• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS DAN DISKUSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V ANALISIS DAN DISKUSI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

77 BAB V

ANALISIS DAN DISKUSI

Pada bab ini akan dibahas beberapa aspek mengenai Sesar Lembang yang meliputi tingkat keaktifan, mekanisme pergerakan dan segmentasi. Semua aspek tadi akan dibahas dengan menggabungkan semua data morfometri, data stratigrafi sagpond dan data lain menyangkut kondisi geologi.

5.1 Keaktifan Sesar Lembang

Berdasarkan hasil perhitungan morfometri pada bab sebelumnya menunjukkan bahwa pada zona sepanjang Sesar Lembang terlihat morfologi yang dipengaruhi oleh kekuatan tektonik (Gambar 4.2). Morfologi ini dicirikan dengan adanya relief yang kasar dengan lembah sungai yang curam dan adanya kelurusan gawir sesar yang sangat jelas.

Relief topografi akan sangat dipengaruhi oleh tingkat resistensi batuan maupun akktivitas tektonik. Tingkat stadia morfologi di zona Sesar Lembang dipengaruhi oleh material vulkanik yang muda dari G. Tangkubanparahu yang menutupi daerah tersebut. Hal ini pula yang menyebabkan sebagian besar daerah Sesar Lembang baik blok utara maupun blok selatan bagian barat terlihat reliefnya lebih halus dibandingkan dengan bagian timur dari blok selatan.

Berdasarkan hasil perhitungan kurva hipsometrik (Gambar 4.2) memperlihatkan bahwa blok utara Sesar Lembang sebagian besar menunjukkan kurva hipsometrik masuk kategori stadia menengah dan tua. Selain litologi, hal ini dimungkinkan karena dampak aktivitas tektonik yang terjadi di blok utara adalah pergerakan normal/turun. Proses penurunan akan menjadikan daerah tersebut lebih rendah dan proses sedimentasi yang tinggi akan berlangsung pada daerah ini. Proses ini yang menyebabkan reliefnya lebih halus dengan bentuk kurva hipsometrik pada blok utara didominasi oleh stadia tua (lokasi 4, 5, 6, 7 dan 8).

(2)

78

Dari pola tingkat stadium morfologi terlihat bahwa blok utara bagian barat (lokasi 1, 2, 3) masuk kategori stadia menengah/remaja sedangkan bagian tengah sampai timur masuk kategori stadia tua kecuali lokasi 9. Data ini dapat diinterpretasikan bahwa bagian barat pada blok utara mempunyai tingkat tektonik lebih aktif dibandingkan bagian timur.

Pada blok selatan terlihat pola tingkat stadium morfologi berbeda dengan pola pada blok utara (Gambar 4.2). Pada blok selatan bagian barat terlihat adanya tingkat stadium morfologi menengah dan tua, sedangkan sisanya pada bagian timur masuk kategori stadia menengah/remaja. Dari data ini terlihat bahwa pada blok selatan bagian timur tingkat aktivitas tektonik lebih tinggi dibandingkan bagian barat. Hasil interpretasi tadi harus dihubungkan dengan kondisi geologi menyangkut batuan penyusun. Bagian timur blok selatan disusun oleh produk gunungapi tua yaitu breksi dan lava (Silitonga, 2003) yang lebih resistan dibandingkan dengan bagian barat yang disusun oleh tuf pasiran hasil produk gunungapi muda. Sehingga bagian timur tentunya akan mempunyai relief yang kasar dan ini akan tercermin pada kurva hipsometrik yang memperlihatkan stadia menengah/remaja. Kondisi ini menjadi penting karena belum tentu jika kurva hispometrik memperlihatkan stadia menengah/remaja itu lebih aktif secara tektonik karena faktor litologi juga sangat berperan. Oleh karena itu hasil interpretasi kurva hipsometrik ini perlu dikonfirmasi dengan hasil pengolahan data yang lain.

