• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Suhu pada Proses Perendaman terhadap Daya Susut Kain Batik dari Serat Kapas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengaruh Suhu pada Proses Perendaman terhadap Daya Susut Kain Batik dari Serat Kapas"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Suhu pada Proses Perendaman terhadap Daya Susut

Kain Batik dari Serat Kapas

Sri Endah Wahyuningsih

Jurusan Teknologi Jasa dan Produksi, Universitas Negeri Semarang

Abstrak: Konsumen batik dari serat kapas sering mengalami permasalahan karena pakaian

yang dikonsumsi mengalami perubahan bentuk dan ukuran.Hal ini terjadi sebab produsen atau penjahit tidak melakukan perendaman kain sebelum proses pemotongan bahan hal ini terjadi sebelum pengguntingan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan daya susut kain batik cap dari serat kapas dengan adanya pengaruh suhu pada proses perendaman dan mengetahui perbedaan setiap perlakuan perendaman. Hasil analisis varian diperoleh Fh = 63,29. Ft = 3,23 maka ada perbedaan daya kain batik cap dari serat kapas dengan adanya pengaruh suhu pada proses perendaman. Dari uji Tukey diperoleh rerata 2,20 untuk suhu 300C, rerata 3,55 untuk suhu 650C dan rerata 5,26 untuk suhu 1000C sehingga secara keseluruhan daya susut kain batik cap dari serat kapas untuk masing-masing perlakuan adalah berbeda nyata. Kepada penjahit atau produsen pakaian batik cap dari serat kapas untuk lebih teliti dalam membuat pakaian yaitu sebelum dilakukan pemotongan kain sebaiknya melakukan perendaman kain selama + 1 malam dengan air suhu 30oC, 65o dan 100oC. Jika menghendaki daya susut yang lebih tinggi, maka gunakan air perendaman dengan suhu yang tinggi.

Kata kunci : kain batik, daya susut

1. Pendahuluan

Pada tahun 1960 para seniman batik di Indonesia mengembangkan desain batik klasik ke motif batik modern sehingga perkembangan-nya tidak terbatas pada batik sandang saja, tetapi untuk hiasan dan lenan rumah tangga. Kain batik dapat digolongkan menjadi tiga macam yaitu kain batik tradisi, kain batik modern, dan kain batik lukisan. Pembuatan kain batik tradisi ada dua macam yaitu batik tulis dan batik cap. Kain batik tradisi mempunyai warna khusus, biru, soga dan putih. Sedangkan kain batik modern dan lukis menggunakan warna motif yang sangat bebas (Jumaeri dkk. 1997 : 223).

Menurut Widodo (1993 : 80) kain batik merupakan salah satu kain tradisi Indonesia dan sampai sekarang tetap digemari dan digunakan. Jenis ragam hias pada kain batik mempunyai peranan yang sangat penting dalam arti maupun seni. Ragam hias bisa berfungsi sebagai simbol/lambang yang sangat erat hubungannya dengan kepercayaan .Contoh: Ornamen burung melambangkan dunia atas, pohon

melambang-kan dunia tengah, ular melambangkan dunia bawah menurut paham triloka.

Kain batik di Indonesia mengalami perkembangan disebabkan oleh pembaharuan dibidang motif, pewarnaan, pembuatan, fungsi batik dan bahan lukis yang lebih lengkap. Sesuai dengan perkembangan penggunaan yang semula hanya sebagai bahan sandang yang berujud kain panjang wanita, ikat kepala, dan selendang wanita. Sekarang penggunaan batik sudah meningkat untuk berbagai penggunaan misalnya sebagai bahan sandang untuk pakaian wanita, pria dan anak-anak serta berbagai barang hiasan seperti korden dan telapak meja (Murtihadi dan Gunarto 1981 : 166). Proses pembuatan bahan dasar kain batik khususnya bahan kapas mengalami penyem-purnaan. Diantaranya anti susut (San forized). Tujuan penyempurnaan anti susut ini membuat kain mempunyai daya susut yang sekecil mungkin, sehingga bentuk yang diberikan kepada penggunaan kain tersebut misalnya pada

(2)

konveksi tidak berubah walaupun dicuci berulang kali.

