• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertanian Organik Pengertian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertanian Organik Pengertian"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertanian Organik 2.1.1. Pengertian

Keamanan pangan (food safety) menjadi isu sensitif dalam industri pangan. Berbagai kasus keracunan pangan yang terjadi berasal dari kontaminasi bahan kimia dan mikrobiologi menyebabkan konsumen menyeleksi produk makanan apa yang akan dikonsumsi. Keamanan pangan dan produk pangan yang segar, serta alami menjadi tuntutan konsumen, sehingga mendorong gaya hidup sehat dengan tema global “Kembali ke Alam” (Back to Nature), dimana masyarakat menginginkan makanan yang benar-benar serba alami, bebas dari zat kimia, pestisida, hormon dan pupuk kimia. Pangan organik dianggap memenuhi persyaratan tersebut, sehingga permintaan dan peluang pemasarannya meningkat (Winarno, Seta dan Surono, 2002).

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan, bahan baku pangan dan bahan lain yang dipergunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman (BSN, 2002). Sedangkan organik adalah istilah pelabelan yang menyatakan bahwa suatu produk telah diproduksi sesuai dengan standar produksi organik dan disertifikasi oleh otoritas atau lembaga sertifikasi resmi.

Pangan organik adalah pangan yang berasal dari suatu sistem pertanian organik yang menerapkan praktek-praktek manajemen dengan tujuan memelihara ekosistem untuk mencapai produktivitas berkelanjutan, dan melakukan pengendalian gulma, hama dan penyakit, melalui berbagai cara seperti daur ulang residu tumbuhan dan ternak, seleksi dan pergiliran tanaman, manajemen pengairan, pengolahan lahan dan penanaman, serta penggunaan bahan-bahan hayati (BSN, 2002). Pangan organik pangan/produk bebas bahan sintetis (pestisida dan pupuk kimia), tidak menggunakan bibit hasil rekayasa genetika (Genetically Modified Organism atau GMO) dan teknologi iradiasi untuk tujuan pengawetan produk.

(2)

Menurut AOI (2009), Pertanian Organik (PO) merupakan pertanian yang selaras dengan alam, menghayati dan menghargai prinsip-prinsip yang bekerja di alam yang telah menghidupi segala makhluk hidup berjuta-juta tahun lamanya. PO merupakan proses budidaya pertanian yang menyelaraskan pada keseimbangan ekologi, keanekaragaman varietas, serta keharmonian dengan iklim dan lingkungan sekitar. Dalam prakteknya, budidaya PO menggunakan semaksimal mungkin bahan-bahan alami yang terdapat di alam sekitarnya, dan tidak menggunakan asupan agrokimia (bahan kimia sintetis untuk pertanian). Lebih jauh, karena PO berusaha meniru alam, maka pemakaian benih atau asupan yang mengandung bahan-bahan yang mengandung hasil rekayasa genetika GMO juga dihindari.

2.1.2 Standar Sistem Pangan Organik

Menurut BSN (2002), perkembangan perumusan standar yang mencakup sistem pangan organik untuk produksi, pemrosesan, pelabelan dan pemasarannya begitu pesat kemajuannya, sebagai konsekuensi dari perubahan yang cepat dalam pengelolaan kegiatan memproduksi, memproses, melabel dan memasarkan pangan organik di dunia. Badan Standardisasi Nasional (BSN) melalui Panitia Teknik Perumusan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang ada di Departemen Pertanian segera mempersiapkan sistem pangan organik. Organisasi panitia teknik tersebut dibentuk oleh Departemen Pertanian yang beranggotakan wakil dari instansi teknis, produsen, konsumen, asosiasi, lembaga konsultan dan perguruan tinggi. SNI sistem pangan organik disusun dengan mengadopsi seluruh materi dalam dokumen standar CAC/GL 32–1999, Guidelines for the production, processing, labeling and marketing of organically produced foods dan memodifikasi sesuai dengan kondisi di Indonesia ke dalam bahasa Indonesia. Meskipun standar ini merupakan adopsi pedoman (guidelines) internasional, namun dalam penyusunannya tetap mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dalam :

a. Pedoman BSN Nomor 8-2000, Penulisan Standar Nasional Indonesia. b. Pedoman BSN Nomor 9-2000, Perumusan Standar Nasional Indonesia.