Berdasarkan hasil perhitungan asimetri cekungan pengaliran menunjukkan nilai AF di sepanjang Sesar Lembang rata-rata menjauhi 50 (Gambar 4.4). Kondisi litologi yang mendasari setiap DAS adalah sama berupa tuf pasiran (lokasi 1 – 15 kecuali 9) sehingga kemiringan DAS pada lokasi ini kemungkinan besar diakibatkan pengaruh tektonik bukan resistensi batuan. Pada lokasi 16 sampai 21 disusun oleh hasil gunungapi tua tak teruraikan (breksi, lava), hal ini juga membuktikan bahwa kemiringan DAS di daerah ini lebih dipengaruhi aktivitas tektonik bukan akibat perbedaan litologi.

(3)

79

Berdasarkan penampang arah kemiringan DAS memperlihatkan blok selatan mempunyai kemiringan yang lebih besar dibandingkan blok utara. Hal ini tentunya sangat berkaitan dengan proses pengangkatan (Gambar 4.4). Dari peta geologi (Situmorang, 2003) bagian barat dari blok utara maupun blok selatan sama-sama tersusun oleh tuf pasiran hasil gunungapi muda yang kurang resistan. Artinya kalaupun ada perbedaan nilai AF di kedua lokasi tersebut tentunya bukan akibat faktor batuan tetapi lebih dipengaruhi oleh perbedaan tingkat aktivitas tektoniknya (tectonic tilting). Kemiringan DAS pada blok selatan yang lebih besar daripada blok utara dapat diinterpretasikan bahwa pengangkatan yang terjadi pada blok selatan diperkirakan lebih besar dibandingkan dengan blok utara. Hal ini terlihat pula dari nilai AF di blok selatan yang rata-rata lebih besar daripada nilai AF di blok utara.

Penampang kemiringan DAS memperlihatkan kemiringan yang semakin kecil (hampir datar) ke arah timur, baik itu pada blok utara maupun pada blok selatan (Gambar 4.4). Tentunya ini berkaitan dengan gaya yang bekerja pada daerah tersebut. Dari penampang tadi dapat diperkirakan bahwa pusat gaya dan pengangkatan terbesar terjadi di sebelah barat sehingga makin ketimur pengaruh gaya semakin kecil yang mengakibatkan nilai AF mendekatai 50 atau ditunjukkan dengan kemiringan DAS yang kecil. Pada blok utara proses ini sesuai dengan perhitungan kurva hipsometrik yang menunjukkan bagian paling barat masuk stadia menengah/remaja dan semakin ke timur menuju stadia tua. Semua proses tadi dapat dinterpretasikan bahwa semakin ke arah timur baik di blok utara maupun blok selatan kondisi tektonik semakin relatif kecil daripada bagian barat walaupun dari topografi memperlihatkan gawir sesar di bagian timur mempunyai elevasi yang lebih tinggi dan lebih curam dibandingkan bagian barat. Elevasi dan kecuraman gawir sesar tentunya dipengaruhi juga oleh bauan penyusun. Bagian timur disusun oleh batuan yang lebih resisten (breksi, lava) daripada bagian barat (tuf pasiran).

(4)

80

Dari nilai AF dan penampang kemiringan DAS memperlihatkan adanya nilai AF yang turun tajam dan tercermin dari penampang dengan kemiringan DAS yang curam (Gambar 4.4.). Hal ini terjadi pada blok utara maupun blok selatan. Proses ini kemungkinan besar terjadi penurunan akibat flexure. Dari topografi, proses ini meninggalkan jejak bentang alam berupa bentuk lembah yang dalam dan curam. Pada blok utara lembah ini berada pada lembah S. Cihideung sebelah barat kota Lembang, sedangkan pada blok selatan terdapat di sekitar lembah S. Cikapundung daerah Maribaya.

Pada daerah yang stabil atau aktivitas tektonik sangat kecil, maka akan memperlihatkan perbandingan lebar dasar lembah dan tinggi lembah (nilai Vf)

yang semakin besar dari hulu ke muara. Nilai Vf pada sungai-sungai di zona

sepanjang Sesar Lembang tidak menunjukkan nilai seperti di atas. Hasil perhitungan (nilai Vf) di sepanjang Sesar Lembang baik di blok utara maupun

blok selatan menunjukkan nilai yang sangat kecil berkisar dari 0,1 sampai 3. Dari hulu ke muara penambahan nilai Vf juga tidak konsisten (Gambar 4.6 dan 4.7).

