluan mata acara

š Œš všµ_X

Ketentuan Pasal 55 tersebut mengan-dung makna, bahwa pelanggaran atas Pasal 37 tidak masuk kategori yang layak dijatuhi sanksi. Hal itu berarti kalau para broadcaster

radio dan televisi tidak menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak akan mendapat resiko apa-apa, mereka tidak akan menerima sanksi apa pun dari pihak mana pun. Ketentuan sanksi administrasi hanya diberikan pada yang melanggar ketentuan pada Pasal 39 ayat (1).

Guna mendapatkan gambaran yang le-bih komprehensif mengenai superstruktur teks Pasal 37-39 UU Penyiaran 2002, dilaku-kan pelacadilaku-kan pada Bab X Pasal 57 mengenai ^< š všµ v W] v _X Bab ini mengidentifikasi pasal-pasal dalam UU Penyiaran yang jika dilanggar dapat dikenai ketentuan pidana

(9)

| 137 dengan ancaman penjara atau pun denda

yang jika diterapkan secara maksimal dapat menimbulkan efek jera bagi pihak pelaku sehingga dapat efektif.

Berdasarkan pengamatan atas keselu-ruhan isi teks Pasal 57, ternyata tidak ditemu-kan adanya penyebutan atas pasal 37-39. Hal ini menegaskan bahwa dari aspek superstruk-tur pewacanaan mengenai penggunaan Baha-sa Indonesia yang baik dan benar melalui siaran radio/televisi kita ternyata tidak cukup kuat. Dilihat dari prinsip demokrasi, memang dapat dikatakan berlebihan jika aspek kedisi-plinan berbahasa Indonesia secara baik dan benar pun sampai diatur dalam ketentuan pidana. Namun, dalam konteks analisis waca-na ketika sebuah aturan ketentuan yang ter-tuang dalam suatu pasal hanya berdiri sendiri, tidak memiliki jalinan skematik yang erat atau koherensi dengan pasal-pasal lain; apalagi dengan pasal u vP v ] ^l š všµ v ‰] v _ yang dianggap menentukan kuat tidaknya sebuah ketentuan, hal itu menunjukkan lemahnya aspek superstruktur. Tidak adanya koherensi dari aspek superstruktur menun-jukkan bahwa permasalahan yang dimaksud dianggap bukan prioritas sehingga pene-gakannya cukup dilakukan melalui himbauan.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dilihat dari elemen super-struktur, pewacanaan mengenai penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam siaran radio/televisi di Indonesia tidak cukup kuat.

Struktur Mikro

Dalam analisis wacana berbasis berita pada media massa, bagian ini disebut sebagai makna lokal dan dapat dilihat dari unsur-unsur yang merangkaikan suatu teks untuk menonjolkan makna tertentu yang ingin disampaikan (Eriyanto, op.cit.h.226-229). Un-sur-unsur pembentuk makna tersebut bisa berupa pilihan kata, frase, kalimat, gaya penulisan, gambar, grafis, dan tipografi. Proses penonjolan makna bisa juga dilakukan melalui penggambaran yang detail dan

penyampaian latar dari suatu peristiwa. Persoalannnya, unsur-unsur yang da-pat memberikan gambaran lebih detail dan memperkuat penonjolan makna dari suatu teks berita tidak selalu ditemukan dalam ke-bijakan yang pada umumnya disusun dengan menggunakan bahasa baku dan normatif sehingga pilihan diksinya sangat terbatas. Dalam teks undang-undang Penyiaran 2002 tidak ditemukan unsur atau elemen gambar atau grafis sehingga semua gagasan, pemikir-an, dan pesan yang ingin disampaikan selu-ruhnya menggunakan kata-kata (wording).

