168 BAB V
MODEL PEMBELAJARAN
Pemilihan model mengajar bukan untuk mengubah apa yang telah dimiliki oleh guru, melainkan menambah, melengkapi, dan memperluas variasi gaya mengajar guru. Menurut beberapa hasil wawancara dengan para guru dan berbagai sumber menyatakan bahwa sesungguhnya tidak ada satu model mengajar yang paling cocok untuk semua situasi. Namun dengan adanya pemilihan model yang relevan dengan pertimbangan utama bahwa pemilihan model tersebut sesuai dengan tujuan pengajaran yang ingin dicapai.
Suatu model mengajar dapat diartikan sebagai suatu rencana, pola, atau desain yang digunakan dalam mengatur materi pengajaran dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelas dalam setting pengajaran. Berikut ini akan dideskripsikan alternatif model pembelajaran nilai etika dalam komunikasi fatis masyarakat Bugis Sidenreng Rappang.
A. Deskripsi Alternatif Model Pembelajaran
Alternatif model pembelajaran nilai etika dalam komunikasi fatis masyarakat Bugis Sidenreng Rappang ini dengan menggunakan model role playing (Joyce dkk, 2009: 325) yang menyediakan berbagai macam kondisi yang dapat mendorong peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial serta mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai mahluk yang senantiasa berinteraksi dalam kehidupan masyarakat. Cara yang dikembangkan dalam model ini adalah bermain peran, simulasi, analisis m
endalam nilai sendiri, aktivitas yang mengembangkan sensitivitas, kegiatan di dalam maupun di luar kelas, dan diskusi kelompok.
Peserta didik yang tumbuh dan berkembang di lingkungannya maka akan dibentuk pula oleh budaya terdekatnya, oleh karena itu penanaman etika berbahasa yang sesuai dengan norma yang diterima dalam masyarakat tentunya sangat berperan dalam penanaman karakter pada peserta didik. Hal ini juga telah dirumuskan dalam draft PBKB (2010: 3-4) yang bertujuan mengiternalisasi berbagai kebajikan berupa sejumlah nilai, moral, dan norma yang dapat menumbuhkan karakter dan karakter masyarakat yang hanya dapat dikembangkan dalam lingkungan budaya yang bersangkutan. Uraian tersebut didukung juga oleh pendapat Muhyidin (Bahasa dan Budaya, 2011:216) yang mengungkapkan bahwa bahasa tidak dapat dilepaskan dari budaya karena bahasa merupakan subsistem dari kebudayaan bahkan menjadi bagian terpenting dari kebudayaan. Hal ini menurutnya berimplikasi bahwa mengajarkan bahasa harus pula disertai dengan mengajarkan budaya tempat budaya tersebut hidup.
B. Dasar Pemikiran
Bahasa Bugis sejak ribuan tahun yang lalu digunakan oleh masyarakat sebagai alat komunikasi di Sulawesi Selatan. Dengan demikian, status bahasa Bugis usianya cukup tua. Bahasa Bugis ini menggunakan huruf lontarak yang terdiri dari 23 huruf. Berdasarkan penggolongannya, aksara lontarak tergolong tulisan silabik (suku kata) dan untuk menandai vokalnya diperlukan tanda-tanda tertentu.
Masyarakat Bugis mengenal sebuah istilah yang disebut adeq yaitu sebuah sistem normatif yang mengatur seluruh tata kehidupan masyarakat termasuk aktivitas berbicara sehari-hari. Secara konvensional, setiap individu dalam menyampaikan gagasannya maupun dalam melakukan pembicaraan dengan sesamanya senantiasa berpola. Terkait hal tersebut, maka lahirlah sistem budaya berbahasa dalam masyarakat Bugis yang dapat menakar santun atau tidaknya ucapan, sikap, dan tindak berbahasa seseorang.
Etika berbahasa adalah sistem tindak laku bahasa menurut budaya dimana bahasa itu digunakan oleh masyarakat penuturnya. Dalam masyarakat Bugis dikenal adanya sebuah istilah yang disebut adeq yaitu sebuah sistem normatif yang mengatur seluruh tata kehidupan masyarakat termasuk aktivitas berbicara sehari-hari.
Selain itu, etika berbahasa ini mengatur bagaimana pemilihan bahasa yang digunakan kepada seseorang dalam keadaan tertentu yang berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat Bugis. Dalam berkomunikasi etika berbahasa masyarakat Bugis sangat mengutamakan penghargaan dan penghormatan yang tercermin dalam konsep sipakatau dan sipakalebbi kepada sesama manusia. Selain itu, penggunaan pemarkah-pemarkah kesantunan ini disertai dengan intonasi dan sikap fisik yang beretika adalah ajaran yang sangat penting digunakan dalam berkomunikasi. Etika berbahasa dalam masyarakat Bugis tercermin dari sikap berbahasa yang santun dalam berkomunikasi sehingga tetap terwujud interakasi yang harmonis di dalam masyarakat.
Etika dalam berbahasa inilah yang akan dijadikan salah satu bahan ajar dalam membelajarkan siswa mengenai etika berwawancara. Sebagai identitas budaya, etika berbahasa ini juga merupakan kearifan lokal yang perlu dilestarikan sampai kapan pun. Model pembelajaran ini akan mengajarkan etika berbahasa yang ada dalam masyarakat Bugis, yaitu bagaimana pemilihan bahasa yang sopan ketika berbicara dengan seseorang, bagaimana intonasi suara yang digunakan serta sikap fisik yang ditampilkan ketika berbicara dengan orang lain.
