• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS PERATURAN DALAM MENGENDALIKAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEKTIVITAS PERATURAN DALAM MENGENDALIKAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Konversi lahan pertanian untuk penggunaan non-pertanian terus terjadi seiring berlangsungnya pembangunan nasional. Ada pendapat yang menyatakan bahwa konversi lahan pertanian berlangsung secara alamiah karena pertumbuhan urbanisasi. Dengan demikian, lahan akan digunakan sesuai dengan manfaat tertinggi yang diperoleh. Dalam jangka pendek dan tanpa memperhitungkan biaya sosial akan tampak bahwa kegiatan pertanian memberikan nilai tambah relatif rendah dibanding kegiatan non-pertanian. Dalam hal ini konsekuensinya adalah berkurangnya lahan pertanian, terutama sawah, sehingga produksi pangan nasional bisa terpengaruh.

Otonomi daerah yang dimulai tahun 2002 juga disebut mendorong konversi lahan pertanian sebagai akibat upaya daerah untuk meningkatkan investasi yang umumnya ditujukan pada sektor non-pertanian. Walaupun demikian, kebijakan pemerintah pusat juga menonjol sebagai penyebab konversi lahan pertanian, misalnya pembangunan jalan raya, yang dampaknya semakin luas di sepanjang jalan raya tersebut.

Peningkatan produktivitas untuk mengimbangi berkurangnya lahan pertanian semakin lamban atau menuju titik jenuh. Penambahan areal sawah, yang umumnya memanfaatkan lahan hutan yang terlantar atau dengan tumpangsari tanaman perkebunan maupun tanaman kehutanan, relatif sedikit akhir-akhir ini. Sementara itu, penggunaan lahan pertanian yang relatif subur untuk kegiatan non-pertanian terus berlangsung. Pemerintah berusaha mengurangi laju konversi lahan pertanian melalui peraturan.

Dampak konversi lahan sawah dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, dari fungsinya, lahan sawah ditujukan untuk memproduksi padi. Dengan demikian adanya konversi lahan sawah ke fungsi lain akan menurunkan produksi padi nasional. Kedua, dari bentuknya perubahan lahan sawah ke pemukiman, perkantoran, prasarana jalan dan lainnya berimplikasi terhadap besarnya kerugian akibat sudah diinvestasikannya dana untuk mencetak sawah, membangun waduk, dan sistem irigasi. Dampak lain dari alih fungsi lahan pertanian adalah kesempatan kerja pertanian menurun sejalan dengan menurunnya lahan pertanian yang tersedia, kesempatan kerja yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan produksi padi, dan degradasi lingkungan (Sumaryanto, Hermanto, dan Pasandaran 1996).

LAHAN PERTANIAN

Bambang Sayaka dan Herlina Tarigan

(2)

Secara umum masalah pertanahan di Indonesia pada saat ini dan masa mendatang sangat terkait dengan implikasi dari faktor-faktor berikut (Latief 1996; Nasoetion dan Winoto 1996; Suhendar 1994; Sumaryanto et al. 1996): (a) konfigurasi daratan dan ketimpangan persebaran penduduk, (b) pola investasi dan pengembangan wilayah, (c) rata-rata luas penguasaan tanah petani sangat kecil dan semakin mengecil dengan struktur yang timpang, (d) konversi lahan pertanian produktif kurang terkendali, (e) terus berlangsungnya proses degradasi lahan pertanian, dan (f) sistem administrasi pertanahan lemah dan implementasi Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang tidak konsisten.

Fungsi peraturan dalam pengendalian konversi lahan pertanian disoroti lebih jauh melalui pendekatan studi kasus di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Berbagai peraturan telah dibuat untuk mengendalikan konversi lahan pertanian, antara lain UU No. 41 Tahun 2009 yang sudah diberlakukan. Konversi lahan pertanian akibat pembangunan jalan tol lintas Jawa di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon (Jawa Barat) serta Kabupaten Sragen dan Kabupaten Boyolali di Jawa Tengah digunakan sebagai studi kasus efektivitas implementasi UU No. 41 Tahun 2009.

Dasar Hukum Perlindungan Lahan Pertanian

Untuk melindungi lahan pertanian dari penggunaan non-pertanian, pemerintah memiliki dasar hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) yang berlaku mulai tanggal 14 Oktober 2009. Pasal 3 UU 41/2009 menyatakan bahwa UU ini dibuat dengan tujuan: (a) melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan; (b) menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan; (c) mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan; (d) melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani; (e) meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat; (f) meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani; (g) meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak; (h) mempertahankan keseimbangan ekologis; dan (i) mewujudkan revitalisasi pertanian.

Dalam pasal 18 dinyatakan bahwa perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan dengan penetapan (i) Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan; (ii) Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di dalam dan di luar Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan (iii) Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan di dalam dan di luar Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan merupakan bagian dari tata ruang kabupaten. Dengan demikian, setiap kabupaten yang sedang menyusun rencana tata ruang wilayah (RTRW) harus menetapkan kawasan pertanian di kawasan perdesaan pangan berkelanjutan di dalam wilayah masing-masing (Pasal 19). Setiap kabupaten/kota juga harus menetapkan lahan pertanian pangan

(3)

berkelanjutan di dalam maupun di luar kawasan pertanian pangan berkelanjutan (Pasal 20). Sedangkan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan juga merupakan bagian dari RTRW kabupaten/kota (Pasal 21).