Menurut Hartanto (1980) mengemukakan pakaian dari hasil jahitan konveksi maupun perorangan masih sering mengalami perubahan bentuk/ukuran setalah pakaian itu dicuci berulang-ulang. Perubahan bentuk/ukuran terjadi disebabkan karena adanya regangan-regangan yang tak dapat dihindarkan pada waktu pembuatan kain pada proses pencucian/perendaman. Serat kain menyerap air sehingga diamater serat bertambah besar dan panjangnya menyusut/ mengekeret disebabkan pada pembuatan kain serat lusi lebih kuat dibanding serat pakan. Misalnya adanya pemberian kanji dan antihan.

Proses pembuatan kain telah mengalami proses penyempurnaan anti susut, bahan tekstil / khususnya untuk kain yang berasal dari serat kapas masih sering terjadi atau ditemui adanya penyusutan baik lebar maupun panjang kain. Hal ini diketahui dari pakaian produk Garment setelah pakaian dicuci berulang kali menjadi tidak bisa dipakai karena perubahan bentuk dan ukuran.

Konsumen batik sering\kali mengalami suatu masalah yaitu pada saat pakaian baru dipakai dan belum pernah dicuci terasa enak dipakai karena sesuai ukuran/pas badan tetapi setelah dicuci berulang kali mengalami perubahan bentuk/ukuran sehingga tidak nyaman/tidak dapat dipakai, hal ini disebabkan karena kurang telitinya produsen/penjahit dalam proses membuat pakaian.

Pada proses pembuatan pakaian meliputi beberapa tahap, antara lain: pembuatan pola, pemotongan bahan, pemberian tanda penjahitan dan penyepelsaian akhir. Sebelum bahan dipotong/digunting perlu mengecek terlebih dahulu asal serat bahan. Jika bahan yang akan dipotong berasal dari serat kapas sebaiknya direndam terlebih dahulu untuk proses penyantaian dan penghilangan kanji sehingga kain susut dan menghindari perubahan bentuk/ukuran saat kain dicuci berulangkali.

Berdasarkan pengamatan tidak semua penjahit/garment melakukan pembuatan

pakaian secara teliti terutama berkaitan dengan proses perendaman sebelum pemotongan bahan khususnya untuk bahan dari serat kapas.

Menurut Hartanto (1980: 254) menge-mukakan untuk mengetahui daya susut kain bisa menggunakan air atau larutan sabun dengan suhu tertentu. Maka dari itu perlu dilakukan penelitian tentang daya susut kain dan suhu air perendaman. Perkembangan Kain Batik

Kain batik menurut dugaan pada abad 12 orag Indonesia khususnya di Jawa telah dapat membuat batik dengan teknik yang sederhana sekali.

Sesuai dengan Ruffair dalam Tirtamijaya (1966 : 2) tahun 1275 di Jawa Timur para wanita membuat batik tulis dengan alat canting dan menemukan pola gringsing. Kurang lebih tahun 1520 di Galuh Cirebon dan Indramayu ditemukan tulisan-tulisan di atas lontar dengan seni batik dibuat oleh para laki-laki serta mereka namakan lukisaan seni batiknya disebut tulis. Pada abad ke 19 timbul saingan antara batik tulis dan batik cap serta perkembangan pemakaian zat pewarna kimia dari luar negeri sehingga penggunaan pewarna dari tumbuh-tumbuhan menjadi berkurang. Kurang lebih tahun 1950 perusahaan batik bertambah maju dan mengalami perkembangan fungsi.

Dahulu batik untuk beberapa macam pakaian adat, antara lain: kain panjang, sarung, kemben, selendang, dodot. Sekarang macam-macam penggunaannya dari alas tempat tidur, meja dan kemeja. Akibat perkembangan perusahaan batik, maka pembuatan batik halus/tulis semakin berkurang karena pengusaha memenuhi permintaan konsumen dan teknik batik yang lebih mudah.

Kain batik adalah kain yang dihasilkan dengan pencelupan dan untuk membuat motifnya dirintangi dengan malam.

(3)

Menurut Jumaeri dkk (1997 : 221) kain batik dapat digolongkan menjadi 3 macam yaitu kain batik tradisi, modern dan batik lukisan. Pembuatan kain batik tradisi ada 2 macam, yaitu : batik tulis tangan (canting) dan cap seperti stempel. Kain batik menggunakan motif yang turun temurun dan memiliki ciri-ciri khusus sesuai kepercayaan daerah, waktu dan siapa yang membuat dan menggunakan. Ragam hias menggunakan pola utama dan pola pengisi (sebagai isen-isen).