Penginternalisasian nilai etika dalam komunikasi fatis masyarakat Bugis Sidenreng Rappang dalam sebuah model pembelajaran merupakan salah satu bagian dari pemertahanan budaya bangsa dengan menggali nilai-nilai hidup yang baik dalam etika bertutur.
C. Latar Belakang Filosofis
Bahasa Bugis adalah salah satu bahasa mayor yang wilayah pemakaiannya merupakan jumlah terbesar di Sulawesi Selatan. Bahasa Bugis sebagai salah satu di antara sekian banyak bahasa daerah yang berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah, alat untuk mengungkapkan perasaan, dan bahasa pengantar pada tingkat permulaan sekolah dasar. Bahasa Bugis memiliki sejarah serta tradisi yang cukup tua dan merupakan bahasa mayor yang wilayah pemakaiannya merupakan jumlah terbesar di Sulawesi Selatan.
Pada umumnya dalam komunikasi fatis masyarakat Bugis Sidenreng Rappang terkait dengan etika penggunaannya dimarkahi oleh bentuk penanda kesantunan seperti penggunaan kata ganti yang halus sebagai penanda etika
berbahasa seperti kata ganti orang kedua tunggal, -kik, kata ganti milik orang pertama tunggal, -tak, dan kata ganti orang kedua tunggal–nik adalah penanda kesantunan dalam berbahasa. Kata ganti kedua tunggal -kik dan –nik mengikut pada kata kerja. Kata tersebut tidak mempunyai makna jika berdiri sendiri. Kehadirannya dalam setiap kata merupakan sebagai bentuk ragam halus penanda kesopanan. Sementara kata ganti kedua tunggal –tak, merupakan kata ganti yang mengikut pada kata benda. Seperti halnya dengan kata -kik dan –nik, kata -tak sebagai rangkaian kata yang tak mempunyai arti bila ia berdiri sendiri atau disebut juga sebagai salah bentuk morfem terikat. Kehadiran kata –tak akan mempengaruhi setiap bentuk tutur khususnya dalam berkomunikasi dengan sesama. Artinya kehadiran kata tersebut akan menjadi penanda kesopanan bagi masyarakat penutur bahasa Bugis Sidenreng Rappang. Berdasarkan uraian tersebut maka penginternalisasian nilai-nilai tersebut berupa penggunaan kata sapaan atau kata ganti yang sesuai kepada orang lain sebagai penanda identitas sosial yang sesuai digunakan ketika bertutur.
Bahasa sebagai alat untuk berinteraksi sangat menentukan tercapainya komunikasi yang baik. Etika atau tata cara berbahasa yang sesuai dengan norma dan budaya masyarakat di mana bahasa itu digunakan. Seseorang yang mampu berkomunikasi dengan baik tentu saja mengetahui bagaimana seharusnya berbahasa dengan orang lain yang menjadi mitra tuturnya dalam berinteraksi.
D. Landasan Estetis
Mata pelajaran bahasa Indonesia adalah mata pelajaran yang termasuk dalam mata pelajaran rumpun estetika yang dimaksudkan untuk meningkatkan sensitifitas, kemampuan mengespresikan keindahan dan harmoni.
Kemampuan mengapresiasi dan kemampuan mengepresikan keindahan serta harmoni mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual
sehingga mampu menikmati dan mensyukuri hidup, maupun dalam kehidupan kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan kebersamaan
yang harmonis. Hal itu dilakukan dengan mengaplikasikan nilai-nilai yang baik dalam interaksi seperti etika bertutur atau tata cara serta perilaku berbahasa yang santun dalam interaksi.
E. Orientasi Model
Salah satu cara pembelajaran nilai etika komunikasi fatis masyarakat Bugis Sidenreng Rappang pada peserta didik adalah dengan bermain peran atau dengan istilah role playing. Berdasarkan hasil analisis dan ditemukannya nilai berupa yaitu (1) Nilai meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan selalu menaati ajaran-Nya, (2) Nilai memiliki dan mengembangkan sikap toleransi, (3) Nilai memiliki rasa menghargai diri sendiri, (4) Nilai memiliki rasa keterbukaan, (5) Nilai Mampu mengendalikan diri, (6) Nilai mampu berpikir positif, (7) Nilai memiliki menumbuhkan cinta dan kasih sayang, (8) Nilai memiliki kebersamaan, (9) Nilai memiliki rasa kesetiakawanan, (10) Nilai saling menghormati. (11) Nilai Memiliki tata krama dan sopan santun, (12) Nilai memiliki rasa malu, (13) menumbuhkan kejujuran. Nilai-Nilai inilah yang akan dijadikan landasan
pembelajaran keterampilan berbicara khususnya dalam kompetensi dasar berwawancara dengan narasumber dari berbagai kalangan dengan memperhatikan etika berwawancara.