Dengan adanya keterbatasan elemen penyampai pesan, maka untuk mengetahui struktur mikro dalam penelitian ini, dilakukan dengan menelisik keberadaan pilihan kata menonjol atau memiliki diksi kuat yang terdapat pada Pasal 37-39. Di antara tiga pasal tersebut ternyata hanya Pasal 37 yang secara eksplisit menyatakan dukungan kuat terhadap upaya pembinaan Bahasa Indonesia melalui media penyiaran. Pasal 37 tersebut seleng-kapnya berbunyi:

^ Z • ‰ vP vš Œ µš u o u ‰ vÇ

-lenggaraan program siaran harus Bahasa Indonesia Ç vP ]l v v Œ_X

Dalam pasal 37 terkandung pesan eksplisit bahwa semua lembaga penyiaran

Z Œµ• u vPPµv l v^ Z • /v }v •] yang

]l v v Œ_ • P ] Z • ‰ vP vš Œ

utama dalam siaran. Dalam percakapan se-hari-hari pengguv v l š ^Z Œµ•_ dimaksud-kan untuk memberidimaksud-kan penedimaksud-kanan tertentu.

D •l]‰µv u]l] vUl š ^Z Œµ•_š] l u u]

-liki konsekuensi serius bagi pihak yang me-langgar dibandingl v vP v l š ^Á i] _X Penegakan aturan yang di dalamnya menggu-v l menggu-v l š ^Z Œµ•_lebih banyak mengandal-kan himbauan secara terus menerus, lebih bersifat etik sehingga keputusan melaksana-kannya atau tidak tergantung pada sensitivi-tas pelaku. Namun, ketika menggunakan kata ^Á i] _U maka rumusan sanksi bagi pihak yang melanggar biasanya eksplisit dan terukur.

(10)

Bunyi Pasal 37, memberikan kesan bahwa struktur mikro dari teks kebijakan tersebut cukup kuat dalam memberikan dukungan terhadap upaya pembinaan Bahasa Indonesia. Akan tetapi, ketika pengamatan dilanjutkan pada dua pasal berikutnya, yaitu Pasal 38 dan 39 diperoleh hasil bahwa ternyata tidak ditemukan elemen kata atau pun unsur lainnya yang menguatkan hipotesis bahwa UU Penyiaran 2002 memiliki dukungan kuat terhadap upaya pembinaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Selain pilihan kata, frase, kalimat, gaya penulisan, gambar, grafis, dan tipografi; struktur mikro dari suatu teks dapat diketahui berdasarkan latar dari lahirnya teks itu sendiri. Menurut Rani, dkk (2004: 192-193) salah satu faktor penting yang menentukan karakteristik sebuah wacana ialah latar peristiwa yang dapat berupa tempat, keadaan psikologis, partisipan, atau semua hal yang melatari lahirnya sebuah wacana.

Dilihat dari aspek latar atau lingkungan sosial yang mempengaruhi lahirnya teks berita media dengan teks undang-undang memang berbeda. Teks berita media lahir dari lingkungan profesional dengan tujuan mena-rik perhatian khalayak agar mau membaca/ mendengar/melihat dan waktu produksinya terus menerus (rutin). Lingkungan dan sistem kerja media sangat berpengaruh terhadap karakteristik teks berita yang diproduksi. Sebagaimana dikatakan oleh Shoemaker dan Reese (1991: 155) ada lima faktor yang mempengaruhi karakteristik teks berita, yaitu: faktor individu jurnalis, rutinitas kerja, organisasi media, kekuatan eksternal media, dan ideologi yang dianut media itu sendiri.

Lingkungan yang berbeda dan proses kerja yang tidak sama menyebabkan karak-teristik teks yang dihasilkan oleh institusi media sangat berbeda dengan teks yang diproduksi institusi politik dalam bentuk Undang-undang. Teks media lebih mencer-minkan hasil kerja profesionalisme suatu tim (jurnalis) dalam merekonstruksi peristwa sosial, sedangkan teks undang-undang lebih

mencerminkan hasil negosiasi berbagai ke-pentingan politik. Susunan teks undang-undang tidak sepenuhnya mencerminkan pemikiran orang per orang yang menyusun, tetapi lebih menggambarkan hasil kesepaka-tan politik yang dapat dicapai oleh para anggota legislatif yang terlibat dalam proses lahirnya UU tersebut. Sebagaimana diuraikan oleh Masduki (2007: 113-187), proses lahir-nya UU Penyiaran 2002 berlangsung selama dua tahun dan diliputi oleh suasana kontro-versi, tarik menarik kepentingan yang meli-batkan berbagai aktor baik dari kalangan politisi (DPR RI), Pemerintah, praktisi media, pelaku usaha industri penyiaran, akademisi, pengamat, masyarakat sipil, dan lainnya.

