• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM MDGs DAN KESIAPAN MENYONGSONG SDGs

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM MDGs DAN KESIAPAN MENYONGSONG SDGs"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM MDGs DAN

KESIAPAN MENYONGSONG SDGs

Sumaryanto

PENDAHULUAN

Sasaran Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals – MDGs) akan berakhir Tahun 2015. Setelah itu akan dilanjutkan dengan Sustainable Development

Goals (SDGs). Oleh karena itu pencapaian target MDGs adalah modal dasar untuk

SDGs. Agenda pokok SDGs adalah merampungkan pencapaian target MDGs yang tersisa, meningkatkan kualitas pencapaian target yang telah ada; dan terkait dengan mandat Rio+20 akan meningkatkan bobot perhatian pada aspek sosial dan lingkungan hidup. Berprinsip pada sinergi sosial-ekonomi-lingkungan, strategi pencapaian SDGs akan berbasis pendekatan partisipatif pada proses perencanaan dan pelaksanaan yang bersifat bottom-up.

Pada dasarnya 8 sasaran Pembangunan Milenium saling terkait dan strategi pencapaiannya membutuhkan pendekatan multidisiplin dan lintas sektor yang terkoordinasikan secara sistematis dan konsisten. Semua sektor berkontribusi, baik langsung maupun tidak langsung dalam suatu konstelasi yang kompleks dan dinamis. Oleh karena itu manfaat utama dari pengetahuan, data, informasi dan rekomendasi dari hasil kajian empiris mengenai kontribusi suatu sektor dalam pencapaian MDGs adalah untuk menyempurnakan kebijakan dan penentuan skala prioritas program/kegiatanpada sektor tersebut; tetapi kurang relevan untuk dasar pertimbangan penentuan alokasi anggaran antar sektor dalam kebijakan fiskal.

Adalah fakta bahwa dimensi ekonomi mendominasi nilai-nilai peradaban masyarakat modern. Mengacu fakta tersebut maka sasaran nomor 1 dalam MDGs yaitu eradikasi kemiskinan dan kelaparan dapat dipandang sebagai epicentrum MDGs.

Sektor pertanian adalah penghasil pangan. Sementara itu aktor utama pertanian adalah petani serta buruh tani yang sebagian besar tinggal di pedesaan. Jumlahnya sangat besar dan secara umum tingkat kesejahteraan mereka tertinggal dari kelompok masyarakat lainnya. Oleh karena itu meskipun kontribusi relatif sektor pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) makin rendah tetapi peran sektor ini sangat strategis, baik dalam pencapaian MDGs maupun SDGs.

Menjelang 2015 hampir semua negara berkepentingan melakukan akselerasi pencapaian MDGs. Pencapaian MDGs adalah modal dasar untuk pembangunan milenium pasca 2015 yaitu SDGs. Sebanyak 192 negara sepakat bahwa dalam SDGs terkandung muatan satu mandat hasil pertemuan The United Nations Conference on

(2)

2012. Tantangan utamanya adalah mencapai pembangunan berkelanjutan melalui perbaikan lingkungan hidup tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial; sedangkan strateginya berbasis partisipatif dengan pemberian bobot yang lebih besar pada pendekatan bottom up. Mengingat bahwa SDGs pada dasarnya merupakan kelanjutan dari MDGs maka pembelajaran dari MDGs sangat berharga dalam perumusan sasaran, indikator, target, dan strategi pencapaian SDGs. Pembelajaran tersebut dapat diperoleh dari hasil monitoring, kajian, dan penelitian empiris.

Pada dasarnya motivasi dan orientasi pembangunan milenium adalah “human development” sehingga strategi pencapaian sasarannya terkait dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat dalam perkembangan peradaban. Dalam konteks itu ternyata nilai-nilai yang dianut masyarakat dalam peradaban modern didominasi dimensi ekonomi. Kecenderungan ini berlaku pada lingkup global, regional, nasional, bahkan pada sebagian besar komunitas lokal1. Oleh karena itu sasaran nomor 1 yaitu “eradikasi kemiskinan dan kelaparan” seringkali dipandang sebagai epicentrum sasaran MDGs.

Salah satu kunci sukses pencapaian MDGs dan SDGs terletak pada kinerja sektor pertanian2. Ini merupakan implikasi logis dari kodisi berikut. Pertama, mayoritas

penduduk miskin berada di negara-negara berkembang yang nafkah utamanya bergantung pada sektor pertanian. Kedua, adanya keterkaitan yang sangat erat antara kemiskinan dan kerawanan pangan; sedangkan penghasil pangan adalah sektor pertanian. Ketiga, sektor pertanian sangat rentan terhadap perubahan iklim sehingga masa depan ketahanan pangan sangat ditentukan keberhasilan sektor pertanian dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Faktanya, berbagai hasil penelitian empiris menunjukkan bahwa peran sektor pertanian dalam pengentasan kemiskinan yang pada dasarnya merupakan epicentrum sasaran MDGs sangat besar dan tidak hanya mencakup aspek-aspek kuantitatif karena sifat multifunctionality pertanian melibatkan dimensi-dimensi kualitatif yang sebagian diantaranya bersifat intangible (Rosegrant et al, 2006; Dewbre, 2011; Suryahadi and Hadiwidjaja, 2011; Grewal et al, 2012).

Di dalam negeri, monitoring dan evaluasi terhadap pencapaian MDGs lingkup nasional dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian terkait. Secara umum perkembangan yang telah dicapai sampai saat ini menunjukkan kemajuan yang menggembirakan. Beberapa indikator MDGs secara nasional telah tercapai dan sebagian besar target MDGs secara nasional diperkirakan akan tercapai (on track). Meskipun demikian untuk mempertahankan dan meningkatkan kinerja capaian MDGs masih perlu upaya-upaya khusus antara lain pada target penurunan angka kematian ibu melahirkan, pencegahan HIV/AIDS dan peningkatan tutupan lahan. Pada saat yang

1 Banyak bukti menunjukkan bahwa berbagai kasus konflik sosial berakar dari permasalahan ekonomi.

Secara empiris banyak kasus menunjukkan bahwa kemiskinan yang diderita individu, rumah tangga, ataupun suatu komunitas menyebabkan akses mereka pada kecukupan pangan, fasilitas perumahan, kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup yang layak; bahkan keaamanan, keadilan dan kemerdekaan menjadi sangat terbatas.

2 Bagi Indonesia, sektor pertanian terbulti pula sebagai “sektor kunci” resiliensi perekonomian nasional dari

(3)

sama, kesenjangan antardaerah dalam pencapaian sasaran MDGs perlu terus diperkecil, antara lain dengan memberikan perhatian yang lebih besar bagi daerah-daerah yang kinerja pencapaian MDGs-nya masih di bawah rata-rata nasional (BAPPENAS, 2012).

Terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga terentaskan dari kemiskinan dan kelaparan adalah hasil pembangunan dari berbagai sektor melalui peran langsungnya maupun peran tidak langsungnya melalui kaitan ke depan (forward linkage) dan kaitan ke belakang (backward linkage) dalam sistem ekonomi. Disisi lain, proses terbentuknya kemiskinan tidak hanya melibatkan variabel-variabel ekonomi tetapi juga melibatkan aspek-aspek sosial, budaya, hukum, dan politik dalam suatu konstelasi hubungan yang sangat rumit. Dengan demikian peranan suatu sektor dalam eradikasi kemiskinan dan kelaparan sesungguhnya sangat sulit diukur dan di sisi lain kurang relevan jika dialamatkan untuk “klaim keberhasilan atau ketidak berhasilan” yang dicapai suatu sektor dan kemudian digunakan sebagai justifikasi dalam alokasi anggaran antar sektor dalam kebijakan fiskal.