Menurut Keller dan Pinter (1996), semakin kecil nilai Vf artinya secara tektonik

daerah tersebut masuk ke dalam kategori daerah tektonik aktif.

Nilai Vf yang kecil mendekati nol artinya lembah yang terbentuk sangat curam

dengan lebar dasar lembah yang sempit akibat erosi vertikal lebih besar daripada erosi horizontalnya. Peristiwa tersebut akan terjadi pada daerah tektonik aktif berupa pengangkatan. Sedangkan pada Sesar Lembang, bagian hangingwall (blok utara) merupakan daerah dengan aktivitas tektonik berupa penurunan yang menyebabkan erosi vertikalnya relatif kecil dan yang terjadi adalah proses sedimentasi yang besar. Seharusnya jika erosi vertikalnya kecil dan sedimentasi besar maka sungai lebih dangkal dan bentuk lembah lebih lebar dengan nilai Vf

yang besar.

Pada lembah-lembah sungai yang berada tepat pada gawir sesar memperlihatkan nilai Vf yang lebih kecil dibandingkan dengan bagian utaranya. Hal ini terjadi

(5)

81

selatan yang menyebabkan erosi vertikal lebih besar. Tentunya jika ini terjadi maka lembah sungai pada blok selatan akan nampak lebih dalam dan curam dibandingkan bagian utara.

Berdasarkan hasil perhitungan indeks gradien sungai (SL) pada setiap sungai di sepanjang Sesar Lembang memperlihatkan pertambahan nilai yang tinggi selaras dengan semakin curamnya kemiringan sungai tersebut (Gambar 4.8). Perubahan nilai SL yang mencolok terjadi pada lokasi-lokasi yang dipengaruhi oleh adanya struktur dan bukan akibat pengaruh perbedaan litologi, seperti sungai yang terganggu oleh Sesar Lembang (lokasi 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9). Pada blok utara terlihat pola adanya perubahan nilai SL yang tinggi ketika sungai berada di bagian hulu yang mendekati puncak G. Tangkubanparahu. Hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh aktivitas gunung tersebut. Tetapi ada beberapa lokasi yang berada di bawah puncak G. Tangkubanparahu memperlihatkan anomali dengan perubahan nilai SL yang drastis. Kemungkinan anomali ini terjadi akibat struktur karena batuan penyusun di daerah tersebut sama berupa tuf pasiran (lokasi 5 dan 6).

Pada bagian timur blok selatan memperlihatkan penampang gradien sungai dengan lekukan-lekukan kecil, hal ini tercermin dari nilai SL dengan kenaikan yang tidak teratur. Kondisi geologi memperlihatkan pada daerah tersebut disusun oleh batuan yang keras (resistan) berupa breksi dan lava. Kondisi inilah yang menyebabkan bagian timur blok selatan memperlihatkan kenaikan nilai SL yang tinggi dan tidak teratur. Pada bagian barat blok selatan, proses tadi hanya terlihat pada lokasi 10 dengan memperlihatkan perubahan nilai SL ketika mendekati hulu.

Penampang gradien sungai dari hulu ke muara pada sungai yang tidak terganggun oleh struktur memperlihatkan penurunan nilai SL yang berangsur dan relatif besar. Sungai yang terganggun struktur Sesar Lembang memperlihatkan penurunan nilai SL yang kecil ketika sungai mendekati gawir sesar. Hal ini akan terjadi jika blok utara turun terhadap blok selatan sehingga yang trjadi adalah

(6)

82

pengendapan yang besar pada daerah-daerah yang mendekati gawir sesar. Dari topografi memperlihatkan daerah ini relatif landai/datar sehingga akan tercermin dari nilai SL dengan penurunan yang kecil. Ketika sungai menembus gawir sesar yang terjadi adalah erosi yang besar karena sehingga memperlihatkan gradien sungai yang relatif curam dengan penurunan nilai SL yang besar.

