• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. Latar Belakang Masalah

Transportasi atau pengangkutan merupakan bidang yang sangat penting untuk memperlancar roda pembangunan, perekonomian, serta kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Menurut H.M Nasution (1996: 11) ada tigal hal yang membuat sebuah bangsa menjadi besar dan makmur, yakni tanah yang subur, kerja keras dan kelancaran transportasi orang dan barang dari satu bagian Negara ke Negara bagian lainnya. Transportasi sebagai penggerak perekonomian memang sudah tidak diragukan lagi, karena tanpa adanya transportasi sebagai sarana penunjang tidak dapat diharapkan tercapainya hasil yang memuaskan dalam usaha pengembangan ekonomi suatu Negara. (H.A. Abbas Salim, 1993: 1)

Semakin padatnya arus perpindahan orang dan barang dari suatu bagian Negara ke bagian Negara lainnya menyebabkan semakin berkembangnya jenis transportasi. Salah satu jenis transportasi yang pada masa sekarang banyak digunakan oleh masyarakat ialah jenis transportasi angkutan udara. Berdasarkan data statistik dari Direktorat Hubungan Udara Departemen Perhubungan pada Tahun 2014 terdapat 72,6 juta orang tercatat menggunakan jasa angkutan udara, hal tersebut naik 5,6 persen dari tahun 2013 sebanyak 68,5 juta orang dan diperkirakan di tahun 2015 jumlah tersebut akan terus meningkat (http://hubud.dephub.go.id/?id/news/detail/2374 diakses pada 10 Oktober 2015 pukul 17.00 WIB).

Angkutan udara nasional diatur didalam Bab X Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Martono dkk, 2010: 3). Terdapat beberapa peraturan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan salah satunya berkaitan dengan tanggung

(2)

jawab pengangkut udara terhadap pengguna jasa angkutan udara. Peraturan mengenai tanggung jawab tidak hanya bersumber pada hukum nasional saja, tetapi juga bersumber pada hukum internasional yang terkait erat dengan kegiatan penerbangan sipil adalah Konvensi Warsawa. Sedangkan ketentuan yang secara khusus mengatur tentang kegiatan penerbangan komersial domestik adalah Luchtvervoer Ordonantie (Stbl. 1939:100) atau ordonansi 1939 yang biasa disingkat OPU 1939 yang juga berkaitan dengan tanggung jawab pengangkut.

Pengguna jasa transportasi angkutan udara dalam hal kegiatan penerbangan bertindak sebagai konsumen. Undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan konsumen ialah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang tersebut juga secara khusus mengatur mengenai tanggung jawab pengangkut pada jasa transportasi angkutan udara yang didalamnya disebut sebagai pelaku usaha. Tanggung jawab pelaku usaha disini dimaksudkan ketika adanya kerugian yang diderita oleh konsumen yang diakibatkan oleh pelaku usaha.

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam kegiatan jasa pengangkutan udara terdapat hubungan hukum antara produsen dan konsumen. Produsen dalam hal ini adalah perusahaan atau maskapai penerbangan yang bertindak sebagai pelaku usaha, sedangkan konsumennya adalah para penumpang yang menggunakan jasa transportasi udara yang ditawarkan oleh maskapai penerbangan. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan bertujuan untuk melindungi masyarakat selaku konsumen agar terciptanya keadilan. Pada prinsipnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak semata-mata memberikan perlindungan hanya kepada konsumen saja, tetapi memberikan perlindungan kepada masyarakat (publik) pada umumnya.

(3)

Penyelenggaraan penerbangan oleh penyedia jasa transportasi udara tidak terlepas dari permasalahan yang ada yang menyebabkan tidak terpenuhinya pelayanan secara maksimal kepada konsumen baik berupa kerugian waktu, financial, tenaga, barang kenyamanan, keselamatan dan lainnya. (Insan Tajali Nur, 2006: 106)

Permasalahan-permasalahan yang ada seperti adanya kecelakaan yang dapat menimbulkan cacat/luka berat pada konsumen, permasalahan dalam hal hilang, musnah atau rusaknya kargo, permasalahandalam hal hilang, musnah atau rusaknya bagasi tercatat, hingga permasalahan yang biasa timbul dan sering dialami oleh penumpang/konsumen ialah adanya keterlambatan angkutan udara.

