• Tidak ada hasil yang ditemukan

--- F.2:5& L1. bohsi dan Identifikasi Pen ye ba b Pustul Kedelai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "--- F.2:5& L1. bohsi dan Identifikasi Pen ye ba b Pustul Kedelai"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

M I L DAN PEMBAHASAN

Percobaan

L

Evaluasi

Keefelrtifan

Formuhsi Bakteri BiokontroI dan Identifikasi Senyawa Penghambst terhadap Penyakit Pustul

Bakteri

L1.

bohsi

dan Identifikasi

Pen

ye ba

b

Pustul

Kedelai

IsoIasi

patogen

dari

potongan

dam

tanaman

kedelai

berumur

35

HST yang kgejala

pustul

(@a medium agar Yeast Dextrose Carbonate)

dan

h i 1

uji

ptogenisitas

d e u p

metode bioasar'

kotiledon kedelai

(Gambar 3) menunjubn

pen*

pustd

adalah bakteri

X.

a. pv. glycines. Isolasi m e m p b h sah

is&

. .

F.2:5&

. . . -

-

- 'b.! K . . , i 4 . . -- - - + , p

-

LC-,,

---

g-:.

-- . ----

----

r m c

--

a _

I - ! C

-1

-&&

@: .

-

Gambar 3 Gejala penyakit pustul bakhi

kedelai

(A), ooze

bakteri

Xag

dari

p o t o n e

dam

kedelai

bergejala pustul (B), gejda menguning

kotiledon

kedelai

pada uji patogenisitas

XuAC),

dan

kultur Xag pada medium YDC @)

(2)

L2. b o h i

dan

Identititikasi

Bakteri Calon BiokontroI

Hasil

isolasi

dm

identifikasi

bakteri

d o n

biobntrol

dari

rizbsfer tanaman

kedelai

menghasikan

8

iwlat W

bewarm

kuaing kehijaum

ymg berpendar

di

hwah

h p u

ultraviolet

(pmjang gelombang 266

nm)

dan

2

isolat

bakteri berwama putih. &hjuhya 8

isalat

h k r i berwama

kuning

kehijauan

dibiakkan

ddam

medium selektif-

K&s

B

dan

2 isolat

W t m i b w a m putih

dibiakkan

dalam

agar

damh 0,4

% (Gambar 4).

Sepuluh

isolat

bakteri

dari rizosfer

kedelai

h s m a -

sama

den-

20

isoIat

bakteri

yang

diisolasi

dwi

rizosfer tomat diuji

sifat

fisik

clan

k h b y a .

-bar

4

Koloni

bdcteri

p d a

medium

agar

dmah

0,4 % (A),

koloai

bdckri

berwama

kuning kehijauan pada medium agar King's

B

@)

Diantam isulat balrteri

be-

putih yang

d i i i a k h

dalamagardarah 0,4 %

tedapt

isolat

BBOl

yang

membentuk

zone bening

di

sekelilhg

koloni.

P m t a n t e k h p

pembentukan

zone

bening

merupakm &kt&

identi-

cepat

yaag

d i g m a h

uutuk

mendeteksi k e ~ ~ ~ p u 8 n

bakteri memproduksi

bomfabm

Telolik

i d e n t i h i

cept yang

d i g u d m ini adalah metode Mulligan

dan

Gibbs

(3)

(1 993) yang meneliti surfaktin (diproduksi oleh B. subtilis ATCC-2 1332). Surfaktin merupakan biosurfaktan lipopeptida siklik yang melisis sel darah merah

Identifikasi isolat bakteri calon biokontrol yang benvarna putih berdasarkan uji karakteristik fisik kimianya (Leary dan Chun 1988, Cowan 1974) menunjukkan bahwa isolat SBOl, SB02, dan BBOl adalah bakteri B.subtilis. Karakteristik fisik kimia yang diperoleh antara lain Gram positif, sel berbentuk batang, endospora pada sentral sel, penggunaan sitrat sebagai sumber karbon, hidrolisis pati, produksi asentoin, dan pembentukan asam dari silosa, manitol, dan arabinosa.

Isolat bakteri calon biokontrol benvarna kuning bersifat Gram negatif, berfluoresensi pada medium King's B, memproduksi asam dari produk akhlr fermentasi galaktosa, arabinosa, trehalosa, sorbitol, dan inositol serta mencairkan gelatin (Hildebrand 1988) menunjukkan bahwa isolat GI 1 1-44, SL 0 1-08, C3 14-3 17 adalah P. .fluorescens. Beberapa hasil uji sifat fisik kimia bakteri biokontrol disajikan pada Lampiran 2.

1.3. Pengujian Inaktivasi Xag oleh Filtrat dan Suspensi Bakteri Calon Biokontrol

Kemampuan inaktivasi Xug oleh bakteri calon biokontrol ditunjukkan dengan terbentuknya zone inaktivasi berupa daerah bening di sekeliling bakteri calon biokontrol. Hasil uji antagonisme bakteri calon biokontrol terhadap Xug menunjukkan bahwa belum terbentuk zone inaktivasi 6 jam setelah inkubasi (jsi). Zone inaktivasi terbentuk 24 jsi pada inaktivasi oleh filtrat bakteri calon biokontrol atau 48 jsi pada inaktivasi oleh sel bakteri calon biokontrol. Gambar 5 menunjukkan

(4)

p e m b m t u h zone hktivasi p d a

waktu inkubasi

ymg

b e r m

yaitu 24 jsi untuk

zone

bktivasi

yang

dibentuk

oleh

film dan

48 jsi untuk zone W v &

oleh

suspensi bakteri

d o n

biokontrol.

Giimbar

5

Ti&

tdmtuk

mne hktivasi

Xag

oleh suspensi sel

bakteri

.

biokdmI

6 jsi

(A),

zone hktivasi

Xag

oleh suspensi

bakteri

biokontrol

48

j&

(B),

zone ~ v w s i

Xag

01eh filtmt

bakteri

biokontfol24 jsi.

@

isolat

PfG134,

isolst

Bs

BBOI

,

")

isolat

Pf

43119, *)

isolat

Pf

-3, ') M a i r d e s t i l a t a

Perklam

wstktu prig

diperlukan

untuk pembenhtkan zone

iddivasi oleh

film

atau

sel

hakteri

d o n bio-1

bergan-

kepada

waktu ymg

diperlukan

untuk fhse

tumbub

W

d m

biokdml.

Menurut

Suolstuti (1998), prtumbuhan &rciIIm

spp.

dimulai pda

h e

a d a m

(fase

lag) yang merupakan

penvesuaian

ba.kteri

khdq

proses

perphdahan

ke

medium

tumbuh

buu

Waktu yang

diperlukan bakteri

untuk fase

adaptasi berkisar 6

bhgga I2

jsi

pula

suhu

inkubasi

2 f C. Fase Iogaritmik atau

ekspensial

menrpakaa

fape

p t m b u h a n

sel W t e r i

yang memerlukan nutrisi tinggi

dalam

substrat. Waktu

p g

diperlukan bakteri

u t u k

melavati fhse

eksponensial b e r k

aa~ara

12 hinm

30 jsi.

(5)

Fase deselarasi dan stasioner merupakan fase penurunan jumlah populasi yang berkisar 33 hingga 72 jsi. Pada fase stasioner, bakteri membentuk metabolit yang dapat menghambat perturnbuhan mikroorganisme lain. Bakteri P. JIuorescens memerlukan waktu 3 hingga 6 jsi untuk fase lag, 9 hingga 24 jsi untuk fase eksponensial, dan 30 hingga 48 jsi untuk fase stasioner.

Berdasarkan perkembangan persen inaktivasi selama 10 hari inkubasi maka diantara isolat bakteri calon biokontrol(10 isolat diisolasi dari pertanaman kedelai, 20 isolat dari pertanaman tomat, dan 1 isolat dari laboratorium FMIPA IPB asal daun kedelai) yang diuji melalui filtrat dan suspensi menunjukkan bahwa kemampuan inaktivasi Xug tertinggi dimiliki oleh P. fluorescens GI 34 dan B. subtilis BBO 1.

Inaktivasi Xug oleh filtrat bakteri lebih cepat terbentuk dibandingkan dengan inaktivasi oleh suspensi bakteri P. fluorescens GI 34 maupun B. subtilis BBO 1 . Zone inaktivasi Xug oleh filtrat bakteri terbentuk pada 1 hari inkubasi, sedangkan oleh suspensi bakteri pada 2 hari inkubasi. Waktu yang digunakan oleh filtrat bakteri calon biokontrol untuk berdifusi ke dalam agar lebih singkat dibandingkan dengan waktu yang digunakan untuk difusi metabolit toksik yang diproduksi langsung dari sel bakteri calon biokontrol. Gambar 6 menunjukkan bahwa persen inaktivasi Xug yang ditunjukkan oleh pertambahan diameter zone inaktivasi yang disebabkan oleh filtrat bakteri biokontrol PfGI34 maupun Bs BBOl berlangsung 1 hingga 4 hari inkubasi.

