• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY QUOTIENT DAN KOMITMEN ORGANISASI PADA SUPIR TAKSI BERBASIS KONVENSIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY QUOTIENT DAN KOMITMEN ORGANISASI PADA SUPIR TAKSI BERBASIS KONVENSIONAL"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY QUOTIENT DAN

KOMITMEN ORGANISASI PADA SUPIR TAKSI BERBASIS

KONVENSIONAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Anggraini Ekowati Esthi Bringintyas 139114123

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTTO

“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi

kekuatan kepadaku”

Filipi

4:13

“Karena masa depan sungguh ada dan harapanmu tidak akan hilang”

Amsal 23:18

Usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil”

(Unknown)

“Setiap orang mempunyai zona waktunya masing-masing, mungkin bukan sekarang atau besok atau lusa. Percaya semuanya akan dijadikanNYA

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Tuhan Yesus yang tidak pernah sedikitpun meninggalkanku selama proses pembuatan karya ini. Tuhan Yesus yang selalu memberi harapan, kesehatan,

kelancaran dalam setiap langkahku untuk menyelesaikan karya ini.

Mama Suyanti yang sudah bahagia di surga bersama Bapa , Mama yang selalu memotivasiku dan pengingat untuk tidak pernah menyerah.

Gervasius Damario Petra Wasiso anakku yang membuatku semangat menyelesaikan karya ini.

Aloysius Yuni Tri Purnomo suamiku yang tiada hentinya menemaniku disaat senang ataupun susah untuk menyelesaikan karya ini.

Papa, Adik, dan sahabat terkasihku yang selalu memberikan energi positif disaat mulai menyerah.

(6)
(7)

vii

HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY QUOTIENT DAN KOMITMEN

ORGANISASI PADA SUPIR TAKSI KONVENSIONAL

Anggraini Ekowati Esthi Bringintyas

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Adversity Quotient dan komitmen organisasi pada Supir Taksi Berbasis Konvensioal. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif signifikan antara Adversity Quotient dan komitmen organisasi pada Supir Taksi Berbasis Konvensional. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode analisis korelasi two tailed menggunakan program SPSS for Windows 22. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Adversity Quotient dan skala komitmen organisasi. Skala Adversity Quotient memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,816 dan skala komitmen organisasi memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,772. Penelitian ini tidak memenuhi uji asumsi karena data penelitian tidak linier sebesar (0,070, p>0,05). Namun, penelitian ini menggunakan analisis data tambahan. Teknik analisis data tambahan menggunakan uji korelasi Spearman’s Rho antar dimensi Adversity Quotient dan aspek komitmen organisasi karena sebaran data bersifat tidak normal. Hasil analisis tambahan penelitian ini adalah dimensi daya tahan pada Adversity Quotient berkorelasi tetapi lemah dengan aspek afektif pada komitmen organisasi (r= 0,28). Selain itu, dimensi daya tahan pada Adversity Quotient berkorelasi tetapi lemah dengan aspek normatif pada komitmen organisasi (r= 0,23).

(8)

viii

CORRELATION BETWEEN ADVERSITY QUOTIENT AND

ORGANIZATIONAL COMMITMENT IN CONVENTIONAL TAXI

DRIVER

Anggraini Ekowati Esthi Bringintyas

ABSTRACT

This research was aimed to determine the correlation between Adversity Quotient and organizational commitment in conventional taxi driver. The hypothesis in this research was there is a positive and significant correlation between Adversity Quotient and organizational commitment in conventional taxi driver. This research use quantitative method with two-tailed correlation analysis method using SPSS for Windows 22. The Data collecting measurement used on this research was Adversity Quotient scale and organizational commitment scale. The Adversity Quotient scale alpha cronbach reliability coefficient was 0,816, and organizational commitment scale alpha cronbach reliability coefficient was 0,772. This research doesn’t fulfill the assumption test because the data was not linear (0,070, p>0,05). However, this research use Spearman’s Rho correlation as additional data analysis between each of Adversity Quotient dimension and aspect of organizational commitment. The result of the additional data analysis was the endurance dimension of Adversity Quotient had low correlation with affective aspect of organizational commitment (r=0,28). This additional data analysis also found that endurance dimension of Adversity Quotient had low correlation with normative aspect of organizational commitment (r=0,23).

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus atas yang telah memberikan berkatnya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan positif signifikan antara Adversity Quotient dan komitmen organisasi pada Supir Taksi Berbasis Konvensional. Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah membantu, membimbing, serta mendoakan saat proses penyelesaian karya ini. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Tuhan Yesus yang menjadi kekuatan dan penolong dalam proses penulisan skripsi ini.

2. Ibu Dr. Titik Kristiyani, M. Psi., Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Monica Eviandaru M., M. Psych., Ph.D., Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

4. Ibu Passchedona Henrietta Puji Dwi Astuti Dian Sabati S.Psi., M.A.selaku dosen pembimbing skripsi yang telah mendampingi, membimbing dengan sabar, dan memberi masukan dengan penuh empati dalam proses penulisan skripsi. TERIMAKASIH MBAK ETHAK 

5. Bapak Drs. Hadrianus Wahyudi M.si., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan, arahan dan dukungan selama menjalani masa studi.

(11)

xi

7. Mama Suyanti yang sudah bahagia bersama Bapa di surga yang selalu membuatku tidak pernah menyerah dengan kesulitan apapun demi anak. Terimakasih mama sudah memberikan segala apa yang mama punya untuk kuliah ini.

8. Anakku Mario yang selalu memotivasi aku untuk menyelesaikan karya ini tanpa mengeluh. Love u so much!

9. Suamiku Luis yang selalu setia mendampingi dan mendorongku dikala menemui kesulitan. I Love u pa! Terimakasih pa.

10. Sahabatku Kevin Irwanto yang mendampingi dari awal sampai akhir karya ini diselesaikan. Terimakasih sudah mau meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan uang untuk membantuku.

11. Keluargaku Shinta, Papa Heri, Pakde Yudi, Mbak Warti, Mbah Giman, Ibu mertua, Bapak mertua, Mbak Lani, Mbak Meli yang selalu menyemangati, menasehati, dan mendoakanku tiada henti. Terimakasih semuanya.

12. Sahabatku Elizabeth, Adininta, Redita, Sofia, Sekar, Caca, Chila, mbak Reka, mas Bimo, mas Edo. Terimkasih kalian sudah memberiku dukungan yang luar biasa, tempatku berbagi kesedihan, kebahagiaan, tempat curhat dan selalu perhatian denganku.

(12)

xii

14. Untuk semua wanita disekelilingku yang sudah menjadi seorang ibu. Terutama mahasiswi yang sekaligus menjadi ibu. Terimakasih sudah menginspirasiku, menjadi contoh betapa harus kuatnya seorang ibu karena anaknya, pintar membagi waktu dan panjang sabar.

15. Untuk semua orangtua yang sedang berjuang untuk anaknya dalam keterbatasannya. Keteguhan dan ketelusan orangtua untuk menjamin masa depan anaknya menjadi teladan bagiku.

Yogyakarta, 15 Desember 2018 Penulis,

(13)

xiii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ix

(14)

xiv

A. Komitmen Organisasi... 11

1. Pengertian Komitmen Organisasi ... 11

2. Dimensi Komitmen Organisasi ... 13

3. Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi ... 16

B. Adversity Quotient ... 17

1. Pengertian Adversity Quotient ... 17

2. Dimensi Adversity Quotient ... 19

3. Tiga Tingkat Kesulitan pada Adversity Quotient ... 23

4. Manfaat Adversity Quotient ... 25

C. Supir Taksi Berbasis Konvensional ... 28

D. Dinamika Adversity Quotient dengan Komitmen Organisasi pada Supir Taksi Berbasis Konvensional ... 31

E. Skema Penelitian ... 34

F. Hipotesis ... 35

BAB III METODE PENELITIAN ... 36

A. Jenis Penelitian ... 36

B. Identifikasi Varabel Penelitian ... 36

C. Definisi Operasional... 36

1. Adversity Quotient ... 36

2. Komitmen Organisasi ... 37

D. Subjek Penelitian ... 37

E. Metode dan Pengumpulan Data ... 38

(15)

xv

2. Komitmen Organisasi ... 39

F. Vaiditas dan Realibilitas ... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49

A. Pelaksanaan Penelitian ... 49

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 49

(16)

xvi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 82

A. Kesimpulan ... 82

B. Keterbatasan Penelitian ... 82

C. Saran ... 82

1. Bagi Subjek Penelitian ... 82

2. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 84

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sebaran Item Skala Adversity Quotient ... 39

