7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Evaluasi
2.1.1 Definisi Evaluasi
Secara umum, istilah evaluasi dipakai untuk keseluruhan proses pemeriksaan atau pengukuran dan penilaian akhir dari nilai. Mengevaluasi secara sederhana berarti menguji atau memperkirakan nilai dari. Menurut Perhimpunan Kesehatan Masyarakat Amerika, evaluasi ialah suatu proses untuk menentukan nilai atau jumlah keberhasilan dan usaha pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan. Proses tersebut mencakup kegiatan-kegiatan memformulasikan tujuan, identifikasi kriteria yang tepat untuk digunakan mengukur keberhasilan, menentukan dan menjelaskan derajat keberhasilan dan rekomendasi untuk melanjutkan aktivitas program (Riyanti, 2008).
Feurstein mengungkapkan sepuluh alasan mengapa evaluasi perlu dilakukan yaitu pencapaian, guna melihat apa yang sudah dicapai; mengukur kemajuan, melihat kemajuan dikaitkan dengan objektif program; meningkatkan pemantauan, agar tercapai manajemen yang lebih baik; mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan, agar dapat memperkuat program itu sendiri; melihat apakah usaha sudah dilakukan secara efektif, guna melihat perbedaan apa yang terjadi setelah diterapkan suatu program; biaya dan manfaat, melihat apakah biaya yang dikeluarkan sudah masuk akal; mengumpulkan informasi, guna merencanakan dan mengolah kegiatan program secara lebih baik; berbagi pengalaman, guna melindungi pihak lain terjebak dalam kesalahan yang sama, atau mengajak seseorang untuk ikut melaksanakan metode yang serupa bila metode yang dijalankan telah berhasil dengan baik; meningkatkan keefektifan, agar dapat memberikan dampak yang lebih luas; memungkinkan perencanaan yang
lebih baik, karena memberikan kesempatan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, komunitas fungsional dan komunitas lokal.
2.1.2 Jenis Evaluasi
Evaluasi secara umum dapat dibedakan menjadi tiga jenis, sesuai dengan pengertian evaluasi dapat ditemukan pada setiap tahap pelaksanaan program, yaitu evaluasi pada tahap awal program, evalusi pada tahap pelaksanaan program, dan evaluasi pada tahap akhir program (Azwar, 1996).
Evaluasi pada tahap awal program (formative evaluation) yaitu penilaian yang dilakukan pada saat merencanakan suatu program. Tujuan utamanya adalah untuk meyakinkan bahwa rencana yang akan disusun benar-benar telah sesuai dengan masalah yang ditemukan, dalam arti dapat menyelesaikan masalah itu. Dimana penilaian bermaksud untuk mengukur kesesuaian program dengan masalah atau kebutuhan masyarakat yang sering disebut dengan studi penjajakan kebutuhan.
Evaluasi pada tahap pelaksanaan program (promotive evaluation) yaitu penilaian yang dilakukan pada saat program sedang dilaksanakan. Tujuan utamanya adalah untuk mengukur apakah program yang sedang dilaksanakan tersebut telah sesuai dengan rencana atau tidak, atau apakah terjasi penyimpangan-penyimpangan yang dapat merugikan pencapaian tujuan dari program tersebut. Pada umumnya ada dua bentuk pada tahap pelaksanaan program ini ialah pemantauan dan penilaian berkala.
Evaluasi pada tahap akhir program (sumative evaluation) yaitu penilaian yang dilakukan pada saat program telah selesai dilaksanakan. Tujuan utamanya adalah untuk mengukur keluaran serta untuk mengukur dampak yang dihasilkan.
2.1.3 Ruang Lingkup Evaluasi
Pada dasarnya ruang lingkup evaluasi secara sederhana dapat dibedakan menjadi empat kelompok yaitu evaluasi terhadap masukan, evaluasi terhadap proses, evaluasi terhadap keluaran, dan evaluasi terhadap dampak (Azwar, 1996).
Evaluasi terhadap masukan berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya, baik sumber daya dana, tenaga maupun sarana. Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui apakah sumber daya yang dimanfaatkan sudah sesuai dengan standar dan kebutuhan.
Evaluasi terhadap proses dititikberatkan pada pelaksanaan program, apakah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan atau tidak. Penilaian tersebut juga bertujuan untuk mengetahui apakah metode yang dipilih sudah efektif, bagaimana dengan motivasi staf dan komunikasi diantara staf dan sebagainya.
Evaluasi terhadap keluaran meliputi evaluasi terhadap hasil yang dicapai dari dilaksanakannya suatu program. Penilaian tersebut bertujuan untuk mengetahui apakah hasil yang dicapai suatu program sudah sesuai dengan target yang ditetapkan sebelumnya.
Evaluasi terhadap dampak program mencakup pengaruh yang ditimbulkan dari dilaksanakannya suatu program, apakah sudah sesuai dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya.