(6)

Ombar

6 Persen inaktiwi

Xug

yang diimmk

oleh film

m q m

smpui

bdcteri

biokonlml.

h t m m p :

GU4

=

Pf

GiI34, BBO I=

Bs

BBO 1,

dan B29

=

PfB29

.

Wektu

& g u n a h

oleh

film

belded

lmtuk

m-w

Xag

lebih

singkst

d

i

dmgan

suppeasi

~

sel

beLteri

~

(2

hiaBga

lObari hkuWi).

F@$at

&

* b i

I

bakteri calon

biokmtmI

yreng

dalam

Ldas

c&tm~ l

m

m

kdifwi

ke

Zone

Wmi

Xag

yang d i i

oIeh

sel

bakteri

d o n

biokmtd

Iebib

lamb&

d i b a d h q h

d e n p

yang

dibentuk

oleh

fiIm bakteri.

Sel

W

masih

memerIukm

waktu

tmtuk

penyestmian hidup

terlebih

dahulu

p d a

kern

cakram

yang

..

d u d b h d m

dab medium agar. B&ri

biokontrol

yang tejerap

path

katas

d m m

dm

dihkstasilran dalam

medium agar

YDC memperoleh nutrisi dari medium

(7)

YDC. Setelah 1 hingga 3 hari infestasi, bakteri calon biokontrol memproduksi metabolit toksik yang didifusikan ke dalam agar YDC.

Suastuti (1998) menyatakan bahwa waktu yang diperlukan oleh bakteri Bacillus spp. maupun Pseudomonas spp. melewati fase pertumbuhan berkisar antara 33 hingga 72 jsi. Pada akhir fase eksponensial, bakteri memproduksi metabolit yang berguna untuk pertahanan diri bakteri produsen, tetapi toksik terhadap bakteri lain. Informasi ini menjelaskan mekanisme metabolit toksik yang diproduksi oleh bakteri Pf GI34 maupun Bs BBOl yang mematikan bakteri Xug yang telah diinfestasikan pada medium YDC 4 jam sebelumnya.

Menurut Goto (1992), antibiotik, lisosim, dan metabolit toksik yang diproduksi oleh bakteri biokontrol merupakan mekanisme antagonisme terhadap bakteri lain. Metabolit yang dihasilkan oleh bakteri tidak toksik terhadap bakteri produsen karena metabolit tersebut merupakan mekanisme untuk mempertahankan diri. Metabolit toksik diantaranya biosurfaktan, hidrogen sianida, dan siderofor. Menurut Hommel dan Ratledge (1993) serta Desai dan Desai (1993), biosurfaktan yang merupakan substansi protein bersifat toksik terhadap mikroorganisme lain. Matzanke (199 1) menyatakan bahwa kromoforpeptida siderofor yang diproduksi oleh Pseudomonas spp. merupakan senyawa Tris N metilformohidroksamat yang toksik terhadap bakteri maupun cendawan.

(8)

1.4. Analisis Senyawa Inaktivasi Xag dalam Filtrat Bakteri Biokontrol

Identifikasi senyawa inaktivasi Xag dalam filtrat bakteri B. subtilis BBO 1 menunjukkan terdapat senyawa mirip dengan surfaktin pada filtrat tersebut. Biosurfaktan yang dihasilkan oleh B. subtilis BBOl dibandingkan dengan 100 ppm surfaktin (produksi B. subtilis ATCC-2 1332, Sigma Laboratories). Gambar 7 menunjukkan bahwa surfaktin standar (produksi B. subtilis ATCC-2 1332) 100 ppm terdeteksi pada 5 puncak absorbansi dengan waktu retensi 6,04, 7,85, 10,77, 1 1,82, dan 14,70 menit.

Tiga puncak absorbansi surfaktin standar dominan pada waktu retensi antara 7 hingga 11 menit. Demikian juga isolat bakteri BBOl menunjukkan 5 puncak absorbansi dengan waktu retensi 4,38, 6,28, 7,66, 9,46, dan 10,53 menit. Tiga puncak absorbansi dominan terdeteksi pada waktu retensi antara 6 sampai 1 1 menit.

Analisis surfaktin dengan metode kromatografi cair bertekanan tinggi menggunakan kolom ODs-5 serta eluen asetonitril dan asam asetat, menurut Lin et al. (1993) menunjukkan 5 puncak absorbansi dan 3 diantaranya dominan dengan waktu retensi antara 6 hingga 15 menit. Desai dan Desai (1993) menyatakan bahwa surfaktin yang terdeteksi pada puncak absorbansi dengan waktu retensi antara 6 hingga 15 menit tergolong lipopeptida siklik.

(9)

. .

- A .

%unbar

7

Absorbansi y a n g m t m n j m

s w f d h

dslsm

film

B. subttlfki&@

21332

(A),

a h b i

y m g m e m m j ~ s w f a k t h ~

filtratB. srrbtilis

BBO

1 (B),

&sorbansi

film

P*

fltdo~mcem

GI34

yang

ti&

mengandung

surfalrtin

(C),

absorbami

f 3 h t

P.

f l u o r a m

SLO3 yang

ti&

mengandung surfbktin (D). =

absorbansi

swfikh

(10)

Kemiripan absorbansi surfaktin BBO 1 dengan B. subtilis ATCC-2 1332 mengindikasikan bahwa surfaktin dalam filtrat BBOl kemungkinan berupa lipopeptida yang sama dengan surfaktin B. subtilis ATCC-2 1332. Menurut Desai dan Desai (1993), struktur serta sifat fisik kimia surfaktin yang diproduksi oleh B. subtilis ATCC-2 1332 sama dengan surfaktin yang diproduksi B. subtilis QMB atau likenisin yang diproduksi oleh R. lichenlformis JFz atau BL 86. Dengan menggunakan metode kromatografi cair bertekanan tinggi, ketiga senyawa biosurfaktan dilaporkan terdeteksi dalam puncak absorbansi dengan waktu retensi yang berdekatan.

Senyawa surfaktin yang terdeteksi dalarn filtrat B. subtilis BBO 1 mirip dengan surfaktin R. subtilis ATCC-21322. Tidak demikian halnya dengan filtrat P. fluorescens GI 34 dan SL03 Filtrat bakteri P. Jluorescens GI 34 dan SL03 menunjukkan tidak ada absorbansi senyawa surfaktin yang mirip senyawa standar yang diproduksi B. subtilis ATCC-2 1322. Hal ini mengindikasikan bahwa biosurfaktan yang dihasilkan P. Jluorescens GI 34 dan SL 03 bukan surfaktin dan bukan lipopeptida seperti standar yang digunakan.

Dengan menggunakan uji kromatografi terhadap P. fluorescens GI34 dan SL03 tidak dapat ditunjukkan absorbansi senyawa surfaktin, tetapi dengan menggunakan metode pengukuran tegangan permukaan diindikasikan terdapat penurunan tegangan permukaan formulasi cair bakteri P. fluorescens GI34. Cooper dan Zajic (1980) menyatakan bahwa teknik pemantauan biosurfaktan dalam suatu cairan diantaranya dengan pengukuran penurunan tegangan perrnukaan cairan kultivasi. Penurunan tegangan permukaan formulasi cair P. f7uore.scens GI 34 dan

(11)

SL03 menunjukkan bahwa bakteri menghasilkan biosurfaktan. Berdasarkan penurunan tegangan permukaan fonnulasi cair yang mengandung P. fluorescens GI34 dan SL03 diduga bahwa biosurfaktan yang dihasilkan merupakan senyawa yang berbeda dengan lipopeptida B. subtzlis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Desai dan Desai (1993) bahwa biosurfaktan P. Jluorescens berupa kompleks karbohidrat- protein-lipid.

Lang dan Wagner (1993) menyatakan bahwa surfaktin yang merupakan lipopeptida siklik selain berfungsi menurunkan tegangan permukaan zat cair juga merusak sferoplas serta protoplas bakteri. Surfaktin dengan konsentrasi minimum 5pgIl dilaporkan dapat menghambat perturnbuhan Mycobacterium spp. Fungsi biosurfaktan sebagai antimikroba berkaitan dengan kemampuannya mengikat molekul hidrofobik membran mikroorganisme. Menurut Hommel dan Ratledge (1993), keefektifan biosurfaktan sebagai senyawa antimikroba bergantung kepada konsentrasi biosurfaktan dan ketahanan membran mikroorganisme target.

