• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi

Komunikasi adalah komponen penting dalam pola tindakan manusia. Karena itu komunikasi juga perlu dikaji karena begitu rumit dan komplit. Orang telah mempelajari komunikasi sejak zaman purbakala, namun perhatian terhadap pentingnya komunikasi baru muncul belakangan, yaitu pada abad 20. Bernett pearce (1989) dalam (Morisan, 2009: 2) mengatakan munculnya peran komunikasi sebaia penemuan revolusioner (revolusionarydiscovery) yang sebagian besar disebabkan oleh penemuan teknologi komunikasi seperti radio, televise, telepon, satelit, dan jaringan komputer. Pada saat yang bersamaan muncul dan berkembang industrialisasi, tumbuhnya korporasi multinasional dan politik global.

Riset sosiologi yang dilakukan pada tahun 1930-an kebanyakan menyelidiki cara komunikasi dapat memengaruhi individu dan masyarakat, sedangkan topic-topik riset yang populer dalam bidang psikologi sosial kala itu, antara lain adalah riset mengenai efek film terhadap anak-anak, riset mengenai propaganda, persuasi, dan dinamika kelompok. Barulah France Dance (1970) melakukan terobosan penting dalam upayanya memberikan klarifikasi terhadap pengertian komunikasi. ia mengklasifikasikan teori komunikasi yang banyak itu berdasarkan sifat-sifatnya. Ia mengajukan sejumlah elemen dasar yang digunakan untuk membedakan komunikasi. Ia menemukan tiga hal yang disebutnya dengan 'diferensiasi komseptual kritis (critical conceptual differention) yang membentuk dimensi dasar teori komunikasi, yang terdiri atas dimensi level observasi, dimensi kesengajaan, dan dimensi penilaian normatif. Sementara Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson mengemukakan bahwa komunikasi mempunyai dua fungsi umum. Pertama, untuk kelangsungan hidup sendiri yang meliputi: keselamatan fisik, meningkatkan kesadaran pribadi, menampilkan diri kita sendiri kepada orang lain dan mencapai ambisi pribadi. Kedua, untuk kelangsungan hidup masyarakat, tepatnya untuk memperbaiki hubungan sosial dan mengembangkan keberadaan suatu masyarakat (Mulyana, 2002: 5).

Harold Laswell mendefenisikan komunikasi dengan mencoba menjawab beberapa unsur berikut: who, says what, in which channel, to whom, with what effect. Ini berarti bahwa komunikasi dalam prosesnya meliputi lima unsur yaitu adanya komunikator yang bertindak sebagai penyampai pesan, pesan, saluran sebagai sarana penyampai pesan, komunikan yang

(2)

berperan sebagai penerima pesan dan efek yang merupakan umpan balik sebagai reaksi komunikan terhadap pesan yang disampaikan komunikator.

Defenisi di atas menjelaskan bahwa pada dasarnya komunikasi merupakan proses atau pengoperan ‘sesuatu’ berupa lambang atau simbol dalam bentuk informasi, karena kata kunci komunikasi adalah informasi. Sedangkan kegiatan komunikasi yang berlangsung lebih menunjukkan kepada komunikasi interpersonal atau disebut juga proses komunikasi secara primer dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai medianya secara langsung mampu menerjemahkan pikiran dan atau perasaan komunikator atau pada komunikan.

Para pakar komunikasi memiliki pendapat berbeda dalam mengemukakan fungsi-fungsi komunikasi, meskipun adakalanya terdapat kesamaan dan tumpang tindih di antara berbagai pendapat tersebut. Thomas M Scheidel (Mulyana, 2002: 4) mengemukakan bahwa kita berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang di sekitar kita dan untuk mempengaruhi orang lain untuk merasa, berpikir atu berperilaku seperti yang kita inginkan. Namun tujuan dasar kita berkomunikasi adalah untuk mengendalikan lingkungan fisik dan psikologis kita.

2.1.1 Komunikasi Organisasi

Korelasi antara ilmu komunikasi dengan organisasi terletak pada peninjauannya yang terfokus kepada manusia-manusia yang terlibat dalam mencapai tujuan organisasi itu. Ilmu komunikasi mempertanyakan bentuk komunikasi apa yang berlangsung dalam organisasi, metode dan teknik apa yang dipergunakan, media apa yang dipakai, bagaimana prosesnya, faktor-faktor apa yang menjadi penghambat, dan sebagainya. Jawaban-jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah untuk bahan telaah berdasarkan jenis organisasi, sifat organisasi, dan lingkup organisasi dengan memperhitungkan situasi tertentu pada saat komunikasi dilancarkan.

Komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan berbagai pesan organisasi di dalam kelompok formal maupun informal dari suatu organisasi (Wiryanto, 2005). Komunikasi formal adalah komunikasi yang disetujui oleh organisasi itu sendiri dan sifatnya berorientasi kepentingan organisasi. Isinya berupa cara kerja di dalam organisasi, produktivitas, dan berbagai pekerjaan yang harus dilakukan dalam organisasi. Misalnya: memo, kebijakan, pernyataan, jumpa pers, dan surat-surat resmi. Adapun komunikasi informal adalah komunikasi yang disetujui secara sosial. Orientasinya bukan pada organsiasi, tetapi lebih kepada anggotanya secara individual.

(3)

Conrad (dalam Tubbs dan Moss, 2005) mengidentifikasikan tiga fungsi komunikasi organisasi sebagai berikut: fungsi perintah, fungsi relasional, fungsi manajemen ambigu.

1. Fungsi perintah berkenaan dengan anggota-anggota organisasi mempunyai hak dan kewajiban membicarakan, menerima, menafsirkan dan bertindak atas suatu perintah. Tujuan dari fungsi perintah adalah koordinasi di antara sejumlah anggota yang bergantung dalam organisasi tersebut.

2. Fungsi relasional berkenaan dengan komunikasi memperbolehkan anggota-anggota menciptakan dan mempertahankan bisnis produktif hubungan personal dengan anggota organisasi lain. Hubungan dalam pekerjaan mempengaruhi kinerja pekerjaan dalam berbagai cara. Pentingnya dalam hubungan antarpersonal yang baik lebih terasa dalam pekerjaan ketika anda merasa bahwa banyak hubungan yang perlu dilakukan tidak anda pilih, tetapi diharuskan oleh lingkungan organisasi, sehingga hubungan menjadi kurang stabil, lebih memacu konflik, kurang ditaati, dsb.

3. Fungsi manajemen ambigu berkenaan dengan pilihan dalam situasi organisasi sering dibuat dalam keadaan yang sangat ambigu. Misal: motivasi berganda muncul karena pilihan yang diambil akan mempengaruhi rekan kerja dan organisasi, demikian juga diri sendiri; tujuan organisasi tidak jelas konteks yang mengharuskan adanya pilihan tersebut mungkin tidak jelas. Komunikasi adalah alat untuk mengatasi dan mengurangi ketidakjelasan yang melekat dalam organisasi. Anggota berbicara satu dengan lainnya untuk membangun lingkungan dan memahami situasi baru yang membutuhkan perolehan informasi bersama.

Menurut perspektif ilmu komunikasi pula dikatakan organisasi tidak terbentuk karena adanya surat atau dokumen persetujuan, tetapi organisasi ada sejak adanya interaksi atau komunikasi tertentu di antara orang-orang yang menunjukkan bahwa mereka tengah berorganisasi. Surat atau dokumen tidak akan ada artinya tanpa adanya komunikasi di antara orang-orang yang menunjukkan mereka berorganisasi. Singkatnya, komunikasi membentuk organisasi, dan komunikasi dalam organisasi atau komunikasi organisasi inilah yang menjadi perhatian dari teori komunikasi organisasi (dalam Morrisan, 2009: 25)

Komunikasi organisasi mencakup komunikasi yang terjadi di dalam dan di antara lingkungan yang besar dan luas. Jenis komunikasi ini sangat bervariasi karena komunikasi organisasi juga meliputi komunikasi interpersonal, kesempatan berbicara di depan publik, kelompok kecil, dan komunikasi dengan menggunakan media. Oleh karenanya, organisasi terdiri atas kelompok yang diarahkan oleh tujuan akhir yang sama.

Hal yang membedakan konteks ini dengan yang lainnya adalah adanya hierarki dalam hampir semua organisasi. Hierarki adalah prinsip-prinsip pengaturan di mana orang diberikan urutan di atas atau di bawah yang lain. Organisasi bersifat unik karena komunikasi yang terjadi sangat terstruktur dan pembagian peran sering kali terspesialisasi dan dapat diprediksi (dalam Turner, 2008: 38).

(4)

Komunikasi dalam organisasi berfungsi sebagai pembentuk iklim komunikasi, yakni yang menggambarkan suasana kerja organisasi atau sejumlah keseluruhan perasaan dan sikap orang-orang yang bekerja di dalam organisasi.

Di samping komunikasi mempunyai andil membangun iklim komunikasi, juga berdampak pada membangun budaya organisasi, yaitu nilai dan kepercayaan yang menjadi titik pusat organisasi. Iklim dan budaya organisasi tersebut pada akhirnya berpengaruh terhadap efisiensi dan produktivitas.

Tujuan komunikasi dalam proses organsiasi tidak lain dalam rangka membentuk saling pengertian. Pendek kata agar terjadi penyetaraan dalam kerangka referensi maupun bidang pengalaman. Meskipun nyaris mustahil menyamakan ranah kognitif individu-individu dalam organisasi, tetapi melalui kegiatan komunikasi yang terencana dan substansi isinya terdesain, minimal terjadi proses penyebarluasan dimensi-dimensi organisasi pada setiap orang. Dimensi-dimensi yang dimaksud misalnya: misi organisasi, visi, nilai, strategi, prospek dan sebagainya.

