ii
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI ONLINE YANG MENCANTUMKAN GAMBAR DAN TESTIMONI HOAX DI PONOROGO
SKRIPSI
Oleh :
FEBRINA FITRI PERMATASARI SANTOSO NIM 210214181
Pembimbing : ISNATIN ULFAH, M.H.I. NIP. 197407142005012003
JURUSAN MUAMALAH FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
iii
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi atas nama saudara:
Nama : Febrina Fitri Permatasari Santoso
NIM : 210214181
Jurusan : Muamalah
Judul : Tinjauan Hukum Islam terhadap Jual Beli Online yang Mencantumkan Gambar dan Testimoni Hoax di Ponorogo
Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji dalam ujian muna>qasah.
Ponorogo, _____, _____ 20_____
Mengetahui Ketua Jurusan
Atik Abidah, M.S.I. NIP. 197605082000032001
Menyetujui Pembimbing
iv
KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO PENGESAHAN
Skripsi atas nama saudara:
Nama : Febrina Fitri Permatasari Santoso
NIM : 210214181
Jurusan : Muamalah
Judul : Tinjauan Hukum Islam terhadap Jual Beli Online yang Mencantumkan Gambar dan Testimoni Hoax di Ponorogo Skripsi ini telah dipertahankan pada sidang muna>qasah Fakultas Syariah Institut
Agama Islam Negeri Ponorogo pada:
Hari : Rabu
Tanggal : 11 Juli 2018
Dan telah diterima sebagai bagian dari persyaratan untuk memperoleh gelar
sarjana dalam Ilmu Syariah pada:
Hari : Rabu
Tanggal : 18 Juli 2018
Tim Penguji
1. Ketua Sidang :Dr. H. Moh. Munir, Lc., M.Ag. ( )
2. Penguji :Dr. Saifullah, M.Ag. ( )
3. Sekretaris :Isnatin Ulfah, M.H.I. ( )
Ponorogo, 18 Juli 2018
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah
v
ABSTRAK
Santoso, Febrina Fitri Permatasari. 2018. Tinjauan Hukum Islam terhadap Jual Beli Online yang Mencantumkan Gambar dan Testimoni Hoax di Ponorogo. Skripsi. Jurusan Muamalah, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo. Dosen Pembimbing Isnatin Ulfah, M.H.I.
Kata kunci: Hukum Islam, Jual Beli, Online, Gambar dan Testimoni Hoax
Bisnis jual beli online sedang marak dan berkembang pesat di Ponorogo. Jejaring sosial dan aplikasi pesan pribadipun tak luput dari para penjual dunia maya, mulai dari forum jual beli online di facebook, whatsapp, BBM (BlackBerry Messenger), line, dan instagram. Omset yang besar dan cenderung mudah, rupanya menjadi daya tarik tersendiri untuk berjualan secara online. Penjual onlinepun tak selalu para pedagang professional, mulai dari pelajar, mahasiswa, karyawan, serta ibu rumah tangga berlomba-lomba menjadi penjual terpercaya.Namun, banyak ditemui kasus di Ponorogo, para pelaku bisnis online yang melakukan tindakan ketidaksesuaian dalam jual beli dengan mencantumkan gambar dan testimoni
hoax pada jual belinya agar menarik perhatian pembeli.
Berdasarkan hal tersebut, penulis bermaksud meninjau fenomena dikalangan penjual onlinedari sudut pandang hukum Islam. Adapun hal menarik yang akan penulis angkat adalah bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap jual beli online
yang mencantumkan gambar hoax di Ponorogo serta bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap jual beli online yang mencantumkan testimoni hoax di Ponorogo. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian lapangan (fieldresearch). Untuk memperoleh data yang dibutuhkan, penelitian ini menggunakan tehnik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi, kemudian dianalisa dengan tiga alur kegiatan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan menggunakan metode induktif, yaitu metode yang menekankan pada pengamatan dahulu, lalu menarik kesimpulan berdasarkan pengamatan tersebut.
