• Tidak ada hasil yang ditemukan

SATU ABAD MUHAMMADIYAH Pergeseran Paradigma Dakwah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SATU ABAD MUHAMMADIYAH Pergeseran Paradigma Dakwah"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

SATU ABAD MUHAMMADIYAH Pergeseran Paradigma Dakwah1

Dr. Zakiyuddin Baidhawy

Staf Pendidik pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga Presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)

Pendahuluan

Satu abad adalah perjalanan panjang. Kini, Muhammadiyah telah

melewatinya. Penandanya ialah Muktamar Satu Abad di Yogyakarta dan Milad Muhammadiyah Satu Abad yang baru berlalu. Muktamar dan Milad Satu Abad merupakan perhelatan akbar yang krusial, karena ia menjadi cermin tentang perlunya "gerakan tajdid" sebagai identitas dakwah Muhammadiyah untuk direvitalisasi. Revitalisasi (baca: tajdid) gerakan dakwah sangat mendesak agar organisasi Islam ini tidak berkubang dalam kontinuitas tanpa perubahan. Tujuannya ialah agar Muhammadiyah keluar dari cangkangnya, yakni kejumudan dakwah yang terperangkap dalam rutinitas amal usaha minus kreativitas dan inovasi, baik dalam aspek pemikiran maupun praksis.

Abad kedua merupakan batu ujian bagi Muhammadiyah. Apakah Muhammadiyah mampu membangkitkan kembali elan vital sebagai gerakan dakwah pembaruan, atau justru makin memfosil dan lapuk dimakan ganasnya pergulatan ideologi dan pemikiran. Meski Rasulullah Muhammad pernah memprediksi bahwa setiap seratus tahun akan muncul mujadid baru yang gigih memperbarui agamanya (man yujaddidu laha dinaha), boleh jadi peluang ini dimanfaatkan oleh gerakan dakwah Islam lainnya.

Refleksi atas perjalanan sejarah selama seabad Muhammadiyah, perlu disambut dengan penuh harap. Karena itu, tulisan ini bermaksud meneropong

pergeseran-pergeseran paradigma dalam gerakan dakwah Muhammadiyah sejak awal berdiri hingga awal abad 21. Tulisan ini juga berupaya mengajukan percikan pemikiran alternatif untuk mendayung kembali gerakan tajdid sesuai dengan semangat zamannya (zeigeist) dan epistemenya.

1

(2)

Paradigma Dakwah Puritan-Rasionalis

Kelahiran Muhammadiyah pada awal abad ke-20 dari rahim bumi Jawa berlatar belakang kraton Mataram merupakan tantangan tersendiri. Kauman dipenuhi penghulu abdi kraton dengan tradisi feodal dan anti-kritik adalah bagian dari jagad pakeliran yang kompleks bagi Muhammadiyah. Secara internal, tantangan ini diperumit oleh situasi keterbelakangan dan kebodohan massif bangsa serta kehidupan masyarakat agraris berpola ekonomi subsistens.

Problem pertama mendorong Ahmad Dahlan melakukan pembongkaran (dekonstruksi) cara beragama menurut kaidah ilmiah. Gerakan perlawanan atas arus utama kaum penghulu kraton dimulai dengan membenahi arah kiblat sesuai perhitungan ilmu falak. Perubahan kecil tapi sangat efektif sebagai terapi kejut dan menimbulkan banyak perdebatan dan diskusi di kalangan ulama konservatif saat itu. Tersingkir dari lingkaran elite kauman adalah risiko yang harus ia terima.

Tantangan kedua, kebodohan dan keterbalakangan, melahirkan momen kreatif Dahlan dan Muhammadiyah untuk melakukan gerakan pembumian al-Ma`un. ”Pendusta agama adalah orang-orang yang shalat tetapi lalai

menyantuni fakir miskin dan menelantarkan kaum yatim” (QS. al-Ma`un 107: 1-4). Fakir miskin adalah kategori yang merujuk pada kemiskinan sebagai akibat langsung kebijakan ekonomi yang mendudukkan kaum pribumi sebagai kelas ketiga, setelah kaum penjajah sebagai kelas pertama, dan Timur Asing sebagai kelas kedua. Karenanya mereka harus puas menjadi kelas pekerja rendahan. Sementara yatim dimaknai sebagai kelompok tertindas oleh kejahatan kolonial secara politik dan kultural. Kebijakan politik kolonial secara sistemik meminggirkan bangsa, khususnya wong cilik (inlander) dari akses berserikat dan

(3)

menjadi lebih feodal ketika berhadapan sesama bangsa sendiri, lebih-lebih di

hadapan para ”londo”.

Semua persoalan ini memaksa Muhammadiyah melakukan aksi transformatif al-Ma`un dalam tiga ranah secara simultan. Yakni ranah sosial-karitatif (feeding, ith`am masakin) berupa santunan makan-minum kepada kaum papa. Ranah pendidikan modern (schooling, tadarrus) dengan menyintesis model pendidikan keagamaan dan pendidikan sekuler untuk mencerdaskan dan mengentaskan bangsa dari kejumudan. Ranah pelayanan sosial (social service)

dan kesehatan (healing) untuk meningkatkan kesejahteraan oemoem (baca: bukan

kesejahteraan ”umat” dalam arti sempit).

