• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV Gambaran Umum mengenai Peran CPOPC dalam menghadapi Renewable Energy Directive (RED II) Dalam bab ini, penulis akan menjelaskan mengenai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV Gambaran Umum mengenai Peran CPOPC dalam menghadapi Renewable Energy Directive (RED II) Dalam bab ini, penulis akan menjelaskan mengenai"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

14 BAB IV

Gambaran Umum mengenai Peran CPOPC dalam menghadapi Renewable Energy Directive (RED II)

Dalam bab ini, penulis akan menjelaskan mengenai produksi minyak sawit negara anggota CPOPC yaitu Indonesia, Malaysia dan Kolombia di tahun 2009-2015 dengan tujuan untuk melihat produksi minyak sawit selama adanya RED. Kemudian penulis akan menjelaskan mengenai isu lingkungan di Uni Eropa yang akan penulis mulai dari sejarah kerjasama lingkungan di negara-negara Uni Eropa yang nantinya akan memaparkan latar belakang dari terbentuknya RED. Selanjutnya penulis akan menguraikan hadirnya RED sebagai respon Uni Eropa terhadap isu lingkungan dan memperlihatkan keseriusannya untuk pertama kali setelah bergabung dengan Protokol Kyoto. Setelah penulis menguaraikan terbentuknya RED selanjutnya penulis akan membahas mengenai konsumsi energi terbarukan dan konsumsi minyak nabati yang digunakan dalam biofuel sebagai bentuk kepeduliannya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Uni Eropa menunjukan keseriusannya hal ini dapat dilihat dari aturan dalam RED mengenai bahan utama biofuel yang selama ini mereka gunakan dari minyak sawit yang di impor dari beberapa negara terkhusus impor terbanyak dari Indonesia, dimana telah di kategorikan sebagai bahan yang tidak renewable atau menyebabkan deforestasi/ILUC, kebijakan Uni Eropa menimbulkan respon negara produsen minyak sawit terkhusus negara anggota CPOPC yang tidak menerima akan dikategorikannya minyak sawit sebagai bahan biofuel yang mengakibatkan deforestasi. Dalam menanggapi hal ini negara anggota CPOPC (Indonesia, Malaysia dan Kolombia) memberikan respon terhadap RED melalui sustainable palm oil yang didalamnya mencakup ISPO, MSPO dan CSPO. Terbentuknya RED yang mengarah pada pengurangan bahkan penghapusan penggunaan minyak sawit sebagai bahan biofuel di Uni Eropa, kemudian mengarahkan penulis untuk ikut menjelaskan kepentingan Uni Eropa melalui RED dan singgungan terhadap kepentingan Indonesia dalam bab ini.

4.1 Produksi minyak sawit Indonesia, Malaysia dan Kolombia (2009-2015)

Minyak sawit merupakan salah satu minyak yang paling banyak dikonsumsi dan diproduksi di dunia. Selain harganya yang murah minyak sawit juga mudah diproduksi dan banyak digunakan sebagai salah satu bahan dalam pembuatan makanan, kosmetik, produk kebersihan dan juga sebagai sumber biofuel atau biodiesiel. Namun munculnya RED uni Eropa tentunya membuat negara produsen minyak sawit mengalami beberapa hambatan ekspor ke

(2)

15

negara-negara tersebut, untuk itu dalam pembahasan ini akan di uraikan produksi minyak sawit Indonesia, Malaysia dan Kolombia sebagai negara yang tergabung dalam CPOP dari tahun 2009 hingga 2015. Adapun tujuan untuk menguraikan produksi minyak sawit dari ketiga negara tersebut ialah untuk melihat produksi minyak sawit selama adanya RED di tahun 2009 hingga terbentuknya CPOPC tahun 2015.

Indonesia dan Malaysia merupakan negara produsen minyak sawit yang mendominasi minyak sawit dunia dengan menghasilkan sekitar 85-90% dari total produksi minyak sawit dunia, lalu kemudian di susul negara-negara produsen minyak sawit lainnya salah satunya ialah Kolombia. Kelapa sawit menjadi salah satu komoditi hasil perkebunan Indonesia yang berperan penting dalam kegiatan perekonomian, selain daripada itu kelapa sawit juga menjadi komoditi ekspor Indonesia yang cukup berpengaruh terhadap devisa negara diluar dari minyak dan gas. Dari tahun ke tahun minyak sawit Indonesia mulai berkembang dan berhasil menggantikan posisi Malaysia sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia. Pertumbuhan ini dapat dilihat dari jumlah produksi dan ekspor serta luas area perkebunan sawit yang di miliki Indonesia. Tingginya permintaan minyak sawit secara global memberikan keuntungan bagi Indonesia, meskipun disisi lain terdapat dampak negatif dari industri sawit terhadap lingkungan. Cerahnya prospek minyak kelapa sawit pada perdagangan dunia menjadikan Indonesia semakin mengembangkan areal perkebunan kelapa sawitnya. Berikut gambar yang menunjukan produksi minyak sawit dari ketiga negara Indonesia, Malaysia dan Kolombia dari tahun 2009-2015 dari terbentuknya RED hingga terbentuknya CPOPC.

Tabel I. Produksi minyak sawit (CPO) di Indonesia, Malaysia dan Kolombia tahun 2009-2015 (ton)

Tahun Indonesia Malaysia Kolombia

2009 19,324,292 17,564,938 804,838 2010 21,958,120 16,993,717 753,039 2011 23,995,973 18,911,520 804,838 2012 26,015,519 18,785,030 973,039 2013 27,782,004 19,216,459 1,040,835 2014 29.300.000 1.400.000 1,110,00 2015 32,000,000 17,700,000 1,270,000

(3)

16

Berdasarkan table I di atas maka dapat dilihat produksi minyak sawit Indonesia pada tahun 2009 berada pada posisi pertama dengan hasil 19,324,292 ton dan memberikan angka yang meningkat hingga tahun 2015 sebanyak 32,000,000 ton. Di sisi lain minyak sawit Malaysia berada posisi kedua dengan produksi 17,564,938 ton di tahun 2009 dan tidak memperlihatkan adanya peningkatan yang cukup drastis seperti Indonesia, bahkan di tahun 2015 produksi Malaysia mencapai 17,700,00 ton. Sedangkan untuk Kolombia cukup mengalami peningkatan ditahun 2009 produksi minyak sawit sebanyak 804,838 ton hingga di tahun 2015 sebanyak 1,270,000. Meskipun Malaysia tidak begitu memperlihatkan adanya peningkatan produksi minyak saiwit dari tahun 2009-2015 namun malysia masih tetap menjadi negara ke dua produksi minyak sawit di dunia. Sedangkan Kolombia menunjukan perkembangan yang sangat bagus dengan secara perlahan meningkatkan produksi minyak sawitnya. Dari produksi minyak sawit dari ketiga negara yang menjadi sorotan dikeluarkannya RED oleh Uni Eropa ialah minyak sawit Indonesia dianggap merusak lingkungan sehingga dikatakan tidak layak untuk digunakan sebagai bahan biofuel.

Disisi lain, dapat di lihat minyak sawit Indonesia terus mengalami peningkatan yang cukup drastis hingga menduduki posisi pertama sebagai negara produksi minyak sawit terbesar di dunia, hal ini dapat menunjukan meskipun berlakunya RED sebagai tahap pengurangan hingga penghapusan impor minyak sawit Uni Eropa dari Indonesia tidak begitu mudah untuk digantikan oleh minyak nabati lainnya. Adapun latar belakang minyak sawit menjadi banyak digemari oleh global karena harga yang murah, mudah diproduksi dan minyak sawit menjadi salah satu bahan dari produksi industri lainnya. Dengan semakin meningkatnya produksi minyak sawit tentunya menguntungkan bagi Indonesia, hal ini dapat dilihat dari beberapa alasan yaitu margin laba yang besar sementera minyak sawit mudah diproduksi, perimintaan dapat semakin meningkat dengan semakin berkembanganya jumlah yang di produksi, biaya produksi minyak sawit mentah di Indonesia memiliki harga termurah di dunia.