Hasil perhitungan morfometri, memperlihatkan bahwa Sesar Lembang merupakan sesar aktif. Blok utara (hangingwall) maupun blok selatan (footwall) sama-sama mengalami pergerakan. Data ini juga memperlihatkan bahwa blok utara bagian barat lebih aktif dibandingkan dengan bagian timur. Hal ini terjadi juga pada blok selatan bagian barat yang lebih aktif dibandingkan dengan bagian timur, meskipun dari kurva hipsometrik memperlihatkan bagian timur dari blok selatan masuk kategori stadia menengah/remaja. Hal ini menjelaskan bahwa kurva hipsometrik dapat menggambarkan tingkat aktivitas tektonik suatu daerah, tetapi perlu juga diperhatikan tingkat resistensi batuannya karena akan sangat berpengaruh juga pada bentuk kurva yang dihasilkan.

Selain morfometri untuk menganalisis tingkat keaktifan Sesar Lembang digunakan juga analisis stratigrafi sagpond. Lingkungan pengendapan sagpond terdapat di beberapa lokasi pada blok utara (hangingwall) dari Sesar Lembang. Lingkungan pengendapan sagpond yang terbentuk di sepanjang Sesar Lembang merupakan hasil pergerakan normal Sesar Lembang yang menyebabkan adanya drainase atau aliran sungai yang terbendung dan membentuk genangan dengan aliran yang tenang dimana banyak sisa tumbuhan sehingga endapan rawa dapat terbentuk.

Dari penampang stratigrafi menunjukkan bahwa di bagian barat Sesar Lembang (Daerah Panyandakan, Panyairan dan Graha Puspa) lebih banyak ditemukan lingkungan pengendapan sagpond dengan lapisan endapan rawa yang tebal dan cukup dalam daripada di bagian timur (Cibodas) walaupun bagian timur mempunyai gawir sesar yang lebih tinggi.

(7)

83

Di daerah Panyandakan dan Panyairan kedalaman endapan rawa bisa mencapai 2,5 meter. Di daerah Graha Puspa endapan rawa yang terbentuk lebih dalam lagi mencapai kedalaman 4,5 meter dan mungkin bisa lebih dari itu. Hal tersebut terjadi kemungkinan karena adanya perbedaan kedalaman lingkungan pengendapan sagpond yang dipengaruhi oleh pergerakan sesar pada saat Sesar Lembang terbentuk. Gerak turun (normal) dari hangingwall (blok utara) semakin ke barat semakin kecil, hal ini nampak pula dari topografi yang memperlihatkan gawir sesar yang semakin landai dan menghilang ke arah barat (Daerah Panyandakan).

Penampang stratigrafi di blok utara bagian timur Sesar Lembang tidak menunjukkan adanya lapisan sagpond yang tebal. Hal ini sangat berbeda dengan di bagian barat. Data stratigrafi juga memperlihatkan sekuen sagpond yang lebih banyak di bagian barat. Hal ini membuktikan adanya perbedaan tingkat aktivitas tektonik sesar tersebut yang menunjukkan di bagian barat lebih aktif dibandingkan dengan bagian timur.

Dari penampang stratigrafi sagpond terutama di bagian barat Sesar Lembang memperlihatkan adanya perulangan lapisan paleosol. Hal ini membuktikan adanya perulangan proses penurunan pada sagpond tersebut. Pada saat sudah tidak ada lagi akomodasi, maka bagian atas rawa akan terekpos dipermukaan dengan kondisi air semakin mengering sehingga menyebabkan pelapukan dan terbentuk paleosol. Dalam waktu yang bersamaan jika tidak terjadi proses penurunan maka paleosol yang terbentuk akan semakin tebal, tetapi jika ada proses penurunan yang semakin cepat maka paleosol akan terbentuk sangat tipis. Hal lain yang mungkin terjadi adalah tidak terbentuknya lapisan paleosol karena kecepatan penurunan lebih besar dibandingkan dengan proses pengeringan lingkungan rawa.

Proses penurunan pada sagpond tidak terlepas dari pengaruh aktivitas pergerakan Sesar Lembang pada bagian hangingwall yang bergerak normal (blok utara) karena posisi sagpond yang berada dekat dengan gawir sesar yang merupakan

(8)

84

bidang sesar dari Sesar Lembang. Semakin banyak perulangan paleosol merupakan cerminan aktivitas pergerakan Sesar Lembang yang aktif.

