• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pengetahuan 2.1.1. Pengertian Pengetahuan

Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu

knowledge. Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa defenisi

pengetahuan adalah kepercayaan yang benar ( knowledge is justified true belief ). Sedangkan terminologi menurut Drs. Sidi Gazalba ( 1992 ) pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pengetahuan tersebut adalah hasil dari kenal, sadar insaf, mengerti dan pandai.

Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala sesuatu perbuatan manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama dari pada yang tidak didasari oleh pengetahuan ( Notoadmojo, 1993 ). Pengetahuan dapat berwujud barang-barang fisik, pemahamannya dilakukan dengan cara persepsi baik lewat indera maupun lewat akal, dapat pula objek yang dipahami oleh manusia berbentuk ideal atau yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan.

Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental merupakan awal usaha dalam memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluraganya. Keluarga selain dapat meningkatkan dan mempertahankan kesehatan mental anggota keluarga, juga

(2)

dapat menjadi sumber problem bagi anggota keluarga yang mengalami persoalan kejiwaan keluarganya ( Notosoedirdjo & Latipun, 2005 )

Berdasarkan penelitian dari bahan National Mental Health Assosiation/NHMA ( 2001 ), diperoleh bahwa banyak ketidakmengertian ataupun kesalahpahaman keluarga mengenai gangguan jiwa, keluarga menganggap bahwa seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak akan pernah sembuh lagi. Namun faktanya, NHMA mengemukakan bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa dapat sembuh dan dapat mulai kembali melakukan aktivitasnya.

National Mental Health Association ( NMHA ) mengemukakan hal-hal yang perlu diketahui oleh keluarga agar dapat menyikapi dan mengontrol emosi dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa ( Koening, 1996 ), yaitu :

 Membangun harapan yang realistis dalam keluarga dan kepada penderita gangguan jiwa sehingga keluarga memiliki kesabaran dan tetap mendukung anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa.

 Pendekatan secara spiritual membantu keluarga dalam menghadapi penderita gangguan jiwa.

 Mencari bantuan dari petugas kesehatan ataupun sumber media lainnya dalam mendapatkan informasi yang benar tentang gangguan jiwa.

 Komunikasi sangat penting untuk membangun kepercayaan antara keluarga dengan penderita gangguan jiwa. Komunikasi yang baik

(3)

secara tidak langsung dapat membuat penderita gangguan jiwa dapat mengungkapkan perasaan yang dirasakannya dan kelurga diharapkan mengerti bahwa kondisi yang mereka alami membahayakan apabila penderita gangguan jiwa mempercayai untuk mengungkapkan perasaannya.

2.1.2. Tingkat Pengetahuan dalam domain kognitif

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan : 1. Tahu ( know )

Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali ( recall ) sesuatau yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Oleh sebab itu tahu merupakan tingkat penegtahuan yang paling rendah.

2. Memahami

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat mengintrepetasikan materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi

Aplikasi diartikan sebgai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real ( sebenarnya ). Aplikasi ini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

(4)

4. Analisis

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sam lain.

5. Sintesis

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu objek bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formasi-formasi yang ada.

6. Evaluasi

Evaluasi berkaitan dengan kemepuan untuk melekukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan pada suatu kriteri yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Notoadmojo ( 2003 ) pengetahuan dipengaruhi oleh faktor : a. Pendidikan

Pendidikan adalah proses belajar yang berarti terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, keluarga atau masyarakat. Beberapa hasil penelitian mengenai pengaruh pendidikan terhadap perkembangan pribadi, bahwa pada umumnya pendidkan itu mempertinggi taraf intelegensi individu.

(5)

b. Persepsi

Persepsi, mengenal dan memilih objek sehubungan dengan tindakan ysng akan diambil.

c. Motivasi

Motivasi merupakan dorongan, keinginan dan tenaga penggerak yang berasal dari dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu dengan mengesampingkan hal-hal yang dianggap kurang bermanfaat. Dalam mencapai tujuan dan munculnya motivasi dan memerlukan rangsangan dari dalam individu maupun dari luar. Motivasi murni adalah motivasi yang betul-betul disadari akan pentingnya suatu perilaku akan dirasakan suatu kebutujan.

d. Pengalaman

Pengalaman adalah sesuatu yang dirasakan ( diketahui, dikerjakan ) juga merupakan kesadaran akan suatu hal yang tertangkap oleh indera manusia. Faktor eksternal yang mempengaruhi pengetahuan antara lain meliputi : lingkungan, sosial, ekonomi, kebudayaan dan informasi. Lingkungan sebagi faktor yang berpengaruh bagi pengembangan sifat dan perilaku individu. Sosial ekonomi, penghasilan sering dilihat untuk memliki hubungan antar tingkat penghasilan dengan pemamfaatan. 2.2 Konsep Keluarga

2.2.1. Defenisi Keluarga

Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya. Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh

(6)

adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya, walaupun di antara mereka tidak terdapat hubungan darah (Shochib, 1998).

Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya dengan seseorang. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu membentuk homoestatis akan dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota keluarganya dan kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan para anggota kelurganya dari gangguan-gangguan mental dan ketidakstabilan emosional anggota keluarganya. Usaha kesehtan mental sebaiknya dan seharusnya dimulai dari keluarga. Karena itu perhatian utama dalam kesehatan mental adalah menggarap keluarga agar dapat memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan mental ( Notosoedirdjo & Latipun, 2005 ).

Sebagai bagian dari tugasnya untuk menjaga kesehatan anggota keluarganya, keluarga perlu menyusun dan menjalankan aktivitas-aktivitas pemeliharaan kesehatan berdasarkan atas apakah anggota keluarga yakin menjadi sehat dan mencari informasi mengenai kesehatan yang benar yang dapat bersumber dari petugas kesehatan langsung ataupun media massa ( Friedman, 1998 ).

2.2.2. Fungsi Keluarga

Menurut Effendy ( 1998 ), ada beberapa fungsi keluarga yang dapat dijalankan keluarga :

 Fungsi pendidikan, dalam hal ini tugas keluarga adalah mendidik dan menyekolahkan anak unuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak bila kelak dewasa nanti.

(7)

 Fungsi sosialisasi anak, tugas keluarga dalam menjalankan fungsi ini adalah bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik.

 Fungsi perlindungan, keluarga melindungi anak dan anggota keluarga dari tindakan-tindakan yang tidak baik, sehingga anggota keluarga merasa terlindungi dan merasa aman.

 Fungsi perasaan, keluarga menjaga secara instuitif, merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota lainya dalam berkomunikasi dan berinteraksi satu dengan lainya sehingga ada saling pengertian satu sama lain.

 Fungsi religius, keluarga memperkenalkan dan mengajak anggota keluarga dalam kehidupan beragama untuk menenamkan keyakinan bahwa ada kekuatan lainya yang mengatur kehidupan ini dan akan ada kehidupan lain setelah dunia ini.

 Fungsi ekonomis, keluarga dalam hal ini mencari sumber-sumber kehidupan dalam memenuhi fungsi-fungsi keluarga lainnya.

 Fungsi biologis, keluarga meneruskan keturunan sebagai generasi penerus. 2.2.3. Tugas Keluarga dalam bidang kesehatan

Untuk dapat mencapai tujuan kesehatan keluarga, keluarga harus memiliki tugas dalam pemeliharaan kesehatan para anggotanya dan saling memelihara.

Tugas kesehatan yang harus dilakukan oleh keluarga ( Freeman, 1981 dikutip dari Effendy, 1998 ) yaitu :

1) Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggotanya. Keluarga menegnal perkembangan emosional dari anggota keluarganya

(8)

dan tingkah laku ataupun aktivitas yang normal atau tidak untuk dilakukan. Hal ini erat hubungannya dengan pengetahuan keluarga akan gejala-gejala gangguan jiwa.

2) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat. Segera setelah keluarga mengetahui bahwa ada kondisi anggota keluarag tidak sesuai dengan normal maka sebaiknya keluarga memutuskan dengan cepat tindakan yang harus dilakukan untuk keseimbangan anggota keluarganya dengan segera membawanya ke petugas kesehatan.

3) Memberikan pertolongan kepada anggota keluarganya yang sakit dan yang tidak dapat membantu diri sendiri karena cacat fisik ataupun mental. Karena penderita gangguan jiwa tidak bisa mandiri untuk memenuhi kebutuhan aktivitas hidupnya.

4) Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga. Keluarga membuat iklim yang kondusif bagi penderita gangguan jiwa di lingkungan rumah agar merasa nyaman dan merasa tidak diikucilkan dari keluarga.

5) Mempertahankan hubungan timbale balik antara keluarga dan lembaga-lembaga kesehtan yang menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilitas-fasilitas kesehtan yang ada. Untuk kesembuhan penderita gangguan jiwa, keluarga harus memiliki banyak informasi mengenai kesehtan jiwa anggota keluarganya dari lembaga petugas kesehatan yang ada.