Hal ini berarti, standar ini dirumuskan melalui mekanisme rapat konsensus yang diselenggarakan pada tanggal 8 Juli 2002 di Jakarta yang dihadiri oleh wakil

(3)

dari instansi pemerintah, produsen, konsumen dan cendekia yang berkaitan dengan materi standar ini. Mengingat standar ini merupakan adopsi langsung dari naskah bahasa Inggris dan terjadi masalah dalam menginterpretasikannya. Apabila timbul masalah, maka penyelesaiannya lebih dahulu memperhatikan naskah aslinya yang berbahasa Inggris. Berikut ini diuraikan prakata yang menjelaskan disusunnya CAC/GL 32–2001 yang diadopsi langsung dari pedoman internasional di atas. SNI ini disusun dengan maksud untuk menyediakan sebuah ketentuan tentang persyaratan produksi, pelabelan dan pengakuan (claim) terhadap produk pangan organik yang dapat disetujui bersama (BSN, 2002).

Tujuan standar ini adalah Standar Nasional Indonesia SNI 01-6729-2002 : a. Untuk melindungi konsumen dari manipulasi atau penipuan bahan

tanaman/benih/bibit ternak dan produk pangan organik di pasar.

b. Untuk melindungi produsen pangan organik dari penipuan bahan tanaman/benih/bibit ternak produk pertanian lain yang diaku sebagai produk organik.

c. Untuk memberikan pedoman dan acuan kepada pedagang/pengecer bahan tanaman/benih/bibit ternak dan produk pangan organik dari produsen kepada konsumen.

d. Untuk memberikan jaminan bahwa seluruh tahapan produksi, penyiapan, penyimpanan, pengangkutan dan pemasaran dapat diperiksa dan sesuai dengan standar ini.

e. Untuk harmonisasi dalam pengaturan sistem produksi, sertifikasi, identifikasi dan pelabelan produk pangan organik.

f. Untuk menyediakan standar pangan organik yang diakui secara nasional dan juga berlaku untuk tujuan ekspor dan untuk memelihara serta mengembangkan sistem pertanian organik di Indonesia sehingga menyumbang terhadap pelestarian ekologi lokal dan global.

Standar ini merupakan tahapan pertama untuk harmonisasi nasional yang resmi tentang persyaratan produk organik yang menyangkut standar produksi dan pemasaran, pengaturan inspeksi dan persyaratan pelabelan. Standar ini menetapkan prinsip-prinsip produksi organik di lahan pertanian, penyiapan, penyimpanan, pengangkutan, pelabelan dan pemasaran, serta menyediakan

(4)

ketetapan tentang bahan-bahan masukan yang diperbolehkan untuk penyuburan dan pemeliharaan tanah, pengendalian hama dan penyakit, serta bahan aditif dan bahan pembantu pengolahan pangan. Untuk keperluan pelabelan, penggunaan peristilahan yang menunjukkan bahwa cara produksi organik telah digunakan, hanya terbatas pada produk-produk yang dihasilkan oleh operator yang telah mendapat supervisi dari otoritas, atau lembaga sertifikasi (SNI, 2002).

Pertanian organik merupakan salah satu dari sekian banyak cara yang dapat mendukung lingkungan. Sistem produksi organik didasarkan pada standar produksi spesifik dan tepat yang bertujuan pada pencapaian agroekosistem optimal yang berkelanjutan baik secara sosial, ekologi maupun ekonomi. Penggunaan perisitilahan seperti “biologis” dan “ekologis” dilakukan untuk mendeskripsikan sistem organik agar lebih jelas. Persyaratan untuk pangan yang diproduksi secara organik berbeda dengan produk pertanian yang lain, dimana prosedur produksinya SNI 01-6729-2002 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari identifikasi dan pelabelan, serta pengakuan dari produk tersebut (SNI, 2002).

2.1.3 Good Agriculture Practice

Good Agricultural Practice (GAP) merupakan panduan budidaya yang benar dalam memadukan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) selama proses produksinya. Produk segar yang dihasilkan melalui proses penerapan GAP diharapkan aman dikonsumsi, bermutu, berdaya saing dan ramah lingkungan. Perwujudan penerapan GAP dinyatakan dengan penerbitan nomor register lahan usaha yang diberikan melalui kegiatan penilaian lahan usaha, yang selanjutnya dapat ditindaklanjuti dengan pelaksanaan sertifikasi produk oleh lembaga sertifikasi terakreditasi yang berwenang atau ditunjuk (Ferdian, 2012).

