BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berdimensi internasional merupakan hal baru di banyak negara termasuk Indonesia. Sebegitu besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perekonomian suatu negara, sehingga negara-negara di dunia dan organisasi internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menaruh perhatian yang lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini tidak lain karena kejahatan pencucian uang (money laundering) tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi sistem perekonomian, dan pengaruhnya tersebut merupakan dampak negatif bagi perekonomian itu sendiri. Di dalam praktek
money laundering itu diketahui banyak dana-dana potensial yang tidak
dimanfaatkan secara optimal karena pelaku money laundering sering melakukan “steril investment” misalnya dalam bentuk investasi di bidang properti pada negara-negara yang mereka anggap aman walaupun dengan melakukan hal itu hasil yang diperoleh jauh lebih rendah.1
Perkembangan teknologi semakin maju pesat, membawa pengaruh terhadap perkembangan diberbagai sektor, baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, salah satu yang turut berkembang adalah masalah kriminalitas, namun perangkat hukum untuk mencegah dan memberantas kriminalitas itu sendiri
1
Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering di Indonesia (Bandung : BooksTerrace & Library, 2008), hal 1
belum memadai dan masih tertinggal jauh, sehingga berbagai jenis kejahatan baik yang dilakukan perorangan, kelompok ataupun korporasi dengan mudah terjadi, dan menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah yang besar, kejahatan kejahatan tersebut tidak hanya dilakukan dalam batas wilayah suatu negara, namun meluas melintasi batas wilayah negara lain sehingga sering disebut sebagai transnational
crime, dalam kejahatan transnasional harta kekayaan hasil dari kejahatan biasanya
oleh pelaku disembunyikan, kemudian dikeluarkan lagi seolah-olah dari hasil legal.2
Negara Indonesia memiliki banyak faktor yang menguntungkan untuk melakukan money laundering, sehingga tidak ragu negara Indonesia dicap sebagai negara yang tidak koperatif memerangi jenis kejahatan pencucian uang. Antara lain dapat ditunjuk dengan negara Indonesia yang menganut sistem devisa bebas, sistem kerahasiaan bank, negara Indonesia masih membutuhkan likuiditas atau belum adanya perangkat yuridis yang tegas bagi anti pencucian uang. Oleh karena itu pada tahun 2001 tepatnya tanggal 22 Juni 2001 Financial Action Task Force (FATF) memasukkan Indonesia disamping 19 negara lainnya kedalam daftar hitam Non Cooperative Countries or Territories (NCCTs) atau kawasan yang tidak koperatif dalam menangani kasus money laundering. Kesembilan belas negara lain itu adalah Mesir, Rusia, Hongaria, Israel, Lebanon, Filipina, Myanmar, Nauru, Nigeria, Niue, Cook Island, Republik Dominika, Guatemala, St. Kitts and Nevis, St. Vincent dan Grenadines serta Ukraina.3
2
Tb.Irman S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang. Cetakan Pertama (Bandung: MQS Publishing, 2006), hal.1.
3
N.H.T. Siahaan, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan. Cetakan Kedua (Edisi-Revisi). (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal. 2.
Sejalan dengan perkembangan teknologi dan globalisasi di sektor perbankan dewasa ini, banyak bank telah menjadi sasaran utama untuk kegiatan pencucian uang mengingat sektor inilah yang banyak menawarkan jasa instrumen dalam lalu lintas keuangan yang dapat digunakan untuk menyembunyikan/menyamarkan asal usul suatu dana. Dengan adanya globalisasi perbankan, dana hasil kejahatan mengalir atau bergerak melampaui batas yurisdiksi negara dengan memanfaatkan faktor rahasia bank yang pada umumnya dijunjung tinggi oleh perbankan.4
Berdasarkan statistik IMF, hasil kejahatan yang dicuci melalui bank-bank diperkirakan hampir mencapai US $ 1.500 miliar per tahun. Sementara itu menurut Associated Press, kegiatan pencucian uang hasil perdagangan obat bius, prostitusi, korupsi dan kejahatan lainnya sebagian besar diproses melalui perbankan untuk kemudian dikonversikan menjadi dana legal dan diperkirakan kegiatan ini mampu menyerap nilai US $ 600 miliar per tahun.5
Selain itu, menurut Financial Action Task Force (FATF), diperkirakan atas jumlah uang yang dicuci setiap tahun diseluruh dunia dari perdagangan gelap narkoba (illicit drugs trade) berkisar antara US $ 300 miliar dan US $ 500 miliar.6
4
Adrian Sutedi, “Hukum Perbankan : Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger,
Likuidasi, dan Kepailitan”. Cetakan Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 18.
