• Tidak ada hasil yang ditemukan

8. PEMBAHASAN Habitat Simping

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "8. PEMBAHASAN Habitat Simping"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

8.1. Habitat Simping

Habitat simping diperairan terdapat habitat bagi peluang dan pembentukan stok simping. Kesesuaian habitat terhadap perkembangan simping tercermin dari perubahan distribusi temporal kelimpahan dan biomas simping disuatu zona perairan dan pengamatan T1, T2 dan T3 ternyata terdapat distribusi dari suatu

stadia yang tidak merata yaitu stadia spat pada waktu T1dan dewasa pada T1, T2

dan T3.

Distribusi yang tidak merata pada stadia spat dan dewasa tersebut pada waktu T1, T2 diperkirakan karena beberapa faktor kualitas air tidak sesuai bagi

kehidupan. Stadia spat dan dewasa pada T3ternyata telah sesuai bagi kehidupan

atau perkembangan simping spat, muda dan dewasa. Faktor kualitas habitat yang tidak sesuai tersebut diperkirakan antara lain pada T1 yaitu potensi redok, suhu,

kekeruhan, TSS, oksigen terlarut, COD dan BOD. Sedangkan simping dewasa pada T2dapat disebabkan oleh kondisi redok potensial, pH, suhu, kecerahan, TSS,

oksigen terlarut, COD, TSS, serta BOD.

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada T1 rata-rata potensi redok yaitu

sebesar 141,83 mv, suhu sebesar 31,3oC, kekeruhan sebesar 10,42 NTU, TSS sebesar 7,66 mg.l-1, oksigen terlarut sebesar 2,29 mg.l-1, COD sebesar 140 mg.l-1 dan BOD sebesar 3,01 mg.l-1. Sedangkan pada waktu T2 redoks potensial yaitu

143,9 mv, pH sebesar 6,8, suhu sebesar 31,3 oC, kecerahan sebesar 0,67 m, TSS sebesar 16,44 mg.l-1, oksigen terlarut sebesar 2,36 mg.l-1, COD sebesar 171,5 mg.l-1, TSS sebesar 26,62 mg.l-1dan BOD sebesar 2,47 mg.l-1. Menurut Darmaraj et al (2004) simping hidup pada suhu antara 27-31oC.

Kekeruhan pada T1, T2 berkisar antara 10,42-4,84 NTU menurun menjadi

4,7 NTU pada waktu T3. Oksigen terlarut tidak mengalami perubahan dari T1dan

T2 yang berkisar antara 2,29-4,47 mg.l-1 menjadi 2,36 mg.l-1 pada T3. Rataan

COD naik pada T1 T2 yang berkisar 122-140 mg.l-1 naik menjadi 171,5 mg.l-1

(2)

-16,44 mg.l-1menjadi 26,62 mg.l-1. Nilai BOD tidak mengalami perubahan dari T1

T2sebesar 3,01-2,16 mg.l-1menjadi 2,47 mg.l-1.

Dari perubahan kualitas air didapatkan parameter yang mengalami penurunan yaitu kekeruhan, sehingga menjadi sesuai untuk menunjang kehidupan simping. Adapun yang meningkat yaitu COD dan TSS potensial menghambat perkembangan simping. Kedua parameter perlu dikendalikan melalui intervensi eksternal terhadap berbagai masukan dari hulu secara terpadu sampai hilir. Dari uraian diatas disimpulkan bahwa kualitas habitat menunjang kehidupan dan perkembangan stadia simping kecuali COD dan TSS yang harus dikendalikan.

Penurunan kualitas habitat yang tercermin kualitas COD dan TSS yang kurang baik, merupakan indikasi dari adanya masukkan dari hulu sungai. Selain itu kualitas perairan yang kurang layak dapat menyebabkan terjadinya kematian baik stadia spat, muda dan dewasa dari simping. Untuk mengetahui tingkat dampak yang ditimbulkan, selanjutnya dianalisa hubungan tingkat kematian (mortalitas) (z) dan kualitas air terutama COD dan TSS. Hubungan COD dengan mortalitas (z) erat pada zona 1 kemudian lemah pada zona 2 dan meningkat erat lagi pada zona 3. Hubungan antara TSS dengan mortalitas (z) lemah pada zona 1, kemudian makin erat kearah zona 3. Hubungan korelasi antara COD dan TSS pada zona 3 kuat, mengindikasikan bahwa pengaruh COD dan TSS kuat terhadap kelayakan hidup habitat. Hubungan antara tingkat mortalitas dengan COD dan TSS ditampilkan pada Tabel 39.

Tabel 39. Hubungan antara COD, TSS dengan mortalitas (z)

Zona COD dan z TSS dan z

1 Y = 199,23-192,31X R² = 0,4808 Y = 7,9744+26,923XR² = 0,1488 2 Y = 140,7+171,429X R² = 0.0357 Y = 6,2857+28,571XR² = 0,5714 3 Y = 138,95-368,42X R² = 0,6447 Y = 5,4737+115,79X R² = 0,9098

Keberadaan COD dan TSS serta rendahnya DO adalah indikasi dari adanya beban input dari sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Kronjo. Berdasarkan data DLH kota Tangerang (2006) bahan organik kimia di sungai di

(3)

sumbang oleh 34,43% industri dan bahan organik biologi sebesar 21,31% dari industri yang ada. Masukan bahan organik kimia dari Sungai Cisadane, Sabi, Mookervart, Kali Angke, Cirarab tidak termasuk Ciujung tahun 2006 mencapai 243 mg.l-1, yang disumbang oleh aktivitas industri farmasi, dan pengolahan karet (DLH Kota Tangerang, 2006). Jika diasumsikan rata-rata tahunan kandungan COD di perairan sungai sebesar 243 mg.l-1, maka yang sampai ke pesisir antara 50,24-70,5%. Namun demikian, nilai tersebut juga masih lebih tinggi dari baku mutu yang Kepmen LH No 51 Tahun 2004 tentang kualitas air bagi kelayakan biota seperti terlihat pada Gambar berikut

Gambar 26. Profil kandungan COD di sungai sampai pesisir

Dalam konteks perlindungan kawasan pesisir dari pencemaran kimia organic, agar masukan bahan kimia organic tidak melampaui baku mutu Kepmen LH No 51 Tahun 2004 tentang kualitas air di wilayah pesisir, maka COD di perairan sungai seharusnya tidak lebih dari dari 142-200 mg.l-1. Dengan kenyataan seperti saat ini bahwa COD masih mencapai 243 mg.l-1, maka sumberdaya di wilayah pesisir tetap akan mengalami tekanan di parameter tersebut. Selain potensial menghambat pertumbuhan, COD mempengaruhi pola distribusi biota bentik mulai dari daerah sub litoral sampai daerah litoral (Edokpayi, 2010).

(4)

8.2 Teknologi Penangkapan Simping Berkelanjutan

Penangkapan simping di perairan Tangerang menggunakan alat tangkap garok yang dilengkapi kantong. Penangkapan dengan alat garok dapat berkelanjutan apabila keberhasilan kinerja alat dapat efektif tanpa mengakibatkan stok kritis. Efektivitas alat ditentukan oleh hasil tangkapan persatuan tarikan standar (100 m2). Efektivitas dinilai dari rasio antara hasil tangkapan aktual dibagi rataan hasil tangkapan pada waktu tertentu di tiap zona sebagai pembanding tingkat keberhasilan tangkapan.