(9)

Ketidakmampuan keluarga dalam melaksanakan tugas kesehatan terdiri atas : 1) Ketidaksanggupan mengenai masalah kesehatan keluarga karena

 Kurangnya pengetahuan / ketidakmampuan fakta akan penyakit ganggguan jiwa.

 Rasa takut akibat masalah yang dihadapi serta aib yang harus dihadapi membuat keluarga tidak fokus dalam mengenal masalah gangguan jiwa yang dihadapi anggota keluarga.

2) Ketidaksanggupan keluarga mengambil keputusan dalam melakukan tindakan yang tepat, disebabkan karena :

 Tindakan memahami mengenai sifat, berat dan luasnya masalah gangguna jiwa yang dihadapi keluarga.

 Keluarga tidak sanggup memecahkan masalah karena kurang pengetahuan dan kurang baik itu dalam hal biaya, tenaga dan waktu dalam penanganan anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa.

 Tidak sanggup memilih tindakan diantara beberapa pilihan.  Tidak tahu tentang fasilitas kesehatan yang ada

 Sikap negatif terhadap masalah kesehatan yang ada

 Fasilitas kesehatan yang tidak terjangkau terutama bagi keluarga yang ada di pedesaan.

(10)

3) Ketidakmampuan merawat anggota keluarga yang sakit, disebabkan karena :

 Tidak mengetahui keadaan penyakit misalnya sifat, penyebabnya, gejala dan perawatannya

 Kurang atau tidak ada fasilitas yang diperlukan untuk perawatan

 Tidak seimbang sumber-sumber yang ada dalam keluarga, misalnya keuangan dan fasilitas fisik untuk perawatan.

 Konflik individu dalam keluarga, keluarga tidak peduli dan lebih menyalahkan satu dengan lainnya mengenai keadaan anggota keluarganya.

4) Ketidakmampuan menggunakan sumber di masyarakat guna memelihara keehatan disebabkan karena :

 Rasa asing dan tidak ada dukungan dari masyarakat, adanya anggapan dan pemahaman masyarakat yang negative terhadap gangguan jiwa membuat keluarga merasa malu.

 Tidak tahu bahwa fasilitas kesehatan itu ada

 Kurang percaya terhadap petugas dan lembaga kesehatan.

2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Keluarga dalam Manerima Pasien Gangguan Jiwa

Rivai ( 1996 ) mengatakan bahwa rumah sakit jiwa seringkali mengalami kesulitan memulangkan klien ke pihak keluarga, sebab setiap kali hanya dalam waktu beberapa hari akan kambuh kembali, selain itu keluarga pasien sering menolak

(11)

menerima kembali dengan berbagai macam alasan serta kurangnya pengertian terhadap penanganan dan perawatan pasien mantan gangguan jiwa.

Rivai kemudian menambahkan bahwa pasien dengan perawatan pasien dengan gangguan jiwa di rumah sakit jiwa memang memerlukan waktu yang lama, terutama pasien dengan gangguan jiwa kronis ( menahun ), disebabkan kurangnya keterlibatan keluarga untuk ikut serta cara perawatannya sehari-hari, sehingga keluarga tidak siap dan tidak dapat beradaptasi dengan pasien lagi.

Dalam proses perencanaan kepulangan klien gangguan jiwa dari RSJ di awali dengan pertemuan yang pada proses keperawatan disebut dengan proses pangkajian. Proses pengkajian ini penting dilakukan untuk memperoleh data dari pasien dan keluarga sehingga dapat ditemukan masalah yang dihadapi pasien dan keluarga berhubungan dengan keadaan kesehatan pasien dan perawatannya di rumah. Biasanya yang dikaji adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kesiapan mereka menerima kepulangan pasien gangguan jiwa dan faktor-faktor tersebutlah yang palng banyak menjadi alasan keluarga menolak kehadiran klien gangguan jiwa ditengah-tengah keluarga mereka ( Suyasa, 1994 dalam Dep Kes RI 1994 ).

Adapun beberapa faktor yang perlu dikaji adalah sebagai berikut : a. Pengetahuan keluarga

Sebagai sebuah keluarga, seharusnya mengetahui tentang peran dan tanggung jawab dalam proses keperawatan yang direncanakan untuk perawatan klien dirumah. Faktor ini adalah salah satu faktor yang sering kali diabaikan oleh pihak keluarga padahal peran keluarga dalam proses penyembuhan merupakan peran yang paling penting ( Suyasa, 1994 dalam Dep Kes RI 1994 ).

