• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan Hasil Pemilu Sebagai Bentuk Judicialization 0f Politics

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan Hasil Pemilu Sebagai Bentuk Judicialization 0f Politics"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Memutus Perselisihan Hasil Pemilu

Sebagai Bentuk

Judicialization 0f

Politics

Authority of Constitutional Court To

Adjudicate Electoral Result Dispute As

A Judicialization of Politics

Abdurrachman Satrio

Padjadjaran Law Research and Debate Society Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung

Jalan Dipati Ukur No.35 Bandung Email: abdurrachmanmarley@gmail.com

Naskah diterima: 10/03/2015 revisi: 10/03/2015 disetujui: 20/03/2015

Abstrak

Judicialization of politics merupakan suatu fenomena yang lazim terjadi dalam suatu negara demokrasi konstitusional, dimana terjadinya perpindahan kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terkait dengan pembuatan kebijakan publik dan bersifat politis, dari lembaga-lembaga politik kepada lembaga peradilan. Di Indonesia fenomena tersebut muncul dalam kewenangan-kewenangan Mahkamah Konstitusi, terutama dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi memutus perkara perselisihan hasil pemilu, yang sampai sejauh ini merupakan perkara yang paling banyak dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi sebagai lembaga peradilan yang independen dan imparsial tentunya Mahkamah Konstitusi harus membatasi diri dalam mengadili perkara-perkara yang bersifat politis seperti perselisihan hasil pemilu agar tidak menjadi objek politisasi dari cabang kekuasaan lainnya, namun mengingat fenomena judicialization of politics merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari saat ini oleh Mahkamah Konstitusi, maka tulisan ini akan membahas mengenai pentingnya bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengedepankan prinsip pembatasan diri ( judicial restraint) dalam memutus perkara perselisihan hasil pemilu agar nantinya Mahkamah Konstitusi tidak menjadi objek Politisasi dari cabang kekuasaan lainnya. Kata Kunci: Judicialization of politics, PHPU, Politisasi, Pembatasan diri

(2)

Abstract

Judicialization of politics are the phenomenon which usually happen in a democratic constitutional state, which cause power movement to resolve problems which related to public policy making and political nature, from the political institution to judicial institution. In Indonesia this phenomenon arise in the authority of the Constitutional Court, especially in the authority of the Constitutional Court when they adjudicate electoral result dispute, whichs so far, most widely submitted cases to the Constitutional Court. But, as a independent and impartial judicial institution the Constitutional Court must restrict to adjudicate the political cases such as electoral result dispute so that this institution would not be politicking object of another branch of government, however judicialization of politics phenomenon is something that Constitutional Court would not avoid, so that this article will examine how important the Constitutional Court to priority judicial restraint principle in order to adjudicate electoral result dispute, so that Constitutional Court would not be politicking object of another branch of government.

Keywords: Judicialization of politics, Electoral Result Dispute, Politicking, Judicial Restraint

PENDAHULUAN

Pasca Amandemen sebanyak empat kali terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berlangsung dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 yang dilatar belakangi oleh kehendak untuk menciptakan suatu pemerintahan yang demokratis, maka kini sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami beberapa perubahan yang fundamental. Salah satu wujud nyata perubahan yang didasari kehendak untuk menciptakan suatu pemerintahan yang demokratis tersebut adalah dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga peradilan yang dibentuk dengan tujuan untuk menjaga pelaksanaan nilai-nilai konstitusi dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Dengan adanya MK maka saat ini kekuasaan kehakiman di Indonesia dijalankan oleh dua lembaga yaitu Mahkamah Agung (MA) dan MK.

Lahirnya MK sendiri merupakan jawaban atas keinginan agar lembaga yudisial dapat melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD yang sebelumnya tidak dapat dilakukan.1 Sebagai sebuah lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk menjaga konstitusi, MK tidak hanya berwenang menguji konstitusionalitas 1 Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, h. 74.

(3)

dari suatu undang-undang, sebagaimana dikatakan Katherine Glenn Bass dan Sujit Choudry pada umumnya MK ( constitutional court) memiliki kewenangan-kewenangan lainnya yang meliputi “disputes over the constitutions provisions often involve the most sensitive political issues facing a country, including review of the country electoral laws and election, the powers of the various branches of government and other questions.”2 Atas dasar itulah, tidak heran apabila dalam Pasal 24C UUD 1945 kita melihat bahwa MK di Indonesia selain berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang juga diberikan kewenangan lainnya yang berkaitan erat dengan masalah-masalah politik dan ketatanegaraan seperti memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilihan umum, serta memutus pendapat DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Bahkan apabila kita cermati dalam perkembangannya saat ini maka dapat dikatakan bahwa peran MK di Indonesia dalam menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan erat dengan masalah politik tersebut menjadi sangat vital, sebab perkara perselisihan hasil pemilu sampai sejauh ini merupakan perkara yang paling banyak diajukan di MK dimana dalam pemilu 2014 saja terdapat 702 kasus mengenai perselisihan hasil pemilu legislatif yang dimohonkan kepada MK, jumlah tersebut menunjukan bahwa terjadi peningkatan dibanding pemilu tahun 2004 dimana terdapat 274 perkara, dan pemilu tahun 2009 dengan 627 perkara.3