1
`BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam menganggap penting urusan muamalah. Islam juga mengatur
hubungan antara manusia dengan manusia lainnya. Islam menyuruh kita agar
mencari rezeki yang halal. Dengan kata lain, Islam tidak menganggap penting
urusan akhirat saja, Islam menghendaki kesejahteraan hidup manusia baik di
dunia dan di akhirat.1
Jual beli dalam Islam tidak terlepas dari kehidupan bermuamalah,
karena jual beli adalah bentuk dasar dari kegiatan ekonomi manusia dan
merupakan aktivitas yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Sembilan
dari sepuluh pintu rezeki adalah melalui berdagang. Artinya, melalui
perdagangan (jual beli) inilah, pintu-pintu rezeki akan dapat dibuka sehingga
karunia Allah terpancar karena hal ini diperbolehkan.2
Jual beli termasuk mata pencaharian yang lebih sering dipraktikkan
para sahabat Rasulullah SAW dibanding dengan mata pencaharian lainnya,
seperti pertanian. Di samping itu, karena manfaatnya lebih umum dirasakan
dan banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian, Islam tidak
menghendaki pemeluknya melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan
1
Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), 2-3. 2Tira Nur Fitria, “Bisnis
ajarannya, seperti praktik riba> dan penipuan,3 seperti firman Allah QS.
Al-Baqarah 275,4
...
......Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...5
Jual beli merupakan tukar menukar harta benda atau sesuatu yang
diinginkan dengan sesuatu yang sepadan melalui cara tertentu yang
bermanfaat. Hal ini telah dipraktikkan oleh masyarakat primitif ketika uang
belum digunakan sebagai alat tukar menukar barang, yaitu dengan sistem
barter.6 Barter merupakan sebuah kegiatan dagang yang dilakukan dengan
cara mempertukarkan komoditi yang satu dengan komoditi lain. Jadi dalam
barter terjadi proses jual beli namun pembayarannya tidak menggunakan
uang, melainkan menggunakan barang.7 Meskipun jual beli dengan sistem
barter telah ditinggalkan, diganti dengan sistem mata uang, tetapi terkadang
esensi jual beli seperti barter masih berlaku.8
Di sisi lain, barter ditinggalkan karena semakin banyak dan
kompleksnya kebutuhan manusia, semakin sulit melakukan barter sehingga
mempersulit muamalah antar manusia. Itulah sebabnya manusia dari dulu
sudah memikirkan perlunya suatu alat tukar yang dapat diterima oleh semua
pihak. Alat tukar demikian disebut uang. Uang merupakan inovasi besar
3
Ibid. 4al-Qur’a>n
, 2: 275. 5
Departemen Agama RI, al-Qur’a>n dan Terjemahannya (Bandung: Diponegoro, 2005), 47.
6
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana, 2013), 101. 7
Umi Riyanti, Jual Beli Barter dalam Perspertif Ekonomi Syariah (Skripsi IAIN Palangkaraya 2016), 7.
8
3
dalam peradaban perekonomian dunia, posisinya sangat strategis dalam
sistem ekonomi, dan sulit untuk diganti dengan media lainnya. Sepanjang
sejarah keberadaannya, uang memainkan peran penting dalam perjalanan
kehidupan manusia. Uang berhasil memudahkan dan mempersingkat waktu
transaksi pertukaran barang dan jasa. Uang dalam sistem ekonomi
memungkinkan perdagangan berjalan secara efektif dan efisien. Keberadaan
uang menyediakan alternatif transaksi yang lebih mudah daripada barter.9
Jual beli yang biasa dilakukan oleh masyarakat adalah bertemuanya
penjual dan pembeli di suatu tempat untuk melakukan suatu transaksi tukar
menukar barang dengan uang sebagai alat transaksinya. Sedangkan pada era
modern dan era teknologi saat ini, jual beli tidak mesti berhadapan langsung
tetapi sudah bisa via internet (e-mail) dan telepon, atau jual beli melalui kartu debit (debet card) atau kartu kredit (credit card), syariah charge card, dan pembayaran melalui cek/giro.10
Jual beli yang melalui internet disebut sebagai jual beli online. Jual beli online diartikan sebagai jual beli barang dan jasa melalui media elektronik, khususnya melalui internet atau secara online. Salah satu contoh adalah penjualan produk secara online melalui internet. Jual beli via internet adalah jual beli yang terjadi di media elektronik, yang mana transaksi jual beli
tidak mengharuskan penjual dan pembeli bertemu secara langsung atau saling
menatap muka secara langsung, dengan menentukan ciri-ciri, jenis barang,
9
Santi Endriani, “Konsep Uang: Ekonomi Islam vs Ekonomi Konvensional,” Anterior Jurnal Volume 15, 1 (Desember 2015), 70-71.