Salah satu hal yang mendasari pembelajaran dan penanaman nilai tersebut sebagai bagian dari pendidikan karakter pada pola perilaku peserta didik dalam berinteraksi sebagai salah satu hal yang perlu dimiliki bagi setiap insan intelektual. Sikap dan perilaku seperti sopan santun dalam bertindak dan bertutur kata terhadap orang lain tanpa menyinggung atau menyakiti serta sesuai tata cara yang berlaku sesuai dengan norma, budaya, dan adat istiadat.
Inti pengajaran model ini mengajarkan nilai-nilai moral yang baik dalam etika berbahasa yang merupakan inti dari tingkah laku yang dapat memberikan petunjuk dan memahami petunjuk-petunjuk orang lain. Efek langsung merupakan pemahaman terbaik mengenai sikap empati terhadap perbedaan-perbedaan nilai moral saat berinteraksi dengan orang lain. Efek langsung lain adalah strategi untuk memecahkan konflik dalam model yang tetap menghargai perbedaaan sudut pandang tanpa mengabaikan kebutuhan adanya nilai-nilai kemanusian universal.
Dalam level yang sangat sederhana, model ini dimainkan dalam beberapa
tindakan berikut; menguraikan sebuah masalah, memeragakan, dan
mendiskusikan masalah tersebut. Beberapa siswa bertugas sebagai pemeran; sedang yang lain sebagai pengamat. Seseorang menempatkan dirinya dalam posisi orang lain dan mencoba berinteraksi dengan orang lain yang juga kebagian tugas sebagai pemeran. Semua rasa empati, simpati, kemarahan dan kasih
sayang meruapakn bagian kehidupan juga dilibatkan dalam praktik pemeranan ini. Hal-hal emosional ini, sebagaimana kata-kata dan tindakan-tindakan, menjadi bagian dari analisis selanjutnya. Ketika peragaan selesai, pengamat kemudian terlibat dalam upaya mengetahui beberapa hal, misalnya bagaimana bentuk perilaku dalam interaksi dalam situasi tertentu.
Esensi role playing adalah keterlibatan partisipan dan pengamat dalam situasi masalah yang sebenarnya dan adanya keinginan untuk melibatkan resolusi damai serta memahami apa yang muncul dari keterlibatan tersebut. Proses role playing berperan untuk (1) mengeksplorasi perasaan siswa, (2) mentransfer dan mewujudkan pandangan mengenai perilaku, nilai, dan persepsi siswa, (3) mengembangkan skill pemecahan masalah dan tingkah laku, (4) mengeksplorasi materi pelajaran dalam cara yang berbeda.
Tujuan-tujuan ini mencerminkan beberapa asumsi mengenai proses pembelajaran dalam role playing. Model ini secara implisit menganjurkan sebuah pengalaman yang berbasis pembelajaran yang terjadi ‘di sini dan saat ini’ . Model ini berpandangan bahwa ada kemungkinan untuk menciptakan sebuah analogi yang asli dan sama dengan masalah kehidupan yang nyata dan lewat pengulangan kejadian ini, siswa bisa memahami dan merenungkan ‘sampel’ kehidupan. Oleh karena itu, pemeranan memunculkan respons emosional dan perilaku asli yang merupakan ciri khas masing-masing siswa.
Role playing versi Shaftel (Joyce, 2009:329) menekankan aspek intelektual dan emosional, yakni analisis dan diskusi dalam pemeranan yang dianggap sama pentingnya dengan role playing itu sendiri. Pendidik dalam model
ini, harus mengarahkan bagaimana siswa mengenali dan memahami perasaannya masing-masing serta menyadari bahwa perasaan mereka mempengaruhi perilaku yang mereka ditampakkan.pada dasarnya, emosi dan gagasan dapat digiring menuju sebuah kesadaran yang selanjutnya dikembangkan dalam kelompok. Reaksi kolektif dari sesama anggota kelompok bisa memunculkan gagasan baru dan memberikan arah menuju perubahan dan pertumbuhan.
Secara psikologis, model ini secara tersembunyi melibatkan perilaku pribadi, nilai, dan sistem kepercayaan siswa untuk menggabungkan proses pengembangan yang dilakukan secara spontan dengan analisis yang dilakukannya. Setiap individu bisa memperoleh takaran kontrol dalam sistem kepercayaan mereka jika mereka mengembangkan nilai dan perilaku serta mengujinya saat berinteraksi dengan orang lain. Analisis semacam ini bisa membantu mereka mengevaluasi perilaku, nilai, dan konsekuensi kepercayaan mereka sendiri, sehingga hal ini memudahkan mereka untuk mengembangkan semua hal tersebut. Kata ‘roles’ diartikan sebagai peran yang selanjutnya dimaknai sebagai rangkaian pesan, kata-kata, dan tindakan. Menurut Chesler dan Fox role merupakan sebuah alat yang unik dan lumrah dalam berhubungan dengan orang lain (Joyce, 2008:330). Rumusan pengertian ini menandai bahwa konsep pemeranan dalam pembelajaran bisa dengan mudah digunakan.
Konsep peran dalam model ini akan mengajarkan kepada siswa untuk menyadari serta bagaimana cara memainkannya dengan memosisikan diri sebagai orang lain, dan mencoba memikirkan apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Namun role playing juga sangat membutuhkan kemampuan guru
untuk memanfaatkan situasi permasalahan dengan lingkungan peserta didik untuk mendorong siswa untuk bertindak, lalu melakukan diskusi untuk bertindak.
