ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH PESISIR UNTUK
BUDIDAYA DENGAN MEMANFAATAN CITRA SATELIT DAN
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI SEBAGIAN BALI SELATAN
Firman Farid Muhsoni Dosen Jurusan Ilmu Kelautan Fak. Pertanian Unijoyo
Abstract
Satellite image and GIS can be used for a planning in the use of coastal area. The research purposed to inventory physical parameters and evaluate land suitability as a guidance in spacial utilization of southern coastal area of Bali island. Method applied included site selection, based on the score of each variable. The Result of this research revealed that the image of Landsat ETM+ could be used for inventory the beach ecosystem type with the accuracy level at 64,3%. Land suitability for sea grass cultivation from very suitable, suitable and unsuitable respectivelly was as follow 1,41%, 95,52%, and 3,07%. While land suitability to flying net for raising fish from suitable and unsuitable respectivelly was 18,17% and 81,83%. Coastal region that was suitable to cultivate see grass but not suitable for flying net to raising fish was 74,77%.
Keywords :GIS, remote sensing, site selection.
PENDAHULUAN
Perencanaan pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang berwawasan lingkungan memerlukan data dan informasi yang akurat, objektif dan dapat diperoleh secara cepat. Teknik penginderaan jauh dalam hal ini satelit mempunyai peranan penting. Citra Landsat yang direkam oleh satelit Landsat ETM+ menggunakan delapan saluran mempunyai karakteristik masing-masing dalam menggambarkan objek di permukaan bumi. Saluran 1 mempunyai kemampuan untuk menembus air jernih sangat baik; saluran 2 mampu menembus air jernih cukup baik, dapat menampilkan kontras air keruh dan air jernih; saluran 3 mampu membedakan jenis vegetasi; saluran 4 merupakan saluran yang
peka terhadap biomassa vegetasi; saluran 5 mampu membedakan kondisi kelembaban tanah; saluran 6 merupakan saluran yang peka terhadap suhu permukaan dan saluran 7 merupakan saluran yang peka terhadap emisi panas api. Berdasarkan karakteristik saluran tersebut maka citra Landsat ETM+ dapat digunakan untuk menyadap data atau informasi berkaitan dengan fisik lahan yang dibutuhkan dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir. Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk mengolah data yang diperoleh dari penginderaan jauh maupun lari sumber data lainnya.
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Menginventarisasi parameter fisik lahan yang akan digunakan untuk evaluasi kesesuaian lahan diwilayah pesisir pantai
68
selatan pulau Bali pada skala tinjau dengan citra landsat ETM +. (2) Mengevaluasi kesesuaian lahan dan menyusun arahan pemanfaatan ruang sebagain wilayah pesisir pantai selatan Pulau Bali menggunakan sistem informasi geografis pada skala tinjau.TINJAUAN PUSTAKA Penginderaan Jauh
Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh akhir-akhir ini meningkat dengan pesat. Menurut Sutanto (1986) alasan yang mendasari pemanfaatan penginderaan jauh antara lain (1) citra menggambarkan objek, daerah, gejala permukaan bumi dengan kedudukan letak objek yang sama dengan permukaan bumi, relatif lengkap, dapat meliput daerah yang luas dan bersifat permanen. (2) karakteristik objek yang tidak nampak, kemungkinan dapat dikenali melalui citra (3) citra dapat diperoleh secara cepat dan (4) sering dibuat dengan periode ulang yang pendek. Citra penginderaan jauh dapat digunakan untuk menginventarisi sumberdaya alam.
Sistem Informasi Geografis
Murai (dalam Prayitno, 2000) mengartikan Sistem Informasi Geografis sebagai suatu sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisis dan menghasilkan data bereferensi geografis atau
data geospasial, untuk mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumberdaya alam, lingkungan, transportasi, fasilitas kota, pelayanan umum lainnya. Berdasarkan definisi tersebut menurut Eddy Prahasta (2002) Sistem Informasi Geografis dapat diuraikan menjadi beberapa subsistem, yaitu : (1) Data Masukan. Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Subsistem ini pula yang bertanggungjawab dalam mengkonversi atau mentransformasikan format-format data aslinya ke dalam format yang dapat digunakan oleh Sistem Informasi Geografis, (2) Data Keluaran. Subsistem - menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basisdata baik lalam bentuk softcopy maupun hardcopy seperti tabeL grafik, peta, dll, (3) Manajemen data. Subsistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basisdata sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, di-update, dan diedit dan ,(4) Manipulasi dan analisis data. Subsistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh Sistem Informasi Geografis.