Registrasi lahan usaha sayuran dan tanaman obat merupakan tahap lanjutan dari Permentan No. 48 Permentan/OT.140/10/2009 untuk Penerapan GAP dalam melakukan aktivitas budidaya. Registrasi lahan usaha diberikan kepada petani atau pelaku usaha yang telah menerapkan GAP dan sekaligus sebagai pengakuan atas keberhasilan dan upayanya dalam meningkatkan daya saing produk sayuran (Ferdian, 2012). Pada Gambar 1 dapat dilihat tahapan yang harus dilalui untuk mendapatkan sertifikasi GAP. Masing–masing tahapan

(5)

memiliki prosedur tersendiri yang harus dilengkapi untuk dapat melanjutkan atau melaju ke tahapan berikutnya.

Gambar 1. Tahapan sertifikasi GAP (Admin, 2012a) 2.1.4 Registrasi Lahan

Registrasi lahan usaha sayuran adalah bentuk penghargaan yang diberikan kepada produsen buah dan sayur yang telah menerapkan prinsip-prinsip GAP, Standard Operating Procedur (SOP), Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan telah melakukan pencatatan. Tujuan registrasi kebun atau lahan usaha adalah menyiapkan persyaratan sistem jaminan mutu, mempermudah proses umpan balik, mendorong percepatan akses pasar dan meningkatkan mutu, serta keamanan pangan (Ferdian, 2012). Syarat-syarat registrasi lahan usaha adalah :

a. Telah memahami dan menerapkan GAP.

b. Telah memahami dan menerapkan prinsip-prinsip PHT. c. Telah memahami dan menerapkan SOP.

d. Telah melakukan pencatatan atau pembukuan. 2.1.5 Sertifikasi Prima

Sertifikasi Prima adalah sertifikasi yang diberikan oleh Otoritas Kompeten yang ditunjuk oleh Gubernur kepada produsen, atau kelompok produsen yang

Penyuluh

Petani Pemohon Pendaftaran Kepada

Otoritas Kompeten Tim Penilai GAP

Otoritas Kompeten menyusun rencana audit

Penyiapan Tim Audit sesuai permohonan petani

Penyampaian rencana audit kepada petani

Pelaksanaan audit

Manajemen dan pengawasan dokumen

Penyusunan laporan hasil audit

Penyampaian hasil audit secara resmi

Pemantauan berkala dan penilaian kembali

Sertifikat GAP (selama 2 tahun)

(6)

telah memenuhi kriteria prima, sehingga produsen berhak atas pelabelan prima pada produk yang dihasilkan (Admin, 2012b). Sertifikasi Prima terdiri dari 3 (tiga) bagian, yaitu :

a. Prima 1 adalah peringkat penilaian yang diberikan terhadap pelaksanaan usaha tani, dimana produk yang dihasilkan aman dikonsumsi, bermutu baik dan cara produksinya ramah terhadap lingkungan.

b. Prima 2 adalah peringkat penilaian yang diberikan terhadap pelaksanaan usaha tani dimana produk yang dihasilkan aman dikonsumsi dan bermutu baik.

c. Prima 3 adalah peringkat penilaian yang diberikan terhadap pelaksanaan usaha tani dimana produk yang dihasilkan aman dikonsumsi.

Prima 3. Prima 2. Prima 1.

Gambar 2. Bentuk label jaminanan pada produk 2.1.6 Jenis Pangan Organik dan Pola Pemasaran

Produk pangan organik merupakan produk pangan segar (sayuran dan buah-buahan), setengah jadi atau pangan jadi (pangan olahan), yang dihasilkan dari budidaya PO. Semua tanaman dapat menghasilkan produk organik apabila diproses secara organik. Saat ini dipasaran beredar berbagai produk organik, bukan hanya beras, sayur dan buah organik, namun juga daging, ayam, telur kampung, susu organik, makanan ringan, dan lain-lain. Produk organik yang dipasarkan saat ini sebagian besar adalah produk segar (95%) dan sisanya adalah produk olahan seperti kecap organik, tahu organik (5%) dan lainnya (Winarno, Seta dan Surono, 2002).

Pangan organik saat ini dapat ditemukan di berbagai lokasi, yaitu (Winarno, Seta dan Surono, 2002) :

a. Kebun rumah

(7)

c. Toko dan supermarket

d. Komunitas konsumen organik

Pangan organik dipasarkan dibeberapa tempat dengan cara, seperti :

a. Outlet Produsen : - Dikebun (farm). Outlet cara ini adalah basis produksi

- Di rumah produsen. Outlet cara ini basisnya konsumen.

b. Delivery Order (DO) : Wilayah konsumen dan minimum order c. Supermarket/Outlet bersama : Cakupan wilayah dan konsumen luas,

namun ada standar khusus.

