• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung

V.1. Kajian keberlanjutan dengan Metode Ecological Footprint

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam penelitian ini ada lima jenis komponen lingkungan pendukung produksi udang yang akan dihitung nilai ecological footprintnya yaitu luas hutan mangrove penghasil detritus, luas wilayah laut penghasil pakan udang, luas wilayah pertanian penghasil pakan udang, luas wilayah hutan yang diperlukan untuk menyerap emisi CO2 dan luas wilayah hutan mangrove yang diperlukan untuk menghasilkan air bersih. Produksi udang Luas wilayah pertanian penghasil pakan udang Luas hutan mangrove penghasil detritus Luas hutan mangrove penghasil air bersih Luas hutan penyerap emisi CO2 Luas wilayah laut penghasil pakan udang

Gambar V.1. Ruang ekologi yang dibutuhkan tambak silvofishery di Desa Dabung

Ecological footprint untuk detritus mangrove

Di dalam rantai makanan, detritus mangrove yang masuk ke dalam wilayah perairan merupakan pakan alami hewan-hewan seperti ikan, udang dan kepiting. Selain itu daun-daun mangrove yang membusuk tersebut merupakan makanan bagi mikroorganisme air seperti plankton dan bakteri yang pada akhirnya juga akan menjadi pakan alami bagi hewan makro seperti ikan dan udang.

(2)

Kebutuhan akan detritus mangrove tergantung pada pertama, besarnya energi detritus mangrove yang dapat diserap oleh udang sebagai predator utama dalam rantai makanan di tambak budidaya. Menurut Soeryowinoto (1993), produksi primer kotor dari ekosistem mangrove adalah 20.000 kkal/m2/th di mana hanya 25% dari energi tersebut yang dimanfaatkan untuk metabolisme hutan mangrove (dalam Noer, 2005) dan sisanya dimanfaatkan oleh hewan herbivor darat dan atau masuk ke dalam rantai makanan wilayah perairan. Energi yang dimanfaatkan oleh hewan herbivora darat besarnya tidak lebih dari 10% (Odum dan Heald,1969 dalam Noer 2005) dari energi yang tersisa. Sehingga energi yang masuk ke dalam wilayah perairan bisa mencapai 13.500 kkal/m2/th. Namun dari sejumlah energi yang besar itu yang bisa dimanfaatkan oleh udang hanya sebesar 1.350 kkal/m2/th.

Kedua, kebutuhan akan detritus mangrove juga sangat tergantung pada produksi udang dari tambak. Ini berarti semakin tinggi produksi udang maka kebutuhan detritus mangrove yang sebesar 30% (Larsson et.al., 1998 dalam Wolowicz, 2005) dari kebutuhan energi udang itu akan semakin besar. Dengan sendirinya, nilai ecological footprint untuk detritus mangrove juga akan semakin besar.

Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode ecological footprint didapat nilai ecological footprint (ef) total yang paling besar ada pada tambak A, sedangkan tambak B menghasilkan nilai ef untuk detritus mangrove yang paling kecil. Sedangkan apabila dihitung rata-rata per ha terlihat bahwa tambak B keterkaitannya dengan ekosistem mangrove paling tinggi dibandingkan tambak yang lain. Ini tentunya dikarenakan produksi rata-rata tambak B yang tinggi sehingga menyebabkan kebutuhan akan detritus sebagai sumber energinya juga menjadi besar.

(3)

Ecological footprint untuk pakan udang dari area laut

Kebutuhan ruang ekologi yang berasal dari wilayah laut berkaitan dengan pakan yang diperlukan oleh udang untuk pertumbuhannya. Dari data yang diperoleh, ada dua jenis pakan dari laut yang diperlukan yaitu pakan segar berupa ikan runcah dan biota laut yang terkandung dalam pellet. Untuk tambak A, kedua jenis pakan ini digunakan sebagai makanan tambahan bagi udang, sedangkan dua tambak lainnya hanya mengunakan pellet.

Nilai ecological footprint untuk pakan udang dari area laut ditentukan oleh jumlah penggunaan masing-masing jenis pakan dan komposisi biota laut/ikan yang ada di dalam pellet. Menurut Prihatman (2000) persentase ikan/biota laut lainnya yang diperlukan untuk pembuatan pellet adalah 20% dari seluruh komposisi yang ada.