Jadi Sistem Informasi Geografis merupakan alat yang dapat digunakan untuk menunjang pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang berwawasan lmgkungan.
Penggunaan Sistem Informasi Geografis akan mempercepat dan mempermudah pelaksanaan analisis keruangan dan pemantauan terhadap perubahan lingkungan wilayah pesisir. Kemampuan Sistem informasi Geografis dalam analisis keruangan dan pemantauan dapat digunakan untuk mempercepat dan mempermudah penataan ruang pemetaan potensi sumberdaya wilayah pesisir yang sesuai dengan daya dukung lingkungannya (Dahuri, 1996).
Konsep Wilayah Kepesisiran (coastal area concept).
Pesisir (coast) adalah daerah yang membentang di pedalaman dari laut, umumnya sejauh perubahan topografi pertama di permukaan daratan. Supriharyono (2002) mengemukakan wilayah kepesisiran (coastal
area) adalah daerah pertemuan antara darat
dan laut. Ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam
air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah aut. wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di daratan, seperti penggundulan hutan dan pencemaran.
Ciri pokok wilayah kepesisiran menurut Kay (1999) adalah :
• Wilayah kepesisiran mencakup komponen darat dan laut,
• Mempunyai batas darat dan laut yang ditentukan oleh tingkat pengaruh darat pada laut dan pengaruh laut pada darat, serta
• Tidak memiliki lebar, kedalaman, dan ketinggian yang seragam.
70
METODE PENELITIANDiagram Alir Penelitian
Gambar 1. Alur Penelitian
Variabel Penelitian
Variabel yang dikumpulkan meliputi 2 aspek utama, yaitu variabel fisik dan ekologis lahan serta variabel sosial ekonomi. Variabel fisik dan ekologis lahan dibagi menjadi beberapa variabel spesifik, yaitu :
♦ Ekosistem wilayah pesisir, Variabel ekosistem wilayah pesisir, meliputi tipe
ekosistem wilayah pesisir yang diperoleh dan interpretasi citra Landsat ETM dengan mendasarkan pada kunci interpretasi (rona/warna, pola, situs dan assosiasi).
♦ Oseanografi, Variabel oseanografi, meliputi unsur-unsur sebagai berikut :
dinyatakan dalam derajat Celcius diperoleh dari data citra satelit Landsat dan pengukuran lapang
2. Pasang surut yang dinyatakan dalam meter diperoleh dari data sekunder. 3. Kedalaman perairan yang dinyatakan
dalam meter diperoleh dari data sekunder.
4. Salinitas yang dinyatakan dalam % diperoleh dari data primer dengan pengukuran langsung di lapangan menggunakan alat Handrefraktometer. 5. pH air diperoleh dari data primer
dengan pengukuran langsung di lapangan.
6. Kecerahan diperoleh dari data primer dengan pengukuran langsung di lapangan.
♦ Penggunaan lahan diperoleh dari RBI dan ekatraksi dari citra satelit Landsat.
Analisis Data
Pemanfaatan ruang wilayah pesisir adalah wujud hubungan atau interaksi antar beberapa aktifitas yang ada di suatu tempat dengan tempat yang lainnya. Hubungan ini memungkinkan terjadinya perkembangan yang optimal antar wilayah tersebut maupun wilayah-wilayah disekitarnya. Oleh karenanya penentuan arahan pemanfaatan ruang disusun sedemikian rupa sehingga kegiatan-kegiatan tersebut dapat saling
mendukung dan berkaitan. Penentuan arahan pemanfaatan ruang untuk budidaya yang dilakukan dalam penelitian ini didasarkan pada kesesuaian fisik lahan untuk budidaya karamba jaring apung dan budidaya rumput laut. Jenis peruntukan yang dipilih atau direkomendasikan untuk dikembangkan pada masing-masing satuan ekosistem adalah jenis peruntukan yang mempunyai kelas kesesuaian lahan sangat sesuai (SI), Sesuai (S2) dan Tidak Sesuai (N). Pemilihan jenis peruntukan yang mempunyai kelas kesesuaian yang sama didasarkan pada kondisi wilayah dan arahan pengembangan sesuai peraturan yang berlaku. Apabila ada satuan ekosistem yang tidak sesuai untuk semua jenis peruntukan yang dinilai, maka arahan pemanfaatan lahannya disesuaikan dengan pemanfaatan lahan yang ada dengan pertimbangan penggunaan tersebut tidak berdampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya. Metode yang dipergunakan adalah pemilihan lokasi (site selection) dengan pemberian skor pada masing-masing variabel penentu.