Bakteri P. fluorescens GI34 selain menghasilkan biosurfaktan juga menghasilkan siderofor untuk menginaktivasi Xag. Hasil analisis filtrat bakteri calon biokontrol dengan spektrofotometer menunjukkan bahwa senyawa penghambat yang diproduksi isolat GI19, G134, SLO1, dan SL03 adalah siderofor. Senyawa siderofor P. fluorescens GI19, GI34, SLOl, dan SL03 terdeteksi pada puncak absorbansi dengan panjang gelombang 410 nm (Gambar 8). Menurut Scher dan Baker (1982) serta Abdallah (1991), senyawa siderofor yang diproduksi oleh bakteri Pseudomonas spp. dan terdeteksi pada panjang gelombang 410 nm merupakan gabungan katekol dengan hidroksamat.

(12)

Vidhyasehran

(1988)

menyatdm

bahwa

btekol

senyam

fenolik

yang

h i &

antibakri.

Mantake

(1991)

r

n

bahw

9 i h f b r

~

~

yang berupa &mpn

katekol clan

hihksamat

selain

mmgkelat

senyawa

W

juga

rnenghmbstt

prtmbuhan

~

r

~

s

lain.

m

e

380 410 440 470 600 P m n j m n g Oolombmtg (nm)

Selain

amyawti

siderofor,

senyawa

pengham'bat

Iain yang

terdapt

dalam

fillrat- isolat

P.

flwresmw

GI

34, C314, C316,

dm

C317

ialrth

hidrogen

sianida.

Kditas

hihagen

shida

P.

flmres-

dhdisis

meMui

met&

asam

pibat

Gtrmbm 9

menmjukb

b a h i ~

P.

flmresm

GI34

menghasilb

hidmgen

s k i &

Mount

dm

Lacy

(1982) rnengemubh bahwa

hidrogen sianida

dipPoduksi

oleh

P.

fluoremnr

psda

linglnmgm

yang

kIimpah ion

Fe

'',

sedan*

siderofbr

dipraduksi

pada k a h n

ion

Fc

"

y m g

terbatas.

Menurut

Pelcm

dan

Chan

(1988)

hidrogen

sianida

berfungsi

menghambat

kerja

enzim

s i t o h m

oksidase

mikroba

.

(13)

Gambar

9 T3drogen

sianida

yang diprod&

oleh

P.

frzdorescens

GI34

(A)

mengubah

astun p i h t b e ~ f a m a

kmhg

p d a

kerbs w i n g

menjwdi

kecokloltom,

a m m p k a t ~ ~ ~ k e r t a s ~ g @ )

di

1 - e hhsadmQ

b p d a

p y $ d W m Xag

tertinggi

(Ian- 3 4)

-

=w=

-

- .

Tabel

3

menunjuklrsn

jenis

memproduksi s u m myawa

penghmbat

ymg

stabil

dma

di

pyimpanm k s t d d m

hidup

dan

a k t i f h =yaw8

pengbmbatnya

dipemleh

bila

bakteri

(14)

Tabel 3 Jenis senyawa antimikroba yang menginaktivasi .xic!,v lsoiat Sum ber Spesies Biosurfaktan Hidrogen Siderofor

sianida GI I 1 Rhizosfer t'.fluorescens - - - GI 14 Rhizosfer 1'. f1uorescen.s - GI 16 Rhizosfer P. jluore.scens

-

+

+

GI 17 Rhizosfer I'.fluorarcens - GI 19 Rhizosfer 1'Lfluorescens -

+

+

GI 2 1 Rhizosfer P.Jluc>rescens - - - GI 23 Rhizosfer P.fluorescens -

-

GI 26 Rhizosfer PLfluorescens

-

-

-

-

-

GI 3 8 Rhizosfer P.fluorescens -

-

-

.7 7 4 1 Rhizosfer P.Jluorescens - -

-

G I 42 Rhizosfer P.fluoresmns

-

-

GI 44 Rhizosfer I'.fluorescens - -

-

SLO 1 Rhizos fer t'.fluorescens

-

+

+ SL02 Rhizosfer P.fluorescens

-

-

-

SL03 Rhizosfer P.fluorescens 4- -

+

SL04 Rhizos fer P.fluorescens - - - SL05 Rhizosfer P.Jluorescen.s

-

-

-

SL06 Rhizosfer P.fluorescens -

-

- SL07 Rhizosfer P.fluorescens

-

-

SL08 Rhizosfer P,fluorescens

-

-

-

C3 14 Rhizosfer Plfluorescens

-

+

- C3 1 6 Rhizosfer Y . fluorescens

-

+

- C317 Khizosfer l'.jluorc..scens

-

r -

B29

FiXwfer

Piflzaresccm

..

,.

-

BEM 1

afrizosfer

R.s.ubtilis

+

-

-

SBO 1 Rhizosfer H.subti1i.s

-

- SB02 Rhizosfer H.suhtilz.s

-

Keterangan + = isolat biokontrol menghasilkan metabolit yang toksik terhadap ,la$; - = isolat biokontrol tidak menghasilkan metabolit yang toksik terhadap Xag

Komponen organik tersebut dapat berfungsi sebagai pelembab, perata, pelekat, dan pengemulsi yang kompatibel dengan agens biokontrol. Duvnjak el ul.

(15)

aplikasi bakteri biokontrol sehingga menurunkan tegangan permukaan media cair dan menurunkan tegangan antar muka sistein cairan-cairan atau cairan-padatan.

1.5. Forrnulasi Bakteri Biokontrol selama Penyirnpanan

Bakteri yang terpilih sebagai biokontrol yaitu B. .suhtrlzs BBOl dapat menghasilkan senyawa biosurfaktan dan P. ,f/uorescens GI34 dapat menghasilkan biosurfaktan, siderofor, serta hidrogen sianida. Jumlah senyawa biosurfaktan yang dihasilkan oleh bakteri biokontrol dalam formulasi cair dievaluasi dengan kromatografi cair bertekanan tinggi dan metode penumnan tegangan permukaan formulasi cair. Pengukuran jumlah senyawa biosurfaktan selama penyimpanan (kromatografi cair bertekanan tinggi) menunjukkan bahwa jumlah biosurfaktan yang diproduksi H. suhtrlw BBOl dalam formulasi molase 1% selama 7 hari penyimpanan sebanyak 0,4 10 g/l. Jumlah biosurfaktan berkurang menjadi 0,034g/I setelah 60 hari penyimpanan (Gambar 10).

Analisis biosurfaktan dengan mengukur penumnan tegangan permukaan formulasi cair biokontrol menunjukkan bahwa tegangan permukaan fonnulasi molase I % dengan inokulan P. fluorescens GI34 50,9 mN/m dan R. .subtzlr,s BBO 1 50,l mN/m. Tegangan permukaan formulasi limbah cair tahu dengan inokulan I-'. fluorescens GI34 54,O mN/m dan H. .suhtzlz.s BBOl 52,5 mN/m setelah 7 hari penyimpanan.

(16)

Ciambac10 Yunoak z l h a b - r ~ ~ ~ b r m ~ i

tnomdhlmuB. ssarbtifis B M 1 nalwn hnmhsimohw 1 % setuIah

7haripqbpmm(A), W t a s d a a ~ ~ ~

B. subn'Zis BBDl dahm h m h i m o b 1 %

~~

60 htrri penyimpanan(B), * = a b s d m S i *

Tegangan

permukaan formdasi

cair y m g

dii-

dengan

bakkri biokontro1 lebih rendah

dibandingh

den-

tegangan prmdaan

m o b

1% attsu

limbah cair

tahu

tanpa

bakteri. T e g a n w permukaan

molase

1 % 58,5 mN/m

d m

l i d

cair tahu

59,O mN/m. S e w

pembanding

diukur

tegangan perm-

air

& s W steril yaitu 62,l m N h .

(17)

+ M I 3 4 Mdase

+BsBBOl Mdass

*BsBBOl LCT

G a m h 11

Pmgmuh

lama

penrimpanan pada

suhu

2 7 0 ~ dan

kelernbaban

80%

terhadap

m g a u permukaan

fomulasi

qens

biokontrol.

K e t e m :

PfGT34=Ppfr~resce~

GI34,

BsBBO 1 =B. subtil is

B M

1,

LCT=IimM

cair

tahu

T e g a q p

pemmbm

a

f~mulasi

biokontrol

yang mengandwng

te- permukaan

cairan

fomulasi

7

hhgga

60

hari

pmyhpmm

T e p g m

ko&m

padsr

180

hhgga

360

hari penyimpanm

(Gambar

11).

