Pengurangan Konflik Peran Kerja dan
Peran Keluarga: Siapa Pelakunya?
Suhatmini Hardyastuti
1Pendahuluan
Sosialisasi peran ganda wanita Indonesia berlangsung melalui harapan bahwa (a) wanita adalah pendamping suami, (b) wanita adalah ibu yang bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan anak, (c) wanita adalah manajer rumah tangga, (d) wanita adalah pencari nafkah yang kedua, dan (e) wanita adalah anggota masyarakat. Dengan waktu, tenaga, dan komitmen yang terbatas, mereka harus bisa menyeimbangkan peran mereka di tempat kerja dan di rumah. Hal ini menjadi prinsip sehari-hari, terutama bagi wanita kawin yang bekerja.
Namun, sering didengar pernyataan dari mereka bahwa "tanganku ki mung loro", yang dalam
bahasa Indonesia berarti "tangan saya hanya dua". Ungkapan ini bermakna bahwa mereka mempunyai keterbatasan tenaga, yang artinya bahwa dengan keterbatasan itu mereka mengalami konflik peran. Sebagai contoh, ada seorang ibu, anak sulungnya merengek-rengek minta ditemani belajar, suami minta ditemani makan, dan ketika itu pula si bungsu menangis karena sudah waktunya menyusu. Kondisi ini menggambarkan terjadinya konflik peran dalam keluarga. Seorang ibu yang tidak mempunyai anak kecil pun bisa mengalami konflik, misalnya apabila harus menghadiri rapat di kantor, suami minta didampingi untuk mendatangi selamatan, dan anak tidak berani tinggal sendiri di rumah. Kondisi ini merupakan contoh konflik peran antara peran kerja dan peran keluarga. Di lain pihak, konsep mitra sejajar sudah disosialisasikan, tetapi sejauh mana konsep ini telah membudaya dalam masyarakat? Makalah ini mengungkapkan salah satu contoh perlunya kemitrasejajaran tersebut.
Menurut hasil penelitian, konflik peran lebih dirasakan oleh kaum wanita daripada lelaki. Ada beberapa fenomena sebagai hasil proses sosialisasi yang menyebabkan perbedaan tersebut. Pertama, sifat permintaan peran. Moen (1992) mengatakan bahwa sifat permintaan peran kerja
dan peran keluarga bagi wanita adalah serentak (simultaneous roles), sedangkan peran yang
harus dilakukan lelaki lebih bersifat berurutan (sequential roles). Peran yang bersifat serentak
memerlukan skala prioritas, sedangkan peran yang berurutan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan sendiri. Prioritas peran ini bisa menimbulkan konflik jika tidak sesuai dengan harapan dari pelakunya. Kedua, pembagian kerja seksual di dalam rumah yang tidak seimbang. Wanita
masih mempunyai tanggung jawab yang lebih tinggi terhadap peran di rumah, baik sebagai suri
rumah (penyapu rumah, pencuci piring, pencuci baju, pemasak, dan lain-lain) maupun sebagai ibu dan peran ini tidak berkurang walaupun mereka bekerja (Hochschild, 1989; Suhatmini dan
Bambang, 1991; Emmons et al., 1990). Dikatakan oleh Ray dan Miller (1994) bahwa penggunaan
waktu antara waktu untuk wanita dan lelaki tidak sama. Pada umumnya wanita mengintegrasikan antara kepentingan profesi, individu, dan keluarga, sedangkan lelaki secara tradisi menggunakan kepentingan pribadi untuk mendukung kepentingan profesinya. Ketiga, majikan memisahkan urusan kerja dan rumah, artinya majikan menganggap bahwa persoalan di rumah bukan urusan
tempat kerja sehingga kebijakan-kebijakan yang memperingan wanita dalam mengurus keluarga belum diperhatikan.
Penelitian tentang konsekuensi konflik peran kerja dan peran keluarga telah banyak dilakukan,
seperti terhadap kelelahan emosi, kepuasan kerja, kepuasan keluarga, distress, dan kehabisan
tenaga (burnout) (Aryee, 1993; Duxbury, Higgins dan Lee, 1994; Aminah-Ahmad, 1995; Kinnunen
and Mauno, 1998). Kepuasan kerja merupakan salah satu variabel yang menarik untuk dikaji mengingat hal ini akan mempunyai dampak lebih lanjut, misalnya terhadap kepuasan hidup (Aminah-Ahmad, 1995) dan penampilan kerja (Suryati, 2000). Untuk mengurangi pengaruh konflik
ini terhadap kepuasan kerja, perlu dikaji cara untuk mengatasinya (coping resources), salah satu
bentuknya adalah dukungan sosial yang berasal dari orang lain (Cohen and Wills, 1985). Hasil penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa fungsi dukungan sosial tidak konsisten. Bagaimana dukungan sosial ini dapat berfungsi sebagai moderator hubungan antara konflik peran kerja dan keluarga dengan kepuasan kerja, akan didiskusikan lebih lanjut dalam makalah ini.