Shaftel (Joyce, 2008:332) berpendapat bahwa role playing terdiri dari sembilan langkah:
1) Memanaskan suasana kelompok
2) Memilih partisipan
3) Mengatur setting tempat kejadian
4) Menyiapkan pengamat
5) Pemeranan
6) Diskusi dan Evaluasi
7) Memerankan kembali
8) Berdiskusi
9) Saling berbagi dan mengembangkan pengalaman
Masing-masing langkah dan tahap ini memiliki tujuan khusus yang akan menambahkan ‘kekayaan’ hasil model ini serta membantu siswa untuk fokus pada aktivitas pembelajaran. Langkah-langkah di atas dapat memastikan bahwa setiap tahapan telah mempersiapkan siswa dengan perannya masing-masing, memahami tujuan dari pemeranan itu, dan mengadakan diskusi yang tidak hanya merupakan ajang reaksi tetapi juga untuk tujuan lain yang juga sangat penting yaitu bagaimana etika dalam perilaku berbahasa dalam interaksi sosial, serta mengkaji tentang nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Sehubungan dengan pembelajaran keterampilan berbicara dengan mengelaborasi nilai-nilai etika dalam komunikasi fatis masyarakat Bugis
Sidenreng ini dengan memfokuskan pada nilai tata krama dan sopan santun berupa bentuk pemilihan bahasa, intonasi, sikap fisik (kinestik) yang dipilih dalam pemeranan.
Melalui pemeranan, masing-masing individu yang ditunjuk sebagai model akan menghayati perasaannya dan penilaian tarhadap diri mereka sendiri. Sedang rekan yang lainnya juga akan merasakan dan memberikan penilaiaan mengenai perilaku sopan yang dimunculkan dan bisa digunakan dalam interaksi sosial.
G. Model Mengajar 1. Sintaksis
Model role playing ini memiliki sembilan tahap sebagai berikut.
a) Memanaskan Suasana Kelompok
Mengidentifikasi dan memaparkan masalah
Menjelaskan masalah
Menafsirkan masalah
Menjelaskan role playing
Pada tahap ini guru mengemukakan masalah yang diangkat dari kehidupan sehari-hari pesmerta didik yang ada kaitannya dengan dunia mereka. Sehingga diharapkan mereka ikut merasakan masalah itu hadir dihadapan mereka dan memiliki hasrat kuat untuk mengetahui bagaimana masalah itu dipecahkan. Adapun pertimbangan dalam memilih masalah yang akan diperankan, yaitu, (1) actual, hangat, (2) langsung menyangkut kehidupan peserta didik, (3) menarik
dan memotivasi rasa ingin tahu, (4) problematik dan memungkinkan berbagai alternatif pemecahan diajukan.
Tahap ini lebih banyak dimaksudkan untuk memotivasi peserta didik agar tertarik pada masalah. Keberhasilan bermain peran banyak ditentukan oleh tahap awal ini.
b) Memilih Partisipan atau Pemeran
Menganalisis peran
Memilih peran yang akan melakukan peran
Pada tahap ini guru dan peserta didik melukiskan berbagai karakter yang akan diperankan. Penggambaran karakter itu didasarkan atas tuntutan cerita menurut persepsi guru dan peserta didik. Guru dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menggunakan karakter yang bagaimanakan yang dikehendaki atau sesuia dengan apa yang dirasakan.
c) Mengatur Setting
Mengatur sesi-sesi tindakan
Kembali menegaskan peran
Lebih mendekat pada situasi yang bermasalah
Pada tahap ini guru mengatur bagaimana setting atau tempat proses pelaksanaan model ini dengan pertimbangan waktu keefektifan. Selain itu mengajuakn tawaran kepada peserta didik yang akan menjadi pemeran dengan tidak memaksa. Misalnya seorang peserta didik telah menyatakan diri secara sukarela, maka guru dapat memanfaatkan ‘jasa’ siswa tersebut untuk memotivasi
rekannya dengan mengatakan ‘siapa lagi yang akan mendampingi rekannya?” atau “Coba tunjuk siapa yang akan menjadi pendampingmu?”.
d) Mempersiapkan pengamat
Memutuskan apa yang akan dicari
Memberikan tugas pengamatan
Keterlibatan pengamat dalam model ini sangat dibutuhkan sehingga semua siswa turut mengalami dan menghayati peran yang dimainkan secara aktif serta mendiskusikannya. Agar terlibat, pengamat perlu dipersiapkan dengan baik.
Shaftel & Shaftel (Dahlan, 1990: 131) mengemukakan bahwa pengamat berlu diberi tugas menilai sejauh mana peran yang dimainkan cocok dengan masalah yang sesungguhnya dan apakah pemeran cukup menghayati peran yang dimainkannya dan nilai-nilai apa yang ditemukan dalam pemeranan tersebut.
e) Pemeranan
Memulai role play
Mengukuhkan role play
Menyudahi role play
Pada tahap ini pemeran mulai bereaksi secara spontan. Mereka berusah memerankan setiap peran itu seakan-akan hal itu nyata mereka alami. Kemungkinan proses bermain peran ini tidak berjalan mulus namun hal itu lazim dalam sebuah pembelajaran. Pemeranan tidak perlu lama dengan menyesuaikan pola-pola perilaku yang dikehendaki. Atau ruang lingkup cerita telah terangkum dalam pemeranan.