Dari pemantauan waktu T1 didapatkan rasio hasil tangkapan pertarikan

standar pada terbesar pada zona 1 yaitu 1,59, kemudian zona 2 sebesar 0,89 dan pada zona 3 sebesar 0,53. Pada waktu T2 didapatkan rasio hasil tangkap

pertarikan standar di zona 1 sebesar 1,01, pada zona 2 sebesar 1,17 dan pada zona 3 sebesar 0,80. Hasil tangkapan standar dan efektivitas tangkapan disajikan pada Tabel 40.

Tabel 40. Hasil tangkapan standar dan tingkat efektifitas di tiap zona

Waktu Variabel Z1 Z2 Z3 Rataan

T1* HPPS(gr/tarikan) 49,99 27,13 16,89 31.33

Efektivitas (E) % 1,59 0,86 0,53 1

T2* HPPS(gr/tarikan) 26,96 31,19 21,39 26.51

Efektivitas (E) % 1,01 1,17 0,80 1

Rataan Efektivitas (E) 1,30 1,02 0,67

Keterangan: T1= Sampling 1 (April 2008)

T2= Sampling 2 (April 2008)

Nilai E > 1 = Alat Sangat Efektive Nilai E = 1 Alat Efektiv

Nilai E < 1 = Alat tidak Efektife *) Sumber data Tabel Lampiran 11.

Dari tabel tersebut dapat disimpulkan ternyata efektivitas alat tertinggi di zona 1 kemudian zona 2 dan terendah di zona 3. Stok menjadi kritis ditentukan oleh tingkat keberadaan stok awal sebelum dieksploitasi dengan efektivitas alat tangkap. Dari data stok kritis didapatkan frekuensi kritis dari pengoperasian alat zona 1 sebanyak 8,48 kali, zona 2 sebanyak 10,21 kali dan zona 3 sebanyak 5,56 kali (Tabel 27). Kemungkinan kritis dari setiap operasional alat yaitu 1/frekuensi kritis. Hasil analisa potensi kritis yang terbesar di zona 3 yaitu 0,167, kemudian

(5)

di zona 1 sebesar 0,132 dan terendah di zona 2 sebesar 0,100. Dari hasil diatas, maka disimpulkan bahwa alat garok efektif dan beresiko kritis terkecil di zona 1 diikuti zona 2 dan terbesar di zona 3.

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan alat garok menyebabkan kerusakan habitat dan stok menjadi kritis. Dari penelitian Fermelia (2007) penggunaan alat garok menyebabkan kerusakan pada habitat dan biota pada kelompok krustase dan bivalvia. Artinye kedua kelompok biota ini sangat rentan terhadap penggunaan alat garok. Dengan demikian penggunaan alat garok baik secara teknis maupun ekologis tidak ramah terhadap sumberdaya dan lingkungan.

8.3. Potensi dan Tingkat Pemanfaatan

Stok simping akan mengalami peningkatan karena pembentukan biomas TP bersamaan dengan penurunan karena eksploitasi (HPP). Potensi yaitu jumlah pembentukan biomasa (produktivitas per hari) simping. Total produksi (TPe) adalah jumlah pembentukan biomas setelah waktu tertentu (di tinggal eksploitasi). Hasil tangkap peroperasi (HPPo) yaitu hasil yang diperoleh waktu eksploitasi dari simping yang di tinggal selama waktu tertentu. TPe merupakan potensi yang terbentuk sedangkan HPP tingkat eksploitasi. Selisih dari total produksi yang tumbuh (TPe) dengan hasil eksploitasi HPP (F) merupakan jumlah biomas yang mengalami perubahan. Apabila stok mempunyai laju pertumbuhan yang lambat, maka akan memberikan kontribusi yang rendah terhadap produksi dan stok seperti dalam tekanan ekspliotasi menuju degradasi (Sun et al, 2009)

Apabila selisih TPe dengan HPPo jumlahnya positive maka potensi stok meningkat (Bt2> Bt1). Apabila selisih TPe dengan HPPo negative maka potensi

stok turun ( Bt2< Bt1). Selisih biomasa yang positif disebut sebagai kondisi stok

yang mantap dan berpotensi berkelanjutan, sedangkan sisa biomas yang negatif disebut stok yang tidak mantap dan berpotensi tidak berkelanjutan.

Hasil TPe dan HHP berpengaruh terhadap perubahan biomas dari Bt1

menjadi Bt2. Keadaan ini terjadi di tiap zona, sehingga mampu mempertahankan

keberadaan stok dan atau menurun menjadi kritis/punah. Dari hasil analisa TPe dengan HPP (F) Bt1, dan Bt2 seperti di tunjukkan pada Tabel 41.

(6)

Tabel 41. Kemantapan stok simping

Zona Stadia Parameter

dte Bt1 P TPe HPPo KS Bt2 KS/P

Zona 1 Spat 6,5 64.4 3.1 14.9 21.1 -6.2 58.1 2.0 Muda 6,5 99.7 5.6 15.3 28.3 -13.1 86.6 2.3 Dewasa 6,5 140.8 9.5 25.8 14.0 11.8 152.6 1.2 Total 304.8 18.2 56.0 63.5 -7.5 297.3 0.4 Zona 2 Spat 6,75 38.61 1.82 7.72 25.27 -17.6 21.1 9.6 Muda 6,75 54.05 2.60 7.10 10.11 -3.0 51.0 1.2 Dewasa 6,75 230.63 14.94 40.75 44.25 -3.5 227.1 0.2 Total 323.3 19.4 55.57 79.6 -24.1 299.2 1.2 Zona 3 Spat 6,5 30.60 1.74 7.74 10.79 -3.1 27.5 1.8 Muda 6,5 17.36 1.11 3.01 2.23 0.8 18.1 0.7 Dewasa 6,5 137.41 5.91 16.12 7.73 8.4 145.8 1.4 Total 185.4 8.8 26.87 20.8 6.1 191.5 0.7

Bt1= Biomasa stok awal (gr m-2), sumber data pada (Tabel 23)

P = Produktivitas pembentukan biomas (gr m-2hr-1), sumber data pada (Tabel 23)

TPe = Daya dukung (total produksi) selama waktu ditinggal eksploitasi (gr m-2), sumber data pada (Tabel 24)

HPP = Hasil tangkap per operasi dalam interval waktu eksploitasi (gr m-2), sumber data pada (Tabel 32)

KS = Kemantapan Stok (KS=TPE-HPPo)

Bt2= Bt1 + (TPE-HPPo) Biomasa stok setelah tumbuh dan eksploitasi (gr m-2)

KS/P = Hari kembali lagi ke lokasi tersebut (hari)

Dari Tabel 41 keseimbangan potensi dan eksploitasi didapatkan hasil sebagai berikut. Zona 1 produktivitas tumbuh harian yaitu (P) 18,2 gr.m-2h-1. Total produksi (TPe) selama interval waktu 6,5 hari sebesar 56 gr.m-2, dan HPP total lebih besar dari TP yaitu 63,5 gr.m-2. Biomas sisa yang negative karena pengaruh dari HPPo stadia spat dan muda, kecuali dewasa. Lama waktu diperlukan kembali lagi (KS/P) agar selalu mantap pada zona 1 sebesar 0,4 hari atau hari ketujuh.