(12)

Keluarga harus menambah pengetahuan dan melengkapi dirinya dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat memperlakukan mereka dalam keluarga secara baik dan memadai, bersifat teraupetik dan membawa anggota keluarga tersebut kepada kesembuhan yang seteru. Perlakuan-perlakuan keluarga terhadap salah satu anggota keluarga yang mengidap perilaku kekerasan, apabila tidak disertai pengetahuan dan sikap yang benar dapat mengakibatkan kekambuhan kembali.( Chandra, 2004 ).

Penelitian lain juga menunjukkan perlunya terapi pada keluarga diberikan untuk kesiapan keluarga dalam menerima kepulangan pasien jiwa dengan membekali mereka pengetahuan-pengetahuan tentang perawatan pasien perilaku kekerasan untuk mendukung kesembuhan penderita ( Ayub & Wigan, 2004 ).

Sebuah keluarga dengan penderita gangguan jiwa perlu menegetahui dan menyadari keadaan diri penderita, mengambil keputusan untuk menetukan bagaimana sikap yang sebaiknya diambil agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Banyak keluarga yang berpendapat bahwa penderita boleh berhenti minum obat ( berobat ) apabila gejal-gejala sudah menghilang / berkurang, juga banyak keluarga yang berpendapat bahwa penderita gangguan jiwa hanya perlu medikasi ( obat-obatan ) untuk dapat sembuh saat proses pemulihannya dirumah. Hal ini jelas keliru, terapi bagi penderita gangguan jiwa bukan hanya pemberian obat dan rehabilitasi medik, namun diperlukan peran keluarga guna resosialiosasi dan pencegahan kekambuhan ( Vijay, 2005 ).

(13)

b. Sruktur keluarga

Struktur keluarga meliputi pola dan proses komunukasi yang memungkinkan anggota keluarga untuk mengekspresikan marahnya, sedih, gembira, komunikasi yang terbuka, komunikasi yang dapat menyelesaikan konflik keluarga, suasana emosi yang hangat, saling percata, menghargai, memperhatikan dan mnerima. Pelaksanaan peran yang dilakukan keluarga, nilai-nilai yang dimilki dan dianut keluarga yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, norma sosial yang dianut oleh masyarakat turut mempengaruhi kesiapan keluarga ( Suyasa, 1994 dalam Dep Kes RI, 1994 ).

Menerima kenyataan adalah kunci pertama proses penyembuahan atau pengendalian perilaku kekerasan. Keluarga harus bersikap menerima, tetap berkomunikasi dan tidak mengasingkan penderita. Tindakan kasar, berantakan atau mengucilkan justru akan membuat penderita semakin depresi bahkan cenderung bersikap kasar. Akan tetapi, terlalu memanjakan juga tidak baik ( Chandra, 2004 ).

Tetapi yang kita temukan pada kenyataannya justru keluarga menjadi emosional, kritis, bahkan bermusuhan, jauh dari sikap hangat yang dibutuhkan ketika berhadapan dengan penderita memicu kekambuhan ( Sumarjo, 2004 ).

c. Sistem Pendukung

Keluarga sebagai sebuah kelompok yang dapat menimbulkan, mencegah atau memperbaiki masalah kesehatan yang dalam hal ini adalah gangguan jiwa yang ada dalam kelompoknya sendiri, oleh karena itu keluarga merupakan sistem yang terutama sebagai pendukung bagi klien setelah pulang dari rumah sakit jiwa. Maka dukungan keluarga dan lingkungan menjadi faktor yang penting ( Suyasa, 1994 dalam Dep Kes RI, 1994 ).

(14)

Keluarga pasien diharapkan memberikan perhatian khusus kepada penderita. Biasanya keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan mental menyembungikannya sehingga tidak terlihat oleh tamu-tamu yang datang ke rumah mereka. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena penderita akan merasa dikucilkan. Yang harus dilakukan adalah menyapa penderita setiap hari dan memberikan perhatian agar mereka tidak disingkirkan ( Chandra, 2004 ).