Mereview pemeranan (kejadian, posisi, kenyataan)
Mendiskusikan fokus-fokus utama
Mengembangkan pemeranan selanjutnya
Manakala pemeran dan pengamat telah terlibat dalam pemeranan, baik secara intelektual maupun emosional maka tidak akan begitu sulit untuk melakukan diskusi. Dengan melontarkan sebuah pertanyaan, para siswa akan terpancing untuk mengajukan pendapatnya. Spontanitas diskusi ini hanya akan terjadi jiak siswa mengerti, merasakan, dan menghayati apa yang baru perankan.
g) Memerankan Kembali
Memainkan peran yang diubah, memberi masukan atau alternatif perilaku
dalam langkah selanjutnya.
Dari diskusi dan evaluasi maka akan muncul gagasan mengenai alternatif-alternatif pemeranan. Maka pemeranan ulang dilakukan, dan mungkin ada perubahan karakter yang dieprankan. Perubahan yang terjadi adalah pemecahan masalah yang ditemukan oleh siswa yang telah beroleh pengalaman
h) Diskusi dan evaluasi
Sebagaimana dalam tahap enam
Tahap ini dimaksudkan untuk mengkaji kembali hasil pemeranan ualng. Diskusi dan evaluasi berlangsung seperti pada tahap enam tetapi pada tahap ini pemecahan masalah telah jelas. Para siswa menyetujui cara tertentu untuk memecahkan masalah.
i) Berbagi dan menggeneralisasi pengalaman
Menghubungkan situasi yang bernasalah dengan kehidupan di dunia nyata
serta masalah-masalah yang baru muncul. Menjelaskan prinsip umum dalam tingkah laku.
Tujuan pokok bermain peran ialah membantu siswa untuk memperoleh pengalaman-pengalaman berharga dalam hidupnya melalui aktivitas interaksionla dengan teman-temannya dengan bercermin pada orang lain untuk lebih memahami diri dan lingkungan sekitarnya. Tujuan ini berimplikasi pada terjadinya tukar-menukar pengalaman.
2. Sistem Sosial
Sistem sosial dalam model cukup terstruktur. Guru memiliki tanggung jawab paling tidak pada awal permainan, untuk memulai tahap-tahap dan membimbing siswa melalui aktivitas dalam tiap tahap. Guru harus menanamkan kualitas dan kepercayaan antara dirinya dan siswa-siswanya. Dalam model ini, intervensi guru perlu dikurangi manakala bermain peran telah memasuki tahap pemeranan dan diskusi. Pada tahap ini, siswalah yang lebih banyak aktif.
3. Prinsip-Prinsip Reaksi
1) Ada lima prinsip reaksi yang telah dirumuskan dalam model ini, yaitu:
2) Guru harus menerima semua respons dan saran siswa dengan cara yang terkesan tidak menghakimi.
3) Guru membantu siswa mengeksplorasi berbagai sisi mengenai situasi
4) Guru meningkatkan kesadaran siswa tentang pandangan serta perasaan mereka dengan cara membuat refleksi, memparafrase, dan menyimpulkan respon-respon siswa.
5) Guru menggunakan konsep peran, dan menekankan ada banyak cara untuk memainkan peran
6) Guru menekankan bahwa ada banyak alternatif untuk memecahkan sebuah masalah
4. Sistem Penunjang
Materi yang ada dalam model ini bisa diambil dari situasi nyata yang ada dalam kehidupan siswa atau berbasis pengalaman. Situasi ini akan membantu siswa dalam membentuk pengarahan peran. Pengarahan ini akan menggambarkan peran atau perasaan masing-masing karakter. Misalnya pemeranan dalam situasi ketika siswa akan melakukan wawancara dengan petani di sawahnya, pedagang di pasar, pegawai rumah sakit, pedagang kaki lima di rumah sakit, guru di sekolah, sopir angkutan, tukang ojek, dan lain-lain.
5. Penerapan Model
Model role playing adalah model yang serbaguna dan dapat diterapkan dalam beberapa sasaran pembelajaran yang terbilang penting. Melalui role playing, dapat meningkatkan kemampuannya dalam mengenali dan memperhitungkan perasaannya sendiri dan perasaan orang lain, mereka bisa memiliki perilaku baru dalam menghadapi situasi yang baru dan telah mempunyai skill dalam memecahkan masalah.
Selain itu, model ini bisa merangsang timbulnya aktivitas. Karena siswa menikmati tindakan dan pemeranan, mereka akan lupa bahwa materi role playing adalah salah satu sarana untuk mengembangkan materi instruksional. Level-level akan membantu siswa untuk mengekspos nilai-nilai, perasaan, solusi masalah, dan tingkah laku yang ada dan terpendam dalam diri siswa.
Pengelaborasian nilai etika komunikasi fatis masyarakat Bugis Sidenreng Rappang dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, khususnya dalam keterampilan berbicara dengan kompetensi dasarnya berupa kegiatan berwawancara dengan Informan dari berbagai kalangan dengan memperhatikan etika berwawancara.
