• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI ONLINE YANG MENCANTUMKAN GAMBAR DAN TESTIMONI HOAX DI PONOROGO SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI ONLINE YANG MENCANTUMKAN GAMBAR DAN TESTIMONI HOAX DI PONOROGO SKRIPSI"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

ii

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI ONLINE YANG MENCANTUMKAN GAMBAR DAN TESTIMONI HOAX DI PONOROGO

SKRIPSI

Oleh :

FEBRINA FITRI PERMATASARI SANTOSO NIM 210214181

Pembimbing : ISNATIN ULFAH, M.H.I. NIP. 197407142005012003

JURUSAN MUAMALAH FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

(2)

iii

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi atas nama saudara:

Nama : Febrina Fitri Permatasari Santoso

NIM : 210214181

Jurusan : Muamalah

Judul : Tinjauan Hukum Islam terhadap Jual Beli Online yang Mencantumkan Gambar dan Testimoni Hoax di Ponorogo

Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji dalam ujian muna>qasah.

Ponorogo, _____, _____ 20_____

Mengetahui Ketua Jurusan

Atik Abidah, M.S.I. NIP. 197605082000032001

Menyetujui Pembimbing

(3)

iv

KEMENTERIAN AGAMA RI

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO PENGESAHAN

Skripsi atas nama saudara:

Nama : Febrina Fitri Permatasari Santoso

NIM : 210214181

Jurusan : Muamalah

Judul : Tinjauan Hukum Islam terhadap Jual Beli Online yang Mencantumkan Gambar dan Testimoni Hoax di Ponorogo Skripsi ini telah dipertahankan pada sidang muna>qasah Fakultas Syariah Institut

Agama Islam Negeri Ponorogo pada:

Hari : Rabu

Tanggal : 11 Juli 2018

Dan telah diterima sebagai bagian dari persyaratan untuk memperoleh gelar

sarjana dalam Ilmu Syariah pada:

Hari : Rabu

Tanggal : 18 Juli 2018

Tim Penguji

1. Ketua Sidang :Dr. H. Moh. Munir, Lc., M.Ag. ( )

2. Penguji :Dr. Saifullah, M.Ag. ( )

3. Sekretaris :Isnatin Ulfah, M.H.I. ( )

Ponorogo, 18 Juli 2018

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah

(4)

v

ABSTRAK

Santoso, Febrina Fitri Permatasari. 2018. Tinjauan Hukum Islam terhadap Jual Beli Online yang Mencantumkan Gambar dan Testimoni Hoax di Ponorogo. Skripsi. Jurusan Muamalah, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo. Dosen Pembimbing Isnatin Ulfah, M.H.I.

Kata kunci: Hukum Islam, Jual Beli, Online, Gambar dan Testimoni Hoax

Bisnis jual beli online sedang marak dan berkembang pesat di Ponorogo. Jejaring sosial dan aplikasi pesan pribadipun tak luput dari para penjual dunia maya, mulai dari forum jual beli online di facebook, whatsapp, BBM (BlackBerry Messenger), line, dan instagram. Omset yang besar dan cenderung mudah, rupanya menjadi daya tarik tersendiri untuk berjualan secara online. Penjual onlinepun tak selalu para pedagang professional, mulai dari pelajar, mahasiswa, karyawan, serta ibu rumah tangga berlomba-lomba menjadi penjual terpercaya.Namun, banyak ditemui kasus di Ponorogo, para pelaku bisnis online yang melakukan tindakan ketidaksesuaian dalam jual beli dengan mencantumkan gambar dan testimoni

hoax pada jual belinya agar menarik perhatian pembeli.

Berdasarkan hal tersebut, penulis bermaksud meninjau fenomena dikalangan penjual onlinedari sudut pandang hukum Islam. Adapun hal menarik yang akan penulis angkat adalah bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap jual beli online

yang mencantumkan gambar hoax di Ponorogo serta bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap jual beli online yang mencantumkan testimoni hoax di Ponorogo. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian lapangan (fieldresearch). Untuk memperoleh data yang dibutuhkan, penelitian ini menggunakan tehnik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi, kemudian dianalisa dengan tiga alur kegiatan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan menggunakan metode induktif, yaitu metode yang menekankan pada pengamatan dahulu, lalu menarik kesimpulan berdasarkan pengamatan tersebut.

(5)

1

`BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam menganggap penting urusan muamalah. Islam juga mengatur

hubungan antara manusia dengan manusia lainnya. Islam menyuruh kita agar

mencari rezeki yang halal. Dengan kata lain, Islam tidak menganggap penting

urusan akhirat saja, Islam menghendaki kesejahteraan hidup manusia baik di

dunia dan di akhirat.1

Jual beli dalam Islam tidak terlepas dari kehidupan bermuamalah,

karena jual beli adalah bentuk dasar dari kegiatan ekonomi manusia dan

merupakan aktivitas yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Sembilan

dari sepuluh pintu rezeki adalah melalui berdagang. Artinya, melalui

perdagangan (jual beli) inilah, pintu-pintu rezeki akan dapat dibuka sehingga

karunia Allah terpancar karena hal ini diperbolehkan.2

Jual beli termasuk mata pencaharian yang lebih sering dipraktikkan

para sahabat Rasulullah SAW dibanding dengan mata pencaharian lainnya,

seperti pertanian. Di samping itu, karena manfaatnya lebih umum dirasakan

dan banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian, Islam tidak

menghendaki pemeluknya melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan

1

Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), 2-3. 2Tira Nur Fitria, “Bisnis

(6)

ajarannya, seperti praktik riba> dan penipuan,3 seperti firman Allah QS.

Al-Baqarah 275,4

...









...

...Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...5

Jual beli merupakan tukar menukar harta benda atau sesuatu yang

diinginkan dengan sesuatu yang sepadan melalui cara tertentu yang

bermanfaat. Hal ini telah dipraktikkan oleh masyarakat primitif ketika uang

belum digunakan sebagai alat tukar menukar barang, yaitu dengan sistem

barter.6 Barter merupakan sebuah kegiatan dagang yang dilakukan dengan

cara mempertukarkan komoditi yang satu dengan komoditi lain. Jadi dalam

barter terjadi proses jual beli namun pembayarannya tidak menggunakan

uang, melainkan menggunakan barang.7 Meskipun jual beli dengan sistem

barter telah ditinggalkan, diganti dengan sistem mata uang, tetapi terkadang

esensi jual beli seperti barter masih berlaku.8

Di sisi lain, barter ditinggalkan karena semakin banyak dan

kompleksnya kebutuhan manusia, semakin sulit melakukan barter sehingga

mempersulit muamalah antar manusia. Itulah sebabnya manusia dari dulu

sudah memikirkan perlunya suatu alat tukar yang dapat diterima oleh semua

pihak. Alat tukar demikian disebut uang. Uang merupakan inovasi besar

3

Ibid. 4al-Qur’a>n

, 2: 275. 5

Departemen Agama RI, al-Qur’a>n dan Terjemahannya (Bandung: Diponegoro, 2005), 47.

6

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana, 2013), 101. 7

Umi Riyanti, Jual Beli Barter dalam Perspertif Ekonomi Syariah (Skripsi IAIN Palangkaraya 2016), 7.

8

(7)

3

dalam peradaban perekonomian dunia, posisinya sangat strategis dalam

sistem ekonomi, dan sulit untuk diganti dengan media lainnya. Sepanjang

sejarah keberadaannya, uang memainkan peran penting dalam perjalanan

kehidupan manusia. Uang berhasil memudahkan dan mempersingkat waktu

transaksi pertukaran barang dan jasa. Uang dalam sistem ekonomi

memungkinkan perdagangan berjalan secara efektif dan efisien. Keberadaan

uang menyediakan alternatif transaksi yang lebih mudah daripada barter.9

Jual beli yang biasa dilakukan oleh masyarakat adalah bertemuanya

penjual dan pembeli di suatu tempat untuk melakukan suatu transaksi tukar

menukar barang dengan uang sebagai alat transaksinya. Sedangkan pada era

modern dan era teknologi saat ini, jual beli tidak mesti berhadapan langsung

tetapi sudah bisa via internet (e-mail) dan telepon, atau jual beli melalui kartu debit (debet card) atau kartu kredit (credit card), syariah charge card, dan pembayaran melalui cek/giro.10

Jual beli yang melalui internet disebut sebagai jual beli online. Jual beli online diartikan sebagai jual beli barang dan jasa melalui media elektronik, khususnya melalui internet atau secara online. Salah satu contoh adalah penjualan produk secara online melalui internet. Jual beli via internet adalah jual beli yang terjadi di media elektronik, yang mana transaksi jual beli

tidak mengharuskan penjual dan pembeli bertemu secara langsung atau saling

menatap muka secara langsung, dengan menentukan ciri-ciri, jenis barang,

9

Santi Endriani, “Konsep Uang: Ekonomi Islam vs Ekonomi Konvensional,” Anterior Jurnal Volume 15, 1 (Desember 2015), 70-71.