Salah satu masalah penting dalam pemasaran produk organik adalah masalah mutu produk organik yang belum bisa memenuhi permintaan pasar. Hal ini mengakibatkan produk organik yang dihasilkan oleh petani dipandang tidak memiliki kepastian mutu organik yang dapat diterima oleh pasar. Saat ini konsumen semakin sadar akan mutu produk organik dan menginginkan petani dapat menunjukkan integritas keorganikan produk yang dihasilkan. Salah satu cara untuk menunjukkan bukti integritas keorganikan produk adalah dengan sertifikasi (Palupi, 2010).

Sertifikasi merupakan satu cara untuk menjamin bahwa produk dapat dinyatakan organik apabila diproduksi mengikuti prinsip-prinsip produksi pertanian dan pangan secara organik. Sertifikasi ini ditujukan tidak hanya melindungi konsumen tetapi juga produsen dan pedagang dari kesalahan atau pemalsuan label. Sertifikasi juga merupakan alat pemasaran untuk penetrasi pasar dan untuk mendapatkan harga premium, serta transparansi dalam informasi produksi pangan organik (BSN, 2002). Selama ini penjaminan yang dilakukan petani adalah sistem penjaminan pertama dan kedua yang sangat mengandalkan kepercayaan dari konsumen. Konsumen dapat melihat ke lahan petani bagaimana proses budidaya dilaksanakan untuk mengetahui jaminan keorganikan produk.

Menurut Winarno (2010) terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan oleh produsen pangan organik untuk memberikan jaminan terhadap produk organik yang dihasilkannya, yaitu :

(8)

Kebanyakan pemasaran pangan organik yang dilakukan oleh produsen di Indonesia dimulai dengan pola penjaminan self claim (pernyataan diri) mengenai status organik produk yang dihasilkannya. Penjaminan seperti ini memiliki keterbatasan dalam menumbuhkan tingkat kepercayaan konsumen dan keluasan distribusi produk.

b. Second Party Certification

Bila pembeli, pemilik toko atau perusahaan perdagangan melakukan perjanjian dengan petani organik untuk memasarkan produk yang dihasilkannya dan menyatakan bahwa produk yang diperdagangkannya adalah produk organik, maka pola tersebut dinamakan second party certification. Secara prinsip pada pola ini ada pihak kedua yang memberikan jaminan bahwa produk yang diperdagangkan adalah produk organik. Hubungan yang dibentuk dalam pola ini berlandaskan prinsip ekonomi untuk meningkatkan nilai tambah dan perluasan distribusi.

c. Third party Certification

Third party certification adalah pola sertifikasi yang dilakukan pihak ketiga berupa lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan sertifikasi pangan organik. Proses sertifikasi yang dilakukan sudah terstandardisasi dan pihak produsen harus menyiapkan sejumlah dokumen pendukung untuk proses tersebut. Produk yang telah disertifikasi berhak mencantumkan logo/label organik dikemasannya.

Saat ini lembaga sertifikasi internasional yang beroperasi di Indonesia ada 7 (tujuh), yaitu Institute for Marketecology (IMO), Control Union, North American Securities Administrators Association (NASAA), Naturland, Ecocert, Global Offset and Countertrade Association (GOCA) dan Accountable Care Organization (ACO). Sedangkan lembaga sertifikasi nasional yang telah diakreditasi BSN, yaitu BIOCert (Bogor), Inofice (Bogor), Sucofindo (Jakarta), LeSOS (Seloliman), Mutu Agung Lestari (Depok), dan PT Persada (Yogyakarta).

Pangan organik yang tersedia di pasaran saat ini sudah beragam jenisnya dari beras organik (Beras mentik wangi, Beras pandan wangi, Beras mentik susu, Beras merah dan lainnya), buah organik (Pisang, Alpokat, Apel malang, Pepaya dan lainnya), Susu Kambing organik, Kedelai hitam organik dan daging Ayam

(9)

kampung organik. Kelompok tani di Jawa Barat, selaku produsen sayuran organik tidak hanya memasarkan produknya, yaitu sayuran organik, tetapi juga memasarkan produk organik lainnya dan ini merupakan salah satu strategi pemasaran yang dipilih oleh kelompok tani tersebut dalam melayani dan memuaskan konsumennya. Dengan strategi yang ditempuh tersebut, kelompok tani sebagai produsen berusaha untuk memahami keragaman produsen, atau perilaku konsumen agar mampu memasarkan produknya dengan baik (Palupi, 2010).