Bagi organisasi yang menyadari bahwa komunikasi sudah merupakan bagian yang penting, maka kegiatan perencanaan riset, impelementasi, maupun evaluasi komunikasi. Selain itu, organisasi ini akan memfungsikan secara optimal bagian-bagian yang diberi otoritas menangani masalah-masalah komunikasi seperti bagian kehumasan, protokoler, pengembangan dan kerjasama.

Kajian komunikasi organisasi juga telah banyak dikaitkan dengan bidang manajemen. Komunikasi dalam kontkes ini dilihat dari perspektif teknis/operasional, komunikasi sebagai alat mencapai tujuan-tujuan organisasi. Sedangkan komunikasi organisasi sebagai bidang kajian ilmu komunikasi tidak hanya memfokuskan diri pada manajemen, tetapi telah melebar ke masalah-masalah yang berkaitan dengan organisasi secara lebih luas seperti opini public.

Deddy Mulyana, Ph. D menawarkan lingkup kajian komunikasi organisasi sebagai berikut: komunikasi organisasi terjadi dalam suatu organisasi bersifat formal dan juga informal, dan berlangsung dalam suatu jaringan yang lebih besar dari pada komunikasi kelompok. Komunikasi organisasi seringkali melibatkan juga komunikasi diadik, komunikasi antar-pribadi dan ada kalanya juga komunikasi publik. Komunikasi formal adalah komunikasi menurut struktur organisasi, yakni komunikasi ke bawah, komunikasi ke atas, dan komunikasi horizontal. Sedangkan komunikasi informal tidak bergantung pada struktur organisasi, seperti komunikasi antar sejawat, juga termasuk gosip (dalam Panuju, 2001).

Penting bagi manajer untuk mengusahakan terciptanya komunikasi yang efektif dalam organisasi. Sebab dengan efektifnya komunikasi dalam roganisasi tersebut maka akan memacu

(5)

peningkatan kepuasan kerja karyawan, sehingga dapat meningkatkan produktivitas yang artinya bagi organisasi adalah bahwa dalam organisasi terjadi peningkatan produksi dan pengurangan biaya melalui perbaikan sikap dan tingkah laku karyawannya. Selanjutnya, masyarakat tentu akan menikmati hasil kapasitas maksimum dari organisasi serta naiknya nilai manusia di dalam konteks pekerjaan. Manusia merupakan unsur yang terpenting dalam suatu organisasi, maka pemeliharaan hubungan yang terus-menerus dan serasi antara manajer dengan karyawan dalam setiap organisasi menjadi sangat penting. Pemeliharaan hubungan tersebut adalah menyangkut komunikasi yang efektif dalam organisasi agar dapat tercapai kepuasan kerja karyawan.

2.1.2 Budaya Organisasi

Kajian budaya dalam bidang studi organisasi bermula ketika terjadi perubahan paradigma dalam cara memandang organisasi yakni ketika organisasi tidak lagi dipandang semata-mata sebagai instrumen yang bersifat formal dan rasional yang sengaja dibentuk sekedar membantu manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, tapi organisasi dipandang seolah-olah sebagai makhluk hidup dan sebagai sebuah masyarakat di mana aspek kehidupan organisasi dan lingkungannya lebih mendapat perhatian ketimbang menempatkan organisasi sekedar sebagai alat. Terbentuknya budaya di dalam organisasi tidak terjadi seketika melainkan melalui proses panjang yang salah satu sumber pembentukannya adalah budaya masyarakat. Budaya-budaya tersebut secara gradual dibawa masuk baik oleh para pendiri organisasi, para pengelola maupun anggota organisasi lainnya. Selanjutnya setelah terjadi proses kristalisasi dan internalisasi di dalam organisasi, budaya masyarakat yang pada mulanya di luar jangkauan organisasi pada akhirnya menjadi bagian formal organisasi.

Budaya merupakan hal yang selalu mengiringi kehidupan manusia. Budaya selalu ada di mana dan kapan saja manusia itu berada. Tak terkecuali pada kehidupan organisasi.

Dalam sebuah organisasi, inti kehidupan sebuah organisasi itu sendiri ditemukan dalam budaya. Budaya yang dimaksud dalam organisasi berbeda dengan budaya dalam pandangan sehari-hari kita. Budaya dalam organisasi tidaklah diartikan sebagai ras, etnis, latar belakang individu. Menurut Pacanowsky dan O’Donnell Trujilo, budaya dalam organisasi diartikan sebagai cara hidup di dalam organisasi. Misalnya iklim atau atmosfer emosional dan psikologis, yang mencakup semangat kerja karyawan, sikap dan tingkat produktivitas, dan simbol-simbol (dalam Turner, 2008: 317).

Budaya organisasi diadakan dalam kerangka pikiran umum anggota organisasi. Kerangka kerja ini berisi asumsi dasar dan nilai-nilai. Asumsi dasar dan nilai-nilai diajarkan kepada

(6)

anggota baru sebagai cara untuk melihat, berpikir, merasa, berperilaku, dan mengharapkan orang lain untuk berperilaku dalam organisasi. Budaya organisasi dikembangkan dari waktu ke waktu sebagai orang dalam organisasi belajar menghadapi sukses dengan masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal. Hal ini menjadi bahasan dan latar belakang umum. Jadi, budaya muncul dari apa yang telah berhasil bagi organisasi.

Budaya organisasi tidak muncul dengan sendirinya dikalangan antar organisasi, tetapi perlu dibentuk dan dipelajari karena pada dasarnya budaya perusahaan adalah sekumpulan nilai dan pola perilaku yang dipelajari, dimiliki bersama, oleh semua anggota organisasi dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Budaya organisasi sangat penting peranannya dalam mendukung terciptanya suatu organisasi/perusahaan yang efektif. Secara lebih spesifik, budaya perusahaan dapat berperan dalam menciptakan jati diri, mengembangkan keikutsertaan pribadi dengan perusahaan dan menyajikan pedoman perilaku kerja bagi karyawan.

Metafora Budaya: Jaring Laba-Laba

Seperti yang telah disebutkan di atas, inti kehidupan sebuah organisasi ditemukan dalam budaya. Oleh karena itu, budaya organisasi adalah esensi dari kehidupan organisasi. Bisa dibayangkan bahwa suatu organisasi tanpa budaya, maka akan terjadi kekacaubalauan di dalamnya. Organisasi tersebut pun dipastikan tidak dapat mencapai tujuan organisasinya dengan utuh dan lancar.

Pacanowsky dan O’Donnell Trujilo (1982) mempercayai bahwa budaya organisasi “mengindikasikan apa yang menyusun dunia nyata yang ingin diselidiki. Mereka mengatakan bahwa budaya organisasi (organizational culture) adalah esensi dari kehidupan organisasi. Mereka menerapkan prinsip-prinsip antropologi untuk mengontruksi teori mereka. Mereka juga mengadopsi pendekatan Interpretasi Simolok yang dikemukakan oleh Clifford Geertz (1973) dalam model teoritis mereka. Dalam teorinya Geertz menyatakan bahwa orang-orang adalah hewan “yang tergantung didalam jaringan kepentingan”, artinya orang-orang yang memuat jaring mereka sendiri. Atas pernyataan tersebut, Pacanowsky & Trujilo pun menambahkan pernyataan tersebut isinya (dalam Turner, 2008: 318) :

“Jaring ini tidak hanya ada, melainkan sedang dipintal. Jaring ini dipintal ketika orang sedang menjalankan bisnis mereka membuat dunia mereka menjadi dapat dipahami. Maksudnya ketika mereka berkomunikasi. Ketika mereka berbicara, menulis sebuah naskah drama, menyanyi, menari, pura-pura sakit, mereka sedang berkomunikasi dan mengkonstruksi budaya mereka. Jaring ini merupakan residu dari proses komunikasi.”

(7)

Geertz menggambarkan jarring laba-laba yang mungkin ada didalam sebuah organisasi dan meyakini bahwa budaya seperti sebuah jarring yang dipintal oleh laba-laba. Maksud dari tujuan penggambaran ini yaitu jarring ini terdiri atas desain yang rumit dan tiap jarring berbeda dengan yang lainnya. Geertz berargumen bahwa budaya-budaya semuanya berbeda dan keunikan ini harus dihargai. Tujuan pendekatan Pacanowsky & Trujilo dengan metafora tersebut adalah untuk memikirkan semua kofigurasi (fitur) menyerupai jaring yang mungkin dalam organisasi (dalam Turner, 2008: 318).

Asumsi Teori Budaya Organisasi

Terdapat tiga asumsi pada Teori Budaya Organisasi yang dikemukakan oleh Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo, yaitu:

1. Anggota-anggota organisasi mencipakan dan mempertahankan perasaan yang dimiliki bersama mengenai realitas organisasi, yang berakibat pada pemahaman yang lebih baik mengenai nilai-nilai sebuah organisasi. Asumsi ini berhubungan dengan pentingnya orang dalam kehidupan organisasi. Secara khusus, individu saling berbagi dalam menciptakan dan mempertahankan realitas. Individu-individu ini mencakup karyawan, supervisor dan atasan. Inti asumsi ini adalah yang dimiliki oleh organisasi. Nilai adalah standar dan prinsip-prinsip dalam sebuah budaya yang memiliki nilai intrinsik dari sebuah budaya. Nilai menunjukkan kepada anggota organisasi apa saja yang penting. Orang berbagi dalam proses menemukan nilai-nilai perusahaan. Menjadi anggota dari sebuah organisasi membutuhkan pertisipasi aktif dalam organisasi tersebut.