Berdasarkan jumlah tersebut apabila kita bandingkan dengan kewenangan utama MK yaitu menguji konstitusionalitas undang-undang maka dapat dikatakan bahwa kewenangan MK memutus perselisihan hasil pemilu jauh lebih sering dimohonkan kepada MK.4 Sehingga terjadi suatu pergeseran fungsi, dimana kini kewenangan utama yang dimiliki oleh MK adalah memutus perselisihan hasil pemilu bukan menguji konstitusionalitas undang-undang, karena meskipun pemilu itu sendiri hanya dilaksanakan 5 tahun sekali, namun jumlah perkara perselisihan hasil pemilu yang dimohonkan jauh lebih banyak dibandingkan perkara yang termasuk dalam kewenangan MK lainnya. Akan tetapi banyaknya jumlah perkara perselisihan hasil pemilu yang masuk ke MK tersebut juga menimbulkan suatu pertanyaan baru, karena apakah tepat bagi MK memutus perselisihan hasil pemilu

2 Katherine Glenn Bass and Sujit Choudry, Constitutional Review in New Democracies, http://www.democracy-reporting.org/fi les/dri-bp-40_en_con-stitutional_review_in_new_democracies_2013-09.pdf diunduh pada 08 April 2014.

3 Sidik Pramono (eds.), Penanganan Sengketa Pemilu, Jakarta: Kemitraan Bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia, 2011, h. 19-20. 4 Sejauh ini perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang dimohonkan kepada MK berjumlah 1053 perkara sejak berdirinya MK

(4)

yang sebenarnya merupakan suatu perkara politik? Karena pengadilan sendiri sebagai lembaga yang independen dan imparsial tentunya harus membatasi diri dari perkara-perkara yang memiliki unsur politis yang kuat agar tidak menjadi objek politisasi cabang kekuasaan lainnya. Apalagi dengan banyaknya perkara perselisihan hasil pemilu yang ada, tentu menimbulkan suatu tantangan bagi Hakim Konstitusi untuk menyeimbangkan antara keadilan, transparansi, serta keterbatasan waktu dalam memutus perkara perselisihan hasil pemilu. Apabila MK gagal memutus perkara perselisihan hasil pemilu dengan adil dan imparsial

tentu hal itu akan menimbulkan akibat politik yang serius.5 Oleh karena itulah

tulisan ini akan membahas mengenai pemberian kewenangan untuk memutus perkara perselisihan hasil pemilu yang sebenarnya merupakan suatu perkara yang bersifat politis kepada MK sebagai bentuk dari fenomena yang berkembang saat ini dan dinamakan judicialization of politics, serta bagaimana kira-kira langkah yang harus diambil oleh MK dalam menangani banyaknya perkara perselisihan hasil pemilu sebagai bentuk judicialization of politics tersebut agar MK dapat tetap menjaga kedudukannya sebagai lembaga peradilan yang independen dan imparsial.

PEMBAHASAN

A. Perselisihan Pemilu sebagai Salah Satu Bentuk Sengketa Pemilu

Sebelum membahas mengenai makna perselisihan hasil pemilu, maka terlebih dahulu akan dibahas mengenai alasan mengapa terdapatnya suatu pemilu yang bersih merupakan keharusan dalam negara yang demokratis. Sebagaimana dikatakan oleh Abraham Lincoln, demokrasi merupakan suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Oleh karena itu untuk menjamin berjalannya demokrasi, keberadaan pemilu yang bebas dan tidak memihak merupakan keharusan dalam suatu negara yang demokratis, hal itu juga diperkuat dengan pendapat dari International Comission of Jurist yang merumuskan bahwa salah satu syarat utama pemerintahan yang demokratis adalah adanya pemilu yang bebas

dan tidak memihak.6 Terutama saat ini dengan semakin luasnya wilayah negara

maka demokrasi hanya dapat dijalankan dengan sistem perwakilan melalui wakil, sebab tidak mungkin mengikutsertakan seluruh rakyat dalam pemerintahan, hanya

5 Veri Junaidi and Jim Della-Giacoma, Clock Watching and Election Complaint in Indonesia Constitutional Court,http://asiapacifi c.anu.edu.au/

newmandala/2014/05/20/clock-watching-and-election-complaints-in-indonesias-constitutional-court/ diunduh 25 Oktober 2014.

(5)

dengan adanya pemilu untuk memilih para wakil dari rakyat yang akan duduk di pemerintahanlah, para wakil yang dipilih tersebut akan bertanggungjawab kepada rakyat.7 Begitu pentingnya keberadaan pemilu dalam suatu negara yang demokratis juga dapat kita amati dari tujuan pemilu seperti yang dirumuskan oleh Jimly Asshiddiqie yaitu:8

1. Untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan secara tertib dan damai.

2. Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan.

3. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat.