Pada zona 2 produktivitas tumbuh yaitu (P) 19,4 gr m-2h-1. Total produksi (TPe) selama interval waktu 6,75 hari sebesar 55,57 gr m-2 dan HPPo mencapai

79,6 gr m-2. Biomas sisa pada negative karena HPPo di zona 2 melebihi dari total produksi (TPe). Biomas sisa negative karena pada pada stadia spat, muda, dewasa maupun total HPPo lebih besar dari TPe (lihat Tabel 41). Lama waktu kembali lagi (KS/P) agar selalu mantap pada zona 2 sebesar 1,2 hari setelah interval waktu di tinggal. Dengan demikian lama waktu ditinggal agar eksploitasi sama dengan potensi menjadi 7,95 hari (delapan hari).

(7)

Pada zona 3 produktivitas total (P) 8,8 gr m-2hari-1. Total produksi (TPe) selama interval waktu 6,5 hari sebesar 26,87 gr m-2. HPPo selama interval waktu ditinggal mencapai 20,8 gr m-2. Biomas sisa pada zona 3 positive karena TPe lebih rendah dari HPPo. Biomasa yang positive karena pengaruh sisa biomas muda dan dewasa yang positive kecuali stadia spat. Lama waktu di tinggal cukup untuk tumbuh sehingga produksi mengimbangi eksploitasi.

Dari hasil keseimbangan potensi dan tingkat eksploitasi didapatkan indikasi sebagai berikut.

1. Tingkat eksploitasi total pada zona 3 masih dibawah potensi pembentukan biomas (TPe).

2. Tingkat eksploitasi total pada zona 1 dan 2 melebihi potensi pembentukan biomas (TPe).

Kemantapan pada zona 1 dan 2 yang negative berarti jumlah total produksi selama waktu di tinggal tidak mampu mengimbangi eksploitasi. Pada zona 1 diperlukan 0,4 hari dan zona 2 selama 1,2 hari. Pada zona 3 jumlah total produksi selama waktu ditinggal mampu mengimbangi eksploitasi berarti interval lama waktu di tinggal cukup memadai untuk pembentukan biomas yang dieksploitasi. Dalam beberapa kasus di Philipina, penyebab utama menurunya produksi simping (kampis shell) karena over-exsploitation karena metode penangkapan dengan menggunakan trawl, dredge mekanik, dinamit, dan kompresor (Madrones-Ladja 2002 in Campbel 2007).

Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa tingkat eksploitasi di zona 1 dan zona 2 melampaui potensi pembentukan biomas selama di tinggal. Tingkat eksploitasi di zona 3 tidak melampaui potensi pembentukan biomas.

Tingkat kemantapan stok diperairan selain dipengaruhi oleh pertumbuhandan eksploitasi juga karena adanya eliminasi. Biomas eliminasi dapat di picu oleh pergerakan biota atau karena pengaruh faktor oseanografi. Hasil penelitian simping ini juga ditemukan biomas eliminasi dalam jumlah yang relatif rendah.

Pada zona 1 ditemukan eliminasi untuk stadia spat dan stadia muda. Stadia spat pada zona 1 mengalami eliminasi negative, dan muda eliminasi positif. Total biomas eliminasi pada zona 1 sebesar 0,0039 gr.m2. Biomas eliminasi pada

(8)

zona 2 hanya terjadi pada stadia spat. Biomas eliminasinya yaitu termasuk eliminasi negative dan cenderung adanya penambahan stok di perairan. Pada zona 1 terindikasi adanya biomas yang hilang dan zona 2 biomas yang bertambah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada zona 1 terdpat biomas yang berkurang dan zona 2 biomas bertambah. Hasil perhitungan dari biomas eliminasi kerang simping ditampilkan pada Tabel 42.

Tabel 42. Biomas eliminasi sumberdaya kerang simping

Zona Stadia Be(gr) Bt1(gr) Bt2(gr) HPPe(gr) TPe(gr) Zona 1 Spat 0,00015 64,35000 58,17000 21,10 14,92 Muda -0,00405 99,69000 86,65000 28,30 15,26 Dewasa 0,00000 140,79311 152,59552 14,00 25,80 Total -0,00390 304,83311 297,41552 63,40 55,98 Zona 2 Spat 0,00217 38,61000 21,06000 25,27 7,72 Muda 0,00000 54,04544 51,03723 10,11 7,10 Dewasa 0,00000 230,63233 227,12937 44,25 40,75 Total 0,00217 323,28778 299,22661 79,63 55,57 Zona 3 Spat 0,00000 30,59678 27,54877 10,79 7,74 Muda 0,00000 17,36194 18,14601 2,23 3,01 Dewasa 0,00000 137,40863 145,80170 7,73 16,12 Total 0,00000 185,36736 191,49648 20,75 26,88 Keterangan:

BE = Biomas tereliminasi (gr) (perhitungan dari formula 25)

TPe/ΔB = Biomas yang tumbuh (daya dukung)sumber data pada (Tabel 24)

HPPo/F = Biomas yang tertangkap oleh nelayan setelah waktu di tinggalsumber data pada (Tabel 32)

Dari Tabel 42 diatas maka dapat disimpulkan bahwa 1) terdapat biomas yang tereliminasi pada zona 1 untuk spat dan muda serta spat pada zona 2. 2) Biomas stok lestari setelah eksploitasi (B2) pada zona 1 dan 2 cenderung mengalami penurunan dan spat cenderung beresiko kritis.

8.4. Sintesa Hipotesis

Sintesa hipotesis yaitu adalah upaya untuk menjawab tujuan penelitian yang ditetapkan. Tujuan penelitian yaitu untuk menentukan tingkat pemanfaatan yang seimbang dengan pertumbuhan seperti diformulasikan sebagai berikut.

(9)

t

f

g

o

t

B

e

B

.

(

)

Keterangan:

Bt = Biomas setelah tumbuh dan eksploitasi Bo = Biomas awal

g = Biomas yang tumbuh f = Biomas yang tereksploitasi t = Waktu tumbuh

Dari tujuan penelitian, hipotesa yang diharapkan adalah tingkat eksploitasi pemanfaatan sumberdaya simping tidak melampaui daya dukung pembentukan biomass stok, maka kemampuan pulih kembali biomass stok mantap mempertahankan daya dukung pembentukan biomasa, sehingga hasil pemanfaatan sumberdaya simping tetap maksimal berkelanjutan. Dari hasil yang diperoleh ternyata pada zona 3 tingkat eksploitasi lebih rendah dari produksi sehingga berpotensi berkelanjutan.

8.5. Novelty

Kebaruan dari hasil penelitian ini yaitu berupa konsepsi dari sebuah hasil penelitian tentang tingkat produksi, kemampuan tumbuh biomas, dan lama waktu pulih, kemantapan stok. Konsepsi ini dapat diukur secara kuantitatif untuk kemudian dijadikan sebagai dasar bagi pengambilan kebijakan operasional pengelolaan simping.

8.6. Pengelolaan Sumberdaya Simping 8.6.1. Tujuan dan Sasaran Pengelolaan

Tujuan dari pengelolaan simping yaitu untuk mewujudkan suatu usaha perikanan tangkap simping yang productive berkelanjutan sesuai dengan daya dukung pembentukan biomas.