2.2 Analisis Lingkungan Eksternal

Tujuan dilakukannya analisis eksternal adalah untuk mengembangkan sebuah daftar terbatas dari peluang yang dapat menguntungkan sebuah perusahaan dan berbagai ancaman yang harus dihindari. Peluang dan ancaman eksternal ini meliputi berbagai tren dan kejadian ekonomi, sosial, budaya, demografis, lingkungan hidup, politik, hukum, pemerintahan, teknologi dan kompetitif yang dapat secara nyata menguntungkan atau merugikan suatu organisasi di masa mendatang (David, 2010). Hubungan antara kekuatan-kekuatan eksternal utama dengan organisasi dapat dilihat di Gambar 3. Pada gambar tersebut dapat dilihat masukan dari kekuatan eksternal dan para profesi yang berperan dalam menciptakan keluaran suatu peluang, ataupun ancaman dalam suatu organisasi.

Kekuatan Ekonomi Kekuatan sosial, budaya,demografis dan

lingkungan Kekuatan politik, pemerintahan dan hukum

Kekuatan teknologi Kekuatan kompetitif Pesaing Pemasok Distributor Kreditor Konsumen Karyawan Masyarakat Manajer

Para pemangku kepentingan Serikat buruh

Pemerintah Asosiasi dagang Kelompok kepentingan khusus

Produk Jasa Pasar Lingkungan hidup PELUANG DAN ANCAMAN SUATU ORGANISASI

Gambar 3. Hubungan antara Kekuatan-Kekuatan Eksternal Utama dengan Organisasi (David, 2010)

(10)

2.3 Analisis Lingkungan Internal

Analisis internal adalah kegiatan mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan organisasi atau perusahaan dalam rangka memanfaatkan peluang dan mengatasi ancaman. Hal ini menjelaskan analisis internal sangat berkaitan erat dengan penilaian terhadap sumberdaya organisasi (Wheelen dan Hunger, 2010).

Kekuatan dan kelemahan internal menurut David (2010) merupakan aktivitas terkontrol suatu organisasi yang mampu dijalankan dengan sangat baik atau buruk. Hal tersebut muncul dalam manajemen, pemasaran, keuangan/akuntansi, produksi/operasi, penelitian dan pengembangan dan aktivitas sistem informasi manajemen (SIM) suatu bisnis. Faktor-faktor internal dapat ditentukan dengan sejumlah cara termasuk menghitung rasio, mengukur kinerja dan membandingkan dengan pencapaian masa lalu serta rataan industri.

2.4 Perumusan Strategi

Teknik-teknik perumusan strategi yang penting menurut David (2010) dapat diintegrasikan ke dalam kerangka pengambilan keputusan tiga (3) tahap yaitu :

1. Tahap Input

Tahap ini terdiri dari :

a. Matriks External Factor Evaluation (EFE). Matriks ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor eksternal yang menjadi peluang dan ancaman bagi perusahaan.

b. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE). Matriks ini digunakan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan yang dimiliki perusahaan.

2. Tahap Pencocokan

Tahap pencocokan dari kerangka perumusan strategi terdiri atas: a. Matriks Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats (SWOT)

Matriks ini merupakan sebuah alat pencocokan yang penting yang membantu manajer mengembangkan empat (4) jenis strategi, yaitu (1) Strategi SO (Strengths-Opportunities) memanfaatkan kekuatan internal perusahaan untuk menarik keuntungan dari peluang eksternal, (2) Strategi WO (Weaknesses-Opportunities) bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal dengan cara mengambil keuntungan dari peluang eksternal, (3) Strategi ST (Strengths-Threats)

(11)

menggunakan kekuatan sebuah perusahaan untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman eksternal, serta (4) Strategi WT (Weaknesses-Threats) merupakan taktik defensif yang diarahkan untuk mengurangi kelemahan internal dan menghindari ancaman eksternal.

b. Matriks Internal-External (IE)