Tabel 2. Skor Respon Pada Variabel Adversity Quotient ... 40

Tabel 3. Sebaran Item Skala Komitmen Organisasi ... 40

Tabel 4. Skor Respon Pada Variabel Komitmen Organisasi ... 41

Tabel 5. Sebaran Item Skala Adversity Quotient Setelah Seleksi Item ... 44

Tabel 6. Sebaran Item Skala Komitmen Organisasi Setelah Seleksi Item ... 45

Tabel 7. Deskripsi Jenis Kelamin Subjek ... 50

Tabel 8. Deskripsi Usia Subjek ... 50

Tabel 9. Deskripsi Data Empirik Adversity Quotient... 52

Tabel 10. Deskripsi Data Empirik Komitmen Organisasi ... 53

Tabel 11. Hasil Uji Normalitas Adversity Quotient ... 55

Tabel 12. Hasil Uji Normalitas Komitmen Organisasi ... 55

Tabel 13. Hasil Uji Linearitas Adversity Quotient dan Komitmen Organisasi .... 56

Tabel 14. Hasil Uji Normalitas Dimensi Daya Tahan dari Adversity Quotient .. 58

Tabel 15. Hasil Uji Normalitas Aspek Afektif dan Komtmen Organisasi ... 58

Tabel 16. Hasil Uji Linearitas Dimensi Daya Tahan dari Adversity Quotient terhadap Aspek Afektif dari Komitmen Organisasi ... 59

Tabel 17. Hasil Uji Korelasi Sperman’s Rho Dimensi Daya Tahan dari Adversity Quotient terhadap Aspek Afektif dari Komitmen Organisasi ... 60

Tabel 18. Hasil Uji Normalitas Dimensi Daya Tahan dari Adversity Quotient ... 60

(18)

xviii

Tabel 20. Hasil Uji Linearitas Dimensi Daya Tahan dari Adversity Quotient terhadap Aspek Normatif dari Komitmen Organisasi ... 62 Tabel 21. Hasil Uji Korelasi Spearman’s Rho Dimensi Daya Tahan dari

Adversity Quotient terhadap Aspek Normatif dari Komitmen Organisasi ... 63 Tabel 22. Hasil Uji Normalitas Dimensi Jangkauan dari Adversity Quotient ... 63 Tabel 23. Hasil Uji Normalitas Aspek Normatif dari Komitmen Organisasi ... 64 Tabel 24. Hasil Uji Linearitas Dimensi Jangkauan dari Adversity Quotient

terhadap Aspek Normatif dari Komitmen Organisasi ... 65 Tabel 25. Hasil Uji Korelasi Spearman’s Rho Jangkauan dari Adversity

Quotient terhadap Aspek Normatif dari Komitmen Organisasi ... 66 Tabel 26. Kategori Komitmen Organisasi pada Supir Taksi Berbasis

Konvensional ... 67 Tabel 27. Kategori Dimensi Afektif dari Komitmen Organisasi pada Supir

Taksi Berbasis Konvensional ... 68 Tabel 28. Kategori Dimensi Kontinum dari Komitmen Organisasi pada

Supir Taksi Berbasis Konvensional ... 69 Tabel 29. Kategori Dimensi Normatif dari Komitmen Organisasi pada

Supir Taksi Berbasis Konvensional ... 70 Tabel 30. Kategori Adversity Quotient pada Supir Taksi Berbasis

Konvensional ... 71 Tabel 31. Kategori Dimensi Kendali dari Adversity Quotient pada Supir

(19)

xix

Tabel 32. Kategori Dimensi Asal-Usul dan Pengakuan dari Adversity Quotient pada Supir Taksi Berbasis Konvensional ... 73 Tabel 33. Kategori Dimensi Jangkauan dari Adversity Quotient pada Supir

Taksi Berbasis Konvensional ... 74 Tabel 34. Kategori Dimensi Daya Tahan dari Adversity Quotient pada

(20)

xx

DAFTAR GAMBAR

(21)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Penelitian ... 91

Lampiran 2. Reliabilitas Skala Adversity Quotient dan Skala Komitmen Organisasi ... 102

Lampiran 3. Hasil uji Mean Teoritik dan Mean Empirik ... 107

Lampiran 4. Hasil Uji Normalitas Adversity Quotient dan Komitmen Organisasi ... 110

Lampiran 5. Hasil Uji Linearitas ... 112

Lampiran 6. Hasil Uji Normalitas Analisis Data Tambahan ... 114

Lampiran 7. Hasil Uji Linearitas Analisis Data Tambahan ... 116

Lampiran 8. Hasil Uji Korelasi Analisis Data Tambahan ... 119

(22)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu dampak dari perkembangan tekonologi yang semakin canggih

terlihat dari munculnya layanan transportasi umum berbasis online ini mulai

masuk di Indonesia sejak tahun 2014. Go-Jek merupakan aplikasi pertama yang

memprakarsai layanan transportasi umum berbasis online yang diikuti dengan

adanya aplikasi Grab dan Uber (Pratama, 2017). Gejolak adanya layanan

transportasi umum berbasis online ini membuat semakin ketatnya persaingan antar

perusahaan transportasi di Indonesia.

Persaingan ini semakin memanas saat adanya taksi-taksi berbasis aplikasi

online yang terjun dalam industri jasa layanan transportasi umum (Agustian,

2017). Kehadiran taksi berbasis aplikasi online ini sudah mencapai 11.000 armada

dan mengancam keberadaan perusahaan taksi berbasis konvensional. Padahal

persaingan pada perusahaan penyedia jasa transportasi taksi berbasis konvensional

sendiri sudah sangat terlihat. Ketua DPD Organda Daerah Istimewa Yogyakarta

mengatakan bahwa jumlah armada taksi berbasis konvensional yang beroperasi di

Yogyakarta sudah sebanyak 1.025 dengan 20 perusahaan taksi berbasis

konvensional (Widiyanto, 2018).

PT. Express Transindo Utama Tbk. mencatat kerugian perusahaan taksi

berbasis konvensional ini mencapai Rp. 81.805 miliar pada tahun 2016

(Mohammad, 2016). Sedangkan, kerugian juga dialami perusahaan taksi berbasis

(23)

operasional taksi. Data pendapatan operasional taksi berbasis konvensional di

Yogyakarta menurun dari 330 juta rupiah pada tahun 2016 menjadi 150 juta

rupiah pada tahun 2018 (Razak, 2019). Salah satu penyebab kerugian perusahaan

taksi berbasis konvensional berasal dari turunnya jumlah setoran uang dari supir

taksi berbasis konvensional di Yogyakarta. Hal ini dipertegas oleh pernyataan

Alex Bendahara Organisasi Angkutan Darat (Organda) DIY, yang melaporkan

bahwa supir taksi berbasis konvensional yang biasanya dapat menyetorkan uang

sebanyak Rp.275.000 sekarang hanya Rp.110.000 bahkan Rp.100.000 dengan

rentang waktu kerja selama sehari semalam (Saraswati, 2019).

Selain itu, supir taksi berbasis konvensional juga merasa dirugikan dengan

adanya taksi berbasis aplikasi online karena menggunakan kendaraan pribadi.

Penggunaan kendaraan pribadi ini menyebabkan tarifnya lebih murah karena tidak

menanggung biaya pajak sebagai kendaraan umum yang dibebankan kepada

konsumen (Sabadar, 2017). Akibat adanya kerugian-kerugian yang dirasakan oleh

supir taksi berbasis konvensional di Yogyakarta, mereka melakukan aksi demo

menolak adanya taksi berbasis online di Yogyakarta. Alex Bendahara Organisasi

Angkutan Darat (Organda) DIY juga menyatakan bahwa tujuan aksi ini agar

mengontrol jumlah taksi berbasis online di Yogyakarta yang jumlahnya semakin

banyak sehingga perusahaan taksi berbasis konvensional tetap hidup (Saraswati,

2019).

Ditengah situasi yang mendesak supir taksi berbasis konvensional ini,

terdapat supir taksi berbasis konvensional di Yogyakarta yang enggan beralih

(24)

wawancara terhadap beberapa supir taksi berbasis konvensional di Yogyakarta

yakni J dan D yang menyatakan bahwa mereka tidak mau beralih menjadi supir

taksi berbasis aplikasi online (Zamzami, 2016). Sikap supir taksi berbasis

konvensional di Yogayakarta yang memilih enggan beralih bekerja dari taksi

berbasis konvensional ke taksi berbasis online ini karena mereka mempunyai

alasan tertentu. Hal ini dibuktikan melalui wawancara yang dilakukan pada

tanggal 15 Maret 2017 di Hartono Mall Yogyakarta dengan beberapa supir taksi

berbasis konvensional berisinial H, W, N, J, K.