Jumaeri dkk (1997 : 224) mengemukakan prinsip pembuatan kain batik adalah menutup bagian tertentu dari kain dengan menggunakan sejenis lilin/malam, sebelum hari tersebut diberi zat warna (dicelup), setelah dicelup malam tersebut dibuang, sehingga bagian yang tadinya tertutup oleh lilin tetap seperti warna asalnya.

Bahan Pembuatan Kain Batik

Menurut Jumaeri dkk (1975 : 159) pembuatan kain batik menggunakan kain

cambric/mori. Istilah cambric berasal dari

kata Cambral di Perancis. Kain cambric berasal dari serat kapas yaitu kain yang diputihkan dengan tenunan rapat, halus, lembut dan sedikit diberi kanji. Kain mori adalah istilah yang lazim dipakai oleh masyarakat Indonesia jika menyebutkan kain cambric untuk pembuatan kain batik, kain mori sering juga disebut dengan kain muslin atau lawn (lawon).

Ditinjau dari mutunya bahan mori ada 3 (tiga) golongan, yaitu :

1. Mori biru yaitu mori bermutu rendah. Tetal kain sekitar 76x65 dan 82x70. Benang yang dipergunakan adalah benang garu 28x30 sampai 32x36.Artinya kain memiliki tetal kain sekitar 76 x 65 (tetal lusi 76 – 82per inchi dan)tetal pakan 65-70 perinchi. Benang yang dipergunakan benang garu yaitu benang yang antihannya sedikit sehingga agak kasar memiliki kehalusan/ nomor benang lusi Ne, 28 dan benang pakan Ne, 30.

2. Mori prima yaitu mori yang bermutu menengah

Tetal kain sekitar 90 x 79 dan benang yang dipergunakan adalah benang sisir 36 x 39. Artinya kain memiliki tetal lusi 90 – 90 perinchi dan tetal pakan 79 – 84 perinchi. Benang yang dipergunakan adalah benang sisir (lebih halus/rata) memiliki kehalusan/ nomor benang lusi Ne, 36 – 40, benang pakan Ne, 39 – 44.

3. Mori primissima

yaitu mori yang bermutu tinggi adalah kain memiliki tetal sekitar 117 x 106 dan benang yang dipergunakan adalah benang sisir 54 x 60. Artrinya kain memiliki tetal lusi 117 – 125 per inchi, tetal pakan 106 – 111 per inchi. Benang yang dipergunakan lebih halus/rata,, nomor benang lusi Ne, 54 – 62 ,benang pakan Ne, 60 – 66. Menurut DSTI (Dewan Standarisasi Tekstil Indonesia tahun 1972) dalam Jumaeri dkk (1977 : 159) ditetapkan standar golongan kain mori yaitu pada Tabel 1.

Tabel 1. Standar golongan kain mori

Golongan Tetal per inchi Tetal pakan per inchi Ne, lusi Ne, pakan Lebar kain (cm) Mori Biru I II Mori Prima I II Mori Primissima I II 75-90 70-74 96-107 84-95 110-120 105-110 66-70 60-65 79-84 74-78 105-110 80-90 27-34 27-34 34-44 34-44 50-56 50-56 27-34 28-36 38-46 38-46 54-70 54-70 105-108 105-108 105-108 105-108 105-108 105-108

(4)

Dari tabel di atas terlihat kain mori biru golongan satu (I) memiliki tetal kain lebih tinggi dibanding kain mori golongan dua (II). Ne, adalah nomor benang yang menunjukkan tingkat kehalusan benang dari serat kapas . Golongan benang lusi untuk jenis kain nomor I dan II memiliki tingkat kehalusan yang hampir sama. Nomor benang pakan lebih tinggi dibanding nomor benang lusi. Nomor benang pakan kelas I dan II hampir sama. Tetal kain adalah suatu istilah yang dipakai untuk menunjukkan banyaknya benang lusi atau pakan setiap jarak ter tentu (cm atau inchi). Tetal lusi adalah banyaknya benang lusi perinchi . Benang pakan adalah banyaknya benang pakan per inchi. Benang lusi adalah benang yang sejajar dengan panjang kain , dan benang pakan adalah benang yang memiliki arah serat melebar. Menurut Enny (1997) mengemukakan 4 golongan kain mori batik yaitu: mori primissima, mori prima, dan mori biru serta mori blaco.