Pada penampang stratigrafi di Cibodas menunjukkan endapan rawa yang terbentuk sangat tipis dan tidak menerus. Hal ini terjadi karena aliran sungai yang terpotong gawir sesar kemungkinan masih tetap bisa mengalir mengikuti gawir sesar tanpa mengalami pembendungan yang sangat lama sehingga tidak ada akumulasi sedimen yang dapat membentuk endapan sagpond yang tebal. Peristiwa ini terjadi karena aktivitas tektonik pada daerah tersebut yang stabil.

Lain halnya dengan proses yang terjadi di bagian barat Sesar Lembang. Proses penurunan di daerah ini relatif cepat dan besar karena tektoniknya lebih aktif sehingga lingkungan sagpond ini tetap berada pada daerah yang rendah dan cukup dalam. Lingkungan yang dalam dan aliran yang tenang mengakibatkan terbentuknya endapan rawa kaya organik (sisa tumbuhan) yang cukup tebal mengisi lingkungan pengendapan sagpond pada daerah ini.

Penampang stratigrafi di daerah Graha Puspa dan Panyairan memperlihatkan adanya perulangan sekuen yang masing-masing dibatasi oleh lapisan paleosol. Banyaknya sekuen sagpond antara 3 sampai 7 sekuen terutama di kedua daerah tersebut. Perulangan sekuen ini merupakan indikasi aktivitas pergerakan Sesar Lembang yang aktif.

Hasil analisis data morfometri dan stratigrafi sagpond menunjukkan bahwa sesar Lembang merupakan sesar aktif dimana blok utara relatif lebih aktif bergerak turun terhadap blok selatan. Hal ini terbukti dengan adanya lapisan tufa epiklastik pada sekuen stratigrafi sagpond terutama di daerah Panyandakan, Panyairan dan Graha Puspa. Terdapatnya lapisan tufa epiklastik pada lingkungan sagpond merupakan hasil erosi akibat perbedan kemiringan dan perubahan baselevel akibat proses penurunan pada blok utara terhadap blok selatan. Data ini juga memperlihatkan bahwa blok utara bagian barat lebih aktif dibandingkan dengan bagian timur.

(9)

85

Selain itu, letak Sesar Lembang yang berdekatan dengan G. Tangkubanparahu tentunya dipengaruhi juga oleh aktivitas volkanisme gunung tersebut. G. Tangkubanparahu merupakan salah satu gunung kategori aktif yang terletak di Jawa Barat. Aktivitas G. Tangkubanparahu dapat menjadi salah satu penyebab keaktifan Sesar Lembang selain aktivitas tektonik yang dipengaruhi oleh Sesar Cimandiri atau Sesar Baribis.

Berdasarkan data morfometri menunjukkan bahwa morfologi pada blok utara Sesar Lembang yang berhubungan langsung dengan G. Tangkubanparahu tentunya akan dipengaruhi oleh keberadaan gunung tersebut. Selain material vulkanik, proses pengangkatan yang disebabkan aktivitas volkanisme gunung tersebut mempengaruhi bentuk topografi pada blok utara Sesar Lembang. Bagian paling barat blok utara menunjukkan elevasi yang lebih tinggi daripada bagian timur blok tersebut. Dari data penampang asimetri cekungan (AF) menunjukkan adanya gaya yang besar pada bagian barat blok utara Sesar Lembang yang diperlihatkan oleh tilting yang besar. Kemungkinan peristiwa ini tidak terlepas dari pengangkatan yang dipengaruhi oleh aktivitas volkanisme G. Tangkubanparahu.