Analisis Kesesuaian Lahan untuk budidaya Model pemanfaatan lahan untuk budidaya dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua jenis yang disesuaikan dengan kondisi lokasi penelitian, yaitu budidaya untuk rumput laut dan karamba jaring apung.
72
Tabel 1. Parameter kriteria kesesuaian untuk budidaya rumput laut
No Kriteria
Tingkat Potensi Lahan
Sesuai (S1) Skor Agak sesuai (S2) Skor Tidak
sesuai (N) Skor 1 Ekosistem pantai berpasir,
terumbu karang 30 pantai berbatu, perairan jernih 20 perairan keruh 10 2 pH Air 7-8.5 30 6,5- < 7 atau < 8,5-9,5 20 < 6,5 atau > 9,5 10 3 Salinitas (ppm) 15-25 30 10-< 15 alau 25-35 20 < 10 atau > 35 10 3 Kadar Chlorofil (sel/ltr) 12500-17000 30 >17000 20 <12500 10 4 Suhu (0C) 28-30 30 26 - 28 atau 30-32 20 < 26 atau > 32 10
5 Substrat dasar Berpasir 30 Berbatu 20 Berlumpur 10
6 Kedalaman 0-10 30 10-30 20 >30 10
Tabel 2. Parameter kriteria kesesuaian untuk karamba jaring apung
Kriteria Sesuai (S1) Skor Tidak Sesuai Skor
1 Kedalaman 2-3 20 <2 dan >3 10
2 Salinitas 25-35 20 <25 dan >35 10
3 suhu 25-28 20 <25 dan >28 10
4 pH 7,5 - 8,6 20 <7,5 dan >8,6 10
5 Materi dasar Lumpur 20 pasir 10
HASIL DAN PEMBAHASAN Kesesuaian Lahan untuk Budidaya
Kesesuaian untuk Budidaya Rumput Laut Kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut diperoleh dengan cara membandingkan persyaratan untuk budidaya rumput laut dengan karakteristik lahan. Parameter yang digunakan untuk menilai tingkat kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut adalah ekosistem laut, kedalaman,
salinitas, pH, suhu , kandungan klorofil, materi dasar laut dengan kriteria seperti dibawah ini. Untuk pasang rusut dan kecerahan pada daerah kajian relative sama maka untuk parameter ini diabaikan.
Berdasarkan hasil perbandingan antara karakteristik lahan dengan persyaratan penggunaan lahan untuk budidaya rumput laut diperoleh luas dan persentase kelas kesesuaian lahan seperti pada tabel dibawah ini sedangkan persebarannya dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Peta Kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut.
Tabel 3. Luas dan prosentase kesesuaian lahan untuk budidaya rumput Laut di pesisir bali bagian selatan
No Kelas Kesesuaian Luas (ha) %
1 Sangat sesuai 518,13 1,41
2 Sesuai 35030,88 95,52
3 Tidak Sesuai 1125,13 3,07
36674,14 100,00
Sumber: Hasil Analisis.
Satuan ekosistem dengan kelas kesesuaian Sangat Sesuai adalah Pantai Berlumpur, Mangrove, kedalaman kisaran 0-10m, dan terdapat didaerah pantai sanur, pulau serangan dan selat benoa. Satuan ekosistem selebihnya mempunyai kelas kesesuaian Sesuai hampir di seluruh daerah pantai dengan edalaman 0-30 m, sedangkan kelas kesesuaian Tidak sesuai terdapat pada daerah yang relative mempunyai kedalaman >30m , terdapat di daerah di atas pantai Kuta..
Kesesuaian untuk Karamba jaring Apung Kesesuaian lahan untuk karamba jaring apung diperoleh dengan cara membandingkan persyaratan untuk karamba jaring apung dengan karakteristik lahan. Parameter yang digunakan untuk menilai tingkat kesesuaian lahan untuk karamba jaring apung adalah kedalaman, salinitas, suhu, pH dan materi dasar. Parameter pasang surut dan kecerahan pada daerah penelitian relative sama sehingga untuk kedua parameter ini diabaikan.
74
Berdasarkan hasil membandingkan antara karakteristik lahan dengan persyaratan penggunaan lahan untuk karamba jarring apung diperoleh luas dan persentase kelaskesesuaian lahan seperti pada tabel dibawah sedangkan persebarannya dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Peta kesesuaian lahan untuk karamba jaring apung.
Tabel 4. Luas dan prosentase kelas kesesuaian lahan untuk karamba jaring apung. No Kelas Kesesuaian Luas (ha) %
1 Sesuai 6681,33 18,17
2 Tidak Sesuai 30099,61 81,83
36780,94 100,00
Sumber : Hasil Analisis.