2.1.4 Desain Evaluasi
Secara umum ada tiga jenis desain evaluasi menurut CDC (Central for Disease
Control and Prevention) , yaitu evaluasi eksperimental, evaluasi kuasi-eksperimental,
dan evaluasi observasional. Desain evaluasi eksperimental menggunakan penilaian secara acak untuk membandingkan efek dari satu kelompok atau lebih yang diberikan intervensi dengan efek pada kelompok ekuivalen atau kelompok yang tidak
memperoleh intervensi. Desain evaluasi kuasi-eksperimental yaitu desain evaluasi yang membuat perbandingan antara kelompok yang tidak ekuivalen dan tidak melibatkan penilaian secara acak pada kelompok yang diintervensi dan kelompok kontrol.
Dalam melakukan evaluasi program, desain evaluasi observasional juga dapat digunakan. Yang termasuk didalam desain evaluasi ini adalah longitudinal,
cross-sectional, dan studi kasus. Survei cross-sectional secara periodik dapat memberikan
informasi untuk evaluasi. Studi kasus sering diterapkan ketika suatu program itu unik, ketika program yang sudah ada menggunakan aturan yang berbeda, ketika menilai keluaran yang unik, atau ketika lingkungan tidak dapat ditebak. Studi kasus juga dapat digunakan untuk mengekplorasi karakteristik komunitas dan bagaimana hal ini dapat mempengaruhi pelaksanaan program seperti mengidentifikasi pengahalang maupun perubahan fasilitator (CDC, 2001).
2.2 Kader Kesehatan (Community Health Worker)
Menurut WHO, kader kesehatan (community health worker) merupakan anggota masyarakat dimana mereka bekerja, dipilih oleh masyarakat, kegiatannya dapat dipertanggungjawabkan pada masyarakat, didukung oleh sistem kesehatan tapi tidak harus menjadi bagian dari organisasi kesehatan, dan memiliki waktu pelatihan yang lebih singkat dibandingkan pekerja profesional (Lehmann & Sanders, 2007).
Kinerja program kader kesehatan dapat dilihat dari penggunaan kader kesehatan, retensi, dan efektivitas. Penggunaan kader kesehatan yang rendah dapat disebabkan karena kurangnya pengenalan program, konflik dengan struktur yang sudah ada, dan layanan kesehatan formal lebih dipilih oleh masyarakat. Peningkatan penggunaan kader kesehatan tersebut dapat dilakukan melalui pelatihan, dukungan,
dan pengawasan kader kesehatan. Tingginya angka drop out kader kesehatan dapat dipengaruhi oleh unsur kepemimpinan dan manajemen, seperti sumber dan sustainabilitas pembiayaan, rasa memiliki dari masyarakat, dan mekanisme seleksi. Derajat efektivitas program kader kesehatan berbeda-beda, tergantung definisi spesifik dari dampak apa dan kapan. Program kader kesehatan yang banyak berhasil adalah dalam kesehatan ibu dan anak (Lehmann & Sanders, 2007).
Faktor penentu kesuksesan program kader kesehatan antara lain adalah sumber daya yang adekuat, partisipasi masyarakat, hubungan dengan pelayanan kesehatan formal, dan manajemen program kader kesehatan yang baik. Manajemen program kesehatan meliputi rekrutmen dan seleksi kader, pelatihan dan pendidikan kader yang berkelanjutan, pengawasan dan dukungan infrastruktur (Lehmann & Sanders, 2007).
Tabel 2. 1 Insentif dan Disinsentif Kader Kesehatan Berdasarkan Pendekatan Sistem
Insentif Disinsentif
Faktor finansial yang memotivasi kader kesehatan
a. Insentif uang yang memuaskan. b. Kemungkinan mendapatkan pekerjaan dengan bayaran yang memuaskan. a. Pembayaran yang tidak konsisten. b. Perbedaan pembayaran diantara kader kesehatan.
Faktor non-finansial yang memotivasi kader kesehatan a. Penghargaan dari masyarakat. b. Mendapat keterampilan baru. c. Pengembangan diri. d. Dukungan teman sebaya. e. Perkumpulan kader kesehatan. f. Identifikasi (lencana, baju) dan sarana penunjang aktivitas. g. Status di masyarakat. h. Prioritas dalam
mengakses pelayanan kesehatan.
a. Kader kesehatan tidak berasal dari
masyarakat setempat. b. Pelatihan penyegaran
yang tidak adekuat. c. Pengawasan yang
tidak adekuat. d. Waktu kerja yang
sangat panjang. e. Kurangnya
penghargaan dari petugas pelayanan kesehatan.
