HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY QUOTIENT DAN
KOMITMEN ORGANISASI PADA SUPIR TAKSI BERBASIS
KONVENSIONAL
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Anggraini Ekowati Esthi Bringintyas 139114123
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
HALAMAN MOTTO
“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi
kekuatan kepadaku”
Filipi
4:13
“Karena masa depan sungguh ada dan harapanmu tidak akan hilang”
Amsal 23:18
“
Usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil”
(Unknown)
“Setiap orang mempunyai zona waktunya masing-masing, mungkin bukan sekarang atau besok atau lusa. Percaya semuanya akan dijadikanNYA
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Tuhan Yesus yang tidak pernah sedikitpun meninggalkanku selama proses pembuatan karya ini. Tuhan Yesus yang selalu memberi harapan, kesehatan,
kelancaran dalam setiap langkahku untuk menyelesaikan karya ini.
Mama Suyanti yang sudah bahagia di surga bersama Bapa , Mama yang selalu memotivasiku dan pengingat untuk tidak pernah menyerah.
Gervasius Damario Petra Wasiso anakku yang membuatku semangat menyelesaikan karya ini.
Aloysius Yuni Tri Purnomo suamiku yang tiada hentinya menemaniku disaat senang ataupun susah untuk menyelesaikan karya ini.
Papa, Adik, dan sahabat terkasihku yang selalu memberikan energi positif disaat mulai menyerah.
vii
HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY QUOTIENT DAN KOMITMEN
ORGANISASI PADA SUPIR TAKSI KONVENSIONAL
Anggraini Ekowati Esthi Bringintyas
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Adversity Quotient dan komitmen organisasi pada Supir Taksi Berbasis Konvensioal. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif signifikan antara Adversity Quotient dan komitmen organisasi pada Supir Taksi Berbasis Konvensional. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode analisis korelasi two tailed menggunakan program SPSS for Windows 22. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Adversity Quotient dan skala komitmen organisasi. Skala Adversity Quotient memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,816 dan skala komitmen organisasi memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,772. Penelitian ini tidak memenuhi uji asumsi karena data penelitian tidak linier sebesar (0,070, p>0,05). Namun, penelitian ini menggunakan analisis data tambahan. Teknik analisis data tambahan menggunakan uji korelasi Spearman’s Rho antar dimensi Adversity Quotient dan aspek komitmen organisasi karena sebaran data bersifat tidak normal. Hasil analisis tambahan penelitian ini adalah dimensi daya tahan pada Adversity Quotient berkorelasi tetapi lemah dengan aspek afektif pada komitmen organisasi (r= 0,28). Selain itu, dimensi daya tahan pada Adversity Quotient berkorelasi tetapi lemah dengan aspek normatif pada komitmen organisasi (r= 0,23).
viii
CORRELATION BETWEEN ADVERSITY QUOTIENT AND
ORGANIZATIONAL COMMITMENT IN CONVENTIONAL TAXI
DRIVER
Anggraini Ekowati Esthi Bringintyas
ABSTRACT
This research was aimed to determine the correlation between Adversity Quotient and organizational commitment in conventional taxi driver. The hypothesis in this research was there is a positive and significant correlation between Adversity Quotient and organizational commitment in conventional taxi driver. This research use quantitative method with two-tailed correlation analysis method using SPSS for Windows 22. The Data collecting measurement used on this research was Adversity Quotient scale and organizational commitment scale. The Adversity Quotient scale alpha cronbach reliability coefficient was 0,816, and organizational commitment scale alpha cronbach reliability coefficient was 0,772. This research doesn’t fulfill the assumption test because the data was not linear (0,070, p>0,05). However, this research use Spearman’s Rho correlation as additional data analysis between each of Adversity Quotient dimension and aspect of organizational commitment. The result of the additional data analysis was the endurance dimension of Adversity Quotient had low correlation with affective aspect of organizational commitment (r=0,28). This additional data analysis also found that endurance dimension of Adversity Quotient had low correlation with normative aspect of organizational commitment (r=0,23).
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus atas yang telah memberikan berkatnya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan positif signifikan antara Adversity Quotient dan komitmen organisasi pada Supir Taksi Berbasis Konvensional. Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah membantu, membimbing, serta mendoakan saat proses penyelesaian karya ini. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Tuhan Yesus yang menjadi kekuatan dan penolong dalam proses penulisan skripsi ini.
2. Ibu Dr. Titik Kristiyani, M. Psi., Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
3. Ibu Monica Eviandaru M., M. Psych., Ph.D., Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
4. Ibu Passchedona Henrietta Puji Dwi Astuti Dian Sabati S.Psi., M.A.selaku dosen pembimbing skripsi yang telah mendampingi, membimbing dengan sabar, dan memberi masukan dengan penuh empati dalam proses penulisan skripsi. TERIMAKASIH MBAK ETHAK
5. Bapak Drs. Hadrianus Wahyudi M.si., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan, arahan dan dukungan selama menjalani masa studi.
xi
7. Mama Suyanti yang sudah bahagia bersama Bapa di surga yang selalu membuatku tidak pernah menyerah dengan kesulitan apapun demi anak. Terimakasih mama sudah memberikan segala apa yang mama punya untuk kuliah ini.
8. Anakku Mario yang selalu memotivasi aku untuk menyelesaikan karya ini tanpa mengeluh. Love u so much!
9. Suamiku Luis yang selalu setia mendampingi dan mendorongku dikala menemui kesulitan. I Love u pa! Terimakasih pa.
10. Sahabatku Kevin Irwanto yang mendampingi dari awal sampai akhir karya ini diselesaikan. Terimakasih sudah mau meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan uang untuk membantuku.
11. Keluargaku Shinta, Papa Heri, Pakde Yudi, Mbak Warti, Mbah Giman, Ibu mertua, Bapak mertua, Mbak Lani, Mbak Meli yang selalu menyemangati, menasehati, dan mendoakanku tiada henti. Terimakasih semuanya.
12. Sahabatku Elizabeth, Adininta, Redita, Sofia, Sekar, Caca, Chila, mbak Reka, mas Bimo, mas Edo. Terimkasih kalian sudah memberiku dukungan yang luar biasa, tempatku berbagi kesedihan, kebahagiaan, tempat curhat dan selalu perhatian denganku.
xii
14. Untuk semua wanita disekelilingku yang sudah menjadi seorang ibu. Terutama mahasiswi yang sekaligus menjadi ibu. Terimakasih sudah menginspirasiku, menjadi contoh betapa harus kuatnya seorang ibu karena anaknya, pintar membagi waktu dan panjang sabar.
15. Untuk semua orangtua yang sedang berjuang untuk anaknya dalam keterbatasannya. Keteguhan dan ketelusan orangtua untuk menjamin masa depan anaknya menjadi teladan bagiku.