4.2. Isu Lingkungan di Eropa

Perubahan iklim (climate change) menjadi hal yang sudah sangat sering di dengar di lingkungan masyarakat, isu ini juga penting untuk di perhatikan secara serius. Terjadinya perubahan iklim dan keseimbangan sistem iklim terganggu diakibatkan oleh naiknya suhu atmosfer bumi atau yang dikenal dengan pemanasan global (global warming). Gas rumah kaca merupakan jenis-jenis gas yang dapat memerangkap radiasi matahari yang sebagiam seharusnya

(4)

17

dipantulkan kembali oleh bumi. Dengan tingginya gas rumah kaca di atmosfer maka radiasi energi matahari juga semakin tinggi, akibatnya suhu atmosfer meningkat lalu kemudian kita kenal dengan istilah efek rumah kaca (green house effect). Dalam buku Pasar Karbon menggambarkan bagaimana efek rumah kaca dan pemanasan global terjadi diibaratkan sebagai mobil yang diparkir dibawah suhu panasnya matahari dan kaca mobil di ibaratkan gas rumah kaca dalam lapisan atmosfer bumi. Suhu dalam mobil tentu akan lebih panas dibanding suhu yang ada di luar mobil dan jika kaca mobil tersebut dipertebal maka suhu dalam mobil tentunya meningkat. Meningkatnya gas rumah kaca disebabkan oleh kegiatan manusia, seperti industri yang memerlukan banyaknya sumber energi dari minyak dan gas bumi (PMR Indonesia, 9).

Dalam menangani terjadinya perubahan iklim maka terdapat dua langkah yang dapat dilakukan yaitu mitigasi dan adaptasi. Mitigasi merupakan tindakan untuk memperlambat laju perubahan iklim dengan cara menggantikan energi terbarukan pada penggunaan transportasi, menggunakan energi bersih terbarukan, menghemat listrik, pemeliharaan hutan, dan lainnya. Sedangkan adaptasi bertujuan untuk menyesuaikan diri dengan adanya resiko dampak dari perubahan iklim yang telah dan akan terjadi nantinya. Lingkungan menjadi bagian penting yang perlu untuk di perhatikan secara serius, isu lingkungan sendiri baru mulai di perhatikan sejak tahun 1970an. Penggunaan energi terbarukan menjadi langkah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Sumber energi terbarukan merupakan sumber energi yang ramah lingkungan yang tidak mencemari lingkungan dan tidak menimbulkan adanya perubahan iklim, terjadinya pemanasan global karena energi tersebut berasal dari proses alam yang berkelanjutan seperti sinar matahari, angin, air, biofuel dan geotherma (ESDM, 2016).

Persoalan energi bukanlah persoalan biasa, persoalan energi ini menjadi perhatian setiap negara di dunia mengingat segala sistem dan dinamika kehidupan dunia tergantung pada energi yang digunakan dalam tiap harinya. Energi terbarukan di anggap dapat menggantikan energi dari bahan fosil, nuklir, gas alam dan batu bara yang sumbernya sustainable atau berkelanjutan tanpa merusak lingkungan dan menyebabkan emisi gas rumah kaca. Dengan adanya perubahan iklim menjadi pusat perhatian secara Internasional oleh negara-negara di dunia. Salah satunya ialah negara-negara Uni Eropa yang membuat suatu langkah baru sebagai bentuk meangani perubahan iklim yang terjadi.

(5)

18

4.2.1 Sejarah Kerjasama Lingkungan di Negara-Negara Uni Eropa

Dengan adanya persoalan energi tersebut negara-negara Uni Eropa kemudian memperlihatkan perhatiannya terhadap perubahan iklim, hal ini dapat dilihat dimana pada tahun 1992 mereka mulai memikirkan cara untuk membatasi kenaikan suhu dan mengurangi dampak-dampak dari perubahan iklim, hal ini ditandai dengan diadakannya upaya internasional secara khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui perjanjian internasional yang dikenal dengan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada tanggal 3-14 Juni 1992 pada KTT bumi di Rio de Janeiro, Brazil. Dalam UNFCCC ini tidak mengikat suatu negara ataupun memaksa negara untuk membatasi gas emisi, namun UNFCCC tetap memberikan informasi secara berskala mengenai langkah untuk mengurangi emisi gas yang disebut sebagai protokol. Melalui UNFCCC penegasan terhadap negara-negara aggota untuk mengurangi emisi gas rumah kaca khususnya bagi negara industri dan maju. Kemudian pada tanggal 11 Desember 1997 di Kyoto, Jepang dibentuklah Protokol Kyoto yang merupakan bagaian dari keberlanjutan UNFCCC.

Perbedaannya apabilah UNFCCC bersifat hanya mengajak negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas maka Protokol Kyoto dibuat untuk mengikat negara anggotanya untuk mengikuti aturan-aturan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca yang dimana negara ANNEX I wajib mengurangi 5.2% dari tingkat emisi tersebut di tahun 1990 dan negara- negara NON ANNEX I tidak diwajibkan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca namun tetap ikut berpartisipasi sebagai tanggungjawab berasama dalam mengurangi emisi GRK (WWF.or.id). Setelah bergabungnya Uni Eropa dalam Protokol Kyoto pada tahun 1995 dan 1997 Uni Eropa untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, melalui Protokol Kyoto Uni Eropa di haruskan mengurangi karbon selama masa lima tahun antara 2008 sampai 2012 sebanyak 8%. Dengan terlibatnya Uni Eropa dalam protokol Kyoto kemudian dapat dilihat secara tidak langsung Uni Eropa menggunakan kesempatan tersebut sebagai salah satu strategi untuk dapat meningkatkan keberhasilannya dalam persaingan antar negara dengan membawa isu lingkungan.

4.2.2 Hadirnya RED sebagai Respon Uni Eropa

Setelah bergabungnya Uni Eropa dalam Protokol Kyoto Uni Eropa untuk pertama kalinya memperkenalkan langkah seriusnya dalam kepeduliannya terhadap lingkungan. Hal ini dapat dilihat pada tahun 2003 pertama kalinya Uni Eropa mengeluarkan kebijakan biofuel (biodiesel dan bioethanol) yang dicantumkan dalam arahan kebijakan energi terbarukan (2003/30/EC)

(6)

19

dengan tujuan promosi penggunaan biofuel dan bahan bakar terbarukan lainnya untuk transportasi (European Environment Agency). Langka serius pertama yang dikeluarkan Uni Eropa mengenai peraturan bahan biofuel dalam instruksi 2003/30/EC yang mulai berlaku pada 17 Mei 2003 dan negara anggotanya memiliki hak untuk menerapkannya di skala nasional pada 30 Desember 2004. Dalam instruksi ini bertujuan untuk mempromosikan penggunaan biofuel atau bahan bakar terbarukan lainnya untuk transportasi. Latar belakang dari diberlakukannya instruksi tersebut ialah kenyataan bahwa sektor transportasi Eropa menyumbang lebih dari 30% dari konsumsi energi dan terus berkembang. Dalam RED 2003 Uni Eropa mengeluarkan kebijakan penggunaan biofuel untuk transportasi sebanyak 2% untuk tahun 2005 dan tahun 2010 sebanyak 5,75%. Karena kebijakan yang di buat Uni Eropa ini bersifat tidak mengikat atau secara sukarela sehingga dapat dikatakan tidak berhasil (Back, 2013:10).