Mengacu pada prinsip itu maka motivasi dan orientasi tulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana kemajuan yang dicapai dalam pembangunan pertanian dapat berkontribusi dalam peningkatan kesejahteraan petani khususnya dan rumah tangga pedesaan pada umumnya. Relevansi dan legitimasi tulisan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa salah satu misi pembangunan pertanian adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani yang dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010 – 2014 juga ditempatkan sebagai salah satu aspek dari empat target sukses Kementerian Pertanian (Kementerian Pertanian, 2010).

Tulisan ini membahas peranan sektor pertanian dalam pencapaian sasaran MDGs, terutama pada sasaran nomor 1 yaitu pengurangan proporsi penduduk miskin dan eradikasi kelaparan. Pada bagian akhir tulisan dibahas sejauh mana kesiapan sektor ini dalam menyongsong SDGs.

GAMBARAN PENCAPAIAN EPISENTRUM MDGS DI INDONESIA

Sasaran Pembangunan Milenium merupakan komitmen internasional tentang sasaran pembangunan manusia (human development) dan Indonesia ikut di dalamnya. Sasaran yang akan dicapai dalam MDGs dijabarkan dalam 8 tujuan3. Tujuan nomor 1 adalah “menanggulangi kemiskinan dan kelaparan” dan serigkali dipandang sebagai epicentrum sasaran MDGs karena: (a) pencapaian target ini merupakan komponen penunjang utama untuk pencapaian tujuan MDGs lainnya, (b) secara

3 Terdapat 8 sasaran MDGs yaitu: (1) eradikasi kemiskinan ekstrim dan kelaparan, (2) mencapai pendidikan

dasar untuk semua, (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) menurunkan angka kematian anak, (5) meningkatkan kesehatan ibu, (6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, (7) memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan (8) membangun kemitraan global untuk pembangunan.

(4)

empiris populasi global yang tergolong miskin dan mengalami kelaparan masih sangat besar jumlahnya.

Peran strategis sasaran nomor 1 ini tidak akan berhenti pada pencapaian sasaran MDGs, tetapi juga untuk sasaran pada pembangunan milenium pasca 2015 yang disepakati dengan istilah Sustainable Development Goals (SDGs). Alasannya adalah sebagai berikut. Pertama, adalah fakta bahwa jumlah penduduk miskin sangat besar sehingga tidak mungkin dapat ditanggulangi dalam jangka pendek dan menengah. Kedua, implikasi dari perubahan iklim terhadap ketahanan pangan karena pertumbuhan vegetatif dan produktif komoditas pertanian sangat rentan terhadap variabilitas iklim yang sangat tajam atau ekstrim (IPCC, 2007; FAO, 2007). Kondisi ini menyebabkan: (a) pertumbuhan produksi pangan melemah, (b) harga pangan cenderung meningkat dan semakin volatil. Pada gilirannya, hal itu menyebabkan laju penurunan angka kemiskinan menjadi lebih lambat karena: (a) sebagian individu atau rumah tangga yang semula telah terangkat dari garis kemiskinan (dan masih berada di dekat border line garis kemiskinan) sangat potensial terjatuh kembali menjadi miskin, dan (b) munculnya barisan kelompok miskin yang baru.

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan dan kelaparan mencakup aspek ekonomi maupun sosial budaya.

Dari sudut pandang ekonomi, penyebab kemiskinan terkait dengan tiadanya atau sangat terbatasnya kemampuan individu untuk mengakses kesempatan memperoleh pendapatan sehingga kebutuhan dasarnya tidak dapat dipenuhi. Dari sudut pandang sosial budaya, kemiskinan seringkali dipandang sebagai outcomes dari interaksi sosial dimana sistem kelembagaan yang berlaku mengalami kegagalan dalam mencegah terpinggirkannya sebagian anggota komunitas untuk berpartisipasi optimal dalam mengakumulasikan nilai-nilai yang dijunjung komunitas tersebut sehingga harkatnya sebagai manusia sangat tertinggal dari kelompok lainnya. Oleh karena itu kemiskinan bersifat multidimensi. Kemiskinan mengacu pada ukuran absolut maupun ukuran relatif. Implikasinya, pengentasan kemiskinan membutuhkan pendekatan multi disiplin dan lintas sektor yang terkoordinasikan dengan harmonis dan konsisten. Mengacu pada akar penyebab dan proses terbentuknya kemiskinan, perumusan strategi pengentasan kemiskinan harus mempertimbangkan dengan seksama implikasi dari keragaman di ranah akar rumput (grassroot). Kondisi sosial, kultural, dan geografis adalah beragam sehingga pendekatan “one size fits for all” tidak mungkin diterapkan. Oleh karena itu MDGs dan SDGs disusun untuk men-drive pembangunan dengan pendekatan multisektor (Maftuchan, 2013).

Sampai dengan 2015, target yang akan dicapai untuk tujuan nomor 1 tersebut adalah: (a) menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk berpendapatan kurang dari USD 1 (Purchasing Power Parity – PPP) per hari dalam kurun waktu sekitar 15 tahun dari 1990 – 2015, (b) menciptakan kesempatan kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak untuk semua, termasuk perempuan dan kaum muda, dan

(5)

(c) menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk yang menderita kelaparan dalam kurun waktu 1990-2015.

Publikasi Badan Pusat Statistik (2014) menyajikan bahwa per September 2013 proporsi penduduk miskin adalah 11,7 persen. Jika dirinci menurut wilayah, di perkotaan adalah 8,52 persen, sedangkan di pedesaan 14,42 persen. Pada tahun 1990 proporsinya adalah 15,10; di perkotaan 16,80 persen, sedangkan di pedesaan 14,30 persen. Dengan urutan yang sama, pada tahun 2000 angkanya adalah 19,14 persen; di perkotaan 14,60 persen, di pedesaan 22,38 persen4. Pada tahun 2010, proporsi

penduduk miskin masih mencapai 13,33 persen; di perkotaan 9,87 persen, sedangkan di pedesaan 16,56 persen. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa: (a) proporsi penduduk miskin makin kecil tetapi laju penurunannya bervariasi antar periode, (b) proporsi penduduk miskin di pedesaan lebih besar daripada penduduk perkotaan, (c) dinamika penurunan kemiskinan di perkotaan lebih sensitif terhadap perkembangan ekonomi nasional, (d) laju penurunan jumlah penduduk miskin di perkotaan lebih cepat daripada di pedesaan, dan (e) untuk menurunkan proporsi penduduk miskin menjadi separuhnya dalam periode 1990 – 2013 masih diperlukan kerja keras.

Makna di balik angka-angka tersebut tampaknya kurang konvergen dengan optimisme yang tersirat dalam laporan hasil monitoring dan evaluasi atas pencapaian target MDGs dalam BAPPENAS (2012) yang menyatakan bahwa dalam periode 1990– 2011 Indonesia berhasil menurunkan tingkat kemiskinan menjadi hampir setengahnya. Kemajuan juga telah dicapai dalam upayauntuk lebih menurunkan lagi tingkat kemiskinan, sebagaimanadiukur oleh garis kemiskinan nasional dari tingkat saat ini sebesar13,33 persen (2009) dan diperkirakan dapat menuju targetnya sebesar 8-10 persen pada tahun 2014. Prevalensi kekurangan gizi pada balita telah menurun dari 31 persen pada tahun 1989 menjadi 18,4persen pada tahun 2007, sehingga Indonesia diperkirakan dapat mencapai target MDGsebesar 15,5 per sen pada tahun 2015.