4. Untuk melaksanakan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan warga negara. Melihat bahwa begitu pentingnya pemilu dalam menentukan berjalannya demokrasi, maka untuk menjamin berjalannya pemilu dengan benar yang nantinya akan melahirkan wakil-wakil yang sesuai dengan kehendak rakyat maka diperlukanlah mekanisme untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi akibat pelanggaran dalam proses pemilu. Sengketa pemilu ( electoral dispute) itu sendiri sebagaimana dikemukakan oleh International IDEA memiliki makna sebagai “Any complaint, challenge, claim or contest relating to any stage of the electoral process.”9 Berdasarkan pengertian yang dideinisikan oleh International IDEA tersebut dapat dikatakan bahwa cakupan dari electoral dispute sangat luas dan mencakup seluruh proses pemilu.10 Sebab sebagai sebuah proses politik maka proses pemilu sangat rentan dengan pelanggaran-pelanggaran seperti pelanggaraan peraturan tentang pemilu terutama yang menyangkut kampanye, permasalahan tindak pidana pemilu,

permasalahan money politics, serta kecurangan-kecurangan dalam perhitungan

suara yang sangat mungkin mempengaruhi hasil pemilu,11 sehingga diperlukanlah mekanisme untuk menyelesaikan sengketa pemilu tersebut. Proses pemilu sendiri memiliki beberapa tahapan sebagaimana digambarkan oleh International IDEA melalui electoral cycle berikut:

7 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, “Mewujudkan Kedaulatan Rakyat Melalui Pemilihan Umum”, dalam Bagir Manan, ed. Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia, dan Negara Hukum, kumpulan Esai Guna Menghormati Prof. Dr. Sri Soemantri, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996, h. 67. 8 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, h. 418.

9 International IDEA, Electoral Justice: The International IDEA Handbook, Stockholm: Bull Graphics, 2010, h. 199.

10 Bisariyadi (et.al), Komparasi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu di Beberapa Negara Penganut Paham Demokrasi Konstitusional, Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 3, September 2012, h. 539.

11 Rahayu Prasetianingsih, Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya Hukum Terakhir dalam Penyelesa-ian Sengketa Pemilihan Umum, Jurnal Konstitusi Volume I, Nomor 1, November 2009, h. 43.

(6)

Sumber: International IDEA12

Berdasarkan electoral cycle tersebut maka proses pemilu dapat dikatakan terbagi dalam tiga tahap. Dari ketiga tahapan yang terdapat dalam proses pemilu tersebut maka dapat dikatakan bahwa kewenangan MK memutus perselisihan hasil pemilu sebagaimana ditentukan oleh Pasal 24C UUD 1945 merupakan salah satu bentuk dari sengketa pemilu yaitu yang termasuk dalam kategori post-electoral period, karena perselisihan hasil pemilu di MK ini menyangkut penetapan hasil pemilu secara nasional yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang membuat seorang yang seharusnya terpilih untuk menjadi anggota DPR, DPD, DPRD, hingga calon Presiden dan Wakil Presiden gagal dikarenakan terjadinya kekeliruan perhitungan suara hasil pemilu baik itu yang disengaja maupun tidak disengaja.13 Namun saat ini terjadi perluasan mengenai makna perselisihan hasil pemilu yang dapat ditangani oleh MK, dimana berdasarkan tafsiran MK dalam Putusan nomor 41/PHPU.D-VI/2008 apabila terdapat pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang secara signiϐikan mempengaruhi hasil pemilu maka pelanggaran tersebut dapat diproses oleh MK, yang berarti bahwa pelanggaran yang dapat mempengaruhi hasil tersebut tidak hanya dalam arti sempit berupa perhitungan suara, akan tetapi juga berkaitan dengan berbagai pelanggaran yang terjadi baik dalam perhitungan maupun dalam proses yang dapat mempengaruhi hasil pemilu.14

12 http://aceproject.org/ero-en/topics/electoral-management/electoral%20cycle.JPG, Lihat juga International IDEA, Op. Cit, h. 18. 13 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sinar Grafi ka, 2011, h. 38.

(7)

B. Pemberian Kewenangan Memutus Sengketa Pemilu kepada Lembaga Peradilan

Pada umumnya penyelesaian sengketa pemilu ( Electoral Dispute Resolution) memiliki empat model utama yang dibagi berdasarkan lembaga yang menyelesaikannya yaitu:15

· Legislative body (the legislature or other political assembly) · Judicial body

- Regular courts of the judicial branch - Constitutional court or council - Administrative courts

- Specialized electoral courts

· Electoral Management Body with judicial power

· Ad hoc bodies created with international involvement or as an internal national institutional solution to a speciϔic electoral process

Awalnya penyelesaian sengketa pemilu tidak diberikan kepada lembaga peradilan, melainkan kepada lembaga legislatif, seperti Inggris yang memberikannya kepada Parlemen sampai dengan tahun 1868, atau Perancis yang sejak abad ke 18 memberikannya pada Etats Generaux hingga berlakunya Konstitusi Republik kelima pada 1958. Alasan pemberian mekanisme penyelesaian sengketa pemilu kepada lembaga legislatif saat itu juga sangat dipengaruhi oleh prinsip pemisahan kekuasaan yang cenderung kaku saat itu, dimana tiap cabang kekuasaan dianggap independen dari cabang kekuasaan lainnya dan tidak dapat membuat keputusan yang mempengaruhi komposisi cabang kekuasaan lainnya.16

Namun kini dalam perkembangannya banyak negara yang memberikan kewenangan memutus sengketa pemilu kepada lembaga peradilan baik itu pengadilan biasa, pengadilan konstitusi, pengadilan administratif, maupun pengadilan khusus pemilu. Dengan mempercayakan pada lembaga peradilan hal itu diharapkan dapat menjamin segala sengketa yang terjadi dapat diselesaikan secara hukum dan berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam konstitusi,17 karena negara-negara di dunia beranggapan bahwa dalam pemilu terdapat hak-hak dari warga negara yang merupakan HAM dan kebanyakan diakui oleh konstitusi negara-negara di dunia, sehingga untuk menjamin hak tersebut ditegakan maka 15 International IDEA, Op. Cit, h. 60

16 Ibid, h. 63-64. 17

(8)

penyelesaian sengketa pemilu harus diberikan kepada pengadilan. Hak-hak tersebut menurut International IDEA terdiri dari: 18

1. The right to vote and to run for elective ofϔice in free, fair, genuine and periodic

election conducted by universal, free secret and direct vote.