2. Penggunaan dan interpretasi simbol sangat penting dalam budaya organisasi. Maksudnya adalah realitas organisasi ditentukan oleh simbol-simbol. Perspektif ini menggarisbawahi penggunaan simbol dalam organisasi. Simbol merupakan representasi untuk makna. Simbol-simbol ini sangat penting bagi budaya perusahaan. Simbol-Simbol-simbol mencakup komunikasi verbal dan non verbal di dalam organisasi. Seringkali simbol-simbol ini mengkomunikasikan nilai-nilai organisasi. Simbol dapat berupa slogan yang memiliki makna. Sejauh mana simbol-simbol ini efektif bergantung tidak hanya pada media tetapi bagaiman karyawan perusahaan mempraktikannya.

3. Budaya bervariasi dalam organisasi-organisasi yang berbeda dan interpretasi tindakan dalam budaya ini juga beragam. Asumsi mengenai teori budaya organisasi ini sangat bervariasi. Persepsi mengenai tindakan dan aktivitas dalam budaya-budaya ini juga seberagam budaya itu sendiri (dalam Turner, 2008: 319).

Budaya organisasi dapat didefenisikan sebagai perangkat sistem nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, asumsi-asumsi, atau norma-norma yang telah berlaku, disepakati dan diikuti oleh para anggota suatu organisasi sebagai pedoman perilaku dan pemecahan masalah-masalah organisasinya. Budaya organisasi juga disebut budaya perusahaan, yaitu seperangkat nilai-nilai atau norma-norma yang telah relatif lama berlakunya, dianut bersama oleh para anggota organisasi sebagai norma perilaku dalam menyelesaikan masalah-masalah organisasi. Dalam budaya organisasi terjadi sosialisasi nilai-nilai dan menginternalisasi dalam diri para anggota,

(8)

menjiwai orang per orang di dalam organisasi. Dengan demikian, maka budaya organisasi merupakan jiwa organisasi dan jiwa para anggota organisasi.

Dari sisi fungsi, budaya organisasi mempunyai beberapa fungsi. Pertama, budaya mempunyai suatu peran pembeda. Hal itu berarti bahwa budaya kerja menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan yang lain. Kedua, budaya organisasi membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi. Ketiga, budaya organisasi mempermudah timbul pertumbuhan komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual. Keempat, budaya organisasi itu meningkatkan kemantapan sistem sosial (dalam Robbins, 2001). Performa Komunikatif

Turner (2008: 325-327) mengutip performa adalah metafora yang menggambarkan proses simboltik dari pemahaman akan perilaku manusia dalam sebuah organisasi. Performa budaya di bagi menjadi lima bagian yaitu: ritual, hasrat, sosial, politik, dan enkulturasi. Performa-performa ini dapat dilaksanakan oleh anggota mana pun dalam sebuah organisasi.

· Performa Ritual

Semua performa komunikasi yang terjadi secara teratur dan berulang. Terdiri dari empat jenis:

1. Ritual personal: semua hal yang di lakukan secara rutin di tempat kerja. Contoh: mengecek e-mail yang di lakukan rutih setiap harinya.

2. Ritual tugas: prilaku rutin yang di kaitkan dengan pekerjaan seseorang. Ritual tugas membantu menyelesaikan pekerjaan. Contoh: seorang karyawan di yang bekerja sebagai kasir setiap harinya harus menerima dan mencatat semua pembayaran,

3. Ritual sosial: rutinitas verbal dan nonverbal yang biasanya mempertimbangkan interaksi dengan orang lain. Contoh: beberapa karyawan dalam suatu perusahaan yang setiap akhir pekan mengadakan pertemuan bersama. Atau seorang siswa yang setiap hari sengaja datang lebih awal untuk bertemu dengan teman-temannya untuk bercerita bersama dan kemudian di teruskan kembali pada waktu istirahat.ritual sosial juga dapat mencangkup pemberian penghargaan karyawan terbaik di setiap bulannya.

4. Ritual organisasi: kegiatan perusahaan yang sering di lakukan seperti rapat divisi, rapat fakultas, bahkan piknik perusahaan.

· Performa Hasrat

Kisah-kisah organisasi yang sering kali di ceritakan secara antusias oleh para anggota organisasi dengan orang lain. Contohnya yaitu seorang karyawan yang selalu menceritakan tentang atasannya kepada semua temannya secara terus menerus bahkan selama beberapa tahun.

(9)

· Performa Sosial

Merupakan perpanjangan sikap santun dan kesopanan untuk mendorong kerjasama di antara anggota organisasi. Contohnya adalah dengan hal kecil berupa senyuman atau hanya sekedar sapaan yang di lakukan seluruh anggota menjadikannya sebagai budaya dalam sebuah organisasi. · Performa Politis

Perilaku organisasi yang mendemonstrasikan kekuasaan atau kontrol. Kebanyakan organisasi bersifat hierarkis yaitu harus ada seseorang yang menjadi penguasa untuk mencapai segala sesuatu dan memiliki cukup kontrol untuk mempertahankan dasar-dasar yang ada. Ketika sebuah organisasi terlibat dalam performa politis, mereka mengkomunikasikan keinginan untuk mempengaruhi orang lain, namun hal ini tidak selalu berdampak buruk.

· Performa Enkulturasi

Merujuk pada bagaimana anggota mendapatkan pengetahuan dan keahlian untuk dapat menjadi anggota organisasi yang mampu berkontribusi. Performa ini dapat merupakan sesuatu yang bersifat hati-hati maupun berani. Performa ini mendemonstrasikan kompetensi seorang anggota dalam sebuah organisasi.

Deal dan Kennedy (1982) menyebutkan ciri-ciri budaya organisasi sebagai berikut (dalam Tika, 2006: 16):

1. Anggota- anggoat organisasi loyal kepada organisasi, tahu dan jelas apa tujuan organisasi serta mengerti perilaku mana yang di pandang baik dan tidak.

2. Pedoman bertingkah laku bagi orang-orang di dalam organisasi digariskan dengan jelas, dimengerti, dipatuhi dan dilaksanakan sehingga orang yang bekerja menjadi sangat kohesif. 3. Nilai-nilai yang di anut organisasi tidak hanya berhenti pada slogan,tetapi di hayati dan

dinyatakan dalam tingkah laku sehari-hari secara konsisten oleh semua yang bekerja dalam perusahaan baik, yang berpangkat tinggi sampai yang rendah pangkatnya.

4. Organisasi memberikan tempat khusus kepada pahlawan perusahaan dan secara sistematis menciptakan bermacan tingkat pahlawan, misalnya, pramujual terbaik tahun ini, pemberian saran terbaik, dan sebagainya.

5. Dijumpai banyak ritual, mulai yang sangat sedarhana sampai dengan ritual yang mewah, Pemimpin selalu hadir acara ritual-ritual ini.

Peranan Budaya Organisasi

Dalam hidupnya, manusia dipengaruhi oleh budaya dimana dia berada, seperti nilai-nilai, keyakinan dan perilaku sosial/masyarakat yang kemudian menghasilkan budaya social atau budaya masyarakat. Hal yang sama juga akan terjadi bagi para anggota organisasi. Hal yang sama juga akan terjadi bagi para anggota organisasi dengan segala nilai, keyakinan,dan perilakunya dalam organisasi yang kemudian menciptakan budaya organisasi. Secara spesifik mengemukakan sejumlah peranan penting yang dimainkan oleh budaya organisasi antara lain:

(10)

membantu menciptakan rasa memilki jati diri bagi pekerja, dapat dipakai untuk mengembangkan keikatan pribadi dengan organisasi, membantu stabilisasi organisasi sebagai suatu sistem sosial, menyajikan pedoman prilaku, sebagai hasil dari norma-norma perilaku yang sudah terbentuk.

Singkatnya, budaya organisasi sangat penting peranannya di dalam mendukung terciptanya suatu organisasi/perusahaan yang afektif.

Fungsi Budaya Organisasi

Banyak pakar yang menyebutkan fungsi dari budaya organsasi yang dikutip oleh Aan komariah dan Triatna (dalam Komariah, 2005), salah satunya adalah Robins mencatat lima fungsi budaya organisasi yaitu:

1. Membedakan satu organisasi dengan organisasi yang lain. 2. Meningkatkan sense of identity anggota

3. Meningkatkan komitmen bersama. 4. Menciptakan stabilitas sistem sosial.

5. Mekanisme pengendalian yang terpadu dan membentuk sikap dan perilaku karyawan. Siagaan (dalam Siagiaan, 1995) mencatat lima fungsi penting budaya organisasi, yaitu:.

1. Sebagai penentu batas-batas perilakudalam arti menentukan apayang boleh dan tidak boleh dilakukan, apa yang dipandang baik atau tidak baik, dan menentukan yang benar dan yang salah.