Menurut Tangka (2013), penentuan garis kemiskinan di Indonesia kurang tepat jika hanya menggunakan batas ambang garis kemiskinan sebesar USD 1 per kapita per hari seperti yang ditetapkan oleh bank dunia. Kemiskinan adalah masalah yang sangat kompleks, sehingga pengukurannya perlu memperhitungkan faktor-faktor penting lain. Hal ini antara lain disebabkan : (a) situasi yang dialami masyarakat saat ini sangat berbeda dengan sebelum tahun 1996 di mana Indonesia belum mengalami berbagai krisis dan inflasi, (b) angka kemiskinan Indonesia tahun 1990 sebesar 15,1 persen sebagai dasar penentuan target penduduk yang hidup di bawah kemiskinan kurang tepat.Dasar perhitungan tersebut sebaiknya tidak diperbandingkan dengan tahun-tahun berikutnya yang memiliki situasi yang berbeda, (c) dalam laporan PBB penggunaan indikator USD 1 per kapita per hari tidak dapat memberi gambaran kemiskinan yang valid karena profil kemiskinan di setiap daerah tidak sama.

Terlepas dari belum adanya metode pengukuran yang tanpa kritik, pencapaian atas target penurunan angka kemiskinan adalah suatu keberhasilan yang pantas

4 Tahun 2000 merupakan tahun kedua proses pemulihan ekonomi dari kontraksi dahsyat perekonomian

(6)

diapresiasi. Akan tetapi perlu digaris bawahi bahwa berpuas diri atas capaian itu tidaklah layak. Secara filosofis, pengentasan kemiskinan adalah agenda pokok pembangunan manusia yang tak akan pernah selesai. Kemiskinan merupakan kegagalan dalam banyak dimensi kehidupan manusia yang dapat terlihat seperti kelaparan, kesehatan yang buruk, malnutrisi, pengangguran, tingkat pendidikan yang rendah, tempat tinggal yang tidak layak, kerentanan, ketidakberdayaan, terkucilkan dalam lingkungan sosial, dan lain sebagainya (Kakwani and Silber, 2008)5.

PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN DAN

IMPLEMENTASINYA

Krisis Ekonomi tahun 1998 menyebabkan angka kemiskinan yang pada tahun 1996 sekitar 17,5 melonjak menjadi 24,2 persen. Terkait dengan itu, pengentasan kemiskinan merupakan salah satu agenda pokok pembangunan nasional sejak reformasi.

Pelaksanaan program penanggulanan kemiskinan yang dilakukan sejak tahun 1998 sampai saat ini, secara umum mampu menurunkan angka kemiskinan sehingga pada tahun 2011 menjadi sekitar 12,49%. Tercatat pada rentang tahun 2005 sampai 2009 Indonesia mampu menurunkan laju rata-rata penurunan jumlah penduduk miskin per tahun sebesar 0,8%.

Pemerintah menciptakan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang terintegrasi mulai dari program penanggulangan kemiskinan berbasis bantuan sosial, program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat serta program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan usaha kecil, yang dijalankan oleh berbagai elemen Pemerintah baik pusat maupun daerah. Untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaannya, diterbitkan Perpres No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, yang bertujuan untuk mempercepat penurunan angka kemiskinan hingga 8 % sampai 10% pada akhir tahun 2014.

Terdapat empat strategi dasar yang telah ditetapkan dalam melakukan percepatan penanggulangan kemiskinan, yaitu: (a) menyempurnakan program perlindungan sosial, (b) peningkatan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar, (c) pemberdayaan masyarakat, dan (d) pembangunan yang inklusif. Terkait dengan strategi tersebut diatas, pemerintah telah menetapkan instrumen penanggulangan kemiskinan yang dibagi berdasarkan empat klaster yang dikelola oleh berbagai Kementerian dan Lembaga Pemerintah. Gambaran ringkas untuk masing-masing klaster adalah sebagai berikut.

5 Tulisan ini tidak berpretensi untuk mempersoalkan kontroversi tersebut dan tidak pula diorientasikan untuk

mencari metode pengukuran yang dianggap tepat karena kemiskinan bersifat multi dimensi sehingga indikator yang digunakan dalam pengukuran masih selalu mengundang kritik; tergantung sudut pandang yang diterapkan untuk mengevaluasinya.

(7)

Klaster I. Program Bantuan Sosial Terpadu Berbasis Keluarga

Kelompok program penanggulangan ini dimaksudkan untuk mendukung pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, serta perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin. Orientasinya difokuskan untuk memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat miskin untuk kehidupan lebih baik, seperti pemenuhan hak atas pangan, pelayanan kesehatan, dan pendidikan.

Karakteristik program pada kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis bantuan dan perlindungan sosial adalah bersifat pemenuhan hak dasar utama individu dan rumah tangga miskin yang meliputi pendidikan, pelayanan kesehatan, pangan, sanitasi, dan air bersih. Ciri lain dari kelompok program ini adalah mekanisme pelaksanaan kegiatan yang bersifat langsung dan manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat miskin.

Cakupan program pada kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis bantuan dan perlindungan sosial dititikberatkan pada pemenuhan hak dasar utama. Hak dasar utama tersebut memprioritaskan pada pemenuhan hak atas pangan, pendidikan, pelayanan kesehatan, serta sanitasi dan air bersih. Jenis Program Klaster I yaitu Jamkesmas, Program Keluarga Harapan, Raskin dan BSM

1. Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)

Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) adalah program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan hampir miskin. Semenjak diberlakukannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) semenjak 1 Januari 2014, maka program Jamkesmas melebur ke dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Masyarakat miskin dan hampir miskin yang sebelumnya menjadi peserta Jamkesmas akan secara otomatis menjadi peserta JKN, iuran kepesertaannya dibayarkan oleh Pemerintah yang disebut sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI).

2. Program Keluarga Harapan (PKH)

Program Keluarga Harapan (PKH) adalah program perlindungan sosial yang memberikan bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) yang telah ditetapkan sebagai peserta PKH dan bagi anggota keluarga RTSM diwajibkan melaksanakan persyaratan dan ketentuan yang telah ditetapkan. Agar memperoleh bantuan, peserta PKH diwajibkan memenuhi persyaratan dan komitmen yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), yaitu pendidikan dan kesehatan. Untuk jangka pendek, program ini ditujukan untuk mengurangi beban RTSM, sedangkan untuk jangka panjang diharapkan dapat memutus mata rantai kemiskinan antar generasi, sehingga generasi berikutnya dapat keluar dari perangkap kemiskinan.

(8)

Tabel 1. Wilayah Pelaksanaan PKH sampai dengan tahun 2014

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Provinsi 7 13 13 20 25 33 33 33

Kabuapaten/Kota 48 70 70 88 119 166 497 497 Kecamatan 337 637 781 946 1.387 1.909 2.667 3.342 Sumber: Kementerian sosial

Hak RTSM yaitu mendapatkan bantuan uang tunai. Tanggung jawab RTSM adalah memeriksakan anggota keluarganya (Ibu Hamil dan Balita) ke fasilitas kesehatan (Puskesmas, dll) dan menyekolahkan anaknya dengan tingkat kehadiran sesuai ketentuan. Gambaran mengenai perkembangan wilayah pelaksanaan PKH dari 2007 – 2014 dapat disimak pada Tabel 1.

Sejak tahun 2007, peserta PKH diarahkan pada RTSM. Tetapi mulai tahun 2012 basis bantuan kemudian diarahkan pada KSM yang terdiri dari orang tua (ayah dan ibu) serta anak. Perubahan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa keluarga adalah satu unit yang relevan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Secara umum terjadi penambahan kepesertaan PKH sepanjang tahun 2012 hingga 2013. Data UPPKH menunjukkan pada tahap 1 tahun 2012, total peserta adalah 906.232 KSM. Angka ini bertambah hingga 58, 77% pada tahap ke-2 tahun 2013, yakni sebanyak 1.438.825 RTSM/KSM. Menurut komposisinya, prosentase penambahan RTSM/KSM dari tahap 1 – 2012 menuju tahap 2 – 2013 adalah: peserta program Kesehatan saja bertambah sebanyak 87%, peserta program Pendidikan saja bertambah sebanyak 46,5%, dan peserta program Pendidikan sekaligus Kesehatan bertambah sebanyak 69,3%.