Hasil wawancara tersebut menyatakan bahwa supir taksi berbasis

konvensional enggan beralih disebabkan karena perusahaan taksi berbasis

konvensional di Yogyakarta sangat mempermudah seseorang bergabung menjadi

supir dengan syarat mempunyai pengalaman menyupir dan sim A umum saja.

Selain itu, perusahaan taksi berbasis konvensional di Yogyakarta menyediakan

kendaraan mobil, menyediakan jasa asuransi untuk kerusakan kendaraan mobil,

mendapatkan komisi setiap setoran, mempunyai pelanggan tetap, dan dibantu oleh

operator untuk setiap melakukan pelayanan dengan pelanggan. Sedangkan hasil

wawancara yang dilakukan pada tanggal 27 Mei 2017 di Ambarukma Plaza

Yogyakarta dengan supir taksi berbasis online, mereka harus menyediakan

kendaraan mobil dengan kriteria keluaran terbaru minimal tahun 2012, tidak

mendapat bantuan operator untuk melakukan pelayanan dengan pelanggan, dan

mendapatkan bonus saat mencapai point tertentu saja.

Keengganan seseorang untuk beralih ke perusahaan lain atau keinginan

(25)

organisasi. Meyer & Allen (1997) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai

kondisi psikologis yang menunjukkan adanya hubungan antara pegawai dengan

organisasi dan mempengaruhi keputusan pegawai untuk tetap menjadi anggota

organisasi. Bathaw & Grant (dalam Sopiah, 2008) menyatakan komitmen

organisasi sebagai keinginan karyawan untuk tetap mempertahankan

keanggotaannya dalam organisasi dan bersedia melakukan usaha yang tinggi demi

pencapaian tujuan organisasi. Hal ini sejalan dengan definisi dari Robbins dan

Judge (2017) yang mendefinisikan bahwa komitmen organisasi merupakan sejauh

mana seorang karyawan mengidentifikasikan diri dengan organisasi tertentu

dengan tujuan untuk mempertahankan keanggotaannya dalam suatu organisasi.

Meyer dan Allen (1997) menjelaskan bahwa terdapat tiga dimensi yang

dapat membentuk komitmen organisasi yaitu komitmen afektif, komitmen

kontinum dan komitmen normatif. Komitmen afektif berkaitan dengan kelekatan

emosi karyawan terhadap organisasi, mengidentifikasikan dirinya, dan

menunjukkan keikutsertaan mereka terhadap organisasi. Karyawan yang memiliki

komitmen afektif yang tinggi cenderung untuk menlanjutkan pekerjaannya dengan

organisasi karena mereka menginginkan hal tersebut. Mereka akan merasa

bahagia ketika bekerja, menikmati pekerjaan, terikat secara emosional, dan

merasa terikat dan menjadi bagian dalam perusahaan.

Komitmen kontinum berkaitan dengan kesadaran yang dimiliki karyawan

mengenai kerugian yang akan dihadapi apabila mereka meninggalkan organisasi.

Karyawan yang memiliki komitmen kontinum yang tinggi akan mempertahankan

(26)

perusahaan, mendapatkan fasilitas dari perusahaan, dan belum tentu akan

mendapatkan perusahaan yang lebih baik. Berdasarkan hasil wawancara yang

dilakukan peneliti terhadap supir taksi berbasis konvensional, dapat disimpulkan

bahwa supir taksi berbasis konvensional ketika meninggalkan perusahaan tidak

akan mendapatkan pemasukan komisi yang pasti didapat saat bekerja. Selain itu,

supir taksi berbasis konvensional belum tentu mendapatkan pekerjaan yang lebih

baik dari supir taksi, karena hanya memiliki keterampilan menyupir dan sim A

saja. Hal ini menyebabkan supir taksi berbasis konvensional di Yogyakarta

memiliki komitmen kontinum yang tinggi sehingga tetap bertahan didalam

perusahaan taksi berbasis konvensional di Yogyakarta. Komitmen normatif

berkaitan dengan perasaan mengenai kewajiban untuk tetap melanjutkan

pekerjaan mereka. Karyawan yang memiliki komitmen normatiftinggi cenderung

merasa bahwa mereka harus tetap bersama dengan organisasi dan memiliki

loyalitas terhadap perusahaan.

Komitmen organisasi memiliki beberapa dampak positif bagi perusahaan.

Menurut Riggio (2008) seseorang yang mempunyai komitmen tinggi akan

menunjukkan tingkat absen dan turnover rendah dan sikap pegawai yang positif

terhadap pekerjaan dan organisasinya. Fitriastuti (2013) menunjukkan bahwa

komitmen organisasi yang tinggi menunjukkan performansi kerja yang optimal,

sehingga dapat memberikan kontribusi kepada organisasinya. Kontribusi tersebut

berupa pegawai akan tetap menjadi anggota organisasi dengan terus meningkatkan

performasi kerjanya dengan tujuan untuk kemajuan organisasi. Selain itu,

(27)

sosial karyawan, sehingga menambah kekompakan dan kenyamanan dalam

bekerja (Pareke, 2004).

Penelitian Mathieu dan Zajac (1990) bertujuan untuk mengkaji hasil

penelitian secara empirik tentang anteseden, korelasi dan dampak komitmen

organisasi menggunakan metode meta-analisis. Penelitian Mathieu dan Zajac

(1990) ini menyatakan bahwa terdapat empat anteseden komitmen organisasi.

Salah satu anteseden komitmen organisasi tersebut yaitu karakteristik pekerjaan.

Karakteristik ini menjelaskan adanya hubungan positif antara komitmen

organisasi dengan tantangan atau kesulitan kerja. Tantangan kerja penting untuk

dihadapi karena memicu karyawan memiliki karakteristik rasa ingin tahu,

berkompeten dan jeli terhadap permasalahan.

Karyawan yang memiliki karakteristik tersebut akan berfokus pada

penyelesaian masalah sehingga karyawan akan melihat bahwa tantangan kerja

merupakan kesempatan untuk memiliki kemampuan baru dan berkembang dengan

menunjukkan kemampuan baru tersebut dalam menghadapi permasalahan serta

bertahan di dalam perusahaan (Broeck et all, 2010). Sedangkan, karyawan yang

tidak mampu menghadapi tantangan kerja akan cenderung kehilangan kesempatan

untuk memiliki kemampuan dan berkembang karena karyawan memandang

tantangan kerja sebagai penghambat dalam bekerja sehingga karyawan merasa

kelelahan dan burnout akan pekerjaannya. Hal ini berarti bahwa komitmen

organisasi seseorang dipengaruhi oleh bagaimana seseorang menghadapi

tantangan atau kesulitan di tempat kerja. Menurut Stoltz (2007) Tantangan atau

(28)

tempat kerja dan individu. Kemampuan yang dimiliki seseorang dalam

menghadapi tantangan atau kesulitan di tempat kerja disebut Adversity Quotient.

Adversity quotient adalah kecerdasan dan kemampuan yang dimiliki

seseorang untuk mengatasi dan menghadapi kesulitan, sekaligus bagaimana ia

dapat bertahan di tengah kesulitan (Stoltz, 2007). Selain itu, Agustian (2011)

mendefinisikan Adversity Quotient sebagai kecerdasan yang dimiliki seseorang

dalam mengatasi kesulitan dan sanggup bertahan hidup. Contoh dari Adversity

Quotient pada supir taksi berbasis konvensional di Yogyakarta yaitu munculnya

teknologi digital didunia transportasi yang cara pengoperasian aplikasi onlinenya

dianggap sulit untuk dipelajari namun mereka masih sanggup bertahan. Hal ini

didukung dengan masih adanya supir taksi berbasis konvensional yang beroperasi

sebanyak 1.025 taksi serta berupaya untuk membuat aplikasi online dan pelatihan

penggunaan untuk taksi berbasis konvensional.

Seseorang yang memiliki Adversity Quotient tinggi dalam konteks

perusahaan maka ia akan memiliki kepuasan kerja yang tinggi pula, sehingga

tingkat burnout pada karyawan rendah (Robbins, 2002). Selain itu, Adversity

Quotient yang tinggi akan membantu individu memperkuat kemampuan dan

ketahanan kerja karyawan dalam menghadapi permasalahan dan tantangan hidup

sehari- hari dengan memegang prinsip dan impian yang dimiliki tanpa

menghiraukan apapun yang terjadi, sehingga kemungkinan karyawan keluar dari

organisasi tempat ia bekerja bisa diminimalisir (Stoltz, 2007).