Berdasarkan RED 2003/30/EC maka diterbitkannya kebijakan energi terbarukan 2009/28/EC dengan nama Renewable Energy Directive (RED) mulai diberlakukan. Undang-undang baru ini dilatarbelakangi atas kondisi ketergantungan sumber energi yang berbahan fosil sehingga bertujuan untuk mengurangi ketergantungan energi fosil serta beberapa produksi berkelanjutan di bidang pertanian dan pembangkit energi dengan tujuan untuk menghindari dampak buruk dari perubahan iklim global, sesuai dengan arahan ini negara Uni Eropa menetapkan target di bulan Desember 2010.

In the light of the positions taken by the European Parliament, the Council and the Commission, it is appropriate to establish mandatory national targets consistent with a 20 % share of energy from renewable sources and a 10 % share of energy from renewable sources in transport in Community energy consumption by 2020.

Mengingat posisi yang di ambil oleh parlemen Eropa, dewan dan komisi menetapkan target nasional yang wajib bagi negara anggota dengan mencapai target 20% dari sumber energi terbarukan dan 10% energi terbarukan pada transportasi di tahun 2020.

Undang-undang baru ini telah menjadi strategi Uni Eropa dimana tahun 2020 target konsumsi energi terbarukan sebanyak 20%, dan target kedua ialah penggunaan 10% energi terbarukan di bidang transportasi. Hal ini berdasarkan dokumen yang telah ditetapkan oleh Uni Eropa dalam 2009/13/EC berdasarkan dokumen L (2009) 140. Dalam RED I ini mengatur mengenai syarat-syarat biofuel yang akan di gunakan oleh negara-negara UE, yang dimana mereka mengeluarkan syarat mengenai bahan yang berkelanjutan atau sustainable yang layak digunakan sebagai bahan biofuel. Dalam peraturannya mengatakan bahwa bahan-bahan yang

(7)

20

akan digunakan untuk pembuatan biofuel harus berbahan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Tidak hanya itu, Uni Eropa bahkan mengspisifikasikannya mulai dari proses pembuatan bahan baku untuk biofuel, serta dampak apa saja yang dapat menimbulkan efek gas rumah kaca dari bahan baku tersebut. Kriteria yang ditetapkan oleh Uni Eropa untuk pengembangan bahan baku biofuel di antaranya ialah lahan yang digunakan tidak boleh merusak keanekaragaman hayati dan wajib menghemat gas rumah kaca.

Dengan adanya kebijakan RED I, ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa dikenakan tarif anti dumping sebanyak 178,85 euro/ton. Dengan dikenakannya tarif, ekspor biodisiel Indonesia ke Uni Eropa mengalami penurunan drastis dari 1,2 juta ton di tahun 2012, menjadi 387 ribu ton di tahun 2013 turun 66 persen. Kemudian pada Agustus 2015 harga CPO global jatuh di bawah US$ 600/metrik ton, kejadian ini untuk pertama kalinya harga CPO global jatuh di level terendah sejak enam tahun terakhir (Kartika, 2016). Meskipun harga CPO mengalami penurunan namun tidak memberi peningkatan volume ekspor minyak sawit Indonesia di pasar global, melainkan mengalami stagnan karena lemahnya permintaan dari pasar Uni Eropa.

Sejak tahun 2016 hingga 2018 Uni Eropa kembali merancang target-target baru yang akan di keluarkan dalam kebijakan energi terbaru yang akan di terapkan di dalam Renewable Energy Directive II (RED II). Dalam RED II ditetapkan target penggunaan energi terbarukan di tahun 2030 naik menjadi 32% yang sebelumnya hanya 27%. Melalui RED II ini juga terdapat aturan mengenai kategori biofuel yang dapat di konsumsi yaitu tidak memiliki resiko tinggi terhadap perubahan lahan (Inderect Land-Use Change/ILUC), dan tanaman yang mengalami ekspansi di area produksi (Europian Commission, 2019). Dalam aturan energi terbarukan Uni Eropa juga mengkategorikan minyak kelapa sawit Indonesia sebagai bahan biofuel yang tidak berkelanjutan, sehingga tidak dapat di gunakan lagi sebagai bahan biofuel. Melalui RED Uni Eropa menetapkan sustainability criteria terhadap bahan baku biofuel bahwa budidaya, pengolahan, distribusi dan penggunaanya harus mematuhi kriteria penghematan gas rumah kaca sebanyak 35% dan tidak berasal dari lahan gambut atau merusak lingkungan dan keanekaragaman hayati (Europian Commission, 2019). Uni Eropa melalui RED II akan mengurangi penggunaan minyak sawit secara bertahap dari tahun 2024 hingga habis di tahun 2030. Peraturan mengenai RED II ini telah dituangkan di dalam revisi RED II 2018/2001/EU pada 24 Desember 2018 dan mulai di berlakukan tanggal 21 Maret 2019.

(8)

21

Menurut Uni Eropa biofuel merupakan elemen penting dalam kebijakan energi terbarukan mereka, sehingga diperlukan suatu aturan yang dapat memastikan bahwa bahan dari biofuel tersebut tidak merusak lingkungan atau menyebabkan deforestasi. Namun hal ini kemudian menjadi sorotan negara produsen CPO secara khusus Indonesia sebagai negara yang dibatasi ekspornya ke pasar Uni Eropa.

4.2.3 Konsumsi Energi Terbarukan Uni Eropa

Untuk melihat sejauh mana keberhasilan Uni Eropa dalam menggunakan energi terbarukan sebagai langkah untuk mengatasi emisi gas rumah kaca maka perlu melihat seberapa banyak jumlah energi terbarukan yang telah di konsumsi oleh Uni Eropa. Jumlah konsumsi energi terbarukan Uni Eropa di tahun 2017 mencapai 17,52% berada di atas target sebesar 16% (Europian Commission, 2019). Karena dalam bebebarapa tahun terakhir Uni Eropa mengalami peningkatan dari konsumsi energi terbarukan secara keseluruhan, pada penggunaan energi terbarukan di sektor listrik, pemanasan dan pendingin serta sebagaian kecil pada transportasi, maka negara-negara Uni Eropa mendorong inisiatifnya untuk terus meningkatkan konsumsi energi terbarukan ditahun 2020. Jumlah konsumsi energi terbarukan Uni Eropa pada sektor pemanasan dan pendingin sebanyak 102 Mton, diikuti penggunaan energi terbarukan pada sektor listrik sebanyak 86,7 Mton dan konsumsi pada sektor transportasi sebanyak 26,65 Mton di tahun 2017. Sumber terbarukan yang dikonsumsi dalam energi terbarukan ialah biomassa untuk pemanasan dan pendingin, tenaga air, listrik dan biofuel untuk sektor transportasi.