2. The right to gain access, in equal conditions, to elective public ofϔice.

3. The right to political association for electoral purposes.

4. And other rights intimately related to these, such as the right to freedom of expression, freedom of assembly and petition, and access to informaion on political electoral matters.

C. Penyelesaian Sengketa Pemilu sebagai Bentuk Judicialization of Politics

Dengan munculnya anggapan bahwa penyelesaian sengketa pemilu memiliki fungsi utama untuk menjamin HAM yang dimiliki oleh warga negara dan diakui oleh konstitusi, maka kini banyak negara yang memberikan kewenangan memutus sengketa pemilu sebagai bagian dari kewenangan lembaga peradilan terutama pengadilan konstitusinya, dan Indonesia kini menjadi contoh salah satu negara yang memberikan kewenangan memutus salah satu tahap sengketa pemilu kepada pengadilan konstitusinya yaitu MK, bahkan kini tidak hanya terjadi di Indonesia perkara-perkara sengketa pemilu juga mulai masuk ke dua pengadilan konstitusi paling berpengaruh di dunia yaitu Mahkamah Agung Amerika Serikat, dan Mahkamah Konstitusi Federal Jerman. Contohnya dapat kita lihat dalam kasus

Bush v. Gore yang tersohor dan diputus oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat,

serta kasus Hessen Election Review yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi Federal Jerman.19 Contoh-contoh tersebut menunjukan bahwa masuknya penyelesaian

sengketa pemilu kedalam lingkup kewenangan pengadilan di seluruh dunia merupakan sesuatu yang lazim saat ini.

Namun sebenarnya, meski masuknya penyelesaian sengketa pemilu kepada lembaga peradilan dimaksudkan untuk menjaga hak-hak asasi warga negara sesuai dengan yang dijamin oleh konstitusi, akan tetapi tidak dapat kita kesampingkan pula bahwa sengketa pemilu merupakan perkara yang memiliki unsur politis yang kuat, sedangkan pengadilan itu sendiri tentu harus menjaga independensinya dan membatasi diri terhadap perkara-perkara yang memiliki unsur politis yang kuat. Dengan diberikannya lembaga peradilan kewenangan untuk memutus sengketa

18 Ibid, h. 13.

19 Russel A. Miller, Lords of Democracy: The Judicialization of “Pure Politics” in the United States and Germany, Washington & Lee Law Review, Vol. 587, 2004, h. 599.

(9)

pemilu yang merupakan perkara yang memiliki unsur politis tinggi maka dapat dikatakan bahwa hal itu merupakan salah satu bentuk judicialization of politics

atau suatu fenomena dimana terjadi perpindahan kewenangan dalam memutus pembuatan kebijakan publik yang bersifat politis dari lembaga politik seperti legislatif maupun eksekutif, kepada lembaga peradilan yang tidak representatif dan tidak akuntabel.20 Saat ini dengan melihat contoh-contoh di berbagai negara

maka fenomena judicialization of politics tersebut dapat dikatakan merupakan sesuatu yang lazim dalam suatu negara demokrasi konstitusional,21 akan

tetapi tidak sedikit pula yang bersifat sekptis terhadap fenomena tersebut dan mengkritiknya dikarenakan dengan masuknya perkara-perkara politik tersebut maka pengadilan akan menggunakan pertimbangan politik dalam pengambilan keputusannya, atas dasar itulah Jonghyun Park dalam tulisannya menyatakan bahwa fenomena judicialization of politics dapat menghancurkan nilai-nilai negara hukum ( rule of law).22

Dalam kasus Bush v. Gore dan Hessen Election Review bahkan Russel A. Miller menganggap kedua kasus tersebut sebagai bentuk dari judicialization of

“pure politics”. Judicialization of “pure politics” sendiri merupakan istilah yang

diciptakan oleh Ran Hirschl dan merupakan suatu bentuk perkembangan ketiga dari judicialization of politics dimana menurutnya judicialization of politics memiliki tiga macam bentuk perkembangan yaitu:

1. The spread of legal discourse, jargon, rules, and procedures into the political

sphere and policy making forum and processes (Judicializtion of social relation)

2. Judicialization of public policy-making through “ordinary” administrative and

judicial review.

3. The judicialization of pure politics: The transfer to the courts of matters of an

outright political nature and signiicance including core regime legitimacy and

collective identity questions that deine (and often divide) whole polities.”23

Masalah-masalah yang secara natural merupakan masalah politis dalam

judicialization of pure politics tersebut menurut Hirschl termasuk juga

masalah-masalah mengenai pemilu ( Electoral Matter), menurutnya dengan meluasnya keikutsertaan pengadilan dalam masalah-masalah politik tersebut, maka peran pengadilan akan menjadi krusial, hal inilah menurutnya yang merupakan salah satu 20 Ibid, h. 595.