Selanjutnya dikatakan bahwa batas bawah dari perkiraan tersebut, yakni jumlah yang dihasilkan melalui narcotics trafficking, arms trafficking, bank fraud,
5
Yunus Husein. “Money Laundering: Sampai Dimana Langkah Negara Kita”.Dalam
Pengembangan Perbankan, Mei-Juni 2001, hal. 31-40
6
Adrian Sutedi Op. Cit., hal 18 oleh Department of Justice Canada, Solicitor General Canada, hal. 4.
counterfeiting dan sejenisnya melalui money laundering diseluruh dunia yang per
tahun mencapai US $600 miliar.7
Jika negara Indonesia dan negara lainnya tidak menangani money
laundering secara sungguh sungguh, maka lembaga internasional akan tetap
memberikan tindakan punitive approach yang makin keras. Tidak tertutup kemungkinan diberi sanksi berupa hambatan terhadap transaksi perbankan seperti transfer, L/C, pinjaman luar negeri, dan lain lain.
Dalam pandangan umum pencucian uang sering kali hanya dihubungkan dengan bank, lembaga pemberi kredit atau pedagang valas. Namun perlu diketahui bahwa selain produk tradisional perbankan seperti tabungan/deposito, transfer serta kredit pembiayaan, pada kenyataannya produk dan jasa yang ditawarkan juga menarik bagi para pencuci uang. Lembaga keuangan maupun lembaga non keuangan lain yang sering digunakan oleh pencuci uang, dengan melibatkan banyak pihak lain tanpa disadari oleh yang bersangkutan, antara lain Perusahaan Efek, Perusahaan Asuransi dan broker Asuransi, Money Broker, Dana Pensiun dan Usaha Pembiayaan, Akuntan, Pengacara, Notaris, Surveyor, Agen Real Estate, Kasino dan permainan judi lainnya, Pedagang Logam mulia, Dealer barang barang Antik, Dealer Mobil serta penjual barang barang mewah dan berharga.8
Atas dasar inilah baru pada tahun 2002 Indonesia mengeluarkan Undang Undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No. 25 Tahun 2003. Undang Undang ini
7
N.H.T. Siahaan, Op. Cit, hal. 1.
8
juga mengilhami dibentuknya suatu lembaga untuk memberantas tindak pidana pencucian uang yaitu Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Pada Februari 2005 barulah Indonesia berhasil keluar dari NCCTs setelah Indonesia mengeluarkan Undang Undang tersebut diatas dan melakukan upaya upaya lainnya yang sesuai dengan The 40 FATF Recommendation.
Untuk memerangi kegiatan-kegiatan pencucian uang disebuah negara, pada umumnya dibentuk oleh negara itu lembaga khusus yang nama generiknya disebut dengan Financial Inteligence Unit (FIU). Suatu FIU adalah suatu lembaga yang menerima informasi keuangan, menganalisis atau memproses informasi tersebut, dan menyampaikan hasil informasi tersebut kepada otoritas yang berwenang untuk menunjang upaya-upaya memberantas kegiatan pencucian uang. Pada tahun1996, baru ada beberapa saja FIU di dunia, tetapi pada saat ini terdapat 69 yurisdiksi negara yang memiliki FIU diseluruh dunia. Negara-negara yang telah memiliki FIU tergabung dalam apa yang disebut dengan Egmont Group of FIU.9
FIU Indonesia yang dimiliki Indonesia diberi nama Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang bertindak sebagai Pemegang Peranan kunci dari mekanisme pemberantasan tindak pidana Pencucian uang di Indonesia. Untuk pertama kalinya Presiden RI telah menunjuk Yunus Husein dan I Gede Sadguna masing-masing sebagai kepala dan wakil kepala PPATK. PPATK dipermulaannya telah memperoleh bantuan teknis dari AusAID dan USAID. Selain itu pada tanggal 15 Januari 2003 telah ditandatangani perjanjian dengan
9
Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan
Asian Development Bank untuk memperoleh bantuan teknis dalam melaksanakan
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003.
Secara Yuridis memerangi tindak pidana pencucian uang diawali dengan diundangkannya Undang-Undang No.15 Tahun 2002, Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 dan yang terbaru yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PP-TPPU). PPATK merupakan Lembaga independen yang diberi tugas dan wewenang dalam rangka pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Dua tugas utamanya yaitu: mendeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang dan membantu penegakan hukum yang berkaitan dengan pencucian uang dan tindak pidana asal (predicate crimes).