10

(8)

sedangkan untuk harganya dibayar terlebih dahulu baru diserahkan

barangnya.11

Dalam jual beli online, penjual dituntut bersikap tidak kontradiksi secara disengaja antara ucapan dan perbuatan dalam bisnisnya. Mereka

dituntut tepat janji, tepat waktu, mengakui kelemahan dan kekurangan, selalu

memperbaiki kualitas barang atau jasa secara berkesinambungan serta tidak

boleh menipu dan berbohong. Penjual harus memiliki amanah dengan

menampilkan sikap keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan

berbuat yang baik dalam segala hal, apalagi berhubungan dengan pelayanan

masyarakat. Dengan sifat amanah, pelaku usaha memiliki tanggung jawab

untuk mengamalkan kewajiban-kewajibannya.12

Jual beli di atas sangat berbeda dengan aktivitas jual beli online yang diterapkan pada beberapa kasus jual beli online di Ponorogo. Di Ponorogo sendiri, terdapat beberapa jual beli online yang menjual pakaian, jilbab, tas, sepatu, makanan, minuman, kebutuhkan pokok, buku, atau bahkan kosmetik.

Kebutuhan dan minat beli masyarakat yang tinggi di Ponorogo dimanfaatkan

oleh para pelaku usaha untuk membuka bisnis online. Banyak ditemui kasus, para pelaku bisnis online yang melakukan tindakan ketidaksesuaian antara gambar yang diposting dengan barang yang sebenarnya.13

Dari pengamatan penulis, diketahui bahwa ada beberapa permasalahan

kompleks yang terjadi pada jual beli online di Ponorogo. Di antaranya adanya

11Nur, “Bisnis Jual”, 55. 12

Veithzal Rivai dan Andi Buchari, Islamic Economics: Ekonomi Syariah Bukan OPSI, Tetapi Solusi! (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), 237.

13

(9)

5

penjual online yang mencantumkan gambar hoax14 serta menggunakan testimoni hoax15 pada jual belinya agar menarik para pembeli.16

Terkait gambar hoax, yang dimaksud adalah gambar yang diposting dalam media sosial tidak sesuai dengan barang yang sebenarnya. Terkadang

penjual juga tidak menjelaskan klasifikasi barang yang dijual. Gambar barang

di media sosial terlihat menarik dan bagus, namun setelah barang diterima

oleh pembeli, barang yang diterima jauh berbeda dengan gambar yang

diposting. Sedangkan testimoni hoax yang dimaksud merupakan testimoni yang biasanya diambil dari testimoni yang diupload oleh penjual lain.17

Misalnya pada jual beli online Us Shop, sebagaimana dikatakan penjual alasannya mencantumkan gambar hoax, “saya mentantumkan gambar

hoax agar jual beli online saya menarik perhatian pembeli mbak.” Dalam testimoni hoaxpun ia juga mencantumkan, sebagaimana penuturannya, “saya

menggunakan testimoni hoax untuk lebih meyakinkan pembeli yang akan membeli pada jual beli saya bahwa jual beli saya ramai dikunjungi pembeli

dan pembeli merasa puas dengan barang-barang yang mereka beli mbak.”18

Dalam Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang hukum dan

pedoman bermuamalah melalui media sosial telah dijelaskan tentang larangan

memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya

14

Gambar hoax adalah informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi sebenarnya. (lihat Budi Mansyah, Fenomena Berita Hoax Media Sosial (Facebook) dalam Menghadapi Pemilihan Umum Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017 (Skripsi Universitas Pasundan 2017), 19.)

15

Testimoni hoax adalah pengakuan atau dukungan terhadap suatu bisnis dari konsumen yang puas. (lihat Sabrina Setiawati, Pengaruh Testimonial Produk Pakaian terhadap Tindakan Membeli Secara Online (Skripsi Universitas Ageng Tirtayasa 2015), 14-15.)

16

Observasi RnB Shop, Tanggal 6 Februari 2018, Pukul 18.30 WIB. 17

Observasi di outlet Ale Olshop, Tanggal 6 Februari 2018, Pukul 15.00 WIB. 18

(10)

konten/informasi tentang hoax; menggunjing; fitnah; adu domba; aib;

bullying; ujaran kebencian; dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan/atau khalayak, serta memproduksi dan/atau menyebarkan

konten informasi yang bertujuan untuk membenarkan yang salah atau

menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan

sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak.19

Di dalam hukum Islam juga dijelaskan bahwa penjual harus

mempunyai niat baik (suci) serta jujur dan amanah agar jual belinya berhasil.

Niat baik (suci) yang dimaksud adalah tidak ada unsur penipuan. Penjual

harus melakukan aktivitas jual beli yang akan menghantarkan seseorang

merasa berkecukupan dengan rezeki yang halal, dan akan mendapat

pertolongan serta dimudahkan dalam proses melaksanakan akad jual beli.

Jujur dan amanah juga akan mendatangkan keberkahan bagi para penjual.

Penjual yang seperti ini akan diridai Allah dan akan bertambah pelanggannya,

sedangkan penjual yang berbohong sekalipun mendapatkan untung besar,

namun tidak mendatangkan keberkahan dan para pelanggan yang dicurangi

tidak akan lagi membeli kepadanya.20 Hukum Islam pun juga melarang

penjual menjual barang yang tidak jelas atau ghara>r, karena jual beli yang

seperti ini akan mengandung resiko atau bahaya kepada salah satu pihak

sehingga mendatangkan kerugian finansial.21

19

Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 Tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial.

20

Hidayat, Fiqih Jual, 27-30. 21

(11)

7

Dari beberapa uraian di atas peneliti akan melakukan penelitian

tentang tinjauan hukum Islam terhadap jual beli online di Ponorogo yang mencantuman gambar serta testimoni hoax. Dalam hal ini, peneliti membatasi pada jual beli online yang menjual produk wanita seperti pakaian, jilbab, tas, sepatu, botol minuman, dan make up karena penipuan paling banyak terjadi

pada produk tersebut.

Jual beli online di Ponorogo dipilih sebagai lokasi penelitian, karena di Ponorogo terdapat banyak penjual online. Selain itu jual beli online di Ponorogo terdapat praktik penjual yang tidak sesuai aturan, sehingga dapat

menjawab masalah pokok dalam penelitian ini.

Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti ingin

melakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Jual

Beli Online yang Mencantumkan Gambar dan Testimoni Hoax di Ponorogo”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat

diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap jual beli online yang mencantumkan gambar hoax di Ponorogo?

(12)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam melakukan

penelitian adalah untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang telah

diidentifikasikan di atas, yaitu:

1. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap jual beli online yang mencantumkan gambar hoax di Ponorogo.

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap jual beli online yang mencantumkan testimoni hoax di Ponorogo.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, maka

kegunaan penelitian yang diharapkan adalah:

1. Secara teoritik: Memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan

ilmu ekonomi Islam tentang jual beli online yang benar, serta menjadi rujukan penelitian selanjutnya.

2. Secara praktis: Dijadikan bahan rujukan dalam berbisnis bagi para

pembaca pada umumnya, dan para penjual online di Ponorogo pada khususnya untuk berperilaku sesuai ketentuan hukum Islam.