Pemeranan akan mengevaluasi bentuk-bentuk etika yang ditampilkan seperti bagaimana membuka atau mengawali pembicaraan dengan Informan, pemilihan kalimat yang beretika, bagaimana mempertahankan komunikasi, penggunaan sapaan-sapaan yang santun kepada Informan dengan strategi yang berbeda (berdasarkan jarak sosial, konteks sosial, atau latar belakang sosialkultural yang dimunculkan dalam pemeranan) pemilihan kalimat yang digunakan ketika akan menutup pembicaraan untuk menjaga kesopansantunan dalam komunikasi sebagai bagian dari kompetensi berbicara.
Dalam penerapan model ini (Joyce, 2009: 343) guru bisa mengembangkan tahapan-tahapan yang mendukung fokus terhadap situasi yang telah dipilih. Tahapan-tahapan itu sebagai berikut.
a) Perasaan
(1) Meneliti perasaan diri sendiri (2) Meneliti perasaan orang lain
(3) Bertindak atau melaksanakan sesuatu
(4) Memainkan peran utama untuk mengubah persepsi orang lain dan persepsi
pribadi
b) Perilaku, Nilai, dan Persepsi
(1) Mengenai nilai kebudayaan dan bagian-bagian kebudayaan
(2) Memperjelas dan mengevaluasi nilai serta konflik dalam sebuah karakter c) Perilaku dan Skill Pemecahan Masalah
(1) Terbuka pada semua kemungkinan solusi
(2) Kemampuan mengenali sebuah masalah
(3) Kemampuan mengembangkan solusi alternatif
(4) Kemampuan mengevaluasi konsekuensi bagi dirinya sendiri dan orang lain
mengenai alternatif solusi suatu permasalahan
(5) Mengalami konsekuensi-konsekuensi dan membuat keputusan akhir
berdasarkan beberapa pertimbangan beberapa konsekuensi ini (6) Menganalisis kriteria dan asumsi dibalik semua alternatif yang ada (7) Mempelajari tingkah laku yang baru
d) Bahan Bahasan
(1) Perasaan partisipan
(2) Realitas historis: kritik sejarah, dilema, dan keputusan.
Tahapan-tahapan di atas bisa membantu guru dalam memfokuskan hal-hal yang ada sesi role playing. Bermain peran dalam pembelajaran merupakan usaha untuk memecahkan masalah melalui peragaan dan diskusi. Untuk kepentingan tersebut, sejumlah peserta didik sebagai pemeran dan lainnya sebagai pengamat.
Seorang pemeran harus menghayati peran yang dimainkannya. Melalui peran, peserta didik berinteraksi dengan orang lain yang juga membawakan peran tertentu sesuai dengan tema yang dipilih.
Karakater-karakter yang diperankan akan memberikan masukan sebagai bahan materi yang akan didiskusikan. Proses evaluasi akan terjadi dalam pengamatan peserta didik, berdasarkan nilai etika dalam komunikasi fatis masyarakat Bugis Sidenreng misalnya bagaimana pemeran memilih bahasa, intonasi yang digunakan saat berbicara, serta bagaimana bentuk kinestetik dalam interaksinya dengan pemeran yang lain.
Selama pembelajaran berlangsung, setiap pemeranan dapat melatih sikap empati, simpati, rasa benci, marah, senang, dan peran lainnya. Pemeran tenggelam dalam peran yang dimainkannya sedangkan pengamat melibatkan dirinya secara emosional dan berusaha mengidentifikasikan perasaan dengan perasaan yang tengah bergejolak dan menguasai pemeranan.
Pada pembelajaran bermain peran, pemeranan tidak dilakukan secara tuntas sampai masalah dapat dipecahkan. Hal ini dimaksudkan untuk mengundang rasa kepenasaran peserta didik yang menjadi pengamat agar turut aktif mendiskusikan dan mencari jalan keluar. Dengan demikian, diskusi setelah bermain peran akan berlangsung hidup dan menggairahkan peserta didik.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pemodelan ini yaitu pemilihan situasi permasalahan dengan mempertimbangkan (1) usia dan tingkat perkembangan siswa, (2) tema-tema nilai (semisal kesantunan, kejujuran, dan tanggung jawab),
(3) latar belakang kebudayaan, kompleksitas suatu permasalahan, sensivitas topik, dan pengalaman siswa dengan role playing. Secara umum, ketika siswa mengalami role playing dan mengembangkan sebuah kekompakan kelompok serta dukungan satu sama lain, juga dengan adanya hubungan yang baik dengan guru, maka topik itu akan memiliki nilai sensivitas lebih tinggi.
6. Dampak Instruksional dan Dampak Pengiring
Role playing diatur secara khusus untuk mendidik siswa dalam (1) analisis nilai dan perilaku masing-masing individu, (2) pengembangan strategi-strategi dalam memecahkan masalah interpersonal dan personal, (3) pengembangan rasa empati terhadap orang lain. Sedangkan dampak pengiringnya adalah pemerolehan informasi mengenai masalah sosial dan nilai, sebagaimana dalam mengungkapkan opini seseorang.
7. Hasil Angket
Berdasarkan hasil angket yang diberikan kepada 25 guru bahasa Indonesia yang terbagi di lima kecamatan, secara umum menyetujui model Role Playing digunakan untuk menanamkan perilaku bahasa yang beretika yang karena merupakan nilai-nilai luhur yang berasal dari budaya masyarakat Bugis sendiri.