Pemegang peranan kunci dari mekanisme pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Inonesia ada di tangan Pusat Pelaporan Transaksi Analisis Keuangan selanjutnya disingkat PPATK. Karena, jika PPATK tidak menjalankan fungsinya dengan benar, maka efektivitas dari pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) tidak akan tercapai.10
Berdasarkan Pemaparan diatas, kiranya cocok untuk dibahas sejauhmana peran dan tanggung jawab PPATK dalam memberantas pencucian uang (money
laundering), khususnya dalam bidang Perbankan. Oleh karena itu untuk
membahas hal tersebut dipilih judul skripsi ini, yaitu “Analisis Yuridis Peran dan
10
Ivan Yustiavandana, Arman Nefi dan Adiwarman, Tindak Pidana Pencucian Uang Di
Tanggung Jawab PPATK Sebagai Financial Inteligence Unit dalam Sistem Perbankan Indonesia”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas dalam
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan hukum PPATK sebagai financial inteligence unit di Indonesia
2. Bagaimana peran dan tanggung jawab PPATK dalam mencegah tindak pidana pencucian uang dalam sistem perbankan Indonesia
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun maksud dan tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk menjawab permasalahan yang diangkat dalam penulisan tentang analisis yuridis peran dan tanggung jawab PPATK sebagai financial inteligence unit di sistem perbankan Indonesia yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan memahami peraturan perundang-undangan berkenaan dengan kedudukan PPATK sebagai Financial Inteligence Unit. 2. Untuk dapat mengetahui dan memahami peran dan tanggung jawab
PPATK dalam upaya memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang khususnya dalam sistem Perbankan Indonesia.
Manfaat penulisan skripsi ini secara praktis, diharapkan pembahasan terhadap masalah ini akan memberikan penambahan pemahaman dan pandangan yang baru mengenai PPATK dan money laundering dan dapat menjadi pedoman dan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum dan pemerintah dalam mencegah dan memberantas kejahatan money laundering.
Sementara secara akademis sebagai karya Tugas Akhir dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar kesarjanaan yakni Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Disamping itu Skripsi ini juga diharapkan bermanfaat dalam rangka pengembangan khazanah pengetahuan ilmu hukum, khususnya mengenai penegakan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
D. Keaslian Penulisan
Untuk mengetahui orisinilitas penulisan, sebelum melakukan penulisan Skripsi berjudul “Analisis yuridis peran dan tanggung jawab PPATK sebagai financial intekigence unit dalam sistem perbankan Indonesia”, penulis telebih dahulu melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat tertanggal 26 November 2011, menyatakan ada beberapa judul yang memiliki sedikit kesamaan. Adapun judul skripsi tersebut antara lain :
2. Pencegahan dan pemberantasan pencucian uang dengan penerapan Know
Your Costumer Principles pada perbankan Indonesia (Studi kasus pada
Bank Indonesia dan PPATK Jakarta serta PT. Bank Tabungan Negara persero cabang Medan)
3. Kajian hukum terhadap posisi Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan dalam pemberantasan praktek money laundering
Surat dari perpustakaan Fakultas Hukum Usu tersebut kemudian dijadikan dasar bagi Dr Windha SH, M.Hum (ketua departemen hukum Ekonomi) untuk menerima judul yg diajukan oleh penulis, karena substansi yg terdapat dalam skripsi ini dinilai berbeda dengan judul-judul diatas.
Penulis juga menelusuri berbagai judul karya Ilmiah melalui media intenet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, belum ada penulis lain yang pernah mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada, hal itu adalah diluar sepengetahuan penulis dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi ini. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak, maupun media elektronik. Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), bahwa yang dimaksud dengan
Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Sedangkan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PP-TPPU) Pasal 1 angka 1, Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 1 angka 2 UU PP-TPPU menyebutkan bahwa :
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disebut PPATK adalah lembaga Independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.
Pasal 1 angka 7 UU TPPU menjelaskan mengenai Transaksi Keuangan Mencurigakan, yaitu :
a) Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan,
b) Transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai ketentuan Undang undang ini, c) Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
Sedangkan di dalam UU PP-TPPU menjelaskan mengenai Transaksi Keuangan Mencurigakan pada pasal 1 angka 5 yaitu :
a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;
b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau
d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Pasal 1 angka 5 UU TPPU menjelaskan mengenai Penyedia Jasa Keuangan, yaitu setiap orang yang menyediakan jasa dibidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi dan kantor pos.
Didalam Pasal 2 UU PP-TPPU menjelaskan mengenai pengertian dari hasil tindak pidana, yaitu harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana :
b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika;
e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan;
k. cukai;
l. perdagangan orang;
m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan;
y. di bidang kelautan dan perikanan; atau
z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
(2). Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
Financial Inteligence Unit atau yang biasa disingkat FIU adalah lembaga
permanen yang khusus menangani masalah pencucian uang yang keberadaannya diatur secara implisit dalam empat puluh rekomendasi (Forty Reccomendation) dari Financial Action Task Force (FATF). Lembaga ini mutlak perlu dan merupakan salah satu infrastruktur terpenting dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang di tiap negara.