Matriks ini memposisikan berbagai divisi suatu organisasi dalam tampilan sembilan (9) sel yang didasarkan pada dua (2) dimensi kunci : skor bobot IFE total pada sumbu X dan skor bobot EFE total pada sumbu Y. Matriks IE dapat dibagi menjadi tiga (3) bagian besar yang mempunyai implikasi strategi berbeda-beda: (1) Divisi-divisi yang masuk dalam sel I, II, atau IV dapat digambarkan sebagai tumbuh dan membangun (grow and build); (2) Divisi-divisi yang masuk ke dalam sel III, V, atau VII dapat ditangani dengan baik melalui strategi menjaga dan mempertahankan (hold and maintain); (3) Divisi yang masuk ke dalam sel VI, VIII, atau IX adalah panen atau divestasi (harvest or divest).

3. Tahap Keputusan

Tahap ini hanya melibatkan satu teknik saja, yaitu Analytical Hierarchy Proces (AHP).

2.5 Sistem Manajemen Rantai Pasok Pertanian 2.5.1 Rantai Pasok Pertanian

Menurut Van der Vorst dalam Setiawan (2009), rantai pasok lebih ditekankan pada seri aliran bahan dan informasi, sedangkan manajemen rantai pasok menekankan pada upaya memadukan kumpulan rantai pasok. Pada tingkat agroindustri, manajemen rantai pasok memberikan perhatian pada pasokan, persediaan dan transportasi pendistribusian. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Marimin dan Maghfiroh (2010), bahwa manajemen rantai pasok SCM produk pertanian mewakili manajemen keseluruhan proses produksi secara keseluruhan dari kegiatan pengolahan, distribusi, pemasaran, hingga produk yang diinginkan sampai ke tangan konsumen. Oleh karena itu, dapat didefinisikan sebagai satu kesatuan sistem pemasaran terpadu, yang mencakup keterpaduan produk dan pelaku, guna memberikan kepuasan pada pelanggan.

Konsep rantai pasok (supply chain) merupakan konsep baru dalam menerapkan sistem logistik yang terintegrasi. Konsep tersebut merupakan mata

(12)

rantai penyediaan barang dari bahan baku sampai barang jadi (Indrajit dan Djokopranoto, 2002). Jadi, sistem manajemen rantai pasok dapat didefinisikan sebagai satu kesatuan sistem pemasaran terpadu, yang mencakup keterpaduan produk dan pelaku, guna memberikan kepuasan pada pelanggan. Manajemen rantai pasok produk pertanian berbeda dengan manajemen rantai pasok produk manufaktur karena (1) produk pertanian bersifat mudah rusak; (2) proses penanaman, pertumbuhan pemanenan tergantung pada iklim dan musim; (3) hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi; (4) produk pertanian bersifat kamba sehingga sulit untuk ditanggani (Brown, 1994). Seluruh faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam desain manajemen rantai pasok produk pertanian karena kondisi rantai pasok produk pertanian lebih kompleks daripada rantai pasok pada umumnya.

DOMINATION FLOW OF PRODUCT AND SERVICES

DOMINANTION FLOW OF DEMAND AND DESIGN INFORMATION

Gambar 4. Pola aliran material dalam SCM (Marimin dan Maghfiroh, 2010)

Berdasarkan konsep supply chain terdapat tiga (3) tahapan dalam aliran material. Bahan mentah didistribusikan ke manufaktur membentuk suatu sistem physical supply, manufaktur mengolah bahan mentah dan produk jadi didistribusikan kepada konsumen akhir membentuk sistem physical distribution.

MANUFACTUR DISTRIBUTION SYSTEM Physical Supply Manufacturing Planning and Control Physical Distribution S U P P L I E R C U S T O M E R

(13)

Aliran material tersebut dapat dilihat pada Gambar 4 (Arnold dan Chapman, 2004).

Pola aliran material pada Gambar 4 menunjukkan bahwa bahan mentah didistribusikan kepada supplier dan manufacture yang melakukan pengolahan, sehingga menjadi barang jadi yang siap didistribusikan kepada customer melalui distributor. Aliran produk terjadi mulai dari supplier hingga ke konsumen, sedangkan arus balik aliran ini adalah aliran permintaan dan informasi. Permintaan dari customer diterjemahkan oleh distributor dan distributor menyampaikan pada manufacture, selanjutnya manufacture menyalurkan informasi tersebut pada supplier.