2. Menumbuhkan jati diri suatu organisasi dan para anggoatanya.

3. Menubuhkan komitmen kepada kepentingan bersama diatas kepentingan individual atau kelompok sendiri.

4. Sebagai tali pengikat bagi seluruh anggota organisasi.

5. Sebagai alat pengendali perilaku para anggota organisasi yang bersangkutan.

Kast dan Rosenweig mengatakan budaya organisasi meliputi garis-garis pedoman yang kukuh yang membentuk perilaku. Ia melaksanakan beberapa fungsi penting seperti yang dijelaskan sebagai berikut (Siagiaan, 1995):

1. Menyampaikan rasa identitas untuk anggota organisasi.

2. Memudahkan komitmen untuk sesuatu yang lebih besar dari pada diri sendiri. 3. Meningkatkan stabilitas sitem sosial.

4. Menyediakan premise (pokok pendapatan) yang di akui dan diterima untuk pengambilan keputusan.

Dari beberapa ahli di atas Aan Komariah dan Cecep Triatna menyimpulkan fungsi dari budaya organisasi adalah (dalam Komariah, 2005):

1. Pembeda karakteristik organisasi.

2. Menunjukkan dan mempertajam identitas. 3. Meningkatkan Komitmen bersama.

(11)

5. Menunjukkan mekanisme kontrol terhadap norma dan perilaku.

Dan juga dari beberapa pakar dapat disimpulkan pula oleh Pabundu Tika bahwa fungsi utama budaya organisasi sebagai berikut (Tika, 2006):

1. Sebagai batas pembeda terhadap lingkungan, organisasi maupun kelompok lain. Batas pembeda ini karena adanya identitas tertentu yang dimiliki oleh suatu organisasi atau kelompok yang tidak dimiliki oleh yang lain.

2. Sebagai perekat bagi karyawan dalam suatu organisasi. Hal ini merupakan komitmen kolektif dari karyawan. Mereka bangga sebagai pegawai suatu organisasi. Para karyawan mempunyai rasa memiliki, partisipasi, dan rasa tanggung jawab atas kemajuan organisasi.

3. Mempromosikan stabilitas sistem sosial. Hal ini tergambarkan di mana lingkungan kerja di rasakan positif, mendukung, dan konflik serta perubahan yang diatur.

4. Semua orang diarahkan ke arah yang sama.

5. Sebagai integrator. Budaya organisasi dapat di jadikan sebagai integrator karena adanya sub-subbudaya baru. Kondisi seperti ini biasanya dialami oleh adanya perusahaan-perusahaan besar di mana setiap unit terdapat subbudaya baru. Demikian pula dapat mempersatukan kegiatan para anggota perusahaan yang terdiri dari sekumpulan individu yang mempunyai latar belakang budaya yang berbeda.

6. Membentuk perilaku bagi karyawan/anggota. Fungsi seperti ini dimaksudkan agar para karyawan dapat memahami bgaimana mencapai tujuan organisasi.

7. Sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah-masalah pokok organisasi. Masalah utrama yang sering dihadapi organisasi adalah masalah adaptasi terhadap lingkungan eksternal dan masalah integrasi internal. Budaya organisasi diharapkan daptar berfungsi mengatasi masalah-masalah tersebut.

8. Sebagai acuan dalam menyusun perencanaan organisasi. Fungsi budaya organisasi adalah sebagai acuan untuk menyusun perencanaan pemasaran, segmentasi pasar, penentuan positioning yang akan dikuasai organisasi tersebut.

9. Sebagai alat komunikasi. Budaya organisasi dapat berfungsi sebagai alat komunikasi antara atasan dan bawahan atau sebaliknya, Budaya sebagai alat komunikasi tercermin pada aspek-aspek komuniksi yang mencakup kata-kata, segala sesuatu yang bersifat material dan perilaku. Kata-kata mencerminkan kegiatan politik organisasi. Material merupakan indikator dari status dan kekuasan, sedangkan perilaku merupakan tindakantindakan realitas yang pada dasarnya dapat dirasakan oleh semua insan yang ada dalam organisasi.

10. Sebagai penghambat berinovasi. Budaya organisasi dapat juga sebagai penghambat dalam berinovasi. Hal ini terjadi apabila budaya organisasi tidak dapat mengatasi masalah-masalan yang menyangkut lingkungan ekstenal dan integrasi internal.

2.1.3 Simbol Budaya Organisasi

Jantung dari teori budaya organisasi adalah keyakinan bahwa organisasi memiliki berbagai simbol, ritual dan nilai yang membuatnya unik. Asumsi kedua teori budaya organisasi yang dikemukakan oleh Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo menyebutkan penggunaan dan interpretasi simbol sangat penitng dalam budaya organisasi (Turner, 2008: 319).

(12)

Simbol merupakan representasi untuk makna. Melihat pentingnya symbol bagi sebuah perusahaan, Mary Jo Hatch (1997) memperluas pemikiran mengenai simbol dalam diskusinya mengenai kategori-kategori makna simbolik sebagai berikut:

Tabel 1

Simbol Budaya Organisasi

Kategori Umum Tipe/Contoh Spesifik

Simbol Fisik Seni/desain/logo

Bangunan/dekorasi Pakaian/penampilan Benda/material

Simbol Perilaku Upacara/ritual

Tradisi/kebiasaan Penghargaan/hukuman

Simbol Verbal Anekdot/lelucon

Jargon/nama/nama sebutan Penjelasan

Kisah/mitos/sejarah Metafora

(Sumber: Turner, 2008: 320)

Seringkali, simbol-simbol ini mengomunikasikan nilai-nilai organisasi. Simbol dapat berupa slogan yang memiliki makna.

Seperti yang sudah sedikit disinggung pada latar belakang (hal. 5), Pers Mahasiswa SUARA USU memiliki simbol budaya organisasi berupa simbol fisik, simbol perilaku dan simbol verbal. Berikut simbol budaya organisasi Pers Mahasiswa SUARA USU:

1. Simbol Fisik: a) Logo. Terdiri dari kata-kata ‘Pers Mahasiswa SUARA USU’.Tulisan ‘Pers Mahasiswa’ berwarna hitam yang berarti ketegasan dan warna merah pada tulisan ‘SUARA USU’ artinya jujur dan berani. Perbandingan ukuran tulisan Pers Mahasiswa SUARA USU adalah 2 banding 5. Jenis huruf pada tulisan ‘Pers Mahasiswa’ adalah Arial dengan huruf kapital serta jenis huruf pada tulisan ‘SUARA USU’ adalah Impact dengan huruf kapital.

b) Bangunan. Sekretariat Pers Mahasiswa SUARA USU terletak di jalan Universitas no. 32 B Pintu I USU, terletak di belakang sekretariat UKM Pramuka. Berbentuk persegi panjang dengan luas 60 m2. Disamping

kanan bangunan yang mengarah ke jalan raya, tertulis logo SUARA USU agar orang dapat melihat letak sekretariatnya.

(13)

c) Pakaian. Baju SUARA USU merupakan kemeja berwarna hitam dengan tulisan ‘Pers Mahasiswa SUARA USU’ berwarna merah di dada kanan atas serta tulisan ‘I’m a journalist’ berwarna merah di lengan kanan. d) Benda. Setiap akhir tahun, SUARA USU selalu membuat sebuah

souvenir sebagai kenang-kenangan. Souvenir yang akan dibuat merupakan hasil kesepakatan berapa. Diakhir tahun lalu, anggota SUARA USU sepakat menjadikan flashdisk 8 GB sebagai souvenir. 2. Simbol Perilaku: a) Upacara. Berupa penerimaan anggota baru Pers Mahasiswa SUARA

USU. Dilakukan 2 kali dalam setahun dan diperuntukan hanya untuk mahasiswa baru yang masuk di tahun penerimaan anggota baru dilakukan. Misalnya dilakukan di tahun 2013, maka yang boleh mendaftar adalah mahasiswa stambuk 2013. Hal ini dilakukan karena kewajiban masa abdi 3 tahun, jika mahasiswa yang mendaftar dari stambuk lama, maka ia tidak akan bisa mengabdi 3 tahun dan akan merusak sistem.

b) Tradisi. SUARA USU memiliki rapat harian setiap hari Rabu mulai jam 15.00 WIB dan hari Sabtu mulai jam 14.00 WIB. Setiap anggotanya diwajibkan datang, kecuali dengan alasan sakit, akademis dan urusan

keluarga.

c) Jika anggota tidak hadir di luar 3 alasan tersebut, maka

dianggap alpa. Jika anggota terkena alpa 3 kali berturut-turut, maka akan dijatuhkan surat peringatan. Anggota SUARA USU juga punya kewajiban mensirkulasikan produk cetak mereka dan ada jumlah minimal yang harus dipenuhi. Jika ada anggota yang tidak memenuhi, maka akan menerima hukuman berupa harus mengantarkan tabloid/majalah gratis ke fakultas-fakultas atau instansi atau pers mahasiswa yang ada di Medan. Sebaliknya jika ada anggota yang menjual paling banyak, maka akan diberi hadiah berupa uang, buku atau film.

3. Simbol Verbal: a) Anekdot: Anggota SUARA USU memiliki istilah ‘subil’ dalam candaannya. Subil berarti menyindir secara halus langsung orang yang disindir namun berupa candaan, bukan sarkasme.

b) Jargon. Moto SUARA USU adalah ‘Realitas Perspektif Mahasiswa’, yang berarti suatu kenyataan yang berdasarkan sudut pandang

mahasiswa. Moto ini selalu ada di bawah logo seluruh produk SUARA USU.

c) Sejarah. SUARA USU berdiri pada tanggal 1 Juli 1995 yang dipelopori oleh 4 mahasiswa. Awalnya SUARA USU mirip seperti humas untuk rektorat, yang mengeluarkan produk berupa house journal yang terbit

setiap wisuda. Namun mengingat seringnya terjadi demo pada masa itu dan sulitnya mahasiswa menyampaikan aspirasinya langsung pada rektor,

maka SUARA USU berubah menjadi media bagi mahasiswa yang diharapkan dapat mewakili dan menyampaikan aspirasi mahasiswa.