Hal

ini

menunjufrlran

bahwa molotse 1 %

m u p

limbah

cair

tahu

yang

d i g m d m

sew

pembentuk

formulasi

cab menmu

W

biokontrol

untuk

r nw w w a

biosurfaktan

~ ~

hinge

60

hari

~~

Setelah

60 hwi, pertumbub bakteri

biakontml

dan senyawa

biosmhkkn

yang

dipraduksinya

menurun.

(18)

Waiaupun potensi biosurfaktan biokontrol untuk menurunkan tegangan permukaan cairan tidak sebesar surfaktan sintetik, tetapi aplikasi biosurfaktan tidak membahayakan lingkungan. Menurut Mulligan dan Gibbs (1 993), biosurfaktan lebih mudah terurai secara biologis sehingga tidak terakumulasi di lingkungan.

Tegangan permukaan formulasi molase 1 % yang berisi B. subtilis BBOl dan P. Jluorescens GI34 lebih rendah dibandingkan dengan limbah cair tahu. Hal ini mengindikasikan bahwa molase 1 % merupakan pembentuk formulasi sekaligus

substrat Voodbase) bakteri biokontrol yang lebih sesuai untuk produksi senyawa biosurfaktan dan peningkatan populasi biokontrol dibandingkan dengan limbah cair tahu. Menurut Field dan Dastgheib (1996), formulasi bakteri biokontrol berfungsi menjaga agar bakteri biokontrol sebagai bahan aktif tetap stabil dan memberikan komponen tambahan yang bersinergi terhadap aktivitas kerja bakteri tersebut.

Molase dan limbah cair tahu yang digunakan dalam percobaan ini mengandung total nitrogen berturutan sebanyak 0,45 dan 2,27 gll. Sumber karbon dalam molase berupa sukrosa 37,6 g/l, glukosa 9,O gll, dan fruktosa 9,O g/l serta dalam limbah cair tahu berupa glukosa 1,60 g/l (Lampiran 5).

Mulligan dan Gibbs (1993) menyatakan bahwa bakteri B. subtilis dapat memproduksi surfaktin dalam medium molase maupun limbah cair tahu yang mengandung total nitrogen sebanyak 1,5 g/l. Menurut Cooper et al. (1981), glukosa 4 g/l merupakan substrat paling baik bagi produksi biosurfaktan pada B. subtilis dan P. aeruginosu. Lehninger (1 982) menyatakan bahwa glukosa dapat langsung digunakan dalam lintasan glikolisis. Berdasarkan ha1 ini molase lebih sesuai untuk

(19)

pertumbuhan B. subtrlrs BBO 1 maupun P. Jluorescens GI34 dibandingkan dengan limbah cair tahu.

Selain karbon dan nitrogen, Mulligan dan Gibbs (1993) menyatakan bahwa kultur turnbuh yang optimum untuk bakteri penghasil biosurfaktan memerlukan komposisi garam-garam mineral m N 0 3 , KH2P04, FeS04.7H20 dan MgS04.H20. Untuk pertumbuhan dan produksi biosurfaktan, bakteri biokontrol menggunakan garam mineral diantaranya yang mengandung ion ~ e ~ + . Konsentrasi minimum garam mineral yang mengandung Fe

'+

untuk pembentukan biosurfaktan adalah 2,O ppm 1 1 kultur cair. Pada percobaan ini, molase dan limbah cair tahu yang digunakan sebagai medium pertumbuhan sekaligus bahan pembawa bakteri biokontrol mengandung Fez03 dengan konsentrasi masing-masing 2,9 1 ppm dan 1,63 ppm.

Pembentukan biosurfaktan, memerlukan mineral besi dan mangan. Molase dan limbah cair tahu yang digunakan dalam percobaan ini mengandung mineral mangan berturut-turut 0,55 ppm dan 0,46 ppm. Sheppard dan Cooper (1991) mengemukakan bahwa mineral besi dan mangan merupakan kofaktor enzim yang digunakan untuk metabolisme glutamat, amonia, dan pembentukan enzim glutamin sintetase yang memicu pembentukan biosurfaktan. Jika tersedia amonia dan glutamin tetapi tidak tersedia kofaktor besi dan mangan, maka pembentukan enzim glutamin sintetase tertekan dan biosurfaktan tidak terbentuk.

Menurut Mulligan dan Gibbs (1993), senyawa biosurfaktan merupakan bagian membran sel bakteri yang terbentuk selama fase hidup logaritmik hingga stasioner. Biosurfaktan berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan substrat yang ditempati bakteri penghasilnya jika substratnya tidak larut dalam air. Dengan adanya

(20)

kemampuan ini, bakteri mudah menyerap nutrisi dalam substrat yang tidak larut dalam air. Berdasarkan ha1 ini dapat dimengerti bahwa inaktivasi Xag oleh suspensi bakteri biokontrol akan terbentuk setelah fase stasioner, setelah 48 jsi. Hommel dan Ratledge (1993) serta Desai dan Desai (1993) menyatakan bahwa biosurfaktan merupakan bakteriosin yaitu toksin terhadap mikroorganisme di sekitarnya.

Berkaitan dengan jurnlah biosurfaktan produksi bakteri biokontrol yang berkurang setelah 60 hari penyimpanan, ha1 ini disebabkan oleh penurunan populasi bakteri B. subtilis BBO 1 dan P. fluorescens GI 34 hidup setelah 60 hari penyimpanan. Populasi bakteri biokontrol setelah 60 hari penyimpanan lebih sedikit dibandingkan dengan awal infestasi atau pada 7 hari penyimpanan.

Gambar 12 menunjukkan populasi P. fluorescens GI34 dalam formulasi molase 1% mula-mula meningkat dari lo6 CFUIml pada awal infestasi menjadi 28,60 x 10 7 ~ ~ ~ / m l pada 7 hari penyimpanan. Demikian juga populasi awal B. subtilis BBOl (sama dengan P. fluorescens GI34) meningkat menjadi 35,30 x lo7 CFUlml setelah 7 hari penyimpanan.

Penurunan populasi bakteri biokontrol yang hidup dalam formulasi cair terjadi setelah 60 hari, 180 hari, dan 360 hari penyimpanan. Populasi bakteri P. fluorescens GI34 menurun berturut-turut 21,70 x107; 1,7 x lo7, dan 0,09 x lo7

CFUlml, sedangkan populasi B. subtilis BBOl menjadi 24,6 x lo7; 10,5 x lo7, dan 4,2 x lo7 CFUIml.

(21)

Jumhh

+i

dm

m w a biosurfaktaP yang d h d k a n

.

.

aleh

bakteri

biokontrol

dip&mhi

oleh

pR

medium

pmtumb&an

Menurut

Javaheri

et

d.

(1985),

kisaran

pH

medium yrtng

ctiperluh

oleh

hkteri

P s e u h m m

spp. untuk

mempd&i

bitmrfddm

addah 4,6

h g g a

7,O.

Bakki

3. subtilis

spp.

memproduhi

bias*

padrr kisaran

pH

medium

4,O

h g g a

73.

Kmawmn

fomulasi

b a k k i

biokoml

dahm

m o b

1%

maupun limbah

cair tabu

menurun

sejak

diprodubi

hhgga

360

hari

penyimpnan, yaitu

dari

6,7

menjadi

3,9 pads

medium

prtumbuhan

P.

fluorescem

GI34

dm

dari

6,6

mmjadi

(22)

-

PfG134 LCT

SsBBOl

0 7 30 80 90 1 2 0 1 8 0 3 H l

Lama Pgnyimpanan (Harl)

Gambar

13

Pengamh

Lama peayhhpam~

terkdap

pH

fomulasi

W

biokontrol

pada

suhu

270 C dm

Irelembahan

80%

K-W:

mu4

=

p . p ~ m s m

GIN,

BsBBO

1 = B.sarbfilis

BBO 1,

LCT = h b a h

cair

tahu

Kwbtbilan

hidup

bkkri

biobntral

ctipmgmhi

oleh

produk

m&Iisme

b&ri

biokontrol

yang

tmkmulasi

dahm

fofmuhsi

Ahmulasi

&Lit

men@

kemolsamaa

fimubi,

Senyaw

metablit yang

b e q a ttsam

kwbIGSilat

brdisosiasi

dalam

air

r n e n g b s b

ion

H+

d@ga

menunmkan

pH

(Jones

dan

Burges

1998).

hadam

formulasi

cair

batrteri

biokcmlml

~~

di

penyimpanan

d q a t digunakan mtuk menghhikan k e s t d i h

k m a m p w

W

biokdml

r

n

-

pertmbuhm

Xag.

h p i m

6

mmuqjukkan

keadaan

formulasi

cair

b&ei

biokontrol

s&ma 7

hi-

360

hari

penyimpamn.

kryawa

biomfakh

yang

dihasilkotn

oleh

bttErteri

biokontrol

d a m

fbmubi

dbtamga

berfungsi

untuk

(1)

rneningbhn

kontak

antam

ko1oni

balrtwi

bioh?ml

p m h

daun, (2)

menjaga

kelembaban

balrteri

biokontrol

di

m u k a a n

clam, (3') b a b r i

biokorrtrol

mampu me1ewati

pengbhg

e k s t e d

dam

(23)

biokontrol didaerah dinding sel daun sehingga mencapai patogen target (Field dan Dastgheib 1996).