2.5.2 Struktur Rantai Pasok

SCM merupakan serangkaian pendekatan yang diterapkan untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien. Produk dihasilkan dapat didistribusikan dengan kuantitas, tempat dan waktu yang tepat untuk memperkecil biaya, serta memuaskan pelanggan. SCM bertujuan untuk membuat seluruh sistem menjadi efisien dan efektif, minimalisasi biaya dari transportasi, dan distribusi sampai investori bahan baku, bahan dalam proses, serta barang jadi. Ada beberapa pemain utama yang memiliki kepentingan dalam SCM, yaitu pemasok (supplier), pengolah (manufacturer), pendistribusi (distributor), pengecer (retailer) dan pelanggan (customer) (David et al. dalam Indrajit dan Djokopranoto, 2002).

Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2002), hubungan organisasi dalam rantai pasok adalah :

a. Rantai 1 adalah Supplier merupakan sumber penyedia bahan pertama dimana mata rantai penyaluran barang akan dimulai.

b. Rantai 1-2 adalah SupplierManufacturer. Manufaktur yang melakukan pekerjaan membuat, mempabrikasi, merangkai, mengonversikan, ataupun menyelesaikan barang.

c. Rantai 1-2-3 adalah SupplierManufacturerDistributor. Barang yang sudah jadi dari manufaktur disalurkan kepada pelanggan.

(14)

d. Rantai 1-2-3-4 adalah SupplierManufacturerDistributorRetail. Pedagang besar biasanya mempunyai fasilitas gedung sendiri, atau menyewa dari pabrik lain.

e. Rantai1-2-3-4-5 adalah

SupplierManufacturerDistributorRetailPelanggan. Pengecer menawarkan barangnya kepada pelanggan, atau pembeli.

2.5.3 Mekanisme Rantai Pasok

Mekanisme rantai pasok produk pertanian secara alami dibentuk oleh para pelaku rantai pasok itu sendiri. Mekanisme ini dapat bersifat tradisional ataupun modern. Mekanisme tradisional adalah petani menjual produknya langsung ke pasar atau lewat tengkulak dan tengkulak yang akan menjualnya ke pasar tradisional dan pasar swalayan. Sedangkan mekanisme rantai pasok modern terbentuk oleh beberapa hal, antara lain mengatasi kelemahan karakteristik dari produk pertanian, meningkatkan kesejahteraan petani dari sisi ekonomi dan sosial, meningkatkan permintaan kebutuhan pelanggan akan produk mutu, dan memperluas pangsa pasar yang ada (Marimin dan Maghfiroh, 2010).

Menurut Jaffee et al (2008) rantai pasok pertanian modern adalah jaringan yang biasanya mendukung tiga (3) aliran utama yaitu (1) arus produk fisik, yang merupakan gerakan produk fisik dari pemasok input ke produsen untuk pembeli kepada konsumen akhir; (2) arus keuangan, berupa syarat-syarat kredit dan pinjaman, jadwal pembayaran dan pelunasan, tabungan, serta pengaturan asuransi; (3) arus informasi, berupa koordinasi produk fisik dan arus keuangan.

2.5.4 Kelembagaan Rantai Pasok

Menurut Marimin dan Maghfiroh (2010) kelembagaan rantai pasok adalah hubungan manajemen atau sistem kerja yang sistematis dan saling mendukung di antara beberapa lembaga kemitraan rantai pasok suatu komoditas. Bentuk-bentuk kelembagaan rantai pasok mengalami keragaman dengan keberadaan pasar tradisional dan modern seperti mini market, supermarket, hypermarket, dan departemen store dan keberadaan konsumen institusional seperti hotel, restoran, rumah sakit dan keberadaan industri pengolahan.

Pola kelembagaan kemitraan rantai pasok adalah hubungan kerja diantara beberapa pelaku rantai pasok yang menggunakan mekanisme perjanjian, atau

(15)

kontrak tertulis dalam jangka waktu tertentu. Secara umum, pola kemitraan rantai pasok pertanian yang dilakukan petani, antara lain kemitraan petani dengan Koperasi Unit Desa (KUD), atau asosiasi tani dan petani dengan manufaktur, atau pengolah.