Pengembangan terhadap kawasan pertanian pangan berkelanjutan dan lahan pertanian pangan berkelanjutan meliputi intensifikasi dan ekstensifikasi lahan. Pengembangan tersebut dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota, masyarakat dan/atau korporasi yang kegiatan pokoknya di bidang agribisnis tanaman pangan. Korporasi yang dimaksud dapat berbentuk koperasi dan/atau perusahaan inti plasma dengan mayoritas sahamnya dikuasai oleh warga negara Indonesia.

Kritik terhadap Peraturan Pertanahan Lainnya

Berbagai peraturan telah ditetapkan oleh pemerintah untuk mengatur pemilikan tanah oleh rakyat dan melindungi lahan pertanian dari konversi. Peraturan-peraturan tersebut umumnya tidak diberlakukan sebagaimana mestinya yang menyebabkan konversi lahan pertanian tetap berlangsung (Irawan 2008).

Undang-Undang No. 38 Tahun 1960

Undang-Undang (UU) No. 38 Tahun 1960 tentang Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah untuk Tanaman-tanaman Tertentu. UU ini memberi kewenangan kepada Menteri Agraria untuk menetapkan maksimum luas tanah yang boleh ditanami dan atau minimum luas tanah yang harus disediakan untuk suatu jenis tanaman tertentu yang alokasinya untuk desa-desa ditentukan oleh Kepala Daerah Tingkat II (kabupaten).

Kenyataan di lapang menunjukkan bahwa tidak pernah ada penetapan luas lahan maksimum atau minimum untuk jenis tanaman tertentu di tiap desa. Umumnya diberlakukan hanya untuk alokasi tanaman tebu di Jawa, yaitu setiap desa mengalokasikan minimal 30% per tahun dari lahan pertanian untuk ditanami tebu. Hal ini untuk menjamin pasokan tebu bagi pabrik gula (PG) yang umumnya dimiliki pemerintah. Peraturan tersebut sangat memberatkan petani tanaman pangan, misalnya petani padi di Jawa Tengah, di mana keuntungan usaha tani tebu tersebut jauh lebih rendah dibanding keuntungan usaha tani padi. Dalam hal ini walaupun secara resmi petani pemilik lahan membudidayakan tebu untuk dijual ke PG, tetapi kenyataannya lahan tersebut disewa PG dengan harga sangat rendah dan perolehan keuntungan yang sangat kecil bagi petani. Kesulitan lain yang dialami petani adalah meratakan tanah setelah ditanami tebu dengan sistem reynoso (gulutan dan parit) untuk persiapan tanam padi yang biayanya cukup besar dan ditanggung oleh petani atau pemilik lahan. Alokasi lahan pertanian untuk tanaman tertentu di tiap desa untuk tanaman tebu tidak berlaku lagi setelah diberlakukannya UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman karena setiap petani diberi hak membudidayakan tanaman sesuai dengan keinginan masing-masing.

(4)

Undang-Undang

No 56 Tahun 1960

UU ini lebih dikenal dengan UU landreform yaitu UU tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Dalam hal ini ditetapkan minimum dan maksimum luas lahan pertanian yang boleh dikuasai oleh perorangan dan keluarganya, yakni batas minimum dan batas maksimum, tergantung jenis tanah (sawah atau tanah kering) dan kepadatan penduduk. Hingga sekarang belum ada pembatasan hak milik lahan pertanian, baik batas minimum maupun batas maksimum.

Undang-Undang No.12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman

Pada pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan teknik budi dayanya. Kondisi ini tentunya berlawanan dengan UU No 21/2009 ini untuk mencegah petani menanam lahannya selain tanaman pangan pokok. Dalam UU 41/2009 secara membingungkan pangan pokok didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati, baik nabati maupun hewani, yang diperuntukan sebagai makanan utama bagi konsumsi manusia. Walaupun secara implisit yang dimaksud adalah tanaman pangan pokok.

Peraturan Pertanahan Lainnya

Di samping UU tersebut, juga ada sederetan Keppres, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri teknis terkait yang mengatur bagaimana agar konversi lahan ini tidak terjadi, khususnya lahan sawah irigasi. Misalnya, Keppres No 54 Tahun 1980 tentang Pencetakan Sawah, Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) No. 5334/MU/9/1994 tanggal 29 September 1994 tentang Perubahan Penggunaan Tanah Sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non-pertanian, Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 460-3346 tanggal 31 Oktober 1994 tentang perubahan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan tanah non-pertanian, dan lain-lain. Semua perundang-undangan di atas tidak lebih menjadi literatur di perpustakaan saja karena ketiadaan law enforcement, besar dugaan kita hal yang sama akan terjadi pula pada UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B).

UU 41/2009 tentang PLP2B menjadi tidak bermakna ketika nilai sewa atau harga jual tanah diserahkan pada mekanisme pasar. Para pelaku pasar berpikir keuntungan dalam perspektif pendek dan pribadi. Dengan pola pandang yang demikian, penggunaan lahan pasti ditujukan untuk kegiatan ekonomi yang memberikan keuntungan tertinggi. Dengan demikian, hampir dapat dipastikan lahan-lahan di Jawa dan luar Jawa yang subur dalam benak para pelaku pasar akan jauh menguntungkan jika diusahakan pabrik, real estate, atau aktivitas industri lainnya dibandingkan ditanam tanaman pangan.

(5)

Laju Konversi Lahan Pertanian

Sampai sekarang data akurat tentang besaran konversi lahan sawah sulit diperoleh. Hal ini terkait dengan lemahnya sistem pemantauan dan pendataan yang berkenaan dengan konversi lahan sawah. Jangankan untuk konversi lahan sawah yang dilakukan secara individual oleh pemilik lahan (dan secara spasial terserak sampai ke berbagai pelosok wilayah), untuk konversi lahan sawah yang “resmi” pun (misalnya terkait dengan perluasan kawasan industri, perumahan, dan pembangunan prasarana perhubungan) ternyata datanya tidak terkompilasi dengan baik.