Dalam prakteknya, jelas permasalahan-permasalahan baik permasalahan seperti adanya kecelakaan yang dapat menimbulkan cacat/luka berat pada konsumen, permasalahan dalam hal hilang, musnah atau rusaknya kargo, permasalahan dalam hal hilang, musnah atau rusaknya bagasi tercatat, hingga permasalahan mengenai keterlambatan angkutan udara jelas dapat menimbulkan kerugian tersendiri bagi para konsumen. Hal serupa juga dikemukakan oleh Dwi Widhi Nugroho dalam tesisnya yang berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pengguna Jasa Angkutan Udara dalam Hal Ganti Rugi. Dwi Widhi menjelaskan bahwa semakin berkembang pesatnya jumlah perusahaan jasa angkutan udara, tidak diimbangi dengan kualitas pelayanan bahkan kualitas pemeliharaan pesawat, sehingga akan memberikan dampak yang kurang baik terhadap keamanan dan kenyamanan konsumen, yang mana didalam kenyataannya sering menimbulkan kerugian bagi para konsumen.

Permasalahan mengenai angkutan udara, seperti adanya kecelakaan yang dapat menimbulkan cacat/luka berat pada konsumen, permasalahan dalam hal kargo, permasalahan dalam hal bagasi hingga permasalahan keterlambatan angkutan udara, baik Keterlambatan penerbangan (flight

(4)

delayed); Tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara (denied boarding passenger); serta Pembatalan penerbangan (cancelation of flight) jelas menimbulkan kerugian bagi pengguna jasa angkutan udara atau dalam hukum konsumen disebut sebagai konsumen. Berdasarkan hal tersebut, pelaku usaha yang disini ialah pihak penyedia jasa angkutan udara yaitu perusahaan maskapai penerbangan wajib bertanggung jawab atas kerugian telah ditimbulkan.Tanggung jawab secara umum menurut Peter Salim dalam buku H. K. Martono dan Ahmad Susilo yang berjudul Hukum Angkutan Udara (2010: 213) dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar masing-masing tanggung jawab dalam arti Accountability, Responsibility, dan Liability. Dari ketiga arti umum yang disebutkan tersebut, tanggung jawab di bidang pengangkut angkutan udara, ialah tanggung jawab dalam arti Liability. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggung jawab (liability) dapat diartikan menanggun segala sesuatu kerugian yang terjadi akibat perbuatannya atau perbuatan orang lain yang bertindak untuk dan atas namanya. (H.K. Martono dkk, 2010: 216)

Tanggung jawab (liability) dapat diartikan kewajiban membayar ganti kerugian yang diderita, misalnya dalam perjanjian transportasi udara, perusahaan penerbangan bertanggung jawab atas keselamatan penumpang dan/atau pengirim barang. Tanggung jawab disini diartikan perusahaan penerbangan wajib membayar ganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang.Dalam uraian ini yang dimaksudkan dengan tanggung jawab adalah tanggung jawab hukum dalam arti legal liability. (H.K. Martono dkk, 2010: 217)

Tanggung jawab perusahaan penerbangan atau yang disebut juga pelaku usaha diatur secara umum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang juga secara khusus diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab

(5)

Pengangkut Angkutan Udara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011 dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia.

Berdasarkan peraturan baik peraturan yang secara umum dan secara khusus mengatur mengenai tanggung jawab perusahaan penerbangan/pelaku usaha dan juga mengatur mengenai ganti kerugian, disebutkan bahwa pihak perusahaan/pelaku usaha wajib bertanggung jawab atas kerugian yang telah ditimbulkan. Pasal 1 ayat (22) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan disebutkan bahwa Tanggung Jawab Pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga. Sedangkan dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

Salah satu jasa angkutan udara yang ada di Indonesia ialah PT Lion Mentari Airlines yang selanjutnya dalam skripsi ini disebut Lion Air. Lion Air merupakan salah satu maskapai penerbangan yang sering mengalami permasalahan yang menyebabkan tidak terpenuhinya pelayanan secara maksimal kepada konsumen baik berupa kerugian waktu, financial, tenaga, barang kenyamanan, keselamatan dan lainnya. Beberapa kerugian yang sering dialami oleh penumpang Lion Air ialah mengenai keterlambatan penerbangan (flight delayed), pembatalan penerbangan (cancelation of flight) hingga permasalahan yang amsih banyak dikeluhkan oleh penumpang yakni mengenai hilang, musnah atau rusaknya bagasi tercatat.