Sindrom lain yang tak kalah menantangnya adalah masyarakat ekonomi subsistens. Masyarakat semacam ini memiliki beberapa ciri antara lain: Mereka mendahulukan prinsip yang penting selamat (safety first). Petani menanam padi di sawah atau palawija di ladang sekadar untuk memenuhi kebutuhan hari ini (survival). Mereka tidak memiliki cukup keberanian melakukan perubahan pola tanam maupun memperbesar investasi pertanian dan ladang mereka (Scott, 1981). Dalam kultur agraris seperti ini, warga masyarakat menciptakan mekanisme membagi-bagikan kekayaan kepada semua. Siapa yang paling banyak dan sering membagi kekayaan kepada warga lainnya, dialah yang dipandang sebagai warga terhormat. Kultur kemiskinan ini membuat warga terbiasa dengan etos ekonomi yang rendah. Pembagian kekayaan membawa pada gagalnya akumulasi modal (Migdal, 1974). Ironisnya, mekanisme pembagian kekayaan tadi memperoleh legitimasi dari ajaran-ajaran agama yang menganjurkan sedekah melalui hajat kenduren dan selamatan.

Dalam situasi ini, Muhammadiyah tampil untuk menawarkan cara berpikir dan bertindak rasional. Berpijak pada ideologi pemurnian akidah, dengan slogan

anti-TBC (takhayul, bid’ah dan churafat), pembersihan ajaran-ajaran agama dilakukan. Kenduren dan selamatan direduksi sesuai sunnah Rasulullah. Melalui media pendidikan, dakwah purifikasi ini sangat efektif menyebarluaskan paham

(4)

Artinya, purifikasi dalam konteks ini memperoleh pembenaran dari sisi ruang maupun waktu.

Dalam konteks ini, agaknya Muhammadiyah dekat dengan ciri-ciri gerakan puritanisme. Puritanisme adalah gerakan yang membangun jembatan antara yang transendental dan tindakan manusia. Gerakan ini mendorong kekuatan motif bagi keilmuan baru yang merangsang perkembangan ekonomi baru. Kekuatan besar di balik perubahan ini adalah motif keagamaan sebagai faktor dominan dalam nilai-nilai kultural. Aktivitas-aktivitas duniawi dan capaian-capaian keilmuan

merupakan manifestasi dari Kemuliaan Tuhan dan memperluas kebajikan manusia (Merton, 1970).

Sistem gagasan yang memberikan motivasi ini disebut “etos puritan”. Ciri

-cirinya meliputi: menerima “pemuliaan Tuhan” sebagai tujuan dari semua

eksistensi; ketekunan dalam memenuhi panggilan Tuhan adalah suatu keniscayaan sebagai sarana memuliakan Tuhan; dan pilihan atas panggilan Tuhan harus dibatasi untuk mereka yang mau melayani Tuhan dan kesejahteraan publik.

Muhammadiyah dalam batas-batas tertentu mencerminkan etos kaum puritan. Separuh perjuangannya melukiskan betapa para pegiat gerakan ini menunjukkan keunikan kolaborasi antara akal dan iman. Mereka adalah orang-orang dengan keteguhan iman dan memajukan keimanannya dengan pencarian rasional (reasoned inquiry). Penggunaan akal dan rasionalisasi bahkan juga berlaku untuk memahami doktrin-doktrin agama itu sendiri, di samping soal-soal duniawi. Rasionalisasi termanifestasi dalam gerakan purifikasi atas unsur-unsur

takhayul, bid’ah dan khurafat yang menyelimuti paham-paham dan praktik-praktik keagamaan.

Rasionalisasi dalam kehidupan duniawi mengedepankan progresivisme tindakan. Inilah yang mendorong Muhammadiyah mewujudkan ajaran-ajaran

(5)

mereka yang hidup serba kekurangan. Semua itu berada dalam bingkai syukur atas anugerah Allah dan pengabdian tulus kepada-Nya.

Rasionalisasi sebagai tesis utama Weber berkaitan dengan tumbuhnya etos kerja di kalangan kaum puritan Calvinis sering digunakan oleh banyak peneliti untuk melihat Muhammadiyah. Sebut misalnya Clifford Geertz, James L. Peacock, Irwan Abdullah, Mitsuo Nakamura dan Riaz Hassan. Penelitian Geertz Religion of Java (1960) menemukan bahwa kaum santri modernis dari kalangan Muhammadiyah memiliki etos kerja yang tinggi dan karenanya memilih pasar