E. Telaah Pustaka

Dalam telaah pustaka ini penulis mengemukakan hasil penelitian yang

(13)

9

Skripsi Mochammad Huda, UIN Sunan Ampel Surabaya yang

berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Transaksi Jual Beli Dengan Sistem Online. Skripsi ini mengangkat masalah tentang praktik transaksi jual beli dengan sistem online dan tinjauan hukum Islam terhadap transaksi jual beli dengan sistem online. Skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan jenis penelitian lapangan. Kesimpulan dari skripsi ini adalah praktik transaksi

jual beli dengan sistem online merupakan proses pertukaran dan distribusi informasi antara dua pihak di dalam satu perusahaan online dengan menggunakan internet dengan cara melakukan browsing pada situs-situs

perusahaan yang ada, memilih suatu produk, menayakan harga, membuat

suatu penawaran, sepakat untuk melakukan pembayaran, mengecek indentitas

dan validitas mekanisme pembayaran, penyerahan barang oleh penjual dan

penerimaan oleh pembeli. Sistem jual beli online dalam konteks hukum Islam diperbolehkan karena dalam sistem jual beli ini tidak mengandung unsur

penipuan, barang yang dijual sesuai dengan informasi yang telah ada pada

website yang disediakan oleh penjual.22

Skripsi Disa Nusia Nisrina, UIN Alauddin Makassar yang berjudul

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Online dan Relevansinya Terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Skripsi ini mengangkat masalah tentang tinjauan hukum Islam terhadap jual beli online, hak-hak konsumen dalam hukum Islam dan undang-undang perlindungan konsumen,

dan relevansi jual beli online dalam tinjauan hukum Islam terhadap

22

(14)

undang perlindungan konsumen. Skripsi ini menggunakan pendekatan

kualitatif, dengan jenis penelitian kepustakaan. Kesimpulan dari skripsi ini

adalah jual beli online yang mengandung kemaslahatan dan efisiensi waktu termasuk aspek muamalah yang pada dasarnya mubah (boleh), kecuali ada

dalil yang mengharamkannya. Hak-hak konsumen dalam hukum Islam berupa

hak khiya>r, sedangkan hak-hak konsumen dalam undang-undang

perlindungan konsumen, terdapat pada pasal 4. Relevansi jual beli online

menurut hukum Islam terhadap undang-undang perlindungan konsumen,

secara garis besar dapat disimpulkan berdasarkan asas dan tujuan yang

terdapat pada undang-undang perlindungan konsumen dan hukum Islam,

yaitu asas manfaat; keadilan; keamanan; keseimbangan; dan kepastian hukum

dan dalam hukum Islam ditambahkan mengenai informasi terkait halal dan

haram.23

Skripsi Putra Kalbuadi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

berjudul Jual Beli Online dengan Sistem Dropsipping Menurut Sudut Pandang Akad Jual Beli Islam. Skripsi ini mengangkat masalah tentang skema dari jual beli online dengan sistem dropshipping dan kesesuaian akad jual beli dalam Islam dengan jual beli online menggunakan sistem

dropshipping. Skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan jenis penelitian lapangan. Kesimpulan dari skripsi ini adalah sistem jual beli online

dengan sistem dropshipping memiliki kesamaan dengan skema akad salam

23

(15)

11

maupun akad wakalah. Sistem dropshipping adalah bentuk muamalah yang diperbolehkan.24

Skripsi Rohmatul Mega, STAIN Ponorogo yang berjudul Tinjauan Etika Bisnis Islam Terhadap Mobile Marketing pada “Kyla OL Shop” di

Ponorogo. Skripsi ini mengangkat masalah tentang pemanfaatan mobile marketing yang dilakukan oleh Kyla OL Shop di Ponorogo sebagai media pemasaranya. Fungsi pemasaran dalam etika bisnis Islam terbagi menjadi

etika pemasaran dalam konteks produk, harga, distribusi dan produksi. Selain

itu, pelaku bisnis harus memiliki etika dalam menjalankan fungsi

pemasarannya. Skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan jenis

penelitian lapangan. Kesimpulan dari skripsi ini adalah dalam menjalankan

pemasarannya dengan mobile marketing Kyla OL Shop sudah sesuai dengan etika pemasaran baik dalam konteks produk, harga, distribusi, maupun

promosi. Serta Kyla OL Shop sebagai pelaku bisnis sudah memiliki etika

(akhlak) dalam menjalankan fungsi pemasaran, tetapi ada etika yang kurang

etis yaitu tidak memberikan hak khiyar kepada pembeli.25

Dari pemaparan telaah pustaka di atas, dapat diketahui bahwa

penelitian ini sama-sama menggunakan pendekatan kualitatif serta sama-sama

membahas tentang jual beli online dalam perspektif hukum Islam. Pada penelitian pertama, skripsi Mochammad membahas prakik transaksi jual beli

dengan sistem online dan pandangan hukum Islam terhadap transaksi jual beli

24

Putra Kalbuadi, Jual Beli Online dengan Sistem Dropsipping Menurut Sudut Pandang Akad Jual Beli Islam (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015).

25

Rohmatul Mega, Tinjauan Etika Bisnis Islam terhadap Mobile Marketing pada “Kyla

(16)

dengan sistem online. Sedangkan penelitian kedua, skripsi Disa membahas pandangan hukum Islam terhadap jual beli online, hak-hak konsumen dalam hukum Islam dan UUPK, serta relevansi jual beli online dalam pandangan hukum Islam terhadap UUPK. Lain halnya dengan penelitian ketiga, skripsi

Putra membahas skema jual beli online dengan sistem dropshipping dan jual beli online dengan sistem dropshipping jika ditinjau dari kesesuaian akad jual beli dalam Islam. Namun, belum pernah ditemukan penelitian tentang

pencantuman gambar dan testimoni hoax yang ditinjau dari hukum Islam.

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Jika dilihat dari perolehan data, penelitian ini termasuk dalam jenis

penelitian lapangan (field research) yaitu suatu penelitian yang dilakukan dalam kancah kehidupan yang sebenarnya.26 Penelitian ini dilakukan

dengan cara mencari data secara langsung dengan melihat objek yang

diteliti dengan peneliti sebagai subjek penelitian, dengan memilih

orang-orang tertentu yang sekiranya dapat memberikan data yang penulis

butuhkan.

Jika dilihat dari jenis data, maka penelitian ini termasuk dalam

jenis penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk

memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian

secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan

26

(17)

13

bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai metode alamiah.27 Peneliti menggunakan

pendekatan normatif, yaitu menggunakan teori hukum Islam yang

didasarkan pada nilai-nilai dalam al-Qur’a>n dan as-Sunnah. Pendekatan

tersebut digunakan untuk menganalisis fenomena sosial yang terjadi di

kalangan jual beli online di Ponorogo, melalui data deskripsi berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.

2. Kehadiran Peneliti

Dalam penelitian kualitatif, kehadiran peneliti dalam penelitian

sangat diperlukan. Peneliti sekaligus merupakan perencana, pelaksana

pengumpulan data, analisis, penafsir data, dan pada akhirnya peneliti

menjadi pelapor hasil penelitiannya.28 Oleh karena itu, penulis hadir secara

langsung di tengah-tengah informan untuk mengamati perilaku mereka

sebagai penjual online yang mencantumkan gambar dan testimoni hoax

pada jual beli onlinenya. Peneliti juga hadir untuk melakukan observasi secara terang-terangan untuk memastikan dugaan awal yang diperoleh dari

pengamatan awal.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah pada jual beli online di Ponorogo, yaitu Agn Shop, Us Shop, Ale Olshop, RnB Shop, dan Domi Olshop. Peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian di lokasi tersebut karena ada beberapa

permasalahan terkait dengan perilaku penjual online di Ponorogo terhadap

27

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), 6.

28

(18)

pencantuman gambar dan testimoni hoax pada jual beli onlinenya. Lokasi penelitian yang dipilih antara lain

a. Jual beli online Nik dengan namaAgn Shop. b. Jual beli online Us dengan namaUs Shop. c. Jual beli online Cit dengan outlet Ale Olshop. d. Jual beli online Rat dengan nama RnB Shop e. Jual beli Ik dengan outlet Domi Olshop. 4. Data dan Sumber Data

a. Data

1) Data umum

Data umum yang digunakan peneliti berupa fenomena yang

tengah marak di Ponorogo yang berkaitan dengan jual beli online. 2) Data khusus

Sedangkan data khusus yang digunakan adalah praktik

penjual online di Ponorogo yang mencantumkan gambar dan testimoni hoax pada aktivitas jual belinya.

b. Sumber data

Yang dimaksud dengan sumber data adalah sumber di mana data

penelitian itu melekat dan atau dapat diperoleh.29 Dalam penelitian ini

sumber data yang digunakan adalah:

29

(19)

15

1) Sumber data primer

Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari

subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat

pengambilan data langsung kepada subyek sebagai sumber informasi

yang dicari.30 Data ini dapat diperoleh melalui wawancara dan

observasi dengan penjual online yang mencantumkan gambar dan testimoni hoax di Ponorogo yaitu Nik, Us, Cit, Rat, dan Ik,31 dan pihak yang terlibat dalam jual beli online seperti pembeli yang dirugikan karena gambar hoax yaitu Ay, Shof, It, Pit, Le, dan Mit.32 2) Sumber data sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari

tangan kedua atau dari sumber-sumber lain yang telah tersedia

sebelum penelitian dilakukan.33 Data ini diperoleh dari dokumen

Statistik Daerah Kabupaten Ponorogo 2017 dan Kecamatan Ponorogo

Dalam Angka 2017 yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik

Kabupaten Ponorogo serta buku atau penelitian terdahulu yang

berkaitan dengan jual beli online yang mencantumkan gambar dan testimoni hoax.