Menurut “data yang disepakati berbagai pihak”, rata-rata lahan sawah yang terkonversi ke penggunaan lain dalam beberapa tahun terakhir ini sekitar 110 ribu hektare per tahun. Ini mencakup konversi ke penggunaan non-pertanian maupun ke penggunaan lahan untuk usaha tani nonsawah. Di Pulau Jawa (wilayah di mana lahan sawah beririgasi teknis dan semi teknis yang sangat produktif berlokasi) sebagian besar konversi adalah ke penggunaan non-pertanian (58,7% menjadi perumahan, 21,8%n menjadi kawasan industri, perkantoran, pertokoan, dan sebagainya). Di luar Pulau Jawa, proporsi lahan sawah yang beralih fungsi menjadi perumahan adalah sekitar 16,1%, sedangkan yang beralih fungsi menjadi lahan pertanian nonsawah sekitar 49% (Depertemen PU 2008). Jika kita tidak mengubah paradigma dalam pengendalian konversi lahan sawah (business as

usual), sekitar 42% lahan sawah akan terkonversi dalam rencana tata ruang. Di Pulau Jawa

dan Bali (yang notabene lahan sawahnya sangat subur dan semakin menyusut ini) lahan sawah yang akan terkonversi mencapai 49% (Winoto 2005).

Konversi lahan pertanian adalah salah satu sumber shock penting penyebab krisis pangan dalam satu dekade ke depan kalau tidak mendapat solusi tepat. Data menunjukkan konversi lahan pertanian di negara kita adalah seluas 2.917.738 ha sepanjang 1979–1999. Tingkat konversi per tahun ini meningkat sepanjang tahun 1999–2002 mencapai 330.000 ha atau setara dengan 110.000 ha per tahunnya. Pada periode 1999–2002 ini konversi lahan pertanian ke non-pertanian di Jawa mencapai 73,71 ribu ha atau 71,24% dari total konversi lahan pertanian di Jawa. Padahal, lahan pertanian produktif Pulau Jawa adalah lahan relatif lebih subur yang tentu saja berkontribusi signifikan terhadap produksi pangan nasional. Laju konversi lahan pertanian sepanjang tahun 2002 sampai 2008 diperkirakan berkisar 100.000–110.000 ha per tahun (Irawan 2008).

Faktor Pendorong Konversi

Hasil kajian Ilham dkk. (2004) dan para peneliti lainnya menunjukkan bahwa secara harga lahan, aktivitas ekonomi suatu wilayah, pengembangan pemukiman, dan daya saing produk pertanian merupakan faktor-faktor ekonomi yang menentukan konversi lahan sawah. Sementara itu, dalam lingkup makro, konversi lahan sawah berkorelasi positif

(6)

dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB); konversi lahan sawah berkorelasi negatif dengan nilai tukar petani. Kedua hal ini sejalan dengan temuan pada lingkup mikro.

Secara mikro, berkembangnya pemukiman memengaruhi konversi lahan sawah. Namun, secara makro pengembangan pemukiman yang diproksi dengan peningkatan jumlah penduduk tidak menunjukkan hubungan yang positif. Hal ini mengindikasikan adanya trend pemilikan rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal tetapi sebagai investasi. Beberapa hal perlu dicatat, yaitu: (1) konversi lahan sawah tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi juga terjadi di luar Jawa; (2) konversi lahan sawah di Jawa jauh lebih besar dibandingkan wilayah lainnya dan dari periode ke periode cenderung terus meningkat; (3) pada periode pascakrisis ekonomi (1997–2000) baik secara nasional, maupun pada beberapa wilayah, konversi lahan sawah meningkat tajam; dan (4) secara nasional selama periode 1979– 2000, konversi lahan sawah neto bernilai positif, artinya pencetakan sawah baru lebih luas dari konversi lahan sawah. Dari empat informasi tersebut, dua informasi pertama mengindikasikan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah tidak dapat menghambat terjadinya konversi lahan sawah. Konversi lahan untuk tujuan pemukiman dan prasarana sosial ekonomi khususnya di wilayah urban tidak dapat dihindari baik di Jawa maupun di Luar Jawa. Bahkan di luar Jawa kecenderungannya meningkat. Di Banjarmasin, misalnya, banyak terjadi konversi lahan sawah di daerah urban dan semi-urban akibat perluasan pemukiman. Keadaan ini dapat memicu konversi lebih luas lagi karena pembangunan pemukiman tersebut akan diikuti oleh pembangunan prasarana ekonomi. Dari sisi pertanian, hal tersebut akan mengganggu ekosistem sawah berupa gangguan hama, kurangnya penyinaran, dan gangguan tata air. Artinya, konversi lahan sifatnya cenderung meningkat cepat.

Informasi ketiga menunjukkan bahwa krisis ekonomi berakibat tingginya angka pengangguran yang menyebabkan penurunan pendapatan masyarakat. Keadaan ini memicu terjadinya konversi lahan sawah karena sebagian masyarakat yang hanya memiliki aset berupa lahan sawah, akan menjual lahannya untuk kebutuhan hidupnya kepada pihak-pihak yang berpendapatan tinggi, seperti petani kaya, investor atau bahkan para spekulan.