Kesedian keluarga untuk tetap merawat dan tetap mengakuinya sebagai bagian dari orang yang sisanyangi sangatlah diperlukan agar mereka tetap merasa dihargai sebagai manusia layaknya. Dukungan keluarga dan teman merupakan salah satu obat penyembuhan yang sangat berarti bagi penderita. Dengan dibentuknya kelompok keluarga gangguan jiwa dimasyarakat akan memungkin pasien dan keluarga gangguan jiwa di masyarakat akan memungkinkan klien dan keluarga mengadakan diskusi dan tukar pengalaman dalam mengatasi gejala yang timbul pada pasien gangguan jiwa. Sayangnya masyarakat sendiri justru mengasingkan keberadaan penderita gangguan jiwa sehingga hal ini turut mempengaruhi sikap keluarga terhadap pasin bahkan gangguan jiwa dianggap sebagai penyakit yang membawa aib bagi keluarga sehingga diputuskan untuk dibuang oleh keluarganya sendiri, akhirnya faktor lingkungan dalam keluarga justru tidak mendukung kesembuhan pasien ( Sumarjo, 2004 ).

Penyakit jiwa sampai saat ini memang masih dianggap sebagai penyakit yang memalukan, menjadi aib bagi si penderita dan keluarganya sendiri. Masyarakat kita menyebut penyakit jiwa pada tingkat yang paling parah seperti “gila”, sehingga penderita harus disembunyikan atau dikucilkan, bahkan lebih parah lagi ditelantarkan

(15)

oleh keluarganya. Sebenarnya tidak ada alasan yang kuat secara etis untuk melakukan diskriminasi dan perlakuan buruk terhadap penderita kelainan jiwa. Karena pengucilan dan diskriminasi justru memperburuk kondisi penderita itu sendiri. Tempat terbaik bagi penderita gangguan jiwa bukan di panti rehabilitasi atau di rumah sakit jiwa, apalagi dijalanan. Tempat terbaik bagi mereka adalah berada di tengah-tengah keluarganya, diantaranya orang-orang yang dicintainya. Yang mereka btuhkan adalah perhatian, pengertian, dukungan, cinta dan kasih sayang. Perhatian dan kasih sayang tulus dari keluarga dan orang-orang terdekatnya akan sangat membantu proses penyembuhan kondisi jiwanya ( Tarjum, 2004 ). Sudah seharusnya keluarga dapat mengurangi persepsi dan diskriminasi terhadap penderita gangguan jiwa dalam keluarga dan memberikan dukungan sosial kepadanya, rasa empati, penerimaan, mendorong untuk mulai berinteraksi sosial, dan dorongan untuk tidak berputus asa dan terus berusaha. Terapi sosial ini akan sangat membantu penderita gangguan jiwa dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang menjadi stressor bagi penderita ( Nash, 2005 ).

Penyakit gangguan jiwa ini sesungguhnya dapat teratasi dengan syarat ditangani secara tepat dan cepat. Dukungan moril dari keluarga dan orang-orang terdekat jelas sangat penting bagi penderita. Ironisnya penerimaan merupakan hal tersulit yang dapat diperoleh seorang penderita. Masih banyak orang tua yang malu mengakui anaknya adalah pengidap gangguan jiwa. Penyangkalan ini justru semakin menjauhkan penderita dari kemungkinan untuk sembuh ( Indriani, 2005 ).

(16)

d. Sumber daya keluarga

Sumber keuangan seperti ekonomi dan sumber keluarga. Pekerjaan pasien yang lalu baik pekerjaan yang pokok maupun sambilan. Kemampuan pasien untuk melakukan pekerjaan di rumah sakit jiwa dan kemungkinan klien untuk kembali ke pekerjaan semula atau harus mengganti pekerjaan yang baru ( Suraya, 1994 dalam Dep Kes RI 1994 ).

Faktor ini juga adalah faktor yang penting di kaji dari keluarga karena pada umumnya kemampuan finansial keluarga pasien dengan gangguan jiwa tidak memungkinkan untuk membiayai penyembuhan penyakit yang cenderung berjalan kronis sehingga kejadian seperti ini memicu tindakan dan sikap keluarga terhadap penolakan pasien gangguan jiwa ( Chandra, 2004 ).

Vijay ( 2005 ) juga mengatakan bahwa perawatan yang dibuthkan penderita gangguan jiwa menimbulkan dampak yang besar bagi keluarga, yaitu dampak ekonomi yang ditimbulkan berupa hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah bagi penderita maupun keluarga yang harus merawat serta tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung.