Yogyakarta, 15 Desember 2018 Penulis,
xiii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ix
xiv
A. Komitmen Organisasi... 11
1. Pengertian Komitmen Organisasi ... 11
2. Dimensi Komitmen Organisasi ... 13
3. Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi ... 16
B. Adversity Quotient ... 17
1. Pengertian Adversity Quotient ... 17
2. Dimensi Adversity Quotient ... 19
3. Tiga Tingkat Kesulitan pada Adversity Quotient ... 23
4. Manfaat Adversity Quotient ... 25
C. Supir Taksi Berbasis Konvensional ... 28
D. Dinamika Adversity Quotient dengan Komitmen Organisasi pada Supir Taksi Berbasis Konvensional ... 31
E. Skema Penelitian ... 34
F. Hipotesis ... 35
BAB III METODE PENELITIAN ... 36
A. Jenis Penelitian ... 36
B. Identifikasi Varabel Penelitian ... 36
C. Definisi Operasional... 36
1. Adversity Quotient ... 36
2. Komitmen Organisasi ... 37
D. Subjek Penelitian ... 37
E. Metode dan Pengumpulan Data ... 38
xv
2. Komitmen Organisasi ... 39
F. Vaiditas dan Realibilitas ... 41
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49
A. Pelaksanaan Penelitian ... 49
B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 49
xvi
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 82
A. Kesimpulan ... 82
B. Keterbatasan Penelitian ... 82
C. Saran ... 82
1. Bagi Subjek Penelitian ... 82
2. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 83
DAFTAR PUSTAKA ... 84
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Sebaran Item Skala Adversity Quotient ... 39
Tabel 2. Skor Respon Pada Variabel Adversity Quotient ... 40
Tabel 3. Sebaran Item Skala Komitmen Organisasi ... 40
Tabel 4. Skor Respon Pada Variabel Komitmen Organisasi ... 41
Tabel 5. Sebaran Item Skala Adversity Quotient Setelah Seleksi Item ... 44
Tabel 6. Sebaran Item Skala Komitmen Organisasi Setelah Seleksi Item ... 45
Tabel 7. Deskripsi Jenis Kelamin Subjek ... 50
Tabel 8. Deskripsi Usia Subjek ... 50
Tabel 9. Deskripsi Data Empirik Adversity Quotient... 52
Tabel 10. Deskripsi Data Empirik Komitmen Organisasi ... 53
Tabel 11. Hasil Uji Normalitas Adversity Quotient ... 55
Tabel 12. Hasil Uji Normalitas Komitmen Organisasi ... 55
Tabel 13. Hasil Uji Linearitas Adversity Quotient dan Komitmen Organisasi .... 56
Tabel 14. Hasil Uji Normalitas Dimensi Daya Tahan dari Adversity Quotient .. 58
Tabel 15. Hasil Uji Normalitas Aspek Afektif dan Komtmen Organisasi ... 58
Tabel 16. Hasil Uji Linearitas Dimensi Daya Tahan dari Adversity Quotient terhadap Aspek Afektif dari Komitmen Organisasi ... 59
Tabel 17. Hasil Uji Korelasi Sperman’s Rho Dimensi Daya Tahan dari Adversity Quotient terhadap Aspek Afektif dari Komitmen Organisasi ... 60
Tabel 18. Hasil Uji Normalitas Dimensi Daya Tahan dari Adversity Quotient ... 60
xviii
Tabel 20. Hasil Uji Linearitas Dimensi Daya Tahan dari Adversity Quotient terhadap Aspek Normatif dari Komitmen Organisasi ... 62 Tabel 21. Hasil Uji Korelasi Spearman’s Rho Dimensi Daya Tahan dari
Adversity Quotient terhadap Aspek Normatif dari Komitmen Organisasi ... 63 Tabel 22. Hasil Uji Normalitas Dimensi Jangkauan dari Adversity Quotient ... 63 Tabel 23. Hasil Uji Normalitas Aspek Normatif dari Komitmen Organisasi ... 64 Tabel 24. Hasil Uji Linearitas Dimensi Jangkauan dari Adversity Quotient
terhadap Aspek Normatif dari Komitmen Organisasi ... 65 Tabel 25. Hasil Uji Korelasi Spearman’s Rho Jangkauan dari Adversity
Quotient terhadap Aspek Normatif dari Komitmen Organisasi ... 66 Tabel 26. Kategori Komitmen Organisasi pada Supir Taksi Berbasis
Konvensional ... 67 Tabel 27. Kategori Dimensi Afektif dari Komitmen Organisasi pada Supir
Taksi Berbasis Konvensional ... 68 Tabel 28. Kategori Dimensi Kontinum dari Komitmen Organisasi pada
Supir Taksi Berbasis Konvensional ... 69 Tabel 29. Kategori Dimensi Normatif dari Komitmen Organisasi pada
Supir Taksi Berbasis Konvensional ... 70 Tabel 30. Kategori Adversity Quotient pada Supir Taksi Berbasis
Konvensional ... 71 Tabel 31. Kategori Dimensi Kendali dari Adversity Quotient pada Supir
xix
Tabel 32. Kategori Dimensi Asal-Usul dan Pengakuan dari Adversity Quotient pada Supir Taksi Berbasis Konvensional ... 73 Tabel 33. Kategori Dimensi Jangkauan dari Adversity Quotient pada Supir
Taksi Berbasis Konvensional ... 74 Tabel 34. Kategori Dimensi Daya Tahan dari Adversity Quotient pada
xx
DAFTAR GAMBAR
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skala Penelitian ... 91
Lampiran 2. Reliabilitas Skala Adversity Quotient dan Skala Komitmen Organisasi ... 102
Lampiran 3. Hasil uji Mean Teoritik dan Mean Empirik ... 107
Lampiran 4. Hasil Uji Normalitas Adversity Quotient dan Komitmen Organisasi ... 110
Lampiran 5. Hasil Uji Linearitas ... 112
Lampiran 6. Hasil Uji Normalitas Analisis Data Tambahan ... 114
Lampiran 7. Hasil Uji Linearitas Analisis Data Tambahan ... 116
Lampiran 8. Hasil Uji Korelasi Analisis Data Tambahan ... 119
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu dampak dari perkembangan tekonologi yang semakin canggih
terlihat dari munculnya layanan transportasi umum berbasis online ini mulai
masuk di Indonesia sejak tahun 2014. Go-Jek merupakan aplikasi pertama yang
memprakarsai layanan transportasi umum berbasis online yang diikuti dengan
adanya aplikasi Grab dan Uber (Pratama, 2017). Gejolak adanya layanan
transportasi umum berbasis online ini membuat semakin ketatnya persaingan antar
perusahaan transportasi di Indonesia.
Persaingan ini semakin memanas saat adanya taksi-taksi berbasis aplikasi
online yang terjun dalam industri jasa layanan transportasi umum (Agustian,
2017). Kehadiran taksi berbasis aplikasi online ini sudah mencapai 11.000 armada
dan mengancam keberadaan perusahaan taksi berbasis konvensional. Padahal
persaingan pada perusahaan penyedia jasa transportasi taksi berbasis konvensional
sendiri sudah sangat terlihat. Ketua DPD Organda Daerah Istimewa Yogyakarta
mengatakan bahwa jumlah armada taksi berbasis konvensional yang beroperasi di
Yogyakarta sudah sebanyak 1.025 dengan 20 perusahaan taksi berbasis
konvensional (Widiyanto, 2018).
PT. Express Transindo Utama Tbk. mencatat kerugian perusahaan taksi
berbasis konvensional ini mencapai Rp. 81.805 miliar pada tahun 2016
(Mohammad, 2016). Sedangkan, kerugian juga dialami perusahaan taksi berbasis
operasional taksi. Data pendapatan operasional taksi berbasis konvensional di
Yogyakarta menurun dari 330 juta rupiah pada tahun 2016 menjadi 150 juta
rupiah pada tahun 2018 (Razak, 2019). Salah satu penyebab kerugian perusahaan
taksi berbasis konvensional berasal dari turunnya jumlah setoran uang dari supir
taksi berbasis konvensional di Yogyakarta. Hal ini dipertegas oleh pernyataan
Alex Bendahara Organisasi Angkutan Darat (Organda) DIY, yang melaporkan
bahwa supir taksi berbasis konvensional yang biasanya dapat menyetorkan uang
sebanyak Rp.275.000 sekarang hanya Rp.110.000 bahkan Rp.100.000 dengan
rentang waktu kerja selama sehari semalam (Saraswati, 2019).
Selain itu, supir taksi berbasis konvensional juga merasa dirugikan dengan
adanya taksi berbasis aplikasi online karena menggunakan kendaraan pribadi.
Penggunaan kendaraan pribadi ini menyebabkan tarifnya lebih murah karena tidak
menanggung biaya pajak sebagai kendaraan umum yang dibebankan kepada
konsumen (Sabadar, 2017). Akibat adanya kerugian-kerugian yang dirasakan oleh
supir taksi berbasis konvensional di Yogyakarta, mereka melakukan aksi demo
menolak adanya taksi berbasis online di Yogyakarta. Alex Bendahara Organisasi
Angkutan Darat (Organda) DIY juga menyatakan bahwa tujuan aksi ini agar
mengontrol jumlah taksi berbasis online di Yogyakarta yang jumlahnya semakin
banyak sehingga perusahaan taksi berbasis konvensional tetap hidup (Saraswati,
2019).
Ditengah situasi yang mendesak supir taksi berbasis konvensional ini,
terdapat supir taksi berbasis konvensional di Yogyakarta yang enggan beralih
wawancara terhadap beberapa supir taksi berbasis konvensional di Yogyakarta
yakni J dan D yang menyatakan bahwa mereka tidak mau beralih menjadi supir
taksi berbasis aplikasi online (Zamzami, 2016). Sikap supir taksi berbasis
konvensional di Yogayakarta yang memilih enggan beralih bekerja dari taksi
berbasis konvensional ke taksi berbasis online ini karena mereka mempunyai
alasan tertentu. Hal ini dibuktikan melalui wawancara yang dilakukan pada
tanggal 15 Maret 2017 di Hartono Mall Yogyakarta dengan beberapa supir taksi
berbasis konvensional berisinial H, W, N, J, K.