3. Beras Untuk Keluarga Miskin (Raskin)

Program Beras Untuk Keluarga Miskin (Raskin) merupakan subsidi pangan yang diperuntukkan bagi keluarga miskin sebagai upaya dari pemerintah untuk meningkatkan ketahanan pangan dan memberikan perlindungan pada keluarga miskin. Tujuan program Raskin untuk mengurangi beban pengeluaran Rumah Tangga Sasaran (RTS) melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan pokok dalam bentuk beras dan mencegah penurunan konsumsi energi dan protein. Selain itu Raskin bertujuan untuk meningkatkan/membuka akses pangan keluarga melalui penjualan beras kepada keluarga penerima manfaat dengan jumlah yang telah ditentukan.

4. Program Bantuan Siswa Miskin (BSM)

Program Bantuan Siswa Miskin (BSM) adalah bantuan yang diberikan kepada siswa dari keluarga kurang mampu untuk dapat melakukan kegiatan belajar di sekolah. Bantuan ini memberikan peluang bagi siswa untuk mengikuti pendidikan di level yang lebih tinggi.

(9)

Tujuan BSM agar siswa dari kalangan tidak mampu dapat terus melanjutkan pendidikan di sekolah. Selain itu juga bertujuan untuk mengurangi jumlah siswa putus sekolah akibat permasalahan biaya pendidikan.

Klaster II. Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat

Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah tahap lanjut dalam proses penanggulangan kemiskinan. Pendekatan pemberdayaan sebagai instrumen dari program ini dimaksudkan tidak hanya melakukan penyadaran terhadap masyarakat miskin tentang potensi dan sumberdaya yang dimiliki, akan tetapi juga mendorong masyarakat miskin untuk berpartisipasi dalam skala yang lebih luas terutama dalam proses pembangunan di daerah.

Karakteristik program pada kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat adalah: (a) menggunakan pendekatan partisipatif, (b) penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat, (c) pelaksanaan berkelompok kegiatan oleh masyarakat secara swakelola dan berkelompok, dan (d) perencanaan pembangunan yang berkelanjutan. Menurut jenisnya, program Klaster II ini antara lain adalah:

1. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri)

Program PNPM Mandiri terdiri dari berbagai program, yaitu: a. PNPM Mandiri Perdesaan

Program ini dikembangkan dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang telah dilaksanakan sejak 1998. Tujuannya adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam membangun daerahnya.

b. PNPM Perdesaan R2PN (Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pulau Nias)

Sesuai namanya, program ini khusus ditujukan di Pulau Nias yang mengalami kemiskinan mendadak yang masif akibat bencana gempa.

c. PNPM Mandiri Agribisnis/SADI (Smallholder Agribusiness Development Initiative)

PNPM Mandiri SADI adalah program untuk mempercepat upaya pengentasan kemiskinan di daerah perdesaan dengan meningkatkan pendapatan rumah tangga petani miskin melalui peningkatan kapasitas khusus kelompok yang dipilih petani untuk meningkatkan produktivitas dan akses ke pasar. Kelompok sasarannya adalah rumah tangga petani miskin. d. PNPM Generasi Sehat Dan Cerdas

PNPM Generasi Sehat dan Cerdas merupakan program pemerintah yang memfasilitasi masyarakat dalam rangka perencanaan dan pelaksanaan kegiatan untuk peningkatan derajat kesehatan ibu dan anak, serta peningkatan akses pendidikan dasar dan menengah.

(10)

e. PNPM Lingkungan Mandiri Perdesaan (PNPM- LMP)

PNPM-LMP adalah program yang berupaya agar aspek lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam menjadi bagian integral dari aktivitas pembangunan masyarakat di perdesaan.

f. Program Pengembangan Sistem Pembangunan Partisipatif (P2SPP)

P2SPP adalah program untuk mengintegrasikan pengelolaan pembangunan partisipatif pola PNPM-MP ke dalam sistem reguler (Musrenbang), serta mendorong penyelarasan perencanaan teknokratis, politis dengan partisipatif.

g. PNPM Mandiri Respek (Rencana Strategis Pengembangan Kampung) Bagi Masyarakat Papua.

Sesuai namanya, sasaran program ini adalah untuk mengembalikan harga diri orang Papua bahwa mereka memiliki kemampuan untuk membangun diri dan kampung sendiri. Tujuan PNPM Mandiri Respek untuk mengembalikan semangat gotong royong masyarakat, memberdayakan masyarakat, dan mengembalikan kepercayaan masyarakat Papua kepada pemerintah daerah.

h. PNPM Mandiri Perkotaan

PNPM-Mandiri Perkotaan atau Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) merupakan upaya pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat dan Pemerintah Daerah dalam menanggulangi kemiskinan di perkotaan secara mandiri.

i. PNPM Mandiri Infrastruktur Perdesaan

Program ini diorientasikan untuk meningkatkan akses masyarakat pedesaan miskin terhadap sumber-sumber perkembangan ekonomi agar proses peningkatan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan masyarakat di pedesaan yang bersangkutan dapat dilakukan.

j. Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW)

PISEW adalah program yang dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah, pengentasan kemiskinan, dan pengurangan tingkat pengangguran terbuka. Tujuannya untuk mempercepat pembangunan sosial ekonomi masyarakat yang berbasis sumberdaya lokal, mengurangi kesenjangan antarwilayah, pengentasan kemiskinan daerah perdesaan, memperbaiki pengelolaan pemerintahan (local governance) dan penguatan institusi di perdesaan Indonesia.

k. Program Penyediaan Air Minum Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS)

Program WSLIC-3/PAMSIMAS merupakan program dan aksi nyata pemerintah (pusat dan daerah) dengan dukungan Bank Dunia, untuk

(11)

meningkatkan penyediaan air minum, sanitasi, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat terutama dalam menurunkan angka penyakit diare dan penyakit lainnya yang ditularkan melalui air dan lingkungan.

l. PNPM-Mandiri Daerah Tertinggal Dan Khusus/Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Khusus (P2DTK)

Program P2DTK adalah penanggulangan kemiskinan dengan sasaran daerah tertinggal dan daerah khusus yang dilakukan Pemerintah Daerah dengan difasilitasi oleh Pemerintah Pusat (melalui Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal) untuk meningkatkan kapasitas sosial-ekonomi daerah melalui pendekatan pemberdayaan dan keswadayaan masyarakat.

m. PNPM Mandiri Kelautan Dan Perikanan (PNPM Mandiri-KP)

PNPM Mandiri-KP adalah salah satu program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat di kawasan pesisir atau masyarakat nelayan pada sektor kelautan dan perikanan.

n. PNPM-Mandiri Pariwisata

PNPM Mandiri Pariwisata adalah salah satu program penanggulangan kemiskinan yang berupaya membantu masyarakat miskin yang tinggal di sekitar wilayah destinasi pariwisata.

o. PNPM-Mandiri Perumahan dan Permukiman (PNPM-Mandiri Perkim)

PNPM-Mandiri Perkim adalah salah satu program yang bertujuan mencapai pemenuhan tempat tinggal layak huni.

Klaster III: Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Usaha Ekonomi Mikro

Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil adalah program yang bertujuan untuk memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha berskala mikro dan kecil. Aspek penting dalam penguatan adalah memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat miskin untuk dapat berusaha dan meningkatkan kualitas hidupnya.

