• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pelayanan kesehatan yang berkembang di Indonesia sangat. beragam macamnya, di antaranya ada rumah sakit, puskesmas, dokter

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pelayanan kesehatan yang berkembang di Indonesia sangat. beragam macamnya, di antaranya ada rumah sakit, puskesmas, dokter"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelayanan kesehatan yang berkembang di Indonesia sangat beragam macamnya, di antaranya ada rumah sakit, puskesmas, dokter praktek swasta, balai pengobatan, klinik 24 jam, dan dokter keluarga. Menurut WHO (2002) rumah sakit adalah suatu bagian menyeluruh dari organisasi sosial dan medis yang berfungsi memberikan pelayanan kesehatan yang lengkap kepada masyarakat baik kuratif maupun rehabilitative, rumah sakit juga merupakan pusat latihan tenaga kesehatan, serta untuk penelitian biososial. Rumah sakit sebagai fasilitas pelayanan kesehatan wajib memberikan pelayanan kesehatan yang menyeluruh dan paling kompleks sesuai dengan pokok sasarannya daripada fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.

Rumah sakit wajib merekam semua data yang dihasilkan selama pelayanan kepada pasien ke dalam suatu media yang dinamakan rekam medis. Berdasarkan UU RI No 29 Tahun 2004 pasal 46 ayat 1 tentang Praktik Kedokteran yaitu “Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis”. Apabila melanggar undang-undang tersebut dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Menurut WHO (2002) rekam medis merupakan kumpulan hal-hal penting dari fakta tentang riwayat kesehatan pasien, termasuk data yang

(2)

dicatat adalah penyakit terdahulu dan sekarang, dan tindakannya yang ditulis oleh profesi kesehatan yang merawat pasien tersebut. Rekam medis harus berisi data yang cukup untuk identifikasi pasien, mendukung diagnosis atau sebab kedatangan pasien ke rumah sakit, melakukan tindakan serta mendokumentasikan hasil tindakan tersebut dengan akurat. Rekam medis dikatakan bermutu apabila rekam medis tersebut akurat, lengkap, valid dan tepat waktu. Salah satu bentuk pengelolaan dalam rekam medis adalah pendokumentasian serta pengkodean (coding) diagnosis. Kegiatan pengkodean adalah pemberian penetapan kode dengan menggunakan huruf dan angka atau kombinasi antara huruf dan angka yang mewakili komponen data. Kegiatan yang dilakukan dalam coding meliputi kegiatan pengkodean diagnosis penyakit dan pengkodean tindakan medis. Tenaga rekam medis sebagai pemberi kode bertanggungjawab atas keakuratan kode.

Kode klasifikasi penyakit oleh WHO bertujuan untuk menyeragamkan nama dan golongan penyakit, cidera, gejala, dan faktor yang mempengaruhi kesehatan. Sejak tahun 1993 WHO mengharuskan negara anggotanya termasuk Indonesia menggunakan klasifikasi penyakit revisi 10 (ICD-10, International Statistical Classification of Disease and Related Health Problem Tenth Revision). Namun, di Indonesia sendiri ICD-10 baru ditetapkan untuk menggantikan ICD-9 pada tahun 1998 melalui SK Menkes RI No. 50/MENKES/KES/SK/I/1998 (Budi, 2011). Kualitas hasil pengkodean bergantung pada kelengkapan diagnosis, kejelasan tulisan dokter, serta profesionalisme dokter dan petugas pengkodean. Kode-kode penyakit dalam

(3)

proses pengkodean sangat bervariasi. WHO (2004) pada International Statistical Classification of Disease and Related Health Problem Tenth Revision (ICD) menjelaskan tentang pedoman untuk merekam dan memberi kode penyakit terdiri dari 22 bab mulai dari A00.0 hingga Z99.9. Kategori pada Bab II Neoplasma mempunyai rentang dari C00 sampai D48. Diagnosis kanker ditegakkan atas hasil kerjasama antara dokter bedah, onkologi medik, ahli patologi anatomi, ahli patologi klinik dan atau ahli radiologi. Berdasarkan Buku Panduan Penentuan Kode Penyebab Kematian Menurut ICD-10 (2004) tiga hal yang harus dipertimbangkan ketika menentukan kode neoplasma yaitu lokasi/topografi tumor, sifat tumor (dikenal sebagai tipe morfologi dan histology) dan perilaku tumor (behaviour). Tabel neoplasma dimasukan pada volume 3 ICD-10 dan termasuk kode pada Bab II untuk letak tumor secara anatomi. Untuk setiap topografi, ada 5 kemungkinan nomor kode menurut perilaku tumor yaitu Malignant primary atau sekunder, in situ, benign atau uncertain/unknown behaviour. Kode morfologi menggambarkan struktur dan tipe sel atau jaringan seperti yang dilihat di bawah mikroskop. Morfologi digambarkan dengan sistem pengkodean tambahan yang dijumpai pada ICD-10. Kode morfologi mempunyai 5 digit dengan awalan “M”, 4 digit yang pertama menunjukkan macam histology dan digit ke 5 menunjukkan sifat (behaviour) neoplasma. Penerapan kode M harus didukung ada bukti hasil pemeriksaan PA (Patologi Anatomi). Tidak terisinya kode topografi dan morfologi neoplasma dapat mempengaruhi proses pengelolaan rekam medis selanjutnya, khususnya pelaksanaan register kanker dan digunakan sebagai