Informasi keempat menunjukkan walaupun pemerintah sulit mengendalikan konversi lahan sawah, antisipasi melalui pencetakan sawah baru dan perbaikan kualitas irigasi mampu meningkatkan luas lahan sawah secara agregat. Walaupun kualitas lahan sawah yang baru dicetak lebih rendah dari lahan sawah yang sudah mapan berbeda, demikian juga untuk kualitas lahan sawah di Jawa relatif lebih baik dari lahan sawah di luar Jawa. Dengan berjalannya waktu dan penerapan teknologi, diharapkan lahan baru tersebut akan meningkat kualitasnya. Saat ini banyak lahan sawah pada sentra produksi padi di luar Jawa yang mampu menghasilkan produksi gabah sama dengan lahan sawah di Jawa.

(7)

Berdasarkan jenis irigasinya, ada tiga kemungkinan bentuk konversi lahan sawah.

Pertama, dari semua klasifikasi irigasi ke penggunaan non-pertanian. Namun berdasarkan

peraturan yang ada, tidak mungkin terjadi konversi lahan beririgasi. Dari sisi praktis, bagi individu petani juga kecil kemungkinan mengonversi lahan irigasi, khususnya untuk pemukiman karena lahan sawah irigasi relatif lebih produktif dan dibutuhkan biaya relatif besar untuk menimbun jika digunakan untuk pemukiman. Tidak demikian halnya bagi investor. Walaupun biaya timbun relatif tinggi, penggunaan lahan untuk kegiatan usaha akan memberikan land rent yang lebih baik. Kedua, konversi lahan sawah dari satu jenis irigasi ke irigasi lainnya yang lebih baik. Hal ini dapat terjadi jika ada program perbaikan irigasi baik yang dilakukan secara swadaya ataupun yang didanai pemerintah.

Ketiga, kebalikan dari bentuk kedua, yaitu konversi dari lahan irigasi yang baik ke irigasi

yang kurang baik. Hal ini dapat terjadi karena proses alam yang menyebabkan tidak berfungsinya sistem irigasi, atau dilakukan secara sengaja untuk menghindari peraturan yang ada. Seperti dilaporkan oleh Irawan dkk (2000) bahwa alih fungsi lahan pertanian ke kawasan pemukiman awalnya sebagian besar berasal dari lahan sawah beririgasi.

Nasoetion (2003) menyatakan bahwa ada tiga kendala mendasar yang menjadi alasan peraturan pengendalian konversi lahan sulit terlaksana, yaitu: (i) kendala koordinasi kebijakan, (ii) kendala pelaksanaan kebijakan, dan (iii) kendala konsistensi perencanaan. Selain itu, tidak efektifnya peraturan yang telah ada juga dipengaruhi oleh: (1) sistem administrasi tanah masih lemah, (2) koordinasi antarlembaga yang terkait kurang kuat, (3) implementasi tata ruang belum memasyarakat. Di sisi lain, sifat multifunctionality lahan sawah tidak dipahami secara komprehensif sehingga perkiraan dampak negatif konversi lahan sawah cenderung under estimate (Sumaryanto dan Sudaryanto 2005).

Simatupang dan Irawan (2002) berpendapat bahwa peraturan perundangan yang telah ada mengandung sejumlah kelemahan sebagai berikut: (i) aspek yang diperhitungkan dalam penentuan objek lahan pertanian yang dilindungi dari proses konversi terlalu terfokus pada gatra teknis-fisik, (ii) peraturan yang ada cenderung bersifat himbauan tanpa penegakan sanksi yang tegas, (iii) mengingat izin konversi merupakan keputusan kolektif berbagai instansi, sulit untuk menelusuri pihak lain bertanggung jawab ketika terjadi konversi lahan pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan, (iv) peraturan perundangan yang berlaku kadangkala bersifat paradoksal dan dualistik. Di satu sisi hendak melindungi alih fungsi lahan sawah, pada sisi lain pemerintah juga mendorong pertumbuhan industri (yang juga membutuhkan lahan sebagai basisnya) di kawasan terkait.

Konversi Lahan Pertanian Akibat Pembangunan

Tol Lintas Jawa

Jalan raya merupakan salah satu infrastruktur utama dalam pembangunan ekonomi. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, khususnya di Jawa, pemerintah

(8)

merencanakan membangun Jalan Tol Trans Jawa yang akan mengonversi lahan pertanian seluas 655.400 ha. Panjang jalan tol tersebut dari Cikampek (Jawa Barat) hingga Surabaya (Jawa Timur) adalah 808 km dan sudah dibangun sepanjang 155 km dan diharapkan selesai tahun 2014 dengan dana yang dibutuhkan masih sekitar Rp36 triliun (Antara News 2009). Konversi lahan pertanian ini akan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan perkotaan di pintu-pintu keluar tol tersebut.

Kabupaten Indramayu

Luas wilayah Kabupaten Indramayu adalah 204.011 ha, terdiri dari 119.643 ha lahan pertanian sawah, lahan pertanian nonsawah (lahan kering) seluas 11.794 ha dan sisanya lahan non-pertanian seluas 39.205 ha. Lahan sawah umumnya diusahakan padi dengan rataan intensitas tanam mencapai, sedangkan lahan kering digunakan untuk pengembangan perkebunan, peternakan, perikanan , ladang penggembalaan dan hutan rakyat.

Kabupaten Indramayu merupakan salah satu daerah sentra produksi beras di Jawa Barat. Dalam tahun 2008 ,luas panen padi mencapai 219 670 ha (terdiri dari 117.124 ha pada MH dan 102.546 ha pada MK), dengan total produksi 1.255.182 ton. Luas tanam palawija seluas 5.735 ha dengan produksi 12.430 ton dan sayuran seluas 3.740 ha dengan produksi 13.129 ton.