30

Ibid. 31

Nama disamarkan untuk menjaga kerahasiaan data. 32

Ibid. 33

(20)

5. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini melalui:

a. Observasi

Observasi adalah metode pengumpulan data yang dilakukan

dengan memperhatikan suatu gejala, kejadian atau sesuatu dengan

maksud menafsirkannya, mengungkapkan faktor-faktor penyebabnya,

dan menemukan kaidah-kaidah yang mengaturnya.34 Peneliti

melakukan observasi atau pengamatan untuk mendapatkan data tentang

pencantuman gambar dan testimoni hoax pada jual beli onlinenya. b. Wawancara

Wawancara merupakan proses memperoleh keterangan untuk

tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara

penanya atau pewawancara dengan penjawab atau responden dengan

menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara).35 Wawancara dilakukan dengan penjual online di Ponorogo terhadap mencantuman gambar dan testimoni hoax pada jual beli onlinenya.

c. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan suatu cara untuk mengumpulkan data

yang sudah tersedia dalam bentuk catatan dokumen.36 Yaitu mencari

data mengenai hal-hal atau variabel berupa cacatan, transkip, buku,

34

Emzir, Metodologi Penelitan Kualitatif: Analisis Data (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada, 2011), 38.

35

Moh. Nazir, Metode Penelitian (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2013), 194. 36

(21)

17

surat kabar, majalah, notulen rapat, dan sebagainya.37 Dokumentasi

peneliti gunakan untuk memperoleh data tentang pencantuman gambar

dan testimoni hoax pada jual beli onlinenya. 6. Analisis Data

Analisis data adalah proses penghimpunan atau pengumpulan,

pemodelan dan transformasi data dengan tujuan untuk menyoroti dan

memperoleh informasi yang bermanfaat, memberikan saran, kesimpulan

dan mendukung pembuatan keputusan.38

Menurut Miles dan Huberman, kegiatan analisis terdiri dari tiga

alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian

data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi.

a. Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstraksian, dan transformasi data kasar yang

muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.

b. Penyajian data (display) yaitu sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan

pengambilan keputusan. Melalui data yang disajikan, kita melihat dan

akan dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus

dilakukan berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari

penyajian-penyajian tersebut.

37

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik) (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2013), 132.

38

(22)

c. Penarikan kesimpulan (conclusing data) adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapkan

adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada.39

7. Pengecekan Keabsahan Data

Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaharui dari

konsep kesahihan dan keandalan. Sehingga dalam penelitian ini dalam

pengecekan keabsahan data yang digunakan adalah:

a. Ketekunan pengamatan yaitu menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur

dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang

sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut

secara rinci.

b. Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan

pengecekan atau sebagai pembanding terhadap itu. Hal ini

membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.40

G. Sistematika Pembahasan

Agar lebih mudah dan praktis dalam pembahasan skripsi ini, maka

penulis membagi menjadi lima bab yang masing-masing dapat diuraikan

sebagai berikut:

39

Silalahi, Metode Penelitian, 340-341. 40

(23)

19

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pola dasar atau tempat berpijak dari

keseluruhan skripsi ini yang terdiri dari latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah

pustaka, kajian teori, metodologi penelitian, dan sistematika

pembahasan. Latar belakang merupakan adanya masalah atau

ketidak sesuaian antara data dengan teori. Rumusan masalah

merupakan pertanyaan yang didukung oleh kenyataan konkrit

yang disampaikan dalam latar belakang masalah. Tujuan

penelitian merupakan korelasi dengan rumusan masalah.

Manfaat penelitian merupakan turunan lebih lanjut dari tujuan

penelitian. Telaah pustaka merupakan literatur/kajian terhadap

penelitian terdahulu yang relevan dengan topik dan masalah

penelitian. Kajian teori merupakan diskripsi realitas sosial yang

berfungsi sebagai sarana untuk memahami dan menafsirkan.

Metode penelitian merupakan cara yang peneliti gunakan untuk

penelitiannya. Sistematika pembahasan merupakan alur

bahasan sehingga dapat diketahui logika penyusunan dan

koherensi antara satu bagian dengan bagian yang lain.

BAB II : TEORI TENTANG JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM

Bab ini merupakan landasan teori. Dalam bab ini penulis akan

menjabarkan tentang jual beli yang meliputi: pengertian jual

(24)

dibolehkan dan dilarang dalam Islam.

BAB III : PRAKTIK PERILAKU PENJUAL ONLINE DI PONOROGO Bab ini merupakan penyajian data hasil penelitian yang berisi

tentang data umum berupa fenomena yang tengah marak di

Ponorogo yang berkaitan dengan jual beli online dan data khusus berupa banyaknya fenomena penjual online di Ponorogo yang mencantumkan gambar dan testimoni hoax

pada jual belinya.

BAB IV : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI

ONLINE YANG MENCANTUMKAN GAMBAR DAN TESTIMONI HOAX DI PONOROGO

Bab ini merupakan analisi data, meliputi: tinjauan hukum Islam

terhadap jual beli online yang mencantumkan gambar hoax, serta tinjauan hukum Islam terhadap jual beli online yang mencantumkan testimoni hoax.

BAB V : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari

rumusan permasalahan, serta saran-saran dari penulis yang

dianggap penting tentang skripsi dan kritik yang membangun

(25)

21

BAB II

JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Jual Beli

Perdagangan atau jual beli secara bahasa berarti saling menukar.1

Menurut bahasa jual beli terdiri dari dua kata, yaitu “jual” dan “beli”. Kedua

kata ini dalam Bahasa Arab sama dengan al-bai>’ dan al-shira>’. Keduanya

merupakan rangkaian makna timbal balik.2 Definisi bai>’ adalah mengambil

sesuatu dan memberi sesuatu.3

Secara etimologis, jual beli berasal dari Bahasa Arab al-bai>’ yang

makna dasarnya menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu

yang lain.4 Dalam praktiknya, bahasa ini terkadang digunakan untuk

pengertian lawannya, yakni kata al-shira>’ (beli). Maka, kata al-bai>’ berarti

jual, tetapi sekaligus juga beli.5 Jual beli juga diartikan pertukaran sesuatu

dengan sesuatu.6 Tukar menukar sesuatu dengan sesuatu.7 Menyerahkan

pengganti dan mengambil sesuatu yang dijadikan alat pengganti tersebut.8

1

Qomarul Huda, Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Teras, 2011), 51. 2

Dede Nurohman, Memahami Dasar-Dasar Ekonomi Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), 62.

3

Miftahul Khairi, Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2014), 1-2.

4

Ghufron Ihsan dkk, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana, 2010), 67. 5

Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), 53.

6 Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 73. 7

Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah: Diskursus Metodologis Konsep Interaksi Sosial Ekonomi (Kediri: Lirboyo Press, 2013), 2.