Analisa nilai ef menunjukkan bahwa kebutuhan pakan yang paling besar ada pada tambak A baik secara total maupun rata-rata per ha. Ini disebabkan oleh penggunaan pakan ikan segar tambak A yang sangat tinggi yaitu mencapai 1,875 ton untuk keseluruhan tambak. Berbeda dengan kedua tambak yang lain di mana kebutuhan akan area laut hanya tergantung pada pellet dan tidak memafaatkan ikan runcah.

Ecological footprint untuk pakan dari area pertanian

Kebutuhan pakan dari area pertanian berkaitan dengan penggunaan produk pertanian untuk pembuatan pellet. Kandungan produk pertanian ini dapat mencapai 80% dari seluruh komposisi yang ada (Prihatman, 2000). Tambak yang menghasilkan produksi rata-rata yang tinggi dengan sendirinya akan memiliki nilai ef yang tinggi pula seperti yang terjadi pada tambak B. Kebutuhan ruang ekologi rata-rata per ha-nya untuk wilayah pertanian pada tambak tersebut sebesar 1,575 gha yang hampir mencapai empat kali lipat nilai ef tambak C.

(4)

Ecological footprint untuk penyerapan CO2

Dari pembakaran bahan bakar minyak akan dihasilkan sejumlah gas CO2 ke

udara. Penumpukan gas ini dalam konsentrasi yang tinggi di udara sangat berbahaya karena dapat menimbulkan efek rumah kaca yang menjadi penyebab meningkatnya suhu bumi. Untuk mengatasi hal tersebut maka gas ini harus diserap dari udara. Areal hutan merupakan salah satu ”agen” yang paling efektif dalam menyerap gas CO2 terutama melalui proses fotosintesis

pohon-pohonnnya. Sedangkan hutan mangrove merupakan penyerap CO2

yang sangat baik, di mana kemampuannya melebihi jenis hutan lainnya. Oleh karena itu harus disediakan luasan hutan mangrove tertentu untuk membantu penyerapan gas CO2 terutama bagi tambak yang mengunakan

bahan bakar minyak.

Dari hasil analisa tambak silvofishery di Desa Dabung ini hanya tambak A yang menggunakan BBM, yang digunakan untuk mengeringkan tambak pada saat panen. Sedangkan tambak yang dikelola pemerintah dan tambak B tidak menggunakan BBM sehingga tidak memerlukan sejumlah area hutan untuk menyerap emisi gas CO2.

Ecological footprint untuk air bersih

Salah satu penyebab kegagalan usaha tambak budidaya udang adalah karena rendahnya kualitas lingkungan akibat tidak tersedianya sejumlah kawasan mangrove yang berfungsi sebagai biofilter zat-zat polutan yang dihasilkan dari tambak. Keberadaan ekosistem mangrove diperlukan untuk menyaring air yang berasal dari tambak sehingga dihasilkan air bersih untuk pertumbuhan udang. Menurut Pillay (1990) (dalam Irianto, 2004) untuk kepentingan akuakultur yang berkelanjutan, sedikitnya 3 ha hutan mangrove harus dibiarkan tetap ada sebagai biofilter untuk setiap 1 ha tambak kolam budidaya.

(5)

Ada beberapa hal yang mempengaruhi kebutuhan ekosistem mangrove sebagai biofilter di lokasi penelitian. Pertama, kemampuan setiap tanaman mangrove untuk menyaring air. Menurut Sprung (2000) sebuah tanaman mangrove dapat menyaring air rata-rata sebanyak dua gallon.

Kedua, kerapatan vegetasi yang ada di lokasi penelitian. Dengan mengunakan data kerapatan vegetasi yang ada dalam Laporan Akhir Pekerjaan Detail Desain Tambak Silvofishery Desa Dabung Kecamatan Kubu tahun 2004, diketahui bahwa jumlah rata-rata tanaman per ha hutan mangrove di lokasi penelitian adalah 62.254 tanaman / ha.