Kerangka Pemikiran
Konflik peran kerja dan peran keluarga merupakan stres yang diakibatkan oleh ketidakcocokan
satu sama lain antara peran di tempat kerja dan di dalam keluarga. Kahn et al. (1964)
menggunakan teori peran untuk menjelaskan konflik peran. Teori ini memprediksi bahwa harapan dari orang lain terhadap berbagai peran yang harus dilakukan seseorang dapat menimbulkan
konflik kalau harapan ini mengakibatkan tekanan karena mendominasi waktu (role overload)
seseseorang dan peran tersebut satu sama lain saling mengganggu (interference). Proses
terjadinya konflik adalah jika orang lain (role senders) mengirimkan harapan peran pada
seseorang (focal person) dengan menggunakan tekanan agar orang tersebut dapat memenuhi
harapannya dan dengan persepsi bahwa tingkah laku orang tersebut dapat sesuai dengan kehendaknya. Seseorang yang menerima harapan peran tersebut akan mengalami konflik akibat tekanan tersebut, merasakan ketidakjelasan terhadap peran, atau mempunyai persepsi tertentu terhadap peran maupun terhadap orang tersebut. Selanjutnya, Greenhaus dan Parasuraman (1987) mengatakan jika permintaan peran dari keluarga bersamaan dengan permintaan dari tempat kerja, akan terjadi perembesan stres dari keluarga ke tempat kerja, begitu pula sebaliknya. Konflik peran kerja dan peran keluarga ini didefinisikan sebagai ketidakcocokan antara peran kerja dan peran keluarga yang harus dilakukan sehingga menyebabkan stres. Akibatnya, partisipasi pada tugas-tugas di tempat kerja akan menyebabkan sulitnya seseorang dapat berpartisipasi dengan baik pada tugas-tugas di rumah, dan sebaliknya.
Hubungan antara konflik peran dan kepuasan kerja dijelaskan dengan konsep penyesuaian kerja (work adjustment). Konsep ini menganggap adanya hubungan antara situasi kerja seseorang (kepuasan kerja) dengan lingkungan kerja, yang konflik peran itu merupakan konflik lingkungan kerja (Hashim, 1993). Kepuasan kerja didefinisikan sebagai ekspresi perasaan individu terhadap kehidupan di tempat kerja. Hubungan kedua variabel ini telah banyak dikaji dan diperoleh bahwa
konflik peran yang meningkat akan menyebabkan menurunnya kepuasan kerja (Parasuraman et
al., 1989; Hashim, 1993; Aminah Ahmad, 1995; Suryati, 2000).
Untuk mengurangi pengaruh konflik peran ini, dukungan sosial dapat berfungsi sebagai
Konflik peranan antara kerja dan keluarga
Dukungan sosial (pengawas dan suami)
Kepuasan kerja
effect) atau efek memperburuk (exacerbating effect) hubungan antara dua variabel (Ivancevich dan Matteson, 1987). Dukungan sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua orang dalam membantu mengurangi ketidakpastian terhadap situasi. Sumber dukungan sosial dalam penelitian ini berasal dari pengawas dan suami.
Hipotesis: dukungan sosial menyangga hubungan antara konflik peran kerja dan peran keluarga dengan kepuasan kerja. Diagram hubungan tersebut digambarkan sebagai berikut.
Metode dan Pengukuran Variabel
Populasi penelitian ini adalah dosen wanita universitas negeri, yaitu Universitas Gadjah Mada dan Universitas Negeri Yogyakarta dengan ciri-ciri: berstatus kawin, suami bekerja, dan mempunyai anak. Sebanyak 300 responden diambil secara acak sederhana dan dari 300 responden tersebut, yang memberikan respons pada pengisian kuesioner sebanyak 267 responden (89%). Selanjutnya,
267 responden ini dianalisis dengan korelasi dan hierarchical multiple regression.