8

(26)

Secara terminologi jual beli merupakan bentuk yang berkaitan dengan

proses pemindahan hak milik barang atau asset kepada orang lain.9 Fuqaha>’

berbeda pendapat mengenai definisi bai>’ secara terminologis, yaitu alat tukar

(barter) harta dengan harta.10 Di kalangan ulama H}anafi> terdapat dua definisi,

jual beli adalah saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu dan

tukar menukar sesuatu yang diinginkan dengan yang sepadan melalui cara

tertentu yang bermanfaat. Ulama Ma>liki, Sha>fi’i>, dan H}anbali> memberikan

pengertian, jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk

pemindahan milik dan pemilikan. Definisi ini menekankan pada aspek milik

pemilikan, untuk membedakan dengan tukar menukar harta/benda yang tidak

mempunyai akibat milik kepemilikan, seperti sewa menyewa. Demikian juga,

harta yang dimaksud adalah harta dalam pengertian luas bisa barang dan bisa

uang.11

Yang dimaksud dengan benda dapat mencakup pada pengertian

barang dan uang, sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai, yakni

benda-benda yang berharga yang dapat dibenarkan penggunaannya menurut

sha>ra’, benda itu adakalanya bergerak (dipindahkan) dan adakalanya tetap

(tidak dapat dipindahkan), yang dapat dibagi-bagi, adakalanya tidak dapat

dibagi-bagi, harta yang ada perumpamaannya, tak ada yang menyerupainya,

dan penggunaan harta tersebut dibolehkan sepanjang tidak dilarang sha>ra’.12

9

Nurohman, Memahami Dasar, 62. 10

Khairi, Ensiklopedi Fiqh, 1-2. 11

Afandi, Fiqh Muamalah, 53. 12

(27)

23

Jual beli menurut Sayyi>d Sa>biq adalah pertukaran benda dengan

benda lain dengan jalan saling meridai atau memindahkan hak milik disertai

penggantinya dengan cara yang dibolehkan. Menurut Taqi>y al Di>n

sebagaimana dikutip oleh Huda, jual beli adalabh saling menukar harta

(barang) oleh dua orang untuk dikelola dengan cara ijab dan qabul sesuai

dengan sha>ra’. Menurut Wahbah al Zuh}aili> adalah saling tukar menukar harta

dengan cara tertentu.13

Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan jual beli tersebut.

1. Ulama H}anafi>yah

Jual beli adalah pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan

cara khusus (yang dibolehkan).

2. Ima>m Nawa>wi> dalam al-Majmu>’

Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.

3. Ibnu Quda>mah dalam kitab al-Mughni>

Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta, untuk saling

menjadi milik.14

Para fuqaha>’ menggunakan istilah al-bai>’ kepada makna

mengeluarkan atau memindahkan sesuatu dari kepemilikannnya dengan harta

tertentu.15 Menurut Pasal 20 ayat 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, bai>’

adalah jual beli antara benda dan benda, atau pertukaran benda dengan uang.

Berdasarkan definisi di atas, maka pada intinya jual beli itu adalah tukar

13

Huda, Fiqh Muamalah, 51-52. 14

Buchari Alma dan Donni Juni Priansa, Manajemen Bisnis Syariah (Bandung: Alfabeta, 2016), 142.

15

(28)

menukar barang. Hal ini telah dipraktikkan oleh masyarakat primitif ketika

uang belum digunakan sebagai alat tukar menukar barang, yaitu dengan

sistem barter.16

Inti jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang

yang mempunyai nilai secara sukarela (kesepakatan) di antara kedua belah

pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain yang menerimanya

sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan sha>ra’ dan

disepakati. Yang dimaksud sesuai dengan ketetapan hukum ialah memenuhi

persyaratan-persyaratan, rukun-rukun, dan hal-hal lainnya yang ada kaitannya

dengan jual beli, maka bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti

tidak sesuai dengan kehendak sha>ra’.17

B. Rukun dan Syarat Jual Beli

Di antara ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan persyaratan

jual beli, yaitu:

1. MadhhabH}anafi>

Persyaratan yang ditetapkan oleh ulama H}anafi>yah berkaitan

dengan syarat jual beli adalah:

a. Syarat terjadinya akad

Syarat terjadinya akad merupakan syarat-syarat yang ditetapkan

sha>ra’. Jika persyaratan ini tidak terpenuhi, jual beli batal. Tentang

syarat ini, ulama H}anafi>yah menetapkan empat syarat, yaitu:

16

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana, 2013) 101. 17

(29)

25

1) Syarat orang yang berakad

a) Berakal dan mumayyi>z

b) Orang yang berakad harus berbilang18

2) Syarat dalam akad

Syarat ini hanya satu, yaitu harus sesuai ijab dan qabul.

Namun, dalam ijabqabul terdapat tiga syarat berikut:

a) Ahli akad

b) Qabul harus sesuai dengan ijab

c) Ijab dan qabul harus bersatu19

3) Tempat akad

4) Objek akad

Objek akad harus memenuhi empat syarat yaitu:

a) Objek akad harus ada, tidak boleh akad atas barang-barang yang

tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada, seperti jual beli buah yang

belum tampak, atau jual beli anak hewan yang masih dalam

kandungan.

b) Harta harus kuat, tetap, dan bernilai yakni benda yang mungkin

dimanfaatkan dan disimpan.

c) Benda tersebut milik sendiri.

d) Dapat diserahkan.20

18

Alma, Manajemen Bisnis, 143-144. 19

Ibid., 144-145. 20

(30)

b. Syarat pelaksanaan akad

1) Benda dimiliki orang yang berakad atau berkuasa untuk akad.

2) Pada benda tidak terdapat milik orang lain.21

c. Syarat sah akad

Syarat ini terbagi atas dua bagian, yaitu umum dan khusus:

1) Syarat umum

Syarat umum merupakan syarat-syarat yang berhubungan

dengan semua bentuk jual beli yang telah ditetapkan sha>ra’. Di

antaranya adalah syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Juga

harus terhindar kecacatan jual beli, yaitu ketidakjelasan,

keterpaksaan, pembatasan dengan waktu, penipuan, kemadharatan,

dan persyaratan yang merusak lainnya.22

2) Syarat khusus

Syarat khusus merupakan syarat-syarat yang hanya ada pada

barang-barang tertentu. Jual beli ini harus memenuhi persyaratan

berikut ini:

a) Barang yang diperjualbelikan harus dapat dipegang, yaitu pada

jual beli benda yang harus dipegang sebab apabila dilepaskan

akan rusak atau hilang.

b) Harga awal harus diketahui, yaitu pada jual beli amanat.

c) Serah terima benda dilakukan sebelum terpisah, yaitu pada jual

beli yang bendanya ada ditempat.

21

Ibid. 22

(31)

27

d) Terpenuhinya syarat penerimaan.

e) Harus seimbang dalam ukuran timbangan, yaitu dalam jual beli

yang memakai ukuran dan timbangan.

f) Barang yang diperjualbelikan sudah menjadi tanggungjawabnya.

Oleh karena itu, tidak boleh menjual barang yang masih berada

ditangan penjual.23

3) Syarat kemestian

Akad jual beli harus terlepas atau terbebas dari pilihan yang

berkaitan dengan kedua pihak yang akad dan akan menyebabkan

batalnya akad.24

2. MadhhabMa>liki

Syarat yang dikemukakan oleh ulama Ma>likiyah yang berkenaan

dengan orang yang berakad, ijab dan qabul, benda atau barang berjumlah

sebelas syarat.

a. Syarat orang yang berakad

Orang yang berakad merupakan penjual dan pembeli. Dalam hal

ini terdapat tiga syarat, ditambah satu bagi penjual:

1) Penjual dan pembeli harus mumayyi>z.

2) Keduanya merupakan pemilik barang atau yang dijadikan wakil.

3) Keduanya dalam keadaan sukarela. Jual beli berdasarkan paksaan

adalah tidak sah.

4) Penjual harus sadar dan dewasa.25

23

Ibid. 24

(32)

b. Syarat dalam ijab qabul

1) Tempat akad harus bersatu.

2) Pengucapan ijab qabul tidak terpisah.

c. Syarat harga dan yang dihargakan

1) Bukan barang yang dilarang sha>ra’.

2) Harus suci, maka tidak dibolehkan menjual khamr, dll.

3) Bermanfaat menurut pandangan sha>ra’.

4) Dapat diketahui oleh kedua orang yang berakad.

5) Dapat diserahkan.26

3. Madhhab Sha>fi’i>

Ulama Sha>fi’i>yah mensyaratkan dua puluh dua syarat, yang

berkaitan dengan orang berakad, ijab dan qabul, dan benda atau barang.