21 Jonghyun Park, The Judicialization of Politics in Korea, Asian-Pacifi c Law & Policy Journal, Vol. 10:1, 2008, h. 100. 22 Ibid, h. 66.

(10)

bentuk transisi menuju juristokrasi,24 dan hal itulah yang membuat judicialization of pure politics menurut Miller menjadi suatu masalah karena merupakan suatu ancaman bagi demokrasi, sebab adalah tidak pantas mengangkat pengadilan sebagai institusi yang tidak representatif dan tidak akuntabel diatas institusi yang representatif dalam pembuatan suatu kebijakan publik yaitu dalam hal ini

adalah proses pemilu.25

D. Judicialization of Politics dalam Kewenangan MK Memutus Perselisihan Hasil Pemilu

a. MK sebagai Peradilan Politik

Di Indonesia sendiri, terdapatnya fenomena judicialization of politics

dalam kewenangan MK memutus perkara perselisihan hasil pemilu memang tidak dapat dilepaskan dari tujuan dibentuknya MK itu sendiri, karena memang sejak awal terlihat bahwa pertimbangan dibentuknya MK kental

dengan muatan politis.26 Hal itu dapat kita lihat, dimana ketika pembahasan

amandemen UUD 1945 berlangsung, dalam pembahasan mengenai MK oleh

Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR 2000 dan 2001 terdapat tiga pendapat

mengenai kedudukan MK, yaitu: Pertama, MK merupakan bagian dari MPR.

Kedua, MK melekat atau menjadi bagian dari MA. Ketiga, MK didudukan

sebagai lembaga negara tersendiri.27 Usulan agar MK menjadi bagian dari MPR

tersebut didasari oleh alasan bahwa nantinya MK akan menangani perkara-perkara yang sifatnya politis sehingga harus diletakan sebagai bagian dari MPR, karena saat itu MPR merupakan lembaga tertinggi yang berfungsi untuk memutus hal-hal yang bersifat mendasar seperti menetapkan dan merubah

UUD 1945, serta memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden.28

Meskipun akhirnya usulan agar MK menjadi bagian dari MPR tersebut ditolak, akan tetapi hal itu membuktikan bahwa memang sejak awal tujuan dibentuknya MK adalah untuk mengadili perkara-perkara yang bersifat politis. Bahkan dapat kita telusuri dari salah satu pendapat anggota MPR ketika melakukan pembahasan Amandemen UUD 1945 tentang pembentukan MK 24 Ibid, h. 727.

25 Russel A. Miller, Op. Cit, h. 597.

26 Wicaksana Dramanda, Political Judicialization dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, http://pleads.fh.unpad.ac.id/?p=152, diunduh 16 November 2014.

27 Tim Penyusun, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Buku VI Kekuasaan

Kehakiman), Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, h. 443. 28 Ibid, h. 476.

(11)

yaitu Soetjipto dari Fraksi Utusan Golongan yang menyatakan secara tegas bahwa MK memang dibentuk untuk menyelesaikan masalah-masalah politik:29

“Jadi bisa saja memang kalau rekrutmennya Mahkamah atau Hakim Konstitusi itu sembilan, tiga oleh DPR, tiga oleh DPD, dan tiga oleh Presiden. Karena perkara-perkara nanti memang berkisar masalah ketatanegaraan sengketa antar pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, antar pemerintah daerah-pemerintah daerah dan juga masalah mengenai konstitusi dan juga masalah politik karena dari DPR...”

Salah satu alasan mengapa begitu politisnya tujuan dibentuknya MK tidak dapat dilepaskan dari konigurasi politik yang ada ketika dibentuknya MK. Ketika dibentuknya Indonesia baru saja lepas dari pemerintahan yang otoriter dan memasuki era reformasi, dimana pada saat itu banyak muncul partai-partai politik baru, dan tidak terdapat satu kekuatan politik yang benar-benar menguasai MPR sebagai lembaga yang mengubah UUD 1945. Sebagaimana dikemukakan Tom Ginsburg pembentukan Mahkamah Konstitusi sangat dipengaruhi oleh konigurasi politik yang ada ketika dibentuknya, apabila semakin terbaginya lingkungan politik dimana terdapat banyak partai yang saling bersaing untuk mendapatkan kekuasaan, akan membuat semakin kuatnya peran pengadilan yang akan dibentuk. Sebaliknya apabila terdapat satu partai politik yang kuat dan menguasai mayoritas lingkungan politik, maka peran pengadilan akan semakin lemah.30 Maka dari itu dengan terdapatnya banyak partai dan tidak terdapatnya kekuatan politik yang sangat dominan ketika dibentuknya MK, tak heran apabila saat ini MK memiliki peran yang kuat dalam memutus masalah-masalah politik, sebagaimana hal itu tercermin dimana begitu banyaknya perkara perselisihan hasil pemilu yang diputus oleh MK.

b. Kewenangan MK Memutus Perselisihan Hasil Pemilu sebagai Objek Politisasi Di Indonesia melalui kewenangannya memutus perkara perselisihan hasil pemilu yang merupakan bentuk judicialization of politics, maka terbuka kemungkinan bagi MK menjadi objek politisasi cabang kekuasaan lainnya karena pemilu itu sendiri merupakan salah satu mekanisme bagi para pesertanya untuk dapat duduk di cabang kekuasaan lain yaitu legislatif maupun