10
sedangkan untuk harganya dibayar terlebih dahulu baru diserahkan
barangnya.11
Dalam jual beli online, penjual dituntut bersikap tidak kontradiksi secara disengaja antara ucapan dan perbuatan dalam bisnisnya. Mereka
dituntut tepat janji, tepat waktu, mengakui kelemahan dan kekurangan, selalu
memperbaiki kualitas barang atau jasa secara berkesinambungan serta tidak
boleh menipu dan berbohong. Penjual harus memiliki amanah dengan
menampilkan sikap keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan
berbuat yang baik dalam segala hal, apalagi berhubungan dengan pelayanan
masyarakat. Dengan sifat amanah, pelaku usaha memiliki tanggung jawab
untuk mengamalkan kewajiban-kewajibannya.12
Jual beli di atas sangat berbeda dengan aktivitas jual beli online yang diterapkan pada beberapa kasus jual beli online di Ponorogo. Di Ponorogo sendiri, terdapat beberapa jual beli online yang menjual pakaian, jilbab, tas, sepatu, makanan, minuman, kebutuhkan pokok, buku, atau bahkan kosmetik.
Kebutuhan dan minat beli masyarakat yang tinggi di Ponorogo dimanfaatkan
oleh para pelaku usaha untuk membuka bisnis online. Banyak ditemui kasus, para pelaku bisnis online yang melakukan tindakan ketidaksesuaian antara gambar yang diposting dengan barang yang sebenarnya.13
Dari pengamatan penulis, diketahui bahwa ada beberapa permasalahan
kompleks yang terjadi pada jual beli online di Ponorogo. Di antaranya adanya
11Nur, “Bisnis Jual”, 55. 12
Veithzal Rivai dan Andi Buchari, Islamic Economics: Ekonomi Syariah Bukan OPSI, Tetapi Solusi! (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), 237.
13
5
penjual online yang mencantumkan gambar hoax14 serta menggunakan testimoni hoax15 pada jual belinya agar menarik para pembeli.16
Terkait gambar hoax, yang dimaksud adalah gambar yang diposting dalam media sosial tidak sesuai dengan barang yang sebenarnya. Terkadang
penjual juga tidak menjelaskan klasifikasi barang yang dijual. Gambar barang
di media sosial terlihat menarik dan bagus, namun setelah barang diterima
oleh pembeli, barang yang diterima jauh berbeda dengan gambar yang
diposting. Sedangkan testimoni hoax yang dimaksud merupakan testimoni yang biasanya diambil dari testimoni yang diupload oleh penjual lain.17
Misalnya pada jual beli online Us Shop, sebagaimana dikatakan penjual alasannya mencantumkan gambar hoax, “saya mentantumkan gambar
hoax agar jual beli online saya menarik perhatian pembeli mbak.” Dalam testimoni hoaxpun ia juga mencantumkan, sebagaimana penuturannya, “saya
menggunakan testimoni hoax untuk lebih meyakinkan pembeli yang akan membeli pada jual beli saya bahwa jual beli saya ramai dikunjungi pembeli
dan pembeli merasa puas dengan barang-barang yang mereka beli mbak.”18
Dalam Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang hukum dan
pedoman bermuamalah melalui media sosial telah dijelaskan tentang larangan
memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya
14
Gambar hoax adalah informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi sebenarnya. (lihat Budi Mansyah, Fenomena Berita Hoax Media Sosial (Facebook) dalam Menghadapi Pemilihan Umum Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017 (Skripsi Universitas Pasundan 2017), 19.)