(4)

sumber data utama untuk penerbitan surat kematian, hal ini dikarenakan yang mendasari kematian merupakan titik pusat dari kode mortalitas. Selain itu pengisian kode morfologi sangat penting untuk mengetahui stadium dari neoplasma itu sehingga bisa menentukan pelayanan yang harus diberikan selanjutnya kepada pasien penderita neoplasma.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sholikhah (2005) di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, prosentase ketidaklengkapan penulisan diagnosis penyakit kanker dan tindakan sebesar kurang dari 50% (< 50%) hal ini disebabkan oleh faktor sumber daya manusia dan faktor pendukungnya. Dari penelitian tersebut masih terdapat ketidaklengkapan penulisan diagnosis penyakit kanker dan tindakannya. Hal ini mengingat pengkodean penyakit sangat penting dan perlu dilakukan. Bila pengkodean diagnosis penyakit dan tindakan yang dilakukan ditulis tidak benar dan tidak lengkap bahkan tidak ditulis (terdapat kekosongan) maka dapat menyebabkan kesulitan dalam proses selanjutnya yaitu pada proses pengindeksan akan mencerminkan kekurangan serta data yang dihasilkan tidak akurat dalam penyajian statistik dan laporannya, dalam hal ini laporan untuk rumah sakit (laporan internal) dan departemen kesehatan (laporan external). Hasil penelitian Fauzizah (2011) Di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten diperoleh prosentase keterisian kode morfologi pada karsinoma serviks pada pasien rawat inap lembar ringkasan masuk keluar dari 53 berkas kasus karsinoma serviks yang dijadikan sampel, terdapat 14 atau 26,42% kode morfologi yang telah terisi dan sisanya sekitar 39 atau 73,58%

(5)

belum sama sekali terisi. Sedangkan menurut Donabedian (1992) kelengkapan rekam medis menunjukkan baik buruknya rekam medis dan mencerminkan kualitas pelayanan medis yang diberikan, ketepatan dan kelengkapan informasi (pengkodean) menentukan penilaian kualitas pelayanan.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada tanggal 26 Desember 2012 yang dilaksanakan di Instalasi Catatan Medik RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, melalui wawancara dengan salah satu petugas rekam medis bagian pelaporan dan coding diketahui bahwa jumlah pasien kanker di Unit Bedah selalu ada setiap bulannya dan merupakan kasus jumlah pasien kanker terbanyak dibanding unit lain di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan peneliti menemukan kode morfologi yang belum terisi pada komputer yang digunakan petugas pengkodean untuk mengentri kode diagnosis kanker. Pada saat studi pendahuluan peneliti menganalisa dari 30 diagnosis kanker beserta morfologi pasien rawat inap di Unit Bedah RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta secara acak dalam rentang tahun 2012 ditemukan keterisian kode morfologi neoplasma sebesar 20 %. Dari uraian tersebut dan semakin meningkatnya kasus karsinoma maka sangat perlu adanya pelaksanaan pendokumentasian kode topografi dan morfologi neoplasma, sehingga peneliti mengambil penelitian dengan judul “Tinjauan Pelaksanaan Pengkodean Kasus Neoplasma Berdasarkan ICD-10 Pasien Rawat Inap di Unit Bedah RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta”.

(6)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya, rumusan masalah pada penelitian ini adalah : “Bagaimana pengkodean kasus neoplasma berdasarkan ICD-10 di Unit Bedah RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta ?”