2.4. Perilaku Kekerasan

2.4.1. Definisi Perilaku Kekerasan

Perilaku kekerasan sukar diprediksi. Setiap orang dapat bertindak keras tetapi ada kelompok tertentu yang memiliki resiko tinggi yaitu pria berusia 15-25 tahun, orang kota, kulit hitam, atau subgroup dengan budaya kekerasan, peminum alkohol (Tomb, 2003 dalam Purba, 2008).

(17)

Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yng tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba, 2008). Menurut Stuart dan Sundeen (1995), perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif.

Perasaan marah normal bagi tiap individu. Namun, pada klien perilaku kekerasan mengungkapkan rasa kemarahan secara fluktuasi sepanjang rentang adaptif dan maladaptif. Marah merupakan perasaan jengkel yang tiimbul sebagai respons terhadap kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang tidak dirasakan sebagai ancaman (Stuart & Sundeen, 1995). Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktivitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat biasanya ada kesalahan, yang mungkin nyata-nyata kesalahannya atau mungkin juga tidak. Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal ini disalurkan maka akan terjadi perilaku agresif (Purba, 2008).

Keberhasilan individu dalam berespon terhadap kemarahan dapat menimbulkan respon asertif yang merupakan kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain dan akan memberikan kelegaan pada individu serta tidak akan menimbulkan masalah. Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan melarikan diri atau respon melawan dan menentang. Respon melawan dan menentang merupakan respon yang maladaptif yaitu agresi-kekerasan.

(18)

Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan. Pasif merupakan respons lanjutan dari frustasi dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan yang sedang dialami untuk menghindari suatu tuntutan nyata. Agresif adalah perilaku menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih dapat terkontrol. Perilaku yang tampak dapat berupa muka masam, bicara kasar, menuntut, dan kasar disertai kekerasan. Amuk atau kekerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri. Individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Apabila marah tidak terkontrol sampai respons maladaptif (kekerasan) maka individu dapat menggunakan perilaku kekerasan (Purba, 2008).

2.4.2. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Perilaku Kekerasan pada Klien Gangguan Jiwa

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekrasan menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba, 2008) adalah:

1. Teori Biologik

Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku:

a. Neurobiologik

Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila

(19)

ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.

b. Biokimia

Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap stress.

c. Genetik

Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.

d. Gangguan Otak

Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.

(20)

2. Teori Psikologik a. Teori Psikoanalitik

Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.

b. Teori Pembelajaran

Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.

3. Teori Sosiokultural

Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga

(21)

berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu. 2.4.3 Tindakan Keperawatan pada Pasien Perilaku Kekerasan

Menurut Purba (2008), beberapa tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pada pasien perilaku kekerasan dapat meliputi tindakan untuk pasien dan tindakan untuk keluarga. Tindakan untuk pasien meliputi bina hubungan saling percaya agar pasien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan perawat, diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan yang dialami, perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan, perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada saat marah, akibat dari perilakunya, cara mengontrol perilaku kekerasan secara fisik, obat, sosial/verbal, dan spiritual.

Tindakan untuk keluarga pasien perilaku kekerasan meliputi diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan (penyebab, tanda dan gejala, perilaku yang muncul dan akibat dari perilaku tersebut), anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien dan memberi pujian bila pasien dapat melakukan kegiatan yang positif, diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan bila pasien menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan, diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi pasien yang perlu sesgera dilaporkan kepada perawat seperti melempar atau memukul benda/orang lain.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji bivariat menunjukkan variabel yang berhubungan dengan status kerentanan keluarga dalam menghadapi COVID-19 di Provinsi Jawa Tengah yaitu rata-rata

Pejual telah melaksanakan perjanjian karena sudah menyiapkan bahan-bahan makanan yang akan dioalah esok harinya. Oleh sebab itu, penjual tidak mengembalikan uang

Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga sampai saat ini masih memberikan kesempatan untuk dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

Tabel I.4 Perkembangan Jumlah Peminat melalui Seleksi Mandiri Universitas Negeri Malang menurut Fakultas/ Jurusan/Program Studi dan Jenjang Program Studi Trends in Number

Jika pantulan itu terjadi pada ujung bebas, maka gelombang pantul merupakan kelanjutan dari gelombang datang (fasenya tetap), tetapi jika pantulan itu terjadi pada ujung tetap,

Pengukuran hasil jarak lompat jauh.. Pelaksanaan tes

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan, karunia serta rahmat dalam penulisan skripsi dengan judul “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Daftar Perusahaan Peserta Train The Trainer dari Service Leadership (Public dan Inhouse Training) PT Sorini Towa Berlian Corp, Departemen Keuangan, PT Holcim Indonesia, Warbis