Menurut data dari (Europian Commission, 2019) sebagian besar rancangan dalam RED I telah berhasil dilaksanakan oleh negara-negara Uni Eropa dengan adanya beberapa tindakan yang dilakukan yaitu adanya fasilitas untuk proyek berskala kecil, menyediakan persyaratan pada operator sistem untuk memberikan perkiraan biaya dan informasi yang diperlukan, biaya persyaratan dalam pengembangan grid sebagai sambungan energi terbarukan dan adanya pertimbangan untuk rencana pengembangan jaringan nasional serta skema dukungan terhadap promosi penggunaan energi terbarukan. Meskipun demikian terdapat hambatan yang berkaitan dengan pembangunan dan perencanaan pada sektor listrik, hambatan pada pengembangan proyek yang lebih besar karena kekurangan kapasitas jaringan pemanas dan pada sektor transportasi kurangnya insfratruktur yang memadai untuk biofuel dan kendaraan listrik serta hambatan pada biaya tinggi koneksi jaringan dari kurangnya prediktabilitas dan transparansi dari prosedur koneksi grid.

(9)

22 4.3. Tinjauan Konsumsi Biofuel di Uni Eropa

Setelah melihat seberapa banyak Uni Eropa konsumsi energi terbarukan, maka perlu untuk mengetahui asal dari konsumsi energi terbarukan tersebut. Maka dari itu dibawah ini akan dipaparkan sumber-sumber dari energi terbarukan yang di konsumsi oleh Uni Eropa.

Dalam konsumsinya, ada beberapa minyak nabati yang paling banyak digunakan oleh Uni Eropa. Konsumsi nabati utama Uni Eropa ialah minyak Rapeseed Oil (RSO), sepertiga konsumsi nabati Uni Eropa di tahun 2000 ialah rapeseed, lalu yang kedua ialah CPO sebanyak 27% dan untuk posisi ketiga ialah soybean oil sebanyak 21%. Hingga pada tahun 2009 konsumsi RSO cenderung mengalami peningkatan sebanyak 599 ribu ton pertahunnya atau meningkat 10 persen/tahunnya. Namun, semenjak 2009 hingga 2016 menurun dengan rata-rata 0.03 persen/tahunnya. Disisi lain konsumsi CPO mengalami peningkatan 2009-2016 sebesar 3,23 persen per tahunnya. Kemudian untuk konsumsi biofuel Uni Eropa di tahun 2016 sebanyak 13,840 ton yang mana 11,082 ton (80%) adalah biodiesel dan 2,620 (19%) merupakan Bioethanol. Adapun 64% dikonsumsi oleh Uni Eropa diproduksi dari bahan baku rapeseed (38%), digunakan untuk minyak goreng (13%), lemak hewani (8%) dan minyak tinggi (2,5%). Dari sisa 36% biodisiel yang dikonsumsi Uni Eropa adalah 19,6% adalah minyak sawit dari Indonesia (13,3%) dan Malaysia (6,3%), untuk 6,1% adalah rapeseed dari Australia (2,6%), Ukraina (1,8%), 4,8% penggunaan minyak goreng yang telah digunakan di luar negara Uni Eropa, terutama kedelai dari Amerika Serikat sebanyak 4,3% (1,5%) dan Brasil (1,5%) (Europian Commission, 2019).

Selain dari biofuel, konsumsi etanol diproduksi dari bahan baku Uni Eropa sebanyak 65% didalamnya termasuk gandum (25%), jagung (22%) dan gula bit (17%) serta sebanyak 1% dari dari etanol selulosa. Bahan baku berbasis etanol termasuk jagung (16%), gandum (2,9%) dan tebu (2,9%) dan produksi bahan baku bioethanol yang dikonsumsi Uni Eropa juga berasal dari Ukraina (9,8%), Rusia (2,1%), Brasil (1,8%), Amerika Serikat (1,7%) dan Kanada (1,6%). Dari data tersebut makan diperikarakan hampir semua biogas yang dikonsumsi Uni Eropa pada tahun 2016 bersumber dari dalam negeri terutama dari hasil panen dan limbah agro/pangan (termasuk pupuk kandang) sebanyak 75%, di susul Gas TPA (16%) dan limbah lumpur gas sebanyak 9%. Asal usul bioliquid pada 2016 menymbang 1% dari semua bioenergi yang dikonsumsi oleh Uni Eropa, sebagai negara anggota UE tentu sulit untuk memastikan pembagian bahan baku yang digunakan untuk biofuel dan bioliquid (Europian Commission, 2019).

(10)

23

Dari paparan di atas menunjukan bahwa seiring berjalannya waktu penggunaan rapseed sebagai bahan biofuel telah di gantikan oleh minyak sawit. Dalam hal ini terbentuknya RED sebagai langkah Uni Eropa untuk mengurangi bahkan menghapuskan minyak sawit sebagai bahan biofuel dapat dianggap tidak berpengaruh.

4.4. Respon Negara-Negara penghasil CPO terhadap hadirnya RED melalui pembentukan Sustainable Palm Oil

Pembangunan menjadi suatu hal yang sangat diharapkan dimana dapat memberikan suatu perubahan yang lebih baik dari sebelumnya. Perkebunan menjadi subsektor yangberperan penting dalam perekonomian nasional yang berkontribusi dalam pendapatan nasional, penyediaan lapangan pekerjaan, penerimaan ekspor dan penerimaan pajak. Di dalam perkembangan pembangunan perkebunan tidak terlepas dari dinamika lingkungan nasional dan global, sehingga pembangunan perkebunan harus dapat memecahkan setiap masalah-masalah yang dihadapi oleh perkebunan (bumn.go.id,2011). Dengan adanya pembangunan pada sektor perkebunan maka akan memberikan perubahan pada lingkungan, sosial budaya dan ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya. Dalam meresponi hadirnya RED maka negara CPOPC membentuk suatu sustainable palm oil yang menjadi langkah utama dalm meyakinkan produksi minyak sawit adalah ramah lingkungan dan berkelanjutan.

4.4.1 Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO)

Pembangunan industri minyak sawit di Indonesia sudah menjadi salah satu hal utama yg di perhatikan oleh pemerintah. Melalui pembangunan industri minyak sawit atau sustainable palm oil dapat menerapkan beberapa prinsip yang berkesinambungan satu sama lain dalam perbaikan produksi minyak sawit yang mana dapat juga berpengaruh pada kebutuhan minyak sawit di masa yang akan datang. Aturan minyak sawit atau di kenal Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) telah ada sejak Maret tahun 2011 dimana Indonesia mengeluarkan sistem tata kelola dan sertifikasi minyak sawit berkelanjutan. ISPO merupakan suatu kebijakan yang diambil oleh Kementerian Pertanian yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar global, mengurangi emisi gas rumah kaca serta memberikan kriteria produksi minyak sawit yang ramah lingkungan (ISPO.com).

Melalui ISPO Indonesia menunjukan diri sebagai negara yang dapat mengatur dirinya sendiri terutama dalam hal ini pembangunan berkelanjutan minyak sawit yang dimilikinya. Di sisi lain pendorong dari terbentuknya ISPO ialah isu negatif yang berkembang mengenai

(11)

24

perkelapa sawitan Indonesia di antaranya minyak sawit sebagai minyak yang tidak sehat, merusak lingkungan, merusak hutan, penyebab terjadinya deforestasi, kekeringan, punahnya satwa yang dilindungi, mengakibatkan terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global, C02

dan lainnya. Berkembangnya isu negatif maka Indonesia memantapkan keputusannya untuk mengeluarkan Indonesia sustainable palm oil agar dapat memproduksi minyak sawit berkelanjutan mulai dari konsumen, industri, pembeli, stakeholder serta perkelapasawitan lainnya. Melalui pembangunan ini tidak hanya pada bidang pertanian dan perkebunan saja namun juga pembangunan lintas sektor dimana setiap ketentuan/perundangan yang berlaku disetiap instansi terkait harus dipatuhi. Dalam ISPO sendiri telah dijelaskan oleh pemerintah siapa yang wajib melakukan sertifikasi dan siapa yang melakukannya secara sukarela. Adapun yang wajib melakukan sertifikasi ialah perusahaan yang melakukan perkebunan budidaya yang terintegrasi dengan usaha pengolahan, perusahaan yang melakukan usaha budidaya perkebunan, perusahaan yang melakukan pengolahan hasil perkebunan atau yang dikenal sebagai pabrik kelapa sawit (PKS). Sedangkan yang bersifat sukarela ialah usaha perkebunan plasma, kebun swadaya, perusahaan perkebunan yang memeproduksi minyak sawit untuk energi terbarukan.