Ketiga, persentase pergantian air setiap hari. Pergantian air dimaksudkan untuk memberikan lingkungan air yang bersih, bebas dari zat pencemar yang membahayakan kehidupan udang. Besarnya persentase ini sangat tergantung pada tingkat teknologi yang digunakan. Dari data yang diperoleh diketahui bahwa semua tambak silvofishery yang diteliti menggunakan teknologi tradisional plus yang mengandalkan pergantian air pada peristiwa pasang surut setiap 15 hari sekali. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Kalimantan Barat (2004) untuk tingkat teknologi tradisional plus ini diasumsikan persentase pergantian air adalah sebesar 6% per hari.

Keempat adalah volume air setiap tambak. Volume air ditentukan oleh luas kolam budidaya dan ketinggian air di dalam kolam. Semakin luas kolam yang dikelola maka volume air yang diperlukan akan semakin besar. Sedangkan ketinggian air untuk setiap kolam rata-rata adalah sama yaitu 100 cm atau 1 m.

Dengan menggunakan data-data tersebut diketahui bahwa kebutuhan air yang paling besar ada pada tambak A, diikuti oleh tambak C dan yang paling sedikit adalah tambak B. Namun jika dihitung kebutuhan rata-rata per ha maka nilai ecological footprint untuk setiap tambak adalah 4,84 gha.

(6)

Nilai ecological footprint total untuk masing-masing tambak

Berdasarkan analisa nilai ecological footprint diketahui bahwa kebutuhan ruang ekologi yang paling besar secara total adalah pada tambak silvofishery A dan yang paling kecil adalah tambak B.

Tabel V.1. Nilai Ecological footprint untuk masing-masing tambak silvofishery

Nilai ef (gha) A B C Komponen total per ha kolam total per ha kolam total per ha kolam 1. Detritus mangrove 0,549 0,092 0,134 0,338 0,138 0,069

2. Pakan dari laut 25,313 4,254 0,389 0,973 0,584 0,292 3. Pakan dari area

pertanian

1,575 0,265 0,630 1,575 0,945 0,473

4. Energi 0,002 0,0003 0 0 0 0

5. Air bersih 28,820 4,840 1,937 4,840 9,688 4,840

Jumlah 56,259 9,1863 3,090 7,726 11,355 5,674 Sumber : Hasil Analisa Data, 2007

Keterangan :A = tambak milik Bapak Syukur B = tambak milik Bapak Ridho C = tambak milik pemerintah (dkp)

Sedangkan bila dihitung rata-rata per ha tambak, kebutuhan ruang ekologi yang paling besar adalah pada tambak A dan yang paling kecil adalah tambak C. Besarnya ruang ekologi total untuk per ha tambak silvofishery di Desa Dabung ini hanya berkisar antara 5 – 9 kali luas kolam produksi udang. Nilai ini jelas lebih kecil jika dibandingkan hasil penelitian Larsson et al pada tambak semi intensif di Columbia yang mencapai 35 – 190 kali luas kolam pembudidayaan udang. Salah satu penyebabnya adalah karena pada tambak ini bibit udang (benur) yang didapat adalah berasal dari tempat pembenihan (hatchery) dan bukan dari hutan mangrove, sehingga kebutuhan ruang ekologi hutan mangrove untuk tempat hidup benur dapat dikurangi.

(7)

Luas area bioproduktif

Area bioproduktif yang dihitung dalam penlitian ini adalah area hutan mangove, area laut dan area pertanian. Luas eksisiting hutan mangrove yang ada adalah seluas 9.650 ha, area laut seluas 116.550 ha dan area pertanian seluas 603 ha. Dari perhitungan dengan metode ecological footprint diketahui luas area bioproduktif total yang ada adalah 16.837,52 gha.

Ecological deficit dan level keberlanjutan setiap tambak silvofihery

Dengan mencari selisih antara nilai ef dan luas bp maka nilai ecological deficit untuk setiap tambak dapat dihitung sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini :

Tabel V.2. Nilai Ecological deficit (ed) untuk masing-masing tambak silvofishery Silvofishery Ef total Bp total Ed

A 56,259 16.837,52 -16.781,261

B 3,090 16.837,52 -16.834,430

C 11,355 16.837,52 -16.826,165

Sumber : Hasil Analisa Data, 2007

Dari hasil perhitungan terlihat bahwa untuk ketiga tambak ini daya dukung ekosistem masih melampaui laju ekstraksi sumber daya alam atau tergolong berkelanjutan. Sedangkan nilai ed yang paling kecil terdapat pada tambak B. Namun dari analisa ed ini belum bisa diambil kesimpulan bahwa tambak B adalah tambak yang paling lestari mengingat bahwa luas tambak yang dihitung berbeda-beda. Untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih akurat, maka perlu dianalisa nilai ecological footprint rata-rata untuk setiap ha tambak udang seperti terlihat pada tabel VI.1.