Persyaratan tersebut adalah:

a. Syarat orang yang berakad

1) Dewasa atau sadar

2) Tidak dipaksa atau tanpa hak

3) Islam

4) Pembeli bukan musuh27

b. Syarat ijab qabul

1) Berhadap-hadapan

2) Ditunjukkan pada seluruh badan yang berakad

25 Syafe’i,

Fiqih Muamalah, 81. 26

Ibid. 27

(33)

29

3) Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab

4) Harus menyebutkan barang atau harta

5) Ketika mengucapkan ijab qabul harus disertai niat (maksud)

6) Pengucapan ijab qabul harus sempurna28

7) Ijab qabul tidak terpisah

8) Antara ijab dan qabul tidak terpisah dengan pernyataan lain

9) Tidak berubah lafadh

10) Bersesuaian antara ijab dan qabul secara sempurna

11) Tidak dikaitkan dengan sesuatu

12) Tidak dikaitkan dengan waktu29

c. Syarat benda atau barang

1) Suci

2) Bermanfaat

3) Dapat diserahkan

4) Barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain

5) Jelas dan diketahui oleh kedua orang yang melakukan akad30

4. MadhhabH{anbali>

Menurut ulama H{ana>bilah, persyaratan jual beli terdiri atas sebelas

syarat, baik dalam orang yang berakad, ijabqabul, dan benda atau barang.

a. Syarat orang yang berakad

1) Dewasa atau sadar

28

Ibid., 148. 29

Ibid., 148-149. 30

(34)

2) Ada keridaan

b. Syarat ijab dan qabul

1) Berada di tempat yang sama

2) Tidak terpisah

3) Tidak dikaitkan dengan sesuatu31

c. Syarat benda atau barang

1) Harus berupa harta

Benda atau barang adalah barang-barang yang bermanfaat

menurut pandangan sha>ra’. Adapun barang-barang yang tidak

bermanfaat hanya dibolehkan jika dalam keadaan terpaksa, misalnya

membeli khamr sebab tidak ada lagi air lainnya. Dibolehkan pula

membeli burung karena suaranya bagus.

Ulama H{anabilah mengharamkan jual beli al-Qur’a>n, baik

untuk orang muslim maupun kafir sebab al-Qur’a>n itu wajib

diagungkan, sedangkan menjualnya berarti tidak mengagungkannya.

Begitu pula mereka melarang jual beli barang barang mainan

dan barang-barang yang tidak bermanfaat lainnya.

2) Milik penjual secara sempurna

Dipandang tidak sah jual beli yang menjual barang tanpa

seizin pemiliknya.

3) Barang dapat diserahkan ketika akad

4) Barang diketahui oleh penjual dan pembeli

31

(35)

31

Benda atau barang harus jelas dan diketahui kedua pihak

yang melangsungkan akad. Namun demikian, dianggap sah jual beli

orang buta.

5) Harga diketahui oleh kedua pihak yang akad

6) Terhindar dari unsur-unsur yang menjadikan akad tidak sah

Barang, harga, dan orang yang berakad harus terhindar dari

unsur-unsur yang menjadikan akad tersebut menjadi tidak sah,

seperti riba> dan ghara>r.32

5. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)

Dalam KHES buku II, bab VI tentang bai>’, bagian keenam pada

objek bai>’ pasal 76, dijelaskan bahwa syarat obyek yang diperjualbelikan

adalah:

a. Barang yang dijualbelikan harus sudah ada

b. Barang yang dijualbelikan harus dapat diserahkan

c. Barang yang dijualbelikan harus berupa barang yang memiliki

nilai/harga tertentu

d. Barang yang dijualbelikan harus halal

e. Barang yang dijualbelikan harus diketahui oleh pembeli

f. Kekhususan barang yang dijualbelikan harus diketahui

g. Penunjukkan dianggap memenuhi syarat kekhususan barang yang

dijualbelikan jika barang itu ada di tempat jual beli

32

(36)

h. Sifat barang yang dapat diketahui secara langsung oleh pembeli tidak

memerlukan penjelasan lebih lanjut33

C. Macam Jual Beli

Ulama H}anafi>yah, Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah, dan H{ana>bilah membagi

macam-macam jual beli sebagai berikut:

1. Dilihat dari sisi objek yang diperjualbelikan, jual beli dibagi kepada tiga

macam, yaitu:

a. Jual beli mut}la>qah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan

uang.

b. Jual beli s}arf, yaitu jual beli antara satu mata uang dan mata uang lain.

c. Jual beli muqayyadah, yaitu jual pertukaran antara barang dengan

barang (barter), atau pertukaran antara barang dengan barang yang

dinilai dengan valuta asing.34

2. Dilihat dari segi cara menetapkan harga, jual beli dibagi menjadi empat

macam, yaitu:

a. Jual beli tawar menawar, yaitu jual beli biasa ketika penjual tidak

memberitahukan harga pokok dan keuntungan yang didapatnya.

b. Jual beli amanah, yaitu jual beli ketika menjual memberitahukan modal

jualnya (harga perolehan barang). Jual beli amanah ada tiga, yaitu:

1) Jual beli mura>bah}ah, yaitu jual beli ketika penjual menyebutkan

harga pembelian barang dan keuntunganyang diinginkan.

33

Kompilasi Hukum Islam, Buku II, bab IV. 34

(37)

33

2) Jual beli muwa>d}a’ah (diskon), yaitu jual beli dengan harga di bawah

harga modal dengan jumlah kerugian yang diketahui, untuk

penjualan barang atau aktiva yang nilai bukunya sudah sangat

rendah.

3) Jual beli tawli>ya>t, yaitu jual beli dengan harga modal tanpa

keuntungan dan kerugian.

c. Jual beli dengan harga tangguh, yaitu jual beli dengan penetapan harga

yang akan dibayar kemudian. Harga tangguh ini boleh lebih tinggi

daripada harga tunai dan bisa dicicil.

d. Jual beli muza>yadah (lelang), yaitu jual beli dengan penawaran dari

penjual dan para pembeli menawar. Penawar tertinggi terpilih sebagai

pembeli. Kebalikannya, jual beli muna>qad}ah, yaitu jual beli dengan

penawaran pembeli untuk membeli barang dengan spesifikasi tertentu

dan para penjual berlomba menawarkan dagangannya, kemudian

pembeli akan membeli dari penjual yang menawarkan harga termurah.35

3. Dilihat dari segi pembayaran, jual beli dibagi empat, yaitu:

a. Jual beli tunai dengan penyerahan barang dan pembayaran langsung.

b. Jual beli dengan pembayaran tertunda, yaitu jual beli yang penyerahan

barang secara langsung (tunai) tetapi pembayaran dilakukan kemudian

dan bisa dicicil.

c. Jual beli dengan penyerahan barang tertunda yang meliputi:

35

(38)

1) Jual beli sala>m, yaitu jual beli ketika pembeli membayar tunai di

muka atas barang yang dipesan (biasanya produk pertanian) dengan

spesifikasi yang harus diserahkan kemudian.

2) Jual beli istithna>’, yaitu jual beli yang pembelinya membayar tunai

atau bertahap atas barang yang dipesan (biasanya produk

manufaktur) dengan spesifikasi yang harus diproduksi den

diserahkan kemudian.

d. Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama

tertunda.36

D. Jual Beli yang Diperbolehkan dan Dilarang dalam Islam

Menurut madhhab H}anafi>, Ma>liki, Sha>fi’i, dan H{anbali> hukum jual

beli terbagi menjadi dua, yaitu jual beli yang diperbolehkan dalam Islam

(yang sesuai dengan hukum sha>ra’) dan jual beli yang dilarang dalam Islam

(yang bertentangan dengan hukum sha>ra’).

1. Jual beli yang diperbolehkan dalam Islam

Jual beli s}ah}i>h, yaitu jual beli yang disyariatkan menurut asal dan

sifatnya terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya tidak terkait dengan

hak orang dan tidak ada hak memilih di dalamnya. Jual beli s}ah}i>h

menimbulkan implikasi hukum, yaitu berpindahnya kepemilikan, yaitu

barang berpindah miliknya menjadi milik pembeli dan harga berpindah

36

(39)

35

miliknya menjadi milik pembeli.37 Pada dasarnya hukum asal bai>’

diperbolehkan berdasarkan al-Qur’a>n, h}adi>th, ijma>’, dan qiya>s.38

2. Jual beli yang dilarang dalam Islam

Jual beli yang dilarang dalam syariat cukup banyak, di antaranya

yaitu:

a. Terlarang sebab ahli akad

Ulama H}anafi>yah, Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah, dan H{ana>bilah telah

sepakat bahwa jual beli dikategorikan s}ah}i>h apabila dilakukan oleh

orang yang ba>ligh, berakal, dapat memilih, dan mampu secara bebas

dan baik. Tidak sah jual beli apabila dilakukan oleh:

1) Jual beli orang gila

Ulama H}anafi>yah, Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah, dan H{ana>bilah

sepakat bahwa jual beli orang yang gila tidak sah. Begitu pula

sejenisnya, seperti orang mabuk.