Secara garis besar dibentuknya ISPO didasarkan pada 4 pedoman, yaitu kepatuhan hukum, kelayakan usaha, pengelolaan lingkungan dan hubungan sosial yang dapat dilihat pada Permentan no 19/2011. Berikut sistem sertifikasi ISPO :

1. Penilaian Usaha Perkebunan sebagai prasyarat

Perusahaan perekebunan yang ada di Indonesia wajib memiliki izin usaha dan bagi perusahaan yang telah memiliki izin usaha tersebut maka secara rutin akan dilakuakn penilaian dan pembinaan usaha perkebunan. Tujuan dari penilaian ialah agar dapat menjaga kesinambungan dan keberlangsungan usaha perkebunan serta dapat memantau sejauh mana perusahaan telah melakukan kewajibannya. Penilaian dilakukan bagi pelaku usaha tahap pembangunan setahun sekali oleh provinsi/kabupaten dan untuk usaha perkebunan tahap operasional dilakukan tiga tahun sekali dilakukan oleh PNS dalam dibidang perkebunan. Dalam proses penilaian ada beberapa aspek yaitu legalitas, manajemen, kebun, pengolahan hasil, sosial, ekonomi, wilayah, lingkungan serta pelaporan. Dalam tahap penilaian jika pengusaha yang telah di beri izin tidak melaksanakan perbaikan setelah diberikan jangka waktu peringatan maka izin usaha perkebunannya akan dicabut.

(12)

25

2. Persyaratan Sertifikasi

Bagi pelaku usaha untuk mendapatkan sertifikasi ISPO maka perlu mematuhui beberapa ketentuan dalam pengelolaan perkebunan kelapa saiwit berkelanjutan dan pabrik kelapa sawit, adapun prinsip dan kriteria ISPO perkebunan kelapa saiwt berkelanjutan ialah sebagai berikut :

1) Sistem perizinan dan manajemen perkebunan

2) Penerapan pedoman teknis budidaya dan pengolahan kelapa sawit 3) Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan

4) Tanggungjawab Terhadap Pekerja 5) Tanggungjawab Sosial dan Komunitas

6) Pemberdayaan Kegiatan Ekonomi Masyarakat 7) Peningkatan Usaha Secara Berkelanjutan

Melihat bebrapa prinsip ISPO di atas pengusaha perkebunan negara maupun swasta sudah dapat memenuhi prinsip tersebut, meskipun masih terdapat beberapa kriteria yang kurang memadai yaitu mekanisme penangan sengketa lahan dan kompensasi, pemberian informasi, pelestarian keanekaragaman hayati, mitigasi emisis gas rumah kaca, tanggung jawab sosial perusahaan dan identifikasi kawasan yang memiliki nilai konservasi yang tinggi. Sedangkan prinsip lainnya hanya memerlukan perbaikan dokumentasi untuk dapat memenuhi bukti agar dapat ditunjukkan.

3. Pelaku Usaha yang dinilai

Dalam pengajuan sertifikasi ISPO diperlukan pembenahan secara internal bagi perusahaan tersebut. Beberapa langkah yang perlu dilakukan ialah pertama; perusahaan harus melakukan pelatihan untuk dapat memahami prinsip dan kriteria dari ISPO kepada staf sehingga dapat membentuk tim kerjasama, kedua; para staf yang telah terlatih perlu melakukan analisa kesenjangan untuk dapat menguji tingkat pemenuhan perusahaan terhadap ISPO di tahap awal, ketiga; perusahan perlu melakukan perbaikan sesuai prioritas yang telah ditetapkan, ke empat; setelah melakukan perbaikan makan perusahan dapat mengajukan sertifikasi. Setelah melakukan sertifikasi pada kebun sendiri atau pabrik kelapa sawit maka perusahaan wajib mensosialisasikan ISPO kepada perkebunan lainnya. Masa berlaku ISPO lima tahun sebelum melakukan penilaian ulang dan dalam sekali setahun dilakukan pengawasan.

Berdasarkan data dari (sawit Indonesia, 2018) Komisi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) tanggal 18 September 2018 total sertifikasi yang telah diterbitkan atau pelaku usaha yang

(13)

26

telah mengantongi sertifikasi ISPO sebanyak 413 sertifikat terdiri 407 sertifikasi perusahaan sawit, 3 KUD Plasma, dan 3 KUD swadaya secara keseluruhan total luas lahan yang telah bersertifikasi 2.349.317 hektar dengan total TBS sawit berjumlah 45.756.77/tahun dan 10.204.706 ton/tahun. Melihat hal ini tentu ISPO terus bekerja keras untuk mempercepat penyerahan sertifikat ISPO melalui proses verifikasi syarat, prinsip dan kriteria perusahaan penerima ISPO. Melalui ISPO ini menunjukan bukti bahwa Indonesia mengelolah perkebunan minyak sawit yang berkelanjutan, meskipun belum semua perkebunan sawit menerima sertifikasi ISPO tersebut. ISPO sebagai kebijakan tatakelola perkebunan minyak sawit berkelanjutan perlu untuk terus dipromosikan ke seluruh dunia dan meyakinkan dunia bahwa minyak sawit Indonesia dihasilkan melalui prinsip-prinsip tatakelola perkebunan yang berkelanjutan. Tentu untuk menyukseskan implementasi ISPO maka diperlukan peran aktif pemerintah untuk membangun citra minyak sawit Indonesia sebagai minyak nabati yang dihasilkan melalui pengelolahan yang berkelanjutan.

4.4. 2 Malaysia Sustainable Palm Oil (MSPO)

Skema sertifikasi Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan Malaysia (MSPO) merupakan

skema nasional di Malaysia untuk perkebunan kelapa sawit, kebun plasma mandiri dan terorganisir serta fasilitas pemrosesan sawit kelapa sawit untuk disertifikasi berdasarkan standar yang telah di tetapkan MSPO. Sertifikasi MSPO dibentuk dan disahkan oleh pemerintah Malaysia pada tanggal 19 November 2013, dan pada akhir tahun 2019 akan di buat wajib, dimana terdapat tiga tahap yaitu industri perkebunan yang telah meniliki sertifikasi RSPO wajib pada tanggal 31 Desember 2018, yang tidak memiliki sertifikasi tanggal 30 Juni 2019 dan petani kecil hingga 31 Desember 2019. Standar MSPO menyelaraskan manajemen produksi minyak sawit dengan hukum dan peraturan nasional yang ada. Dalam konteks keberlanjutan minyak kelapa sawit jenis skema serupa juga telah diterapkan dalam Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). MSPO menyediakan aplikasi untuk audit sertifikasi, pengembangan standar sertifikasi, pedoman audit, persyaratan akreditasi, pemberitahuan lembaga sertifikasi, persyaratan penelusuran rantai pasokan, penerbitan lisensi penggunaan logo dan prosedur untuk langkah penanganan keluhan. Adapun standar dalam MSPO ialah mencakup persyaratan umum yang berkelanjutan dan berlaku untuk tiga sektor, yaitu petani kecil, perkebunan dan pabrik, persyaratan ini telah ditanamkan dalam prinsip-prinsip sebagai berikut (Malaysian Standard on Sustainable Palm Oil, 2013) :