Hasil wawancara tersebut menyatakan bahwa supir taksi berbasis
konvensional enggan beralih disebabkan karena perusahaan taksi berbasis
konvensional di Yogyakarta sangat mempermudah seseorang bergabung menjadi
supir dengan syarat mempunyai pengalaman menyupir dan sim A umum saja.
Selain itu, perusahaan taksi berbasis konvensional di Yogyakarta menyediakan
kendaraan mobil, menyediakan jasa asuransi untuk kerusakan kendaraan mobil,
mendapatkan komisi setiap setoran, mempunyai pelanggan tetap, dan dibantu oleh
operator untuk setiap melakukan pelayanan dengan pelanggan. Sedangkan hasil
wawancara yang dilakukan pada tanggal 27 Mei 2017 di Ambarukma Plaza
Yogyakarta dengan supir taksi berbasis online, mereka harus menyediakan
kendaraan mobil dengan kriteria keluaran terbaru minimal tahun 2012, tidak
mendapat bantuan operator untuk melakukan pelayanan dengan pelanggan, dan
mendapatkan bonus saat mencapai point tertentu saja.
Keengganan seseorang untuk beralih ke perusahaan lain atau keinginan
organisasi. Meyer & Allen (1997) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai
kondisi psikologis yang menunjukkan adanya hubungan antara pegawai dengan
organisasi dan mempengaruhi keputusan pegawai untuk tetap menjadi anggota
organisasi. Bathaw & Grant (dalam Sopiah, 2008) menyatakan komitmen
organisasi sebagai keinginan karyawan untuk tetap mempertahankan
keanggotaannya dalam organisasi dan bersedia melakukan usaha yang tinggi demi
pencapaian tujuan organisasi. Hal ini sejalan dengan definisi dari Robbins dan
Judge (2017) yang mendefinisikan bahwa komitmen organisasi merupakan sejauh
mana seorang karyawan mengidentifikasikan diri dengan organisasi tertentu
dengan tujuan untuk mempertahankan keanggotaannya dalam suatu organisasi.
Meyer dan Allen (1997) menjelaskan bahwa terdapat tiga dimensi yang
dapat membentuk komitmen organisasi yaitu komitmen afektif, komitmen
kontinum dan komitmen normatif. Komitmen afektif berkaitan dengan kelekatan
emosi karyawan terhadap organisasi, mengidentifikasikan dirinya, dan
menunjukkan keikutsertaan mereka terhadap organisasi. Karyawan yang memiliki
komitmen afektif yang tinggi cenderung untuk menlanjutkan pekerjaannya dengan
organisasi karena mereka menginginkan hal tersebut. Mereka akan merasa
bahagia ketika bekerja, menikmati pekerjaan, terikat secara emosional, dan
merasa terikat dan menjadi bagian dalam perusahaan.
Komitmen kontinum berkaitan dengan kesadaran yang dimiliki karyawan
mengenai kerugian yang akan dihadapi apabila mereka meninggalkan organisasi.
Karyawan yang memiliki komitmen kontinum yang tinggi akan mempertahankan
perusahaan, mendapatkan fasilitas dari perusahaan, dan belum tentu akan
mendapatkan perusahaan yang lebih baik. Berdasarkan hasil wawancara yang
dilakukan peneliti terhadap supir taksi berbasis konvensional, dapat disimpulkan
bahwa supir taksi berbasis konvensional ketika meninggalkan perusahaan tidak
akan mendapatkan pemasukan komisi yang pasti didapat saat bekerja. Selain itu,
supir taksi berbasis konvensional belum tentu mendapatkan pekerjaan yang lebih
baik dari supir taksi, karena hanya memiliki keterampilan menyupir dan sim A
saja. Hal ini menyebabkan supir taksi berbasis konvensional di Yogyakarta
memiliki komitmen kontinum yang tinggi sehingga tetap bertahan didalam
perusahaan taksi berbasis konvensional di Yogyakarta. Komitmen normatif
berkaitan dengan perasaan mengenai kewajiban untuk tetap melanjutkan
pekerjaan mereka. Karyawan yang memiliki komitmen normatiftinggi cenderung
merasa bahwa mereka harus tetap bersama dengan organisasi dan memiliki
loyalitas terhadap perusahaan.
Komitmen organisasi memiliki beberapa dampak positif bagi perusahaan.
Menurut Riggio (2008) seseorang yang mempunyai komitmen tinggi akan
menunjukkan tingkat absen dan turnover rendah dan sikap pegawai yang positif
terhadap pekerjaan dan organisasinya. Fitriastuti (2013) menunjukkan bahwa
komitmen organisasi yang tinggi menunjukkan performansi kerja yang optimal,
sehingga dapat memberikan kontribusi kepada organisasinya. Kontribusi tersebut
berupa pegawai akan tetap menjadi anggota organisasi dengan terus meningkatkan
performasi kerjanya dengan tujuan untuk kemajuan organisasi. Selain itu,
sosial karyawan, sehingga menambah kekompakan dan kenyamanan dalam
bekerja (Pareke, 2004).
Penelitian Mathieu dan Zajac (1990) bertujuan untuk mengkaji hasil
penelitian secara empirik tentang anteseden, korelasi dan dampak komitmen
organisasi menggunakan metode meta-analisis. Penelitian Mathieu dan Zajac
(1990) ini menyatakan bahwa terdapat empat anteseden komitmen organisasi.
Salah satu anteseden komitmen organisasi tersebut yaitu karakteristik pekerjaan.
Karakteristik ini menjelaskan adanya hubungan positif antara komitmen
organisasi dengan tantangan atau kesulitan kerja. Tantangan kerja penting untuk
dihadapi karena memicu karyawan memiliki karakteristik rasa ingin tahu,
berkompeten dan jeli terhadap permasalahan.
Karyawan yang memiliki karakteristik tersebut akan berfokus pada
penyelesaian masalah sehingga karyawan akan melihat bahwa tantangan kerja
merupakan kesempatan untuk memiliki kemampuan baru dan berkembang dengan
menunjukkan kemampuan baru tersebut dalam menghadapi permasalahan serta
bertahan di dalam perusahaan (Broeck et all, 2010). Sedangkan, karyawan yang
tidak mampu menghadapi tantangan kerja akan cenderung kehilangan kesempatan
untuk memiliki kemampuan dan berkembang karena karyawan memandang
tantangan kerja sebagai penghambat dalam bekerja sehingga karyawan merasa
kelelahan dan burnout akan pekerjaannya. Hal ini berarti bahwa komitmen
organisasi seseorang dipengaruhi oleh bagaimana seseorang menghadapi
tantangan atau kesulitan di tempat kerja. Menurut Stoltz (2007) Tantangan atau
tempat kerja dan individu. Kemampuan yang dimiliki seseorang dalam
menghadapi tantangan atau kesulitan di tempat kerja disebut Adversity Quotient.
Adversity quotient adalah kecerdasan dan kemampuan yang dimiliki
seseorang untuk mengatasi dan menghadapi kesulitan, sekaligus bagaimana ia
dapat bertahan di tengah kesulitan (Stoltz, 2007). Selain itu, Agustian (2011)
mendefinisikan Adversity Quotient sebagai kecerdasan yang dimiliki seseorang
dalam mengatasi kesulitan dan sanggup bertahan hidup. Contoh dari Adversity
Quotient pada supir taksi berbasis konvensional di Yogyakarta yaitu munculnya
teknologi digital didunia transportasi yang cara pengoperasian aplikasi onlinenya
dianggap sulit untuk dipelajari namun mereka masih sanggup bertahan. Hal ini
didukung dengan masih adanya supir taksi berbasis konvensional yang beroperasi
sebanyak 1.025 taksi serta berupaya untuk membuat aplikasi online dan pelatihan
penggunaan untuk taksi berbasis konvensional.