2.2 Penelitian Kualitatif

Bogdan dan Taylor (1992: 21-22) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan dan tulisan dan

(14)

perilaku orang-orang yang diamati. Melalui penelitian kualitatif peneliti dapat mengenali subjek, merasakan apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari (dalam Basrowi, 2008: 1).

Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perspektif partisipan. Pemahaman tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi didapat setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian. Berdasarkan analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan berupa pemahaman umum yang sifatnya abstrak tentang kenyataan-kenyataan.

Penelitian kualitatif memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Latar alamiah. Penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan.

2. Manusia sebagai alat. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama.

3. Metode kualitatif. Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif.

4. Analisis data secara induktif. Penelitian kualitatif mengutamakan analisis data secara induktif, dari lapangan tertentu yang bersifat khusus, untuk ditarik suatu proposisi atau teori yang dapat digeneralisasikan secara luas.

5. Teori dari dasar. Penelitian kualitatif lebih menghendaki penyusunan teori substantif yang berasal dari data.

6. Deskriptif. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. 7. Lebih mementingkan proses daripada hasil. Hal ini disebabkan oleh hubungan

bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses.

8. Ada “batas” yang ditentukan oleh “fokus”. Penelitian kualitatif menghendaki ditetapkannya batas dalam penelitiannya atas dasar fokus yang timbul sebagai masalah dalam penelitian.

9. Adanya kriteria khusus untuk keabsahan data. Penelitian kualitatif mendefinisikan validitas, reabilitas, dan objektivitas dalam versi lain dibandingkan dengan lazim digunakan dalam penelitian klasik.

10. Desain yang bersifat sementara. Penelitian kualitatif menyusun desain yang secara terus-menerus disesuaikan dengan kenyataan lapangan. Jadi, tidak menggunakan desain yang telah disusun secara ketat dan kaku sehingga tidak dapat diubah lagi.

11. Hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama. Penelitian kualitatif lebih menghendaki agar pengertian dan hasil interpretasi yang diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sebagai sumber data. (Basrowi, 2008: 20)

2.2.1 Paradigma Interpretif

Metode penelitian kualitatif cenderung dihubungkan dengan paradigma interpretif. Metode ini memusatkan penyelidikan terhadap cara manusia memaknai cara kehidupan sosial mereka, serta bagaimana manusia mengekspresikan pemahaman mereka. Paradigma interpretif menekankan perlunya memahami realitas sosial dari berbagai sudut pandang orang-orang yang

(15)

hidup di dalamnya. Realitas sosial yang dihadapi manusia sudah terbentuk dari waktu ke waktu melalui proses komunikasi, interaksi dan sejarah bersama (Daymon, 2008: 6).

Paradigma interpretif rumbuh berdasarkan ketidakpuasan dengan teori post-positivis, karena perspektif positivis dipandang terlalu umum, terlalu mekanis, dan tidak mampu menangkap keruwetan, nuansa, dan kompleksitas dari interaksi manusia. Perspektif interpretif mencari sebuah pemahaman bagaimana kita berperilaku terhadap dunia yang kita bentuk itu. Dalam pencarian pemahaman jenis ini, teori interpretif mendekati dunia dan pengetahuan dengan cara yang sangat berbeda dengan cara teori post-positivis. (Ardianto, 2007: 124)

2.2.2 Interaksionisme Simbolik

George Herbert Mead lahir di Massacusettes, Amerika Serikat, pada tahun 1863, yakni pada era perang sipil. Ayahnya merupakan seorang menteri, namun kakeknya merupakan seorang petani miskin. Mead dianggap sebagai bapak interaksionisme simbolik, karena pemikirannya yang luar biasa. Pemikiran Mead terangkum dalam konsep pokok mengenai “mind”, “self” dan “society” sebagaimana dijelaskan berikut ini (Mufid, 2009:160).

Dia mengatakan bahwa pikiran manusia mengartikan dan menafsirkan benda-benda dan peristiwa yang dialaminya, menerangkan asal muasalnya dan meramalkannya. Pikiran manusia menerobos dunia luar, seolah-olah mengenalnya dari balik penampilannya. Cara manusia mengartikan dunia dan dirinya sendiri berkaitan erat dengan masyarakatnya. Mead (dalam Mufid, 2009:161-165) melihat pikiran dan diri menjadi bagian dari perilaku manusia, yaitu bagian interaksinya dengan orang lain. Interaksi itu membuat dia mengenal dunia dan dia sendiri. Mead mengatakan bahwa, pikiran (mind) dan diri (self) berasal dari masyarakat (society) atau aksi sosial (social act).

a. Konsep Mead tentang “Mind”

Mead mendefinisikan “mind” (pikiran) sebagai fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang dalam proses sosial sebagai hasil dari interaksi. Mind dalam hal ini mirip dengan symbol, yakni sebagai hasil dari interaksi sosial. Hanya, mind terbentuk setelah terjadinya percakapan diri (self-conversation), yakni ketika seseorang melakukan percakapan diri yang juga disebut sebagai berpikir. Karenanya bagi Mead, berpikir tidak mungkin terjadi jika tidak menggunakan bahasa.

Konsepsi “mind” lebih merupakan proses daripada sebuah produk. Hal ini berarti bahwa kesadaran bukanlah hasil tangkapan dari luar, melainkan secara aktif selalu berubah dan berkembang. Mead mengatakan bahwa, “consciousness (mind) is not given, it is emergent”. Kesadaran (mind) tidak diberi, tapi dicari.

(16)

b. Konsep Mead tentang “Self”

Self, menurut Mead adalah proses yang tumbuh dalam keseharian sosial yang membentuk identitas diri. Perkembangan self tergantung pada bagaimana seseorang melakukan role taking (pengambilan peran) dari orang lain. Dalam role taking kita mengimajinasikan tingkah laku kita dari sudut pandang orang lain.

Esensi self bagi Mead adalah reflexivity. Yakni bagaimana kita merenung ulang relasi dengan orang lain untuk kemudian memunculkan adopsi nilai dari orang lain.

c. Konsep Mead tentang “Society”

“Society” menurut Mead adalah kumpulan self yang melakukan interaksi dalam lingkungan yang lebih luas yang berupa hubungan personal, kelompok intim, dan komunitas. Institusi society karenanya terdiri dari respon yang sama. “Society” dipelihara oleh kemampuan individu untuk melakukan role taking dan generalized others.

Holstein dan Gubrium (2001) menyebutkan “teori interaksionisme simbolik berorientasi pada prinsip bahwa orang-orang merespons makna yang mereka bangun sejauh mereka berinteraksi satu sama lain. Setiap individu merupakan agen aktif dalam dunia sosial, yang tentu saja dipengaruhi oleh budaya dan organisasi sosial, bahkan ia juga menjadi instrument penting dalam produksi budaya, masyarakat dan hubungan yang bermakna memengaruhi mereka.

Mead dan pengikutnya menggunakan banyak konsep untuk menyempurnakan cara lahirnya makna melalui interaksi dalam kelompok sosial. Contohnya, mead berbicara tentang simbol signifikan (significant symbol) dengan makna yang sama dalam sebuah masyarakat. Tanpa sistem penyimbolan yang sama aksi yang terkkoordinasi adalah gtidak mungkin. Konsep penting lainnya dalam teori interaksionisme simbolik adalah orang lain yang signifikan (significant others) yaitu orang-orang yang berpengaruh dalam kehidupan kita. Lalu orang lain (generalized other) yang digeneralisasikan yakni konsep tentang orang lain merasakan kita dan tata cara yang dipakai (role taking) yaitu pembentukan setelah perilaku setelah perilaku orang lain. Konsep ini disusun bersama dalam teori interaksionisme simbolik untuk menyediakan sebuah gambaran kompleks dari pengaruh persepsi individu dan kondisi psikologis, komunikasi simbolik, serta nilai sosial dan keyakinan dalam sebuah konstruksi sosial masyarakat. (Ardianto, 2007: 135).

Prespektif interaksi simbolik, perilaku manusia harus di pahami dari sudut pandang subyek. Dimana teoritis interaksi simbolik ini memandang bahwa kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol, (Mulyana, 2001: 70). Inti pada penelitian ini adalah mengungkap bagaimana cara manusia menggunakan

(17)

simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang akan mereka sampaikan dalam proses komunikasi dengan sesama.

Penggunaan simbol yang dapat menunjukkan sebuah makna tertentu, bukanlah sebuah proses yang interpretasi yang diadakan melalui sebuah persetujuan resmi, melainkan hasil dari proses interaksi sosial.

Arnold M Rose (1974:143) dalam (Mulyana 2001:72) Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan dalam penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan atau peristiwa bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan atau peristiwa itu.

Terbentuknya makna dari sebuah simbol tak lepas karena peranan individu yang melakukan respon terhadap simbol tersebut. Individu dalam kehidupan sosial selalu merespon lingkungan termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) yang kemudian memunculkan sebuah pemaknaan . Respon yang mereka hasilkan bukan berasal dari faktor eksternal ataupun didapat dari proses mekanis, namun lebih bergantung dari bagaimana individu tersebut mendefinisikan apa yang mereka alami atau lihat. Jadi peranan individu sendirilah yang dapat memberikan pemaknaan dan melakukan respon dalam kehidupan sosialnya. Namun, makna yang merupakan hasil interpretasi individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan dari faktor-faktor yang berkaitan dengan bentuk fisik (benda) ataupun tujuan (perilaku manusia) memungkinkan adanya perubahan terhadap hasil intrepetasi barunya. Dan hal tersebut didukung pula dengan faktor bahwa individu mampu melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Proses mental tersebut dapat berwujud proses membayangkan atau merencanakan apa yang akan mereka lakukan. Individu dapat melakukan antisipasi terhadap reaksi orang lain, mencari dan memikirkan alternatif kata yang akan ia ucapkan.