sebagai basis ekonomi dan pedagang adalah pekerjaan utama mereka. Hal serupa dikukuhkan oleh Nakamura dalam The Crescent Arises Over the Banyan Tree (1982). Masyarakat Muhammadiyah di Kotagede pada dekade 70-an hidup dari mekanisme pasar dan memiliki kaitan historis dengan kaum pedagang di Kerajaan Mataram sejak beberapa abad lamanya. Dua temuan ini dibantah oleh Peacock dalam Purifying the Faith: The Muhammadijah Movement in Indonesian Islam (1978), yang melihat bahwa Muhammadiyah mengalami kegagalan dalam menumbuhkan etos produktif di kalangan pengikutnya. Namun apa yang disimpulkan oleh Peacock pada akhirnya dibantah oleh Irwan Abdullah dalam The Muslim Bussinessman in Jatinom: Religious Reform and Economic Modernization in Central Javanese Town (1994). Ia melihat Muhammadiyah berjasa melakukan reformasi sosial-budaya dan ekonomi dan mendorong pengikutnya menjadi lebih rasional dan produktif. Sekaligus temuan ini juga merupakan kritik atas pandangan Weber bahwa dalam masyarakat Islam tidak dijumpai tumbuhnya sistem sosial, ekonomi dan politik yang rasional.

Melalui kerangka rasionalisasi ini pula gerakan dakwah purifikasi Islam ala Muhammadiyah sering ditempatkan sebagai islamisasi, oleh Riaz Hassan misalnya. Rasionalisasi merupakan landasan bagi kegiatan sosial dan amal usaha.

Pada saat yang sama kegiatan sosial dan amal usaha ini berada dalam bingkai akidah dan ibadah, sehingga banyak kebijakan sosial politik gerakan Muhammadiyah sulit dipahami dengan teori rasionalisasi.

(6)

pribumisasi Islam. Ini dinyatakan oleh Abdul Munir Mulkhan (2000). Dengan mengacu pada studi kasus masyarakat pedesaan di Wuluhan, Jember, dapat dipahami bahwa meski lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah memperkenalkan modernisasi, fakta membuktikan bahwa itu semua tidak serta merta membuat islamisasi berjalan di kalangan warganya. Sebaliknya yang terjadi adalah proses “pribumisasi” Islam yang membuka ruang toleransi lebih luas terhadap takhayul, bid`ah dan khurafat (TBC) dalam kelompok-kelompok Mu-Nu (Muhammadiyah-NU), Marmud/Munas, dan Kyai Dahlan. Pada saat yang sama,

peran kelompok pendukung Islam Murni yang disebut al-Ikhlas semakin melemah. Peran elite di kalangan mereka berani menentukan keluar dari jalur keputusan resmi keagamaan Tarjih.

Dakwah Puritan-Reformis

Dua dekade menjelang akhir abad 20, ada gejala bahwa Muhammadiyah semakin mengkristalkan diri sebagai kekuatan ideologi keagamaan "dominatif". Yakni ideologi lebih dimaknai sebagai battle cry atau arena propaganda. Organisasi yang dibidani oleh Kyai Ahmad Dahlan ini, mulai tergoda untuk menyatakan perang dan melakukan propaganda (iman) untuk membentuk opini tentang isu-isu tertentu yang boleh dan tidak boleh diperdebatkan, absah dan tidak absah untuk dikritik dan diubah. Atas nama misi suci kembali kepada dua sumber utama

al-Qur’an dan Sunnah dan slogan TBC, mereka berusaha mempertahankan,

menegakkan dan menjunjung tinggi Islam Murni, sembari meminggirkan kekuatan-kekuatan yang dipersepsi sebagai penghalang atau duri bagi tujuan luhur ini.

Untungnya, tantangan besar berupa kemerosotan moral kepemimpinan nasional dibawah rezim orde baru menjadi lompatan bagi Muhammadiyah keluar

(7)

Muhammadiyah di Surabaya, muncul gagasan cerdas perlunya pergantian estafet kepemimpinan nasional.

Krisis kepemimpinan diikuti krisis multidimensi. Kejatuhan dan kebebalan bangkitnya perekonomian nasional menjadi semakin haru biru oleh kebobrokan moral yang hampir sempurna, meminjam Syafii Maarif. Kejahatan kerah putih berupa korupsi dan kolusi penguasa-pengusaha lebih terbuka dan terang-terangan. Nepotisme merajalela. Dalam situasi semacam ini dan tarikan politik praktis yang menguat di seputar pergantian rezim, Muhammadiyah tampil dengan doktrin

"tauhid sosial" sebagai penegasan gerakan purifikasi jilid II. Berbeda dari purifikasi yang pertama, orientasi dakwah Muhammadiyah mentransformasi isu takhayul, bid'ah, dan khurafat (TBC) ke arah pemberangusan kultus individu dan KKN (Rais, 1998). Kultus individu adalah bentuk khurafat dan syirik. Karenanya

harus dienyahkan. Korupsi, kolusi dan nepotisme adalah bid’ah bagi penegakan

pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clean government) dan tata kelola yang baik (good governance), yang ciri-cirinya adalah bersendikan hukum, akuntabel, demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pada saat yang sama, orientasi politik Muhammadiyah berpegang pada perjuangan politik adiluhung (high politic) yang tidak karut marut dalam perebutan jejaring kekuasaan. Gerakan yang terakhir inilah yang disebut sebagai ijtihad kedua yang menyelamatkan wajah lelah Muhammadiyah.