Konflik peran kerja dan keluarga diukur dengan 15 pernyataan, dengan pilihan skala respons dari (1) hampir tidak ada sampai (5) sangat tinggi, reliabilitas koefisien alpha sebesar 0,84. Kepuasan kerja diukur dengan 21 pernyataan, pilihan skala respons dari (1) sangat tidak betul sampai (5) sangat betul, dengan nilai reliabilitas koefisien alpha sebesar 0,93. Dukungan sosial meliputi dukungan sosial dari suami dan pengawas. Dukungan sosial dari suami diukur dengan 6 pernyataan dan diperoleh nilai reliabilitas koefisien alpha sebesar 0,81. Dukungan sosial dari pengawas diukur dengan 8 pernyataan dengan reliabilitas koefisien alpha sebesar 0,90. Pilihan skala respons untuk kedua macam dukungan sosial ini adalah (1) tidak pernah sampai (5) hampir setiap saat.
Hasil Penelitian
Pembahasan mengenai konflik peran kerja dan peran keluarga tidak bisa dilepaskan dari gambaran tentang karakteristik responden. Umur responden bervariasi antara (25--63) tahun dengan rata-rata 40.2 tahun. Variasi umur ini menyebabkan bervariasinya pengalaman kerjanya antara (3--34) tahun dengan rata-rata 13.2 tahun. Jumlah anak rata-rata 2.2, dengan rincian 68% responden mempunyai anak (1--2) orang, 30% adalah (3--4) orang, dan hanya 2% responden mempunyai anak sebanyak 5 orang.
Konflik peran kerja dan peran keluarga berhubungan dengan kepuasan kerja (r= -0,23; p<0,05), meningkatnya konflik peran akan menurunkan kepuasan kerja. Konflik peran ini juga merupakan prediktor kepuasan kerja (b= -0,43; p<0.05). Hasil ini sejalan dengan teori penyesuaian kerja yaitu
lingkungan kerja, dalam hal ini konflik peran kerja dan peran keluarga berhubungan dengan kepuasan kerja. Merembesnya tekanan dari ranah tempat kerja ke dalam ranah keluarga, dan sebaliknya akan mengganggu kepuasan kerja.
Dengan adanya konsekuensi tersebut, Tabel 1 yang merupakan hasil analisis hierarchical multiple
regression dengan kolom three way interaction menunjukkan bahwa efek menurunnya kepuasan kerja akibat adanya peningkatan konflik peran tersebut dapat dikendalikan oleh dukungan sosial dari suami dan pengawas sehingga dukungan sosial dapat berfungsi sebagai moderator hubungan antara konflik peran kerja dan peran keluarga dengan kepuasan kerja (bi=0,02; p<0,05). Ternyata bahwa dukungan sosial yang dilakukan oleh kedua belah pihak, suami dan
pengawas, dapat menyangga efek negatif (buffering effect) dari konflik peranan terhadap
kepuasan kerja. Maknanya, dukungan sosial dari suami dan pengawas yang berupa perhatian emosional, pertolongan, informasi yang terkait dengan penilaian, misalnya, dapat mengurangi efek konflik peranan terhadap kepuasan kerja, utamanya bagi wanita pekerja yang sudah kawin dengan suami bekerja dan mempunyai anak. Efek penyangga dukungan sosial terhadap variasi kepuasan kerja sebesar 7%.
Tabel 1 pada kolom two-way interaction menunjukkan efek interaksi dukungan sosial secara
individu dari suami atau pengawas. Dukungan sosial yang hanya berasal dari suami dapat berfungsi sebagai moderator hubungan konflik peranan dan kepuasan kerja (b= -0,06; p<0,05), fungsi moderator tersebut tidak berefek menyangga hubungan, tetapi memberikan efek yang memperburuk hubungan. Dukungan sosial dari pengawas saja tidak menunjukkan dukungan yang signifikan (b = 0,01). Hal ini berarti bahwa dukungan sosial yang berasal dari suami saja tidak dapat mengurangi efek negatif dari konflik, justru hal ini akan menambah berkurangnya kepuasan kerja. Dukungan sosial tersebut tidak bermakna jika hanya berasal dari pengawas. Hal ini dimungkinkan karena kepuasan kerja menyangkut masalah tempat kerja. Walaupun suami memberikan dukungan sosial pada masalah yang terkait dengan ranah kerja dengan tanpa diikuti dukungan pengawas, wanita merasakan bahwa dukungan tersebut akan menambah efek negatif konflik terhadap kepuasan.