Keberhasilan kelembagaan rantai pasok pertanian tergantung bagaimana pelaku menerapkan kunci sukses. Kunci sukses tersebut adalah (Marimin dan Maghfiroh, 2010) :

a. Trust Building

Kepercayaan diantara anggota rantai pasokan mampu mendukung kelancaran aktivitas rantai pasokan, seperti kelancaran transaksi penjualan, distribusi produk dan distribusi informasi pasar.

b. Koordinasi dan Kerjasama

Hal ini dilakukan guna mewujudkan kelancaran rantai pasokan, ketepatan pasokan mulai dari produsen hingga retail dan tercapainya tujuan rantai pasokan.

c. Kemudahan Akses Pembiayaan

Akses pembiayaan yang mudah, disertai dengan bentuk administratif yang tidak rumit akan memudahkan anggota dalam rantai pasokan mengembangkan usahanya.

d. Dukungan Pemerintah

Peran pemerintah sebagai fasilitator, regulator dan motivator sangat penting dalam mewujudkan iklim usaha yang kondusif dan struktur rantai pasokan yang mapan.

2.6 Proses Hirarki Analitik

Analytical Hierarchy Proces (AHP) pertama kali dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Pada tahun 1970-an untuk mengorganisir informasi dan pendapat ahli (judgement) dalam memilih alternatif yang paling disukai (Marimin dan Maghfiroh, 2010). Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik dan dinamik menjadi sebuah bagian-bagian dan tertata dalam suatu hirarki.

Persoalan dalam keputusan AHP dikonstruksikan sebagai diagram bertingkat (hirarki). Dimulai dengan goal sasaran lalu kriteria level pertama, subkriteria, dan akhirnya alternatif. Terdapat tiga (3) prinsip dalam memecahkan

(16)

persoalan dengan analisis logis eksplisit, yaitu penyusunan hirarki, penetapan prioritas dan konsistensi logis (Marimin dan Maghfiroh, 2010) :

1. Penyusunan Hirarki

Penyusunan dilakukan dengan mengidentifikasi pengetahuan, atau informasi yang sedang diamati. Dimulai dari permasalahan kompleks yang diuraikan menjadi unsur pokoknya, unsur pokok ini diuraikan lagi ke dalam bagian-bagiannya lagi secara hirarki.

2. Penentuan Prioritas

Setiap level hirarki perlu dilakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) untuk menentukan prioritas. Sepasang unsur dibandingkan berdasarkan kriteria tertentu dan menimbang intensitas preferensi antar unsur. Dalam konteks ini, unsur yang pada tingkat yang tinggi tersebut berfungsi sebagai suatu kriteria disebut sifat (property).

3. Konsistensi Logis

Semua unsur dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. AHP mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui suatu rasio konsistensi. Nilai rasio konsistensi harus 10% atau kurang. Jika lebih dari 10%, maka penilaiannya masih acak dan perlu diperbaiki.

Gambar

Gambar 1. Tahapan sertifikasi GAP ( Admin , 2012a)  2.1.4  Registrasi Lahan
Gambar 4.   Pola aliran material dalam SCM  (Marimin dan Maghfiroh,  2010)

Referensi

Dokumen terkait

Hal-hal jang belum diatur dan tertjantum dalam Peraturan Dasar Corps HMI- Wati dan keterangan chusus ini disesuaikan dengan AD/ART HMI dan diatur lebih lanjut oleh Cohati PB..

Berdasarkan hasil kerja praktik yang dilaksanakan di Dinas Kepemudaan dan Olahraga Provinsi Jawa Timur (DISPORA JATIM), ditemukan permasalahan yang terjadi yaitu pengelolaan

Pada kasus 1 menyatakan bahwa bekerja sebagai tenaga pengajar di IAIN Antasari Banjarmasin atau PNS merupakan bagian dari cita-cita sejak kecil yang harus segera diwujudkan..

Tanaman rami (Boehmeria nivea L.Gaud) merupakan tanaman tahunan herba berumpun banyak menghasilkan serat dari kulit batangnya (bast fiber) yang terletak dalam jaringan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada analisis spesialisasi risiko produksi berdasarkan produktivitas pada tanaman anggrek menggunakan bibit teknik seedling dan mericlone

Dengan didukung oleh para anggota pengurus IMTI periode 2012 - 2013, kami berharap supaya proposal agenda kerja IMTI ini bermamfaat bagi seluruh mahasiswa

Dilaksanakan otonomi daerah, pemerintah daerah diberikan kewenangan yang lebih luas melaksanakan fungsinya termasuk pengelolan keuangan daerah dalam rangka meningkatkan

Skripsi yang berjudul “Prinsip-Prinsip Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa Dalam Prespektif Ekonomi Islam (Studi Kasus Di Desa Pangkahwetan Kecamatan Ujung Pangkah