Mori primissima adalah golongan mori yang paling halus. Kain mori primissima digunakan untuk batik tulis jarang digunakan untuk batik cap. Mori primissima disebut pula

moricen/mori cap cent. Lebar kain 106 cm (+

42 inchi) dan panjang 155 cm. Konstruksi kain dengan nomor benang Ne, 50-56. Ketetalan benang untuk lusi 105-125 per inchi dan tetal pakan 100-120 per inchi. Kain mori primissima mengandung kanji ringan di bawah 10% rata-rata 4% sehingga pada pencucian mudah dihilangkan. Merk mori primissima dari Holland memiliki cap/label sen, jangkrik dan Van Heek serta lonceng mas. Sedang merk primissime dari Jepang berlabel golden, kupu, naga, kenanga dan lampu terbang.

Mori prima adalah golongan mori halus yang kedua sesudah primissima. Mori prima dapat untuk batik halus dan batik cap. Ukuran lebar kain mori prima dari Holland adalah 40 inchi, panjang + 16 yard. Sedang ukuran mori prima dari Jepang sama dengan ukuran mori primissima.

Mori biru (medium) adalah mori golongan ketiga setelah primissima dan prima. Kain mori biru banyak digunakan untuk batik kasar dan sedang. Mori biru digolongkan ke batik

sandang. Ukurannya lebih pendek dari batik biasa. Ukuran lebar 42 inchi dan panjang 48 yard, tetal lusi 65-85 dan tetal pakan 60-70 per inchi.

Mori blaco adalah yang paling rendah kualitasnya disebut pula golongan mori merah atau kain grey karena belum diputihkan. Ukuran lebar 30-43 inchi, panjang 48 yard, tetal benang lusi 64-68 inchi, tetal bebang pakan 48-64 per inchi. Sesuai dengan perkembangan IPTEK bahan yang digunakan untuk batik tidak terbatas dari bahan kapas/kain mori saja antara lain bisa dari bahan sintetis seperti poliester, rayon, sutera , tetoron, vonnel serta nylon. Khusus kain batik dari serat kapas mempunyai sifat menyusut setelah mengalami pencucian, karena dalam pembuatan kain serat lusi diberi kekuatan dengan dan antihan, untuk itu sebelum kain dipotong untuk dijahit perlu dilakukan perendaman .

Penggunaan Kain Batik

Penggunaan kain batik semula hanya sebagai bahan sandang tertentu yang berwujud kain panjang, selendang dan ikat kepala sekarang sudah meningkat dengan berbagai macam penggunaan, misalnya untuk bahan sandang yang meliputi kebutuhan pakaian wanita, pria, anak-anak dalam berbagai kesempatan antara lain : pesta, adat, rekreasi, bepergian dan pakaian rumah. Selain itu untuk bahan hiasan berupa lukisan dan untuk barang guna misalnya : sprei, taplak meja, gorden, sarung bantal dan sebagainya (Murtihadi dan Gunarto, 1982 : 67).

Pembuatan Pakaian Batik

Proses pembuatan pakaian meliputi: pembuatan pola, pemotongan bahan, peraderan dan penjahitan. Pembuatan pakaian dari bahan serat kapas khususnya sebelum kain dipotong perlu dilakukan perendaman terlebih dahulu sehingga kain mengalami penyusutan. Menurut Jumaeri dkk (977 : 280) pada proses pembuatan kain dilakukan

(5)

penyempurnaan anti mengkeret (anti shrink) yang bertujuan untuk membuat kain memiliki daya mengkeret sekecil mungkin, sehingga bentuk yang diberikan pada penggunaan kain tersebut tidak berubah walaupun dicuci berulang-ulang.

Sesuai pendapat tersebut, maka sebenarnya bahan bati cap dari serat kapas meskipun sudah dilakukan penyempurnaan anti mengkeret masih sering ditemui mengalami penyusutan/berubah bentuk. Setelah proses pencucian seiring kain/pakaian menjadi mengkeret/menyusut ukurannya baik panjang maupun lebar.