Salah satu contoh peristiwa mengenai permasalahan keterlambatan penerbangan yang sering terjadi pada maskapai penerbangan Lion Air dialami

(6)

oleh salah seorang rekan penulis bernama Mia Ayu Wardani, berusia 22 tahun yang sedang menempuh Pendidikan Ekonomi di Fakultas Ilmu Pertanian Bogor. Pada tangal 7 Februari 2016 Mia akan kembali ke Jakarta menggunakan maskapai penerbangan Lion Air. Dijadwalkan berangkat dari Bandara Adi Soemarmo Solo pukul 09.45 WIB akan tetapi pada kenyataannya pesawat baru berangkat pukul 10.46 WIB. Artinya, pesawat mengalami keterlambatan 1 jam lebih 1 menit (61 menit). Berdasarkan pengakuannya selama waktu tunggu hingga pesawat diberangkatkan, ia sama sekali tidak diberikan kompensasi atas keterlambatan penerbangan yang seharusnya ia dapatkan yaitu berupa minuman dan makanan ringan (snack box) (hasil wawancara dengan Mia Ayu Wardani, Penumpang Lion Air, pada 8 Februari 2016 pukul 11.00 WIB)

Contoh peristiwa mengenai keterlambatan penerbangan oleh maskapai penerbangan Lion Air tersebut diatas didukung oleh daftar ketepatan waktu penerbangan (On Time Performance) yang dilansir oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementrian Perhubungan (Kemenhub) periode Januari-Desember 2014.Berikut daftar OTP maskapai penerbangan berjadwal: (http://bisnis.liputan6.com/read/2181930/daftar-lengkap-ketepatan-waktu-terbang-maskapai-di-indonesia diakses pada 30 November 2015 pukul 19.00 WIB)

1) Travira: (100 persen) dari 47 penerbangan 2) Nam Air: (92,92 persen) dari 3.477 penerbangan 3) Batik Air: (90,78 persen) dari 13.535 penerbangan 4) Mandala Airlines: (88,79 persen) dari 1.721 penerbangan 5) Garuda Indonesia: (88,52 persen) dari 164.623 penerbangan 6) Travel Express: (86,30 persen) dari 10.156 penerbangan 7) Sriwijaya Ait: (83,02 persen) dari 65.940 penerbangan 8) Indonesia Airasia: (78,67 persen) dari 22.536 penerbangan

(7)

9) Citilink: (78,20 persen) dari 54.881 penerbangan

10) Lion Mentari Airlines: (73,80 persen) dari 171.498 penerbangan 11) Wings Air: (71,12 persen) dari 57.810 penerbangan

12) Aviastar Mandiri: (69,40 persen) dari 2.193 penerbangan 13) Kalstar Aviation: (65,30 persen) dari 22.151 penerbangan 14) Trigana Air: (62,91 persen) dari 15.475 penerbangan 15) Transnusa: (54,41 persen) dari 5.902 penerbangan

Berdasarkan data Kementerian Perhubungan (Kemenhub), tercatat hanya 6 dari 15 maskapai penerbangan berjadwal di Indonesia yang OTP-nya berada di atas 85 persen, level patokan OTP yang biasa dijadikan pembanding

di industri penerbangan

(http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150227062548-92-35268/peringkat-10-lion-air-di-bawah-standar-ketepatan-waktu/ diakses pada tanggal 29 Oktober 2015 pukul 17.10 WIB)

Maskapai penerbangan Travira tercatat memiliki ketepatan waktu penerbangan tertinggi yaitu 100 persen dari 47 penerbangan, sedangkan OTP terendah dimiliki oleh maskapai penerbangan Transnusa sebesar 54,41 persen dari 5.902 penerbangan. Maskapai bintang lima Garuda Indonesia mencatatkan OTP sebesar 88,52 persen dari 164.623 penerbangan. Sementara itu, maskapai Lion Air memiliki OTP di bawah standar yaitu sebesar 73,80 persen dari 171.498 penerbangan.