Sasaran dari pengelolaan sumberdaya simping yaitu: 1. Pelaku utama yaitu nelayan penangkap

2. Pelaku usaha yaitu pedangan pengumpul

3. Stakeholder: Berbagai pihak yang berkepentingan mulai dari, pembeli, pemerintah daerah, dan pihak lainnya.

(10)

8.6.2. Strategi Pengelolaan Sumberdaya Simping

Strategi pengelolaan sumberdaya simping di perairan dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu 1) pendekatan berkelanjutan, 2) pendekatan konservasi , 3) pendekatan pengembangan sistim bisnis.

8.6.2.1. Pendekatan berkelanjutan (sustainability)

Pendekatan keberlanjutan yaitu pendekatan pengelolaan yang dilakukan atas pertimbangan bahwa eksploitasi harus sesuai dengan daya dukung pembentukan biomasa. Dengan demikian akan dapat menjamin ketersediaan biomasa stok dimasa yang akan datang.

Pendekatan berkelanjutan dilakukan untuk menjaga tingkat eksploitasi tidak melebihi daya dukung pembentukan biomas. Pemanfaatan berkelanjutan dapat dilakukan atas 2 konsep dasar konsep yaitu:

1. Daya dukung pembentukan biomas terbatas (TP = ΔB). Tingkat eksploitasi (HPP) dilakukan maksimal terbatas terhadap produksi biomasa yang dihasilkan oleh stok awal (B1) sampai pada tingkat keberadaan stok mantap (B1=B2). Konsep ini diformulasikan sebagai berikut B2=B1 + (TPe-HPP). 2. Daya dukung pembentukan biomasa yang berlebih (B+ ΔB). Tingkat

eksploitasi (HPP) dilakukan secara optimal terhadap produksi biomasa (ΔB) yang dihasilkan oleh stok awal (biomasa lestari) Bt1 plus ketersediaan

biomasa stok (B1) sampai pada tingkat keberadaan biomas stok (B3) yang lebih produktif daripada sebelumnya. Konsep ini diformulasikan sebagai berikut B3=(B1+TPe)-HPP.

Dalam konsep dasar yang pertama yaitu tingkat eksploitasi dilakukan terbatas pada total biomas yang terbentuk. Dari analisis data diperoleh bahwa pada zona 1 dan 2 tingkat eksploitasi (HPP) lebih besar dari total produksi biomasa (TPe). Dari kondisi tersebut proses eksploitasi pada zona 1 dan 2 tidak memenuhi kaidah pemanfaatan berkelanjutan. Sedangkan pada zona 3 TPe lebih besar dari HPP lebih potensial berkelanjutan.

Pendekatan berkelanjutan hanya dilakukan di zona 3 dirancang agar eksploitasi tidak melampaui daya dukung. Produksi total mencapai 26,87 gr m-2 dan eksploitasi mencapai 20,8 gr m-2 yang tidak melebihi potensi pembentukan

(11)

biomas. Untuk itu perlu ditetapkan rencana eksploitasi dengan memperhatikan potensi serta perlu diawasi proses eksploitasinya. Untuk mengontrol eksploitasi tersebut maka perlu aturan yang mengatur penangkapan, dan budidaya. Di Philipina regulasi ini juga mencakup ijin penangkapan, menetapkan ukuran maksimum dan minimum yang boleh didaratkan, dan mengembangkan area perlindungan “restricted area” (Dharmaraj et al, 2004 in Campbel 2007).

Dalam upaya pemanfaatan sumberdaya simping berkelanjutan dengan konsep pemanfaatan optimal, dimana biomas yang tumbuh ditambah biomas lestari akan mampu menopang tingkat eksploitasi. Dalam kondisi ini sesungguhnya biomas yang berasal dari simping dewasa yang kurang produktif dapat di eksploitasi, sehingga stok menjadi mampu untuk terus berkembang. Dengan kondisi pertumbuhan yang positif jika tidak dilakukan eksploitasi maka total kemampuan pembentukan biomas akan menurun. Dalam kondisi ini harus dilakukan eksploitasi secara hati-hati agar biomas tidak mendekati kritis. Untuk itu agar konsep berkelanjutan dapat dilakukan maka harus memperhatikan hal seperti pada Tabel 43.

Tabel 43. Pendekatan berkelanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya simping

Pendekatan Kelebihan Kelemahan Rekomendasi

Bt2=Bt1+ (TPe-HPP). (DD terbatas) 1. Keberadaaan stok setelah eksploitasi lebih terjamin 2. Biomas lestari harus

dipertahankan menjaga tingkat pertumbuhan kondisi ΔB 1. Eksploitasi terbatas pada ΔB dan tidak dapat ditingkatkan. 2. Insentif untuk

meningkatkan pendapatan masyarakat rendah

Dari hasil penelitian zona 3 berpotensi berkelanjutan karena ΔB lebih besar dari eksploitasi sedangkan zona 1 dan 2 harus dilindungi Bt3=(Bt1 +TPe)-HPP DD Plus 1. Produksi dapat ditingkatkan melebih dari TPe (total produksi) 2. Biomas pada Bt1 yang kurang produktif dapat dieksploitasi 1. Stok beresiko mengalami kritis jika tidak dilakukan pengontorolan

Dari hasil penelitian zona 1 dan 2 sangat cocok, sehingga mampu

meningkatkan ΔB dari stok yang ada tersebut. Sedangkan zona 3 akan menyebabkan ΔB menurun

(12)

Keberlanjutan pemanfataan sumberdaya simping juga di evaluasi dapat dipengaruhi factor eksternal yaitu 1) efektivitas dari alat yang digunakan (Tabel 40), 2) tingkat kemantapan stok (Tabel 41), 3) lama waktu tunggu (Tabel 29+Tabel 41), dan 4) lama waktu pulih (Tabel 25+ Tabel 41). Beberapa factor eksternal tersebut disajikan pada Tabel 44.

Tabel 44. Faktor eksternal terhadap keberlanjutan eksploitasi simping

Faktor Parameter Zona 1 Zona 2 Zona 3

Teknologi Efektivitas Efektive Efektive KurangEfektive Potensi dan

Eksploitas Kemantapan Stok

- - +

Stok aman kemantapan menurun

Stok aman dan kemantapan menurun

Stok aman dan mantap Lama Tunggu IWK+ KS/P 6,5 + 0,4 = 6,9 6,75+1,2=7,95 6,5-0,7=5,8 Lama Pulih Be/P+ KS/P 3,1+0,4=3,5 2,9+1,2=4,1 3,1+0,7=3,8

Pada waktu di tinggal eksploitasi merupakan waktu bagi simping untuk tumbuh karena dan ada tambahan biomas sebesar (ΔB). Simping dapat tumbuh melebihi dari tingkap eksploitasi rata-rata (HPP/F). Pada saat ini potensi stok (Bt2) akan meningkat dari Bt1, karena ada stok terus tumbuh. Dengan demikian

pada saat tumbuh biomas Bt2meningkatan dan kemudian menurun dengan adanya

penangkapan. Pola perubahan biomas yang tumbuh dengan penangkapan seperti ditampilkan pada Lampiran 17 dan Gambar 27.

(13)

Zona 2

Zona 3

Gambar 27. Simulasi pertumbuhan dan eksploitasi simping tiap zona

Dari Gambar diatas makan dapat disimpulkan bahwa 1) agar stok tetap lestari (Bt1) maka pada zona 1 lama waktu tunggu agar eksploitasi sama dengan

biomas yang tumbuh adalah 32,77 hari. Setelah penangkapan sebesar F (63,5 gr.m-2) selama waktu interval di tinggal pada zona 1, stok hanya mampu tumbuh sebesar 55,8 gram.m-2, sehingga stok akan mengalami penurunan sebesar 7,7 gram.m-2setiap operasi.