2) Jual beli anak kecil

Ulama H}anafi>yah, Ma>likiyah, dan H{ana>bilah sepakat bahwa

jual beli anak kecil (belum mumayyi>z) dipandang tidak sah, kecuali

dalam perkara-perkara yang ringan atau sepele. Namun ulama

Sha>fi’i>yah mengatakan mutlak tidak boleh.

37

Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah: Prinsip dan Implementasi pada Sektor Keuangan Syariah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016), 71.

38

(40)

3) Jual beli orang buta

Jual beli orang buta dikategorikan s}ah}i>h menurut ulama

H}anafi>yah, Ma>likiyah, dan H{ana>bilah jika barang yang dibelinya

diberi sifat (diterangkan sifat-sifatnya). Namun ulama Sha>fi’i>yah

menganggapnya tidak sah, namun tidak dilarang.

4) Jual beli terpaksa

Menurut ulama H}anafi>yah dilarang, namun apabila orang

yang terpaksa merasa bahwa sudah tidak terpaksa, maka jual belinya

diperbolehkan. Sedangkan ulama Ma>likiyah menganggap tidak

pantas. Sedangkan ulama Sha>fi’i>yah dan H{ana>bilah tidak

diperbolehkan atau dilarang.39

5) Jual beli orang yang terhalang

Maksud terhalang disini adalah terhalang karena kebodohan

ataupun sakit. Jual beli orang yang bodoh (karena tidak belajar,

namun mampu dan memahami masalah jual beli) menurut ulama

H}anafi>yah, Ma>likiyah, dan H{ana>bilah diperbolehkan, sedangkan

menurut ulama Sha>fi’i>yah tidak boleh.

Menurut ulama H}anafi>yah, Sha>fi’i>yah, dan H{ana>bilah, jual

beli orang sakit parah yang sudah mendekati mati hanya

diperbolehkan sepertiga dari hartanya, dan bila ingin lebih dari

sepertiga, jual beli tersebut ditangguhkan kepada izin ahli warisnya.

Namun menurut ulama Ma>likiyah, sakit yang dimaksud adalah sakit

39 Syafe’i,

(41)

37

yang menyebabkan kematian, ulama Ma>likiyah mengatakan tidak

hanya ditentukan dengan sepertiga dari warisannya, namun dengan

barang yang diperjualbelikan seperti rumah atau tanah.40

b. Terlarang sebab ucapan

Ulama fiqh telah sepakat atas sahnya jual beli yang didasarkan

pada keridaan di antara pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian di

antara ijab dan qabul, berada di suatu tempat dan tidak terpisah oleh

suatu pemisah. Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut

dipandang tidak sah. Jual beli yang dipandang tidak sah atau masih

diperdebatkan oleh para ulama antara lain:

1) Jual beli mu’at}ah

Jual beli mu’at}ah adalah jual beli yang telah disepakati oleh

pihak akad, berkenaan dengan barang maupun harganya, tetapi tidak

memiliki ijab qabul. Ulama H}anafi>yah, Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah, dan

H{ana>bilah menyatakan s}ah}i>h apabila ada ijab dari salah satunya.

Begitu pula dibolehkan ijab qabul dengan isyarat, perbuatan, atau

cara-cara lain yang menunjukkan keridaan. Memberikan barang dan

menerima uang dipandang sebagai ucapan dengan perbuatan atau

isyarat.41

2) Jual beli melalui surat atau melalui utusan

Disepakati ulama H}anafi>yah, Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah, dan

H{ana>bilah bahwa jual beli melalui surat atau utusan adalah sah.

40

Ibid., 94-95. 41

(42)

Tempat berakad adalah sampainya surat atau utusan dari orang yang

berakad pertama kepada orang yang berakad kedua. Jika qabul

melebihi tempat, akad tersebut dipandang tidak sah, seperti surat

tidak sampai ke tangan yang dimaksud.42

3) Jual beli dengan isyarat atau tulisan

Disepakati kesahihan akad dengan isyarat atau tulisan

khususnya bagi yang tua sebab sama dengan ucapan. Selain itu,

isyarat juga menunjukkan apa yang ada dalam hati orang yang

berakad. Apabila isyarat tidak dapat dipahami dan tulisannya jelek

(tidak dapat dibaca), maka akad tidak sah.

4) Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad

Ulama H}anafi>yah, Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah, dan H{ana>bilah

sepakat bahwa jual beli atas barang yang tidak ada di tempat adalah

tidak sah sebab tidak memenuhi syarat terjadinya akad.43

5) Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul

Hal ini dipandang tidak sah menurut ulama Ma>likiyah,

Sha>fi’i>yah, dan H{ana>bilah. Sedangkan menurut ulama H}anafi>yah,

diperbolehkan namun ketidaksesuaian antara ijab dan qabul

mendatangkan kebaikan.

6) Jual beli munjiz

Jual beli munjiz adalah yang dikaitkan dengan suatu syarat

atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang. Menurut ulama

42

Ibid. 43

(43)

39

H}anafi>yah adalah rusak, sedangkan ulama Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah,

dan H{ana>bilah adalah tidak sah.44

c. Terlarang sebab barang jualan

Secara umum, harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang

yang akad, yang biasa disebut barang jualan dan harga. Ulama fiqh

sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila barang yang tetap atau

bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang

akad, tidak bersangkutan dengan milik orang lain, dan tidak ada

larangan dari sha>ra’.

Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian

ulama tetapi diperselisihkan oleh ulama lainnya, di antaranya berikut

ini:

1) Jual beli benda yang tidak atau atau dikhawatirkan tidak ada

Ulama H}anafi>yah, Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah, dan H{ana>bilah

sepakat bahwa jual beli berang yang tidak ada atau dikhawatirkan

tidak ada adalah tidak sah.

2) Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan

Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung

yang ada di udara atau ikan yang ada di air tidak berdasarkan

ketetapan sha>ra’.

44

(44)

3) Jual beli ghara>r

Jual beli ghara>r adalah jual beli barang yang mengandung

kesamaran, hal ini dilarang dalam Islam.45 Menurut ahli fiqh, ghara>r

adalah sifat dalam muamalah yang menyebabkan sebagian rukunnya

tidak pasti. Secara operasional, ghara>r bisa diartikan keduabelah

pihak dalam transaksi tidak memiliki kepastian terhadap barang yang

menjadi objek transaksi baik terkait kualitas, kuantitas, harga, dan

waktu penyerahan barang sehingga pihak kedua dirugikan. Ghara>r

ini terjadi bila mengubah sesuatu yang pasti menjadi tidak pasti. Di

antara contoh praktik ghara>r adalah sebagai berikut:

a) Ghara>r dalam kualitas

b) Ghara>r dalam kuantitas

c) Ghara>r dalam harga

d) Ghara>r dalam waktu penyerahan46

Sedangkan menurut Ibn Jazi> al Ma>liki, ghara>r yang dilarang,

di antaranya:

a) Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih

dalam kandungan induknya.

b) Tidak diketahui harga dan barang.

c) Tidak diketahui sifat barang atau harga.

d) Tidak diketahui ukuran barang dan harga.

45

Ibid. 46

(45)

41

e) Tidak diketahui masa yang akan datang, seperti “Saya jual kepada

mu, jika Ahmad datang.”

f) Menghargakan dua kali pada satu barang.47

Ghara>r hukumnya dilarang dalam syariat Islam, oleh karena

itu melakukan transaksi atau memberikan syarat dalam akad yang

ada unsur ghara>rnya itu tidak diperbolehkan. Larangan ghara>r

memiliki tujuan, agar tidak ada pihak-pihak akad yang dirugikan,

karena tidak mendapatkan haknya, dan agar tidak terjadi perselisihan

dan permusuhan di antara mereka.