Menurut mereka, konsep pemeranan dalam model ini dapat membangkitkan suasana pembelajaran dengan menekankan aktivitas yang bertumpu pada siswa adalah hal yang sangat menyenang dan akan melatih kemampuan berbicara dan berinteraksi.
Model Role Playing yang menyediakan situasi-situasi yang telah ada dalam lingkungan peserta didik sehingga secara tidak langsung memberikan informasi mengenai masalah-masalah sosial, termasuk etika dalam perilaku berbahasa.
SILABUS
Nama Sekolah : MTs
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : VIII/I
Standar Kompetensi : Mengungkapkan berbagai informasi melalui wawancara dan persentasi laporan
Kompetensi Dasar : Berwawancara dengan Informan dari berbagai kalangan dengan memperhatikan etika berwawancara
Waktu : 6 x 40 Menit (2 x Pertemuan)
A. MATERI PEMBELAJARAN
• Hal-hal yang diperlukan dalam kegiatan wawancara
• Nilai-Nilai etika dalam komunikasi fatis Masyarakat Bugis Sidengreng Rappang
• Sistematika penginternalisasian nilai-nilai etika komunikasi fatis masyarakat Bugis Sidenreng Rappang
• Fungsi Sosial Komunikasi Fatis
B. INDIKATOR
• Mampu membuat daftar pokok pertanyaan untuk wawancara
• Mampu melakukan wawancara dengan narasumber dari berbagai aklangan
dengan memperhatikan etika berwawancara dengan mengaplikasikan nilai etika dalam komunikasi fatis masyarakat Bugis Sidenreng Rappang.
C. KEGIATAN PEMBELAJARAN
• Mendengarkan wawancara untuk bertanya jawab tentang etika
berwawancara
• Menentukan narasumber yang akan diwawancarai
• Menentukan topic wawancara
• Membuat daftar pertanyaan untuk wawancara
• Melakukan wawancara dengan narasumber dari berbagai kalangan
• Mencatat pokok-pokok hasil wawancara
D. PENILAIAN • Jenis Tagihan: 1. Tugas Individu 2. Tugas Kelompok • Bentuk Instrumen 1. Tes Uraian 2. Tes Simulasi • Sumber Belajar 1. Buku Teks 2. Contoh wawancara 3. Narasumber 4. Rekaman
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Nama Sekolah : MTs
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : VIII/I
Standar Kompetensi : Mengungkapkan berbagai informasi melalui wawancara dan persentasi laporan
Kompetensi Dasar : Berwawancara dengan Informan dari berbagai kalangan dengan memperhatikan etika berwawancara
Waktu : 6 x 40 Menit (2 x Pertemuan)
A. Tujuan Pembelajaran
Mampu melakukan wawancara dengan Informan dari berbagai kalangan dengan mempertimbangkan kelengkapan isi pertanyaan (kesesuaian dan kreativitas), pemilihan bahasa, intonasi, sikap fisik (kinesik) yang santun dalam kegiatan berwawancara)
B. Materi pembelajaran
Contoh-contoh wawancara
Pembelajaran nilai-nilai etika dalam komunikasi fatis masyarakat Bugis Sidenreng Rappang berupa nilai yaitu nilai meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan selalu menaati ajaran-Nya, nilai memiliki dan mengembangkan sikap toleransi, nilai memiliki rasa menghargai diri sendiri, nilai memiliki rasa keterbukaan, nilai mampu mengendalikan diri, nilai mampu berpikir positif, nilai memiliki menumbuhkan cinta dan kasih sayang, nilai memiliki kebersamaan, nilai memiliki rasa kesetiakawanan, nilai saling menghormati, milai Memiliki tata krama dan sopan santun, nilai memiliki rasa malu, dan nilai menumbuhkan kejujuran yang diaplikasikan dalam langkah-langkah etika berwawancara sebagai berikut.
1. Mengucapkan salam kepada narasumber;
2. Menggunakan sapaan hormat atau sapaan yang sesuai,atau kata
ganti yang sesuai dengan indentitas sosial narasumber;
3. Menjelaskan maksud dan tujuan wawancara;
4. Menggunakan bahasa yang sesuai dengan etika berbahasa
menurut norma budaya.
5. Meminta kesediaan narasumber tanpa adanya unsur paksaan
(menggunakan kata seperti: mohon, maaf dan lain-lain);
6. Mengatur intonasi suara serta sikap fisik yang santun ketika melakukan wawancara;
7. Mengucapkan kata terima kasih saat mengakhiri wawancara disertai cara yang beretika sesuai dengan norma budaya.
Penjelasan mengenai fungsi sosial nilai etika penggunaan
komunikasi fatis dalam interaksi sosial.
C. Metode Pembelajaran
Inkuiri
Pemeranan (pemodelan)
Diskusi
Pemberian Tugas
D. Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran
Pertemuan Pertama
1. Kegiatan Awal
a. Guru mengondisikan kelas dan mengadakan appersepsi
menggali pengalaman yang pernah dialami siswa dalam kaitannya dengan materi
b. Guru menjelaskan tentang indikator hasil belajar yang akan dicapai
c. Guru memberikan motivasi kepada siswa dengan
menceritakan kisah yang inspiratif yang berkaitan dengan materi. Guru mengelompokkan siswa menjadi pemeran dan
pengamat dengan memilih salah konsep pemeranan yang bisa disetting di kelas dengan memilih situasi permasalahan (mengaplikasikan tahapan-tahapan role playing menurut Shaftels) misalnya situasi ketika siswa akan melakukan wawancara dengan petani di sawahnya, pedagang di pasar, pedagang kaki lima, pegawai rumah sakit/puskesmas, guru di sekolah, sopir angkutan, tukang ojek, dll.