Berbeda dengan seseorang yang memiliki Adversity Quotient yang rendah

(29)

cenderung melarikan diri dari permasalahan yang ditemui dan berakhir pada

keluarnya karyawan dari perusahaan (Stoltz, 2007). Seseorang dengan Adversity

Quotient yang rendah dalam hal bekerja menunjukkan sedikit ambisi dan

semangat kerja yang minim sehingga keinginan untuk memberikan tenaga dan

tanggungjawab yang lebih tinggi dalam menyokong kesejahteraan dan

keberhasilan tujuan organisasi perusahaan rendah (Steers & Porters, 1983). Selain

itu, seseorang dengan Adversity Quotient yang rendah mempunyai kreativitas

yang sempit sehingga sulit menemukan cara atau metode untuk meraih

kesuksesan yang berdampak turunnya tanggungjawab karyawan mengerjakan

hal-hal diluar tugas (Stoltz,2007). Karakter yang ditunjukkan pekerja dengan

Adversity Quotient yang rendah ini justru menjadi beban perusahaan.

Melihat kelebihan dan kekurangan Adversity Quotient yang berdampak

pada beberapa aspek kehidupan dalam bekerja, maka Adversity Quotient menjadi

hal yang penting untuk dimiliki karyawan. Seperti yang telah dipaparkan

sebelumnya, Adversity Quotient berperan penting untuk mencapai keberhasilan

tujuan perusahaan. Hal itu menunjukkan bahwa Adversity Quotient yang tinggi

akan membuat seseorang memiliki ketahanan seseorang dalam mengahapi

masalah di suatu perusahaan sehingga enggan beralih ke perusahaan lain (Mathieu

dan Zajac,1990). Keengganan beralih ke perusahaan lain inilah yang menjadi

prinsip utama dari komitmen organisasi (Bathaw & Grant dalam Sopiah, 2008).

Selain itu, penelitian Brickman, Dunkel-Schetter, dan Abbey (1987) menyatakan

bahwa Adversity Quotient sarana pengembangan komitmen dan mendorong

(30)

itu, penelitian yang dilakukan akan melihat hubungan antara komitmen organisasi

dengan Adversity Quotient pada supir taksi berbasis konvensional.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan tersebut, peneliti merumuskan masalah dalam

penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara Adversity Quotient dan

komitmen organisasi pada supir taksi berbasis konvensional ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan Adversity Quotient dan

komitmen organisasi pada supir taksi berbasis konvensional.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini memiliki kontribusi dalam menambah wawasan

dalam bidang psikologi industri organisasi terutama tentang Adversity

Quotient dan komitmen organisasi.

2. Manfaat Praktis

2.1. Bagi perusahaan

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah untuk memberikan

wawasan sebagai bahan evaluasi permasalahan yang dihadapi pada

perusahaan yang bergerak di bidang jasa, khususnya masalah yang terkait

(31)

2.2. Bagi subjek penelitian

Dari sudut pandang karyawan, manfaat praktis dari penelitian ini

adalah sebagai dasar untuk melakukan evaluasi dan refleksi diri terkait

(32)

11 BAB II

DASAR TEORI

Dalam bab ini, peneliti akan membahas mengenai variabel komitmen

organisasi dan Adversity Quotient. Kedua variabel tersebut akan dijabarkan mulai

dari definisi, dimensi, faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi dan

manfaat Adveristy Quotient. Kemudian peneliti akan menjelaskan mengenai

dinamika hubungan antara komitmen organisasi dan Adversity Quotient pada supir

taksi berbasis konvensional. Setelah itu, peneliti akan meringkas dari keseluruhan

pembahasan dan menyertakan bagan untuk membantu mempermudah pembaca

memahami isi ringkasan. Terakhir, peneliti menuliskan hipotesis yang akan diuji

pada penelitian ini.

A. Komitmen Organisasi

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai komitmen organisasi yang terdiri

dari pengertian, dimensi, dan faktor dari komitmen organisasi.

1. Pengertian Komitmen Organisasi

Meyer dan Allen (1997) menjelaskan komitmen organisasi

merupakan karakteristik hubungan antara anggota organisasi dengan

organisasinya serta memiliki pengaruh pada keputusan individu untuk

melanjutkan keanggotaannya dalam organisasi tersebut. Pendapat yang

serupa dikemukakan oleh O’Reilly (1986) yang mengatakan bahwa

komitmen karyawan pada organisasi sebagai ikatan psikologis individu

(33)

perasaan percaya terhadap nilai-nilai organisasi. Selain itu, Luthans (1995)

juga mendefinisikan komitmen organisasi adalah sebuah sikap mengenai

loyalitas seorang karyawan terhadap organisasi dan hal tersebut

merupakan proses yang berlangsung terus-menerus. Luthans menyatakan

bahwa karyawan yang memiliki komitmen terhadap perusahaannya akan

mempunyai keinginan menuju level keahlian yang lebih tinggi atas nama

organisasi, mempertahankan keanggotaannya, dan memiliki kepercayaan

serta penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.

Riggio (2008) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai

perasaan dan sikap yang dimiliki pekerja terhadap organisasi secara

keseluruhan. Pendapat yang serupa dikemukakan oleh Hui dan Lee (2000)

memaparkan bahwa komitmen organisasi mencerminkan sejauh mana

responden merasa setia, peduli, dan bangga pada organisasi yang diikuti.

Selain itu, Robbin dan Judge (2017) mendefinisikan komitmen organisasi

merupakan sejauh mana seorang karyawan mengidentifikasikan diri

dengan organisasi tertentu dengan tujuan untuk mempertahankan

keanggotaannya dalam suatu organisasi. Komitmen organisasi menurut

Mowday, Steers dan Porter (1982) adalah keinginan anggota organisasi

untuk tetap mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi dan

bersedia berusaha keras untuk mencapai tujuan organisasi. Kreitner dan

Kinicki (1991) menyatakan bahwa komitmen organisasi sebagai tingkat

dimana individu memihak kepada organisasi dan mengikatkan diri pada

(34)

bahwa komitmen organisasi mengacu pada sejauh mana pegawai akan

mendukung tujuan dan kesejahteraaan organisasi. Wiener (1982)

mengungkapkan bahwa komitmen organisasi di definisikan sebagai

dorongan dari dalam individu untuk melakukan sesuatu agar dapat

menunjang keberhasilan organisasi sesuai dengan tujuan yang ditetapkan

dan lebih mengutamakan kepentingan organisasi

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa

komitmen organisasi merupakan ikatan psikologis karyawan terhadap

organisasi yang ditandai dengan menerima tujuan-tujuan organisasi,

adanya kesetiaan serta kepercayaan, dan bersedia mempertahankan

keanggotaannya di dalam organisasi.

2. Dimensi Komitmen Organisasi

Meyer & Allen (1997) menjelaskan bahwa komitmen organisasi

yang terdiri dari dimensi afektif, kontinum dan normatif sebagai ini satu

kesatuan yang utuh atau disebut dengan multidimensi. Meyer & Allen

(1997) membedakan komitmen organisasi menjadi 3 dimensi, yaitu:

a. Komitmen Afektif

Komitmen afektif merupakan keinginan untuk tetap menjadi

anggota organisasi karena keterikatan emosi dan keterlibatan

dengan organisasi tersebut. Karyawan yang memiliki

komitmen afektif yang tinggi akan mengidentifikasi dirinya

dengan organisasi, menerima tujuan dan nilai- nilai yang

(35)

ekstra atas nama organisasi (Mowday et al dalam Colquite, Le

Pine & Wesson, 2015). Melalui identifikasi dirinya dengan

organisasi, pegawai akan melihat keanggotaan organisasi

sebagai penting untuk diri mereka. Komitmen afektif juga

mencerminkan ikatan emosional untuk organisasi, maka secara

natural mempengaruhi ikatan emosional antara rekan kerja

(Mathieu & Zajac dalam Collquite, Le Pine & Wesson,

2015). Selain itu, komitmen afektif ini ditandai dengan

keyakinan kuat dan penerimaan akan tujuan dan nilai-niai

organisasi, kemauan untuk melakukan usaha atas nama

organisasi, dan keinginan yang kuat untuk tetap menjadi

bagian dari organisasi (Levy, 2010). Komitmen afektif ini

dapat terbentuk dari pengalaman pegawai di organisasi tersebut

sehingga menghasilkan perasaan yang nyaman dan sesuai

dengan dirinya.

b. Komitmen Kontinum

Keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi karena

kesadaran yang berkaitan dengan biaya meninggalkan

organisasi tersebut. Komitmen kontinum terjadi ketika ada

keuntungan terkait dengan tetap tinggal dan biaya yang

terkait dengan meninggalkan organisasi (Kanter dalam

Collquite, Le Pine & Wesson, 2015). Namun, karyawan

(36)

menimbulkan kesulitan untuk mengubah organisasi karena

adanya hukuman yang terkait dengan hal mengganti

(Stebbins dalam Collquite, Le Pine & Wesson, 2015).