Menurut pandangan Mead, perilaku manusia sebagai makhluk sosial berbeda dengan perilaku hewan yang pada umumnya ditandai dengan stimulus dan respon. Perilaku merupakan produk dari penafsiran individu atas objek di sekitarnya.makna yang mereka berikan kepada objek berasal dari interaksi sosial dan dapat berubah selama interaksi itu berlangsung. Senada dengan apa yang bisa kita lihat dari penampilan fisik atau budaya material kaum Punk. Dimana pola pemaknaan yang terjadi dalam masyarakat terhadap kaum Punk adalah berkonotasi negatif. Penampilan dengan gaya pakaian yang terkesan kumal, penuh dengan aksesoris sangar seperti

(18)

Peniti yang dijadikan hiasan di wajah yang pada akhirnya membentuk respon masyarakat kepadanya.

Konsep tentang “self ” atau diri merupakan inti dari teori interaksi simbolik. Mead menganggap konsep diri adalah suatu proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain (Mulyana, 2001:73).Teori Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang baru dalam studi ilmu komunikasi, yaitu sekitar awal abad ke-19 yang lalu. Sampai akhirnya teori interaksi simbolik terus berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak langsung SI merupakan cabang sosiologi dari perspektif interaksional (Ardianto. 2007: 40).

Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan salah satu perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat ”humanis” (Ardianto. 2007: 40). Dimana, perspektif ini sangat menonjolkan keangungan dan maha karya nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini menganggap setiap individu di dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan makna ”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif. Dan pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri dari perspektif interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.

Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu (Soeprapto. 2007). Banyak ahli di belakang perspektif ini yang mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.

Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West- Turner (2008: 96), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia. Tema pertama pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama. Hal ini sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert Blumer (1969) dalam West-Turner (2008: 99) di mana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut: Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan

(19)

makna yang diberikan orang lain kepada mereka, Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.

Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubunganantara kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial.

George Herbert Blumer (1967), merupakan professor di Universitas California. Pemikiran Blumer tentang interaksionisme simbolik lebih banyak merupakan penuangan ide Mead. Sebagai seorang penganut pemikiran Mead, ia berusaha menjabarkan pemikiran idolanya Mead mengenai konsep interaksionisme simbolik. Menurut Blumer (dalam Sunarto, 2004 : 38) bahwa pokok-pokok pikiran interaksionisme simbolik terdiri dari tiga asumsi, yakni : pertama, bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) itu atas dasar makna (meaning) yang dimiliki sesuatu tersebut baginya. Kedua, makna yang memiliki sesuatu tersebut berasal atau muncul dari interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya. Ketiga, bahwa makna diperlakukan atau diubah melalui proses penafsiran (interpretative) yang digunakan orang dalam menjumpai sesuatu yang unik.

a. Konsep Diri

Manusia bukan semata-mata organisme yang bergegas di bawah pengaruh perangsang-perangsang, baik dari dalam maupun dari luar, melainkan organism yang sadar akan dirinya (an organism having a self). Oleh karena ia seorang diri, maka ia mampu memandang dirinya sebagai objek pikirannya sendiri dan berinteraksi dengan drinya sendiri. Ia mengarahkan dirinya kepada berbagai objek, termasuk dirinya sendiri, berunding dan berwawancara dengan dirinya sendiri. ia mempermasalahkan, mempertimbangkan, menguraikan, dan menilai hal-hal tertentu yang telah ditarik ke dalam lapangan kesadarannya, dan akhirnya ia merencanakan dan mengorganisasikan perilakunya.

Antara perangsang dengan perilakunya tersisiplah proses interaksi dengan diri sendiri tadi. Inilah kekhasan manusia.

b. Konsep Kegiatan

Oleh karena perilaku manusia dibentuk dengan proses interaksi dengan diri sendiri, maka kegiatannya itu berlainan sama sekali dengan kegiatan makhluk-makhluk lain.

Manusia menghadapkan dirinya dengan berbagai hal, seperti tujuan, perasaan, kebutuhan, perbuatan, dan harapan serta bantuan orang lain, citra dirinya, cita-citanya, dan lain sebagainya.

(20)

Maka, ia merancang kegiatannya yang tidak semata-mata sebagai reaksi biologis terhadap kebutuhannya, norma kelompoknya, atau situasinya, melainkan merupakan konstruksinya. Adalah manusia sendiri yang menjadi konstruktor perilakunya.

c. Konsep Objek

Manusia hidup di tengah-tengah objek. Objek meliputi segala sesuatu yang menjadi sasaran perhatian manusia. Objek bisa bersifat konkrit seperti kursi, meja, dan seterusnya, dan dapat pula bersifat abstrak seperti kebebasan. Bisa juga pasti seperti golongan darah atau agak kabur seperti filsafat.

Inti hakikat objek tadi tidak ditentukan oleh ciri-cirinya, melainkan oleh minat seseorang dan makna yang dikenakan kepada objek tersebut. jadi, menurut Blumer, tidak hanya kegiatan atau perbuatan yang harus dilihat sebagai konstruksi, tapi juga objek.

d. Konsep Interaksi Sosial

Interaksi sosial adalah suatu proses hubungan timbale balik yang dilakukan oleh individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan individu, antara kelompok dengan kelompok dalam kehidupan sosial.

Dalam interaksi terjadi proses pemindahan diri pelaku yang terlibat secara mental ke dalam posisi orang lain. Dengan demikian, mereka mencoba mencari makna yang oleh orang lain diberikan kepada aksinya memungkinkan terjadinya komunikasi atau interaksi. Jadi, interaksi tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak secara fisik saja, melainkan lambang-lambang yang maknanya perlu dipahami. Dalam interaksi simbolis seseorang mengartikan dan menafsirkan gerak-gerik orang lain dan bertindak dengan makna yang dikandungnya.

Blumer mengatakan, bahwa orang-orang menimba perbuatan masing-masing secara timbal balik, dalam arti tidak hanya merangkaikan perbuatan orang yang satu dengan perbuatan orang yang lainnya, melainkan seolah-olah menganyam perbuatan-perbuatan mereka menjadi apa yang disebut sebagai transaksi, dalam arti kata perbuatan-perbuatan yang berasal dari masing-masing pihak itu diserasikan, sehingga membentuk suatu aksi bersama yang menjembatani mereka.

e. Konsep Aksi Bersama

Istilah aksi bersama sebagai terjemahan dari “joint action”, jadi berarti kegiatan kolektif yang timbul dari penyesuaian dan penyerasian perbuatan orang-orang satu sama lain. Blumer memberikan contoh, transaksi dagang, makan bersama keluarga, upacara pernikahan, diskusi, sidang pengadilan, peperangan, dan sebagainya (Mufid, 2009:165-170).

(21)

Analisis aksi bersama ini menunjukkan bahwa hakikat masyarakat, kelompok atau organisasi tidak harus dicari dalam struktur relasi-relasi yang tetap, melainkan dalam proses aksi yang sedang berlangsung. Tanpa aksi setiap struktur relasional tidak dapat dipahami secara atomistis, melainkan sebagai aksi bersama, dimana unsur-unsur individual dicocokkan satu sama lain dan melebur.

2.2.3 Fenomenologi

Tradisi fenomenologi memfokuskan perhatiannya terhadap pengalaman sadar seorang individu. Teori komunikasi yang masuk dalam tradisi fenomenologi berpandangan bahwa manusia secara aktif menginterpretasikan pengalaman mereka sehingga mereka dapat memahami lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung dengan lingkungan. Tradisi

fenomenologi memberikan penekanan sangat kuat pada persepi dan interpretasi dari pengalaman subjektif manusia.

Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Sehingga dalam berbagai hal kita dapat mempelajari atau memahami sesuatu dari gejala atau penampakan. Yakni hal-hal yang menyangkut kenyataan sebagaimana tampaknya. Fenomenologi, dikemukakan oleh Edmund Husserl (1895-1938) sebagai tokoh terpentingnya. Husserl (L. Siregar, 2005 : 7-8) mengatakan :

“This phenomenology, like the more inclusive pure phenomenology of experiences in general, has, as its exclusive concern, experiences intuively seizable and analyzable in the pure generality of their essence, not experiences empirically perceived and treated as real facts, as experiences of human or animal experients in the phenomenal world that we posit as an empirical fact. This phenomenology must bring to pure expression, must describe in terms of their essential concepts and their governing formulae of essence, the essence which directly make themselves known in intuition, and the connections which have their roots purely in such essences. Each such statement of essence is an apriori statement in the highest sense of the world.”

Fenomenologi ini sebagaimana halnya fenomenologi murni yang lebih inklusif tentang pengalaman secara umum kepedulian khusus, pengalaman yang dapat dideskripsikan dan dianalisis secara intuitif dalam hal umum yang murni, mengenai esensi bukan pengalaman yang diterima dan diperlakukan secara empiris sebagai fakta riil, seperti halnya pengalaman manusia atau hewan dalam dunia fenomenal yang kita asumsikan

(22)

sebagai suatu fakta empiris. Fenomenologi ini harus dibawa kepada ekspresi murni, harus dapat menggambarkan arti konsep esensinya dan formula yang mengatur esensinya, esensi yang secara langsung membuat hal itu dapat dikenal dalam intuisi dan hubungan dengan di mana mereka berakar secara murni. Setiap pernyataan esensi merupakan pernyataan apriori dalam arti yang paling tinggi.