Menurut Jumaeri dkk (1977: 280) perubahan bentuk pada waktu pencucian disebabkan karena adanya regangan-regangan yang tak dapat dihindarkan pada waktu pembuatan kain dan sejak pembuatan bebang. Pada saat serat kain menyerap air diameter serat bertambah besar sehingga panjangnya menjadi mengkeret. Untuk bahan dari serat kapas lebih banyak dilakukan penyempurnaan secara mekanika (tanpa resin/zat kimia) sehingga mengkeretnya tidak lebih dari 1% (sanforised). Hal ini sesuai pendapat Enny (1997:24) mengemukakan bahwa penyempurnaan secara mekanik dapat dilakukan dengan pencucian sehingga diperoleh penyusutan. Setelah itu baru dimasukkan dalam mesin sanforised.

Menurut Darminigsih dan Imban (1985 : 106) pada proses pembuatan pakaian, sebelum kain dipotong/digunting dan menempelkan atau meletakkan pola pada kain perlu memeriksa apakah kain tersebut menyusut atau tidak. Khusus bahan berasal dari serat kapas perlu direndam dalam keadaan terlipat selama satu malam kemudian diangin-anginkan, setelah agak kering (lembab) diseterika dan siap digunting.

Untuk mengetahui daya susut bahan dapat dilakukan perendaman ke dalam air atau larutan sabun pada suhu tertentu antara lain: air suhu kamar (300C), air mendidih (1000C), air suhu (650) larutan batang sabun 5 g/L suhu (500C), larutan batang sabun 5/L suhu 300C, larutan batang sabun 5 g/L suhu 650C, larutan batang sabun 5 g/l suhu 100C (Sugiharto Hartanto, 1980: 254 ).

Proses penyusutan dalam penelitian ini menggunakan media 3 jenis air dengan kondisi yang berbeda, yaitu pertama air suhu kamar/biasa berasal dari sumber air (sumur, sungai, dan laut) tanpa dipanaskan/didinginkan biasanya memiliki suhu 30oC. Kedua, air sumur, sungai dan laut yang dipanaskan hingga suhu 65oC, dan ketiga air sumur, sungai dan laut yang dipanaskan hingga mendidih (suhu 100oC).

Dari uraian tersebut dapat dirumuskan masalah yaitu apakah ada perbedaan daya susut kain batik dengan adanya pengaruh suhu pada proses perendaman dan apakah ada perendaman daya susut kain batik pada setiap pencucian dengan suhu kamar, air mendidih dan air suhu 65oC.

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan daya susut kain batik dengan adanya pengaruh suhu pada proses perendaman, untuk mengetahui perbedaan daya susut kain batik untuk setiap perendaman air suhu kamar (300C) dengan air suhu mendidih 1000C dan 300C dengan air suhu 650C, serta air suhu 650C dengan suhu 1000C.

2. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah eksperimen murni. Bentuk eksperimen yang digunakan adalah dengan randomizet

control group pretest-postest desingn

(Suryabatra, 1983 : 49). Sebelum pelaksanaan penelitian menggunakan percobaan pendahuluan agar dapat diketahui karakteristik bahan yang dipakai, setelah ini baru dilakukan penelitian yang sebenarnya atau sesungguhnya dengan cara memberi perlakuan terhadap bahan yang akan diteliti.

Sebagai variabel bebas dalam penelitian ini adalah suhu air untuk mencuci / merendam kondisi air suhu kamar, air mendidih dan air suhu 650C. Sebagai variabel terikat adalah daya susut kain batik. Pra-eksperimen pada penelitian ini dilakukan sebanyak enam kali (ulangan) untuk menghindari atau mengurangi

(6)

tingkat kesalahan perlakuan.Kondisi setiap pengulangan berbeda baik setiap kelompok dan suhu air. Kondisi perlakuan dan jarak watu yang digunakan sama.

Adapun desain eksperimendalam penelitian ini meliputi; nomor ulangan, suhu,dan kondisi. Desain penelitian dapat digambarkan sebagai berikut (lihat Tabel 2).