Lanjutan Tabel 2.1
Insentif Disinsentif
Faktor non-finansial yang memotivasi kader kesehatan
i. Jam kerja yang pendek dan fleksibel. j. Peranan yang jelas. Faktor masyarakat
yang dapat memotivasi kader kesehatan
a. Keterlibatan masyarakat dalam pemilihan kader kesehatan.
b. Organisasi masyarakat yang mendukung kader kesehatan.
c. Keterlibatan masyarakat dalam pelatihan kader kesehatan.
d. Sistem informasi masyarakat.
a. Mekanisme pemilihan kader kesehatan yang tidak sesuai.
b. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam memilih, melatih, dan mendukung kader kesehatan. Faktor yang memotivasi masyarakat untuk mendukung dan mempertahankan kader kesehatan
a. Adanya perubahan yang nyata. b. Kontribusi dalam pemberdayaan masyarakat. c. Perkumpulan kader kesehatan.
d. Rujukan yang sukses ke fasilitas pelayanan kesehatan.
a. Peran dan harapan yang tidak jelas (preventif vs kuratif). b. Perilaku kader
kesehatan yang tidak sesuai. c. Kebutuhan masyarakat tidak dipertimbangkan. Faktor yang memotivasi staf kementrian kesehatan untuk mendukung dan mempertahankan kader kesehatan
a. Kebijakan atau peraturan yang mendukung kader kesehatan.
b. Adanya perubahan nyata. c. Pembiayaan untuk
aktivitas pengawasan dari pemerintah atau
masyarakat.
a. Staf dan sarana yang tidak adekuat.
Sumber: Bhattacharyya dkk. (2001)
Bhattacharyya dkk. (2001) melakukan studi mengenai bagaimana insentif dan disinsentif dapat mempengaruhi motivasi, retensi dan keberlangsungan kader kesehatan. Hasil studi yang mereka peroleh dapat dilihat pada tabel 2.1.
2.3 Penelitian Sebelumnya Mengenai Evaluasi Kader
Sebelumnya telah dilakukan beberapa penelitian mengenai kader yang mirip dengan penelitian mengenai evaluasi peran kader dalam upaya meningkatkan
pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Selat ini. Adapun yang membedakan penelitian ini dari penelitian terdahulu adalah evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui gambaran peran kader dalam upaya meningkatkan cakupan pemberian ASI eksklusif, serta waktu dan wilayah penelitian yang berbeda.
Salawati dan Wardani, (2008) telah melakukan penelitian mengenai identifikasi peranan kader dalam pencegahan DBD di Kelurahan Srondol Kulon Kecamatan Banyumanik Kota Semarang. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif, dimana data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah, dan observasi. Hasil penelitiannya adalah peranan kader jumantik dalam pencegahan DBD sudah cukup baik, terutama pada saat diberlakukannya PSN pendampingan, akan tetapi pengetahuan kader jumantik seputar PSN belum sepenuhnya baik, oleh karena itu kader jumantik masih perlu memperoleh binaan agar berperan secara lebih optimal.
Rochmawati (2010) melakukan penelitian mengenai hubungan antara keaktifan kader kesehatan dengan pengembangan program desa siaga di Kecamatan Masaran Kabupaten Sragen. Metode penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional, dengan teknik non random jenis purposive sampling. Subjek penelitian 95 kader kesehatan yang berada di dua desa yaitu desa Masaran dan desa Krebet dengan alat ukur kuesioner dan wawancara mendalam, sedangkan lembar observasi diisi oleh 2 bidan desa, 1 ibu kepala desa, 1 asisten bidan. Hasil penelitiannya dari 95 informan menunjukkan bahwa total kader kesehatan yang aktif yaitu 44,20%. Berdasarkan hasil wawancara mendalam menunjukkan ketidakaktifan kader kesehatan dalam menjalankan tugasnya dikarenakan belum adanya pengelolaan dana sehat di dalam masyarakat. Kesimpulannya terdapat
hubungan yang sangat signifikan antara keaktifan kader kesehatan dengan pengembangan program desa siaga.
(Putriyanti, 2012) melakukan penelitian mengenai analisis penampilan kerja kader kesehatan dalam penyuluhan ASI eksklusif di posyandu di wilayah kerja puskesmas Kabupaten Temanggung. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan cross-sectional. Informan penelitian adalah kader kesehatan di wilayah Puskesmas Kabupaten Temanggung. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam dan selanjutnya dilakukan pengolahan data menggunakan metode pengolahan deskripsi isi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penampilan kerja kader kesehatan dalam melakukan penyuluhan ASI eksklusif di Posyandu yang ditinjau dari aspek kuantitas, ketepatan waktu, efektifitas sumber daya, kebutuhan supervisi belum dilaksanakan dengan baik. Sebagian kader sudah melakukan penyuluhan walaupun dengan cara sederhana, penyampaian materi penyuluhan dilakukan secara informal sambil berbincang-bincang, kader belum rutin melakukan penyuluhan di Posyandu, kader belum memiliki jadwal penyuluhan ASI eksklusif di Posyandu, tidak ada dana untuk kegiatan penyuluhan ASI eksklusif, belum semua Posyandu memiliki alat peraga untuk penyuluhan, belum semua kader dilibatkan dalam penyuluhan, bimbingan dan pengarahan kepada kader belum optimal, hubungan kader dengan kader secara umum baik, hubungan kader dengan bidan dan petugas gizi baik.