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa ditinjau dari elemen struktur mikro Pasal 37-39 UU Penyiaran 2002 belum mem-perlihatkan dukungan kuat terhadap upaya pembinaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam teks tersebut isu kebahasaan mengandung cakupan yang luas meliputi Bahasa Indonesia, bahasa daerah, bahasa asing, dan bahkan bahasa isyarat. Jadi tidak terarah secara khusus pada dukungan ter-hadap pembinaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Tidak Koheren

Berdasarkan hasil analisis wacana yang dilakukan dengan menggunakan model Van Dijk, ditemukan bahwa ketiga elemen yang membentuk wacana, yaitu struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro dari teks kebijakan penyiaran yang dimuat dalam Bagian Kedua, Bab IV, UU Penyiaran 2002 ti-dak terlihat adanya koherensi. Masing-masing elemen seolah berdiri sendiri dan tidak saling menguatkan pesan. Hal itu menunjukkan bahwa permasalahan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar melalui media penyiaran tidak diwacanakan secara kuat dalam UU Penyiaran 2002. Upaya pembinaan Bahasa Indonesia tidak menjadi tema menon-jol dalam Pasal 37-39. Demikian pula penyu-sunan alur atau skema teks yang ada juga

(11)

| 139 terlihat tidak padu atau tidak koheren. Pesan

mengenai keharusan untuk menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai bahasa pengantar utama siaran ternyata hanya muncul dalam pasal tersendiri tanpa memiliki kaitan alur dengan pasal lainnya sehingga posisinya sangat lemah.

Dilihat dari elemen struktur mikro, pesan yang ditonjolkan dalam Pasal 37-39 UU Penyiaran 2002 ternyata tidak hanya diarah-kan untuk mendukung pembinaan Bahasa Indonesia, tetapi juga mengenai penggunaan bahasa siaran dalam arti luas yang meliputi Bahasa Indonesia, bahasa daerah, bahasa asing, dan bahasa isyarat untuk siaran televisi. Dengan kata lain, dilihat dari struktur mikro, pewacanaan mengenai pembinaan Bahasa Indonesia dalam UU Penyiaran 2002 dapat dikatakan lemah sehingga wajar kalau tidak memiliki dampak yang kuat.

Urgensi Perubahan Kebijakan

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa UU Penyiaran 2002 ternyata belum cukup kuat dalam mendukung upaya pembinaan Bahasa Indonesia melalui media penyiaran. Hal itu sangat berpengaruh pada tingkat penerapan. Ketika pewacanaannya cenderung lemah, respon para pelaku siaran juga tidak besar dan tingkat kepatuhan mereka pada umumnya juga rendah. Dengan demikian, selama wacana penggunaan Baha-sa Indonesia yang baik dan benar dalam UU Penyiaran tidak mengalami perubahan dari keadaan yang sekarang, amat sulit berharap adanya perbaikan nasib Bahasa Indonesia dalam siaran radio dan televisi kita. Karena-nya, untuk meningkatkan peran media penyi-aran dalam pembinaan Bahasa Indonesia, mutlak perlu adanya perubahan kebijakan penyiaran.

Menurut Anderson, ada tiga jenis perubahan kebijakan. Pertama, perubahan kebijakan yang bersifat inkremental atau

tambal sulam, yaitu menyempurnakan kebi-jakan yang sudah ada dengan cara

menam-bahi bagian-bagian yang kurang dan meng-hilangkan atau memperbaiki bagian yang dianggap tidak relevan lagi dengan perkem-bangan lingkungan sosial. Kedua, membuat undang-undang baru untuk mengatur hal-hal yang sifatnya khusus. Ketiga, perubahan secara besar-besaran karena adanya pergan-tian rezim dan biasanya dilaksanakan pasca-pemilu (Winarno, 2014: 250-252).