Tabel 1
Efek Penyangga Dukungan Sosial terhadap Kepuasan Kerja
Variabel Additive Two -way
Interaction
Three-way Interaction Konflik peranan kerja dan keluarga (K) -0,43* -0,42* -0,48*
Dukungan suami (DS) 0,13 0,09 Dukungan pengawas (DP) 0,64* 0,81* K x DS -0,06* -0,04 K x DP 0,01 -0,03 K x DS x DP 0,02*
Adjusted R-squared (adjusted-R2) 4,75 13,93 21,07
sig-F 0,00* 0,00* 0,00*
* p < 0,05
Penutup
Dukungan sosial yang diberikan secara bersama-sama, baik dari suami maupun pengawas, akan dapat mengendalikan efek negatif daripada konflik peran kerja dan peran keluarga pada kepuasan kerja, tetapi dukungan sosial yang hanya berasal dari salah satu pihak tidak bermakna. Dukungan sosial dari dua belah pihak yang sifatnya dapat memperingan peranan, baik di tempat kerja maupun di rumah, akan meningkatkan kepuasan kerja. Dukungan sosial ini merupakan wujud usaha untuk mencapai kemitrasejajaran antara wanita dan lelaki, terutama jika pengawas di tempat kerja adalah lelaki. Hasil penelitian ini dimungkinkan menjadi inspirasi bagi penelitian lain untuk meneliti topik serupa dengan data yang berbeda okupasinya dan menambahkan sumber dukungan sosial, misalnya dari teman kerja dan bukan teman kerja.
Bibliografi
Aminah Ahmad (1995a). "Consequences of Work-family Conflict among Married Professional
Women in Malaysia". Paper presented at the seminar on Extension and Communication, Serdang, Selangor Malaysia.
Ary, D., Jacob, L.C. and Razavieh, A. (1996). Introduction to Research in Education. 6th ed. New
York: CBS College Publishing.
Aryee, S. (1993). “Dual earner-couples in Singapore: An examination of work and nonwork sources
of their experienced burnout”. Human Relations 12: 1441-1468.
Cohen, S. and Wills, T. A. (1985). “Stress, social support and the buffering hypothesis”.
Psychological Bulletin 98: 310-357.
Duxbury, L.E., Higgins, C. A. and Lee, C. (1994). “Work-family conflict: A comparison by gender,
family type, and perceived control”. Journal of Family Issues 15: 449-466.
Emmons, C., Biernat, M., Tiedje, L. B., Lang, E. L. and Wortman, C. B. (1990). “Stress, support, and coping among women professionals with preschool children”, in J. Eckenrode and S. Gore
(eds.). Stress between Work and Family. New York: Plentum Press, pp. 61-91.
Greenhaus, J.H. and Parasuraman, S. (1987). A work-nonwork interactive perspective of stress and
its consequences, in J.M. Ivancevich and D.C. Ganster (Eds.). Job Stress: From Theory to
Suggestion. New York: Haworth, pp.37-60.
Hashim, Mohamed (1993). Overall Job Satisfaction among Managerial Employees in the Public
Services Department, Malaysia. Ph.D. thesis. Universiti Pertanian Malaysia, Malaysia.
Hochchild, A. (1989). The Second Shift. New York: Viking.
Jaccard, J., Turrisi, R. and Wan, C. K. (1990). Interaction Effects in Multiple Regression. Newbury
Park: Sage.
Kahn, R. L., Wolfe, D. M., Quinn, R. P. and Snock, J. D. (1964). Organizational Stress: Study in the
Role Conflict and Role Ambiguity. New York: John Wiley and Sons.
Kinnunen, U. and Mauno, S. (1998). “Antecedents and outcomes of work-family conflict among
employed women and men in Finland”. Human Relations 51(2): 157-169.
Parasuraman, S., Greenhaus, J. H., Rabinowitz, S., Bedeian, A. G. and Mossholder, K. W. (1989). “Work and family variables as mediators of the relationship between wives’ employment
and husband well-being”. Academic of Management Journal, 32: 185- 201.
Suhatmini Hardyastuti and Bambang Hudayana (1991). Pekerja Wanita Rumah Tangga Pandang
di Yogyakarta. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Suryati. 2000. The Correlates of Work-family Conflict among Women in Commercial Bank,