Pengaruh aktivitas volkanisme pada Sesar Lembang tidak terlepas dari awal kejadian terbentuknya sesar ini. Bemmelen (1949) dan Tjia (1968) menyebutkan bahwa awal terbentuknya Sesar Lembang berhubungan dengan aktivitas G. Sunda yang kemudian melahirkan G. Tangkubanparahu dan Sesar Lembang. Tetapi Tjia menambahkan bahwa pergerakan Sesar Lembang terjadi dalam dua fase. Pergerakan pertama pada saat runtuhnya G. Sunda. Pergerakan kedua yang menyebabkan adanya bidang gelincir (throw) vertikal setinggi 40 meter yang terjadi setelah letusan G. Tangkubanparahu. Selanjutnya Tjia juga menyebutkan bahwa pergerakan Sesar Lembang tidak murni normal, tetapi memperlihatkan adanya gerak geser (strike-slip). Tentunya ini berbeda dengan pendapat Bemmelen yang menyebutkan pergerakan Sesar Lembang adalah normal (dip-slip). Pendapat Bemmelen tentang Sesar Lembang hampir sama dengan hasil

(10)

86

penelitian yang relatif baru yang dilakukan oleh Dam (1994) dan Nossin et al. (1996) menjelaskan bahwa Sesar Lembang termasuk ke dalam volcano-tectonic yang terbentuk akibat gaya gravitasi, sehingga yang terjadi adalah sesar normal. Tetapi Nosin et al. menambahkan bahwa pergerakan Sesar Lembang terbagi menjadi dua, barat dan timur. Dimana pergerakan sesar bagian timur jauh lebih tua dibandingkan pergerakan sesar bagian barat.

Beberapa referensi di atas tidak menyebutkan genesa Sesar Lembang dengan aktivitas sesar yang lain. Padahal menurut Anugrahadi (1993) menyebutkan bahwa ada keterkaitan antara Sesar Lembang, Sesar Cimandiri dan Sesar Baribis.

Berdasarkan penjelasan di atas, menunjukkan bahwa Sesar Lembang awal mula terbentuk diakibatkan oleh proses volkano-tektonik (fase Kuarter) terutama berkaitan dengan aktivitas volkanisme G. Sunda yang menghasilkan juga gunungapi sekunder, G. Tangkubanparahu. Selanjutnya aktivitas Sesar Lembang saat ini kemungkinan akan dipengaruhi oleh aktivitas volkanisme G. Tangkubanparahu. Berdasarkan hasil analisis morfometri menunjukkan bahwa keaktifan Sesar Lembang tidak terlepas adanya aktivitas volkanisme (G. Tangkubanparahu) yang tercermin dari nilai asimetri cekungan (AF) dan kurva hipsometrik pada Sesar Lembang. Selain itu, aktivitas tektonik Sesar Cimandiri dan Sesar Baribis diperkirakan ikut pula mempengaruhi keaktifan Sesar Lembang karena ketiga sesar ini memperlihatkan adanya keterkaitan.

5.2. Mekanisme pergerakan Sesar Lembang

Hasil analisis morfometri terutama kurva hipsometri memperlihatkan blok utara didominasi oleh stadia tua dengan relief topografi relatif halus dibandingkan dengan blok selatan walaupun ada pengaruh resistensi batuan. Blok selatan memperlihatkan relief lebih kasar sehingga tercermin dari bentuk kurva hipsometrik yang didominasi oleh stadia menengah/remaja walaupun ada dua lokasi masuk stadia tua.

(11)

87

Bentuk kurva hipsometrik yang dominan stadia tua pada blok utara kemungkinan disebabkan oleh aktivitas tektonik berupa penurunan. Aktivitas penurunan ini mengakibatkan daerah tersebut menjadi tempat sedimentasi yang baik. Hasil sedimentasi inilah yang menjadi penyebab kenampakan relief topografi pada blok utara lebih halus daripada blok selatan.

Aktivitas pengangkatan pada blok selatan mengakibatkan adanya lembah curam akibat erosi vertikal yang tinggi terutama bagian barat yang disusun oleh tuf pasiran yang tidak resistan. Sedangkan bagian timur peran faktor litologi ikut menjadi penyebab relief topografinya nampak kasar. Bentuk topografi seperti ini yang kemudian akan tercermin dari kurva hipsometrik stadia menengah/remaja.

Analisis asimetri cekungan pengaliran (AF) memperlihatkan adanya perbedaan nilai AF antara blok utara dengan blok selatan. Rata-rata nilai AF (>60) diblok selatan lebih banyak daripada blok utara. Hal ini tentunya berhubungan dengan gaya pengangkatan pada blok selatan dan proses penurunan pada blok utara yang menyebabkan kemiringan DAS pada blok selatan lebih besar.