Salah satu faktor yang meningkatkan komitmen kontinum

adalah jumlah total investasi (dalam hal waktu, tenaga,

energi, kesempatan dll), dimana pegawai telah dibuat

menguasai peran pekerjaan mereka atau menjalankan tugas

organisasi mereka (Becker dalam Collquite, Le Pine &

Wesson, 2015). Karyawan yang memiliki komitmen

kontinum ini memiliki prinsip “apa yang terbaik untuk saya”

bukan karena rasa tertarik bekerja di organisasi tersebut.

c. Komitmen Normatif

Keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi karena

adanya suatu perasaan wajib. Komitmen normatif muncul

ketika ada perasaan tetap tinggal adalah hal yang "benar" atau

"moral" untuk dilakukan. Seorang pegawai merasa harus

tetap tinggal dengan atasan mereka saat ini karena penilaian

pribadi yang dikategorikan sebagai rasa benar dan salah. Rasa

benar dan salah ini dikembangkan melalui pembelajaran

selama mereka bekerja di dalam perusahaan. Karyawan

dengan komitmen normatif yang tinggi akan merasa bahwa

(37)

ini juga dipengaruhi oleh sosialisasi dan budaya yang dimiliki

karyawan.

3. Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi

David (dalam Minner, 1997) mengemukakan beberapa faktor yang

mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu :

a. Faktor personal, misalnya jenis kelamin, usia, pengalaman

kerja, tingkat pendidikan, dan kepribadian.

b. Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, konflik

peran, tingkat kesulitan, dan tantangan dalam pekerjaan.

Tantangan dalam pekerjaan mempunyai hubungan yang

positif dengan komitmen kerja (Mathieu dan Zajac,1990).

c. Karakteristik struktur, misalnya besar atau kecilnya

organisasi, bentuk organisasi seperti sentralisasi atau

desentralisasi, kehadiran serikat pekerja dan tingkat

pengendalian yang dilakukan organisasi terhadap karyawan.

d. Pengalaman kerja merupakan suatu hal yang sangat

berpengaruh terhadap tingkat komitmen karyawan pada

organisasi. Karyawan yang baru beberapa tahun bekerja dan

karyawan yang sudah bertahun-tahun bekerja tentunya

(38)

B. Adversity Quotient

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai Adversity Quotient yang terdiri dari

pengertian, dimensi, tingkat kesulitan pada Adversity Quotient dan manfaat

dari Adversity Quotient.

1. Pengertian Adversity Quotient

Stoltz (2000) mengatakan bahwa Adversity Quotient adalah

suatu bentuk kecerdasan yang mengukur kemampuan seseorang

untuk bertahan dalam kesulitan dan mengatasinya. Adversity

Quotient dapat menjelaskan bagaimana seseorang berperilaku dalam

situasi sulit, apakah ia dapat mengendalikan situasi, menemukan

sumber permasalahan, mempunyai rasa memiliki dalam situasi

tersebut, membatasi efek dari kesulitan, dan bagaimana seseorang

tersebut optimis bahwa kesulitan akan segera berakhir (Phoolka &

Kaur, 2012). Adversity Quotient j u g a dapat memprediksi siapa

yang akan berhasil mengatasi kesulitan, dan siapa yang akan gagal

dan menyerah. Adversity Quotient menggabungkan teori ilmiah dan

penerapan di dunia nyata dalam setiap konsepnya, sehingga Adversity

Quotient tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga peralatan

yang secara praktis dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas

pribadi demi tercapainya kesuksesan di berbagai bidang kehidupan

(Stoltz, 2000). Abdilah (2006) juga mengemukakan bahwa Adversity

Quotient adalah kecerdasan mengelola hidup dan mampu melihat

(39)

Quotient adalah pengetahuan tentang ketahanan individu, individu

yang secara maksimal menggunakan kecerdasan ini akan menghasilkan

kesuksesan dalam menghadapi tantangan, baik tantangan besar atau

kecil di dalam kehidupan sehari-hari.

Song dan Woo (2015) mendefinisikan Adversity Quotient

adalah kemampuan seseorang untuk bertahan dan mengatasi kesulitan

yang dialami. Pendapat serupa dikemukakan oleh Selain itu, Hidayat

(2001) mendefiniskan Adversity Quotient adalah cara individu

merespon dan menjelaskan kesulitan yang dihadapinya. Surekha

(2001) menyatakan bahwa Adversity Quotient merupakan cara

mengukur seseorang dalam menghadapi dan merespon hambatan yang

muncul dalam kehidupannya.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa

Adversity Quotient adalah bentuk kecerdasan yang mengukur

kemampuan seseorang untuk menghadapi dan mengatasi suatu masalah,

(40)

2. Dimensi Adversity Quotient

Stoltz (2000) mengatakan bahwa Adversity Quotient terdiri atas

empat dimensi, yaitu Control, Origin-Ownership, Reach, dan Endurance

(CO2RE):

a. C = Control (Kendali)

Dimensi control ingin mengukur dua hal, yang

pertama sejauh mana seseorang merasa mampu

mengendalikan dan mempengaruhi sebuah situasi sulit secara

positif, yang kedua sejauh mana seseorang mampu

mengendalikan tanggapannya sendiri terhadap sebuah situasi

sulit. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi

control merasakan kendali yang kuat atas peristiwa-peristiwa

yang buruk. Besarnya pengendalian yang dirasakan akan

membawa individu pada usaha penyelesaian masalah dengan

mengambil sebuah tindakan. Selain itu, individu yang

memiliki skor tinggi pada dimensi control memiliki

kemampuan untuk bertahan menghadapi kesulitan dan tetap

teguh dalam mencari penyelesaian masalah.

Sebaliknya, individu yang memiliki skor rendah pada

dimensi control memiliki keyakinan bahwa apapun yang

mereka kerjakan tidak akan merubah keadaan. Individu

yang kemampuan pengendaliannya rendah sering merasa

(41)

kesulitan. Mereka juga akan cenderung bereaksi dengan cara

yang negatif pada saat kesulitan melanda, seperti

mengumpat, menghina, bahkan mengucapkan kata-kata yang

kemudian mereka sesali. Hal tersebut dapat terjadi karena

individu yang memiliki skor rendah pada dimensi control

tidak mampu mengendalikan ataupun merubah reaksi

internal yang ada dalam pikiran mereka sehingga terlepas

begitu saja dalam wujud kata-kata dan tindakan.

b. O2 = Origin-Ownership (Asal-usul dan Pengakuan)

Dimensi origin-ownership ingin mengukur dua hal,

yang pertama sejauh mana seseorang menemukan penyebab

dari suatu kesulitan dengan tepat, yang kedua sejauh mana

seseorang mengakui dan bertanggung jawab atas suatu

kesulitan tanpa mempedulikan penyebabnya. Individu yang

memiliki skor tinggi pada dimensi origin-ownership mampu

memandang perasaan bersalah sebagai sebuah umpan balik

untuk melakukan perbaikan. Rasa bersalah yang sewajarnya

akan menggugah mereka untuk belajar dari kesalahan untuk

menghindari kesalahan yang sama terulang lagi. Selain itu,

individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi

origin-ownership akan menghindarkan diri dari sikap menyalahkan

orang lain, mengambil tindakan bertanggung jawab tanpa

(42)

dengan berpikir positif.