Pada zona 2 lama waktu tunggu agar stok tumbuh sama dengan Bt1adalah

(14)

waktu di tinggal, stok mampu tumbuh sebesar 56,6 gram.m-2. Dengan demikian sesungguhnya eksploitasi ikut mengurangi stok pada Bt1 sebesar 23,1 gr.m-2 setiap kali operasi. Dengan demikian stok pada zona 2 akan mengalami penurunan lebih cepat dari zona 1.

Pada zona 3 lama waktu tunggu agar stok tumbuh sama dengan Bt1 41,8

hari. Selama interval waktu di tinggal eksploitasi, stok mampu tumbuh sebesar 29,6 gr.m-2, sedangkan penangkapan hanya sebesar 20,8 gr.m-2. Dengan demikian, ada penambahan stok pada zona 3 sebesar 8,8 gr.m-2. Walaupun stok pada zona 1 dan 2 berpotensi kritis namun zona 3 terlihat lebih rentan terhadap penangkapan, karena biomas stok lestari yang lebih rendah dari dua lokasi lainnya.

8.6.2.2. Pendekatan Konservasi (Perlindungan Habitat)

Pendekatan konservasi stok simping bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan stok dewasa, sehingga bisa menjamin keberlanjutan dan mengendalikan penangkapan. Eksploitasi secara terkendali dilakukan apabila potensi stok telah mampu berkembang, tumbuh mengimbangi tekanan eksploitasi. Bila stok sudah mengalami degradasi diperlukan waktu untuk pulih kembali sampai tumbuh berkembang siap dieksploitasi. Pendekatan konservasi bertujuan untuk menjaga atau meningkatkan ketahanan sumberdaya kemudian meningkatkan kemampuan untuk pulih “recovery” dari kerusakan alami maupun karena gangguan antropogenik termasuk penangkapan (Bevilacqua et al, 2006). Berdasarkan pola pendekatan berkelanjutan, maka upaya konservasi biomas yang dimaksudkan sebagai berikut.

Tabel 45. Pendekatan konservasi pada stok terbatas dan stok tidak terbatas

Pendekatan Zona 1 Zona 2 Zona 3

Bt2=Bt1+

(TPe-HPP). (DD terbatas)

TPe< HPP sehingga perlu dilakukan upaya konservasi biomas

TPe< HPP sehingga perlu dilakukan upaya konservasi biomas

TPe>HPP sehingga tidak perlu dilakukan upaya konservasi biomas Bt3=(Bt1 +TPe)-HPP DD Plus Perlu pengontrolan agar B1 yang deficit tidak mengarah menjadi stok kritis (tidak perlu konservasi biomas)

Perlu pengontrolan agar B1 yang deficit tidak mengarah menjadi stok kritis (tidak perlu konservasi biomas)

Perlu peningkatan upaya tangkap agar ΔB mampu tumbuh lebih besar dan stok lestari berkembang

(15)

Pada zona 1 dan 2 kondisi biomas stok mengalami defisit, namun tidak mengarah pada kondisi kritis. Pendekatan konservasi yaitu perlu diberikan waktu untuk tumbuh berkembang sehingga siap dieksploitasi agar daya dukung sama dengan eksploitasi. Pada zona 1 waktu yang diperlukan untuk tumbuh dan berkembang mencapai 6,9 hari dan pada zona 2 mencapai 7,95 hari. Interval waktu eksploitasi di zona 1 dan 2 perlu diperpanjang dari 6 hari menjadi 7 hari di zona 1 dan 6 hari menjadi 8 hari di zona 2 yang sebelumnya terlebih dahulu diberikan kesempatan tumbuh berkembang tanpa dieksploitasi.

Dalam upaya meningkatkan biomas ini selain memperpanjang waktu ditinggal ekspliotasi juga perlu dilakukan pengembangan usaha budidaya. Dalam usaha budidaya di Mexico, upaya ini mampu meningkatkan yield dari Crassostrea gigas sehingga produksi mampu mengimbangi eksploitasi (Marcet et al, 2000).

8.6.2.3. Pendekatan pengembangan system bisnis usaha penangkapan

Pendekatan system bisnis mengembangkan, membina kegiatan ekonomi dari produksi, logistik, dan pemasaran agar saling menguntungkan. Pembinaan dilakukan atas pendekatan wilayah operasional. Pemasaran perlu suatu kerjasama melebaga dalam pemasaran hasil. Sedangkan nelayan perlu modal dengan mendapat bantuan secara konstan saat musim dimana hasil tangkapan rendah.

Dalam menjaga keberlanjutan usaha simping, juga diperlukan keterlibatan pemerintah dalam upaya pembinaan nelayan. Pembinaan dapat dilakukan atas dasar pertimbangan area operasi penangkapan dalam kaitanya dengan stok, maupun dalam upaya peningkatan kapasitas nelayan. Nelayan penangkap harus memiliki pemahaman lebih tentang berbagai manfaat dan resiko dari berusaha tangkap simping.

Dalam pengembangan bisnis usaha penangkapan simping, maka harus dipahami kondisi biomas stok yang mampu menunjang usaha agar tetap menguntungkan. Berdasarkan hasil diatas, maka pengembangan system bisnis harus ditekankan pada dua pendekatan umum yaitu 1) Pemanfaatan optimal dalam jangka pendek dan pemanfaatan berkelanjutan dalam jangka panjang. Beberapa pertimbangan dalam bisnis perikanan simping disajikan pada Tabel 46.

(16)

Tabel 46. Pertimbangan bisnis tiap zona dari kondisi stok simping Pertimbangan

sistim bisnis

Zona 1 Zona 2 Zona 3

Pola Pemanfaatan

Eksploitasi dengan menangkap sebagian kecil biomas lestari (Bt1)

Eksploitasi dengan menangkap sebagai kecil biomas lestari (Bt1)

Eksploitasi dengan menangkap sesuai jumlah biomas yang tumbuh

Jangka waktu Pendekatan jangka panjang dengan memperpanjang interval waktu di tinggal Pendekatan jangka panjang dengan memperpanjang interval waktu di tinggal Pendekatan jangka pendek untuk mengoptimalkan biomas yang tumbuh Nilai ekonomi Potensi ekonomi dari

hasil penangkapan lebih besar dengan keuntungan Rp 298.287/trip

Potensi ekonomi dari hasil tangkapan lebih besar dengan keuntungan Rp 513.071/trip

Potensi ekonomi dari hasil tangkapan kecil dengan keuntungan Rp 45.934/trip

Rekomendasi Bisnis Pengembangan usaha

jangka panjang Pengembangan usaha jangka panjang Pengembangan usaha jangka pendek. Berdasarkan tabel diatas, maka sistim bisnis juga harus memperhatikan kondisi pertumbuhan biomas. Dalam jangka pendek eksploitasi di zona 3 masih baik dan menjamin ketersediaan stok, namun dalam jangka panjang zona 1 dan 2 harus di beri waktu untuk tumbuh dan menguntungkan.

8.6.3. Kebijakan Operasional 8.6.3.1. Zonasi stok simping

Kebijakan operasional dalam pengelolaan simping diantaranya adalah dengan menetap zonasi simping. Kriteria kemantapan stok, tingkat eksploitasi, lama waktu tumbuh tiap zona dari masing-masing stadia. Selain itu juga kemantapan stok, tingkat eksploitasi (HPPO/TPe), interval waktu menunggu (IWK+KS/P). Dari pertimbangan indikator tersebut maka ditetapkan zonasi simping seperti Gambar dibawah ini.