Karakteristik program pada kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil adalah: (a) memberikan bantuan modal atau pembiayaan dalam skala mikro, (b) memperkuat kemandirian berusaha dan akses pada pasar, (c) memberikan akses yang luas dalam berusaha serta melakukan penetrasi dan perluasan pasar, baik untuk tingkat domestik maupun internasional, terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh usaha mikro dan kecil, (d) meningkatkan keterampilan dan manajemen usaha

Cakupan program kelompok program berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil dapat dibagi atas 3 (tiga), yaitu: (a) pembiayaan atau bantuan permodalan; (b)

(12)

pembukaan akses pada permodalan maupun pemasaran produk; dan (c) pendampingan dan peningkatan keterampilan dan manajemen usaha. Penerima manfaat dari kelompok program berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil adalah kelompok masyarakat hampir miskin yang kegiatan usahanya pada skala mikro dan kecil. Penerima manfaat pada kelompok program ini juga dapat ditujukan pada masyarakat miskin yang belum mempunyai usaha atau terlibat dalam kegiatan ekonomi. Salah satu contoh yang paling populer adalah Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dalam bentuk Kredit Modal Kerja (KMK) dan atau Kredit Investasi (KI) dengan plafon kredit dari Rp.5 Juta sampai dengan Rp.500 Juta. Tujuan KUR adalah meningkatkan akses pelaku usaha mikro kecil dan menengah seperti usaha rumah tangga dan jenis usaha mikro lain yang bersifat informal terhadap lembaga pembiayaan formal dalam rangka mempercepat pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UMKM.

Klaster IV: Peningkatan dan perluasan program-program dari tiga program penanggulangan kemiskinan

Klaster IV terdiri dari 6 program baru dan 3 program prioritas. Program dalam klaster IV tersebut pada intinya rakyat membeli sesuatu dengan harga sangat murah dengan sebagian dibantu pemerintah. Enam program baru klaster IV adalah: (a) Program rumah sangat murah, (b) Program kendaraan angkutan umum murah, (c) Program air bersih untuk rakyat, (d) Program listrik murah dan hemat, (e) Program peningkatan kehidupan nelayan, dan (f) Program peningkatan kehidupan masyarakat pinggir perkotaan. Sedangkan tiga program prioritas klaster IV adalah: (a) Surplus beras, dari swasembada ke surplus 10 juta ton beras dalam waktu 5-10 tahun, (b) Lapangan kerja, percepatan pengurangan pengangguran 1 juta/tahun, dan (c) Transportasi Jakarta, kemacetan lalulintas teratasi sebelum tahun 2020 dan perbaikan signifikan dirasakan sebelum tahun 2014

PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KEMENTERIAN

PERTANIAN

Kementerian Pertanian terlibat dalam penanggulangan kemiskinan pada klaster II, klaster III dan klaster IV. Pada klaster II yaitu pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM), program penanggulangan kemiskinan Kementerian adalah Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP). Program penanggulangan kemiskinan di klaster III dilakukan melalui Kredit Usaha Rakyat KUR) sektor pertanian. Sementara pada klaster IV, Kementerian Pertanian berperan dalam swasembada dan surplus 10 juta ton beras tahun 2014.

Selain melalui klaster II, III dan IV tersebut, Kementerian Pertanian memiliki beberapa Rencana Aksi atau kegiatan untuk pengentasan kemiskinan khususnya di sektor pertanian antara lain: a) Pengembangan Lembaga Mandiri yang Mengakar pada Masyarakat (LM3), b) Penggerak Membangun Desa (PMD)/Sarjana Membangun Desa

(13)

(SMD), c) Pengembangan Desa Mandiri Pangan (Demapan), d) Penguatan Lembaga Distribusi Pangan (LDPM), e) Penanganan Daerah Rawan Pangan (DRP), dan f) Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari

Pengembangan Desa Mandiri Pangan (Demapan)

Salah satu program pemberdayaan yang dilaksanakan di Kementerian Pertanian adalah Desa Mandiri Pangan (Demapan). Adapun program ini bertujuan untuk mengurangi rawan pangan dan gizi melalui pendayagunaan sumber daya, kelembagaan dan kearifan lokal pedesaan. Program ini melibatkan partisipasi masyarakat desa dengan meningkatkan kapasitas aparat desa untuk mengakomodasikan dan memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam: (a) meningkatkan ketersediaan pangan dengan memaksimalkan sumber daya yang dimiliki secara berkelanjutan, (b) meningkatkan distribusi dan akses pangan masyarakat, (c) meningkatkan mutu dan keamanan pangan desa, (d) meningkatkan kualitas konsumsi pangan masyarakat, dan (e) meningkatkan kualitas penanganan masalah pangan.

Program Demapan dalam tataran operasional terkait dengan upaya memantapkan program pemberdayaan kelompok miskin (kelompok afinitas), mensinergikan dan mengintegrasikannya dengan pembangunan ekonomi pedesaan. Dengan demikian pembangunan Demapan membutuhkan dukungan lintas sektoral dalam pemberdayaan kelompok dan pembangunan di tingkat desa. Pembangunan di tingkat kelompok diarahkan untuk meningkatkan kapasitas dan akses ekonomi (kesempatan kerja dan berusaha) kelompok miskin. Sementara itu pembangunan pedesaan diarahkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi pedesaan. Prinsip dasarnya adalah kemiskinan tidak mungkin akan dientaskan tanpa adanya pertumbuhan ekonomi perdesaan, sebagai syarat kecukupan dalam pengentasan kemiskinan.

Penetapan Desa Mandiri Pangan berdasarkan kriteria : (a) desa rawan pangan yang minimal KK miskin 30 persen dari penduduk desa yang disurvai melalui Data Dasar Rumah Tangga (DDRT), (b) Memiliki potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang belum dikembangkan, dan (c) Aparat desa dan masyarakat memiliki respon yang tinggi dan kesediaan menerima program yang diwujudkan dalam bentuk dukungan terhadap implementasi program di lapangan.

Kelembagaan yang ada dalam program Demapan adalah : (a) kelompok afinitas (KA), sebagai penerima program, (b) tenaga pendamping yang bertugas membina kelompok afinitas, (c) Tim Pangan Desa (TPD) yang terdiri dari aparat desa, tokoh masyarakat, perwakilan kelompok afinitas, PKK dan kader gizi yang nantinya bertugas membina kelompok afinitas dan mengkoordinasikan kegiatan lintas sektoral, dan (d) Lembaga Keuangan Desa (LKD) yang nantinya bertugas mengelola masalah keuangan dan usaha kelompok afinitas.

Untuk tercapainya tujuan Demapan program dirancang dalam kurun waktu 4 tahun, melalui 4 tahapan yaitu: (a) tahap persiapan, meliputi seleksi desa rawan pangan dan pembentukan kelompok KK miskin, (b) tahap penumbuhan, mulai adanya

(14)

usaha produktif, pembentukan Lembaga Keuangan Desa (LKD), berfungsinya posyandu dan bekerjanya sistem ketahanan pangan dari aspek ketersediaan, distribusi dan konsumsi serta koordinasi program lintas sektor untuk pembangunan sarana prasarana wilayah pedesaan, (c) tahap pengembangan, adanya perkembangan ekonomi produktif, peningkatan modal LKD, pengembangan sistem ketahanan pangan; dan (d) tahap kemandirian, adanya peningkatan dinamika kelompok dan usaha ekonomi produktif, adanya jaringan kemitraan, berfungsinya LKD sebagai layanan modal dan berfungsinya Tim Pangan Desa (TPD) dalam mengkoordinasikan program lintas sektoral.

Program Desa Mandiri Pangan mulai dilaksanakan sejak tahun 2006 dan perkembangan lokasi pelaksana Desa Mapan sampai tahun 2012, sebanyak 3.249 desa, di 410 kabupaten/kota pada 33 provinsi. Lokasi yang sudah mencapai kemandirian sebanyak 825 desa, terdiri dari 250 desa tahun 2006, 354 desa tahun 2007, dan 221 desa tahun 2008. Sementara lokasi desa yang masih dalam tahap pembinaan sebanyak 1.485 desa, terdiri dari: 398 desa tahap persiapan, 262 desa tahap penumbuhan, 466 desa tahap pengembangan, dan 359 desa tahap kemandirian. Dana yang disediakan untuk kegiatan Demapan adalah dalam bentuk bantuan sosial (Bansos). Pada tahun 2006 disediakan dana sebanyak Rp.24.040 juta dan meningkat menjadi 39.800 juta pada tahun 2012 atau mengalami rata-rata penambahan sebesar 15,15 persen (Tabel 2).