Unsur ghara>r bisa menyebabkan transaksi menjadi tidak sah,

jika memenuhi unsur berikut:

(1)Ghara>r terjadi pada transaksis bisnis

Ghara>r terjadi pada akad-akad bisnis, seperti akad jual

beli, akad sewa menyewa, akad bagi hasil, dan akad-akad yang

lain. Dan sebaliknya, ghara>r tidak berpengaruh pada akad-akad

sosial, seperti akad hibah dan akad wasiat walaupun ghara>rnya

berat. Hal ini karena ghara>r yang terjadi dalam akad-akad sosial

tidak mengakibatkan perselisihan karena penerima dana sosial

tidak merasa dirugikan dengan adanya ghara>r tersebut.48

(2) Termasuk ghara>r berat

Ghara>r memiliki tingkatan yang berbeda-beda, yaitu ada

ghara>r berat dan ghara>r ringan. Ghara>r berat adalah ghara>r

47 Syafe’i,

Fiqih Muamalah, 98. 48

(46)

yang bisa dihindarkan dan menimbulkan perselisihan di antara

para pelaku akad. Ghara>r jenis ini berbeda-beda, sesuai dengan

kondisi dan tempat. Oleh karena itu, standar ghara>r ini

dikembalikan kepada ‘urf (tradisi). Di antara ghara>r berat adalah

menjual buah-buahan yang belum tumbuh dan memesan barang

untuk barang yang tidak pasti ada pada waktu penyerahan.

Sedangkan ghara>r ringan adalah ghara>r yang tidak bisa

dihindarkan dalam setiap akad dan dimaklumi menurut tradisi

pembisnis sehingga pelaku akad tidak dirugikan dengan ghara>r

tersebut. Seperti membeli rumah tanpa melihat fondasinya.

Ketidakjelasan ini dimaklumi dan ditolerir oleh pelaku akad,

karena itu tidak bisa dihindarkan dalam setiap transaksi, maka

ghara>r ini dibolehkan dan akad yang disepakatinya tetap sah.

Ghara>r ringan diperbolehkan menurut Islam sebagai keringanan

dan dispensasi khususnya bagi pelaku bisnis.49

(3)Ghara>r terjadi pada objek akad

Ghara>r yang diharamkan adalah ghara>r yang terjadi pada

objek akad, sedangkan ghara>r terjadi pada pelengkap objek akad

itu dibolehkan. Misalnya seseorang menjual buah-buahan yang

belum tampak buahnya. Jika yang menjadi objek jual adalah

buah-buahannya, maka transaksi ini fasid (tidak sah) karena ada

unsur ghara>rnya, karena kemungkinan pohon itu tidak berbuah.

49

(47)

43

Tetapi jika yang dijual adalah pohonnya (buah-buahannya

sebagai pelengkapnya), maka ghara>r ini tidak merusak akad

karena unsur ghara>rnya terletak bukan pada objek akad (pohon),

tetapi pada buahnya yang statusnya sebagai pelengkap.50

(4)Tidak ada kebutuhan (hajat) syar’i terhadap akad

Yang dimaksud dengan hajat adalah sebuah kondisi di

mana setiap orang diperkirakan mendapat kesulitan, jika tidak

melakukan transaksi ghara>r tersebut, baik kebutuhan itu bersifat

umum ataupun khusus. Hajat yang dimaksud harus jelas yakni

tidak ada pilihan yang halal kecuali akad yang mengandung

ghara>r tersebut, seperti bolehnya menjadi anggota asuransi

konvensional (yang mengandung ghara>r) selama tidak ada

asuransi syariah. Karena kebutuhan masyarakat terhadap

asuransi menjadi kebutuhan mendesak, karena jika tidak

berasuransi, maka beban biaya pengobatan memberatkan

masyarakat. Kebolehan ini selama belum ada asuransi syariah,

tetapi setelah ada asuransi syaraiah, maka tidak boleh

berasuransi konvensional karena hajat dan darurat telah hilang.51

50

Ibid., 84. 51

(48)

4) Jual beli barang yang najis

Ulama H}anafi>yah, Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah, dan H{ana>bilah

sepakat tentang larangan jual beli barang najis, seperti khamr, babi,

darah, dan bangkai.52

5) Jual beli air

Salah satu syarat jual beli adalah benda yang diperjualbelikan

merupakan milik sendiri. Tidak sah melakukan jual beli terhadap

benda-benda yang dimiliki secara bersama oleh seluruh manusia,

seperti air, udara, dan tanah. Seluruh benda seperti air laut, sungai,

dan sumur umum tidak boleh diperjualbelikan karena tergolong maal

mubah (benda-benda bebas).53

Disepakati bahwa jual beli air yang dimiliki, seperti air sumur

atau yang disimpan di tempat pemiliknya dibolehkan oleh ulama

H}anafi>yah, Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah, dan H{ana>bilah, serta ulama juga

sepakat bahwa jual beli air yang tidak boleh adalah jual beli air yang

dimiliki umum seperti jual beli air di sungai. Namun menurut ahli

h}adi>th jual beli air tidak boleh.

6) Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad/tidak dapat dilihat

Menurut ulama H}anafi>yah, jual beli seperti ini dibolehkan

tanpa harus menyebutkan sifat-sifatnya, tetapi pembeli berhak khiya>r

ketika melihatnya. Ulama Sha>fi’i>yah dan H{ana>bilah menyatakan

52 Syafe’i,

Fiqih Muamalah, 98. 53

(49)

45

tidak sah, sedangkan ulama Ma>likiyah membolehkannya bila

disebutkan sifat-sifatnya dan mensyaratkan beberapa macam, yaitu:

a) Harus jauh sekali tempatnya

b) Pemiliknya harus memberikan gambaran

c) Harus meringkas sifat barang secara menyeluruh54

d. Terlarang sebab sha>ra’

Ulama sepakat membolehkan jual beli yang memenuhi

persyaratan dan rukunnya. Namun demikian, ada beberapa masalah

yang diperselisihkan di antara para ulama, di antaranya yaitu:

1) Jual beli riba>

Riba> nasi’a>h dan riba> fad}l adalah rusak menurut ulama

H}anafi>yah, tetapi batal menurut ulama Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah, dan

H{ana>bilah.

2) Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan

Menurut ulama H}anafi>yah termasuk rusak dan terjadi akad

atas nilainya, sedangkan menurut ulama Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah, dan

H{ana>bilah adalah batal sebab ada nas}s} yang jelas.

3) Jual beli barang dari hasil pencegatan barang

Yakni mencegat pedagang dalam perjalanannya menuju

tempat yang dituju sehingga orang yang mencegatnya akan

mendapatkan keuntungan. Ulama H}anafi>yah berpendapat bahwa hal

itu makruh. Ulama Sha>fi’i>yah dan H{ana>bilah berpendapat, pembeli

54 Syafe’i,

(50)

boleh khiya>r. Ulama Ma>likiyah berpendapat bahwa jual seperti itu

termasuk rusak.

4) Jual beli waktu azan Jum’at

Yakni bagi laki-laki yang berkewajiban melaksanakan shalat

Jum’at. Menurut ulama H}anafi>yah adalah makruh, sedangkan ulama

Sha>fi’i>yah menghukumi s}ah}i>h haram. Tidak jadi pendapat yang

masyur dikalangan ulama Ma>likiyah, dan tidak sah menurut ulama

H{ana>bilah.55

5) Jual beli anggur untuk dijadikan khamr

Menurut ulama H}anafi>yah dan Sha>fi’i>yah adalah makruh,

seda

Gambar

Gambar hoax yang sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya,
gambar yang saya upload mbak. Hal ini terjadi karena kesalahan

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan Analisis Sefalometri Skeletal Sebelum dan Sesudah Perawatan Alat Myofunctional pada Pasien Maloklusi Dentoskeletal Kelas II Divisi I dalam Masa

Prosedur pengembangan media pem- belajaran berbasis komputer meliputi tahapan pendefinisian dengan cara melakukan analisis kurikulum, analisis karakteristik siswa,

1. Kemajuan teknologi di era globalisasi berpengaruh dengan pendidikan Indonesia baik dampak positif dan negatif pada peserta didik. Dampak negatif peserta didik

Telah dilakukan evaluasi yang menganalisis kesesuaian struktur organisasi dengan kinerja yang akan dihasilkan kepada sebagian unit kerja c.. Belum dilakukan evaluasi yang

Pemungutan suatu pajak dikatakan menimbulkan distorsi, apabila pemungutan pajak tersebut tidak netral atau tidak memenuhi keadilan dalam pembebanan pajak

E-book: Kemendiknas Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Dan Perbukuan, Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, 2011, hlm 7.. komponen pendidikan itu

Sedikitnya masyarakat yang ingin menjadi nasabah pada Bank Syariah karena masyarakat terbiasa menabung pada bank konvensional sehingga bank syariah memiliki peran

Dengan demikian, hipotesis yang diterima adalah hipotesis Ha, yaitu terdapat interaksi antara pemanfaatan CD komputer BSE (klasikal dan kelompok kecil) dengan motivasi