Sidang Tanwir di Semarang menandai pergeseran perjuangan Muhammadiyah di bidang politik. Tarikan sayap politik menguat. Desakan sebagian besar peserta Tanwir menghendaki M. Amien Rais turun ke gelanggang kepemimpinan nasional. Tanwir pada akhirnya memberikan amanat penuh kepada PP Muhammadiyah untuk melakukan ijtihad politik. Hasilnya merelakan Amien dilepas dari jabatan ketua umum, kemudian mendirikan dan memimpin

(8)

Paradigma Dakwah Kultural

Dalam kemelut relasi PAN dan Muhammadiyah yang selalu dipertanyakan dan banyak melahirkan ketidakpuasan, secara mengejutkan lahir wacana ”Dakwah

Kultural” dalam sidang Tanwir di Bali pada 24-27 Januari 2002. Ini merupakan lompatan ide yang patut dihargai. Karena gagasan ini merupakan gejala awal

lahirnya “ijtihad ketiga”. Momentum ini dapat menjadi pendulum pemecah

kejumudan, namun tetap tergantung pada bagaimana respon dan tindak lanjut dari warga Muhammadiyah sendiri.

Dakwah Kultural adalah "upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan-kecenderunga manusia sebagai makhluk budaya secara luas, dalam rangka menghasilkan kultur baru yang bernilia Islami sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya" (PP Muhammadiyah, 2003: 14). Muhammadiyah memahami Dakwah Kultural meliputi dua pintu utama – konvensional dan komunikasi. Yang pertama menyampaikan ajaran Islam melalui ceramah, khutbah, dialog interaktif dan kegiatan tabligh lainnya. Cara ini sudah berlangsung lama dan masih terus digunakan sampai saat ini. Yang kedua sebagai proses interaksi nilai dan saling mempengaruhi dalam rangka terjadinya perubahan pemahaman, keimanan dan pengamalan Islam secara individual; dan perubahan struktur dan norma kehidupan menuju masyarakat madani secara sosial.

Keberpihakan Dakwah Kultural adalah pada nilai-nilai universal kemanusiaan, menerima kearifan dan kecerdasan lokal, dan mencegah kemunkaran dengan memperhatikan keunikan sifat manusia secara individual dan

sosial. Cara dakwahnya “memudahkan” (taysir) dan “menggembirakan” (tabsyir) demi tegaknya nilai-nilai Islam diberbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi,

politik dan budaya (PP Muhammadiyah, 2003: 13).

(9)

Muhammadiyah mengakui secara tulus pentingnya menghargai multikulturalisme, keunikan, dan kekhasan setiap lapisan masyarakat, termasuk mereka yang berada dalam kategori abangan.

Melampaui kebekuan dakwah purifikatif yang selama ini dipandang sebagai ciri khas (idiokrasi dan idiolatri, meminjam Kuntowijoyo) Muhammadiyah, dan ternyata mengalami benturan dan kebuntuan di sana sini, Dakwah Kultural merupakan visi baru agar dakwah dalam arti seluas-luasnya semakin diapresiasi oleh semua kelompok dan aliran. Perubahan orientasi dakwah agar menyentuh

aspek-aspek multikultural dan multireligi, melalui pendekatan kultural yang variatif dengan memandang perubahan ruang dan waktu dan level sosial yang menjadi obyeknya. Dakwah Kultural merupakan terobosan untuk mengalihkan pandangan dari gerakan struktural yang terserap oleh negara, ke gerakan kultural dengan semangat menghargai pluralitas dan kehidupan multikultural.

Memperhatikan pergeseran-pergeseran itu, Dakwah Kultural sesungguhnya mempunyai kesinambungan (continuity) historis dengan perjalanan dakwah yang hampir satu abad itu. Perubahannya (change) terletak pada cara Dakwah Kultural memaknai kembali wacana dan gerakan TBC. Sesuai dengan namanya, Dakwah Kultural hendak menyentuh persoalan-persoalan kebudayaan yang menjadi kebutuhan dan tantangan kontemporer.

Kata “kultural” menekankan distingsi yang berpijak pada makna dan cakupan kebudayaan itu sendiri yang meliputi sistem gagasan (ide), aktivitas dan fungsi, serta bentuk atau materi. Dari sini dapat dipahami, Dakwah Kultural ingin melakukan perubahan, perbaikan dan transformasi dalam cara berpikir, cara bertindak, sekaligus bentuk dan materi kebudayaan.

Kata kunci “kultural” bermakna inovasi dan kreasi. Inilah yang dimaksud

bid’ah dalam arti mencipta dan menemukan hal-hal baru dalam Dakwah Kultural. Sementara itu, "takhayyul" yang selama ini dipahami sebagai “sesuatu yang tidak

ada dalam kenyataan” (Nyai Roro Kidul misalnya), dipahami oleh Dakwah

(10)

produktif karena suka “berkhayal”. Imajinasi adalah anugerah yang membuat manusia berbeda dari makhluk lain. Pada sisi ini, Dakwah Kultural merupakan penegasan pentingnya pendekatan `irfani sebagaimana Manhaj Tarjih yang diputuskan Muktamar Muhamamdiyah ke 44 di Jakarta (2000). Dakwah Kultural memperoleh dukungan metodologis dari pendekatan `irfani, karena hanya dengan pendekatan inilah realitas imajinatif dapat dipahami, meskipun masih diperdebatkan di kalangan Muhammadiyah.