Program Demapan diperuntukkan bagi keluarga miskin dan pada tahun 2006 Rumah Tangga Miskin (RTM) yang menerima manfaat sebanyak 31.250 KK dan setiap tahunnya RTM ini mengalami peningkatan. Untuk tahun 2011 RTM yang menerima manfaat sebanyak 369.750 KK atau mengalami peningkatan hampir 11 kali. Rata-rata setahun RTM yang menerima manfaat dari kegiatan ini mengalami peningkatan sebesar 55,52 persen.

Selama menjalankan program ini beberapa usaha yang sudah dijalankan adalah dalam bentuk pengadaan saprodi, dagang hasil bumi, simpan pinjam, pembuatan produk turunan pertanian, penggemukan ternak dan masih banyak lagi usaha yang bertujuan sebagai sumber pendapatan anggota kelompok. Sumber penghasilan ini diharapkan bisa dipergunakan sebagai sumber untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan peningkatan kesejahteraan keluarga.Dalam pelaksanaannya masih banyak ditemukan beberapa permasalahan antara lain belum dimunculkan secara spesifikasi usaha berdasarkan lokasi, belum terbukanya jejaring pemasaran sampai ke luar desa, belum dimanfaatkannya program ini sebagai bahan masukan dalam pembuatan kebijakan kabupaten/provinsi atau pembangunan lintas sektor. Tabel 2. Perkembangan Dana dan RTM Program Demapan di Indonesia, 2006-2012

Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Trend

Bansos (juta) 24.040 35.400 22.100 35.900 50.230 40.600 39.800 15,15 RTM (kk) 31.250 75.500 103.125 148.000 235.625 331.375 369.750 55,52 Sumber : Workshop Evaluasi Dampak dan Kemandirian Demapan 2012

(15)

Peran Strategis Sektor Pertanian Dalam Konteks yang Lebih Luas

Peran strategis sektor pertanian dalam pencapaian MDGs terkait dengan fakta bahwa sekitar 70 persen kelompok sasaran MDGs hidup di wilayah pedesaan, terutama di Asia dan Afrika; dan dari kelompok tersebut sebagian besar adalah penduduk yang menggantungkan nafkah utamanya dari pertanian. Dalam Rosegrant et al. (2006) dinyatakan: “Given that the majority of poor people live in villages or rely on

agriculture, and that agriculture paves the way for economic growth in the poorer nations, agricultural and rural development will underlie progress on the broad array of economic and social indicators that the MDGs emphasize”.

Peran penting sektor pertanian dalam pengentasan kemiskinan telah banyak dibuktikan dalam berbagai tinjauan maupun penelitian empiris(Thirtleet et al., 2002; Thurlow, 2004; Thurlow et al., 2004; Christensen et al., 2010; Cervantes-Godoy, and Dewbre 2010; Dedan et al., 2012). Terutama pada negara-negara berkembang, peranannya makin menonjol ketika didukung pengembangan infrastruktur yang memadai. Ini selaras dengan berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa infrastruktur pertanian dan pedesaan adalah basis bagi peningkatan produktivitas (Van Blarcom et al., 1993; Van De Walle, 1996; Zhang and Fan, 2000).

Dengan tetap menyadari bahwa eradikasi kemiskinan merupakan hasil kerja multisektor, secara teoritis peranan sektor pertanian dalam pencapaian sasaran nomor 1 MDGs mencakup aspek-aspek berikut:

1. Ketahanan pangan. Sebagai sektor penghasil pangan maka kontribusi langsung sektor pertanian dalam pencapaian MDGs adalah melalui peranannya dalam mendukung tercukupinya ketersediaan pangan dengan harga yang terjangkau oleh sebagian besar atau seluruh lapisan masyarakat.

2. Pengurangan kemiskinan. Sektor pertanian merupakan gantungan nafkah tak kurang dari 30 persen rumah tangga. Sebagai contoh, pada tahun 2008 saja jumlah rumah tangga pertanian pangan utama (padi, jagung, kedele, dan tebu) adalah sekitar 17.8 juta (Sumaryanto, 2009). Rincian jumlah unit usahatani menurut jenis komoditas yang diusahakan adalah sebagai berikut. Untuk komoditas padi, jagung, kedele masing-masing adalah sekitar 14,99, 6,71, 1,16 juta unit usahatani; sedangkan tebu adalah sekitar 195 ribu unit usahatani. 3. Lapangan kerja, termasuk untuk kaum muda dan perempuan. Pasar tenaga kerja

di bidang pertanian, terutama pada usaha pertanian rakyat pada umumnya informal sehingga relatif mudah diakses oleh tenaga kerja tanpa perlu adanya persyaratan formal yang menunjukkan kualifikasi keterampilan/pengetahuannya. Dalam hal penyerapan tenaga kerja perempuan, pada sistem usahatani terdapat jenis-jenis kegiatan yang ternyata menjadi semacam “jatah” pekerjaan untuk tenaga kerja perempuan, misalnya pada kegiatan tanam atau penyiangan.

4. Pendukung utama sektor non-pertanian di pedesaan. Cukup banyak industri pengolahan hasil pertanian berskala mikro dan industri rumah tangga di pedesaan yang mengandalkan tenaga kerjanya dari kelompok miskin.

(16)

5. Jaring pengaman sosial dan pengentasan kemiskinan. Karakteristik sektor pertanian tidak terlepas dari jejak sejarah yang di dalamnya sarat dengan bentuk-bentuk kelembagaan sosial yang terkait dengan pemerataan pendapatan. Seiring dengan perkembangan sistem perekonomian desa sebagian kelembagaan tersebut memang mengalami degradasi. Namun di sebagian wilayah pedesaan (terutama yang jauh dari perkotaan), kelembagaan sosial yang fungsinya selaras dengan jaring pengaman sosial masih banyak ditemukan; dan berperan nyata dalam pengentasan kemiskinan di wilayah tersebut.

Sektor pertanian berkontribusi dalam pengurangan kemiskinan secara langsung maupun tidak langsung. Kontribusi langsung terjadi melalui peningkatan pendapatan petani, sedangkan kontribusi tidak langsung adalah melalui kaitan ke depan (foreward linkage) dan kaitan ke belakang (backward linkage) sektor ini dalam sistem perekonomian.

Bagi Indonesia, fakta menunjukkan bahwa peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional sangat strategis. Setidaknya ada 5 agumen mendasar dibalik pernyataan tersebut. Pertama, perannya sebagai sektor penyedia pangan bangsa.

Kedua, perannya sebagai penyedia lapangan kerja karena meskipun kontribusi relatif

sektor pertanian dalam pembentukan pendapatan nasional (PDB) terus menurun seiring dengan makin berkembangnya sektor industri, jasa, dan manufaktur; tetapi sektor ini masih tetap merupakan penyerap lapangan kerja terbesar (Kementan, 2010). Ketiga, pada masa krisis ekonomi (1998 – 2003), sektor pertanian adalah yang paling mampu bertahan dan bahkan mampu berperan sebagai penyelamat ekonomi nasional dari kontraksi ekonomi yang dahsyat. Keempat, oleh karena proporsi jumlah penduduk miskin di pedesaan lebih banyak dan sebagian besar dari pedesaan tersebut struktur ekonomi dan kesempatan kerjanya didominasi pertanian maka peranan sektor pertanian sebagai gantungan nafkah mayoritas penduduk pedesaan dan dalam pengentasan kemiskinan menjadi sangat penting. Kelima, dalam hubungannya dengan implikasi perubahan iklim maka peranan sektor pertanian untuk menjawab tantangan makin strategis karena meskipun di satu sisi sektor ini termasuk paling rentan, tetapi di sisi lain paling potensial pula sebagai pemain utama aksi mitigasi perubahan iklim sebagaimana dinyatakan dalam IPCC (2001), IPCC (2007) dan FAO (2007).