Percobaan 11. Evaluasi Keefektifan Bakterisida Botani Asal Enam Jenis Tanaman dan Analisis Senyawa Penghambat terhadap Penyakit Pustul Bakteri

Bahan tanaman yang diekstraksi menjadi bakterisida botani diantaranya adalah bagian daun kipaht (Pierasma javanica), daun paku papila (Lygodium scandens), daun matoa (Pometia pinnata), dan buah kelapa sawit (Elaeis guineensis) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 14. Selain itu juga diuji ekstrak rimpang lengkuas merah (Alpinia galanga) dan daun sereh wangi (Andropogon nardus L. var genuinus).

Hasil inaktivasi Xag in vitro menunjukkan bahwa di sekeliling kertas cakram yang telah dicelupkan terlebih dahulu ke dalam ekstrak daun matoa, daun kipahit, daun paku papila, rimpang lengkuas merah, daun sereh wangi, dan buah kelapa sawit konsentrasi 20 % terbentuk zone bening pada 48 jsi. Pada 48 jsi tersebut, zone inaktivasi belurn terbentuk di sekitar kertas cakram yang telah dicelupkan terlebih dahulu ke dalam ekstrak daun lengkuas merah, pelepah sereh wangi, dan daun kelapa sawit. Perbedaan waktu terbentuknya zone inaktivasi Xag oleh ekstrak bagian yang berbeda dari suatu tanaman menunjukkan bahwa senyawa antimikroba diproduksi di bagian yang berbeda dari suatu jenis tanaman.

(24)

Marm

(1987)

men-

k t d t a s

bioaktif

bqmhmg

k e p h

b a g h Wwmm

t & p t

sayam

dipduhi,

Menurut

Hahome

(1987), asam galat yrtng

menu-

senyam

b l i k

tebih

banyak

tenlapat

dalm

dam, d i i m b a g i a a 1 a i n a j # n a m s u , - * d a l l n y a n g

membetLtutrligaia Asamgalatmempkm

~ y t m g ~ d a l a m ~ l .

Uenzuut

W t t o (1991),

m t a s

asam galat

lekh

h y a k

t d e n b k

M a m dam

maupun

jaringan

lain

yang

membentuk punr

hi-fi

wl.

Bdmm

et

al.

(1991)

meayatabn

bahwa

senyawa

holik

yang

h i b a n

d e n p

gula

lebih

banyak

path

daun

buncis d i W n g k m dengm

p d a

polong buncis. Sebalilmya

Buttery

dm

Ling (1993)

men-

bahwa

senyaw

lrarbon voMl

turuarmn

lemk

Iebih banyak

ber&

p d a

buah

tomat

dibmdinglm

b g m

di dam

Daun tomat

(25)

rnedmtuk

terpoid

hidmhbon.

Oleh karena

itu

dapat dimengerti Wwa

ehtrak

uji yang

diperoleh

dari

jenk

tamman

s a m m u n

bagiaa

tanaman

berbeda

a h

mengandung

lmantitas

senyawa

bioaktif

yang bmbeda.

Perbedotan

kuantitas senyaw

biaaktifmenyebabkrtn

tingleat bktivasi

Xag

ymg berheda

pula

Zone

h k t i v ~ l s i

Xag

oleh

e W

rimpang

lengkuas

merah

(Alpinla

galanga),

daun

sereh

wangi

( A h o p g o n

mr& 1;.

var

genarhw),

dam

pdcu

papila (Lygodium scadem),

bmh

kelapa sawit

(Elaeis guineemis),

damn

kiphit

(

P i e r a m

jmanica),

dan

dam matm

(Pometia

pintslrta)

bnsmtmi

20 % ( t a h t u k

setelah

2

hari

idahsi)

melebar

dm

bmghng antma

mm

yang

berdektan

pada

4

hari

h h h s i

(Gambar 15).

Gunbar

15

Uji hktivasi Xag

pada

24

jsi

(A),

uji

W m s i

Xag

pala 96

jsi (B).

dam kiphit,

b,

daun

paku papila,

a

rhnpang

lengkuas

merah, ') dam

sereh

m g i ,

"

daun

ma-

')

buah

kelspa

sawit, B,

air

destilata steril

Ttibel

4

dan

Gambar

16 menunjukb

bahw ptambahm

zone bald&

Xag -pat

dan

terlebar terbentuk

di sekelihg

eksb.ak

dam

matoa

dan

daun

kipbit

konsentmsi 20 %. Pertambahan

lebar

diameter zone imktivwsi tmhtuk mulai 4

(26)

Xug) yang dibentuk oleh ekstrak daun matoa clan daun kipahit pada 4 hari inkubasi masing-masing 11,O % dan 7,7 %. Persen inaktivasi Xug oleh ekstrak daun matoa dan daun kipahit terbentuk hingga 14 hari inkubasi, berturut-turut 23,6% dan 24,1%.

Tabel 4 Persen inaktivasi dan potensi inaktivasi (Unit Inaktivasi Bakteri) Xug oleh ekstrak botani

Persen Inaktivasi Unit Inakti-

Jenis Hari ke- vasi Bakteri

Ekstrak Karakteristik Konsentrasi Xag (mm/g 2 4 6 8 10 12 14 bakterisida

botani)

Matoa Bentuk : kental 0,10 2,6b 5,3c 17,7b 19,2b 20,5c 22,2c 22,2 c 13,4b Warna hijau tua 0,20 3,8a 1 1,Oa 19,2a 20,Sa 21,8b 23,eb 23,6b 14,7a

Bau khas daun

Lengkuas Bentuk: kental, 0,10 2,6b 3,8d 7,7d 17,7c 19,2d20,5e 21,8d 12,8c Merah Warna:kecoklatan 0,20 3,8a 5,3c 1 1,Oc 19,2b 20,5c 21,8d 22,2c 13,4b

Bau: khas

Sereh wangi Bentuk:cair 0,10 1,3c 2,6e 5,3e 11,Od 17,7e 19,2f 20,5e 12,8c Warna:putih 0,20 2,6b 3,8d 7,7d 17,7~19,2d20,5e21,8d 13,4b Bau:wangi sereh

Kipahit Bentuk kental 0,10 2,6b 3,8d 7,7d 17,7c 19,2d 23,6b 23,6b 12,8c Warna. hijau tua 0,20 3,8a 7,7b 11,0~19,2b22,2a24,?a24,la 13,4b Bau khas daun

Paku Bentuk:kental 0.10 1,3c 2,6e 5,3e 11,Od 19,2d 20,5e 20,5d 11,5d Warna: hijau 0,20 2,6b 3,8d 7,7d 17,7c20,5c 21,8d 22,2c 13,4b Bau:khas daun

Kelapa Bentuk:emulsi 0,10 1,3c 2,6e 3,8f 7,7e 11,Of 21,8d 22,2c 8,5f Sawit Warna: kuning 0,20 2,6b 3,8d 5,3e 11,Od 17,7e 19,2f 20,5e 10,6e

Bau:khas kelapa

Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang angka dalam kolom yang sama menunjukkan

perbedaan nyata pada taraf 0,05 berdasarkan uji jarak baganda Duncan. UIB=l/WxAxT/V (W = berat ekstrak dalam g, A = &meter hambatan dalam mrn, T = total volume ekstrak dalam ml, V = volume contoh ekstrak dalam ml)

(27)

6.