Sebagai sentra produksi beras, perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan pangan menjadi prioritas utama. Hal ini dituangkan dalam kebijakan umum bidang pertanian. Dalam pembangunan sektor pertanian, Kabupaten Indramayu dibagi dalam 3 zona (kawasan) produksi, yaitu:

(1). Kawasan Andalan Padi seluas 69 ribu ha, yang berada di jalur tengah wilayah Kabupaten Indramayu, mencakup 10 kecamatan yaitu Kertasemaya, Silyeg, Jatibarang, Bangodua, Widasari, Lelea, Cikedung Utara, Gabus wetan, Anjatan, dan Bongas. Kawasan ini diperuntukan bagi pengembangan padi, dengan arahan pola tanam padi-padi-palawija/sayuran. Kawasan ini didukung oleh fasilitas irigasi dari Waduk Jatiluhur dan Bendung Rentang.

(2) Kawasan Konsentrasi Utara, seluas 23 ribu ha, berasa di jalur utara wilayah utara Wilayah Kabupaten, mencakup 11 kecamatan, yaitu Krangkeng, Sindang, Karangampel, Juntinyuat, Arahan, Cantigi, Balongan, Indramayu, Lohbener, Losarang, dan Sukra. Kawasan ini merupakan daerah penampung air hujan (daerah banjir) serta daerah yang sering mengalami kekeringan di musim kemarau. Kawasan ini diprioritaskan untuk pengembangan sayuran dan palawija, dengan arahan pola tanam padi-sayuran/ palawija–sayuran/palawija. Pengembangan kawasan ini didukung oleh pengembangan pompa air permukaan, jaringan irigasi, dan saluran pembuangan.

(3) Kawasan Konsentrasi Selatan Indramayu, seluas 20 ribu ha, berada di jalur selatan wilayah Kabupaten Indramayu. Kawasan ini merupakan daerah tadah hujan.

(9)

Diprioritaskan untuk pengembangan hortikultura tahunan, sayuran dan palawija, dengan arahan pola tanam padi-sayuran/palawija. Pengembangan kawasan ini didukung oleh pompa air tanah, embung, dan sumber air dangkal. Kawasan ini mencakup 6 kecamatan, yaitu Bangodua Selatan, Lelea Selatan, Cikedung Selatan, Kroya, sebagian Gabuswetan dan Haurgeulis.

Sebagai sentra produksi pangan, pemerintah daerah Kabupaten Indramayu menyadari pentingnya keberadaan lahan pertanian. Untuk itu, Pemda Kabupaten berupaya melindungi keberadaan lahan melalui pengendalian konversi lahan. Konversi lahan yang terjadi dinilai alami terutama berkaitan dengan kebutuhan rumah tangga akan lahan untuk perumahan akibat bertambahnya keluarga baru, sementara konversi yang terencana karena industri atau perumahan diarahkan ke lahan kering bukan lahan sawah. Data konversi lahan dalam proses inventarisasi.

Di Indramayu, misalnya, permasalahan yang ada dalam produksi padi di tingkat kabupaten adalah dampak dari rencana pembukaan jalan tol CIKAPA (Cikampek-Palimanan). Jalan tol ini melintas di wilayah Indramayu bagian selatan (Kecamatan Gantar dan Kecamatan Terisi), yang umumnya lahan tadah hujan. Lahan yang akan digunakan untuk jalan tol di Kecamatan Gantar seluas 60 ha, sedangkan di Kecamatan Terisi diperkirakan 90 ha.

Yang dipermasalahkan Pemerintah kabupaten Indramayu bukan dampak pengalihan lahan pertanian menjadi jalan tol sehingga mengurangi produksi pangan di kabupaten tersebut, melainkan pengaruh pembangunan jalan terhadap ekonomi masyarakat Indramayu karena sebagian besar kendaraan antarkota maupun antarprovinsi tidak lagi masuk wilayah Indramayu. Dengan demikian, perekonomian Kabupaten Indramayu bisa mengalami kemunduran. dan akan berdampak terhadap perekonomian wilayah Indramayu. Untuk itu, Pemerintah kabupaten Indramayu mengusulkan pembangunan pelabuhan umum di muara Sungai Pangkalan di Kecamatan Losarang. Lokasi ini cocok mengingat di muara tersebut relatif rendah sedimentasinya, interval pasang surut kecil, dan gelombang laut relatif kecil. Semula pelabuhan umum akan dibangun di Karawang, tetapi di Indramayu dianggap lebih layak karena memiliki garis pantai 114 km dan hasil perikanan tangkap dari laut yang cukup melimpah (Suara Karya 2010). Jika pelabuhan umum tersebut jadi dibangun, dapat menggantikan rencana pembukaan jalan tol lintas Jawa yang diperkirakan menurunkan perekonomian Kabupaten Indramayu.

Sesuai dengan UU No. 41/2009 Kabupaten Indramayu juga telah menyiapkan Luas Calon Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) seluas 113.704 ha. LP2B tersebut terdiri dari lahan irigasi 92.370 ha, lahan pasang surut/lebak 1.613 ha, dan lahan non irigasi 19.721 ha. Seluruh kabupaten di Jawa Barat akan menyiapkan LP2B sesuai dengan RTRW masing-masing.

(10)

Kabupaten Cirebon

Wilayah Kabupaten Cirebon di bagian Utara memiliki ketinggian antara 0–25 meter di atas permukaan air laut (dpl) dengan luas 64 ribu Ha. Sedangkan dibagian Selatan mempunyai ketinggian antara 25–200 meter dpl dengan luas wilayah 83 ribu Ha.