Hasil Monitoring dan Evaluasi BAPPENAS atas kemajuan yang dicapai dalam pencapaian MDGs di Indonesia menyebutkan bahwa prioritas ke depan untuk menurunkan kemiskinan dan kelaparan adalah dengan memperluas kesempatan kerja, meningkatkan infrastruktur pendukung, dan memperkuat sektor pertanian (BAPPENAS, 2012). Dalam konteks ini, perhatian khusus perlu diberikan pada: (a) perluasan fasilitas kredit untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), (b) pemberdayaan masyarakat miskin dengan meningkatkan akses dan penggunaan sumberdaya untuk meningkatkan kesejahteraannya, (c) peningkatan akses penduduk miskin terhadap pelayanan social, dan (d) perbaikan penyediaan proteksi sosial bagi kelompok termiskin di antara yang miskin.

Kendala utama dalam pembiayaan yang dihadapi petani (yang merupakan penggerak utama sektor pertanian) adalah keengganan lembaga pembiayaan dalam

(17)

memberikan pinjaman. Keengganan ini disebabkan karena petani (yang dianggap melakukan bisnis dalam skala mikro/kecil) tidak dapat memenuhi persyaratan seperti tidak memiliki peringkat kredit, juga tidak memelihara catatan yang diperlukan untuk dilakukan penilaian (appraisal). Selain itu, petani juga kekurangan agunan berharga (Jacob Yaron et al, 1997). Oleh karena itu, petani biasanya melakukan pinjaman kepada individu-individu yang dapat memberikan pinjaman dengan skala kecil (Ledgerwood, 1999), namun permasalahan berikutnya adalah banyak dari individu-individu tersebut yang memberikan pinjaman dengan bunga yang tinggi (rentenir).

Mengacu pada situasi dan kondisi empiris di lapangan, upaya akselarasi kontribusi sektor pertanian dalam pencapaian MDGs dapat dilakukan melalui kombinasi dari beberapa pendekatan berikut. Pertama, rehabilitasi dan perluasan lahan pertanian. Untuk perluasan lahan pertanian, upaya jangka pendek yang dapat ditempuh adalah pendekatan fungsional. Perluasan luas baku lahan pertanian akan berdampak pada jangka menengah dan panjang dan berdasarkan kondisi obyektif layak untuk dilakukan di Luar Pulau Jawa dan sebagian lokasi di Pulau Jawa. Rehabilitasi lahan pertanian diorientasikan untuk mengembalikan kesuburan lahan. Ini terutama diperlukan di sebagian besar desa yang selama ini telah mengalami over intensifikasi pertanian. Kedua, perbaikan infrastruktur fisik dan pengelolaan sistem irigasi pada pedesaan yang usahataninya berbasis sistem usahatani sawah. Ketiga, percepatan dan perluasan aplikasi teknologi adaptif terhadap iklim ekstrim melalui penerapan pola tanam dan sistem budidaya tanaman yang lebih produktif dan berwawasan lingkungan. Keempat, perbaikan sistem tataniaga pertanian; baik di pasar input maupun pasar output usahatani.

Selama ini kebijakan dan program tersebut di atas telah dilakukan. Akan tetapi hasilnya pada tataran “grassroot”, terutama dalam konteks peningkatan kesejahteraan petani tentu saja bervariasi. Pemahaman mengenai sumber-sumber variasi dan faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhinya sangat penting sebagai masukan untuk perumusan kebijakan akselerasi peningakatan pendapatan petani.

Secara empiris, kesiapan untuk menyongsong SDGs tampaknya belum memadai. Sejumlah alasan yang melandasi kesimpulan ini antara lain adalah sebagai berikut:

1. Basis kesiapan menyongsong SDGs adalah pencapaian target MDGs sedangkan target yang ditetapkan tampaknya belum dapat dicapai. Tidak dapat dipungkiri bahwa angka kemiskinan dapat diturunkan secara significant. Namun demikian, pada saat ini angka kemiskinan pada tahun 2014 ini masih di atas 12 persen padahal targetnya sekitar 8 persen.

2. Salah satu sasaran penting SDGs adalah aspek pemerataan; disisi lain turunnya angka kemiskinan tidak searah dengan turunnya ketimpangan pendapatan. Berbagai hasil kajian mengindikasikan bahwa turunnya angka kemiskinan justru diikuti dengan meningkatnya ketimpangan. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan pertumbuhan pendapatan kelompok pendapatan menengah ke atas jauh lebih tinggi daripada naiknya pendapatan kelompok pendapatan menengah ke bawah maupun penduduk miskin.

(18)

3. Aspek pelestarian lingkungan belum memperoleh perhatian yang cukup. Terdapat indikasi yang kuat bahwa tertinggalnya perhatian pada aspek lingkungan ini merupakan ekses dari terlampau tingginya target pencapaian peningkatan produksi pada sejumlah komoditas pangan strategis sehingga terjadi bias dalam alokasi sumberdaya. Program-program pengembangan pertanian pro-lingkungan sangat sering kalah populer dari program-program percepatan pertumbuhan produksi pangan berwawasan jangka pendek.

4. Kurang berkembangnya pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam merancang sistem pengembangan pertanian dalam komunitasnya. Masalah ini juga terkait dengan ekses dari pencapaian target peningkatan produksi pangan jangka pendek yang “dipaksa” lari cepat dengan pendekatan yang cenderung teknokratis. Sementara itu derasnya bantuan ke petani yang selama ini diluncurkan tidak digandengkan dengan sistem pengembangan kelembagaan yang memandirikan mereka sehingga petani menjadi sangat dan makin tergantung kepada berbagai bantuan yang manfaat dan dampaknya cenderung bersifat jangka pendek.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

Pengentasan Kemiskinan dan Eradikasi Kelaparan merupakan episentrum Pencapaian Sasaran MDGs. Kemiskinan bersifat multidimensi dan pengentasannya membutuhkan pendakatan multi disiplin dan lintas sektor.

Sektor pertanian berkontribusi dalam pengurangan kemiskinan secara langsung maupun tidak langsung. Kontribusi langsung terjadi melalui peningkatan pendapatan petani, sedangkan kontribusi tidak langsung terjadi melalui mekanisme kaitan ke depan maupun ke belakang dalam pembentukan output, nilai tambah, penciptaan lapangan kerja dan pendapatan, penciptaan devisa, dan pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan maupun sebagai pemasok bahan baku bagi perkembangan sektor-sektor ekonomi lainnya terutama industri pengolahan.

Peranan sektor pertanian dalam pencapaian sasaran MDGs tidak dapat dinilai hanya berdasarkan turunnya angka-angka kemiskinan petani karena kemiskinan petani juga disebabkan oleh berbagai faktor, di sisi lain melalui kontribusinya secara tidak langsung sektor pertanian juga berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan kelompok masyarakat miskin yang profesinya bukan petani.

Untuk menyongsong SDGs, permasalahan dan tantangan yang dihadapi masih cukup berat. Selain percepatan pencapaian target MDGs tersendat, upaya pencapaian target pertumbuhan produksi pangan yang terlampau tinggi dalam beberapa hal menimbulkan ekses melambatnya perkembangan dari implementasi kebijakan yang sebenarnya selaras dengan prinsip-prinsip pencapaian SDGs.