Seseorang yang memiliki Adversity Quotient tinggi dalam konteks
perusahaan maka ia akan memiliki kepuasan kerja yang tinggi pula, sehingga
tingkat burnout pada karyawan rendah (Robbins, 2002). Selain itu, Adversity
Quotient yang tinggi akan membantu individu memperkuat kemampuan dan
ketahanan kerja karyawan dalam menghadapi permasalahan dan tantangan hidup
sehari- hari dengan memegang prinsip dan impian yang dimiliki tanpa
menghiraukan apapun yang terjadi, sehingga kemungkinan karyawan keluar dari
organisasi tempat ia bekerja bisa diminimalisir (Stoltz, 2007).
Berbeda dengan seseorang yang memiliki Adversity Quotient yang rendah
cenderung melarikan diri dari permasalahan yang ditemui dan berakhir pada
keluarnya karyawan dari perusahaan (Stoltz, 2007). Seseorang dengan Adversity
Quotient yang rendah dalam hal bekerja menunjukkan sedikit ambisi dan
semangat kerja yang minim sehingga keinginan untuk memberikan tenaga dan
tanggungjawab yang lebih tinggi dalam menyokong kesejahteraan dan
keberhasilan tujuan organisasi perusahaan rendah (Steers & Porters, 1983). Selain
itu, seseorang dengan Adversity Quotient yang rendah mempunyai kreativitas
yang sempit sehingga sulit menemukan cara atau metode untuk meraih
kesuksesan yang berdampak turunnya tanggungjawab karyawan mengerjakan
hal-hal diluar tugas (Stoltz,2007). Karakter yang ditunjukkan pekerja dengan
Adversity Quotient yang rendah ini justru menjadi beban perusahaan.
Melihat kelebihan dan kekurangan Adversity Quotient yang berdampak
pada beberapa aspek kehidupan dalam bekerja, maka Adversity Quotient menjadi
hal yang penting untuk dimiliki karyawan. Seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya, Adversity Quotient berperan penting untuk mencapai keberhasilan
tujuan perusahaan. Hal itu menunjukkan bahwa Adversity Quotient yang tinggi
akan membuat seseorang memiliki ketahanan seseorang dalam mengahapi
masalah di suatu perusahaan sehingga enggan beralih ke perusahaan lain (Mathieu
dan Zajac,1990). Keengganan beralih ke perusahaan lain inilah yang menjadi
prinsip utama dari komitmen organisasi (Bathaw & Grant dalam Sopiah, 2008).
Selain itu, penelitian Brickman, Dunkel-Schetter, dan Abbey (1987) menyatakan
bahwa Adversity Quotient sarana pengembangan komitmen dan mendorong
itu, penelitian yang dilakukan akan melihat hubungan antara komitmen organisasi
dengan Adversity Quotient pada supir taksi berbasis konvensional.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan tersebut, peneliti merumuskan masalah dalam
penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara Adversity Quotient dan
komitmen organisasi pada supir taksi berbasis konvensional ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan Adversity Quotient dan
komitmen organisasi pada supir taksi berbasis konvensional.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini memiliki kontribusi dalam menambah wawasan
dalam bidang psikologi industri organisasi terutama tentang Adversity
Quotient dan komitmen organisasi.
2. Manfaat Praktis
2.1. Bagi perusahaan
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah untuk memberikan
wawasan sebagai bahan evaluasi permasalahan yang dihadapi pada
perusahaan yang bergerak di bidang jasa, khususnya masalah yang terkait
2.2. Bagi subjek penelitian
Dari sudut pandang karyawan, manfaat praktis dari penelitian ini
adalah sebagai dasar untuk melakukan evaluasi dan refleksi diri terkait
11 BAB II
DASAR TEORI
Dalam bab ini, peneliti akan membahas mengenai variabel komitmen
organisasi dan Adversity Quotient. Kedua variabel tersebut akan dijabarkan mulai
dari definisi, dimensi, faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi dan
manfaat Adveristy Quotient. Kemudian peneliti akan menjelaskan mengenai
dinamika hubungan antara komitmen organisasi dan Adversity Quotient pada supir
taksi berbasis konvensional. Setelah itu, peneliti akan meringkas dari keseluruhan
pembahasan dan menyertakan bagan untuk membantu mempermudah pembaca
memahami isi ringkasan. Terakhir, peneliti menuliskan hipotesis yang akan diuji
pada penelitian ini.
A. Komitmen Organisasi
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai komitmen organisasi yang terdiri
dari pengertian, dimensi, dan faktor dari komitmen organisasi.
1. Pengertian Komitmen Organisasi
Meyer dan Allen (1997) menjelaskan komitmen organisasi
merupakan karakteristik hubungan antara anggota organisasi dengan
organisasinya serta memiliki pengaruh pada keputusan individu untuk
melanjutkan keanggotaannya dalam organisasi tersebut. Pendapat yang
serupa dikemukakan oleh O’Reilly (1986) yang mengatakan bahwa
komitmen karyawan pada organisasi sebagai ikatan psikologis individu
perasaan percaya terhadap nilai-nilai organisasi. Selain itu, Luthans (1995)
juga mendefinisikan komitmen organisasi adalah sebuah sikap mengenai
loyalitas seorang karyawan terhadap organisasi dan hal tersebut
merupakan proses yang berlangsung terus-menerus. Luthans menyatakan
bahwa karyawan yang memiliki komitmen terhadap perusahaannya akan
mempunyai keinginan menuju level keahlian yang lebih tinggi atas nama
organisasi, mempertahankan keanggotaannya, dan memiliki kepercayaan
serta penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.
Riggio (2008) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai
perasaan dan sikap yang dimiliki pekerja terhadap organisasi secara
keseluruhan. Pendapat yang serupa dikemukakan oleh Hui dan Lee (2000)
memaparkan bahwa komitmen organisasi mencerminkan sejauh mana
responden merasa setia, peduli, dan bangga pada organisasi yang diikuti.
Selain itu, Robbin dan Judge (2017) mendefinisikan komitmen organisasi
merupakan sejauh mana seorang karyawan mengidentifikasikan diri
dengan organisasi tertentu dengan tujuan untuk mempertahankan
keanggotaannya dalam suatu organisasi. Komitmen organisasi menurut
Mowday, Steers dan Porter (1982) adalah keinginan anggota organisasi
untuk tetap mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi dan
bersedia berusaha keras untuk mencapai tujuan organisasi. Kreitner dan
Kinicki (1991) menyatakan bahwa komitmen organisasi sebagai tingkat
dimana individu memihak kepada organisasi dan mengikatkan diri pada
bahwa komitmen organisasi mengacu pada sejauh mana pegawai akan
mendukung tujuan dan kesejahteraaan organisasi. Wiener (1982)
mengungkapkan bahwa komitmen organisasi di definisikan sebagai
dorongan dari dalam individu untuk melakukan sesuatu agar dapat
menunjang keberhasilan organisasi sesuai dengan tujuan yang ditetapkan
dan lebih mengutamakan kepentingan organisasi
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
komitmen organisasi merupakan ikatan psikologis karyawan terhadap
organisasi yang ditandai dengan menerima tujuan-tujuan organisasi,
adanya kesetiaan serta kepercayaan, dan bersedia mempertahankan
keanggotaannya di dalam organisasi.
2. Dimensi Komitmen Organisasi
Meyer & Allen (1997) menjelaskan bahwa komitmen organisasi
yang terdiri dari dimensi afektif, kontinum dan normatif sebagai ini satu
kesatuan yang utuh atau disebut dengan multidimensi. Meyer & Allen
(1997) membedakan komitmen organisasi menjadi 3 dimensi, yaitu:
a. Komitmen Afektif
Komitmen afektif merupakan keinginan untuk tetap menjadi
anggota organisasi karena keterikatan emosi dan keterlibatan
dengan organisasi tersebut. Karyawan yang memiliki
komitmen afektif yang tinggi akan mengidentifikasi dirinya
dengan organisasi, menerima tujuan dan nilai- nilai yang
ekstra atas nama organisasi (Mowday et al dalam Colquite, Le
Pine & Wesson, 2015). Melalui identifikasi dirinya dengan
organisasi, pegawai akan melihat keanggotaan organisasi
sebagai penting untuk diri mereka. Komitmen afektif juga
mencerminkan ikatan emosional untuk organisasi, maka secara
natural mempengaruhi ikatan emosional antara rekan kerja
(Mathieu & Zajac dalam Collquite, Le Pine & Wesson,
2015). Selain itu, komitmen afektif ini ditandai dengan
keyakinan kuat dan penerimaan akan tujuan dan nilai-niai
organisasi, kemauan untuk melakukan usaha atas nama
organisasi, dan keinginan yang kuat untuk tetap menjadi
bagian dari organisasi (Levy, 2010). Komitmen afektif ini
dapat terbentuk dari pengalaman pegawai di organisasi tersebut
sehingga menghasilkan perasaan yang nyaman dan sesuai
dengan dirinya.
b. Komitmen Kontinum
Keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi karena
kesadaran yang berkaitan dengan biaya meninggalkan
organisasi tersebut. Komitmen kontinum terjadi ketika ada
keuntungan terkait dengan tetap tinggal dan biaya yang
terkait dengan meninggalkan organisasi (Kanter dalam
Collquite, Le Pine & Wesson, 2015). Namun, karyawan
menimbulkan kesulitan untuk mengubah organisasi karena
adanya hukuman yang terkait dengan hal mengganti
(Stebbins dalam Collquite, Le Pine & Wesson, 2015).