29 Ibid, h. 537.

30 Tom Ginsburg, Constitutional Courts in New Democracies: Understanding Variation in East Asia,Global Jurist Advance, Vol. 2, Issue 1, 2002,

(12)

eksekutif. Terbukanya kemungkinan bagi MK menjadi objek politisasi tersebut dapat kita lihat dari banyaknnya perkara perselisihan hasil pemilu yang dimohonkan kepada MK. Banyaknya perkara perselisihan hasil pemilu yang dimohonkan tersebut membuat MK sangat kerepotan dalam menanganinya. Bahkan sebelum ini MK tidak hanya kerepotan dalam menangani perselisihan hasil pemilu legislatif dan presiden saja yang dilangsungkan lima tahun sekali, tetapi juga kerepotan menangani perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (pilkada) akibat terlalu banyaknya perkara sengketa pilkada yang masuk. Banyaknya perselisihan hasil pilkada yang masuk ke MK tersebut disebabkan adanya anggapan bahwa “apabila kalah dalam pilkada maka dibawa

saja ke MK” yang membuat 90% pilkada berujung di MK.31 Puncaknya adalah

ketika mantan Ketua MK Akil Mochtar ditangkap karena menerima suap ketika menangani sengketa pilkada sehingga akhirnya MK melalui Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 menghapus kewenangan MK dalam memutus sengketa pilkada. Namun dapat dikatakan bahwa akibat terungkapnya perkara suap yang menimpa ketua MK tersebut membuat tereduksinya kepercayaan rakyat kepada MK.

Contoh tersebut tentu menunjukan bahwa kewenangan MK memutus perselisihan hasil pilkada telah membuat MK menjadi objek politisasi dari para peserta pilkada. Saat ini, meskipun MK sudah tidak lagi berwenang memutus perselisihan hasil pilkada, namun perselisihan hasil pemilu legislatif dan eksekutif yang masuk ke MK setiap 5 tahun sekali tetap membuat MK kewalahan karena banyaknya jumlah perkara yang masuk. Salah satu masalah yang membuat terlampau banyaknya perkara perselisihan hasil pemilu yang diajukan kepada MK saat ini di akibatkan terdapatnya ketidakmengertian dari para peserta pemilu mengenai dasar gugatan yang diajukan. Contohnya sebagaimana dapat kita lihat dalam pemilu 2009, dari total 657 permohonan mengenai perkara perselisihan hasil pemilu yang diajukan kepada MK baik itu pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, dan Presiden hanya 71 perkara yang dikabulkan, selebihnya kebanyakan perkara ditolak, bahkan tak sedikit pula

yang dinyatakan tidak dapat diterima.32 Dalam permohonannya, ternyata

banyak pemohon yang memasukan pelanggaran-pelanggaran administratif, tindak pidana pemilu, dan sengketa dalam proses pemilu sebagai dasar 31 http://www.gatra.com/politik-1/pemilu-1/pilkada-1/31178-fadel-90-persen-pilkada-berujung-pada-mk.html

(13)

gugatan.33 Padahal permasalahan-permasalahan tersebut bukanlah kewenangan MK untuk menyelesaikannya seperti pelanggaran administratif dan sengketa pemilu yang merupakan kewenangan Badan Pengawas Pemilu

(Bawaslu) untuk menyelesaikannya,34 sedangkan untuk perkara tindak pidana

pemilu merupakan kewenangan kepolisian, penuntut umum, serta pengadilan. Berkaca dari penjabaran tersebut maka tak mengherankan apabila banyak dari permohonan perselisihan hasil pemilu yang diajukan di MK ditolak atau tidak dapat diterima, penyebab banyaknya perkara yang masuk kepada MK yang sebenarnya merupakan masalah tindak pidana dan administratif pemilu adalah akibat tafsiran TSM yang dikeluarkan oleh MK dalam Putusan nomor 41/PHPU.D-VI/2008 tentang pilkada provinsi Jawa Timur yang kemudian

menjadi landmark decision. Dalam putusan tersebut MK memberikan tafsiran

yang luas dalam menangani sengketa pilkada, dimana MK tidak hanya mengadili perselisihan mengenai hasil pemilu, melainkan juga mengenai perselisihan dalam proses pemilu apabila terdapat pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang akhirnya mempengaruhi hasil pemilu. Tafsiran tersebut menunjukan bahwa telah terjadi perluasan makna dimana perselisihan tidak hanya dilihat dari hasil tetapi juga prosesnya. Salah satu pertimbangan hukum yang digunakan oleh MK dalam mengeluarkan tafsiran tersebut adalah MK tidak boleh membiarkan aturan keadilan

prosedural ( procedural justice) mengesampingkan keadilan substantif

( substantive justice), karena fakta-fakta hukum dalam perkara tersebut jelas-jelas merupakan pelanggaran konstitusi, khususnya Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengharuskan kepala daerah dipilih secara demokratis, serta tidak melanggar asas-asas pemilu yang terdapat dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang mengharuskan pemilu dilakukan secara langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur, dan adil.35

Pasca adanya putusan tersebut banyak masuk perkara-perkara yang sebenarnya merupakan masalah tindak pidana dan administratif dalam pemilu yang sebenarnya bukan merupakan kompetensi MK untuk menanganinya, sehingga mengakibatkan banyaknya perkara yang akhirnya ditolak. Disini dapat kita lihat bahwa ketidaktahuan masyarakat mengenai dasar gugatan yang diajukan dalam perkara perselisihan hasil pemilu sebenarnya didasari oleh 33 Sidik Pramono (eds.), Op. Cit, h. 24.