Individu yang memiliki skor rendah pada dimensi

origin-ownership cenderung tidak mampu menimpakan suatu

kesalahan pada tempat yang semestinya. Terkadang mereka

melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab

terjadinya peristiwa-peristiwa yang buruk. Hal ini yang

membuat mereka mudah sekali dilanda perasaan bersalah

yang terlampau besar. Rasa bersalah memang tidak selamanya

berdampak negatif, namun rasa bersalah yang terlampau

besar akan menjadi destruktif dan menempatkan individu

pada penyesalan yang tidak sewajarnya. Di sisi lain,

seringkali mereka sibuk untuk mencari-cari sumber

permasalahan dan menimpakan kesalahan kepada orang

lain. Hal ini yang membuat individu dengan skor rendah

pada dimensi origin-ownership menghindarkan diri dari

pengakuan dan tindakan bertanggung jawab atas sebuah

situasi sulit. Selain itu, dimensi origin-ownership yang rendah

akan membuat seseorang cepat menyerah, kinerja berkurang

dan sulit mengidentifikasi masalah.

c. R = Reach (Jangkauan)

Dimensi reach mengukur sejauh mana seseorang

mampu membatasi kesulitan agar tidak menjangkau bidang

(43)

pada dimensi reach akan merespon kesulitan sebagai sesuatu

yang spesifik dan terbatas. Sebagai contoh, kesalahpahaman

dengan orang yang dikasihi adalah sebatas

kesalahpahaman, bukan pertanda bahwa suatu hubungan

akan berakhir. Membatasi jangkauan kesulitan

memungkinkan individu untuk berpikir jernih dalam

mengambil tindakan sehingga seseorang akan lebih berdaya

dan perasaan putus asa atau kurang mampu akan berkurang.

Sebaliknya, individu yang memiliki skor rendah pada

dimensi reach akan menganggap suatu kesulitan sebagai

bencana. Sebagai contoh, hasil penilaian kinerja yang

buruk dianggap sebagai sesuatu yang menghambat karir

dan pada akhirnya melemahkan motivasi kerja.

Membiarkan kesulitan menjangkau bidang-bidang

kehidupan yang lain hanya akan menguras tenaga dan

membuat seseorang menjadi semakin tidak berdaya untuk

mengambil sebuah tindakan penyelesaian.

a. E = Endurance (Daya Tahan)

Dimensi endurance mengukur seberapa lama

seseorang menganggap sebuah kesulitan dan penyebab

kesulitan akan berlangsung. Individu yang memiliki skor

tinggi pada dimensi endurance akan menganggap kesulitan

(44)

sementara, cepat berlalu, dan kecil kemungkinannya akan

terjadi lagi. Anggapan seperti ini akan meningkatkan

optimisme dan dorongan untuk bertindak. Sebaliknya,

individu yang memiliki skor rendah pada dimensi endurance

akan menganggap kesulitan dan penyebab-penyebabnya

sebagai sesuatu yang sifatnya permanen dan berlangsung

lama. Anggapan seperti ini kan menyebabkan hilangnya

harapan dan dorongan untuk bertindak.

3. Tiga Tingkat Kesulitan pada Adversity Quotient

Stoltz (2000) mengatakan bahwa ukuran dan frekuensi kesulitan

yang harus dihadapi setiap orang semakin besar dari hari ke hari.

Kesulitan hidup terus meningkat dan tidak pernah berhenti. Untuk

membantu menjelaskan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh manusia,

Stoltz (2000) memperkenalkan model “Tiga Tingkat Kesulitan”. Model

ini hendak menggambarkan suatu kenyataan bahwa kesulitan

merupakan bagian dari hidup yang ada di mana-mana, nyata, dan

tidak terelakkan. Selain itu, model ini juga hendak memperlihatkan

bahwa perubahan positif yang dapat terjadi pada ketiga tingkatnya

berawal dari individu yang mengalami kesulitan.

a. Kesulitan di Masyarakat.

Pada zaman sekarang ini, masyarakat dihadapkan pada

banyak kesulitan, misalnya: tindakan kejahatan yang meningkat

(45)

kerusakan lingkungan yang semakin parah, krisis moral yang

melanda generasi muda, perubahan pandangan terhadap

kehidupan rumah tangga, dan hilangnya kepercayaan terhadap

lembaga-lembaga pemerintah. Stoltz (2000) menyebut perubahan

tersebut sebagai kesulitan masyarakat.

b. Kesulitan di Tempat Kerja.

Stoltz (2000) mengatakan bahwa situasi sulit di tempat

kerja semakin meningkat, hal ini menyebabkan frustrasi yang

dialami kaum pekerja semakin menumpuk. Mengerjakan

banyak hal dengan upah yang sedikit merupakan salah satu

dari sekian banyak kesulitan yang dapat ditemukan di tempat

kerja. Tuntutan-tuntutan dan ketidakpastian yang harus

dihadapi seringkali membuat kaum pekerja berangkat ke

tempat kerja dengan perasaan cemas setiap harinya.

c. Kesulitan Individu.

Phoolka dan Kaur (2012) menyebutkan beberapa

contoh kesulitan yang terjadi pada tingkat individu,

diantaranya adalah rasa kesepian, kurang percaya diri,

kehilangan semangat, kelelahan, dan kesehatan yang buruk.

Namun, sesuai dengan penjelasan sebelumnya mengenai model

“Tiga Tingkat Kesulitan”, pada tingkat inilah individu dapat

(46)

4. Manfaat Adversity Quotient

Adversity Quotient mempunyai banyak manfaat yang baik bagi

seseorang untuk menghadapi kesulitan di pekerjaannya. Saat seseorang

mempunyai Adversity Quotient yang tinggi maka ia akan mampu untuk

mengatasi keadaan frustasi atas permasalahan dalam organisasinya

sehingga masih tetap menjaga komitmen organisasi terkhusus pada

komitmen afektif pada organisasi (Bukhari, Tazeem A.S., Saeed,

Muhammad M., Nisar, Muhammad, 2011). Selain itu, seseorang yang

memiliki Adversity Quotient tinggi akan memiliki kemampuan beradaptasi

dengan masalah yang sedang dihadapi perusahaan. Keadaan yang sedang

banyak mengalami permasalahan tersebut justru meningkatkan komitmen

organisasi seseorang (Sitompul, Cynthia M, 2016). Peran Adversity

Quotient bagi karyawan dalam bidang pekerjaan menurut Stoltz (2000),

yaitu :

a. Memiliki daya saing

Satterfield dan Seligman (dalam Stoltz, 2000)

menemukan bahwa karyawan yang merespon kesulitan secara

optimis bersikap lebih produktif dan berani untuk melakukan

pekerjaan yang lebih banyak resikonya. karyawan yang

pesimis terhadap kesulitan menimbulkan lebih banyak sikap

pasif dan hati- hati dalam melakukan pekerjaannya serta mudah

(47)

b. Memiliki produktivitas kerja yang baik

Para pemimpin perusahaan mempunyai persepsi bahwa

karyawan dengan adversity quotient yang tinggi akana unggul

dibandingkan karyawan dengan adversity quotient yang

rendah. Selligman (dalam Stoltz, 2000) membuktikan bahwa

karyawan yang tidak merespon kesulitan dengan baik akan

kurang produktif, dan kinerjanya lebih buruk daripada

karyawan yang merespons kesulitan dengan baik.

c. Memiliki kreativitas yang luas

Joel Barker (dalam Stoltz, 2000) menyatakan bahwa

kreativitas dapat muncul dari sebuah keputusasaan.

Kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan

yang ditimbulkan oleh hal-hal yang tidak pasti.

d. Memiliki motivasi kerja

Penelitian yang dilakukan pada perusahaan farmasi,

tentang pengukuran adversity quotient dari para pekerjaan harian

ataupun jangka panjang didapatkan hasil bahwa mereka yang

memiliki adversity quotient tinggi dianggap sebagai karyawan

yang paling memiliki motivasi (Stoltz, 2000).

e. Memiliki keberanian untuk mengambil resiko

Seseorang yang memiliki kemampuan dalam memegang

kendali, sebenarnya berani mengambil resiko dalam hidupnya,

(48)

dipikirkan. Sebagaimana telah dibuktikan oleh Satterfield dan

Selligman (dalam Stoltz, 2000), orang- orang yang merespon

kesulitan secara lebih konstruktif, bersedia mengambil lebih

banyak resiko karena resiko dianggap sebagai hal yang esensial

dalam proses mendaki.

f. Memiliki kemampuan dalam melakukan perbaikan

Pada zaman sekarang, karyawan harus mampu

melakukan perbaikan untuk dapat bertahan hidup. Karyawan harus

dapat melakukan perbaikan untuk mencegah agar tidak ada orang

yang ketinggalan oleh zaman baik dalam karier maupun dalam

hubungan sosial. Ditemukan bahwa karyawan yang memiliki

adversity quotient yang tinggi menjadi lebih baik dalam

kehidupannya.

g. Memiliki ketekunan

Ketekunan merupakan inti dari proses mendaki seseorang.