Potmi

bktivasi

baktffi

Xag

oleh

e h a k

bataai

( d g ekstrak

-1

Diameter

m e

W v a s i

debar

14,7

m

d i W

uleh

semp g

ekstrak

dam

ma- Unit inaktiwi

W

Xag

k r b d

B

W

i

aleh

e h a k

bu&

kelap

sawit,

PerbedaEtn unit

imktivasi bakteri

Xag

ymg ditunj-

oleh

msing-masing

(28)

Tabel 5 Kuantitas asam galat dalam ekstrak botani yang menginaktivasi Xug (mg/g bahan tanaman)

Ekstrak Botani Kuantitas Asam Galat (mg/g bahan tanaman)

Daun Matoa 8,22a

Daun Mimba 5,95b

Daun Sereh wangi 4,84c

Daun Kipahit Daun Paku papila

Rirnpang Lengkuas merah 2,32d

Buah Kelapa Sawit l,88e

Keterangan : Huruf yang berbeda di belakang angka dalam kolom yang sarna menunjukkan perbedaan nyata (0,05) berdasarkan uji jarak berganda Duncan

Menurut Pelczar dan Chan ( 1988), asam galat menginaktivasi bakteri melalui perusakan permeabilitas membran sel bakteri sehingga terjadi kebocoran metabolit. Asam galat merupakan salah satu senyawa fenolik yang dapat dianalisis karena terdapat dalam jumlah besar pada jaringan tanaman terutama di bagian daun.

Percobaan 111. Analisis Keefektifan Pengendalian Pustul Bakteri dengan Kombinasi Pola Tumpangsari atau Monokultur dan Aplikasi Bakterisida Biokontrol atau Bakterisida Botani.

Selama penanaman kedelai di lapangan diamati kondisi cuaca yang terdiri atas intensitas matahari, curah hujan, suhu udara, dan kelembaban udara relatif serta sifat kimia dan fisik tanah tempat kedelai ditanam (Lampiran 7 dan 8). Intensitas inatahari pada saat penanaman kedelai di musim kemarau (bulan Juli 2000 dan Juli 200 1) dan musim penghujan ( bulan Januari 2001 dan Januari 2002) berturut-turut

(29)

236-293 dan 202-282 kalori/cm2/hari. Menurut Baharsyah et a/. (1988), intensitas matahari yang diperlukan untuk pertumbuhan vegetatif dan generatif kedelai optimum adalah 2 16-576 kalori/cm2/hari.

Curah hujan yang terjadi berkisar 186-225 mm di musim kemarau dan 382- 528 mm di musim penghujan. Suhu udara rata-rata dan kelembaban udara relatif masing-masing 28-29,5' C dan 84-89 %. Menurut Sumarno dan Widiati (1985),

kondisi cuaca optimum untuk pertumbuhan kedelai meliputi curah hujan antara 100- 300 mm, suhu udara 2g°C, dan kelembaban udara relatif 85 %.

Suhu dan kelembaban relatif udara di lapangan yang optimum untuk pertumbuhan kedelai ternyata juga mendukung perkembangan penyakit pustul bakteri. Menurut Dirrnawati (1996), penyakit pustul bakteri berkembang pada suhu 29 'C dan kelembaban udara relatif 89 %.

Keparahan penyakit pustul tinggi pada curah hujan lebih dari 300 mm. Laju infeksi penyakit pustul bakteri tinggi pada tanaman kedelai yang ditanam di musim penghujan. Musim penghujan dengan curah hujan antara 382-528 mm bertepatan dengan masa pembungaan kedelai yang merupakan fase kritis tanaman kedelai terhadap pustul bakteri.

Laju infeksi pustul bakteri pada pola monokultur kedelai di musim penghujan adalah 0,10 unitlhari, sedangkan di musim kemarau hanya 0,09 unitlhari. Demikian juga laju infeksi pustul bakteri pada pola tumpangsari kedelai- jagung di musim penghujan lebih tinggi (0,13 unitlhari) dibandingkan dengan musim kemarau (0,ll unitlhari).

(30)

Laju infeksi pustul bakteri selain dipengaruhi oleh perbedaan musim tanam, dipengaruhi juga oleh perbedaan pola tanam kedelai, jenis agens pengendalian yang diaplikasikan (biokontrol tunggal atau campuran, bakterisida botani, streptomisin sulfat, dan tanpa pengendalian), interaksi pola tanam kedelai dengan jenis agens pengendalian, serta cara aplikasi agens pengendalian (perlakuan benih dan penyemprotan daun) (Lampiran 9, 10, 11, 12, 13, dan 14).

Komponen pengendalian tunggal (pola tumpangsari kedelai-jagung) tidak menurunkan laju infeksi pustul bakteri. Laju infeksi pustul bakteri pada komponen pengendalian tunggal yaitu pola tanam turnpangsari kedelai-jagung O,11 unit/hari di musim kemarau dan 0,13 unit/hari di musim penghujan. Laju infeksi pustul bakteri pada pertanaman kedelai monokultur 0,09 unit/hari di musim kemarau dan 0,10 unitlhari di musim penghujan. Laju infeksi pustul bakteri pada pola tumpangsari kedelai-jagung lebih tinggi dibandingkan dengan monokultur kedelai di musim kemarau maupun penghujan.

Laju infeksi pustul bakteri menurun pada kombinasi pola tanam tumpangsari kedelai-jagung dengan penggunaan jenis bakteri biokontrol, bakterisida botani, atau streptomisin sulfat. Laju infeksi pustul bakteri pada kombinasi pola tanam tumpangsari kedelai-jagung dengan aplikasi bakteri biokontrol tunggal adalah 0,06 unit/hari di musim kemarau dan 0,07 unit/hari di musim penghujan. Jika pola tumpangsari dikombinasikan dengan aplikasi biokontrol campuran yang terdiri atas dua atau tiga jenis bakteri maka laju infeksi pustul bakteri lebih rendah dibandingkan dengan biokontrol tunggal yaitu 0,04 unit/ hari di musim kemarau dan 0,06 unitlhari di musim penghujan.

(31)

Pengaruh aplikasi bakteri biokontrol campuran terhadap pustul bakteri berbeda dengan aplikasi bakteri tunggal. Aplikasi bakteri campuran lebih menurunkan laju infeksi pustul bakteri dibandingkan bakteri tunggal. Hal ini sesuai dengan laporan Raupach dan Kloepper (1998) bahwa bakteri biokontrol campuran yang terdiri atas bakteri B. pumrlus INR7, B. subtilrs GB03, dan Curtobucterrum flaccumfuclens ME1 lebih efektif mengendalikan penyakit-penyakit yang terdapat pada tanaman ketimun (penyakit antraknosa, penyakit bercak daun bersudut, dan penyakit layu). Lebih lanjut dinyatakannya bahwa campuran bakteri biokontrol mempunyai kemampuan sinergi yang lebih tinggi untuk menguasai habitat barunya dibandingkan dengan bakteri biokontrol tunggal.

Bakteri P. jluorescens GI34 yang digunakan sebagai biokontrol dapat memproduksi senyawa biosurfaktan, siderofor, dan hidrogen sianida. Informasi mengenai kemampuan pembentukan suatu senyawa oleh bakteri biokontrol pada keadaan lingkungan dengan jumlah nutrisi terbatas penting untuk mengetahui mekanisme bakteri biokontrol menghambat Xag di permukaan daun. Bakteri P. .fluorescens GI34 memproduksi biosurfaktan dan hidrogensianida di dalam formulasi

molase 1% yang mengandung cukup mineral besi dan mangan, tetapi tidak memproduksi siderofor.

Di permukaan daun kedelai, biosurfaktan yang merupakan bagian membran sel P. jluorescens GI34 berfungsi untuk mempertahankan diri di lingkungan daun yang terbatas medium cairnya. Selanjutnya kemampuan P. jluorescens GI34 membentuk siderofor terekspresi jika jumlah mineral besi terbatas seperti halnya di permukaan daun kedelai.

(32)

Tukey (1971) menyatakan bahwa eksudat daun mengandung lo4 ppm ion besi. Eksudat daun muda lebih sedikit mengandung ion besi (karena ion besi sulit ditranslokasikan dari daun tua ke daun muda). Berdasarkan ha1 ini maka dapat dimengerti bahwa bakteri P. Jluorescens GI34 yang disemprotkan ke permukaan daun kedelai lebih mampu bertahan di daun muda dibandingkan dengan daun tua. Daun muda yang disemprot dengan Y . fluorescens GI34 menunjukkan laju infeksi pustul yang lebih rendah dibandingkan dengan daun muda yang tidak dikendalikan. Kemampuan P.Jluorescens GI34 membentuk siderofor di permukaan daun muda yang terbatas jumlah mineral besinya menyebabkan laju infeksi pustul menurun.

Bakteri B. subtzlzs BBO 1 memproduksi biosurfaktan dalam formulasi molase. Biosurfaktan yang diproduksi B. subtzlzs BBO 1 bermanfaat untuk memudahkan pengambilan nutrisi di permukaan daun yang relatif tidak mengandung air. Selanjutnya kemampuan B. subtzlzs BBOl membentuk spora dalam sentral sel berguna untuk mempertahankan diri dari lingkungan permukaan daun kedelai yang kering.