(19)

Implikasi Kebijakan

Pencapaian target MDGs dan SDGs pada dasarnya selaras dengan visi dan misi pembangunan hampir semua negara, termasuk Indonesia. Untuk mewujudkannya perlu sistem koordinasi lintas sektor yang konsisten yang berorientasi mengedepankan aspek-aspek pemerataan kesempatan kerja dan pendapatan, pro lingkungan, pemberdayaan kelompok terbawah, dan berbasis pendekatan partisipatif.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Kemiskinan di Indonesia. Badan Pusat Statistik. BAPPENAS. 2012. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia

2011. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Breusch, T., 2005. Estimating the Underground Economy using MIMIC Models. Available from: [http://129.3.20.41/eps/em/papers/0507/0507003. pdf]. Buehn, A. and Schneider, F., 2008. "MIMIC Models, Cointegration and Error Correction:

An Application to the French Shadow Economy". CESIFO Working Paper, No. 2200.Cervantes-Godoy, D. and J. Dewbre (2010), "Economic Importance of Agriculture for Poverty Reduction", OECD Food, Agriculture and Fisheries Papers, No. 23, OECD Publishing. http://dx.doi.org/10.1787/5kmmv9s20944-en

Christensen, L., L. Demery, and J. Kuhl. 2010. The (Evolving) Role of Agriculture in Poverty Reduction: An Empirical Perspective. WIDER Working Paper 2010/36 (Helsinki, UNU-WIDER).

Dewbre, J., D. Cervantes-Godoy and S. Sorescu. 2011. “Agricultural Progress and Poverty Reduction: Synthesis Report”, OECD Food, Agriculture and Fisheries Papers, No. 49, OECD Publishing.

Dedan Oriewo Ong'anya, Jackline M. Omuya, Kennedy Mwengei B. Ombaba, and Phyllis A. Arogo. 2012. The Role of Agricultural Growth on Millenium Development Goals in Kenya: A Strategy of Poverty Reduction. Journal of Emerging Trends in Economics and Management Sciences (JETEMS) 3(4): 324-331.

FAO. 2007. Adaptation to climate change in agriculture, forestry and fisheries: Perspective, framework and priorities, Interdepartmental Working Group on Climate Change, Food and Agriculture Organization (FAO) of the United Nations, Rome.

(20)

Grewal B., Grunfeld H. and Sheehan P. 2012. The contribution of agricultural growth to poverty reduction. ACIAR Impact Assessment Series Report No. 76. Australian Centre for International Agricultural Research: Canberra. 59 pp. Giles, D., and L. Tedds (2002), "Taxes and The Canadian Underground Economy",

Canadian Tax Foundation Toronto, Paper n. 106, Canada.

IPCC. 2001 Climate change 2001: impacts, adaptation, and Vulnerability. Cambridge University Press, New York.

IPCC. 2007. Summary for Policymakers. In Climate Change 2007: Impacts, Adaptati on and Vulnerability. Contributi on of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Parry, M.L., O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden, and C.E. Hanson (eds), Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom, 7-22.

Jöreskog, K. and A. Goldberger (1975) 'Estimation of a Model with Multiple Indicators and Multiple Causes of a Single Latent Variable', Journal of the American Statistical Association, 70(351).

Kakwani, N. and J. Silber. 2008. Quantitative Approaches to Multidimensional Poverty Measurement (Ed.). PALGRAVE MACMILLAN, Houndmills, Basingstoke, Hampshire RG21 6XS and 175 Fifth Avenue, New York, N.Y. 10010. 265 halaman.

Ledgerwood, J. 1999. Microfinance Handbook: An Institutional And Financial Perspective I.

Maftuchan, A. 2013. Pembiayaan Pembangunan Pasca-2015: Memperbanyak Sumber, Melipatgandakan Alokasi, dan Mendemokratiska Pengelolaan, Indonesia dan Perjalanan Menuju MDGs: Agenda Ke Depan, Jurnal Analisis Ekonomi, Vol 18 No 1 Agustus 2013, Bandung

Oriola, E.O. 2009. Irrigation agriculture: An option for achieving the millennium development goals in Nigeria. Journal of Geography and Regional Planning Vol. 2(7), pp.176-181, July, 2009.

Rosegrant, Mark W., C. Ringler, T. Benson, X. Diao, D. Resnick, J. Thurlow, and M. Torero. 2006. Agriculture and achieving the Millennium Development Goals. International Food Policy Research Institute (FPRI), Washington, D.C. Report No. 32729-GLB.

Sadoulet, E. and A.D. Janvry. 1995. Agricultural trade liberalization and low income countries: A General Equilibrium-Multimarket Approach. American Journal of Agricultural Economics Vol 74 (2): 268-80.

Sumaryanto. 2009. Eksistensi Pertanian Skala Kecil Dalam era Persaingan Pasar Global. Makalah utama yang disampaikan pada Seminar Nasional "Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani" yang

(21)

diselenggarakan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), Badan Litbang Pertanian, Depertemen Pertanian pada Tanggal 14 Oktober 2009 di Bogor.

Suryahadi, A., and G. Hadiwidjaja. 2012. The Role of Agriculture in Poverty Reduction in Indonesia. SMERU Research Institute, Jakarta – Indonesia. 25 pp.

Tangka, Mike Verawati. 2013. Pencapaian MDGs di Indonesia Hingga Tahun 2013. Jurnal Analisis Sosial 18(1):1-17: Indonesia dan Perjalanan Meraih MDGs: Agenda ke Depan

Thirtle, C., L. Beyers, L. Lin, V. McKenzie-Hill, X. Irz, S. Wiggins, and J. Piesse. 2002. The Impact of Changes in Agricultural Productivity on the Incidence of Poverty in Developing Countries. Report to Department for International Development (DfID) no. 7946. London & East Kilbride, UK.

Thurlow, J. 2004. "Growth and Market Opportunities in Zambian Agriculture." International Food Policy Research Institute, Washington, DC.

Thurlow, J., and P. Wobst. 2004. "The Road to Pro-Poor Growth in Zambia: Past Lessons and Future Challenges." Forthcoming Development Strategies and Governance Division Discussion Paper, International Food Policy Research Institute, Washington, D.C. Input paper into the World Bank project "Operationalizing Pro-Poor Growth," Washington, D.C.

Van Blarcom, B., O. Knudsen, and J. Nash. 1993. "The Role of Public Expenditures for Agriculture." World Bank Discussion Paper # 216. The World Bank, Washington, DC.

Van De Walle, D. 1996. Infrastructure and Poverty in Viet Nam. Washington, DC: The World Bank.

Yaron, J., P. B. Mc Donald, Jr., et al. 1997. Rural Finance: Issues, Design, and Best Practices. The World Bank. Washington, D.C.

Zhang, X., and S. Fan. 2000. "Public Investment and Regional Inequality in Rural China." Discussion Paper No. 71, Environment and Production Technology Division, International Food Policy Research Institute, Washington, DC.

Gambar

Tabel 1. Wilayah Pelaksanaan PKH sampai dengan tahun 2014
Tabel 2. Perkembangan Dana dan RTM Program Demapan di Indonesia, 2006-2012

Referensi

Dokumen terkait

Transgender adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan orang yang melakukan, merasa, berpikir atau terlihat berbeda dari jenis. kelamin yang ditetapkan saat

[r]

Faktor sumber informasi memiliki hubungan yang nyata dan positif dengan kemandirian petani sayur di Kota Denpasar dari aspek produksi, dimana tingkat kekuatan

Ide pembentukan KPH pada wilayah tersebut sangat menarik dari sisi penguasaan lahan hutan karena kawasan hutan seluas sekitar 54.000 ha tersebut, yang terdiri atas Hutan

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan di SMAS Taman Mulia Sungai Raya, penggunaan metode mengajar guru pada mata pelajaran sosiologi masih

syeikh Ahmad bin Yusuf bin Muhammad al Ahdal dalam kitab al Ahlak. az Zakiyyah fi Adabit Tholib

Aplikasi Web E-commerce pada Inkubator Bisnis Politeknik Negeri Sriwijaya adalah sebuah perangkat lunak e-commerce yang terdiri dari kumpulan perintah-perintah yang

Jenova, R., 2009, Uji Toksisitas Akut yang diukur dengan Penentuan LD 50 Ekstrak Herba Putri Malu (Mimosa pudica L.) terhadap Mencit BALB/C , Falkutas Kedokteran