Ketekunan adalah kemampuan untuk terus menerus berusaha,

bahkan saat seseorang dihadapkan dengan sebuah kemunduran

ataupun kegagalan. Selligman (Stoltz, 2000) membuktikan

bahwa karyawan yang merespon kesulitan dengan baik akan

cepat pulih dari kekalahan dan mampu untuk terus bertahan.

karyawan yang responnya buruk saat berhadapan dengan

kesulitan akan mudah untuk menyerah. Adversity Quotient dinilai

(49)

ketekunan.

h. Memiliki keinginan untuk terus belajar

Pada abad ini, mengumpulkan dan memproses ilmu

pengetahuan tidak pernah berhenti. Hal ini dibuktikan oleh Carol

Dweck (Stoltz,2000), bahwa anak- anak dengan respon- respon

yang pesimistis dalam menghadapi kesulitan tidak akan banyak

belajar dan berprestasi. Sedangkan anak-anak yang memiliki

respon-respon yang optimistis akan jauh lebih baik dalam belajar

menghadapi kesulitan.

i. Memiliki kemampuan untuk dapat merangkul perubahan

Saat individu mengalami perubahan yang tidak pernah

berhenti dalam hidup, maka kemampuan individu dalam

menghadapi ketidakpastian dan pijakan yang berubah menjadi

hal yang penting. Individu bisa sukses apabila memiliki

keefektifan dalam mengatasi dan merangkul perubahan tersebut.

Individu harus menghindari pemikiran bahwa akan dikalahkan dan

dilumpuhkan dengan adanya perubahan tersebut, hal ini

berdampak pada individu cenderung menyerah dalam menghadapi

arus perubahan tersebut.

5. Supir Taksi Berbasis Konvensional

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sopir adalah pengemudi

mobil. Sedangkan Angkutan Taksi adalah angkutan dengan menggunakan

(50)

dengan argometer yang melayani angkutan dari pintu ke pintu dengan

wilayah operasi dalam kawasan perkotaan (Republik Indonesia, 2017).

Febriany (2014), Taksi adalah angkutan umum yang menggunakan

mobil untuk mengangkut penumpangnya dengan tarif layanan jasa

angkutan yang dihitung dengan dua cara yaitu penghitungan tarif secara

otomatis sesuai jarak yang ditempuh dengan menggunakan argometer,

kemudian dengan cara kesepakatan penumpang dan pengemudi dalam

menentukan tarif. Setyanto (2017) menjelaskan bahwa taksi konvensional

adalah salah satu alternatif alat transportasi darat dilengkapi dengan

argometer yang banyak diminati oleh masyarakat. Cara menggunakan jasa

taksi berbasis konvensional ini cukup mudah hanya dengan memesan

melalui menelpon operator ataupun memanggil langsung saat dijalan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa

pengemudi yang salah satu alternatif alat transportasi darat menggunakan

mobil untuk mengangkut penumpangnya dengan tarif layanan jasa

angkutan yang dihitung dengan dua cara yaitu penghitungan tarif secara

otomatis sesuai jarak yang ditempuh dengan menggunakan argometer,

kemudian dengan cara kesepakatan penumpang dan pengemudi dalam

menentukan tarif.

Rosenbloom (2007) menyatakan bahwa supir taksi merupakan

kelompok yang unik. Keunikan ini terlihat dari karakteristik supir taksi

yang memiliki kepribadian berani mengambil resiko tinggi dengan

(51)

mengubah jalur jalan kendaraan (Botes, 1997). Selain itu, supir taksi

mempunyai jam kerja selama 27,35 hari dalam sebulan dan hanya

beristirahat selama 2,65 hari dalam sebulan (Tseng,2012). Supir taksi

dalam melakukan pekerjaannya sudah menggunakan teknologi internet

seperti Google Maps, Ruby on Rails yang dikombinasikan dengan

perangkat bergerak berbasis Android sehingga meningkatkan efisien dari

pelayanan pengoperasian armada taksi (Emanuel & Salim, 2015). Namun,

adanya perkembangan teknologi internet menyebabkan munculnya taksi

berbasis internet seperti uber taksi dan grab taksi sehingga ada penolakan

besar besaran oleh supir taksi berbasis konvensional karena taksi online

jauh lebih murah (Oktavianti & Fridha, 2016).

Supir taksi mempunyai durasi duduk dalam menyetir selama 18 jam

perhari dan menjadi perokok sedang (Firmanita, Rosdiana & Indrayani,

2015). Supir taksi mempunyai usia rata-rata 21-30 tahun dengan

pengalaman kerja antara 5-10 tahun, mendapat 3-7 orang penumpang

dalam sehari, dan mendapat penghasilan antara Rp. 3.000.000-Rp.

4.000.000 perbulan (Nazaruddin, 2017). Selain itu, jenis operasi supir

taksi yaitu mangkal karena dapat menghemat pemakaian bahan bakar dan

menekan biaya perawatan mobil. Jam operasi supir taksi dapat mencapai

(52)

6. Dinamika Adversity Quotient dengan Komitmen Organiasi pada Supir

Taksi Berbasis Konvensional

Adversity Quotient adalah kemampuan seseorang dalam

menghadapi dan mengatasi suatu masalah sehingga mampu bertahan hidup.

Adversity Quotient dapat menjelaskan bagaimana seseorang berperilaku

dalam situasi sulit, apakah ia dapat mengendalikan situasi, menemukan

sumber permasalahan, mempunyai rasa memiliki dalam situasi tersebut,

membatasi efek dari kesulitan, dan bagaimana seseorang tersebut

optimis bahwa kesulitan akan segera berakhir (Phoolka & Kaur, 2012).

Terdapat empat dimensi yang membentuk Adversity Quotient yaitu

kontrol (Control), asal-usul dan pengakuan (Origin-Ownership), jangkauan

(Reach), daya tahan (Endurance). Seseorang yang memiliki dimensi kontrol

yang tinggi akan menunjukkan sikap mampu bertahan dalam mengatasi

masalah serta dapat gigih dalam menyelesaikan masalah. Seseorang yang

memiliki dimensi asal-usul dan pengakuan yang tinggi akan bertanggung

jawab atas kesulitan yang terjadi dan tetap menghadapi masalah dengan

berpikir positif. Seseorang yang memiliki dimensi jangkauan tinggi akan

berpikir jernih untuk menyelesaikan masalah. Seseorang yang memiliki

dimensi daya tahan yang tinggi akanoptimis dalam menyelesaikan masalah

(Stoltz, 2000). Karakteristik karyawan tersebut yaitu saat menghadapi

tantangan akan muncul rasa ingin tahu, berkompeten dan jeli terhadap

permasalahan. Karyawan yang memiliki rasa ingin tahu, berkompeten dan

(53)

sehingga karyawan akan melihat bahwa tantangan kerja merupakan

kesempatan untuk memiliki kemampuan baru dan berkembang dengan

menunjukkan kemampuan barunya dalam menghadapi permasalahan serta

bertahan di dalam perusahaan (Broeck et all, 2010). Hal tersebut akan

membuat karyawan dapat menghadapi tantangan kerja sehingga

memunculkan komitmen organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen

organisasi akan menunjukkan keterlibatan emosional terhadap perusahaan

sehingga dapat menerima tujuan dan nilai perusahaan (komitmen afektif).

Selain itu, karyawan juga akan memiliki keinginan untuk bertahan

(komitmen kontinum) dan muncul perasaan benar saat bertahan di dalam

perusahaan (komitmen normatif) sehingga karyawan mempunyai komitmen

tinggi (Meyer & Allen, 1997).

Karyawan yang memiliki dimensi kontrol yang rendah maka ia akan

merasa tidak berdaya dalam menghadapi permasalahan. Selain itu,

karyawan yang memiliki dimensi asal-usul dan pengakuan yang rendah

menunjukkan sikap tidak bertanggung jawab atas permasalahan yang

terjadi. Karyawan yang memiliki dimensi jangkauan yang rendah akan

menganggap permasalahan menjadi bencana dan karyawan yang memiliki

dimensi daya tahan yang rendah akan pesimis dalam menyelesaikan

masalah (Stoltz, 2000). Karakteristik karyawan tersebut yaitu ketika

menghadapi tantangan tidak muncul rasa ingin tahu, berkompeten dan jeli

terhadap permasalahan. Karyawan yang tidak memiliki rasa ingin tahu,

(54)

penyelesaian masalah sehingga kehilangan kesempatan untuk memiliki

kemampuan baru dan berkembang dengan menunjukkan kemampuan

barunya dalam menghadapi permasalahan serta bertahan di dalam

perusahaan.