Dari tabel tersebut terlihat bahwa tambak C memiliki tingkat kelestarian paling tinggi karena ruang ekologi yang dibutuhkan paling kecil yaitu sebesar 5,674 gha untuk setiap ha tambaknya. Sedangkan tambak A memerlukan ruang ekologi yang paling besar yang berarti tingkat keberlanjutannya paling rendah.

(8)

Analisa Aspek Teknis dan Ekonomi Tambak Silvofishery di Desa Dabung Untuk menentukan tambak silvofishery yang layak dikembangkan di Desa Dabung ini maka, perlu dilakukan kajian terhadap aspek teknis dan aspek ekonomis.

Tabel V.3. Analisa Aspek Teknis Tambak Silvofishery di Desa Dabung Hasil analisa

Komponen A B C

Perbadingan kolam dan mangrove belum sesuai standar tambak silvofishery Sudah sesuai standar tambak silvofishery sudah sesuai standar tambak silvofishery Penutupan ekosistem

mangrove di dalam tambak

kurang Sedang Lebat

Produksi/ha/siklus 206,72 kg/ha sedang 750 kg/ha tinggi 155 kg/ha rendah Perbandingan jumlah

pakan dan produksi

1,83 tinggi 0,5 rendah 0,76 sedang Padat penebaran benur/ha 7.563

rendah

25.000 tinggi

7.500 rendah Ukuran udang tidak seragam Seragam Seragam

Skor 1 3 2

Sumber : Hasil Analisa Data, 2007

Hasil analisa teknis menunjukkan bahwa tambak B adalah yang paling baik dari segi teknis karena selain tambak ini sudah memenuhi syarat sebagai sebuah tambak silvofishery, produksi yang dihasilkan juga tinggi dengan penggunaan pakan yang sangat efisien. Sedangkan tambak C, walaupun dari hasil analisa keberlanjutan ekologi adalah yang paling lestari, namun secara teknis masih berada di bawah tambak B. Kelemahan tambak C ini adalah dari segi produksi yang rendah akibat penebaran benur yang tidak optimal. Padahal tinggi rendahnya produksi ini akan mempengaruhi besarnya pendapatan yang akan diperoleh masyarakat bila mengembangkan sistem silvofishery ini.

(9)

Tabel V.4 Analisa Usaha per haTambak Silvofishery Harga (Rp)

Komponen

A B C Biaya bahan 1.340.882,00 659.500,00 793.000,00

Biaya tenaga kerja 635.294,00 1.187.500,00 320.000,00 Pendapatan (R) 6.945.882,00 7.200.000,00 2.976.000,00

Keuntungan 4.924.605,00 5.319.650,00 1.791.000,00

R/C 3,51 3,90 2,67

Skor Akhir 2 3 1

Sumber: Hasil analisa data, 2007

Dari hasil analisa ekonomi terlihat bahwa tambak C menghasilkan ratio pendapatan dan biaya yang paling rendah. Sedangkan tambak B, walaupun tingkat keberlanjutannya berada di bawah tambak pemerintah, namun dari analisa ekonomi menunjukkan hasil yang paling bagus dibandingkan tambak-tambak yang lain. Sementara itu, tambak A dari segi ekonomi lebih baik dari tambak C. Hanya saja tambak ini adalah tambak yang paling rendah tingkat keberlanjutannya dan belum memenuhi syarat sebagai tambak silvofishery yang dapat dikembangkan di kawasan hutan yang masih utuh seperti di Desa Dabung ini.

Menentukan tambak silvofishery yang paling layak untuk dikembangkan di Desa Dabung

Jika analisa keberlanjutan dengan metode ecological footprint dikaitkan dengan analisa pendukungnya, maka tambak yang menghasilkan nilai paling tinggi adalah tambak B.