Mekanisme penghambatan Xag oleh P.jZuorescens GI34 dan B. subtzlzs BBO 1 di permukaan daun sesuai dengan pernyataan Pusey (1999) bahwa mengintroduksikan bakteri biokontrol yang memproduksi metabolit inaktivasi mikroorganisme lebih efektif dibandingkan biokontrol yang tidak memproduksi metabolit penghambat. Namun demikian Spurr dan Knudsen (1985) menyatakan bahwa keberhasilan bakteri biokontrol mengendalikan penyakit di bagian permukaan atas tanaman tidak hanya bergantung kepada kemampuan bakteri biokontrol

(33)

Maaf, Halaman Ini Pada Sumber Aslinya Memang Tidak Ada Sorry, This Page Is Not Available In The Original Source

(34)

kernmu serta

0,M u n i M

di

musim pghujaa

Demikian

juga

Iaju

infeksi

pustuI

pads kombinasi pola monokuitur

lredelai

dm

biokontrol c m p m

atau streptomisin sdfat s m a yaitu 0,05

unitmsui

di m u s h k m m u

dan 0,07

unithari di m u s h

penghujan. Hal ini

menlmjukkan

bahwa

hju hfeksi

pustul b a h r i yang

dikendalikan

oleh

campuran

bakteri

biokontxol

sma

dengm streptomisin

sulfat.

Efek

h k t a i

biokontrol campwan (mas&-mashg b k t h

mernpmhbi

senyaw

metabolit

ymg

berbeda-beda)

dapat

mmggmtkm

peran

streptomiin dht

dalam

menghambat

persen

Iaju

inf&

Xag.

M 1 S K P S W T P

(35)

Laju infeksi pustul bakteri dengan aplikasi bakterisida botani lebih rendah dibandingkan dengan tanpa pengendalian di musim kemarau maupun penghujan. Diantara enam jenis ekstrak tanaman yang digunakan sebagai bakterisida, ternyata lekstrak daun matoa menurunkan laju infeksi pustul bakteri paling besar. Ekstrak daun matoa dengan kandungan asam galat 8,2 mglg daun matoa dapat menurunkan laju infeksi pustul dari O,11 unit/hari menjadi 0,06 unit/hari di musim kemarau atau dari 0,14 unitlhari menjadi 0,06 unit/hari di musim penghujan.

Bakteri biokontrol yang diaplikasikan ke permukaan daun kedelai umur 30 hingga 42 HST yang ditumpangsarikan dengan jagung lebih banyak bertahan hidup dibandingkan dengan di permukaan daun kedelai monokultur. Gambar 19 dan Lampiran 16 menunjukkan bahwa bakteri biokontrol masih dapat bertahan hingga 10 hari setelah diaplikasikan ke daun kedelai. Jagung yang ditanam tiga minggu setelah penanaman kedelai dengan jarak tanam antar baris jagung 100 x 80 cm menaungi kedelai 30% (diukur dengan tabung solarimeter). Naungan tanaman jagung terhadap permukaan daun kedelai pada pola tumpangsari kedelai-jagung meningkatkan ketahanan hidup bakteri biokontrol di permukaan daun kedelai. Populasi bakteri biokontrol hldup di permukaan daun kedelai yang ditumpangsarikan dengan jagung lebih banyak dibandingkan dengan di perrnukaan kedelai monokultur.

Laju infeksi pustul bakteri rendah bukan hanya dipengaruhi oleh komponen pola tanam tumpangsari tetapi oleh kombinasi pola tanam tumpangsari dengan aplikasi bakteri biokontrol atau bakterisida botani. Penurunan laju infeksi pustul bakteri pada kombinasi pola tumpangsari kedelai-jagung dengan aplikasi bakteri

(36)

biokontrol

disebabkan

oleh h k k r i

biokontrol

yang

dam

batahan

di

pemukozan

dam

kedelai

hingger

10

hari

setelah

d i a p ~ ~ .

Penurunan laju

infeksi pustul

b&eri

pa&

ko-i

pola

tmpmgsari dengan baktetisida botani

disebabkan oleh

kan-

olsam

@at

ekstrak

botani

yang

d i g u d m

sebaga.~ bkrisida. Hasil

analisis

asam a t

dam

k&hi

yang disemprot dengan e&mk

bakterisida

botani menunjukkan

bolhwa

telah

terjadi p r u h h

rndabolbe

di

a m daun

kedelai.

Perubahan

metabo1isme dam kedelai dhtaranya

peninmtm

laantitas a s m gaht

dam

kedelai. Seblum

disemprd dengan

ekstrak

bkhisida

botani

botani,

kandungan

asam galat

dam

kedelai

sehat sebesar 2,58 mglg

dam

kedelai.

Asam

galat

meningkat menjadi 3,59 mglg

daun

kedelai

pada daun

kedelai

solkit

yang

(37)

Kandungan asam galat daun kedelai yang disemprot dengan ekstrak daun matoa 5,5 mg/ g daun kedelai. Asam galat daun kedelai yang disemprot dengan ekstrak rimpang lengkuas 6,19 mg/g daun kedelai. Hal ini menjadi suatu kajian lebih lanjut karena ternyata kuantitas asam galat daun kedelai yang disemprot dengan daun matoa (kandungan asam galat 8,2 mg/g daun matoa) lebih rendah dibandingkan dengan daun kedelai yang disemprot dengan rimpang lengkuas merah (kandungan asam galat 2,32 mg/ g rimpang lengkuas merah) (Tabel 6).

Tabel 6 Kuantitas asam galat daun kedelai sehat, daun kedelai sakit bergejala pustul, daun kedelai sakit yang dikendalikan dengan ekstrak botani

Ekstrak Daun Kuantitas asam galat (mglg bahan tanaman)

Daun kedelai sehat 2,58a Daun kedelai sakit bergejala pustul bakteri 3,59b Daun kedelai sakit (disemprot dengan ekstrak matoa) 5,55c Daun kedelai sakit (disemprot dengan ekstrak rimpang lengkuas) 6,19d

Keterangan : Huruf yang berbeda di belakang angka dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (0,05) berdasarkan uji jarak berganda Duncan

Ekstrak bakterisida botani yang diaplikasikan ke daun kedelai selain berperan langsung merusak permeabilitas membran bakteri sehingga terjadi kebocoran metabolit, diduga juga penginduksi peningkatan asam galat daun kedelai. Deverall dan Dann (1995) serta Steiner dan Schonbeck (1995) mengemukakan bahwa metabolit yang terkandung dalam ekstrak kasar tumbuhan dapat menginduksi ketahanan tanaman gandum terhadap penyakit embun tepung. Pengurangan

(38)

k e p r a h

penyakit embun tepung pada tamman

gandum

mencapai

90

%

dalam

k i m

waktu tip

hari sebelah

q l h i

ehErak

kasar tumbuhrmn.

Laju

Wlrsi pustul

balaeri

d i p q p h oleh

cara

a p l i h i

agens

pengendalim

(Gambar

20

dan

Lampiran

17).

h j u

infeksi

pustul

bakteri

dengan cam

pencampwan

agem

pengendah

p d a

benih

kedek dilmjutkan denpn

penyemprotan

di

permukaan daun

benmur 30

dm

40

HST

lebih

tinggi

d i b d h g k m

dengan

cara

p e n y m p t m

c9i p m h m dam kedehi.

Tiga

Mi

pnyemprotm b&mi

bi&onlml,

babisida botmi,

drepmh

sulfat,

&u

moIase

di

permuhim

dam

WIsi

pads

m w

28,35,

dan

42

HST lebih mmurunkom laju hfeksi

penyakit

p a .

Hd h

i

men-

. .

.

bahwa b a k

biokontrol,

Wrisida

botani,

m a u p

streptomisin

tidak

sistemilr

ke

dab jaiqpn

biji

paddm1 bakteri

Xag

i n d i p u s

bmda

di

Ralrun

jarhgan

biji

bdelai

(w

dm

Sinclair

1996).

-bar

20

Laju infeksi

pustul

bakteri karena

pmgamh caps

a p W

(39)

dipengaruhi oleh laju infeksi (r) yang tinggi. Penyakit berkembang dengan cepat, walaupun telah dilakukan perlakuan benih untuk mengurangi inokulum awal (Xo). Dengan demikian perlakuan benih dengan bakteri biokontrol, bakterisida botani, streptomisin sulfat tidak efektif untuk mengurangi bakteri inokulurn di dalam jaringan biji kedelai.