Salah satu faktor yang meningkatkan komitmen kontinum
adalah jumlah total investasi (dalam hal waktu, tenaga,
energi, kesempatan dll), dimana pegawai telah dibuat
menguasai peran pekerjaan mereka atau menjalankan tugas
organisasi mereka (Becker dalam Collquite, Le Pine &
Wesson, 2015). Karyawan yang memiliki komitmen
kontinum ini memiliki prinsip “apa yang terbaik untuk saya”
bukan karena rasa tertarik bekerja di organisasi tersebut.
c. Komitmen Normatif
Keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi karena
adanya suatu perasaan wajib. Komitmen normatif muncul
ketika ada perasaan tetap tinggal adalah hal yang "benar" atau
"moral" untuk dilakukan. Seorang pegawai merasa harus
tetap tinggal dengan atasan mereka saat ini karena penilaian
pribadi yang dikategorikan sebagai rasa benar dan salah. Rasa
benar dan salah ini dikembangkan melalui pembelajaran
selama mereka bekerja di dalam perusahaan. Karyawan
dengan komitmen normatif yang tinggi akan merasa bahwa
ini juga dipengaruhi oleh sosialisasi dan budaya yang dimiliki
karyawan.
3. Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi
David (dalam Minner, 1997) mengemukakan beberapa faktor yang
mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu :
a. Faktor personal, misalnya jenis kelamin, usia, pengalaman
kerja, tingkat pendidikan, dan kepribadian.
b. Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, konflik
peran, tingkat kesulitan, dan tantangan dalam pekerjaan.
Tantangan dalam pekerjaan mempunyai hubungan yang
positif dengan komitmen kerja (Mathieu dan Zajac,1990).
c. Karakteristik struktur, misalnya besar atau kecilnya
organisasi, bentuk organisasi seperti sentralisasi atau
desentralisasi, kehadiran serikat pekerja dan tingkat
pengendalian yang dilakukan organisasi terhadap karyawan.
d. Pengalaman kerja merupakan suatu hal yang sangat
berpengaruh terhadap tingkat komitmen karyawan pada
organisasi. Karyawan yang baru beberapa tahun bekerja dan
karyawan yang sudah bertahun-tahun bekerja tentunya
B. Adversity Quotient
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai Adversity Quotient yang terdiri dari
pengertian, dimensi, tingkat kesulitan pada Adversity Quotient dan manfaat
dari Adversity Quotient.
1. Pengertian Adversity Quotient
Stoltz (2000) mengatakan bahwa Adversity Quotient adalah
suatu bentuk kecerdasan yang mengukur kemampuan seseorang
untuk bertahan dalam kesulitan dan mengatasinya. Adversity
Quotient dapat menjelaskan bagaimana seseorang berperilaku dalam
situasi sulit, apakah ia dapat mengendalikan situasi, menemukan
sumber permasalahan, mempunyai rasa memiliki dalam situasi
tersebut, membatasi efek dari kesulitan, dan bagaimana seseorang
tersebut optimis bahwa kesulitan akan segera berakhir (Phoolka &
Kaur, 2012). Adversity Quotient j u g a dapat memprediksi siapa
yang akan berhasil mengatasi kesulitan, dan siapa yang akan gagal
dan menyerah. Adversity Quotient menggabungkan teori ilmiah dan
penerapan di dunia nyata dalam setiap konsepnya, sehingga Adversity
Quotient tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga peralatan
yang secara praktis dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas
pribadi demi tercapainya kesuksesan di berbagai bidang kehidupan
(Stoltz, 2000). Abdilah (2006) juga mengemukakan bahwa Adversity
Quotient adalah kecerdasan mengelola hidup dan mampu melihat
Quotient adalah pengetahuan tentang ketahanan individu, individu
yang secara maksimal menggunakan kecerdasan ini akan menghasilkan
kesuksesan dalam menghadapi tantangan, baik tantangan besar atau
kecil di dalam kehidupan sehari-hari.
Song dan Woo (2015) mendefinisikan Adversity Quotient
adalah kemampuan seseorang untuk bertahan dan mengatasi kesulitan
yang dialami. Pendapat serupa dikemukakan oleh Selain itu, Hidayat
(2001) mendefiniskan Adversity Quotient adalah cara individu
merespon dan menjelaskan kesulitan yang dihadapinya. Surekha
(2001) menyatakan bahwa Adversity Quotient merupakan cara
mengukur seseorang dalam menghadapi dan merespon hambatan yang
muncul dalam kehidupannya.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Adversity Quotient adalah bentuk kecerdasan yang mengukur
kemampuan seseorang untuk menghadapi dan mengatasi suatu masalah,
2. Dimensi Adversity Quotient
Stoltz (2000) mengatakan bahwa Adversity Quotient terdiri atas
empat dimensi, yaitu Control, Origin-Ownership, Reach, dan Endurance
(CO2RE):
a. C = Control (Kendali)
Dimensi control ingin mengukur dua hal, yang
pertama sejauh mana seseorang merasa mampu
mengendalikan dan mempengaruhi sebuah situasi sulit secara
positif, yang kedua sejauh mana seseorang mampu
mengendalikan tanggapannya sendiri terhadap sebuah situasi
sulit. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi
control merasakan kendali yang kuat atas peristiwa-peristiwa
yang buruk. Besarnya pengendalian yang dirasakan akan
membawa individu pada usaha penyelesaian masalah dengan
mengambil sebuah tindakan. Selain itu, individu yang
memiliki skor tinggi pada dimensi control memiliki
kemampuan untuk bertahan menghadapi kesulitan dan tetap
teguh dalam mencari penyelesaian masalah.
Sebaliknya, individu yang memiliki skor rendah pada
dimensi control memiliki keyakinan bahwa apapun yang
mereka kerjakan tidak akan merubah keadaan. Individu
yang kemampuan pengendaliannya rendah sering merasa
kesulitan. Mereka juga akan cenderung bereaksi dengan cara
yang negatif pada saat kesulitan melanda, seperti
mengumpat, menghina, bahkan mengucapkan kata-kata yang
kemudian mereka sesali. Hal tersebut dapat terjadi karena
individu yang memiliki skor rendah pada dimensi control
tidak mampu mengendalikan ataupun merubah reaksi
internal yang ada dalam pikiran mereka sehingga terlepas
begitu saja dalam wujud kata-kata dan tindakan.
b. O2 = Origin-Ownership (Asal-usul dan Pengakuan)
Dimensi origin-ownership ingin mengukur dua hal,
yang pertama sejauh mana seseorang menemukan penyebab
dari suatu kesulitan dengan tepat, yang kedua sejauh mana
seseorang mengakui dan bertanggung jawab atas suatu
kesulitan tanpa mempedulikan penyebabnya. Individu yang
memiliki skor tinggi pada dimensi origin-ownership mampu
memandang perasaan bersalah sebagai sebuah umpan balik
untuk melakukan perbaikan. Rasa bersalah yang sewajarnya
akan menggugah mereka untuk belajar dari kesalahan untuk
menghindari kesalahan yang sama terulang lagi. Selain itu,
individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi
origin-ownership akan menghindarkan diri dari sikap menyalahkan
orang lain, mengambil tindakan bertanggung jawab tanpa
dengan berpikir positif.