Berdasarkan kemiringannya, wilayah Kabupaten Cirebon dikelompokkan menjadi enam kelompok, yaitu: (i) Daerah datar. Daerah ini memiliki kemiringan tanah antara 0%–3% dengan luas 77.670 ha atau 78,4% dari luas wilayah kabupaten; (ii) Daerah landai I. Daerah ini memiliki kemiringan antara 3%–8% dengan luas 5.500 ha atau 5,5% dari luas wilayah kabupaten; (iii) Daerah landai II. Daerah ini memiliki kemiringan antara 8%–15% dengan luas 4.000 ha atau 4% dari luas wilayah kabupaten; (iv) Daerah Miring I. Daerah ini memiliki kemiringan antara 15%–25% dengan luas 5.800 ha atau 5,86% dari luas wilayah kabupaten; (v) Daerah Miring II. Daerah ini memiliki kemiringan antara 25%–40% dengan luas 4.200 ha atau 4,2% dari luas wilayah kabupaten; dan (vi) Daerah Terjal. Daerah ini memiliki kemiringan diatas 40% dengan luas 1.866 ha atau 1,8% dari luas wilayah kabupaten.

Berdasarkan sasaran yang dicapai dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Cirebon tahun 2009–2014, sasaran kemandirian pangan pembangunan Kabupaten Cirebon pada tahun 2010 adalah sebagai berikut: (i) Meningkatnya produktivitas pertanian: padi menjadi 1,5%/ha/ tahun, palawija 1%/ha/ tahun, dan sayuran 1%/ha/ tahun; (ii) Meningkatnya SDM petani; dan (iii) Menumbuhkan lumbung pangan.

Masalah pertanian (pertanian, perikanan, kelautan, peternakan dan perkebunan) di Kabupaten Cirebon meliputi: (a) Ketersediaan air irigasi masih bergantung pada sumber air dari daerah lain sehingga sering menimbulkan konflik kepentingan di antara pemanfaat sumber air; (b) Sering terjadinya banjir dan kekeringan pada lahan pertanian sebagai akibat kurang berimbangnya penyediaan sarana penampung air dengan pengaturan pemanfaatan air sehingga kondisi demikian sangat merugikan petani; (c) Belum optimalnya peran serta lembaga petani dan lemahnya posisi tawar petani berakibat pada tata niaga pertanian yang kurang mendukung petani; (d) Semakin sempitnya lahan pengusahaan bagi petani berakibat pada lemahnya upaya peningkatan kapasitas produksi dan rendahnya kemampuan pendapatan dalam memenuhi kebutuhan hidup petani; (e) Lemahnya kemampuan petani dalam menghasilkan komoditas yang berdaya saing tinggi; (f) Terbatasnya infrastruktur dan pasokan pupuk, benih, dan bibit bagi petani; (g) Harga sarana produksi perikanan yang terus melambung menyebabkan tingginya biaya produksi; (h) Masih banyaknya penyakit ikan yang belum bisa ditanggulangi dengan obat yang sudah beredar; (i) Masih adanya pihak-pihak yang menjual formalin atau zat aditif berbahaya ke nelayan dan pengolah ikan; (k) Keterbatasan kepemilikan sarana dan alat tangkap bagi nelayan; (l) Rendahnya kepedulian berbagai pihak dalam menjaga kelestarian lingkungan kelautan dan perikanan;

(11)

(m) Minimnya lembaga keuangan yang menyalurkan modal untuk usaha kelautan dan perikanan kalaupun ada persyaratannya sulit dipenuhi; (n) kemampuan masyarakat perikanan khususnya nelayan yang masih rendah dalam memanfaatkan hasil usahanya; (o) Rendahnya aksesibilitas masyarakat perikanan terhadap ilmu dan teknologi perikanan; (p) Kecenderungan nelayan yang lebih memiliih operasi one day fishing sehingga lebih banyak kapal dengan tonase di bawah 10 gross ton (GT) yang hanya mampu menangkap ikan di zona 1 (1–5 mil); (q) Masih rendahnya penguasaan teknologi ditambah lagi tingginya harga sarana produksi perikanan antara lain solar, pakan, obat-obatan dan lainnya menyebabkan penurunan produksi sektor kelautan dan perikanan; (r) Kerusakan lingkungan sumber daya kelautan dan perikanan akibat limbah industri, bencana alam, dan rendahnya kepedulian masyarakat terhadap kesehatan diantaranya penggunaan antibiotik dan bahan pengawet berbahaya pada industri pengolahan perikanan rakyat; (s) Konflik kepentingan antarmasyarakat dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan terutama dalam penggunaan alat-alat tangkap yang tidak ramah lingkungan; (t) Infrastruktur pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan masih kurang memadai serta minimnya dukungan permodalan dari lembaga keuangan; (u) Lemahnya kemampuan peternak dalam menghasilkan komoditas tinggi; (v) Belum optimalnya lembaga peternak sehingga tidak mempunyai posisi tawar; (w) Terbatasnya infrastruktur peternakan; dan (x) Terbatasnya pasokan bibit ternak.

Jalan tol Trans-Jawa yang melewati kabupaten Cirebon yang semula semua akan melewati lahan sawah irigasi dialihkan ke lahan darat sehingga lahan sawah yang akan dilalui jalan tol hanya sekitar 35 ha. Ini merupakan contoh baik dari kemauan pemerintah kabupaten dan kontraktor jalan tol untuk meminimalkan konversi lahan sawah irigasi.