Menurut Robinson (1981), menurunkan laju infeksi penyakit berbunga majemuk lebih tepat menggunakan cara penanaman varietas yang resisten secara horisontal dan menyemprotkan protektan ke permukaan tanaman. Oleh karena itu pustul bakteri sebagai penyakit berbunga majemuk dapat dikendalikan dengan penyemprotan bakteri biokontrol, bakterisida botani, maupun streptomisin sulfat pada saat umur kntis tanaman kedelai. Umur kritis tanaman kedelai terhadap serangan bakteri pustul yaitu pada akhir fase vegetatif dan awal generatif yaitu 28 HST.

Komponen tunggal pola tanam tumpangsari kedelai-jagung tidak menurunkan keparahan penyakit pustul bakteri. Hal ini sesuai dengan Msuku dan Edje (1982) yang menyatakan bahwa keparahan penyakit bercak daun bersegi pada pola tanam tumpangsari jagung-buncis meningkat. Jarak tanam tanaman jagung dengan buncis 45 x 15 cm dan tidak dilakukan taktik pengendalian lain. Menurut Schoonhoven et al. (1998) tidak semua jenis tanaman dapat dikombinasikan pada pola turnpangsari, apalagi jika tujuannya untuk mengurangi keparahan penyakit tanaman. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pola turnpangsari lebih unggul dibandingkan dengan monokultur apabila pemilihan keragaman jenis tanaman dan waktu penanaman tepat. Selanjutnya dinyatakan bahwa pengurangan keparahan penyakit tanaman dalam pola tumpangsari lebih disebabkan oleh faktor biotik seperti pengaruh agens biokontrol yang

(40)

diaplikasikan atau musuh alami yang diinundasikan serta faktor abiotik yang berupa kerapatan tanaman atau bentuk daun yang mempengaruhi iklim mikro tanaman.

Pola tumpangsari kedelai-jagung lebih berperan untuk peningkatan produktivitas lahan. Hisjam (1988) menyatakan bahwa produksi kedelai pada pola tumpangsari kedelai-jagung (jarak tanam antara tanaman kedelai 40 x 20 cm, jarak tanam jagung dan kedelai 120 x 20 cm, dan jagung ditanam 30 hari setelah penanaman kedelai) sama dengan produksi kedelai yang ditanam monokultur, bahkan terdapat tambahan produksi jagung. Jarak tanam pola tumpangsari kedelai- jagung lebih dari 75 x 40 cm dengan waktu penanaman jagung paling cepat 10 hari setelah penanaman kedelai dapat memenuhi kebutuhan radiasi matahari untuk pertanaman kedelai yaitu intensitas matahari sebesar 86-96 %.

Selain jarak tanam yang tepat, Runtunuwu (1990) melaporkan bahwa waktu penanaman jagung dan kedelai mempengaruhi produksi. Kedelai yang ditanam pada waktu yang bersamaan dengan jagung menurun produksinya hingga 40,42%, tetapi jagung yang ditanam paling cepat 10 hari setelah penanaman kedelai akan meningkatkan produksi kedelai sebesar 15,15 %. Gambar 2 1 serta Lampiran 18 menunjukkan bahwa produksi biji kedelai yang dikendalikan dengan bakteri biokontrol, bakterisida botani, streptomisin sulfat lebih tinggi dan persen polong hampa lebih rendah dibandingkan dengan tanpa pengendalian.

(41)

Keefisienan

pengemMan nunah

lingkungm

penyakit pwtd

bakteri

dianalisis

d e n p

menilai

keduduh

ekonomi

dari

mas@ymshg

konpmn

pengendalian.

K e d u d u h ekommi

dhdisis

dmgm

WC

mio

komptmen

pgmdalian

menunjukh

bahwa padaptan

yang

d i t a h

mtuk

setiap

rupmh

yang

dikeluarkan

untuk

m m p m h h i

W l a i

den*

memggmdm

k m p e n

p p d d i a n

peny&t

Pengel-

mahatad

meliputi

u p h

t e q a

kerja

(ti&

&

i

atntara tenaga

kerja

ke1-

atau

di

luar

bluarga),

hmga

sovana

produksi

pertanian (biaya J i h ttkndogi pembuatan bakteri

biokontrol

atau

bakterisida

bani), dm

biaya

lain

yang

d k l u a r h

untuZr

&hi W l a i seprti

sewa alat

penymprot

hama

dm

peqdat.

PendapaEan usahatani kedehi

addah

pdapatm kerja

petani (opatm's fmwt

labour

-me)

yaitu

p e n e r h m

dari penjuah

k i l

k&lai. Produksi kedehi

(42)

yang dikonsumsi oleh keluarga tidak diperhitungkan dalam pendapatan ini (Tim IPB 1979).

Upah tenaga kerja penanaman kedelai hingga pasca panen Rp20000,00/hari kerja pria, harga benih kedelai Rp6000,00/kg, dan harga rata-rata pupuk buatan Rp2000,00/kg. Pengendalian penyakit pustul bakteri memerlukan 27 1 formulasi bakteri biokontrolha dengan harga Rp40000,00/1.

Komponen harga bakteri biokontrol terdiri atas biaya pembuatan 500 g agar nutrien untuk membiakkan bakteri biokontrol stater (digunakan untuk 20 1 forrnulasi) dan tambahan biaya transpor dari lokasi pengambilan limbah pabrik gula atau tahu sebesar Rp600,00/1 limbah. Pengendalian pustul bakteri dengan bakterisida botani memerlukan 1 12 g ekstrakha. Harga bakterisida botani Rp 16000,00/g ekstrak. Harga bakterisida botani terdiri atas harga etanol95% (Merck) untuk ekstraksi bahan tanaman dan tambahan biaya transpor dari lokasi tumbuh bahan tanaman Rp400,00/kg bahan tanaman. Analisis pendapatan usahatani kedelai disajikan pada Lampiran 19,20,21,22,23, dan 24.

Tabel 7 menunjukkan pendapatan usahatani, R/C rasio, persen biaya komponen pengendalian terhadap biaya produksi total. R/C rasio penggunaan bakteri biokontrol yang dikombinasikan dengan pola tanam tumpangsari paling tinggi diantara komponen pengendalian ramah lingkungan lainnya, yaitu 1,41 di musim kemarau dan 1,32 di musim penghujan. Setiap rupiah yang diinvestasikan pada kombinasi pola turnpangsari kedelai-jagung dengan penggunaan bakteri biokontrol memberikan penerimaan sebesar Rp 1,4 1 di musim kemarau dan Rp1,32 di musim penghujan.

Gambar

Gambar 3  Gejala  penyakit pustul  bakhi  kedelai  (A),  ooze  bakteri  Xag  dari  p o t o n e   dam  kedelai  bergejala  pustul  (B),  gejda  menguning  kotiledon  kedelai  pada  uji  patogenisitas  XuAC),  dan  kultur  Xag  pada  medium  YDC  @)
Gambar  9  T3drogen  sianida  yang  diprod&  oleh  P.  frzdorescens  GI34  (A)  mengubah  astun  p i h t   b e ~ f a m a   kmhg  p d a   kerbs  w i n g   menjwdi
Tabel  3  Jenis senyawa  antimikroba yang menginaktivasi .xic!,v  lsoiat  Sum ber  Spesies  Biosurfaktan  Hidrogen  Siderofor
Gambar  13  Pengamh  Lama  peayhhpam~  terkdap  pH  fomulasi
+3

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penyebaran C-organik tanah pada lahan sawah di Daerah Irigasi Pantoan Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun.Penelitian ini

Pendekatan yang sering digunakan dalam mengkaji hubungan norma subyektif, sikap dan niat induvidu adalah model TPB ( Theory of Planned Behaviour) yang dikembangkan oleh Ajzen

Dalam penelitian ini, berdasarkan status pekerjaan dan pendidikan pasien didapatkan sampel dengan pendidikan terakhir terbanyak yaitu SMA dengan jumlah 23 orang pasien dan

Fahnestock (2011: 133) menyebutkan bahwa contoh ploce melambangkan argumen yang didasarkan pada bentuk yang sama dari sebuah kata muncul lagi dan lagi dalam sebuah

002/4222/Xi/Otbanwil-III/2018 Tanggal 7 November 2018 Perihal Laporan Terkait Pemberian Teguran (Aanmaning) Untuk Pelaksanaan Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo. Undangan

Informasi yang terukur dengan kriteria tetap, yaitu untuk proses pemeriksaan pajak dimulai dengan mencari, menghimpun, dan mengolah informasi yang tertuang dalam

( human trafficking ), berdasarkan dari beberapa faktor penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan manusia yang telah dijelaskan diatas maka perlu adanya upaya

Selisih persentase mortalitas antara keduanya berkisar 1,3%.Hasil ini menunjukkan bahwa tepung jamur yang telah diperbanyak dengan media tepung beras tidak mampu membunuh