Dakwah kultural juga menuntut kemampuan untuk menciptakan “mitos”.

Mitos di sini dimaknai sebagai ”upaya membangun cita-cita sosial baru” tentang masyarakat utama (khayr ummah), desa sejahtera (qaryah thayyibah) dan keluarga sakinah (usrah sakinah). Semua ini lahir dari rahim pikiran Muhammadiyah namun belum pernah memperoleh tempat yang layak untuk dipikirkan kembali (rethinking), lebih-lebih dalam aplikasi. Menciptakan dan membangun cita-cita sosial dalam wilayah-wilayah kultural dan keragamaan semacam ini memerlukan keseriusan strategi kebudayaan dan langkah-langkah konkret untuk mencapainya.

Berbeda dari dua model dakwah Muhammadiyah sebelumnya, Dakwah Kultural memanfaatkan dan membangkitkan kemampuan imajinatif individu dan masyarakat agar kehidupan semakin estetik (indah), holistik, simbolik (dalam arti makin beradab), dan cerdas. Dakwah Kultural mendorong, memotivasi, dan mengondisikan individu dan masyarakat untuk terus mencipta dan menemukan

berbagai hal baru (bid’ah) baik dalam ide (pemikiran, wacana, teori), aktivitas

(praksis, gerakan), dan bentuk-bentuk material kebudayaan (amal-amal usaha). Dakwah Kultural juga mengeksplorasi seluruh kemampuan untuk meredefinisi

“mitos” (cita-cita sosial, meminjam istilah Mohammed Arkoun), mereproduksi, bahkan memproduksi mitos baru untuk mambangun citra keberagamaan,

keber-islam-an, dan keber-muhammadiyah-an dalam rangka menuju masyarakat utama (al-mujtama` al-madani).

(11)

penindasan struktural massif, menuntut transformasi intelektual dan falsafah amal usaha. Redefinisi atas peran-peran pelayanan sosial – dari sekolah, panti asuhan, klinik kesehatan dan sebagainya – merupakan kebutuhan mendesak. Rezim kapitalisasi amal-amal usaha Muhammadiyah mulai berkarat. Sudah saatnya Muhammadiyah mereposisi amal usaha yang karatan itu dengan cara

mengoleskan kembali oli “keberpihakan” dan “pembelaan” spirit al-Ma`un terhadap kaum mustad`afin yang makin kompleks realitas dan struktur sosialnya. Melalui jalan ini, Dakwah Kultural yang imajinatif, pro kreasi dan inovasi, serta

bercita-cita ke depan, menemukan kembali jati diri sebagai gerakan tajdid yang mampu mentajdid gerakannya menuju transformasi al-Ma’un jilid mutakhir.

Tantangan Kontemporer

Seiring bergulirnya waktu, tantangan ikut berubah. Sayangnya, Muhammadiyah sering terlambat menyadari perubahan itu. Muktamar Muhammadiyah di Malang (2005) yang beritikad melakukan "tajdid gerakan" justru menampilkan fenomena kebalikannya, baik selama muktamar berlangsung maupun sesudahnya. Ada beberapa gejala yang menjadi ironi atau bahkan sarkasme bagi "tajdid gerakan". Dalam berbagai sidang dan forum muktamar, suara perempuan "dilecehkan", tidak jarang pandangan-pandangan peserta perempuan mendapat sambutan "huuuuuu" dari peserta lelaki. Dalam muktamar ini pula suara keras dan menghakimi terhadap perbedaan pemikiran dalam Muhammadiyah mudah dijumpai. Sebelum muktamar berlangsung, beredar sejumlah nama tokoh Muhammadiyah dari berbagai kalangan yang "dituduh" sebagai liberal-sekular. Pembunuhan karakter semacam ini juga ditemukan dengan beredarnya selebaran-selebaran gelap mengatasnamakan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Yogyakarta yang berisi memojokkan tokoh tertentu.

(12)

"perselingkuhan" organisasi dan ideologi (Kahmad, dalam Baidhawy dkk, 2007: 71-73)

Beberapa indikasi terakhir ini menunjukkan sayap kanan Muhammadiyah mulai memperoleh tempat. Sayap kanan ini memapankan diri menjadi kekuatan imperatif yang tabu atas perkembangan pemikiran Islam vis a vis akselerasi tantangan kontemporer. Muhammadiyah seolah-olah terkesan seperti kekuatan dominatif-hegemonik yang mempunyai legitimasi untuk melakukan penindasan demi menjaga Islam Kaffah.

Kelompok ini memahami dan menempatkan realitas kehidupan dalam dua sisi yang saling bertentangan secara diametral. Suatu pendekatan oposisi biner yang membagi dunia dalam dua kutub positif-negatif. Melalui pendekatan ini, Islam dan realitas keber-islam-an mengalami simplifikasi ke dalam dua polar:

yakni “Islam Kaffah” versus “bukan Islam Kaffah”.