Perspektif fenomenologi merupakan salah satu dari tiga pandangan dasar dari paradigm interpretif. Pertama kali dicetuskan oleh filsuf Jerman Edmund H. Husserl (1859-1938). Perhatiannya pada cara mengatur gejala yang dialami sedemikian rupa sehingga dapat memahami dunia sekitarnya, dan sambil mengembangkan suatu pandangan dunia. Tak ada realitas yang terpisah (atau objektif) bagi orang. Yang ada hanyalah apa yang diketahui tentang pengalaman dan maknanya. Pengalaman subjektif sekaligus mengandung benda atau hal objektif dan realitas seseorang (Suyanto, 2005: 178-179).

Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap bahwa gejala adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Ia selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argument-argumen, konsep-konsep atau teori umum. “zuruck zu den sachen selbst”- kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap objek memiliki hakikat, dan hakikat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Kalau kita mengambil jarak dari objek itu, melepaskan objek itu dari pengaruh pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka objek itu ’berbicara’ sendiri mengenai hakikatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri kita. Fenomenologi adalah tambahan dari pendapat Bentano bahwa subjek dan objek menjadi satu secara dialektis. Menurutnya manusia menampakkan dirinya sebagai hal yang transeden, sintesis dari objek dan subjek. Manusia sebagai entre aumonde (mengada pada alam) menjadi satu dengan alam itu. Manusia mengostitusi alamnya. Untuk melihat sesuatu hal, saya harus mengkonvers ikan mata, mengakomodasikan lensa, dan mengfiksasikan hal yang mau dilihat. (Maksum, 2008: 368-369)

Fenomenologi berpandangan bahwa apa yang tampak dipermukaan, termasuk pola perilaku manusia sehari-hari adalah gejala atau fenomena dari apa yang tersembunyi di “kepala” si pelaku. Sebab, realitas itu bergantung pada persepsi, pemahaman, pengertian, dan anggapan-anggapan seseorang.Itu terbenam sebagai suatu kompleks gramatika kesadaran di dalam diri manusia. Di situlah letak kunci jawaban terhadap apa yang terekspresi atau menggejala di tingkat perilaku (Bungin, 2003).

(23)

Fenomenologi menunjuk banyak hal dasar yang penting bagi pemikiran interpretif. Maka fenomenologi sosial mempunyai sebuah pendekatan dan pembendaharaan kata untuk menginterpretasikan kehidupan dunia dan menjadi sebuah pemahaman bagaimana sikap alamiah kehidupan sehari-hari dimainkan Prinsip dasar dari perspektif fenomenologi adalah bahwa pengetahuan tidak dapat ditemukan dalam pengalaman eksternal tetapi dalam diri kesadaran individu. Jadi, fenomenologi lebih mengitari penelitian untuk pemahaman subjektif ketimbang mencari objektivitas sebab akibat dan penjelasan universal. Kedua, makna adalah derivasi dari potensialitas sebuah objek atau pengalaman yang khusus dalam kehidupan pribadi. Dalam artian, makna sebuah pohon tumbuh yang tumbuh di halaman belakang dapat berkisar dalam makna indahnya dahan-dahan, keteduhan yang penuh hasrat, kicauan burung yang mendiami pohon itu atau sebuah halangan yang tidak diinginkan untuk menyatukan konstruksi makna tersebut. Esensinya, makna yang berasal dari suatu objek atau pengalaman akan bergantung pada latar belakang individu dan kejadian tertentu dalam hidup. Ketiga, kalangan fenomenologi percaya bahwa dunia dialami-dan makna dibangun melalui bahasa. (Ardianto. 2007: 129).

Dalam proses memproduksi berita (Eriyanto 2002: 106) menuliskan bahwa pemahaman wartawan erat kaitannya dengan pengertian dan anggapan perspektif wartawan dalam melihat beragam fenomena yang terjadi pada masyarakat. Ada semacam standar yang harus ditaati wartawan agar laporan yang ia berikan mempunyai nilai yang akan diinformasikan kepada masyarakat. Nilai tersebut tidaklah bersifat personal melainkan dihayati bersama dengan lembaga-lembaga yang dipercaya dalam mengontrol kerja wartawan.

Filsafat Fenomenologi

Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”.

Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif dan instropeksi mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung : religious, moral, estetis, konseptual, dan indrawi. Perhatian filsafat hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang lebenswelt (dunia kehidupan) atau erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris (Maksum, 2011:191).

Sebagai filsafat, fenomenologi memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dalam tahap-tahap penelitiannya, ia menemukan objek-objek yang membentuk

(24)

dunia yang kita alami. Dengan demikian, fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali kepada benda itu sendiri, dan ini disebabkan benda itu sendiri merupakan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.

2.3 Efektivitas Organisasi

Dalam literatur administrasi ataupun manajemen, kata efektivitas diartikan sebagai suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya efek atau akibat yang dikehendaki (Gie, 2002: 16). Menurut Putra (1998: 29), efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa baik atau seberapa jauh sasaran (kuantitas, kualitas, waktu) telah tercapai.

Sedangkan menurut Handayaningrat (2002: 16), efektivitas ialah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran yaitu tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Jelaslah bila sasaran atau tujuan telah dicapai sesuai dengan direncanakan sebelumnya adalah efektif, sebaliknya bila tujuan atau sasaran tidak selesai sesuai waktu yang ditentukan, pekerjaan itu tidak efektif. Pengertian efektivitas menurut Reddin seperti yang dikutip oleh Wahjosumidjo (2000: 21), ialah menghasilkan alternatif yang kreatif, mengerjakan hal-hal yang benar atau kepada apa yang seharusnya dikerjakan, optimalisasi pemanfaatan sumber, tercapainya hasil, dan meningkatkan keuntungan. Martoyo (2002: 4), mendefinisikan efektivitas sebagai suatu kondisi atau keadaan dimana dalam memilih tujuan yang hendak dicapai dan sarana atau peralatan yang digunakan, disertai dengan kemampuan yang dimiliki adalah tepat, sehingga tujuan yang diinginkan dapat dicapai dengan hasil yang memuaskan.

Sedangkan Drucker (dalam Stoner, 1996: 14), memberikan pengertian efektivitas yaitu menjalankan atau melakukan pekerjaan yang benar atau juga sebagai kemampuan untuk memilih sasaran yang tepat. Definisi efektivitas menurut Etzioni yang dikutip Balls dan Bruno (1999: 73), adalah tingkat pencapaian tujuan atau lebih lanjut dijelaskannya, besarnya kebutuhan-kebutuhan sumber daya organisasi untuk digunakan dalam rangka memproduksi unit hasil. Menurut Uris (dalam Gie, 2002: 16), menyatakan bahwa efektivitas dapat dipahami sebagai berikut: a. Tercapainya sasaran, target, tujuan sesuai dengan apa yang telah direncanakan sebelumnya.b. Sasaran/target/tujuan yang direncanakan. c. Sasaran/target/tujuan yang dicapai dalam pelaksanaan kegiatan.Selanjutnya Osborne dan Gaebler (1995: 389), mengemukakan pengertian efektivitas adalah ukuran kualitas output: bagaimana mencapai outcome yang diharapkan. Ketika mengukur efektivitas, kita tahu apakah investasi kita berguna.Menurut Steers (1980: 9), seringkali dikemukakan bahwa batu uji yang sebenarnya untuk manajemen yang baik sebagai yaitu: kemampuan mengorganisasikan dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia dalam

(25)

tugas mencapai dan memelihara suatu tingkat operasi yang efektif. Kata kunci pengertian ini ialah : kata efektif, karena pada akhirnya keberhasilan kepemimpinan dan organisasi diukur dengan konsep efektivitas itu. Georgopoulos dan Newhauser (dalam Mokoginta, 1992: 53), mengatakan bahwa konsep efektivitas organisasi kadang disebut sukses organisasi atau nilai organisasi, biasanya digunakan untuk menunjukkan pencapaian tujuan. Dalam studi efektivitas organisasi dikenal adanya dua faktor yang saling berhubungan yaitu faktor-faktor yang berfungsi membantu pencapaian tujuan dan sasaran-sasaran yang hendak dicapai yang lazim disebut faktor penentu keberhasilan dan determinan efektivitas organisasi dan faktor yang berkenan dengan ukuran-ukuran seberapa jauh keberhasilan pencapaian tujuan, yang biasa disebut indikator-indikator keberhasilan organisasai (Mokoginta, 1992: 133).