Analisis perbandingan lebar lembah dan tinggi lembah (Vf) memperlihatkan

adanya penurunan nilai Vf yang semakin kecil ketika sungai melewati gawir

sesar. Perubahan nilai Vf

ini akibat pergerakan turun pada blok utara terhadap blok selatan sehingga sungai akan mengejar base-level dengan mengerosi ke dasar sungai (erosi vertikal) pada blok selatan. Erosi vertikal ini menyebabkan lembah yang dalam dan curam pada gawir sesar blok selatan.

Analisis nilai indeks gradien panjang sungai memperlihatkan grafik dengan perubahan nilai SL yang besar ketika masih berada dekat dengan hulu. Tetapi kemudian perubahan nilai SL menjadi relatif kecil ketika sungai melewati gawir sesar dan kemudian berubah lagi secara tajam setelah melewati gawir sesar. Hal ini terjadi karena blok utara relatif turun terhadap blok selatan yang menyebabkan

(12)

88

proses sedimentasi yang cukup besar pada blok utara. Hasil sedimentasi ini mengakibatkan bagian yang dekat dengan gawir sesar terlihat lebih datar.

Analisis stratigrafi sagpond memperlihatkan bahwa sagpond yang terbentuk pada blok utara diakibatkan proses pergerakan normal atau gerak turun dari blok utara terhadap blok selatan. Hal ini dibuktikan juga dengan adanya lapisan tufa epiklastik pada sekuen sagpond. Tentunya proses keterdapatan tufa epiklastik berhubungan dengan erosi akibat perbedan kemiringan dan perubahan base-level oleh proses penurunan pada blok utara terhadap blok selatan. Hal ini sedikitnya bersesuaian dengan hasil penelitian Dam (1994) dan Nossin et al (1996) yang menyebutkan bahwa Sesar Lembang merupakan sesar normal dimana blok utara relatif turun terhadap blok selatan.

Selain itu, hasil penelitian ini memperlihatkan adanya kesamaan dengan pendapat Bemmelen (1949) yang menyebutkan Sesar Lembang merupakan sesar normal dengan kemiringan ke arah utara. Tetapi agak berbeda dengan pendapatnya Tjia (1968) yang menyebutkan bahwa pergerakan Sesar Lembang selain mempunyai arah gerak normal juga mempunyai komponen gerak sesar geser (strike-slip).

Hasil penelitian yang relatif baru dari Brahmantyo dan Widarto (2003) dengan pemodelan gayaberat 2-D pada lintasan Parongpong memperlihatkan sesuatu yang baru mengenai Sesar Lembang yang tentunya belum pernah dibahas oleh peneliti sebelumnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Sesar Lembang merupakan sesar normal dengan kemiringan ke utara. Tetapi dari pemodelan tersebut memperlihatkan di bawah Sesar Lembang ternyata ada sesar lain berupa sesar normal yang memiliki kemiringan ke arah selatan. Struktur ini diduga berumur lebih tua dari Sesar Lembang yang memiliki kemiringan ke utara dan berada di atasnya. Sesar Lembang diduga merupakan sesar orde kedua yang mengiringi proses volcano-tektonik gunungapi Sunda (Gambar 5.1). Hal ini tentunya jadi menarik karena keaktifan dan mekanisme Sesar Lembang yang nampak dipermukaan bisa dipengaruhi oleh sesar-sesar yang ada di bawahnya.

(13)

89

Gambar 5.1. Model 2-D bawah permukaan Lintasan Parongpong berdasarkan data gayaberat (Brahmantyo dan Widarto, 2003).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diperkirakan bahwa mekanisme pergerakan Sesar Lembang merupakan hasil pergerakan normal (dip-slip). Walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa pergerakan Sesar Lembang dipengaruhi juga oleh pergerakan sesar geser (strike-slip).