Individu yang memiliki skor rendah pada dimensi
origin-ownership cenderung tidak mampu menimpakan suatu
kesalahan pada tempat yang semestinya. Terkadang mereka
melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab
terjadinya peristiwa-peristiwa yang buruk. Hal ini yang
membuat mereka mudah sekali dilanda perasaan bersalah
yang terlampau besar. Rasa bersalah memang tidak selamanya
berdampak negatif, namun rasa bersalah yang terlampau
besar akan menjadi destruktif dan menempatkan individu
pada penyesalan yang tidak sewajarnya. Di sisi lain,
seringkali mereka sibuk untuk mencari-cari sumber
permasalahan dan menimpakan kesalahan kepada orang
lain. Hal ini yang membuat individu dengan skor rendah
pada dimensi origin-ownership menghindarkan diri dari
pengakuan dan tindakan bertanggung jawab atas sebuah
situasi sulit. Selain itu, dimensi origin-ownership yang rendah
akan membuat seseorang cepat menyerah, kinerja berkurang
dan sulit mengidentifikasi masalah.
c. R = Reach (Jangkauan)
Dimensi reach mengukur sejauh mana seseorang
mampu membatasi kesulitan agar tidak menjangkau bidang
pada dimensi reach akan merespon kesulitan sebagai sesuatu
yang spesifik dan terbatas. Sebagai contoh, kesalahpahaman
dengan orang yang dikasihi adalah sebatas
kesalahpahaman, bukan pertanda bahwa suatu hubungan
akan berakhir. Membatasi jangkauan kesulitan
memungkinkan individu untuk berpikir jernih dalam
mengambil tindakan sehingga seseorang akan lebih berdaya
dan perasaan putus asa atau kurang mampu akan berkurang.
Sebaliknya, individu yang memiliki skor rendah pada
dimensi reach akan menganggap suatu kesulitan sebagai
bencana. Sebagai contoh, hasil penilaian kinerja yang
buruk dianggap sebagai sesuatu yang menghambat karir
dan pada akhirnya melemahkan motivasi kerja.
Membiarkan kesulitan menjangkau bidang-bidang
kehidupan yang lain hanya akan menguras tenaga dan
membuat seseorang menjadi semakin tidak berdaya untuk
mengambil sebuah tindakan penyelesaian.
a. E = Endurance (Daya Tahan)
Dimensi endurance mengukur seberapa lama
seseorang menganggap sebuah kesulitan dan penyebab
kesulitan akan berlangsung. Individu yang memiliki skor
tinggi pada dimensi endurance akan menganggap kesulitan
sementara, cepat berlalu, dan kecil kemungkinannya akan
terjadi lagi. Anggapan seperti ini akan meningkatkan
optimisme dan dorongan untuk bertindak. Sebaliknya,
individu yang memiliki skor rendah pada dimensi endurance
akan menganggap kesulitan dan penyebab-penyebabnya
sebagai sesuatu yang sifatnya permanen dan berlangsung
lama. Anggapan seperti ini kan menyebabkan hilangnya
harapan dan dorongan untuk bertindak.
3. Tiga Tingkat Kesulitan pada Adversity Quotient
Stoltz (2000) mengatakan bahwa ukuran dan frekuensi kesulitan
yang harus dihadapi setiap orang semakin besar dari hari ke hari.
Kesulitan hidup terus meningkat dan tidak pernah berhenti. Untuk
membantu menjelaskan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh manusia,
Stoltz (2000) memperkenalkan model “Tiga Tingkat Kesulitan”. Model
ini hendak menggambarkan suatu kenyataan bahwa kesulitan
merupakan bagian dari hidup yang ada di mana-mana, nyata, dan
tidak terelakkan. Selain itu, model ini juga hendak memperlihatkan
bahwa perubahan positif yang dapat terjadi pada ketiga tingkatnya
berawal dari individu yang mengalami kesulitan.
a. Kesulitan di Masyarakat.
Pada zaman sekarang ini, masyarakat dihadapkan pada
banyak kesulitan, misalnya: tindakan kejahatan yang meningkat
kerusakan lingkungan yang semakin parah, krisis moral yang
melanda generasi muda, perubahan pandangan terhadap
kehidupan rumah tangga, dan hilangnya kepercayaan terhadap
lembaga-lembaga pemerintah. Stoltz (2000) menyebut perubahan
tersebut sebagai kesulitan masyarakat.
b. Kesulitan di Tempat Kerja.
Stoltz (2000) mengatakan bahwa situasi sulit di tempat
kerja semakin meningkat, hal ini menyebabkan frustrasi yang
dialami kaum pekerja semakin menumpuk. Mengerjakan
banyak hal dengan upah yang sedikit merupakan salah satu
dari sekian banyak kesulitan yang dapat ditemukan di tempat
kerja. Tuntutan-tuntutan dan ketidakpastian yang harus
dihadapi seringkali membuat kaum pekerja berangkat ke
tempat kerja dengan perasaan cemas setiap harinya.
c. Kesulitan Individu.
Phoolka dan Kaur (2012) menyebutkan beberapa
contoh kesulitan yang terjadi pada tingkat individu,
diantaranya adalah rasa kesepian, kurang percaya diri,
kehilangan semangat, kelelahan, dan kesehatan yang buruk.
Namun, sesuai dengan penjelasan sebelumnya mengenai model
“Tiga Tingkat Kesulitan”, pada tingkat inilah individu dapat
4. Manfaat Adversity Quotient
Adversity Quotient mempunyai banyak manfaat yang baik bagi
seseorang untuk menghadapi kesulitan di pekerjaannya. Saat seseorang
mempunyai Adversity Quotient yang tinggi maka ia akan mampu untuk
mengatasi keadaan frustasi atas permasalahan dalam organisasinya
sehingga masih tetap menjaga komitmen organisasi terkhusus pada
komitmen afektif pada organisasi (Bukhari, Tazeem A.S., Saeed,
Muhammad M., Nisar, Muhammad, 2011). Selain itu, seseorang yang
memiliki Adversity Quotient tinggi akan memiliki kemampuan beradaptasi
dengan masalah yang sedang dihadapi perusahaan. Keadaan yang sedang
banyak mengalami permasalahan tersebut justru meningkatkan komitmen
organisasi seseorang (Sitompul, Cynthia M, 2016). Peran Adversity
Quotient bagi karyawan dalam bidang pekerjaan menurut Stoltz (2000),
yaitu :
a. Memiliki daya saing
Satterfield dan Seligman (dalam Stoltz, 2000)
menemukan bahwa karyawan yang merespon kesulitan secara
optimis bersikap lebih produktif dan berani untuk melakukan
pekerjaan yang lebih banyak resikonya. karyawan yang
pesimis terhadap kesulitan menimbulkan lebih banyak sikap
pasif dan hati- hati dalam melakukan pekerjaannya serta mudah
b. Memiliki produktivitas kerja yang baik
Para pemimpin perusahaan mempunyai persepsi bahwa
karyawan dengan adversity quotient yang tinggi akana unggul
dibandingkan karyawan dengan adversity quotient yang
rendah. Selligman (dalam Stoltz, 2000) membuktikan bahwa
karyawan yang tidak merespon kesulitan dengan baik akan
kurang produktif, dan kinerjanya lebih buruk daripada
karyawan yang merespons kesulitan dengan baik.
c. Memiliki kreativitas yang luas
Joel Barker (dalam Stoltz, 2000) menyatakan bahwa
kreativitas dapat muncul dari sebuah keputusasaan.
Kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan
yang ditimbulkan oleh hal-hal yang tidak pasti.
d. Memiliki motivasi kerja
Penelitian yang dilakukan pada perusahaan farmasi,
tentang pengukuran adversity quotient dari para pekerjaan harian
ataupun jangka panjang didapatkan hasil bahwa mereka yang
memiliki adversity quotient tinggi dianggap sebagai karyawan
yang paling memiliki motivasi (Stoltz, 2000).
e. Memiliki keberanian untuk mengambil resiko
Seseorang yang memiliki kemampuan dalam memegang
kendali, sebenarnya berani mengambil resiko dalam hidupnya,
dipikirkan. Sebagaimana telah dibuktikan oleh Satterfield dan
Selligman (dalam Stoltz, 2000), orang- orang yang merespon
kesulitan secara lebih konstruktif, bersedia mengambil lebih
banyak resiko karena resiko dianggap sebagai hal yang esensial
dalam proses mendaki.
f. Memiliki kemampuan dalam melakukan perbaikan
Pada zaman sekarang, karyawan harus mampu
melakukan perbaikan untuk dapat bertahan hidup. Karyawan harus
dapat melakukan perbaikan untuk mencegah agar tidak ada orang
yang ketinggalan oleh zaman baik dalam karier maupun dalam
hubungan sosial. Ditemukan bahwa karyawan yang memiliki
adversity quotient yang tinggi menjadi lebih baik dalam
kehidupannya.
g. Memiliki ketekunan
Ketekunan merupakan inti dari proses mendaki seseorang.