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pelaksanaan pengkodean kasus neoplasma berdasarkan ICD-10 pada lembar ringkasan riwayat masuk dan keluar pasien rawat inap di Unit Bedah RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

2. Mengetahui prosentase keterisian dan ketepatan kode topografi dan morfologi neoplasma berdasarkan ICD-10 pada lembar ringkasan riwayat masuk dan keluar pasien rawat inap di Unit Bedah RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

3. Mengetahui faktor-faktor penyebab ketidakterisian dan ketidaktepatan kode topografi dan morfologi neoplasma.

(7)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis

a) Bagi Rumah Sakit

Sebagai masukan kepada petugas coding dalam keterisian dan dalam menentukan kode topografi dan morfologi neoplasma dengan tepat.

b) Bagi Peneliti

(1) Menambah pengalaman dan pengetahuan di bidang rekam medis khususnya dalam pengisian beserta penentuan kode topografi dan morfologi neoplasma dengan tepat.

(2) Mengetahui perbandingan antara teori yang didapat di bangku perkuliahan dengan kenyataan di rumah sakit.

2. Manfaat Teoritis

a) Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan untuk memperluas pengetahuan disiplin ilmu rekam medis.

b) Bagi Peneliti Lain

Dapat menjadi sumber acuan atau referensi bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian dengan tema yang hampir sama.

(8)

E. Keaslian Penelitian

Menurut sepengetahuan peneliti, penelitian dengan judul “Tinjauan Pelaksanaan Pengkodean Kasus Neoplasma Berdasarkan ICD-10 Pasien Rawat Inap di Unit Bedah RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta” belum pernah dilakukan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Namun penulis menemukan beberapa penelitian yang serupa, yaitu :

1. Menurut Sholikhah (2005) dengan judul “Tinjauan Ketidaklengkapan Penulisan Diagnosis Penyakit Kanker dan Tindakan Pada Formulir Ringkasan Riwayat Masuk dan Keluar”.

Dari penelitian ini, diketahui bahwa prosentase ketidaklengkapan diagnosis penyakit kanker dan tindakan pada Ringkasan Riwayat Masuk Keluar dari 85 lembar sampel yang didapat dalam waktu penelitian, pada diagnosis masuk, diagnosis utama, morfologi, tindakan/operasi dan sebab kematian secara berurutan sebanyak 57 lembar (67,05%), 48 lembar (56,47%), 63 lembar (74,1%), 47 lembar (55,3%) dan 2 lembar (2,35%). Hal ini disebabkan oleh faktor sumber daya manusia dan faktor pendukungnya yaitu hasil pemeriksaan laboratorium, patologi dan radiologi yang terlalu lama datangnya sehingga mempengaruhi didalam penegakkan diagnosis dan morfologinya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosentase ketidaklengkapan diagnosis penyakit kanker dan tindakan pada lembar ringkasan riwayat masuk dan keluar rawat inap di Instalasi Catatan Medik di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan untuk mengetahui faktor apa saja

(9)

yang menyebabkan ketidaklengkapan (kekosongan) diagnosis dan tindakannya tersebut. Metode dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan rancangan cross sectional. Responden dan sampel dipilih secara purposive sampling. Teknik triangulasi sumber dan peneliti lain digunakan untuk validitas data. Analisis data dengan menggunakan teknik interactive model.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang diambil oleh Sholikhah (2005) adalah metode penelitian yang digunakan yaitu sama-sama menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan rancangan cross sectional dan objek penelitiannya yakni pada lembar ringkasan riwayat masuk dan keluar serta bahasan yang diambil yakni tentang penyakit kanker (neoplasm). Sedangkan perbedaannya terletak pada cakupan bahasan yakni pada penelitian Sholikhah (2005) membahas ketidaklengkapan penulisan diagnosis penyakit kanker akan tetapi pada penelitian ini peneliti membahas mengenai pelaksanaan pengkodean kasus neoplasma berdasarkan ICD-10 pada lembar ringkasan riwayat masuk dan keluar pasien rawat inap di Unit Bedah RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta”.

2. Menurut Haryati (2010) dengan judul “Ketepatan Kode Penyebab Luar Cedera Kecelakaan Sepeda Motor Berdasarkan ICD-10 Pasien Rawat Inap di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten”.