5.3. Segmentasi Sesar Lembang

Berdasarkan hasil perhitungan morfometri terutama kurva hipsometrik dan asimetri cekungan pengaliran (AF) menunjukkan adanya pola yang dapat dijadikan acuan untuk pembagian segmen pada Sesar Lembang. Pola yang tercermin dari kedua metoda tadi tentunya harus dikorelasikan dengan data stratigrafi sagpond, morfologi dan kondisi geologi.

Pola yang dihasilkan kedua metoda di atas (kurva hipsometrik dan nilai AF) jika digabungkan menunjukkan adanya batas pola yang hampir sama pada suatu

D=1.8 D=2.2

D=2.4

D=2.6 Sesar Lembang

(14)

90

lokasi. Kurva hipsometrik pada blok utara bagian barat memperlihatkan stadia menengah/remaja, hal ini ada kesesuaian dengan penampang kemiringan DAS (nilai AF) yang menunjukkan adanya pengangkatan paling besar pada daerah tersebut dan menuju ke timur semakin kecil.

Batas pola yang sama pada metoda kurva hipsometrik dan metoda AF tentunya menjadi data awal dari morfometri yang dapat digunakan dalam analisis penarikan segmen sesar pada Sesar Lembang. Batas ini kemudian digabungkan dengan data stratigrafi sagpond yang kemudian dicocokan dengan kondisi geologi untuk diinterpretasikan dalam penarikan batas segmen sesar.

Analisis stratigrafi sagpond juga memperlihatkan bagian barat blok utara lebih aktif dibandingkan bagian timur. Posisi stratigrafi sagpond yang paling tebal dengan perulangan paleosol yang cukup banyak terdapat pada subdas lokasi 5 sebelah barat lokasi 6. Sedangkan di bagian timur blok utara tidak ditemukan stratigrafi sagpond seperti halnya di bagian barat.

Berdasarkan analisis morfometri yang kemudian digabung dengan data stratigrafi sagpond, dan geologi, maka dapat ditentukan batas segmen pada Sesar Lembang (Gambar 5.3). Penarikan batas segmen sesar ini juga didasarkan pada tingkat aktivitas tektonik di sepanjang Sesar Lembang. Berdasarkan semua korelasi data di atas, maka Sesar Lembang dapat dibagi menjadi dua segmen dengan batas segmen di antara lokasi 6 dan 7. Dari morfologi lokasi ini merupakan lembah yang curam yang dilalui Sungai Cihideung dan berada di sebelah barat Kota Lembang.

(15)

91 N

Gambar 5.2. Batas segmen pada Sesar Lembang yang ditandai dengan garis hitam putus-putus.

Gambar

Gambar 5.1. Model 2-D bawah permukaan Lintasan Parongpong berdasarkan  data gayaberat (Brahmantyo dan Widarto, 2003)
Gambar 5.2.  Batas segmen pada Sesar Lembang yang ditandai dengan garis hitam putus-putus

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan observasi di lokasi penelitian bahwa, yang melatar belakangi sehingga sistem e-tendering digunakan dalam pengadaan barang dan jasa karena

Saat ini di kalangan artis cilik yang sedang naik daun, bekerja dan merelakan hak-haknya sebagai anak seperti rekreasi, istirahat bahkan banyak sekali anak yang berprofesi

Pada umumnya generator dibuat dengan menggunakan magnet permanen dengan 4 kutub rotor, regulator tegangan digital, proteksi erhadap beban lebih, startor eksitasi,

Dalam program opsi saham, suatu perusahaan memberikan kepada karyawan secara perorangan hak kontraktual, atau opsi, yang merupakan untuk membeli suatu jumlah tertentu atas

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka permasalahan yang terkait dengan penelitian ini adalah apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari

Menurut Al – Maqrizi, pencetakan mata uang harus disertai dengan perhatian yang lebih besar dari pemerintah untuk menggunakan mata uang tersebut dalam bisnis

media tersebut membawa konsekuensi yang berbeda-beda dalam teknis aplikasinya, sehingga perancangan logo diharapkan mampu memenuhi tuntutan keragaman aplikasi sehingga perancangan

Dari hasil penelitian yang dilakukan kepada para staf di UOB Buana dan Citibank cabang Kelapa Gading maka dapat disimpulkan: pertama, persepsi staf di kedua bank ini belum