Islam kaffah adalah satu-satunya paham keagamaan dan cara beragama yang dipandang ortodoks (murni dan utuh), sementara lawannya adalah paham dan cara yang telah terkontaminasi atau tercampuri unsur-unsur asing, dan karenanya disebut heterodoks atau sinkretik. Bertolak dari klaim ortodoksi itulah mereka memperoleh pembenaran untuk melakukan hegemoni. Hegemoni tampak pada proses pengarus-utamaan paham keagamaan tersebut atas paham-paham yang bercorak lain atau keluar dari mainstream dalam Muhammadiyah. Meskipun untuk keberhasilan upaya hegemoni ini, mereka harus memanipulasi diri sebagai paham keagamaan tanpa mazhab, namun sesungguhnya lebih menyandarkan diri pada paham keagamaan a la wahabi (sebagian menyebutnya salafi) dengan daya

dukung struktural untuk memberangus sang “lian” (the other) dan yang berbeda (the different). Atas dasar kekaffahan (totalitas) itu pula paham ini merasa berhak untuk melakukan "penindasan" secara fisik maupun psikis pada mereka yang

secara aqidah tidak sejalan ideologinya.

(13)

al-Qur'an dan al-Sunnah yang diterima), membuat mereka terbebani tanggung jawab mempertahankannya. Para penganjurnya sering menuduh, memojokan “Muslim

lain”, “Muhammadiyah lain” yang tidak sepaham sebagai “heresy” (sempalan) yang dipenuhi takhayul, bid’ah dan khurafat (TBC), dan karenanya dianggap sesat (dhalalah). Terhadap kelompok Muslim yang sedang mengembangkan wacana

dan pemikiran, mereka melabelkan “liberal-sekular”. Sedangkan kepada

kelompok yang cenderung mendalami kehidupan spiritual, mereka tuduhkan

“klenik-takhayul”.

Baru kali ini terjadi dalam tubuh Muhammadiyah klaim kebenaran (truth-claim) sedemikian kerasnya. Klaim ini pada akhirnya diiringi dengan penilaian bahwa mereka yang sesat itu distempel sebagai penghuni neraka. Hanya paham mereka satu-satunya jalan menjamin keselamatan. Karena itu, para pendukungnya yang fanatik merasa bertanggung jawab untuk menegakkan dan menjunjung tinggi klaim Islam Murni, dan memandang perlu untuk mengislamkan kembali dan atau memurtadkan mereka yang tersangka tidak islami, amoral, atau dalam kesesatan. Inilah yang secara istilahi dapat disebut sebagai Islam Murni's burden,

tanggung jawab “memperadabkan” individu maupun kelompok yang

menyimpang dari jalan lurus mereka.

Dari sini tampak bahwa ada kegairahan yang terus menyala pada kelompok ini untuk tetap dominan dan memegang supremasi terhadap mereka yang marginal dan pinggiran. Adalah faktual bahwa para penganjurnya melakukan diskriminasi atas nama paham dan praktek keagamaan. Islam populer, Islam tradisi, Islam liberal, dan sebagainya, diposisikan pada level bawah cara beragama, atau bahkan

bid’ah yang merusak tatanan (kosmos) agama, menurut kacamata mereka. Mereka

biasanya menarik garis batas tegas antara “mereka” dan “kami”. Inilah segregasi yang sengaja diciptakan melalui istilah yang cukup populer di kalangan mereka,

yakni “minna wa minhum”. “Minna” adalah representasi golongan kanan, kelompok dengan klaim kebenaran absolut; dan “minhum” sebagai wakil

golongan lain, kelompok sekte/sempalan dan penuh kesesatan (ahl al-bid’ah wa al-dhalalah). Beban teologis semacam ini membawa pembenaran bagi mereka

(14)

Masalah etos kerja merupakan tantangan lain bagi Muhammadiyah. Etos kerja dan kebajikan dalam kewirausahaan tak dapat dipungkiri sebagai penggerak falsafah amal Muhammadiyah dengan semboyan sedikit bicara banyak bekerja. Keduanya mendorong pendirian berbagai amal sosial di bawah panji Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Setidaknya ada tiga ranah utama bidang sosial yang dikembangkan Muhammadiyah. Yakni, bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah modern (schooling). Bidang layanan kesehatan dengan mendirikan banyak rumah sakit, rumah bersalin, poliklinik, dan

semacamnya (healing). Dan bidang santunan sosial seperti panti asuhan, panti jompo, dan bantuan karitatif lainya (feeding).

Pemilihan nama majelis Penolong Kesengsaraan “Oemoem” memiliki

maksud tesendiri bagi Muhammadiyah. Istilah “Oemoem” dipilih dengan visi bahwa seluruh kerja dan amal usaha atas nama Muhammadiyah ditujukan untuk memberikan pelayanan dan kesejahteraan bagi semua manusia tanpa memandang agama, etnik, kultur, ras, kaya, miskin, dan sebagainya.