2. Kegiatan Inti
a. Kelompok pemeran mendemonstrasikan peran yang telah
diberikan, kelompok pengamat mengamati dengan cermat (guru menentukan dua kelompok memerankan kegiatan wawancara dengan Informan dengan memberikan kebebasan berdialog, siswa yang lain sebagai kelompok pengamat mengamati pemeranan yang dilakukan oleh rekannya)
b. Siswa dan guru bertanya jawab tentang persepsi siswa mengenai perilaku-perilaku karakter yang diperankan oleh
rekan-rekannya (etika/ kesantunan dalam kegiatan
berwawancara, berupa pemilihan bahasa, intonasi suara, dan sikap fisik (kinestik)
c. Siswa mendiskusikan nilai-nilai etika dalam perilaku karakter yang diperankan (berupa cara-cara yang santun untuk digunakan dalam kegiatan wawancara, misalnya membuka, menyapa, mengukuhkan, serta menutup)
3. Kegiatan Akhir
a. Siswa dan guru mengadakan refleksi dengan menyimpulkan kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan
b. Siswa mendapat tugas secara berkelompok mengembangkan
tugas wawancara di lingkungan sekitar (sesuai dengan lembar kegiatan siswa).
Pertemuan Kedua Kegiatan Awal
a. Guru melakukan tanya jawab dengan siswa tentang tugas yang diberikan, serta kesulitan-kesulitan yang dialami dalam kegiatan wawancara di rumah ( misalnya bagaimana penggunaan kata sapaan yang tepat kepada Informan
berdasarkan perbedaan umur atau latar belakang
sosialkulturalnya, bagaimana menampilkan sikap fisik atau kinesik yang santun saat melakukan wawancara, dll)
Kegiatan Inti
a. Salah satu kelompok yang ditunjuk oleh guru
mendemonstrasikan kegiatan wawancara yang sebagai hasil evaluasi pada pertemuan sebelumnya dan kelompok yang lain melaporkan hasil-hasil pengalamannya dalam melakukan kegiatan wawancara
b. Siswa mendiskusikan manfaat etika berbahasa dalam
wawancara dan interaksi sosial lainnya. Kegiatan Akhir
a. Guru dan siswa menyimpulkan hasil diskusi
b. Guru dan Siswa mereflekasi pembelajaran yang telah dilakukan
E. Alat/ Sumber belajar
a. Buku Pelajaran Bahasa Indonesia kelas VIII b. Bentuk-bentuk komunikasi fatis masyarakat Bugis
c. Buku-buku pendukung
d. Laptop dan LC F. Evaluasi dan Penilaian
a.Teknik: Nontes
b.Instrumen: Unjuk Kerja c.Instrumen penilaian
No Aspek yang Dinilai Pertanyaan Pemandu Skor 1 2 3 4 1. Kesesuaian pertanyaan dengan tujuan Apakah semua
pertanyaan yang diajukan sesuai dengan tujuan wawancara?
2. Kerincian dan
kelengkapan pertanyaan
Apakah jumlah
pertanyaan cukup untuk mendapatkan informasi yang ada dalam tujuan?
3. Kreativitas dalam
mengajukan pertanyaan
Apakah pewawancara berusaha mengaitkan pertanyaan lanjutan dengan jawaban orang yang diwawancarai (tidak terpaku kaku pada daftar pertanyaan)?
4. Etika berwawancara a. Apakah pewawancara
menggunakan pemilihan bahasa yang santun, ketika memulai,
mengkuhkan dan menutup wawancara kepada Informan? b. Apakah intonasi suara
santun saat digunakan ketika berwawancara dengan Informan? c. Apakah sikap fisik
(kinesik) yang ditampilkan santun ketika berwawancara dengan Informan? Jumlah Skor :
LEMBAR KEGIATAN SISWA
Nama Kegiatan : Wawancara
Hari/Tanggal :
Tempat :
Topik :
Tujuan :
Langkah Kegiatan:
1. Menyiapkan alat tulis, alat perekam dalam melakukan kegiatan wawancara.
2. Melakukan observasi di lingkungan seperti di pasar, sekolah, kantor pemerintahan, rumah sakit, rumah, dll.
3. Mengamati, merekam, mencatat hasil observasi mengenai bentuk-bentuk
pemilihan bahasa, intonasi, kinesik (sikap fisik) yang ditemukan selama proses observasi.
4. Membuat teks wawancara sesuai dengan topik yang telah dipilih dan menjelaskan intonasi suara dan sikap fisik (kinesik) yang ditampilkan saat kegiatan berlangsung.
5. Merekam pemodelan wawancara yang telah dilakukan (menggunakan
handphone, handycam, voice recorder)
6. Bagi yang tidak merekam dengan video, teks wawancara dilengkapi
dengan penjelasan mengenai intonasi dan sikap fisik (kinesik yang ditampilkan).
7. Siswa membuat laporan analisis nilai etika berwawancara yang diperankan melalui pemodelan.