Tabel V. 5. Rangkuman hasil analisa tambak silvofishery di Desa Dabung

Nilai Jenis analisa

A B C Analisa ecological footprint 1 2 3

Analisa teknis 1 3 2

Analisa ekonomi 2 3 1

Total nilai 4 8 6

Sumber : Hasil analisa data, 2007

Tambak B ini walaupun bukanlah tambak yang tingkat keberlanjutannya paling tinggi, namun laju pemakaian sumber daya alam tidak terlalu besar.

(10)

Tambak ini juga dapat menghasilkan keuntungan rata-rata yang lebih tinggi dari tambak yang lain dengan tetap menerapkan sistem silvofishery yang sesuai dengan standar yang ada. Sehingga untuk pengembangan tambak silvofishery di masa mendatang tambak jenis ini adalah yang paling disarankan karena dapat memberikan manfaat secara ekologi dan ekonomi yang paling optimal.

V.2. Kebutuhan ekosistem mangrove untuk mendukung keberlanjutan sistem silvofishery di Desa Dabung

Berdasarkan kajian keberlanjutan dengan metode ecological footprint, diketahui bahwa ekosistem mangrove merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat diperlukan untuk mendukung keberlangsungan sistem silvofishery. Produk yang diperlukan terutama berhubungan dengan serasah yang gugur yang masuk ke dalam wilayah perairan tambak budidaya yang nantinya akan melapuk di dalam kolam menjadi detritus yang diperlukan sebagai salah satu sumber makanan bagi komoditas yang dibudidayakan. Sedangkan jasa lingkungan yang diperlukan berkaitan dengan keperluan akan hutan mangrove untuk menghasilkan air bersih dan menyerap emisi gas CO2 yang dihasilkan dari penggunaan BBM.

Dari hasil analisa sebelumnya diketahui bahwa tambak B adalah model tambak yang paling layak untuk dikembangkan dikembangkan di Desa Dabung. Kebutuhan ekosistem mangrove untuk setiap 1 ha kolam budidaya pada tambak ini dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel V.6. Kebutuhan Ekosistem Mangrove Untuk Setiap Ha Kolam Budidaya pada Tambak B

Komponen Luas Ekosistem Mangrove yang dibutuhkan

1. Detritus mangrove

0,338 gha 0,252 ha

2. Air bersih 4,840 gha 3,610 ha Jumlah 5,178 gha 3,862 ha Sumber: Hasil Analisa Data, 2007

(11)

Lokasi ekosistem mangrove ini dapat berada di dalam atau di luar areal tambak. Khusus untuk menjaga fungsi ekosistem mangrove sebagai biofilter maka kawasan mangrove harus terletak di luar areal tambak. Areal ini juga nantinya dapat berfungsi sebagai kawasan penyangga bagi areal pertambakan terutama dari hempasan gelombang. Detritus mangrove yang dihasilkan dari kawasan mangrove ini juga dapat menjadi pakan alami bagi udang karena dapat terbawa masuk ke dalam kawasan tambak oleh arus pasang surut air laut. Luas ekosistem mangrove di luar areal tambak yang diperlukan untuk setiap ha kolam budidaya adalah 3,61 ha.

Sementara itu, jika diasumsikan bahwa detritus mangrove seluruhnya berasal dari ekosistem mangrove di dalam areal tambak, maka kebutuhan akan luas ekosistem mangrove di dalam areal tambak untuk setiap ha kolam adalah sebesar 0,252 ha. Namun perlu diingat bahwa untuk tambak silvofishery, harus ada sejumlah mangrove tertentu di dalam areal tambak, di mana pada tambak B persentase ekosistem mangrovenya mencapai 80% dari seluruh tambak. Ini berarti bahwa untuk setiap 1 ha kolam budidaya terdapat 4 ha ekosistem mangrove yang ada di dalam tambak.

Dengan menggabungkan kebutuhan akan ekosistem mangrove di luar tambak dengan persentase ekosistem mangrove yang harus disediakan di dalam areal tambak, maka didapat ratio antara luas kolam, luas ekosistem mangrove di dalam tambak dan luas ekosistem mangrove di luar tambak sebesar 1 : 4: 3,61. Keterangan : = kawasan hutan di dalam tambak = kawasan hutan di luar tambak = kolam budidaya = sungai : : = 1 : 4 : 3,61

Gambar V.2. Lokasi hutan mangrove berada di dalam dan luar kawasan tambak

(12)

Jika tambak B diterapkan pada 350 ha tambak yang ada sekarang maka luas ekosistem mangrove di luar lokasi tambak yang harus dipertahankan adalah seluas 252,7 ha (Gambar V.3).