Tabel 2. Desain Eksperimen Penelitian Daya Susut Kain Batik dalam Proses Perendaman NO. ULANGAN EKSPERIMEN CARA KONDISI SUHU KAMAR (300C) A AIR MENDIDIH 1000 B AIR (650) C 1 2 3 4 5 6 JUMLAH DAYA SUSUT

Populasi yang digunakan dalam penelitian adalah kain batik cap dari serat kapas (mori prima) karena mudah didapat,sering dikonsumsi dan harganya murah. Pengambilan sampel pada penelitian eksperimen ini harus disesuaikan denga adanya penguji analisis varians (Hines dan Mantgomery, 1990 : 30). Bila daya pengujiaanya tinggi maka akan mengecilkan penyimpangan yang terjadi bila penelitian diulangi lagi (Dixon dan Massy, 1986 : 30). Penentuan ulangan eksperimen perlu dihubungkan dengan daya pengujian pada model efek tetap adalah sebagaimana dikemukakan oleh Geoffery (1982 : 71). Rumus untuk menentukan banyaknya ulangan adalah sebagai berikut :

φ =

{

(

)

}

2 2 i

υs

/a

µ

µ

Σ

S

Keterangan :

φ : Parameter pada grafik yang letaknya mendatar

S1 : Jumlah pengulangan

µ : Rerata dalam tiap kelompok perlakuan

µ1 : Rerata keseluruhan perlakuan

σs2 : Standar Deviasi / Galat Varian

Adapun grafiknya dapat dilihat pada buku Design and Analisis A Research Handbook (Geoffery, 1982 : 549 – 5523 ). Dari hasil perhitungan dengan rumus tersebut, maka jumlah ulangan yang yang dilakukan dalam penelitian ini sebanyak 39 kali. Dengan keadaan tersebut, maka apabila dilakukan pengulangan pengujian sebanyak 100 kali kemungkinan terjadi kesalahan diperkirakan 1 kali.

Uji Persyaratan Analisis

Pengujian persyaratan analisis dimaksud-kan untuk mengetahui apakah data yang telah diumpulkan memenuhi syarat statistik yang digunakan Untuk statistik dengan analisis varians (Anava) data harus normal dan homogen sehingga pada data penelitian ini data harus diuji nornalitas dan homogenitas. Teknik Analisis untuk menguji ada tidaknya perbedaan daya susut kain batik dengan adanya perbedaan suhu pada proses perendaman dalam setiap perlakuan maka digunakan analisis varians (Anava).

(7)

3. Hasil dan Pembahasan

Uji Persyaratan Analisis

Pengujian Homogenitas dilakukan dengan menggunakan bantuan paket program SPSS/PC +. Hasil uji homogenitas diperoleh dengan angka statistik F = 0,5, df 1 = 2 dan df = 36. kalau fhitung = 0,53 < Ftabel = 34,8 dari

total Chi kuadrat,maka dapat disimpulkan bahwa populasi homogen.

Hasil uji normalitas menunjukkan garis yang normal.

Dari Tabel 3 di atas, terlihat bahwa hasil F hitung 63,39 > F tabel = 9,23 dengan demikian hipotesis yang menyatakan ada perbedaan daya susut air pada proses perendaman dapat diterima dengan adanya pengaruh suhu air pada proses perendaman

dapat diterima dengan signifikan. Untuk mengetahui perbedaan

dari daya susut kain batik cap dari serat kapas untuk tiap-tiap sampel maka pengujian dapat dilanjutkan dengan menggunakan uji Tukey HSD atau Tukey B dengan hasil analisis dengan menggunakan bantuan paket program SPSS/PC+. Hasil

ringkasan perhitungan Uji Tukey dapat dilihat pada Tabel 3.

Pengujian Hipotesis

Setelah data normal dan homogen maka untuk mencari perbedaan dilakukan dengan menggunakan bantuan paket program SPSS/PC+. Perhitungan secara ringkasnya seperti terlihat pada Tabel 3 di atas.

Dari tabel 4 hasil penelitian menunjukkan perlakuan ada tanda bintang (*) maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang nyata antara daya susut kain batik cap dari serat kapas dengan adanya pengaruh suhu pada proses perendaman masing-masing dengan suhu air 300C, 650C dan 1000C.

Pembahasan hasil penelitian

Hasil data penelitian menunjukkan perbedaan yang nyata daya susut kain batik cap dari serat kapas dengan adanya pengaruh suhu pada proses perendaman. Hal ini akan sesuai dengan pendapat Jumaeri, dkk (1977 : 280) pada hasil jahitan

konveksi maupun perorangan masih sering ditemukan adanya pakaian yang mengalami perubahan bentuk/ukuran setelah pakaian tersebut dicuci berulang- ulang (> 2 kali). Perubahan bentuk ini terjadi karena penyusutan kain pada waktu pencucian disebabkan karena adanya regangan-regangan yang tak dapat dihindarkan pada waktu pembuatan kain. Serat kain menyerap air sekitar 7-8,5% sehingga diameter serat bertambah besar dan panjangnya menyusut. Pendapat ini didukung pula oleh pendapat Darminsih dan Imban (1985 : 106) bahwa pada proses pembuatan pakaian, sebelumkain digunting maka perlu memeriksa kain tersebut menyusut atau