(14)

27

1) Komitmen dan tanggung jawab manajemen, dimana berkaitan dengan audit internal berdasarkan persyaratan MSPO, tinjauan manajemen dan peningkatan berkelanjutan 2) Transparansi, harus menyediakan informasi yang relevan berdasarkan prinsip MSPO

secara transparan selama konsultasi, ini akan membantu melacak dan memastikan bahwa bahan baku yang akan digunakan adalah berkelanjutan

3) Kepatuhan terhadap persyaraatn hukum artinya harus mematuhi semua persyaratan peraturan, hak penggunaan lahan yang sah dan hak adat

4) Tanggung jawab sosial, kesehatan, keselamatan dan kondisi pekerjaan, dibawah prinsip ini maka penilaian terhadap dampak sosial harus dilakukan, pengaduan dan keluhan harus ditangani; memiliki komitmen untuk berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan, kesehatan pekerja, keselamatan dan kondisi kerja serta penyediaan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi pekerja.

5) Lingkungan hidup, sumber daya alam, keanekaragaman hayati dan ekosistem. Harus ada program pengelolaan lingkungan yang mensyaratkan efesiensi penggunaan energi terbarukan, pengelolaan dan pembuangan limbah; pengurangan polusi dan emisi; konservasi dan pelestarian sumber daya air alami; perlindungan spesies langka, terancam atau hampir punah; konservasi daerah yang memiliki keanekaragaman hayati dan nol praktik pembakaran. Melalui prinsip ini fokus pada isu penting yaitu emisi gas rumah kaca (GRK) dan nol pembakaran hutan

6) Praktik terbaik atau operasi adalah persyaratan di bawah prinsip ini, termasuk dalam manajemen lokasi, rencana kelayakan ekonomi dan keuangan, kesepakatan penetapan harga yang transparan dan adil serta mensubkontrakkan beberapa operasi kepada yang lain

7) Pengembangan penanaman baru di beberapa area yang tidak diperbolehkan untuk penanaman tanaman petani. Ini mencakup wilayah dengan nilai keanekaragaman hayati yang tinggi, lahan gambut, medan curam, serta tanah marginal dan rapuh. Setelah perusahaan melakukan penilaian dampak sosial dan lingkungan maka selanjutnya harus memastikan bahwa penanaman kelaoa sawit tidak memiliki dampak negatif terhadap masyaratak sekitar.

Dari ke tujuh prinsip ini didukung oleh kriteria dan indikator, yang kemudian nantinya akan mengarahkan pengguna pada tindakan yang akan diambil oleh perusahaan untuk dapat

(15)

28

menerapkan peryaratan MSPO. Sertifikasi MSPO memberikan manfaat dengan menyediakan manajemen yang berkelanjutan dan bertanggungjawab untuk menghasilkan dampak sosial, lingkungan dan ekonomi yang positif, sambil meminimalkan dampak negatif terutama pada masyarakat dan lingkungan. Manfaat-manfaat tersebut seperti memperbaiki standar manajemen, promosi pengelolaan hutan lestari, peningkatan keanekaragaman hayati, peningkatan sosial, peningkatan efesiensi yang mengarah pada manfaat ekonomi, kepatuhan pada kebijakan kesehatan dan keselamatan, kepatuhan dengan persyaratan hukum dan kontraktor serta tersedianya akses ke pasar yang baru. Serangkaian standar ini dikeluarkan oleh Departemen Standar Malaysia (DSM) melalui MSPO dengan menetapkan prinsip-prinsip umum mengenai persyaratan sertifikasi untuk perkebunan kelapa sawit, perkebunan dan fasilitas pemrosesan minyak sawit untuk memastikan bahwa minyak sawit produk diproduksi dengan cara yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Kehadiran MSPO tentunya menjadi langkah terang Malaysia untuk mencapai minyak sawit yang sustainable, dan memberikan peluang bagi MSPO untuk memberikan perhatiannya kepada masalah-masalah sustainableity development yang ada, dengan demikian terdapat beberapa standar MSPO dalam mengatasi masalah pembangunan berkelanjutan berdasarkan data dari (Malaysia Palm Oil Certification Council) :

1) Dukungan pemerintah : Karena MSPO merupakan skema nasional, sehingga akan memberikan dukungan secara teknis & keuangan

2) Komitmen & transparansi : komitmen dan tanggungjawab manajemen, komitmen untuk menerapkan & memilihara persyaratan, memperkuat kepercayaan antar pemangku kepentingan baik lokal maupun global

3) Manajemen air & limbah : MSPO memberikan kualitas penjagaan & ketersediaan air dan tanah, pemanfataan sunber daya & daur ulang limbah sehingga dapat menjadi produk sampingan yang memiliki nilai tambah

4) Mengurangi emisi gas rumah kaca : rencana pengelolaan lingkungan (EMP) sudah ada, efesiensi penggunaan energi dan penggunaan energy terbarukan

5) Konservasi kebutuhan : melindungi spesies langkah, Melindungi area bernilai keanekaragaman hayati tinggi, Konservasi tanah & air

6) Pemberdayaan petani kecil : memberikan mata pencaharian yang lebih baik danmenjadi pemasok minyak sawit berkelanjutan

(16)

29

7) Pertumbuhan jangka panjang : memiliki potensi untuk meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan permintaan kelapa sawit berkelanjutan, potensi meningkatkan hasil & ekstraksi minyak yang lebih tinggi dihasilkan dari penerapak praktik manajemen terbaik

8) Perdagangan Internasional : keunggulan kompetitif pada ekspor khususnya di pasar yang pek aterhadap lingkungan seperti UE, AS & Australia

9) No Deforestasi : Malaysia berkomitmen untuk mempertahankan 50% dari total luas lahannya, praktik tanpa adanya pembakaran & daur ulang biomassa

10) Tanggung jawab sosial : berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan, pembangunan berkelanjutan local dan kesejahteraan masyarakat lokal

11) Panduan STRICT mengenai penanaman lahan gambut : patuhi pedoman MPOB mengenai pengembangan lahan ganbut & praktik industri

12) Melindungi hak para pekerja : memastikan kondisi kesehatan, keselamatan & pekerjaan yang baik, tidak adanya pekerja anak atau pekerja paksa yang diperdagangkan, semua karyawan & kontraktor dilatih dengan tepat serta dilakukannya penilaian dampak sosial MSPO juga membuat beberapa standar dalam menangani masalah-masalah utama dalam industri kelapa sawit, di antaranya :

1) Praktik tanpa Bakar : penggunaan api untuk persiapan lahan dan pembuangan limbah harus dihindari, mendorong praktik tanpa membakar dan daur ulang biomassa, negara-negara yang mengontrol pembakaran di izinkan dan harus dilakukan sebagaimana ditentukan oleh Kualitas Lingkungan (Aktivitas yang Dinyatakan) (Pembakaran Terbuka) Order 2003

2) Hak pekerja : persyaratan yang jelas dan kuat terhadap hak pekerja dan kesehatan serta keselamatan, memberikan peluang bagi karyawan untuk bergabung dengan serikat pekerja dan memberikan fasilitas bagi pekerja untuk berdiskusi dan bernegosiasi mengenai kondisi pekerjaan mereka.