Satuan Ekosistem dengan kelas Sangat Sesuai (S3) adalah pantai berlumpur Datar, Mangrove, dan daerah terumbu karang, di daerah Sanur, Tanjung Benoa, pantai Nusa Dua. Sedangkan satuan ekosistem dengan kelas kesesuaian tidak sesuai (N) adalah Pantai dan Bergelombang, Pesisir Berpasir , terjal, dan terdapat bagian Barat daerah kajian kajian (pantai Kuta). Satuan ekosistem daerah
perairan tidak dinilai.
Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir untuk Budidaya
Penentuan arahan pemanfaatan ruang wilayah untuk budidaya pesisir Bali bagian Selatan didasarkan pada tingkat kesesuaian fisik untuk peruntukan yang dinilai yaitu budidaya rumput laut dan karamba jaring apung. Berdasarkan hasil penilaian tingkat
kesesuaian lahan tersebut diperoleh jenis peruntukan yang sesuai pada masing-masing satuan ekosistem. Hasil penilaian tersebut
digunakan sebagai dasar penentuan arahan pemanfaatan ruang.
Gambar 4. Peta arahan pemanfaatan ruang wilayah laut untuk budidaya
Tabel 5. Arahan pemanfaatan lahan wilayah laut
No ARAHAN Luas (ha) % Keterangan
1 Sangat Sesuai untuk budidaya rumput laut 5217,21 14,128
Sanur dan sepanjang pantai nusa dua
2 Sesuai untuk budidaya rumput laut 28619,11 77,498 Hampir seluruh wilayah 3
Sesuai untuk budidaya rumput laut dan
Sesuai untuk keramba jaring apung 1967,62 5,328 Bagian tengah pantai nusa dua 4 Sesuai untuk keramba jaring apung 1,52 0,004 Sebagian kecil daerah kuta 5
Tidak Sesuai untuk budidaya rumput laut dan
Tidak Sesuai untuk keramba jaring apung 1123,61 3,043 Pantai Kuta dan Pecatu
36929,07 100,000
Sumber : hasil analisis
Hasil kajian untuk daerah yang sangat sesuai untuk budidaya rumput laut berada disekitar Sanur dan sepanjang pantai Nusa Dua. Daerah yang sesuai untuk budidaya rumput laut terdapat hampir diseluruh wilayah penelitian. Daerah yang Sesuai untuk budidaya
rumput laut dan Sesuai untuk keramba jaring apung Bagian tengah pantai nusa dua. Daerah yang Sesuai untuk keramba jaring apung adalah Sebagian kecil daerah kuta. Daerah yang tidak sesuai untuk keduanya di pantai Kuta dan Pecatu.
76
KESIMPULANBerdasarkan hasil penelitian dan pembahasannya maka dapat disimpulkan berapa hal sebagai berikut:
• Citra Landsat ETM+ dapat digunakan untuk inventarisasi tipe ekosistem pesisir dengan tingkat ketelitian cukup baik (64,3%).
• Hasil penilaian kesesuaian lahan menunjukkan bahwa untuk Kesesuaian lahan untuk Budidaya rumput Laut daerah yang sangat sesuai sebanyak 1,41%, untuk yang sesuai 95,52%, sedangkan yang tidak sesuai sebanyak 3,07%. Sedangkan untuk kesesuaian Karamba jaring Apung untuk yang sesuai sebanyak 18,17%, sedangkan yang tidak sesuai sebanyak 81,83%.
• Untuk Arahan pemanfaatan lahan pada daerah laut yang paling dominan untuk pemanfaatan lahan sesuai untuk budidaya rumput laut dan tidak sesuai untuk Karamba
jarring apung (74,77%).
DAFTAR PUSTAKA
Dulbahri, dkk., 1994. Integrasi Citra Inderaja dan Sistem Informasi Geografi. Studi di Teluk Saleh, Pulau Sumbawa. Laporan
Penelitian. PUSPICS-Bakosurtanal,
Yogyakarta.
Eddy Prahasta, 2002. Konsep-konsep Dasar
Sistem Informasi Geografis. Edisi
Revisi. Penerbit Informatika Bandung.
Kay, R dan Alder, J., 1999. Coastal Planning
and Management, E. & FN SPON,
London.
Prayitno, T.A., 2000. GIS Workbook. Buana Khatulistiwa, Jakarta.
Supriharyono, 2002. Pelestarian dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Sutanto, 1986. Penginderaan Jauh Jilid I. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.