(8)

tidak, kalau bahan pakaian dari serat kapas maka perlu direndam terlebih dahulu selama satu malam sehingga kain menyusut. Hasil pengujian hipotesis juga menunjukan adanya perbedaan yang nyata tiap-tiap sampel perlakuan daya susut kain batik cap dari serat kapas dengan adanya pengaruh suhu pada proses perendaman dengan suhu 300C, 650C dan suhu 1000C. Hal ini sesuai dengan pendapat Hartanto (1980 : 255) untuk menguji daya susut bahan bisa direndam dalam air suhu 300C, 650C dan 1000C.

4. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Sesuai dengan penelitian yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan penelitian adalah: ada perbedaan daya susut kain batik cap dari serat kapas dengan adanya pengaruh suhu pada proses perendaman, karena Fhitung >

dari Ftabel atau 63,29 > 3,23, ada perbedaan

yang nyata daya susut kain batik cap dari serat kapas untuk perendaman dengan air suhu 300C dengan suhu 650C sebesar 2,20, ada perbedaan yang nyata daya susut kain batik cap dari serat kapas untuk perendaman dengan air suhu 300 dengan suhu 1000 sebesar 3,55, dan ada perbedaan daya susut kain batik cap dari serat kapas untuk perendaman dengan air suhu 650 dengan 1000 sebear 5,26.

Saran

Berdasarkan kesimpulan, maka dapat diajukan saran-saran sebagai berikut: bagi penjahit/pembuat pakaian, sebelum meng-gunting kain memeriksa dahulu kain/bahan menyusut atau tidak, khusus untuk bahan pakaian dari serat kapas sebelum kain dibuat pakaian harus direndam dahulu supaya menyusut dan nantinya tidak berubah bentuk atau ukuran, dan perendaman kain dari serat kapas bisa menggunakan suhu air 300C (suhu kamar) 650 dan 1000, masing-masing menghasilkan daya susut yang berbeda. Daya susut yang tinggi digunakan perendaman dengan suhu air 1000C.

5. Daftar Pustaka

Chotib W, dan Putu Ayu G. 1983.

Petunjuk Praktek Bahan Tekstil.

Dikmenjur. Jakarta.

Darminsih, dan Imban S. 1985.

Pembuatan Busana Bagi Anak.

Direktorat Pendidikan Menengah dan Kejuruan. Jakarta.

Dixon F.W., dan Massy. 1986. Pengantar

Analisis Statistik. UGM Press.

Yogjakarta.

Eny. 1997. Bahan Perkuliahan Ilmu

Tekstil. IKIP. FT Press. Yogyakarta.

Geoffery K. 1982. Design and Analysis A.

Research Hand Book. Prantices

Hall. New Jersey.

Hartanto S. 1980. Teknologi Tekstil. Pradnya Paramita. Jakarta.

Hines W.W., dan Mantogomery D.C. 1900. Probabilita dan Statistik

Dalam Ilmu Rekayasa dan

Manajemen. Edisi kedua. UI Press.

Jakarta.

Jumaeri, dkk. 1977. Pengetahuan Barang

Tekstil. -

Murtihadi, dan Gunarto. 1982.

Dasar-dasar Desain. Directorat Pendidikan

Menengah dan Kejujuran. Jakarta. Suryabrata S. 1983. Metodologi

Penelitian. CV. Rajawali.

Yogyakarta.

Tirtamijaya. 1996. Batik. Djambatan. Jakarta.

Widodo. 1983. Batik Tradional. PT Penebar Swadaya. Jakarta.

Gambar

Tabel 1. Standar golongan kain mori  Golongan  Tetal  per inchi  Tetal  pakan  per inchi  Ne, lusi  Ne,  pakan  Lebar  kain (cm)  Mori Biru  I  II  Mori Prima  I  II  Mori  Primissima  I  II  75-90 70-74  96-107 84-95  110-120 105-110  66-70 60-65 79-84 74
Tabel 2. Desain Eksperimen Penelitian  Daya Susut Kain Batik dalam Proses   Perendaman  NO

Referensi

Dokumen terkait