3) Tidak ada bentuk kerja paksa atau perdagangan orang, hal ini bagian dari Undang-undang imigrasi Malaysia 670 dan anti perdagangan manusia serta penyelundupan migran

(17)

30

4.4.3 Colombia Sustainable Palm Oil (CSPO) dalam RSPO

Produksi minyak sawit berkelanjutan bersertifikat (CSPO) merupakan praktik-praktik berkelanjutan dalam industri minyak sawit Kolombia. Saat ini Kolombia tidak mengeluarkan kebijakan khusus untuk sustainable palm oil hanya saja mereka menggunakan standar dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang merupakan organisasi dari berbagai sektor industri kelapa sawit yang bertujuan untuk mengembangkan standar global untuk produksi minyak sawit yang berkelanjutan. RSPO menjadi standar utama unutk produksi minyak sawit berkelanjutan yang di adopsi oleh Kolombia, memainkan peran dalam implementasi dan kepatuhan perjanjian ini karena diratifikasi oleh beberapa organisasi, lembaga dan petani selama acara protokol. Penyelarasan dengan prinsip dan kriteria RSPO ialah mempromosikan pengembangan minyak sawit berkelanjutan di dalam insutri pertanian tiap negara anggota, perlindungan dan pengelolaan area nilai konservasi tinggi, promosi persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan, prosedur untuk memperkuat dialog, inklusi, kemakmurann dan perdamain dengan masyarakat lokal dan adat.

Semua tujuan ini selaras dengan prinsip dan kriteria RSPO yang diperbarui tahun 2018. Lembaga-lembaga seperti MVO, Federasi Nasional Petani Kelapa Sawit Kolombia (Fedepalma) dan IDH ikut terlibat, melalui MoU yang bertujuan untuk mempromosikan perdagangan minyak kelapa sawit berkelanjutan antara Kolombia dan Belanda, dan untuk meningkatkan produksi minyak sawit berkelanjutan bersertifikat (CSPO) melalui pencantuman praktik-praktik berkelanjutan di negara-negara Eropa di tahun 2020. Dalam diskusi selama penandatangan perjanjia tersebut ditemukan pengalaman petani kecil dari Catatumbo (salah satu kota yang paling terkenal konflik bersenjata di Kolombia) yang berbagi pengalamannya dengan menerapkan praktik berkelanjutan di perkebunan mereka melalui standar RSPO mereka mendapatkan peluang kerja, pengelolaan limbah dan manajemen agrokimia yang bertanggungjawab. Selanjutnya, lembaga sertifikasi dan LSM lingkungan secara resmi setuju untuk terus bekerja dengan menerapkan standar RSPO di negara mereka (RSPO, 2018).

Kolombia memiliki peluang untuk minyak sawit berkelanjutan, dengan perkiraan 16% dari 50 juta penduduknya bekerja di sektor pertanian dan jutaan hektar lahan yang siap untuk di tanami sehingga memiliki peluang untuk menjadi sumber pangan dan biofuel yang diperoduksi secara berkelanjutan untuk konsumsi global. Industri kelapa sawit di Kolombia sudah mencapai 15% dan sedang diandalkan sebagai sektor utama dalam proses perdamaian di Kolombia.

(18)

31

Efesiensi minyak sawit dalam membawa stabilitas sosial telah dibuktikan oleh sebuah studi pemerintahan Kolombia yang menunjukan bahwa di daerah konflik pendapatan per kapita daerah dari budidaya kelapa sawit sebanyak 30% lebih tinggi di bandingkan daerah tanpa budidaya kelapa sawit (Colombia Palm Oil Report, 2019). Dalam mengakui kredibilitas global RSPO untuk minyak sawit bersertifikat, federasi nasional petani kelapa sawit atau Fedepalma bekerjasama dengan RSPO untuk mendapatkan 50% dari produksinya di tahun 2021, hal ini bertujuan untuk memperlihatkan komitmen industri minyak sawit yang berkelanjutan. Industri minyak sawit Kolombia dibawah arahan Fedepalma memastikan bahwa mereka dapat melakukan penghematan gas rumah kaca dalam biodisiel dan tidak ada ancaman terhadap keamanan pangan global (CSPO Wacth, 2019). Kolombia merupakan produsen minyak kelapa sawit dan RSPO CSPO terbesar di wilayahnya dengan 10 perusahaan bersertifikasi dan 9 perusahaan tambahan dalam proses sertifikasi. Dengan penandatanganan Nota Kesepahaman dan melibatkan semua pihak untuk mencapai keberlanjutan dalam industri kelapa sawit Kolombia akan memberikan manfaat penting seperti meningkatnya produksi, perdagangan dan penyerapan RSPO CSPO.

4.5. Kepentingan Eropa melalui RED dan Singgungan terhadap Kepentingan Indonesia Dikeluarkannya RED menjadi suatu hal yang bertolak belakang dari kepentingan

Indonesia dan Uni Eropa, untuk itu maka penulis akan memaparkan kepentingan Uni Eropa dalam memprakarsai kebijakan RED dan singgungan terhadap kepentingan Indonesia. Politik minyak sawit menjadi isu yang menarik untuk dilihat, dimana Indonesia berupaya memberikan complain kepada keputusan parlemen Uni Eropa yang melarang masuknya minyak sawit dalam pembuatan biofuel. Direktur Jendral Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan di lansir dari BBC Indonesia, Oke Nurwan menyampaikan bahwa Eropa bersikap diskriminasi terhadap minyak sawit Indonesia. Menurutnya jika sawit tergolong bahan baku berisiko tinggi terhadap sawit maka sejumlah bahan baku dari Eropa juga perlu dikategorikan berisiko tinggi. Ucapnya "Yang jelas kita merasakan diskriminasi terhadap produk yang tumbuh di negara mereka, seperti sun flower, rapeseed, 'kok tidak digolongkan high risk," katanya kepada Arin Swandari untuk BBC News Indonesia.

Dari hal ini tentunya memberikan pertanyaan apa sebenarnya yang membuat Uni Eropa gentar mengeluarkan keputusan tersebut. Uni Eropa mengeluarkan penolakan terhadap minyak nabati berbasis minyak sawit yang di keluarkannya melalui Renewable Energy Directive (RED II) dengan alasan proses ahli fungsi lahan, proses terjadinya deforestasi dengan membakar lahan

(19)

32

untuk perluasan lahan-lahan. Hal ini tentunya mengharuskan Indonesia memberikan bukti bahwa minyak sawit tidak menimbulkan deforestasi. Melihat profil perdagangan Uni Eropa dan Indonesia pada tahun 2017-2018 meningkat 14% atau sebanyak 28,8M, sawit berkontribusi terhadap surplus Indonesia selain dari itu minyak sawit menyediakan lowongan pekerjaan kepada 20 juta petani. Mengapa UE sangat melarang minyak sawit sedangkan negara-negara Uni Eropa sendiri juga membutuhkan minyak sawit dalam pembuatan kosmetik.

Gambar II. Sawit dan pesaingnya di dunia

Sumber : validnews.id, 2017

Berdasarkan gambar II di atas minyak sawit dan pesaingnya di dunia, negara produsen minyak sawit terbesar ialah Indonesia dengan produksi 36 juta ton, negara produsen terbesar minyak kedelai ialah China sebanyak 16,84 juta ton, negara produsen terbesar minyak bunga matahari di pegang oleh Ukraina sebesar 11,90 juta ton dan negara produsen terbesar minyak rapeseed ialah Uni Eropa sebesar 20,53 juta ton. Dari data di atas menunjukan bahwa minyak sawit adalah pesaing utama minyak rapeseed, apakah hal ini menjadi alasan UE mengeluarkan larangan terhadap minyak sawit tidak lebih karena alasan bisnis ataukah alasan persaingan ?