34 Lihat Pasal 73 UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum 35 Lihat Pertimbangan Hukum Putusan MK nomor 41/PHPU.D-VI/2008

(14)

akibat tidak jelasnya batas-batas mengenai tafsiran TSM yang dikeluarkan oleh MK, karena dengan adanya tafsiran TSM tersebut maka kini MK tidak hanya memutus perselisihan mengenai hasil, namun juga memutus pelanggaran yang terjadi dalam proses pemilu, yang mana proses pemilu itu sendiri memiliki unsur politis yang tinggi, selain itu keluarnya tafsiran TSM tersebut oleh MK juga mereduksi kewenangan Bawaslu dan Panwaslu sebagai lembaga yang berwenang memutus sengketa dalam proses pemilu. Meskipun keputusan dari Bawaslu dalam memutus sengketa dalam proses pemilu disebut inal dan mengikat, namun kerap diabaikan karena dianggap tidak sekuat putusan lembaga yudikatif yaitu MK.36 Maka dari itu dapat dikatakan bahwa MK telah dengan sengaja mengembangkan judicialization of politics dalam perkara perselisihan hasil pemilu dengan dalih untuk menegakan keadilan substantif, yang pada akhirnya justru mereduksi kewenangan lembaga-lembaga lainnya yang juga berwenang menyelesaikan sengketa pemilu, dan juga membuka celah bagi MK untuk menjadi objek Politisasi dari cabang kekuasaan lainnya, dimana hal itu dapat dilihat dari banyaknya perkara perselisihan hasil pemilu yang dimohonkan pada MK.

E. Pentingnya Prinsip Judicial Restraint dalam Memutus Perselisihan Hasil Pemilu

Patut diingat pula bahwa sebagaimana dikemukakan oleh Alexander Hamilton “the judiciary, from the nature of its function, will always be the least dangerous to the political rights of the constitution.” atau dengan dengan kata lain pengadilan merupakan cabang kekuasaan terlemah dibanding dengan eksekutif dan legislatif.37 Maka dari itu sebagai cabang kekuasaan terlemah pengadilan tentu harus membatasi dirinya dari perkara-perkara yang bersifat politis agar tidak menjadi objek politisasi cabang kekuasaan lainnya. Namun saat ini dengan adanya fenomena judicialization of politics yang merupakan kelaziman dalam suatu negara demokratis membuat pengadilan kini ikut terlibat dalam menyelesaikan masalah-masalah politik, maka pengadilan akan sangat rentan menjadi objek politisasi cabang kekuasaan lainnya, selain itu disatu sisi fenomena judicialization of politics juga merupakan sebuah ancaman bagi demokrasi sebab ikut sertanya pengadilan dalam memutus perkara politik bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi karena pengadilan adalah lembaga yang tidak representatif. Untuk

36 Sidik Pramono (eds.), Op. Cit, h. 24.

(15)

itulah dalam memutus perkara-perkara yang bersifat politis pengadilan harus berpegang teguh pada prinsip judicial restraint, keengganan atau ketidakmampuan pengadilan untuk menghormati prinsip pembatasan diri ( judicial restraint) dapat membuat rakyat menganggap pengadilan sebagai partisan lainnya dari pemerintah, yang akhirnya akan menghilangkan citra pengadilan sebagai cabang kekuasaan yang imparsial, dan juga mereduksi kepercayaan rakyat pada pengadilan itu sendiri.38 Sebagai perbandingan di Amerika Serikat pandangan yang menganggap pentingnya prinsip judicial restraint dalam perkara sengketa pemilu dapat diamati dalam kasus Bush v. Palm Beach Country Canvassing Board yaitu dalam dissenting opinion yang dikemukakan Chief Justice Wells, dimana menurutnya tidak tepat mempermasalahkan sengketa pemilu di pengadilan karena merupakan perkara yang secara natural adalah perkara politik, lebih lanjut menurutnya prinsip pembatasan diri ( judicial restraint) sangat penting dalam perkara yang menyangkut sengketa pemilu, sebab demokrasi bergantung kepada pemilu yang ditentukan oleh pemilih dan bukan oleh hakim.39

Di Indonesia karena memang sejak dibentuknya, MK memiliki tujuan untuk menangani perkara-perkara politik maka sangat penting bagi MK untuk memegang teguh prinsip judicial restraint, terutama dalam perkara perselisihan hasil pemilu sebab terbukti bahwa saat ini kewenangan MK memutus perselisihan hasil pemilu justru membuatnya menjadi objek politisasi cabang kekuasaan lainnya.

PENUTUP

Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sejak awal keberadaan MK memang dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara-perkara politik dan ketatanegaraan yang salah satunya adalah mengenai perselisihan hasil pemilu, dengan begitu diharapkan permasalahan mengenai pemilu dapat diselesaikan secara hukum sesuai prinsip-prinsip yang terdapat dalam konstitusi, namun harus diingat pula bahwa kewenangan MK dalam memutus perselisihan hasil pemilu merupakan suatu bentuk judicialization of politics yang mesti diimbangi pula oleh prinsip pembatasan diri ( judicial restraint) mengingat MK sebagai lembaga peradilan harus menjaga kedudukannya agar tidak menjadi objek politisasi dari cabang kekuasaan lainnya, dan juga apabila MK terlalu aktif

38 Philip A. Talmadge, Understanding the Limits of Power: Judicial Restrain in General Jurisdiction Court Systems, Seattle University Law Review,

Vol. 22:695, 1999, h. 696.