Selain itu, karyawan melihat bahwa tantangan kerja merupakan

penghambat dalam bekerja sehingga karyawan merasa kelelahan dan

burnout akan pekerjaannya (Broeck et all, 2010). Hal tersebut akan

membuat karyawan tidak dapat menghadapi tantangan kerja sehingga tidak

memunculkan komitmen organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen

organisasi akan menunjukkan sikap tidak mempunyai keterlibatan

emosional sehingga kurang dapat menerima tujuan dan nilai perusahaan

(komitmen afektif). Selain itu, karyawan akan memiliki keinginan untuk

keluar dari perusahaan (komitmen kontinum) dan merasa bertahan dalam

perusahaan itu tidak diharuskan (komitmen normatif) sehingga karyawan

(55)

7. Skema Penelitian

Adversity Quotient

- Mempunyai keterikatan secara emosional sehingga dapat menerima tujuan dan nilai perusahaan (Komitmen afektif). - Memiliki keinginan untuk bertahan

dari dalam perusahaan (Komitmen Kontinum).

- Memiliki perasaan benar saat bertahan dalam perusahaan (Komitmen Normatif).

Adversity Quotient Tinggi:

- Kontrol : Mampu bertahan dalam menghadapi masalah.

- Asal Usul dan Pengakuan : Bertanggung jawab atas permasalahan yang terjadi. bertanggung jawab atas permasalahan yang terjadi.

- Jangkauan : Menganggap permasalahan menjadi bencana.

- Daya Tahan : Hilangnya harapan untuk menyelesaikan masalah.

- Tidak mempunyai keterikatan secara emosional sehingga kurang dapat menerima tujuan dan nilai perusahaan (Komitmen afektif).

- Memiliki keinginan untuk keluar dari dalam perusahaan (Komitmen Kontinum).

- Tidak merasa bahwa bertahan dalam perusahaan itu diharuskan (Komitmen Normatif).

Saat menghadapi tantangan akan berfokus pada penyelesaian masalah dan melihat tantangan kerja merupakan kesempatan untuk berkembang sehingga dapat menghadapi tantangan kerja.

Saat menghadapi tantangan tidak berfokus pada penyelesaian masalah dan melihat tantangan kerja merupakan penghambat untuk memiliki kemampuan untuk berkembang sehingga tidak dapat menghadapi tantangan kerja.

Karyawan mempunyai komitmen organisasi rendah.

(56)

8. Hipotesis

Berdasarkan dinamika hubungan antar variabel yang telah dipaparkan

sebelumnya, maka peneliti menarik hipotesis penelitian yaitu:

Terdapat hubungan yang positif signifikan antara Adversity Quotient dengan

komitmen organisasi pada supir taksi berbasis konvensional. Hal ini berarti

bahwa semakin tinggi Adversity Quotient maka akan semakin tinggi

komitmen organisasi pada supir taksi berbasis konvensional. Sebaliknya,

semakin rendah Adversity Quotient maka akan semakin rendah komitmen

(57)

36

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif korelasional.

Penelitian kuantitatif korelasional menggunakan data berbentuk angka yang

dapat dianalalisis dengan teknik perhitungan statistik dan bertujuan untuk

menguji teori secara objektif yaitu mengetahui hubungan antara variabel

(Supratiknya, 2015).

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Terdapat dua variabel dalam penelitian ini yang terdiri dari variabel

tergantung dan variabel bebas, yaitu:

1. Variabel X : Adversity Quotient 2. Variabel Y : Komitmen Organisasi

C. Definisi Operasional

1. Adversity Quotient

Adversity Quotient adalah bentuk kecerdasan yang mengukur kemampuan supir taksi berbasi s konvensi onal untuk menghadapi dan

mengatasi suatu masalah, sehingga mampu bertahan hidup. Dalam

penelitian ini, Adversity Quotient akan diukur dengan menggunakan skala Adversity Quotient dari Adhimulya Nugraha Putra (2016).Skala ini terdiri dari 4 dimensi yaitu, kontrol, asal-usul dan pengakuan, jangkauan, dan daya

(58)

konvensi onal , sehingga semakin tinggi jumlah skor total per dimensi

Adversity Quotient yang didapat dari penjumlahan skor tertinggi pada tiap dimensi menunjukkan semakin tinggi Adversity Quotient pada supir taksi berbasi s konvensional .

2. Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi adalah ikatan psikologis supir taksi berbasis

konvensional terhadap organisasi yang ditandai dengan menerima

tujuan-tujuan organisasi, adanya kesetiaan serta kepercayaan, dan bersedia

mempertahankan keanggotaannya di dalam organisasi. Dalam penelitian

ini, komitmen organisasi akan diukur dengan menggunakan skala

komitmen organisasi dari Maria Endah Rusnindita Puspitasari (2017).

Skala ini terdiri dari 3 dimensi yaitu, komitmen afektif, komitmen

kontinum dan komitmen normatif. Hasil pengukuran dari komitmen

organisasi ditunjukkan dari skor total skala komitmen organisasi. Semakin

tinggi skor total komitmen organisasi yang diperoleh menunjukkan supir

taksi berbasis konvensional memiliki komitmen organisasi yang tinggi.

Akan tetapi, jika skor total komitmen organisasi rendah menujukkan bahwa

supir taksi berbasis konvensional memiliki komitmen organisasi yang

rendah.

D. Subjek Penelitian

Subjek pada penelitian ini adalah supir taksi berbasis konvensional.

Supir taksi berbasis konvensional adalah pengemudi yang menggunakan

(59)

angkutan yang dihitung dengan dua cara yaitu penghitungan tarif secara

otomatis sesuai jarak yang ditempuh dengan menggunakan argometer

serta kesepakatan antara penumpang dan pengemudi dalam menentukan

tarif. Proses seleksi sampel pada penelitian ini menggunakan

nonprobability sample atau convenience sample yaitu pemilihan sampel berdasarkan kemudahaan dan ketersediaan akses (Supratiknya, 2015).

E. Metode dan Pengumpulan Data

1. Adversity Quotient

Alat ukur yang digunakan untuk mengumpulkan data Adversity Quotient supir taksi berbasis konvensional adalah skala Adversity Quotient dari Adhimulya Nugraha Putra (2016) yang telah memperoleh ijin dari

Adhimulya Nugraha Putra untuk digunakan. Skala Adversity Quotient merupakan skala yang berbentuk model Likert.

Tabel 1.

Sebaran Item Skala Adversity Quotient

(60)

alternatif jawaban Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Netral (N), Tidak

Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Tabel dibawah ini

menjelaskan sistem pemberian skor pada skala Likert yang digunakan

dalam penelitian ini.

Tabel 2.

Skor Respon Pada Variabel Adversity Quotient

Tingginya skor respon pada skala ini menunjukkan tinginya nilai

Adversity Quotient pada subjek.

2. Komitmen Organisasi

Alat ukur yang digunakan untuk mengumpulkan data komitmen

organisasi supir taksi berbasis konvensional adalah skala Komitmen

Organisasi dari Maria Endah Rusnindita Puspitasari (2017) yang telah

memperoleh ijin dari Maria Endah Rusnindita Puspitasari untuk digunakan.

Skala komitmen organisasi merupakan skala yang berbentuk model Likert.

(61)

Tabel 3.

Sebaran Item Skala Komitmen Organisasi

Skala komitmen organisasi ini terdiri dari 18 item. Skala yang

digunakan dalam penelitian ini menggunakan pernyataan dengan

alternatif jawaban Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Netral (N), Tidak

Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Tabel dibawah ini

menjelaskan sistem pemberian skor pada skala Likert yang digunakan

dalam penelitian ini.

Tabel 4.

Skor Respon Pada Variabel Komitmen Organisasi

Tingginya skor respon pada skala ini menunjukkan tinginya nilai

Gambar

Tabel 34.  Kategori Dimensi Daya Tahan dari Adversity Quotient pada
Gambar 1. Scatterplot Hubungan antara Adversity Quotient dan Komitmen
Tabel 2. Skor Respon Pada Variabel Adversity Quotient
Tabel 4. Skor Respon Pada Variabel Komitmen Organisasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menguji apakah variable reputasi auditor, penjamin emisi, umur perusahaan, ukuran perusahaan dan

[r]

Bahwa dalam rangka kelancaran proses Belajar Mengajar untuk Program Studi D-ll PGSD Penjas Swadana kelas B, E dan F FIK-UNY Kampus Yogyakarta perlu ditetapkan nama Dosen pengajar

Proxy server adalah sebuah sistem yang menjembatani komputer dengan jaringan internet, dimana jaringan internet sering digunakan untuk mencari data dan informasi dengan cepat

[r]

Virtual Class khususnya pada matakuliah Rekayasa Pondasi Dangkal jurusan Teknik Sipil Universitas Gunadarma ini di tujukan kepada mahasiswa dan dosen yang bersangkutan untuk

NYAK

[r]