(17)

Zona

Variabel Kerja

Spat

Muda

Dewasa

Zona 1

KS Negative Negative Positive Over/Under Eks Ov 40% Ov 85% Un 45 % IWK + Ks/P 8,5 8,8 6,5 Rekomendasi Lindungi Lindungi Pemanfaatanoptimal

Zona 2

KS Negative Negative Negative Over/Under Eks Ov 227% Ov 58% Ov 8,6% IWK + Ks/P 16,1 8 7 Rekomendasi Lindungi Lindungi penangkapanKendalikan

Zona 3

KS Negative Positive Positive Over/Under Eks Ov 39% Und 25% Un 48% IWK + Ks/P 8,3 6,5 6 Rekomendasi Lindungi PenangkapanKendalikan Pemanfaatanoptimal

Close area

Conservation

Utilization

Keterangan: KS = Tingkat kemantapan stok Ov = Kondisi over eksploitasi Un = Kondisi under eksploitasi IWK = Interval waktu kedatangan

Ks/P =Lama waktu pulih dari dari eksploitasi setelah IWK Gambar 28. Pola pembagian zonasi stadia simping di tiap zona

1. Konservasi Biomas Spat dan Muda

Pada zona 1 dan zona 2 biomas stadia spat dan muda perlu diupayakan untuk dilindungi dan dari aktivitas eksploitasi yang berlebih. Upaya ini dilakukan atas pertimbangan sebagai berikut a) Tingkat kemantapan stok spat pada zona 1, 2 dan 3 yang negative serta stok muda pada zona 1 dan 2 yang tidak mantap. b) Tingkat pemanfaatan (HPPs>TPM atau HPPO> dari TPE) antara

39-227% dan termasuk dalam kondisi yang over-eksploitasi. c) interval waktu kedatangan yang harus lebih lama dari waktu tunggu saat ini (IWK) agar potensi stok menjadi seimbang dengan eksploitasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka lokasi tersebut diatas berpeluang dijadikan sebagai area preservasi agar biomas stok spat dan muda dapat tumbuh.

(18)

2. Pengendalian Penangkapan

Zona pengendalian penangkapan pada area konservasi dimaksudkan yaitu sebagai kawasan pemanfaatan terbatas. Tingkat pemanfaatan masih dapat dilakukan tetapi harus dikendalikan agar sesuai dengan daya dukung. Stadia yang harus diatur pemanfaatanya adalah dewasa pada zona 2 dan muda pada zona 3. Pengendalian penangkapan lebih utama ditujukan bagi stadia yang menjadi target penangkapan yaitu stadia dewasa.

3. Pemanfaatan optimal

Zona pemanfaatan atau eksploitasi berkelanjutan di prioritaskan pada zona 1 dan zona 3 untuk stadia dewasa. Kondisi stok yang mantap dan dalam kondisi under-ekploitasi masih potensial diusahakan. Namun karena ketersediaan potensi yang rendah maka pemanfaatan juga harus tetap dijaga dengan interval waktu penangkapan selama 7 hari sekali.

Menurut Gerber et al (2003) konsep perlindungan sumberdaya single species saat ini mulai banyak di kembangkan karena pertimbangan perbedaan life history dari setiap sumberdaya yang ada. Walaupun kebijakan perlindungan single species ini mengabaikan beberapa isu penting seperti interaksi spesies, kompetisi dan predasi.

8.6.3.2. Pengelolaan produksi dan operasional

Pengelolaan produksi yaitu mengatur agar tingkat kemantapan stok tidak mengalami penurunan dan operasional penangkapan dapat berjalan secara baik. Dalam menjaga keseimbanan produksi, maka perlu diperhatikan lama waktu pulih dari sumberdaya simping

Pengelolaan produksi selain memperhatikan aspek ekonomi juga dengan memperhatikan pertumbuhan stok. Dengan demikian maka hal yang perlu diperhatikan adalah daya dukung area eksploitasi, kuota penangkapan, intensitas penangkapan, pengaturan lokasi penangkapan dan meszh size alat tangkap.

1. Daya Dukung Area Operasional (DAO)

Daya dukung area operasional atau daya dukung suatu zona adalah jumlah biomas yang terbentuk setelah di tinggal eksploitasi dengan tingkat produktivitas tertentu. Daya dukung area operasional yaitu kemampuan pembentukan biomas

(19)

simping setelah di tinggal eksploitasi dalam suatu area penangkapan. Daya dukung area operasional penangkapan simping yaitu kemampuan area penangkapan simping dalam menampung untuk berlangsungnya proses kehidupan simping. Daya dukung area operasional merupakan fungsi dari waktu di tinggal eksploitasi dengan luas area operasional. Daya dukung terdiri dari daya dukung stok awal (lestari) dan daya dukung biomas yang tumbuh selama waktu di tinggal eksploitasi (Tabel IWK). Hasil perhitungan daya dukung area operasional di tiap zona disajikan pada Tabel berikut 47.

Tabel 47. Daya dukung area operasional (ton)

Daya Dukung Stadia Zona 1 Zona 2 Zona 3

Spat 3.09 1.53 0.13 DD Bt1 Muda 4.79 2.14 0.07 Dewasa 6.77 9.12 0.57 Total 14.65 12.79 0.77 Spat 0.72 0.31 0.03 DD G* Muda 0.74 0.28 0.01 Dewasa 1.24 1.61 0.07 Total 2.69a 2.20a 0.11b Spat 3.81 1.83 0.16 DAO * Muda 5.53 2.42 0.09 Dewasa 8.01 10.74 0.64 Total 17.34a 14.99a 0.89a F Spat 1.01 1.00 0.05 Muda 1.36 0.40 0.01 Dewasa 0.67 1.75 0.03 Total 3.05 3.15 0.09 Keterangan:

DD Bt1= Daya dukung dari stok awal (ton.ha-1.bln-1)

DD G = Daya dukung dari stok yang tumbuh (ton.ha-1bln-1)

DAO = Daya dukung area operasional (ton.ha-1bln-1) F = Hasil tangkapan total per operasi (ton.ha-1bln-1)

*)= Signifikan pada SK 95%

Daya dukung pertumbuhan area operasional pada zona 1 mencapai 2,69 ton.h-1, pada zona 2 sebesar 2,2 ton.h-dan zona 3 sebesar 0,11 ton.h-. Sedangkan hasil tangkap operasional nelayan zona 1 mencapai 2,05 ton.h-, pada zona 2 mencapai 3,15 ton.h- dan zona 3 mencapai 0,09 ton.h-. Dari hasil perhitungan

(20)

tersebut terlihat bahwa daya dukung area operasional zona 1 dan 2 telah terlewati oleh tingkat eksploitasi.

Dari tabel diatas terlihat bahwa daya dukung area operasional nelayan di tiap zona berbeda secara statistik. Sehingga dapat dapat disimpulkan bahwa;

1) Daya dukung area operasional pada zona 1 dan 2 cenderung lebih besar dari zona 3

2) Tingkat pemanfaatan atau tangkapan per operasi nelayan lebih besar dari daya dukung pembentukan biomas, dan beresiko menyebabkan stok awal mengalami penurunan.