(16)

dalam memutus perkara perselisihan hasil pemilu maka hal itu dapat mengarah kepada juristokrasi yang dapat mencederai nilai-nilai demokrasi. Salah satu bentuk pembatasan diri yang dapat dilakukan oleh MK adalah dengan membatasi makna dari tafsiran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang dikeluarkan oleh MK, sebab tidak adanya batas yang jelas mengenai tafsiran TSM tersebut justru membuka celah bagi MK untuk menjadi objek politisasi cabang kekuasaan lainnyayang terbukti dari banyaknya perkara perselisihan hasil pemilu yang dimohonkan pada MK, selain itu tafsiran tersebut juga mengakibatkan tereduksinya kewenangan lembaga-lembaga lainnya yang juga berwenang mengatasi sengketa pemilu seperti Bawaslu karena tafsiran tersebut memperluas kewenangan MK, dimana MK kini tidak hanya berwenang memutus perselisihan hasil pemilu saja, tetapi juga proses yang terdapat dalam pemilu.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander Hamilton, Federalist Essay, No. 78, 1788.

Bagir Manan, ed. 1996, Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia, dan Negara Hukum, kumpulan Esai Guna Menghormati Prof. Dr. Sri Soemantri, Jakarta: Gaya Media Pratama.

Bisariyadi (et.al), 2012, “Komparasi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu di Beberapa Negara Penganut Paham Demokrasi Konstitusional”, Jurnal Konstitusi,

Volume 9, Nomor 3, September.

International IDEA, Electoral Justice: The International IDEA Handbook, Stockholm: Bull Graphics, 2010, h. 199.

Jimly Asshiddiqie, 2013, “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara”, Jakarta: Rajawali Pers.

Jonghyun Park, The Judicialization of Politics in Korea, Asian-Paciic Law & Policy Journal, Vol. 10:1, 2008.

Katherine Glenn Bass and Sujit Choudry, Constitutional Review in New Democracies, http://www.democracy-reporting.org/iles/dri-bp-40_en_constitutional_ review_in_new_democracies_2013-09.pdf diunduh pada 08 April 2014 Mahfud MD, 2011, “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi”,

(17)

Philip A. Talmadge, 1999, “Understanding the Limits of Power: Judicial Restrain in General Jurisdiction Court Systems”, Seattle University Law Review, Vol. 22:695. Rahayu Prasetianingsih, 2009, “Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di

Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya Hukum Terakhir dalam Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum”, Jurnal Konstitusi Volume I, Nomor 1, November. Ran Hirschl, 2006, “The New Constitution and the Judicialization of Pure Politics

Worldwide”, Fordham Law Review Vol. 75.

Russel A. Miller, 2004, “Lords of Democracy: The Judicialization of “Pure Politics” in the United States and Germany, Washington & Lee Law Review”, Vol. 587, h. 599.

Jonghyun Park, 2008, The Judicialization of Politics in Korea, Asian-Paciic Law

& Policy Journal, Vol. 10:1.

Sidik Pramono (eds.), 2011, “Penanganan Sengketa Pemilu”, Jakarta: Kemitraan Bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia.

Sri Soemantri, 1993, “Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD

1945”,Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Tom Ginsburg, 2002, “Constitutional Courts in New Democracies: Understanding Variation in East Asia”, Global Jurist Advance, Vol. 2, Issue 1.

Veri Junaidi and Jim Della-Giacoma, Clock Watching and Election Complaint in Indonesia

Constitutional Court,http://asiapaciic.anu.edu.au/newmandala/2014/05/20/

clock-watching-and-election-complaints-in-indonesias-constitutional-court/ diunduh 25 Oktober 2014.

Wicaksana Dramanda, Political Judicialization dalam Sistem Ketatanegaraan

Republik Indonesia, http://pleads.h.unpad.ac.id/?p=152, diunduh 16

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini mmbuktikan semakin tinggi konsentrasi ekstrak mesocarp buah lontar dalam pengencer semen BTS dapat mempersingkat daya tahan hidup spermatozoa asal cauda

PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS HONORARIUM YANG JUMLAHNYA TIDAK DIHITUNG ATAS DASAR BANYAKNYA HARI YANG DIPERLUKA UNTUK MENYELESAIKAN JASA YANG DIBERIKAN, TERMASUK

Adequancy Ratio (CAR), Loan To Deposite Ratio (LDR), Return On Equity (ROE), dan Devident Per Share (DPS) Terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa

a. Jika pidana karena kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 104 dapat dijatuhi pidana pencabutan hak-hak tersebut pada Pasal 35, ke-1 sampai dengan ke-5;.. Pada waktu

Pengujian hipotesis parsial (Uji “t”) Hipotesis penelitian yang diajukan adalah disiplin dan lingkungan kerja secara parsial mempunyai pengaruh terhadap kinerja pegawai

Pengaruh word of mouth terhadap loyalitas pelanggan melalui kepuasan pelanggan Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara tidak langsung word of mouth berpengaruh signifikan dan

Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna pada gambaran histopatologis tubulus proksimal ginjal mencit Balb/c antara kelompok yang diberikan monocrotophos dosis