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU PP-TPPU, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang. PPATK adalah suatu lembaga independen yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bertanggung jawab kepada Presiden.
Menurut Undang Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan pasal angka 1, menjelaskan pengertian Perbankan yaitu segala sesuatu yang
menyangkut tentang Bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Penulisan skripsi ini berkisar tentang peran PPATK dalam mengatasi kejahatan money laundering terutama dalam bidang perbankan. PPATK sebagaimana dimandatkan dalam UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PP-TPPU) adalah lembaga independen dibawah Presiden Republik Indonesia yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang serta mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang; 2. pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK;
3. pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan
4. analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
Dalam pergaulan global di masyarakat internasional, PPATK dikenal sebagai Indonesian Financial Intelligence Unit yang merupakan unit intelijen keuangan dalam rezim Anti Pencucian Uang dan Kontra Pendanaan Terorisme (AML/CFT Regime) di Indonesia. PPATK merupakan anggota dari ''The Egmont Group'' yakni suatu asosiasi lembaga FIU di seluruh dunia dalam rangka mewujudkan dunia internasional yang bersih dari tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme sesuai standar-standar terbaik internasional.
F. Metode Penulisan
Untuk melengkapi penulisan skripsi ini ,disini penulis menentukan metode apa yang diterapkan 11
1. Tipe penelitian
agar tujuannya lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan. Dapat diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh, kemudian menjadi penyidikan atau penelitian berlangsung menurut cara tertentu. Adapun metode penelitian hukum yang digunakan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini adalah sebagai berikut :
Tipe penelitian bahan hukum yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan. Pengumpulan bahan dilakukan melalui studi kepustakaan (library research) yakni dengan mempelajari sumber-sumber atau bahan tertulis yang dapat dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini. Metode penelitian hukum normatif ini dipilih adalah mengetahui bagaimana Peran dan Tanggung Jawab PPATK sebagai Financial Inteligence
Unit dalam Pemberantasan Praktik Pencucian Uang dalam Sistem Perbankan
Indonesia.
2. Pendekatan masalah
Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yakni metode penelitian hukum normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan
11
Bambang Wahyu,S.H, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta:Sinar Grafika, 2008) hal 17
perundang-undangan. Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
3. Bahan Hukum
Bahan hukum yang dipergunakan dalam skripsi ini antara lain :
a. Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PP-TPPU), dan Undang-Undang No.7 Tahun 1992 Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil seminar, makalah, tesis maupun pendapat dari kalangan pakar hukum yang terkait dengan pembahasan tentang PPATK dan Money Laundering.
c. Bahan hukum tersier (bahan hukum penunjang) adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum maupun kamus bahasa Indonesia. 4. Prosedur pengumpulan bahan hukum
Pengumpulan bahan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan. Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu mempelajari dan
menganalisis secara sistematis buku-buku, makalah ilmiah, internet, peraturan perundang-undangan, dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
5. Analisis data
Metode penelitian yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu data diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif yang mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif digunakan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif analistis, yaitu data yang akan diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.
Analisis data dilakukan dengan:
1. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.
2. Memilih kaedah-kaedah hukum yang sesuai dengan penelitian.
3. Menarik kesimpulan dengan menjawab setiap permasalahan yang diteliti.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memenuhi makna dan memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain dapat dilihat sebagai berikut :
Terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II: PENGATURAN HUKUM PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Berisi mengenai sejarah dan perkembangan praktik pencucian uang, pengertian pencucian uang, objek pencucian uang, tahapan modus operandi dan akibat yang ditimbulkan dari praktik pencucian uang.
BAB III : FINANCIAL INTELIGENCE UNIT
Berisi mengenai perkembangan Financial Inteligence Unit di Indonesia beserta tugas dan wewenang PPATK, peran PPATK. Dan juga memberikan penjelasan mengenai Lembaga perbankan sebagai sarana pencucian uang, transaksi keuangan yang mencurigakan, dan Sistem pelaporan dalam mekanisme PPATK.
BAB IV: PERAN DAN TANGGUNG JAWAB PPATK SEBAGAI
FINANCIAL INTELIGENCE UNIT DALAM PEMBERANTASAN PRAKTIK PENCUCIAN UANG DALAM SISTEM PERBANKAN INDONESIA
Berisi penjelasan mengenai peran PPATK dalam sistem perbankan Indonesia dan Tanggung Jawab dalam sistem perbankan Indonesia. BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN
Terdiri dari kesimpulan dan saran-saran yang memuat secara keseluruhan hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.