Ketekunan adalah kemampuan untuk terus menerus berusaha,
bahkan saat seseorang dihadapkan dengan sebuah kemunduran
ataupun kegagalan. Selligman (Stoltz, 2000) membuktikan
bahwa karyawan yang merespon kesulitan dengan baik akan
cepat pulih dari kekalahan dan mampu untuk terus bertahan.
karyawan yang responnya buruk saat berhadapan dengan
kesulitan akan mudah untuk menyerah. Adversity Quotient dinilai
ketekunan.
h. Memiliki keinginan untuk terus belajar
Pada abad ini, mengumpulkan dan memproses ilmu
pengetahuan tidak pernah berhenti. Hal ini dibuktikan oleh Carol
Dweck (Stoltz,2000), bahwa anak- anak dengan respon- respon
yang pesimistis dalam menghadapi kesulitan tidak akan banyak
belajar dan berprestasi. Sedangkan anak-anak yang memiliki
respon-respon yang optimistis akan jauh lebih baik dalam belajar
menghadapi kesulitan.
i. Memiliki kemampuan untuk dapat merangkul perubahan
Saat individu mengalami perubahan yang tidak pernah
berhenti dalam hidup, maka kemampuan individu dalam
menghadapi ketidakpastian dan pijakan yang berubah menjadi
hal yang penting. Individu bisa sukses apabila memiliki
keefektifan dalam mengatasi dan merangkul perubahan tersebut.
Individu harus menghindari pemikiran bahwa akan dikalahkan dan
dilumpuhkan dengan adanya perubahan tersebut, hal ini
berdampak pada individu cenderung menyerah dalam menghadapi
arus perubahan tersebut.
5. Supir Taksi Berbasis Konvensional
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sopir adalah pengemudi
mobil. Sedangkan Angkutan Taksi adalah angkutan dengan menggunakan
dengan argometer yang melayani angkutan dari pintu ke pintu dengan
wilayah operasi dalam kawasan perkotaan (Republik Indonesia, 2017).
Febriany (2014), Taksi adalah angkutan umum yang menggunakan
mobil untuk mengangkut penumpangnya dengan tarif layanan jasa
angkutan yang dihitung dengan dua cara yaitu penghitungan tarif secara
otomatis sesuai jarak yang ditempuh dengan menggunakan argometer,
kemudian dengan cara kesepakatan penumpang dan pengemudi dalam
menentukan tarif. Setyanto (2017) menjelaskan bahwa taksi konvensional
adalah salah satu alternatif alat transportasi darat dilengkapi dengan
argometer yang banyak diminati oleh masyarakat. Cara menggunakan jasa
taksi berbasis konvensional ini cukup mudah hanya dengan memesan
melalui menelpon operator ataupun memanggil langsung saat dijalan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
pengemudi yang salah satu alternatif alat transportasi darat menggunakan
mobil untuk mengangkut penumpangnya dengan tarif layanan jasa
angkutan yang dihitung dengan dua cara yaitu penghitungan tarif secara
otomatis sesuai jarak yang ditempuh dengan menggunakan argometer,
kemudian dengan cara kesepakatan penumpang dan pengemudi dalam
menentukan tarif.
Rosenbloom (2007) menyatakan bahwa supir taksi merupakan
kelompok yang unik. Keunikan ini terlihat dari karakteristik supir taksi
yang memiliki kepribadian berani mengambil resiko tinggi dengan
mengubah jalur jalan kendaraan (Botes, 1997). Selain itu, supir taksi
mempunyai jam kerja selama 27,35 hari dalam sebulan dan hanya
beristirahat selama 2,65 hari dalam sebulan (Tseng,2012). Supir taksi
dalam melakukan pekerjaannya sudah menggunakan teknologi internet
seperti Google Maps, Ruby on Rails yang dikombinasikan dengan
perangkat bergerak berbasis Android sehingga meningkatkan efisien dari
pelayanan pengoperasian armada taksi (Emanuel & Salim, 2015). Namun,
adanya perkembangan teknologi internet menyebabkan munculnya taksi
berbasis internet seperti uber taksi dan grab taksi sehingga ada penolakan
besar besaran oleh supir taksi berbasis konvensional karena taksi online
jauh lebih murah (Oktavianti & Fridha, 2016).
Supir taksi mempunyai durasi duduk dalam menyetir selama 18 jam
perhari dan menjadi perokok sedang (Firmanita, Rosdiana & Indrayani,
2015). Supir taksi mempunyai usia rata-rata 21-30 tahun dengan
pengalaman kerja antara 5-10 tahun, mendapat 3-7 orang penumpang
dalam sehari, dan mendapat penghasilan antara Rp. 3.000.000-Rp.
4.000.000 perbulan (Nazaruddin, 2017). Selain itu, jenis operasi supir
taksi yaitu mangkal karena dapat menghemat pemakaian bahan bakar dan
menekan biaya perawatan mobil. Jam operasi supir taksi dapat mencapai
6. Dinamika Adversity Quotient dengan Komitmen Organiasi pada Supir
Taksi Berbasis Konvensional
Adversity Quotient adalah kemampuan seseorang dalam
menghadapi dan mengatasi suatu masalah sehingga mampu bertahan hidup.
Adversity Quotient dapat menjelaskan bagaimana seseorang berperilaku
dalam situasi sulit, apakah ia dapat mengendalikan situasi, menemukan
sumber permasalahan, mempunyai rasa memiliki dalam situasi tersebut,
membatasi efek dari kesulitan, dan bagaimana seseorang tersebut
optimis bahwa kesulitan akan segera berakhir (Phoolka & Kaur, 2012).
Terdapat empat dimensi yang membentuk Adversity Quotient yaitu
kontrol (Control), asal-usul dan pengakuan (Origin-Ownership), jangkauan
(Reach), daya tahan (Endurance). Seseorang yang memiliki dimensi kontrol
yang tinggi akan menunjukkan sikap mampu bertahan dalam mengatasi
masalah serta dapat gigih dalam menyelesaikan masalah. Seseorang yang
memiliki dimensi asal-usul dan pengakuan yang tinggi akan bertanggung
jawab atas kesulitan yang terjadi dan tetap menghadapi masalah dengan
berpikir positif. Seseorang yang memiliki dimensi jangkauan tinggi akan
berpikir jernih untuk menyelesaikan masalah. Seseorang yang memiliki
dimensi daya tahan yang tinggi akanoptimis dalam menyelesaikan masalah
(Stoltz, 2000). Karakteristik karyawan tersebut yaitu saat menghadapi
tantangan akan muncul rasa ingin tahu, berkompeten dan jeli terhadap
permasalahan. Karyawan yang memiliki rasa ingin tahu, berkompeten dan
sehingga karyawan akan melihat bahwa tantangan kerja merupakan
kesempatan untuk memiliki kemampuan baru dan berkembang dengan
menunjukkan kemampuan barunya dalam menghadapi permasalahan serta
bertahan di dalam perusahaan (Broeck et all, 2010). Hal tersebut akan
membuat karyawan dapat menghadapi tantangan kerja sehingga
memunculkan komitmen organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen
organisasi akan menunjukkan keterlibatan emosional terhadap perusahaan
sehingga dapat menerima tujuan dan nilai perusahaan (komitmen afektif).
Selain itu, karyawan juga akan memiliki keinginan untuk bertahan
(komitmen kontinum) dan muncul perasaan benar saat bertahan di dalam
perusahaan (komitmen normatif) sehingga karyawan mempunyai komitmen
tinggi (Meyer & Allen, 1997).