Setiap organisasi terdiri dari sejumlah manusia untuk mencapai tujuan dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang ada melalui kegiatan-kegiatan. Suatu tujuan atau sasaran organisasi yang tercapai sesuai dengan rencana atau target, dapat dikatakan efektif atau berhasil dilaksanakan dengan sempurna dan tepat waktu. Organisasi sebagai wadah sekelompok individu yang ingin mencapai tujuan bersama, pada prinsipnya berusaha agar dapat mewu-judkan sasaran yang ingin dicapai. Dinamika organisasi, kegiatannya ialah dengan mengarahkan dan menggerakkan semua faktor-faktor organisasi dan sumber daya organisasi agar sesuatu sasaran dapat direalisasikan. Tercapainya tujuan atau sasaran organisasi, berkaitan erat dengan konsep organizational performance atau penampilan prestasi organisasi dan konsep efektivitas organisasi (organizational effectiveness). Efektivitas dan performance menurut Lawler et. al. (dalam Mokoginta, 1992: 54), adalah titik tolak dalam melakukan penilaian terhadap organisasi. Performance adalah suatu konstruk yang kompleks yang mencerminkan kriteria dan standar-standar yang digunakan oleh pengambil keputusan dalam menilai berfungsinya suatu organisasi. Kriteria-kriteria yang dimaksud antara lain adalah efisiensi dan efektivitas. Efisiensi berhubungan dengan ratio output dan input atau keuntungan dengan biaya. Efektivitas berhubungan dengan tujuan organisasi baik secara eksplisit maupun implisit, yaitu seberapa jauh pencapaian tujuan organisasi sesuai dengan rencana. Masalah efektivitas kerja sangat berhubungan dengan kemampuan, tanggung jawab serta peran dari para karyawan dalam suatu organisasi. Handoko (2001: 44), mengemukakan efektivitas merupakan kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Gie (2002: 16), mengemukakan kalau seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud tertentu yang dikehendaki, maka orang itu dikatakan efektif kalau menimbulkan akibat atau mencapai maksud sebagaimana dikehendaki. Gie (2002: 17), mengatakan bahwa efektivitas dijabarkan berdasarkan

(26)

kapasitas suatu organisasi untuk memperoleh dan memanfaatkan sumber daya secera sepandai mungkin dalam usahanya mencapai tujuan operasionalnya. Pengukuran efektivitas kerja suatu kelompok biasanya ditentukan oleh variasi kelompok dapat dianggap berhasil apabila dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama dan untuk kepentingan bersama dari anggota kelompok. Selanjutnya Siagian (2004: 50), mengemukakan bahwa secara sederhana dapat dikatakan bahwa efektivitas kerja berarti penyelesaian pekerjaan tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Artinya, apakah pelaksanaan sesuatu tugas dinilai baik atau tidak sangat tergantung pada bilamana tugas itu diselesaikan, dan tidak terutama menjawab bagaimana cara melaksanakannya dan berapa biaya yang dikeluarkan untuk itu.

Menurut Davis dan Newstrom (1995: 215), bahwa unsur-unsur tim atau kelompok yang efektif, yaitu: 1. Lingkungan yang suportif, kerja tim paling besar kemungkinannya berkembang apabila pimpinan menciptakan lingkungan yang suportif baginya. Tindakan suportif membantu kelompok mengambil langkah pertama yang diperlukan untuk membina kerja tim. Langkah ini menjadi landasan bagi pertumbuhan lebih lanjut kearah kerja sama, saling percaya, dan kecocokan, sehingga tercipta kondisi iklim tersebut. 2. Kejelasan peran, kelompok hanya dapat bekerja sama sebagai suatu tim apabila semua nggotanya mengetahui peran sesama anggota yang lain dengan siapa mereka akan berinteraksi. Seluruh anggota juga harus cukup cakap untuk melaksanakan pekerjaan mereka dan mau bekerja sama. Apabila tingkat pemahaman ini tercapai, para anggota dapat segera bertindak sebagai sebuah tim berdasarkan kebutuhan situasi yang bersangkutan, tanpa menunggu seseorang untuk memberikan hadiah. Dengan kata lain, anggota tim menanggapi pekerjaan secara sukarela dan melakukan tindakan yang tepat untuk mencapai tujuan kerja tim. 3. Tujuan tinggi, tanggung jawab utama para manajer adalah berusaha menjaga anggota tim agar tetap berorientasi pada tugas mereka secara menyeluruh. Akan tetapi adakalanya kebijaksanaan organisasi, keperluan pencatatan, dan sistem imbalan memilah upaya individu dan tidak mendorong kerja tim. 4. Kepemimpinan yang sesuai, sebahagian tim tugas menunjukkan kurva prestasi serupa dengan daur hidup produk awal tentatif, tahap pertengahan yang produktif, dan berangsur-angsur menurun setelah beberapa tahun. Para anggota memerlukan waktu untuk saling mengenal, tetapi kemudian mereka mungkin menutup diri terhadap cara baru mengkaji masalah pada saat mereka semakin terisolasi dari lingkungan mereka. Untuk mencegah stagnasi ini, mereka mungkin memerlukan tambahan anggota.Sebuah kelompok dikatakan efektif menurut Cushway dan Lodge (1993: 121), dapat dilihat dari: 1. Semua anggota kelompok memahami dan menerima tujuan-tujuan kelompok. 2. Suasana kerja

(27)

sesantai dan seinformal mungkin apabila lingkungan memungkinkan. 3. Semua anggota kelompok terlibat dan memberikan sumbangan kepada pembicaraan dan terdapat tukar-menukar bebas tentang pandangan dan perasaan-perasaan pribadi. 4. Tidak ada orang tertentu didalam organisasi yang mendominasi, tetapi peran kepemimpinan berubah apabila keadaan membutuhkannya. 5. Ketidaksepakatan dibicarakan dan diselesaikan dengan keputusan yang dicapai melalui kesepakatan bersama. 6. Terdapat suatu pengertian tentang keputusan yang dicapai, tindak lanjut yang harus diambil serta hasil dan skala waktu yang diperkirakan. 7. Kelompok itu disiapkan untuk menilai kembali kinerjanya dengan kritis dan berupaya untuk memperbaiki kinerja tersebut setelah setiap tugas khusus atau proyek selesai.Organisasi pemerintah yang berorientasi pada hasil menurut Osborne dan Plastrik (2000: 324) merupakan pemerintah yang result-oriented mengubah fokus dari input (kepatuhan pada peraturan dan membelanjakan anggaran sesuai ketetapan) menjadi akuntabilitas pada keluaran atau hasil. Mereka mengukur kinerja badan publik, menetapkan target, memberi imbalan kepada badan-badan yang mencapai atau melebihi target, dan menggunakan anggaran untuk mengungkapkan tingkat kinerja yang diharapkan dalam bentuk besarnya anggaran. Namun ada juga pendapat yang menyatakan bahwa efektivitas organisasi pada tingkat paling dasar dilihat dari efektivitas individu atau hasil karya individu anggota organisasi. Pandangan dari segi individu ini melihat prestasi kerja individu dinilai secara rutin lewat proses evaluasi hasil karya yang merupakan dasar bagi kenaikan gaji, promosi dan imbalan lain (Gibson et. al., 1997: 25). Menurut Mokoginta (1992: 142), beberapa ilmuwan memandang kaitan yang erat antara efisien, efektivitas, produktivitas, prestasi organisasi, nilai organisasi, kesehatan organisasi dan sebagainya. Bahkan diantara mereka ada yang memandangnya merupakan suatu pengertian yang sinonim dengan konsep keberhasilan organisasi (efektivitas organi-sasi). Sedangkan menurut Mathis dan Jackson (2001: 30), efektivitas organisasi sering didefinisikan sebagai tujuan organisasi yang dapat dicapai. Kontribusi unit sumber daya manusia atas efektivitas organisasi dan efisiensi dari kegiatan departemen sumber daya manusia harus diukur. Ghorpade (1971: 19) mengutip pandangan beberapa ilmuwan mengenai keberhasilan organisasi yang dimaksud di atas seperti diuraikan berikut. Menurut Georgepoulos dan Tannenbaum (1957: 109), konsep efektivitas organisasi (kadang-kadang disebut sukses organisasi atau nilai organisasi) biasanya digunakan untuk mewujudkan pencapaian tujuan. Dimaksud dengan nilai organisasi (organizational worth) menurut Bennis (1996: 37), sekalipun keberhasilan program pengembangan seperti produktivitas, keuntungan dan efisiensi, tetapi juga perlu dievaluasi sejauh mana peningkatan nilai organisasi yaitu sejauh mana sukses organisasi mempunyai nilai

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menggunakan dua variabel independen, maka langkah-langkah pengujian hipotesis yang digunakan dalam analisis regresi data panel dijelaskan pada uraian

Kebijakan-kebijakan tersebut meliputi cara atau strategi tertentu yang sifatnya protektif untuk menyelamatkan dan melindungi perekonomian dalam

Jati diri koperasi adalah salah satu rasio keuangn yang digunakan koperasi untuk mengukur keberhasilan koperasi dalam mencapai tujuannya yaitu mempromosikan ekonomi

Dari berbagai pendapat-pendapat di atas, jelaslah bahwa kemitraan efektif adalah sesuatu yang mutlak dilakukan oleh sekolah dalam membetuk karakter siswa karena dengan

Berdasarkan pada Gambar 3 dapat diketahui bahwa semakin tinggi prosentase Roadcel-50 yang ditambahkan ke dalam campuran lapis tipis beton aspal, HRS-WC akan menyebabkan nilai Kadar

Dasar pemahaman ini menyangkut sosiologi yang berskala besar (makro), yaitu merupakan suatu sistem sosio-kultur yang terdiri dari sekelompok manusia, yang menggunakan

Setelah dilakukan perhitungan mengenai pengaruh kualitas pelayanan karyawan front office terhadap kepuasan tamu mengginap di Hotel The Axana Padang yang dikumpulkan melalui

Angket yang digunakan dalam penelitian ini disusun dengan mengacu pada kisi-kisi penelitian, yang berkaitan dengan Evaluasi Program Penyelenggaraan Praktik Kerja