3) Daya dukung area operasional yang mengikuti pola pembentukan biomas, merupakan indikasi bahwa kemampuan tumbuh sangat menentukan bagi daya dukung suatu area penangkapan.

2. Kuota Tangkap/Total Allowable Catch (TPe = P x IWK)

Kuota tangkap adalah jumlah biomas yang di perboleh ditangkap dari TPe (total produksi setelah ditinggal dalam interval waktu tertentu). Kuota penangkapan tidak boleh melampaui kemampuan tumbuh setelah ditinggal (TPe) pada zona 1 yaitu 56 gr m-2 hari-1, zona 2 sebesar 55,6 dan pada zona 3 lebih rendah yaitu 26,9 gr m-2hari-1. Kuota tangkap adalah total produksi dikurangi setengah dari simpangan total eksploitasi HPP (K=TPe-1/2 STDEV HPP). Dengan demikian, maka total kuota pada zona 1 sebesar sebesar 52,4 gr m-2, pada zona 2 sebesar 47 gr m-2dan zona 3 sebesar 24,7 gr m-2.

Agar kegiatan penangkapan tidak beresiko pada penurunan stok lestari, maka perlu ditetapkan rencana penangkapan. Untuk itu maka jumlah stok minimum yang dapat ditangkap agar stok berkelanjutan yaitu ada sebesar ΔBG (biomas yang tumbuh) atau sebesar (Bt1+ ΔBG)-Bt2. Untuk itu target rencana

produksi tidak melebihi dari jumlah biomas yang tumbuh di tiap zona agar selalu berkelanjutan.

Penetapan kuota tangkap sebesar 85-90% juga dapat diterapkan seperti pada AMS project (Fulton, Smith and Smith 2007 dalam FAO, 2008). Kuota tangkap ditetapkan dari total biomas tumbuh yaitu sebesar 126,68 ton di zona 1, 103,4 ton.ha-2.th-1 zona 2 dan

(21)

Tabel 48. Biomas stok dewasa dan TAC tiap zona

Biomas Satuan Zona 1 Zona 2 Zona 3

B Stok Dewasa ton.ha-2.th-1

149,044 121,763 6,219

TAC (85%) ton.ha-2.th-1

126,687 103,499 5,286

B stok dewasa = DD G (Tabel 44) x (30/IWK) x 12 bulan

TAC = 85% x B stok dewasa (Sumber: Fulton, Smith and Smith 2007 dalam FAO, 2008)

3. Intensitas Tangkap

Eksploitasi (HPP) pada zona 1 dan 2 melebihi dari kemampuan produksi total (TPe). Agar eksploitasi (HPP) sama dengan produksi maka intensitas tangkap pada zona 1 dan 2 harus dikurang dari 1,4 dan 1,2 menjadi 1,23 pada zona 1 dan 0,83 pada zona 2. Sedangkan pada zona 3 tidak perlu ditingkatkan intensitas tangkapan per tripnya. Dengan demikian disimpulkan bahwa pada zona 3 agar pemanfaatan berkelanjutan, intensitas per trip hanya 1,23 dan pada zona 2 sebesar 0,83. Menurut Standal (2005) peningkatan intensitas tangkap dapat berpotensi meningkatkan produksi (catch) tetapi menyebabkan penurunan stok.

4. Pengaturan lokasi dan waktu tangkap

Pengaturan lokasi penangkapan ditentukan dari interval waktu tunggu saat eksploitasi sama dengan potensi yang tumbuh. Berdasarkan hasil analisa dari Tabel 44, pada zona 1 waktu kedatangan harus lebih dari 7 hari ditinggal, pada zona 2 lebih dari 8 hari ditinggal dan pada zona 3 lebih dari 6 hari ditinggal. Agar aktivitas penangkapan dapat berlangsung maka skenario kedatangan pada zona dapat dilakukan secara bergiliran sesuai waktu tersebut. Dalam satu tahun operasi penangkapan, maka scenario kedatangan diilustrasikan seperti Gambar 29.

Zona 1 2 3 4 5 6

Zona 1 7 14 21 28 35 42

Zona 2 8 16 24 32 40 48

Zona 3 6 12 18 24 30 36

(22)

Dari ilustrasi tersebut, pada zona 1 didatangi sebanyak 52 kali dalam setahun, pada zona 2 sebanyak 45 kali dalam setahun dan zona 3 sebanyak 60 kali dalam setahun. Dari pola pergiliran lokasi penangkapan tersebut, maka pemanfaatan simping dapat dibedakan dalam 2 kategori yaitu 1) pemanfaatan jangka pendek, 2) pemanfaatan jangka menengah dan 3) pemanfaatan jangka panjang.

Pemanfaatan jangka pendek yaitu melakukan penangkapan sesuai dengan jumlah biomas yang tumbuh di zona 3. Pemanfaatan jangka menengah yaitu di prioitas pada zona 1 dan pemanfaatan jangka panjan di zona 2. Dengan demikian, maka agar proses penangkapan dapat berlangsung secara terus menerus, pola pemanfaatan dengan system pergiliran ini baik bagi keberlanjutan simping.

5. Ukuran Alat Tangkap

Menurut beberapa penelitian (Darmaraj. et al (2004), Madrones Ladja and Julie 1999) umumnya meshsize alat yang digunakan adalah 1,3 inch. Populasi simping dewasa umumnya berukuran lebih dari 4 cm, sehingga untuk mengoptimalkan tangkapan populasi dewasa sebaiknya digunakan alat tangkap berukuran antara 1,7-2 inc (4-5 cm). Sedangkan untuk garok pada lokasi penelitian jarak mata garpu garok sekitar 1,3 inch. Dengan merubahan ukuran menjadi 1,7-2 inch maka sesungguhnya peluang spat dan muda lepas dari alat tangkap (tidak tertangkap menjadi lebih besar). Dan populasi spat dan muda tidak menjadi kritis. Sedangkan waktu penangkapan perlu diperpanjang agar produksi dapat mengimbangi eksploitasi dan stok selalu dalam kondisi mantap (Tabel 40).

(1,3 inch / 2 cm) (1,7-2 inch / 4-5 cm) Gambar 30. Ukuran Alat Tangkap

(23)

6. Potensi Ekonomi

Potensi pembentukan biomas tumbuh simping dewasa (Tabel 44 DD G dewasa) dan potensi penangkapan (Tabel 47 F dewasa), dapat dievaluasi untuk melihat potensi ekonomi dari biomas yang tumbuh dan tangkapan yang dihasilkan. Dengan nilai rata-rata harga jual simping sebesar Rp 3.500,00, maka sesungguhnya dapat dievaluasi tingkat potensi ekonominya sebagai berikut

Tabel 49. Potensi ekonomi perikanan simping

Ekonomi Variabel Zona 1 Zona 2 Zona 3 Total Catatan

Potensi Ekonomi total

(PE) (Rupiah) 4.340.000 5.635.000 245.000 10,220,000.00

DD G (tabel 47) x 3500 Potensi Penerimaan total

(PP) (Rupiah) 2.345.000 6.125.000 105.000 8,575,000.00 F (tabel 47) x 3500 Potensi Penerimaan Nelayan (PN) (Rupiah) 52.111,1 136.111,1 2.333,3 190.555,56 PP/45

Pendapatan Aktual (PA)

(Rupiah) 42.311,1 69.105,6 23.722,2 135.138,8

Penerimaan Total (Lamp 14 dari 45

nelayan) Keterangan:

DD G = Daya dukung tumbuh biomas stadia dewasa Angka 3500 adalah harga rata-rata jual simping per kg Angka 45 adalah jumlah nelayan simping di Kronjo

Dari nilai tabel diatas dapat diambil kesimpulan

1. Potensi penerimaan nelayan sesungguhnya masih dapat ditingkatkan mendekatan potensi ekonomi dari stok dewasa yang tumbuh dengan mengoptimalkan potensi ekonomi di zona 1.