V.3. Luas maksimal ekosistem mangrove yang dapat dikonversi menjadi tambak

Untuk menunjang sistem silvofishery yang berkelanjutan perlu ditentukan luas maksimal hutan mangrove yang dapat dikonversi menjadi kolam budidaya. Dari ratio ekosistem mangrove di dalam dan di luar kawasan tambak, didapat ratio total keperluan hutan mangrove sebesar 1 : 7,61 ( Nilai 7,61 didapat dari penjumlahan 4 (1 : 4) dan 3,61 (1 : 3,61)). Dari ratio total ini luas maksimal ekosistem mangrove yang dapat dikonversi menjadi tambak dapat ditentukan sebagai berikut:

Ratio total = 1 : 7,61

Luas ekosistem mangrove yang dijadikan dasar perhitungan adalah :

Luas mangrove yang sudah dikonversi menjadi tambak + luas ekosistem mangrove yang masih utuh

= 350 ha + 9.650 ha = 10.000 ha

Luas maksimal mangrove yang dapat dikonversi menjadi kolam budidaya dengan sistem silvofishery = 1.161,44 ha

Luas ekosistem mangrove yang harus dipertahankan maksimal seluas 8.838,56 ha yang terdiri atas 4.645,76 ha di dalam areal tambak dan 4.192,8 ha di luar areal tambak.

Produksi keseluruhan dari tambak silvofishery dengan luasan maksimal tersebut bisa mencapai 871,08 ton /siklus panen. Persyaratannya adalah seluruh tambak yang sudah ada harus diubah menjadi tambak silvofishery dengan melakukan penanaman pada lahan-lahan kosong di dalam tambak atau di sepanjang tanggul agar persentase sebesar 80% mangrove dapat terpenuhi.

(13)

Jika seluruh tambak yang ada sekarang dengan luas mencapai 350 ha diubah menjadi model tambak B, maka dengan menggunakan ratio 1: 4 untuk luas kolam dan ekosistem mangrove di dalam tambak maka luas kolam budidaya pada kawasan tambak tersebut menjadi hanya sebesar 70 ha. Ini berarti bahwa pengkonversian hutan mangrove menjadi kolam budidaya masih dapat dilakukan seluas 1.091,44 ha.

Gambar

Gambar V.1. Ruang ekologi yang dibutuhkan tambak silvofishery  di Desa Dabung
Tabel V.1.  Nilai Ecological footprint   untuk masing-masing tambak silvofishery
Tabel V.2.  Nilai Ecological deficit (ed)   untuk masing-masing tambak silvofishery  Silvofishery  Ef total  Bp total  Ed
Tabel V.3. Analisa Aspek Teknis Tambak Silvofishery di Desa Dabung  Hasil analisa
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dengan kurang maksimalnya penegakan hukum terhadap penambang pasir tanpa izin di Kabupaten Bener Meriah dapat kita pahami bahwa hukum belum bekerja secara baik terhadap

Hasil tersebut menunjukkan bahwa biji alpukat kering memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi daripada yang segar, hal ini berkorelasi positif dengan

Jika produk ini mengandung komponen dengan batas pemaparan, atmosfir tempat kerja pribadi atau pemantauan biologis mungkin akan diperlukan untuk memutuskan keefektifan ventilasi

singlet tereksitasi (O*2) dihasilkan dari photosensitizer dengan energy gap photosensitizer dengan energy gap antara keadaan triplet dasar dan eksitasi yang lebih besar daripada

Sesuai dengan hasil penelitian, bahwa video pembelajaran renang gaya dada (breast stroke) berlandaskan tri hita karana adalah berdasarkan validitas hasil dari ahli

Dari pembahasan di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan membahas permasalahan-permasalahan yang timbul dari kecurangan yang dilakukan pedagang

regression dengan kolom three way interaction menunjukkan bahwa efek menurunnya kepuasan kerja akibat adanya peningkatan konflik peran tersebut dapat dikendalikan oleh