Mengacu pendapat Anderson terse-but, dan melihat kondisi riil perpolitikan di Indonesia saat ini, jenis perubahan kebijakan yang perlu didorong ialah pilihan kedua, yakni membuat undang-undang baru. Mengapa? Sebab, pada tahun 2015, DPR RI telah mene-tapkan RUU Penyiaran untuk menggantikan UU No.32/2002 dan RUU RTRI sebagai skala prioritas Prolegnas (Program Legislasi Nasi-onal). Dimasukkannya RUU Penyiaran dan RUU RTRI ke dalam skala prioritas Prolegnas 2015 membuka peluang untuk mendesakkan usulan perlunya penguatan wacana tentang pembinaan Bahasa Indonesia di dalam UU Penyiaran. Oleh karena itu semua pihak yang peduli terhadap pembinaan Bahasa Indonesia perlu mencurahkan perhatiannya secara intens terhadap proses pembahasan RUU Penyiaran maupun RUU RTRI agar dapat memasukkan isu pembinaan Bahasa Indo-nesia ke dalam undang-undang yang baru dengan tingkat pewacanaan yang kuat. Sehu-bungan dengan itu, para pemangku kepenti-ngan dan masyarakat sipil perlu melakukan pengorganisasian secara baik untuk memper-juangkan aspirasi tersebut.

PENUTUP

Penelitian kebijakan penyiaran ini dila-kukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana Bahasa Indonesia diatur atau diwacanakan di dalam UU Penyiaran 2002. Melalui penelitian ini diharapkan dapat me-nemukan jawaban, mengapa praktik penyiar-an radio dpenyiar-an televisi kita didominasi oleh penggunaan Bahasa Indonesia yang tidak

(12)

standar, bukan Bahasa Indonesai yang baik dan benar.

Penelitian dilakukan dengan pendeka-tan kualitatif dan menggunakan metode analisis isi wacana model Van Dijk. Menurut Van Dijk, suatu teks dapat dianggap memiliki wacana yang kuat apabila terdapat koherensi antara tiga elemen yang membentuknya, yaitu struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro.

Berdasarkan hasil analisis wacana model Van Dijk, pewacanaan Bahasa Indone-sia yang baik dan benar dalam UU Penyiaran ternyata tidak begitu kuat, bahkan cenderung lemah. Hal itu terbukti dengan tidak adanya koherensi antara elemen struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro dari teks yang bersangkutan. Hal itu berpengaruh terhadap sikap para pelaku penyiaran yang justru lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia yang tidak standar. Padahal seha-rusnya mereka lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar agar dapat menjadi anutan bagi masyarakat.

Bertitik tolak dari temuan tersebut, maka untuk mendukung pembinaan Bahasa Indonesia melalui media penyiaran (radio dan televisi) perlu dilakukan perubahan atau amandemen atas Pasal 37-39 UU Penyiaran 2002. Perubahan kebijakan tersebut dapat dilakukan dengan cara membuat undang-undang penyiaran baru yang kini memperoleh momentum dengan ditetapkannya RUU Penyiaran untuk menggantikan UU Penyiaran 2002 dan RUU RTRI sebagai prioritas dalam Prolegnas 2015 DPR RI periode 2014-2019.

DAFTAR PUSTAKA

Abrar, Ana Nadya. Kebijakan Komunikasi: Konsep, Hakekat dan Praktek, Yogyakarta: Gava Media, 2008.

•• P ((U i ( Œ,X ^ Z • <}Œ vUZ ]}U vd o

-visi Perlu Pembenahan MenyeluεZ_, da-lam Hasan Alwi dan Dendy Sugono (Edi-tor). Politik Bahasa: Risalah Seminar

Poli-tik Bahasa. Jakarta: Badan Pengemba-ngan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011. Chaer, Abdul. Pembinaan Bahasa Indonesia.