Falsafah lain yang sangat penting sebagai landasan amal adalah ruh al-Ma`un yang secara berulang-ulang disampaikan KH. Ahmad Dahlan kepada santri-santrinya. Pendusta agama adalah orang-orang yang shalat namun tidak berpihak dan peduli kepada orang miskin dan menelantarkan anak yatim. Falsafah al-Ma`un ini sangat sentral dalam teologi Muhammadiyah. Falsafah yang terakhir ini memiliki kaitan erat dengan etos kerja dan kewirausahaan. Artinya, kerja keras warga Muhammadiyah dimaksudkan untuk menghasilkan surplus pendapatan dan kekayaan. Surplus itu ditujukan untuk melahirkan kebajikan berupa pemihakan, pelayanan dan pemberdayaan atas orang-orang miskin dan tertindas.

Ironinya, amal usaha Muhammadiyah kini mulai tidak tahan godaan

(15)

Muhammadiyah sama mahalnya dengan sekolah lain. Filosofi education for all sebagai basis pendidikan inklusi bukan dimaknai terbuka untuk semua termasuk bagi mereka yang tidak sanggup bayar uang gedung dan sumbangan pendidikan. Di samping itu, orang miskin dilarang sakit dan berobat di rumah sakit PKU karena dipastikan tidak mampu membayar jasa kesehatan.

Tampaknya ada perubahan baik secara simbolik maupun substantif dalam

amal usaha Muhammadiyah. Perubahan simbolik dari “Penolong Kesengsaraan

Oemoem” menjadi “Pembinaan Kesejahteraan Umat”. Makna “Umat” pun mengalami penyempitan luar biasa, yakni “umat berkantong tebal”. Perubahan substantif dari orientasi kebajikan menuju “keuntungan”. Panggilan (beruf) atas nama Allah untuk mengabdi pada pelayanan masyarakat mulai menyusut.

Dalam masyarakat yang terobsesi dengan kekayaan, kekuasaan, dan imperatif kesuksesan material, sudah selayaknya Muhammadiyah menegaskan kembali khittah al-Ma`un sebagai opsi “keberpihakan kepada kaum mustad`afin” secara serius. Muhammadiyah harus menyediakan diri untuk memobilisasi orang-orang miskin agar mereka mampu melompati gerbang harapan yang membawa mereka lepas dari jurang penindasan. Mobilisasi ini harus dipandu oleh sejumlah konsep gerakan yang viable berorientasi pada aksi langsung, bahkan juga memiliki analisis yang efektif tentang Sistem Dominasi dan Hegemoni, dan

berakar pada etika profetik qur’anik, transformasi nirkekerasan dan cinta

kemanusiaan. Disamping kombinasi teori dan praksis itu adalah refleksi kritis dan kesadaran kritis yang membimbing organisasi sosial ini.

Efektifitas Muhammadiyah membutuhkan partisipasi dan integrasi kaum intelektual, kaum tertindas, para aktivis dan agamawan, sehingga memperoleh kekuatannya dari keragaman partisipan dan ketaatannya pada aksi langsung. Ini semua akan menghasilkan konsesi signifikan bagi kaum tertindas melalui gerakan

sosial baru yang visibel. Hanya dengan mencelupkan diri (sibghah) dalam perjuangan mengentaskan kemiskinan Muhammadiyah berpartisipasi menegakkan keadilan sosial.

Muhammadiyah tidak dapat mengabaikan struktur kekuasaan kapan dan di

(16)

tentang dosa dan kejahatan sebagai “fakta sosial dan historis” (dhunub al-ijtima`iyah) yang merupakan cermin ketiadaan cinta dalam hubungan antarmanusia dan juga dalam hubungan manusia dengan Allah. Menurut teologi al-Ma`un, dosa menuntut pembebasan radikal dan pada akhirnya pembebasan politik. Dari perspektif ini, struktur kekuasaan yang menciptakan ketidakadilan dan ketimpangan sosio-ekonomi adalah inti kejahatan di muka bumi.

Menghadapi skenario pertumbuhan kesenjangan yang semakin lebar, teologi al-Ma`un berada pada titik kritis waktu. Untuk kepentingan itu, diskusi-diskusi

yang fokus pada teologi serta implikasi-implikasi sosio-ekonomi dan politik dari pesan-pesan qur’anik itu menjadi batu tumpuan sebagai kabar baik dan spirit bagi orang-orang miskin baru. Hanya dengan cara ini, Muhammadiyah dapat kembali ke khittah awal sebagai gerakan al-Ma`un dengan wajah praksis sosial baru yang lebih manusiawi.

Peluang Menuju Gerakan Keilmuan

Di samping tantangan-tantangan kontemporer di atas, kegelisahan lain yang perlu dipertimbangkan untuk tajdid gerakan dalam kerangka pengembangan etos keilmuan adalah basis sosial pendukung riil Muhammadiyah. Memang benar bahwa KH. Ahmad Dahlan adalah seorang ulama sekaligus saudagar yang berkeliling dari satu kota ke kota lain untuk berdagang sambil berdakwah. Jiwa wiraswasta ini membuatnya memiliki independensi baik secara ekonomi maupun intelektual. Ia membiayai sendiri kegiatan misinya dan keteguhan pandangannya tak tergoyahkan.