Dari daftar yang telah dilansir oleh Kementrian Perhubungan (Kemenhub) tersebut selain menunjukkan bahwa maskapai Lion Air merupakan salah satu maskapai penerbangan yang sering mengalami permasalahan keterlambatan angkutan udara. Urutan ketepatan waktu penerbangan (OTP) dimana maskapai penerbangan Lion Air menempati peringkat ke 10 dari 15 peringkat yang dirilis oleh Kementrian Perhubungan (Kemenhub) juga menjelaskan bahwa maskapai penerbangan Lion Air berada dibawah standar yang ada hal tersebut dibuktikan dengan pengakuan para

(8)

penumpang/konsumen pengguna jasa angkutan udara Lion Air yang mengalami kerugian dan tidak diikuti dengan pemberian kompensasi yang seharusnya mereka peroleh sesuai dengan apa yang telah diatur baik dalam peraturan perundang-undangan maupun peraturan menteri.

Permasalahan lain yang masih banyak dikeluhkan dan dialami oleh penumpang Lion Air ialah mengenai hilang, musnah atau rusaknya bagasi tercatat. Salah satu contoh peristiwa yang juga dialami oleh seorang rekan penulis bernama Hessy E. Frasti.Saat itu Hessy melakukan penerbangan dari Medan menuju Batam pada tanggal 18 Februari 2016. Ketika tiba di Bandara Hang Nadim Batam, ia mendapati roda dikoper yang ia bawa hilang satu. Pada hari yang sama ia mendatangi counter Lion Air yang ada di Bandara Hang Nadim Batam untuk membuat surat laporan atas rusaknya koper yang ia simpan di bagasi tercatat. Sesaat kemudian setelah melakukan laporan untuk dapat melakukan claim, ia diberi surat yang berisi data diri, nomor ktp, isi koper, data terkait penerbangan dan jenis kerusakan. Kemudian pihak customer services Lion Air yang ada di Bandara Hang Nadim Batam hanya memebrikan informasi bahwa claim tersebut bisa dilakukan di bandara mana saja. Akan tetapi pada kenyataannya ketika ia akan melakukan claim atas kerusakan koper, pihak Lion Air melalui customer service yang ada di Bandara Hang Nadim Batam menyatakan bahwa claim tersebut telah hangus. Alasan yang diberikan pihak Lion Air pada saat itu menurutnya tidak masuk akal. Pihak Lion Air pada saat itu memberikan alasan bahwa tanda bagasi yang bisa tertempel di tiap koper telah hilang, sehingga tidak bisa untuk diajukan claim. (Hasil wawancara dengan Hessy E. Frasti, Penumpang Lion Air, pada tanggal 21 Maret 2016 pukul 14.30 WIB)

Permasalah-permasalahan lainnya dalam pengangkutan udara yang banyak dialami oleh penumpang Lion Air juga dapat dilihat dari seringnya pemberitaan di televisi, internet maupun di media cetak nasional.

(9)

Berdasarkan masih banyaknya permasalahan penerbangan yang dialami oleh maskapai penerbangan Lion Air yangmerugikan penumpang/konsumen dan tidak diikuti dengan pemberian kompensasi yang seharusnya mereka peroleh sesuai dengan apa yang telah diatur baik dalam peraturan perundang-undangan maupun peraturan menteri yang juga didukung oleh data berdasarkan urutan ketepatan waktu penerbangan (OTP) dimana maskapai penerbangan Lion Air menempati peringkat ke 10 dari 15 peringkat yang dirilis oleh Kementrian Perhubungan (Kemenhub) yang artinya bahwa maskapai penerbangan Lion Air berada dibawah standar yang ada. Oleh karena alasan tersebut penulis memutuskan untuk memilih badan hukum penyedia jasa angkutan udara PT Lion Mentari Airlines sebagai tempat untuk melakukan penelitian berkaitan dengan tanggung jawab sebuah perusahaan/pelaku usaha dalam hal memenuhi tanggung jawabnya ketika pelaku usaha tersebut menimbulkan sebuah kerugian terhadap konsumen dan berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis melakukan penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pengguna Jasa Angkutan Udara Dalam Hal Pemberian Ganti Rugi pada PT. Lion Mentari Airlines”

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang diteliti. Berdasarkan uraian dan latar belakang masalah diatas, maka penulis tertarik untuk membahas masalah tersebut lebih lanjut dengan menitikberatkan pada rumusan masalah:

1. Bagaimana sinkronisasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen didalam

(10)

pemberian ganti kerugian bagi penumpang jasa angkutan udara ?

2. Bagaimana penerapan prinsip tanggung jawab maskapai penerbangan Lion Mentari Airlines dalam upaya melindungi konsumen dalam hal pemberian ganti rugi bagi penumpang jasa angkutan udara ?

C. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian pasti mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai, untuk menjadi arahan dalam melaksanakan penelitian tersebut, sehingga mendapatkan hasil yang maksimal dalam menjawab permasalahan yang ada. Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis:

1. Tujuan Obyektif

a. Mengetahui sinkronisasi Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan mengatur mengenai pemberian ganti rugi bagi konsumen. untuk mengetahui pelaksanaan tanggung jawab oleh pelaku usaha yaitu Perusahaan Penerbangan Lion Mentari Airlines dalam memberikan ganti rugi bagi para konsumennya.

b. Untuk mengetahui pelaksanaan tanggung jawab oleh pelaku usaha penerbangan yaitu Perusahaan Penerbangan Lion Mentari Airlines dalam memberikan ganti rugi bagi para konsumennya.

2. Tujuan Subyektif

a. Menambah pengetahuan dan pemahaman penulis dalam penelitian hukum di bidang Perlindungan Konsumen terutama dalam hal pengaturan pemberian ganti rugi yang tertuang didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

(11)

Penerbangan serta yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011 dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan tanggung jawab perusahaan penerbangan PT Lion Mentari Airlines dalam hal pemberian ganti rugi bagi para konsumennya.

b. Memenuhi persyaratan akademis guna mencapai gelar sarjana hukum pada bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

c. Untuk memberikan sumbangan pikiran bagi ilmu hukum agar dapat memberikan wawasaan dan manfaat.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah sebuah penulisan hukum diharapkan dapat memberikan manfaat yang berguna bagi perkembangan ilmu hukum itu sendiri juga dapat diterapkan dalam praktik. Adapun manfaat yang diharapkan penulis adalah:

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum pada umumnya dan hukum perlindungan konsumen pada khususnya. b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya referensi dan

literatur dalam dunia kepustakaan serta sebagai acuan terhadap panelitian sejenis dimasa yang akan datang.

(12)

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan informasi dan gambaran kepada masyarakat mengenai hak dan kewajiban yang melekat pada konsumen dan pelaku usaha dalam rangka mewujudkan kepastian hukum bagi konsumen akibat kelalaian dari pelaku usaha yang dalam hal ini ialah maskapai penerbangan.

b. Dapat mengembangkan penalaran, pola pikir dinamis dan untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh selama perkuliahan.

c. Dapat membantu memberikan tambahan masukan dan pengetahuan kepada pihak-pihak terkait dengan masalah yang diteliti, juga kepada berbagai pihak yang berminat pada permasalahan yang sama.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:35).

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal yaitu penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka.

Tetapi meskipun dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian normatif, penulis tetap akan melakukan penelitian terhadap pihak-pihak yang sekiranya berhubungan dengan apa yang menjadi

(13)

permasalahan dalam penelitian ini, misalnya dengan wawancara langsung ke narasumber.

2. Sifat Penelitian

Pada suatu penelitian terdapat dua kategori penelitian berdasarkan sifat yaitu preskriptif dan terapan. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif, artinya ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standart prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005:22).

Penelitian ini bersifat preskriptif karena berusaha menjawab isu hukum yang diangkat dengan argumentasi, teori, atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 35)

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan perundang-undangan (Statue Approach), pendekatan historis (Historical Approach), pendekatan kasus (Case Approach) dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005:93).

Dalam pelaksanaan penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (Statue Approach) dan Pendekatan Kasus (Case Approach). Pendekatan perundang-undnagan (Statue Approach) dilakukan untuk meneliti ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa angkutan udara PT Lion Mentari Airlines. Sedangkan pendekatan kasus (Case Approach) dilakukan dengan mempelajari penetapan dan norma-norma kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum.misalnya, kasus keterlambatan penerbangan, kasus hilang, rusak atau musnahnya bagasi tercatat dan sebagainya. Jelas kasus-kasus yang terjadi bermakna empiris, namun dalam suatu penelitian normatif,

(14)

kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak penormaan suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam eksplanasi hukum. (Johny Ibrahim, 2006: 321)

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Data yang diperoleh dan diolah dalam penelitian hukum normatif adalah data sekunder yang diperoleh dari sumber kepustakaan yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer

1) Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945; 2) Ordonansi Pengangkutan Udara Nomor 100 Tahun 1939;

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;

4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan; 5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1995

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2000;

6) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011;

7) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder berupa bahan hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:14). Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas:

(15)

1) Buku-buku literatur atau bacaan yang menjelaskan mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa angkutan udara;

2) Hasil penelitian tentang perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa angkutan udara;

3) Pendapat ahli;

4) Tulisan dari para ahli yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa angkutan udara;

5) Kamus hukum. c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku nonhukum ataupun laporan-laporan penelitian nonhukum dan jurnal-jurnal nonhukum yang memiliki relevansi dengan topik penelitian (Peter Mahmud Marzuki, 2014 : 183-184)

Bahan-bahan non-hukum yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan tambahan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdapat dalam penelitian yaitu:

1) Kamus Besar Bahasa Indonesia 2) Kamus Ilmiah Populer

3) Ensiklopedia

4) Tulisan yang terkait dengan permasalahan permasalahan yang diangkat oleh penulis.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Adapun teknik pengumpulan bahan hukum yang akan dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Studi Dokumen atau Bahan Pustaka

Dalam studi kepustakaan, penulis mengkaji dan memeprlajari buku-buku, jurnal-jurnal, dokumen-dokumen, maupun peraturan-peraturan

(16)

yang berhubungan dengan perlindungan konsumen pengguna jasa angkutan udara.

b. Wawancara

Dalam penelitian ini, peneliti ingin melakukan wawancara terhadap pihak-pihak yang terkait. Data-data yang diperoleh dari wawancara ini sebagai data tambahan agar pada data primer terdapat validitas yang sesuai dengan yang terjadi.

c. Cyber media

Pengumpulan data melalui internet dengan cara melakukan download berbagai artikel yang berkaitan dengan perlindungan konsumen pengguna jasa angkutan udara.

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Data yang diperoleh dalam studi kepustakaan atas bahan hukum akan diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna mencapai target yang diinginkan berupa jawaban atas permasalahan perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa angkutan udara PT Lion Mentari Airlines. Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum untuk permasalahan yang bersifat konkret yang sedang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006: 393)

(17)

F. Sistematika Penulisan Hukum

Sistematika Penulisan Hukum disajikan guna memberi gambaran secara keseluruhan mengenai pembahasan yang akan dirumuskan sesuai dengan kaidah atau aturan baku penulisan suatu karya ilmiah. Adapun sistematika dalam penulisan hukum ini adalah:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini, penulis menguraikan kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori terdiri dari teori-teori yang relevan dengan penelitian hukum ini, yaitu: Tinjauan tentang Perlindungan Hukum, Tinjauan tentang Perlindungan Hukum Konsumen, Konsumen, Tinjauan mengenai Konsumen, Tinjauan tentang Pelaku Usaha, Tinjauan tentang Jasa Angkutan Udara, Tinjauan tentang Hukum Sebagai Sebuah Sistem, Sinkronisasi Hukum dan Teori Tanggung Jawab Hukum. Kerangka pemikiran digunakan untuk mempermudah pemahaman dalam alur berpikir.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penulis akan menguraikan hasil penelitian dan pembahasan guna menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah. Terdapat dua pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini.

(18)

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini, penulis akan menguraikan simpulan dan saran-saran terkait dengan permasalahan yang diteliti.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

Referensi

Dokumen terkait

and you can see from the radar screen – that’s the screen just to the left of Professor Cornish – that the recovery capsule and Mars Probe Seven are now close to convergence..

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Quality Function Deployment (QFD) yang diinterpretasikan kedalam matriks House of Quality (HoQ) dan

Pada tahap pertama ini kajian difokuskan pada kajian yang sifatnya linguistis antropologis untuk mengetahui : bentuk teks atau naskah yang memuat bentuk

1 M.. Hal ini me nunjukkan adanya peningkatan keaktifan belajar siswa yang signifikan dibandingkan dengan siklus I. Pertukaran keanggotaan kelompok belajar

Prediksi pola perjalanan yang akan dilakukan konsumen apabila nantinya pelayanan transportasi Bus Tranjogja nantinya beroperasi dengan Jogja ± Kaliurang dengan

underwear rules ini memiliki aturan sederhana dimana anak tidak boleh disentuh oleh orang lain pada bagian tubuhnya yang ditutupi pakaian dalam (underwear ) anak dan anak

 Biaya produksi menjadi lebih efisien jika hanya ada satu produsen tunggal yang membuat produk itu dari pada banyak perusahaan.. Barrier