(10)

Proses pengkodean dilakukan dengan membaca anamnesa penyebab luar cederanya serta memeriksa lembaran lain yang ada di rekam medis, kemudian mencari kode penyebab luar cedera kecelakaan sepeda motor dengan menggunakan “buku pintar”, menuliskan kode pada kolom kode ICD-10 penyebab luar cedera pada lembar ringkasan masuk keluar. Fasilitas utama yang digunakan dalam menentukan kode penyebab luar cedera kecelakaan sepeda motor adalah “buku pintar”. Ketepatan kode penyebab luar cedera kecelakaan sepeda motor tepat dan sesuai sampai digit kelima sebesar 0%

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan pengkodean penyebab luar cedera kecelakaan sepeda motor serta mengetahui ketepatan kode penyebab luar cedera kecelakaan sepeda motor pada berkas rekam medis pasien rawat inap. Metode penelitian Haryati (2010) adalah deskriptif kualitatif dengan rancangan cross sectional.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang diambil oleh Haryati (2010) yaitu sama-sama penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dengan rancangan cross sectional, selain itu letak persamaan yang lain pada topik yang diambil sama-sama meneliti tentang ketepatan pengkodean diagnosis. Sedangkan perbedaannya adalah pada lokasi tujuan dan pada objek penelitian, penelitian ini lebih mengarah pada keterisian dan ketepatan kode topografi dan morfologi neoplasma.

(11)

3. Menurut Fauzizah (2011) dengan judul “Keterisian Kode Morfologi Pada Kasus Karsinoma Serviks Di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten” .

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji prosentase keterisian serta mengkaji faktor ketidakterisian kode morfologi di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro. Metode penelitian Fauzizah (2011) adalah deskriptif kualitatif dengan rancangan cross sectional.

Prosentase keterisian kode morfologi pada karsinoma serviks pada pasien rawat inap lembar ringkasan masuk keluar adalah dari 53 berkas kasus karsinoma serviks yang dijadikan sampel, terdapat 14 atau 26,42% kode morfologi yang terisi dan sisanya sebesar 39 atau 73,58% tidak terisi. Banyaknya kode morfologi yang tidak terisi pada lembar ringkasan masuk keluar tersebut dikarenakan ada beberapa faktor yang mempengaruhinya yaitu dari faktor SDM dan faktor kebijakan.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang diambil oleh Fauzizah (2011) adalah metode penelitian yang digunakan yaitu sama-sama menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan rancangan cross sectional dan objek penelitiannya yakni pada lembar ringkasan riwayat masuk dan keluar serta bahasan yang diambil yakni tentang penyakit kanker. Sedangkan perbedaannya terletak pada cakupan bahasan yakni pada penelitian Fauzizah (2011) membahas keterisian kode morfologi pada kasus karsinoma serviks di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten akan tetapi pada penelitian ini peneliti membahas mengenai pelaksanaan pengkodean kasus neoplasma pada lembar ringkasan riwayat masuk dan

(12)

keluar pasien rawat inap berdasarkan ICD-10 di Unit Bedah RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

F. Gambaran Umum RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta 1. Tahun Berdirinya RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Berdasarkan Buku Sejarah Perkembangan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (2005) pada tahun 1949 Universitas Gadjah Mada (UGM) telah memiliki sekolah tinggi kedokteran, untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi mahasiswanya maka didirikanlah Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada pada tahun 1951 yang berlokasi di beberapa tempat, yaitu di Pugeran, Mangkuwilayan, Mangkuyudan, Jenggotan dan Loji Kecil yang merupakan cikal bakal RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

Pada tahun 1954 Prof. Dr. Sardjito mengusulkan untuk mendirikan rumah sakit umum untuk pendidikan calon dokter ahli serta pengembangan penelitian dalam satu lokasi. Penelitian rumah sakit tersebut juga didasari untuk mencukupi kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Gagasan tersebut mendapat dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga pada tahun 1960 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membantu mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk segera mendirikan sebuah RS Umum Pusat di Yogyakarta. Sehingga pada tahun 1970 pelaksanan pendirian rumah sakit tersebut yang dibiayai oleh Departemen Kesehatan RI dengan lokasi di Pingit. Karena lokasi dianggap tidak memadai, maka

(13)

pembangunan RSU Pusat dipindahkan ke daerah Sekip di dalam kampus Universitas Gadjah Mada dengan nama RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Nama Prof. Dr. Sardjito dijadikan sebagai nama rumah sakit karena untuk mengenang perjuangan dan jasa beliau sebagai tokoh pelayanan kesehatan dan pendidikan di UGM. Sebagai bentuk penghargaan terhadap beliau dibuat patung Prof. Dr. Sardjito yang sampai sekarang dapat dilihat di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

Berdasarkan Surat Keputusan bersama antara Menteri Kesehatan RI beserta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 522/Menkes/SKB/X/1981 dan No. 238a/U/1981 tanggal 2 Oktober 1981 dilakukan pembangunan antara Rumah Sakit Gadjah Mada dan Rumah Sakit Umum Pemerintah Dr. Sardjito dengan memanfaatkan fasilitas pemerintah. Pada tanggal 8 februari 1982, RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta diresmikan oleh Presiden Soeharto, hal ini dibuktikan dengan adanya prasasti yang ditanda tangani Presiden Soeharto.

RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta sebagai rumah sakit pendidikan membantu memberikan fasilitas kepada Fakultas Kedokteran UGM untuk melaksanakan kegiatan pendidikan profesi bagi calon dokter dan dokter ahli, serta menjadi bahan praktek dari Institusi Kesehatan di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta bahkan dari luar negeri. Sedangkan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta sebagai rumah sakit pusat rujukan memberikan rujukan palayanan serta rujukan pengetahuan maupun keterampilan medis dan non medis. Meskipun RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

(14)

mengalami berbagai macam perubahan status, tidak mempengaruhi kinerja RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dalam mengemban misi dan visinya bahkan penyelenggaraan pelayanan dan SDM yang dimiliki semakin berkualitas, hal ini dapat dibuktikan dengan turunnya Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1174/MENKES/SK/2204 pada tanggal 18 Oktober 2004 tentang Penetapan Kelas RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta sebagai RS Umum Kelas A yang merupakan rujukan untuk daerah Propinsi DIY dan Jawa Tengah Bagian Selatan. Perkembangan status RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta masih terus berjalan seiring waktu dengan berakhirnya status PERJAN. Sejak ditetapkannya PP RI No. 23 Tahun 2005 tanggal 13 Juni 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) maka RSUP Dr. Sardjito termasuk salah satu dari 13 rumah sakit status perjan yang berubah menjadi BLU.

2. Pemilik RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta adalah milik Kementerian Kesehatan RI dan bertanggung jawab langsung kepada Kementerian Kesehatan melalui Direktur Jenderal Pelayanan Medik.

3. Lokasi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berada di Jl. Kesehatan No. 1. Sekip, Yogyakarta. Letaknya sangat strategis dekat dengan kawasan kampus Universitas Gadjah Mada khususnya Fakultas Kedokteran dan berada di tengah kota dengan sarana transportasi yang memadai sehingga mudah dijangkau masyarakat.

(15)

4. Performance RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Prosentase performance RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta selama lima tahun terakhir dapat dilihat melalui tabel berikut :

Tabel 1. Performance RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

NO. INDOKATOR 2008 2009 2010 2011 2012 1. Jumlah Tempat Tidur 688 707 731 724 730 2. BOR (%) 70,97 73,17 75,13 76,26 74,34 3. AVLOS (hari) 6,77 7,07 7,10 7,10 7,22 4. BTO (kali) 36,75 37,14 39,11 39,87 38,51 5. TOI (hari) 2,88 2,65 2,25 2,08 2,3 6. NDR (%) 53 49 54 56,76 52 7. GDR (%) 75 70 72 73,46 72 8. JUMLAH KUNJUNGAN RAJAL 280,178 288,937 315,154 345,265 318,338 9. JUMLAH KUNJUNGAN RAWAT DARURAT 31,364 32,412 35,227 33,350 32,582 10. JUMLAH PASIEN RAWAT INAP 24,940 25,812 28,412 28,796 28,046 Sumber : Bagian Pelaporan Instalasi Catatan Medik RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013

Gambar

Tabel 1. Performance   RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Referensi

Dokumen terkait

mengetahui kelayakan investasi proyek perluasan apron Bandar Udara Internasional Juanda dari segi finansial... • Bentuk usaha menanamkan faktor-faktor produksi langka dalam

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : (1) Bagaimanakah aktivitas guru dalam

Demi mendapatkan gelar Sarjana Akuntansi saya melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Motivasi, Modal Minimal, Pengetahuan Investasi, Return dan Risiko Terhadap Minat

Protokol HTTP digunakan untuk menampilkan data dan waktu terakhir pengukuran saat pertama kali terhubung dengan platform IoT, sedangkan untuk menampilkan data secara

Peningkatan cakupan persalinan perlu dilakukan melalui upaya pelaksanaan program unggulan kesehatan ibu, di antaranya adalah kemitraan bidan dan dukun, peningkatan

dapat dilihat bahwa siput gonggong berdistribusi pada daerah pulau Lingga bagian utara yaitu ditemui pada Desa Limbung, Desa Bukit Harapan, Desa Linau dan Desa Sekanah (Gambar

Perancangan counter dapat dibagi menjadi 2, yaitu dengan menggunakan peta Karnough, dan dengan diagram waktu. Berikut ini akan dijelaskan langkah-langkah dalam merancang suatu

Sub model ini disusun untuk menganalisis dampak perubahan tataguna lahan terhadap dinamika produksi pakan dalam jangka panjang di Bali. Data-data dan asumsi yang