Ja-karta: PT Rineka Cipta, 2013

Darmanto. _WŒ} o u š]l W o l• v v< ]i l v

Penyiaran Programa 4 RRI untuk

Pemer-tahav v Z • Œ Z_X Jurnal

Widya-parwa, Vol. 42, Nomor 1, Juni (2014): 75-87.

Dunn, William N. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Terjemahan Samodra Wibawa, dkk, cetakan kedua), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003.

Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: LKIS, 2005

, ]U Œv]X ^W Œ vD ] D •• o lšŒ}v]l o u

Meningkatkan Mutu Penggunaan Bahasa Indonesia ] Œ Z (}Œu •]_X Dalam Yeyen Maryani dan S.R.H. Sitanggang (Penyun-ting Penyelia). Pemberdayaan Bahasa Indonesia Memperkukuh Budaya Bangsa dalam Era Globalisasi (Risalah Kongres Bahasa Nasional VIII). Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebuda-yaan, 2011.

Islamy, M. Irfan. Prinsip-prinsip Perumusan Kebija-kan Publik. Jakarta: Bumi Aksara, 2009. Mardiana, Lisa. Ekonomi Politik Regulasi

(Imple-mentasi Kebijakan Sistem Stasiun Jari-ngan), Semarang: Universitas Dian Nus-wantoro, Laporan Penelitian, 2011. Diak-ses 5 Oktober 2015. ttp: dinus.ac.id/wbsc-/assets/dokumen/prosiding/punya_lisa. Masduki. Regulasi Penyiaran dari Otoriter ke

Liberal, Yogyakarta: LkiS, 2007.

D •]š}ZU^]š]X ^ u‰µŒ<} Z • /v }v •] ke

dalam Bahasa Jawa pada Siaran Radio

Jampi Sayah di Radio SKB Pop FM

Gom-}vP_. Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa, Vol. 03, No. 01, November (2013): 28-33

Meiriani, vv]• X ^K‰]v]Z u i š vš vPW vPPµ -naan Bahasa Alay dalam Iklan di Televisi (Studi Deskriptif pada Iklan Operator

Selu-o Œy>À Œ•]^ ]ǵ•D] ‰ Z_ ] • µl]š

Raya Tenggarong Seberang, Kutai

Kartane-P Œ •_XeJournal Ilmu Komunikasi, 2014, 2 (2). Diakses 5 Oktober 2015. http://ejour-nal.ilkom.fisip-unmul.ac.id

(13)

| 141 Nugroho, Bimo, dkk. Laporan Tahunan 2008.

Jakarta: Komisi Penyiaran Indonesia Lembaga Negara Independen, 2009. Nugroho, Riant. Metode Penelitian Kebijakan.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

Nugroho, Riant. Public Policy, Jakarta: PT Elex Media Kompasindo-Kompas Gramedia, 2012.

WŒ]u • vš]U <X X ^^šµ ] l•‰o}Œ •] ^]•š u^] Œ v

Tel À]•] Œi Œ]vP v ] /v }v •] _U Jurnal

Scriptura, Vol. 3, No. 1, Januari (2009): 85 - 102

Puji, Ika Rahma; Pangesti Wiedarti; Joko Santoso.

Variasi Bahasa Siaran Para Penyiar Radio Gelombang FM di Bandung pada Acara Permintaan Lagu Indonesia. Yogyakarta: UNY, 2012. Skripsi. Diakses 5 Oktober 2015. http://journal.student.uny.ac.id-/jurnal/artikel/1248/36/204

Rani, Abdul; Bustanul Arifin; Martutik. Analisis Wacana Sebuah Kajian Bahasa dalam Pe-maknaan, Malang: Bayumedia Publishing, 2004

Rasyid, Mochamad Rianto. Kekerasan di Layar Te-levisi: Bisnis Siaran, Peran KPI, dan Hukum. Jakarta: Kompas Penerbit Buku, 2013.

Rohmadi, Muhammad. _Karakteristik Bahasa Penyiar Radio JPI FM Solo_. Jurnal Humaniora, Volume 16, No. 2, Juni (2004): 211-222.