Kabupaten Sragen

Rencana pembuatan Jalan Tol Lintas Jawa mengurangi luas lahan sawah irigasi teknis di Kabupaten Sragen sekitar 230 ha yang bisa ditanami padi tiga kali per tahun. Pembuatan jalan tol tidak bisa dihindari oleh Pemerintah Kabupaten Sragen karena merupakan program nasional. Lintasan jalan tol juga tidak bisa dialihkan melalui lahan kering karena akan menjadi lebih panjang dan lebih jauh dibandingkan jika melintasi lahan sawah irigasi teknis. Seharusnya pemerintah kabupaten sragen bisa mencontoh Pemerintah kabupaten Cirebon untuk mengalihkan lintasan jalan tol ke lahan kering untuk meminimalkan konversi lahan sawah irigasi. Secara alami (diluar program jalan tol) terjadi konversi lahan pertanian ke non-pertanian rata-rata 10 ha (di luar program jalan tol) terjadi konversi lahan pertanian ke non-pertanian rata-rata 10 ha per tahun.

Beberapa langkah yang akan dilakukan Pemerintah kabupaten Sragen dalam mengatasi berkurangnya lahan pertanian karena rencana pembuatan jalan tol adalah:

(12)

(1) Merencanakan air irigasi yang semula dialirkan ke lahan sawah yang dialihfungsikan menjadi jalan tol ke lahan sawah di pinggir jalan tol. Lahan sawah di pinggir jalan tol semula hanya bisa ditanami padi dua kali setahun diharapkan bisa ditanami padi tiga kali setahun. Dalam hal ini memerlukan dana yang cukup besar dan sinkronisasi antar sektor. Sebelum lahan irigasi tersebut secara riil dibangun jalan tol tetap akan ditanami padi walaupun pembebasan lahan sudah selesai.

(2) Di wilayah sawah tadah hujan akan dibuat embung untuk irigasi agar indeks pertanaman bisa ditingkatkan.

(3) Revitalisasi bendung-bendung irigasi dari Waduk Gajah Mungkur karena mngalamai penurunan debit yang semula 12 m3 sekarang tinggal 6–7 m3. Kabupaten Sragen memiliki sawah irigasi seluas 9.000 ha.

Petani yang sawah irigasinya dijual untuk jalan tol umumnya membeli lahan pertanian di sekitarnya yang indeks pertanamannya lebih rendah, yaitu 100%–200%. Dalam jangka panjang Pemerintah kabupaten Sragen akan mengurangi jumlah petani yang saat ini berjumlah 63,8% menjadi 48% dari total penduduk. Rata-rata pemilikan lahan pertanian di Sragen adalah 0,3 ha per KK petani. Sebagain petani tersebut diharapkan berubah profesi menjadi pedagang, tukang batu, perias/salon, dll. Pemerintah kabupaten Sragen telah membangun Teknopark yang merupakan tempat pendidikan dan latihan mencakup 23 kegiatan, termasuk pertanian, untuk melatih penduduk dari kegiatan yang bersifat tradisonal menjadi moderen. Penduduk Kabupaten Sragen tidak dipungut biaya untuk mengikuti diklat tersebut. Mereka dimasukkan dalam program three in one plus, yaitu dididik, disertifikasi, ditempatkan dan diberi bantuan modal. Teknopark juga menerima peserta magang dari luar daerah, misalnya dari Aceh, selama 6 bulan.

Kabupaten Sragen sudah memberitahu Ditjen PLA agar saluran irigasi di sawah yang dilalui tol tidak terganggu. Hal ini akan menjadi tugas PT Jasa Marga dan Ditjen Pengairan (Kementrian Kimpraswil) yang mana keduanya sering bertentangan. Masalah irigasi secara umum di kabupaten ini adalah (i) sedimentasi, (ii) infrastruktur mulai rusak, dan (iii) perilaku petani di kabupaten lain yang mencuri air irigasi, yang seharusnya dialirkan ke Sragen dengan cara merusak pintu air.

Kabupaten Boyolali

Menurut Sensus Pertanian (yang sudah berlangsung lebih dari 20 tahun lalu) total lahan sawah Kabupaten Boyolali adalah 22.996 ha, terdiri dari 5.137 ha irigasi teknis, 4.653 ha setengah teknis, 2.114 sederhana, 1.192 ha tadah hujan. Luas panen padi sawah sekitar 43.000 ha atau IP padi sebesar 240 persen. Sejak data Sensus Pertanian dipublikasikan kemungkinan sudah terjadi konversi lahan pertanian seluas 1.900 ha termasuk yang arealnya terputus dari saluran irigasi.

(13)

RTRW Kabupaten Boyolali belum disusun walaupun rencana pembuatan tol lintas Jawa sudah semakin dekat. Bupati yang baru terpilih mencanangkan Boyolali sebagai lumbung beras nasional dan pembangunan infrastruktur termasuk infrastruktur pertanian. Konversi lahan pertanian akan semakin luas karena rencana pembuatan jalan tol, terminal baru dan perluasan bandara Adisumarmo Solo. Pembuatan jalan tol akan melintasi sawah irigasi teknis. Akan ada tiga ruas jalan tol di Boyolali, yaitu Solo-Yogya, Solo-Semarang, dan Solo-Mantingan, yang akan menggunakan lahan sawah sekitar 250 ha. Perluasan bandara ke arah timur seluas 4,6 ha dan ke arah barat (lebih luas lagi) juga akan menggunakan lahan sawah.