Karyawan yang memiliki dimensi kontrol yang rendah maka ia akan
merasa tidak berdaya dalam menghadapi permasalahan. Selain itu,
karyawan yang memiliki dimensi asal-usul dan pengakuan yang rendah
menunjukkan sikap tidak bertanggung jawab atas permasalahan yang
terjadi. Karyawan yang memiliki dimensi jangkauan yang rendah akan
menganggap permasalahan menjadi bencana dan karyawan yang memiliki
dimensi daya tahan yang rendah akan pesimis dalam menyelesaikan
masalah (Stoltz, 2000). Karakteristik karyawan tersebut yaitu ketika
menghadapi tantangan tidak muncul rasa ingin tahu, berkompeten dan jeli
terhadap permasalahan. Karyawan yang tidak memiliki rasa ingin tahu,
penyelesaian masalah sehingga kehilangan kesempatan untuk memiliki
kemampuan baru dan berkembang dengan menunjukkan kemampuan
barunya dalam menghadapi permasalahan serta bertahan di dalam
perusahaan.
Selain itu, karyawan melihat bahwa tantangan kerja merupakan
penghambat dalam bekerja sehingga karyawan merasa kelelahan dan
burnout akan pekerjaannya (Broeck et all, 2010). Hal tersebut akan
membuat karyawan tidak dapat menghadapi tantangan kerja sehingga tidak
memunculkan komitmen organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen
organisasi akan menunjukkan sikap tidak mempunyai keterlibatan
emosional sehingga kurang dapat menerima tujuan dan nilai perusahaan
(komitmen afektif). Selain itu, karyawan akan memiliki keinginan untuk
keluar dari perusahaan (komitmen kontinum) dan merasa bertahan dalam
perusahaan itu tidak diharuskan (komitmen normatif) sehingga karyawan
7. Skema Penelitian
Adversity Quotient
- Mempunyai keterikatan secara emosional sehingga dapat menerima tujuan dan nilai perusahaan (Komitmen afektif). - Memiliki keinginan untuk bertahan
dari dalam perusahaan (Komitmen Kontinum).
- Memiliki perasaan benar saat bertahan dalam perusahaan (Komitmen Normatif).
Adversity Quotient Tinggi:
- Kontrol : Mampu bertahan dalam menghadapi masalah.
- Asal Usul dan Pengakuan : Bertanggung jawab atas permasalahan yang terjadi. bertanggung jawab atas permasalahan yang terjadi.
- Jangkauan : Menganggap permasalahan menjadi bencana.
- Daya Tahan : Hilangnya harapan untuk menyelesaikan masalah.
- Tidak mempunyai keterikatan secara emosional sehingga kurang dapat menerima tujuan dan nilai perusahaan (Komitmen afektif).
- Memiliki keinginan untuk keluar dari dalam perusahaan (Komitmen Kontinum).
- Tidak merasa bahwa bertahan dalam perusahaan itu diharuskan (Komitmen Normatif).
Saat menghadapi tantangan akan berfokus pada penyelesaian masalah dan melihat tantangan kerja merupakan kesempatan untuk berkembang sehingga dapat menghadapi tantangan kerja.
Saat menghadapi tantangan tidak berfokus pada penyelesaian masalah dan melihat tantangan kerja merupakan penghambat untuk memiliki kemampuan untuk berkembang sehingga tidak dapat menghadapi tantangan kerja.
Karyawan mempunyai komitmen organisasi rendah.
8. Hipotesis
Berdasarkan dinamika hubungan antar variabel yang telah dipaparkan
sebelumnya, maka peneliti menarik hipotesis penelitian yaitu:
Terdapat hubungan yang positif signifikan antara Adversity Quotient dengan
komitmen organisasi pada supir taksi berbasis konvensional. Hal ini berarti
bahwa semakin tinggi Adversity Quotient maka akan semakin tinggi
komitmen organisasi pada supir taksi berbasis konvensional. Sebaliknya,
semakin rendah Adversity Quotient maka akan semakin rendah komitmen
36
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif korelasional.
Penelitian kuantitatif korelasional menggunakan data berbentuk angka yang
dapat dianalalisis dengan teknik perhitungan statistik dan bertujuan untuk
menguji teori secara objektif yaitu mengetahui hubungan antara variabel
(Supratiknya, 2015).
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Terdapat dua variabel dalam penelitian ini yang terdiri dari variabel
tergantung dan variabel bebas, yaitu:
1. Variabel X : Adversity Quotient 2. Variabel Y : Komitmen Organisasi
C. Definisi Operasional
1. Adversity Quotient
Adversity Quotient adalah bentuk kecerdasan yang mengukur kemampuan supir taksi berbasi s konvensi onal untuk menghadapi dan
mengatasi suatu masalah, sehingga mampu bertahan hidup. Dalam
penelitian ini, Adversity Quotient akan diukur dengan menggunakan skala Adversity Quotient dari Adhimulya Nugraha Putra (2016).Skala ini terdiri dari 4 dimensi yaitu, kontrol, asal-usul dan pengakuan, jangkauan, dan daya
konvensi onal , sehingga semakin tinggi jumlah skor total per dimensi
Adversity Quotient yang didapat dari penjumlahan skor tertinggi pada tiap dimensi menunjukkan semakin tinggi Adversity Quotient pada supir taksi berbasi s konvensional .
2. Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi adalah ikatan psikologis supir taksi berbasis
konvensional terhadap organisasi yang ditandai dengan menerima
tujuan-tujuan organisasi, adanya kesetiaan serta kepercayaan, dan bersedia
mempertahankan keanggotaannya di dalam organisasi. Dalam penelitian
ini, komitmen organisasi akan diukur dengan menggunakan skala
komitmen organisasi dari Maria Endah Rusnindita Puspitasari (2017).
Skala ini terdiri dari 3 dimensi yaitu, komitmen afektif, komitmen
kontinum dan komitmen normatif. Hasil pengukuran dari komitmen
organisasi ditunjukkan dari skor total skala komitmen organisasi. Semakin
tinggi skor total komitmen organisasi yang diperoleh menunjukkan supir
taksi berbasis konvensional memiliki komitmen organisasi yang tinggi.
Akan tetapi, jika skor total komitmen organisasi rendah menujukkan bahwa
supir taksi berbasis konvensional memiliki komitmen organisasi yang
rendah.
D. Subjek Penelitian
Subjek pada penelitian ini adalah supir taksi berbasis konvensional.
Supir taksi berbasis konvensional adalah pengemudi yang menggunakan
angkutan yang dihitung dengan dua cara yaitu penghitungan tarif secara
otomatis sesuai jarak yang ditempuh dengan menggunakan argometer
serta kesepakatan antara penumpang dan pengemudi dalam menentukan
tarif. Proses seleksi sampel pada penelitian ini menggunakan
nonprobability sample atau convenience sample yaitu pemilihan sampel berdasarkan kemudahaan dan ketersediaan akses (Supratiknya, 2015).
E. Metode dan Pengumpulan Data
1. Adversity Quotient
Alat ukur yang digunakan untuk mengumpulkan data Adversity Quotient supir taksi berbasis konvensional adalah skala Adversity Quotient dari Adhimulya Nugraha Putra (2016) yang telah memperoleh ijin dari
Adhimulya Nugraha Putra untuk digunakan. Skala Adversity Quotient merupakan skala yang berbentuk model Likert.
Tabel 1.
Sebaran Item Skala Adversity Quotient
alternatif jawaban Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Netral (N), Tidak
Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Tabel dibawah ini
menjelaskan sistem pemberian skor pada skala Likert yang digunakan
dalam penelitian ini.
Tabel 2.
Skor Respon Pada Variabel Adversity Quotient
Tingginya skor respon pada skala ini menunjukkan tinginya nilai
Adversity Quotient pada subjek.
2. Komitmen Organisasi
Alat ukur yang digunakan untuk mengumpulkan data komitmen
organisasi supir taksi berbasis konvensional adalah skala Komitmen
Organisasi dari Maria Endah Rusnindita Puspitasari (2017) yang telah
memperoleh ijin dari Maria Endah Rusnindita Puspitasari untuk digunakan.
Skala komitmen organisasi merupakan skala yang berbentuk model Likert.
Tabel 3.
Sebaran Item Skala Komitmen Organisasi
Skala komitmen organisasi ini terdiri dari 18 item. Skala yang
digunakan dalam penelitian ini menggunakan pernyataan dengan
alternatif jawaban Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Netral (N), Tidak
Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Tabel dibawah ini
menjelaskan sistem pemberian skor pada skala Likert yang digunakan
dalam penelitian ini.
Tabel 4.
Skor Respon Pada Variabel Komitmen Organisasi
Tingginya skor respon pada skala ini menunjukkan tinginya nilai