Demikian pula Muhammadiyah awal hingga dekade 50-an seperti yang disebut Geertz. Mereka berjiwa dagang. Nakamura juga menunjukkan hal serupa, namun dengan menghubungkan warisan kewirausahaan dari zaman kerajaan

(17)

Seiring dengan laju pembangunan dan modernisasi pendidikan, Muhammadiyah dengan banyak amal usaha modern di bidang ini telah banyak melahirkan kaum terpelajar. Berkembangnya diferensiasi fungsi-fungsi sosial menjadikan kehidupan terus tumbuh dan lapangan-lapangan kerja baru sesuai dengan kompartementalisasi ilmu pengetahuan meningkat pesat. Di sinilah kemudian atas dasar link and match mendorong para lulusan sekolah Muhammadiyah dan lainnya berduyun-duyun memperebutkan banyak posisi baru dalam departemen-departemen pembangunan. Perubahan cara pandang atas

kehormatan sosial seseorang dilihat dari status kepegawaian dan jabatannya sebagai tenaga terampil di departemen-departemen milik pemerintah itu. Semua ini merupakan awal terjadinya perubahan basis sosial Muhammadiyah dari kaum pedagang ke pegawai negeri dan atau swasta Muhammadiyah maupun non-Muhammadiyah.

Mayoritas elite Pimpinan Pusat hingga ranting Muhammadiyah saat ini lebih banyak ditempati oleh para pegawai negeri. Orang-orang seperti Ahmad Syafii Maarif, Din Syamsuddin, Amin Abdullah, Abdul Munir Mulkhan, Dasron Hamid, Abdul Mu`ti, A. Syafiq Mughni, Rosyad Sholeh, M. Amien Rais, dan lain-lain adalah pegawai negeri aktif atau pensiunan. Mungkinkah model pembaruan ala Protestan-Calvinis itu masih relevan untuk warga Muhammadiyah yang mayoritas pegawai negeri. Atau ada kebutuhan akan model pembaruan lain yang lebih relevan dengan mempertimbangkan kenyataan basis sosial tersebut dan tantangan-tantangan zamannya yang lebih kompleks dan complicated?

Mengingat basis pegawai negeri dan kampus-kampus cukup kuat, mungkin usulan Kuntowijoyo (1995) mengenai pengembangan etos keilmuan perlu dipertimbangkan. Syafii Maarif menyebutnya dengan harakah al-`ilm. Artinya, sesuai dengan episteme kini dan di sini, umat perlu berupaya meng-ilmu-kan

(18)

tersebar di seluruh penjuru tanah air, merupakan sumberdaya manusia yang memungkinkan untuk menggerakkan visi tersebut menjadi kenyataan.

Daftar Bacaan

Geertz, Clifford. Religion of Java. New York: Free Press of Glencoe, 1960.

Kahmad, Dadang,"Migrasi Jamaah Sebuah Keniscayaan Sosiologis dan Kritik Bagi Muhammadiyah", dalam Zakiyuddin Baidhawy dkk, Migrasi Jamaah: Tantangan Dakwah Muhammadiyah Jelang Satu Abad. Yogyakarta: Panji, 2007: 71-101.

Kuntowijoyo.Islam Paradigma untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1995.

Merton, Robert K. Science, Technology and Society in Seventeenth Century England. New York: Harper & Row, 1970.

Mulkhan, Abdul Munir. Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Yogyakarta: Bentang, 2000.

Nakamura, Mitsuo. The Crescent Arises Over the Banyan Tree. Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1982.

Peacock, James. L. Purifying the Faith: The Muhammadijah Movement in Indonesia Islam. California: The Benyamin/Cumming Publishing House, 1984.

PP Muhammadiyah. Dakwah Kultural Muhammadiyah. 2003.

Rais, M. Amien. Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan. Bandung: Mizan, 1998.

Migdal, Joel S. Presents, Politics, and Revolution, Pressure toward Political and Social Change in Third World. Princeton University Press, 1974.

Scott, James C. Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, 1981.

Referensi

Dokumen terkait

Dimana asumsi dasarnya penelitian studi kasus ini merupakan aktifitas sosial yang diciptakan melalui interaksi sosial, baik yang berada diranah budaya, politik,

Muhammad Darwin Wahyu Ramadhan, 2020, 201310360311062, Universitas Muhammadiyah Malang, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Pengaruh

Dari deskripsi di atas, dapat ditarik benang merah bahwa Amal usaha Muhammadiyah Taman Sidoarjo didirikan untuk memperjuangkan maksud dan tujuan organisasi dengan selalu

Persyarikatan muhammadiyah adalah salah satu organisasi yang cukup berperan besar terhadap dinamika kehidupan masyarakat terutama riau, sekalipun telah banyak amal usaha yang

Eksistensi Muhammadiyah dalam bidang sosial, khususnya pengentasan kemiskinan, organisai ini memiliki wadah atau mekanisme dengan melakukan amal usaha sepeti