Di sisi lain pola konsumsi minyak nabati Uni Eropa mengalami perubahan, dimana sepertiga konsumsi nabati Uni Eropa di tahun 2000 ialah rapeseed, lalu yang kedua ialah CPO sebanyak 27% dan untuk posisi ketiga ialah soybean oil sebanyak 21%. Hingga pada tahun 2009 konsumsi rapeseed cenderung mengalami peningkatan sebanyak 599 ribu ton pertahunnya atau

(20)

33

meningkat 10 persen/tahunnya. Namun, semenjak 2009 hingga 2016 menurun dengan rata-rata 0.03 persen/tahunnya. Disisi lain konsumsi CPO mengalami peningkatan 2009-2016 sebesar 3,23 persen per tahunnya (Europian Commission, 2019).

Berdasarkan pola konsumi minyak nabati Uni Eropa dapat di lihat Uni Eropa memberlakukan substitusi impor (IS) dimana substitusi impor merupakan usaha yang digunakan oleh suatu negara untuk melakukan subtitusi barang-barang impor dengan barang produksi domestik yang sejenis atau penggantian barang-barang impor dengan menggunakan produksi dalam negeri (Colma&Nixon dalam buku Politik Bisnis Internasional, Hadiwinata). Dalam menerapkan langkah ini maka Uni Eropa perlu untuk melindungi sektor-sektor domestiknya dengan memberlakukan tarif yang tinggi dan membatasi kuota untuk meminimalisir masuknya produk impor yang dimana akan berdampak pada persaingan produksi domestiknya. Uni Eropa melakukan subtitusi impor dengan membatasi bahkan akan perlahan menghapuskan impor minyak sawit dari Indonesia sebagai bahan biofuel, dengan situasi ini maka akan menyebabkan persaingan, minyak sawit dan rapeseed bersaing untuk memperebutkan pasar, ini kemudian memerlukan waktu untuk menjadi perlu di ikuti lebih lanjut. Meskipun memang benar Uni Eropa bukan pasar utama ekspor minyak sawit karena ada India di posisi pertama, tapi dengan melihat data siapa yang menjadi eksportir dengan produk yang hampir mirip maka wajar jika kita mempertanyakan apakah pelarangan minyak sawit masuk ke Uni Eropa untuk bahan biofuel memang benar alasan diforestasi ataukah persaingan bisnis.

4.6 Aspek tiga negara (Indonesia, Malaysia dan Kolombia) dalam pembentukan CPOPC Dalam melihat peran CPOPC dengan adanya RED maka perlu untuk melihat aspek-aspek

apa saja yang menjadi tujuan negara-negara anggota dalam pembentukan CPOPC sesuai yang telah dituliskan oleh penulis dalam Bab II sebelumnya dan aspek apa saja yang berhubungan dengan peran CPOPC dalam menghadapi RED yang nantinya akan di bahas di bab V. Dewan negara-negara penghasil minyak sawit (CPOPC) merupakan organisasi antar pemerintah yang mewakili negara-negara penghasil kelapa sawit, didirikan 21 November 2015 dengan tujuan untuk mempertahankan dan mendukung negara-negara penghasil kelapa sawit berdasarkan kepentingan bersama. Meskipun CPOPC didirikan beberapa tahun lalu, pada pertengahan 2017 organisasi secara efektif diluncurkan ketika ratifikasi dokumen hukum diperbolehkan untuk rekrumen staf dan pendirian fasilitas kantor.

(21)

34

Adapun isi pokok-pokok yang diatur dalam piagam CPOPC ialah, sebagai berikut:

1) Menyediakan konsultasi pembangunan industri minyak sawit kepada pemangku kepentingan yang ada di negara-negara pembudidaya kelapa sawit

2) Meningkatkan kesejahteraan para pekebun kelapa sawit

3) Membangun dan membentuk kerangka global dengan prinsip minyak sawit yang berkelanjutan termasuk dalam zona ekonomi hijau

4) Mengantisipasi hambatan yang akan terjadi dalam proses perdagangan minyak sawit

5) Kerjasama dalam penelitian dan pengembangan serta pelatihan dengan melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kepentingan perindustrian minyak sawit

Dari ke lima aspek di atas, maka yang paling sesuai dengan peran CPOPC dalam menghadapi RED II ialah aspek nomor 4 mengantisipasi adanya hambatan yang akan terjadi dalam proses perdagangan minyak sawit. Dengan adanya RED tentu menghambat perdagangan minyak sawit secara khusus bagi Indonesia yang dalam tahap pengurangan hingga penghapusan ekspor minyak sawit ke pasar Uni Eropa. Maka akan dilihat bagaimana CPOPC sebagai lembaga yang mengayomi negara produksi minyak sawit untuk mengatasi hambatan perdagangan dari Uni Eropa melalui RED. Maka di bab V akan terdapat analisis langkah apa yang dilakukan oleh CPOPC dalam meningkatkan produksi minyak sawit yang berkelanjutan.

Hal ini bertujuan untuk mempromosikan dan mempertahankan minyak kelapa sawit sebagai produk premium minyak nabati dalam sistem perdagangan global dengan meningkatkan partisipasi kerjasama antar negara industri kelapa sawit. Keberlanjutan minyak kelapa sawit merupakan tantangan yang sangat signifikan terutama dari negara-negara Eropa, yang menyamakan minyak kelapa sawit dengan deforestasi. Melihat hal ini maka ada masalah lingkungan yang harus di atasi, dengan begitu fokus CPOPC ialah aspek ke 4. Kelapa sawit memiliki peran penting dalam mempromosikan keseluruhan keberlanjutan minyak nabati dalam hal melindungi minyak sawit dari pengecualian produktivitasnya dibandingkan dengan yang lain seperti, minyak rapeseed dan minyak kedelai.

Gambar

Tabel I. Produksi minyak sawit (CPO) di Indonesia, Malaysia dan Kolombia tahun  2009-2015 (ton)
Gambar II. Sawit dan pesaingnya di dunia

Referensi

Dokumen terkait

Fasilitas Wisata Kuliner Solo di Solo Baru, memiliki fungsi sebagai wadah untuk memperkenalkan beranekaragam makanan Solo kepada masyarakat, dan mengangkat citra kota

Pengujian Peningkatan Produktivitas Menggunakan alat analisis statistik yaitu uji hipotesis, dilakukan dalam 2 tahap: Tahap I: untuk menguji apakah ada perbedaan

Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan dapat diketahui potensi kayu Ketapang untuk dijadikan bio-oil sebagai bahan bakar alternatif serta mengetahui pengaruh

pendidikan rumah tangga miskin di Kelurahan Binuang Kampung Dalam Kecamatan Pauh Kota Padang, 2) Pekerjaan rumah tangga miskin di Kelurahan Binuang Kampung Dalam

1) Melaksanakan, mengatur dan mengawasi rencana pekerjaan administrasi pabrik seperti perawatan bangunan pabrik, mesin-mesin, peralatan dan juga produksi yang disesuaikan

 Mohon kehadiran anggota Komisi Germasa dan Pengurus Inti ke-6 Pelkat dalam pertemuan dengan Ketua II PHMJ yang akan dilaksanakan pada hari Minggu, tanggal 19 Juli

Mata kuliah dalam lingkup Ujian Lokal, yang nilainya kelak tercantum dalam Transkrip Nilai Ujian Negara/Unas, meliputi:5. Teologi PL dan PB

2 Pelaksanaan program penelitian (dosen dan mahasiswa) dalam lingkup teknologi kendaraan efisien yang berdasar pada roadmap penelitian Program Studi, skenario