Shoemaker, Pamela J dan Stephen D. Reese.

Mediating The Message, New York: Logman, 1991

Sukoyo, Joko. ^Interferensi Bahasa Indonesia dalam Acara Berita Berbahasa Jawa Z Ku-thane Dhewe[ dI TV Borobudur

Sema-ΠvP_. Lingua Jurnal Bahasa dan Sastra,

Volume VII/2, Juli 2011: 95-102.

^Ç Œ(]v U dX ^Bahasa dan Perhatian Pemerintah

Satu Upaya Memperkukuh Jati Diri Bang-sa_X o u ^Seminar Bahasa Indonesia_.

Medan: Keluarga Besar Sastra Indonesia (KBSI) Fakultas Ilmu Budaya USU, 3 Mei 2014. Tanggal 1 September 2014. http://- balaibahasa-sumut.com/index.php/pro- duk/artikel/94-bahasa-dan-perhatian-pe- merintah-satu-upaya-memperkukuh-jati-diri-bangsa.html.

Tim Indikator TIK Indonesia. Buku Saku Survey Indikator Akses dan Penggunaan TIK pada Rumah Tangga Tahun 2014, Jakarta: Puslitbang PPI, Kemen Kominfo, 2014.

dZ}Œv }ŒŒ}ÁU:} vv X îììóX_ Z • vD ] _X

Dalam Linda Thomas dan Shan Wareing.

Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan

(Terjemahan: Sunoto, dkk). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Umar, Husein. Metode Riset Ilmu Administrasi: Ilmu Administrasi Negara, Pembangunan, dan Niaga, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

t Zǵv]U, Œu]v/v ZX ^ l}v}u]W}o]š]l< ]i

-kan Penyiaran Indonesia: Aspirasi, Pilihan

v Z o]š •_X JKAP (Jurnal Kebijakan

Administrasi Publik), Volume 10, Nomor 2 November (2006): 149-170.

Winarno, Budi. Kebijakan Publik: Teori, Proses, dan Studi Kasus (cetakan ke-2), Jakarta: CAPS, 2014.

Catatan:

Topik yang sama dari artikel ini pernah

dipre-• vš dipre-•]l v v u •µl o u WŒ}•] ]vP ^ ]•lµ•]

Ilmiah (Lokakarya Hasil Penelitian) Kebahasaan

v< • •šŒ v_U ]z}PÇ l Œš U îõ^ ‰š u Œt 1

Oktober 2014, atas kerjasama Balai Bahasa Yogyakarta (Kementerian Pendidikan dan Kebuda-yaan), Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga (Kementerian Agama) dan Balai Pengkaji-an dPengkaji-an PengembPengkaji-angPengkaji-an Komunikasi dPengkaji-an Infor-matika Yogyakarta (Kementerian Komunikasi dan Informatika). Namun artikel ini telah mengalami perubahan secara signifikan dibanding yang ada di

(14)

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga pemenuhan kebutuhan akan makanan jajanan yang higienis dipengaruhi oleh faktor sanitasi tempat dan higiene pedagang makanan perlu untuk dilakukan.. Makanan yang

tidak penerapan sistem e-procurement di Kabupaten Bojonegoro dapat dilihat dari ukuran indikator tujuan yang tercantum pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan berkat rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penetapan Kadar Kurkumin

•• Internet boleh dikatakan sebagai satu alat kepada Internet boleh dikatakan sebagai satu alat kepada pengguna untuk mencari dan mencapai maklumat atau pengguna untuk mencari

The Instructional Leadership toolbox: A Handbook for Improving Practice.. California:

 Mahasiswa/i mampu mengumpulkan Rencana Anggaran Biaya untuk Rumah 2 Lantai dengan ketentuan luas bangunan 80 m2.  Mahasiswa mampu mengumpulkan time schedule  Mahasiswa

Fokus kegiatan perbenihan yang terkait dengan perbanyakan stolon adalah generasi 0 sampai 3 (V0 sampai V3).Kegiatan perbanyakan stolon V0–V3 adalah kegiatan yang dilakukan