Penutup

Berbagai peraturan telah dibuat untuk mencegah konversi lahan pertanian ke non-pertanian. Walaupun demikian, konversi lahan pertanian untuk penggunaan non-pertanian terus berlangsung seiring meningkatnya peran sektor non-pertanian dalam perekonomian nasional. Pembangunan tol lintas Jawa sangat potensial mengurangi luas lahan pertanian, baik yang langsung untuk penggunaan jalan tol maupun konversi ke pemukiman di sepanjang tol. Pemerintah kabupaten/kota bisa memanfaatkan peraturan yang ada untuk melindungi lahan pertanian jika ada kemauan politik. Di samping itu, berbagai peraturan yang telah dibuat untuk melindungi lahan pertanian agar tidak dikonversi ternyata kurang efektif karena tidak ada penegakan hukum.

Masalah yang timbul dengan diberlakukannya UU 41/2009 antara lain tidak adanya penggantian lahan pertanian yang digunakan untuk jalan tol. Cadangan lahan untuk pertanian pangan tidak bisa lestari jika pemilik lahan mengubah penggunaannya menjadi non-pertanian. Peraturan terbaru tentang PLP2B yang memberi sanksi kepada pejabat yang memberi rekomendasi konversi lahan dinilai merugikan pejabat di daerah karena peraturan lainnya tidak konsisten dijalankan. Di samping tidak ada insentif bagi daerah yang mempertahankan wilayahnya sebagai produsen pertanian, khususnya pangan, karena penerimaan asli daerah (PAD) lebih menguntungkan jika wilayahnya untuk usaha non-pertanian.

Kebijakan pemerintah yang tetap menetapkan Pulau Jawa sebagai pertumbuhan ekonomi berbasis industri terus menekan lahan pertanian. Sektor pertanian harus mendapat alokasi khusus dalam pembangunan nasional, termasuk alokasi lahan.

(14)

Daftar Pustaka

Antara News. 2009. Percepat Tol Trans Jawa Jasa Marga Usulkan Holding. Kantor Berita. Jakarta, 17 desember 2009.

Ilham N, Y Syaukat, dan S Friyatno. 2004. Perkembangan dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Konversi Lahan Sawah Serta Dampak Ekonominya. SOCA.

Irawan B. 2005. Konversi Lahan Sawah Menimbulkan Dampak Negatif bagi Ketahanan Pangan dan Lingkungan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 27(6):1-3. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Latief D. 1996. Kebijaksanaan Penataan Ruang Dalam Pembangunan Daerah. Dalam Hermanto et al. (Penyunting): Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air: Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. Prosiding Lokakarya, Hasil Kerjasama Pusat Penelitian Sosial ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation.

Nasoetion LI dan J Winoto. 1996. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. Dalam Hermanto et al. (Penyunting): Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air: Dampaknya Terhadap

Keberlanjutan Swasembada Pangan. Prosiding Lokakarya, Hasil Kerjasama Pusat

Penelitian Sosial ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation.

Simatupang P dan B Irawan. 2002. Pengendalian konversi lahan pertanian:Tinjauan ulang kebijakan lahan pertanian abadi. Makalah Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian, 25 Oktober 2002. Badan Litbang Deptan. Jakarta.

Suara Karya. 2010. Indramayu Layak Dibangun Pelabuhan. Harian umum, Jakarta, 20 September 210.

Suhendar E. 1994. Pemetaan Pola-Pola Sengketa Tanah di Jawa Barat. Yayasan AKATIGA. Bandung.

Sumaryanto, Hermanto, dan E Pasandaran. 1996. Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap Pelestarian Swasembada Beras dan Sosial Ekonomi Petani. Dalam Prosiding Lokakarya “Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 92 - 112. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dand Ford Foundation. Bogor

Sudaryanto T. 2004. Konversi Lahan dan Produksi Pangan Nasional. Penyunting: Undang Kurnia, F. Agus, D. Setyorini, dan A. Setiyanto. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian, hal. 57-64.

Winoto J. 2005. Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Tanah Pertanian dan Implementasinya. Seminar Sehari Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian

Referensi

Dokumen terkait

tersedianya luasan RTH Publik sebesar 20% dari luas wilayah ... Usulan Kegiatan dan Pembiayaan Sektor Penataan Bangunan dan Lingkungan ... Readiness Criteria Sektor Penataan

c) Perusahaan telepon akan mendirikan tempat telepon umum yang kedua dengan syarat waktu menunggu suatu kedatangan penelpon hingga memperoleh giliran paling sedikit 3

Hasil uji BNJ pada perbedaan jenis ikan diperoleh kesimpulan bahwa antara dendeng asap ikan bandeng dan tenggiri tidak memiliki perbedaan yang nyata terhadap nilai kadar

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengetahui karakteristik demografi, sosial, dan ekonomi pengusaha ikan lele di Kecamatan Baki, (2) mengidentifikasi faktor yang

Adapun karakternya adalah sebagai berikut: semua pekerja industri konveksi di Kecamatan Polokarto berumur produktif (15– 64 tahun), sebagian besar pekerja industri konveksi

Hasil pengujian kadar vitamin C sari buah songi ( Dillenia serrata Thunb.) menggunakan persamaan regresi linear y = 0,053x-0,177 sebesar 1,09% dengan

Dari uraian singkat di atas, dapat dilihat bahwa dasar utama proses pelaksanaan likuidasi bank adalah PP Nomor 25 Tahun 1999 dan SK Direksi BI Nomor

Tim peneliti melakukan refleksi terhadap pelaksanaan siklus kedua dan menganalisis untuk membuat kesimpulan atas pelaksanaan pembelajaran dengan bantuan media gambar