2. Secara ekonomi aktivitas simping masih mampu memberikan pendapatan kepada masyarakat, namun kontribusinya masih rendah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan.

Dengan demikian, agar kegiatan penangkapan simping secara biologi tidak menyebabkan stok mengalami penurunan, maka perlu dilakukan intervensi kelembagaan pengelolaan yang mampu mengatur pemanfaatan simping.

8.6.3.3. Monitoring, dan controling

MCS diperlukan untuk melindungi stok dari penurunan yang tidak terkendali serta mencegah habisnya stok. Aspek yang perlu dirumuskan sebagai dasar dalam proses monitoring adalah;

(24)

1. Rencana produksi sehingga daya dukung sesuai dengan eksploitasi disetiap zona atau di tiap musim penangkapan

2. Pengawasan kegiatan penangkapan dan penanganan hasil. Pengawasan lebih difokuskan pada keberhasilan operasi penangkapan.

Dari dasar tersebut diatas, maka proses monitoring sebagai bagian upaya mengendalikan penangkapan yang harus dilakukan adalah;

1. Monitoring daerah kegiatan operasional (lokasi tangkap nelayan). Daerah yang dimonitoring adalah perairan Teluk Kronjo dan sekitarnya.

2. Perubahan hasil tangkapan yang dapat ditentukan dari hasil tangkapan per trip. Perubahan hasil tangkapan dapat dievaluasi dari

a. Perubahan hasil tangkapan yang tergambar dari tangkapan masa lalu (historical). Berdasarkan data dari tahun 2006-2008, tangkapan nelayan yang cenderung turun menjadi indikasi dari proses monitoring. b. Perubahan hasil tangkapan yang dievaluasi dari penyimpangan

tangkapan yang terjadi (accidental). Musim tangkapan yang cenderung tinggi, ataupun rendah atau tidak ada penangkapan menjadi indicator penetapan proses monitoring

c. Perubahan hasil tangkapan dari nilai yang bersifat sesaat (occasional) atau perubahan karena pertimbangan biologi seperti waktu pemijahan. Perubahan ini kemudian dipantau sehingga diketahui waktu yang diperbolehkan dan waktu yang tidak diperbolehkan melakukan penangkapan.

8.7. Kerangka Pengelolaan Simping (Simping Management Framework) Menurut Tim R Maclanahan and Juan Carlos Castilla (2007), bahwa pengelolaan perikanan harus dalam kerangka pikir yang berkelanjutan. Untuk itu parameter dalam setiap tahap proses teknis harus menyertakan informasi yang dapat dijadikan dasar pengelolaannya. Dari penelitian ini, alur informasi di setiap proses pengelolaan perikanan ditampilkan sebagai berikut.

(25)

ENVIRONMENT SUSTAINABLE POLICY AND MANAGEMENT MANAGEMENT USE/LIMIT -Gear -Time -Space - Species - Size - Effort RESOURCES - Abundance - Structure - Process - Biodiversity HARVESTING COD, BOD, TSS, DO KS DD P HPP Effektivitas IWK B/P Zona Kuota Waktu Ukuran Intensitas Tangkap Physical Flow Information Flow Zonasi

Model Hubungan Sub Komponen Pengelolaan Simping, Modifikasi dari Tim R Mc Clanahan and Juan Carlos Castilla: Fisheries Management: Progres Toward Sustainability (2007)

Gambar 31. Model hubungan sub komponen pengelolaan simping

Dari model hubungan diatas, maka upaya pengelolaan simping yang dapat dilakukan dengan lebih terukur dan tersistimatik. Sehingga kebijakan yang diperlukan dapat diterapkan secara efektif. Berdasarkan dari kerangka diatas, maka pengelolaan simping akan mencakup kebijakan 1) kebijakan pengelolaan lingkungan, 2) kebijakan perlindungan sumberdaya, dan 3) kebijakan pemanfaatan secara berkelanjutan sebagai berikut.

Tabel 50. Program tiap proses pengelolaan simping

Kebijakan Tujuan Program Pelaku

Pengelolaan Lingkungan

Untuk

mengendalikan pencemaran akibat buangan dari hulu sungai 1. Pemantauan sumber-sumber pencemar 2. Penerapan aturan standar pembuangan limbah

3. Sosialisasi aturan dan produk hokum 4. Penindakan terhadap tindakan pencemaran 5. Perlindungan habitat Pemerintah, Industri dan Masyarakat

(26)

Lanjutan Tabel 50

Perlindungan Sumberdaya simping

Melindungi area dari stok kritis

1. Menyusunan zonasi 2. Penetapan tata batas

area dan zonasi

3. Monitoring dan

pemantauan

pertumbuhan simping (life history simping 4. Melakukan monitoring struktur populasi 5. Mengukur daya dukung Nelayan, Pengumpul, Pemerintah, PT dan Lembaga penelitian Pemanfaatan berkelanjutan Mengatur agar pemanfaatan tidak melampaui pertumbuhan 1. Mengatur waktu penangkapan 2. Menetapkan kuota

tangkap sesuai dengan pertumbuhan 3. Memperbaiki alat tangkap simping 4. Mengatur intensitas tangkap 5. Menetapkan lama waktu pulih 6. Mengendalikan kegiatan penangapan untuk kepentingan bisnis semata Nelayan, Pengumpul, Pemerintah, PT dan Swasta

Gambar

Gambar 26.  Profil kandungan COD di sungai sampai pesisir
Tabel 42.  Biomas eliminasi sumberdaya kerang simping
Tabel 43.  Pendekatan berkelanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya simping
Tabel 44.  Faktor eksternal terhadap keberlanjutan eksploitasi simping
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian ini terdapat korelasi yang cukup kuat dan positif antara kedua variabel dan hal itu menunjukkan bahwa siswa kelas X SMKN Negeri 2 Palopo

Hasil observasi, evaluasi dan refleksi pelaksanaan tindakan siklus I cukup memuaskan, guru (peneliti) dan siswa telah mampu melaksanakan pembelajaran dengan

Namun dengan beragamnya media komunikasi yang muncul,dilapangan masihsulit menentukan media komunikasi mana yang dapat digunakan untuk berbagi informasi dan komunikasi akademik

“ Pada kegiatan awal pembelajaran saat masuk kelas guru memberikan salam dan mengajak berdoa menurut agama dan keyakinan masing-masing dengan dipimpin oleh ketua

Secara umum, bertanggung jawab untuk memastikan produk yang dihasilkan sesuai standar yang telah ditetapkan melalui penerapan Quality System (HACCP, GMP, ISO) yang baik dan

(1999) mengemukakan bahwa komitmen kepada organisasi merupakan hubungan terbalik dengan keinginan untuk meninggalkan organisasi (turnover intentions); orang-orang yang berada

Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa pembagian peran antara laki- laki dan perempuan atas dasar mereka sudah saling memahami satu sama lain bagaimana