15
Testimoni hoax adalah pengakuan atau dukungan terhadap suatu bisnis dari konsumen yang puas. (lihat Sabrina Setiawati, Pengaruh Testimonial Produk Pakaian terhadap Tindakan Membeli Secara Online (Skripsi Universitas Ageng Tirtayasa 2015), 14-15.)
16
Observasi RnB Shop, Tanggal 6 Februari 2018, Pukul 18.30 WIB. 17
Observasi di outlet Ale Olshop, Tanggal 6 Februari 2018, Pukul 15.00 WIB. 18
konten/informasi tentang hoax; menggunjing; fitnah; adu domba; aib;
bullying; ujaran kebencian; dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan/atau khalayak, serta memproduksi dan/atau menyebarkan
konten informasi yang bertujuan untuk membenarkan yang salah atau
menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan
sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak.19
Di dalam hukum Islam juga dijelaskan bahwa penjual harus
mempunyai niat baik (suci) serta jujur dan amanah agar jual belinya berhasil.
Niat baik (suci) yang dimaksud adalah tidak ada unsur penipuan. Penjual
harus melakukan aktivitas jual beli yang akan menghantarkan seseorang
merasa berkecukupan dengan rezeki yang halal, dan akan mendapat
pertolongan serta dimudahkan dalam proses melaksanakan akad jual beli.
Jujur dan amanah juga akan mendatangkan keberkahan bagi para penjual.
Penjual yang seperti ini akan diridai Allah dan akan bertambah pelanggannya,
sedangkan penjual yang berbohong sekalipun mendapatkan untung besar,
namun tidak mendatangkan keberkahan dan para pelanggan yang dicurangi
tidak akan lagi membeli kepadanya.20 Hukum Islam pun juga melarang
penjual menjual barang yang tidak jelas atau ghara>r, karena jual beli yang
seperti ini akan mengandung resiko atau bahaya kepada salah satu pihak
sehingga mendatangkan kerugian finansial.21
19
Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 Tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial.
20
Hidayat, Fiqih Jual, 27-30. 21
7
Dari beberapa uraian di atas peneliti akan melakukan penelitian
tentang tinjauan hukum Islam terhadap jual beli online di Ponorogo yang mencantuman gambar serta testimoni hoax. Dalam hal ini, peneliti membatasi pada jual beli online yang menjual produk wanita seperti pakaian, jilbab, tas, sepatu, botol minuman, dan make up karena penipuan paling banyak terjadi
pada produk tersebut.
Jual beli online di Ponorogo dipilih sebagai lokasi penelitian, karena di Ponorogo terdapat banyak penjual online. Selain itu jual beli online di Ponorogo terdapat praktik penjual yang tidak sesuai aturan, sehingga dapat
menjawab masalah pokok dalam penelitian ini.
Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti ingin
melakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Jual
Beli Online yang Mencantumkan Gambar dan Testimoni Hoax di Ponorogo”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat
diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap jual beli online yang mencantumkan gambar hoax di Ponorogo?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam melakukan
penelitian adalah untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang telah
diidentifikasikan di atas, yaitu:
1. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap jual beli online yang mencantumkan gambar hoax di Ponorogo.
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap jual beli online yang mencantumkan testimoni hoax di Ponorogo.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, maka
kegunaan penelitian yang diharapkan adalah:
1. Secara teoritik: Memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan
ilmu ekonomi Islam tentang jual beli online yang benar, serta menjadi rujukan penelitian selanjutnya.
2. Secara praktis: Dijadikan bahan rujukan dalam berbisnis bagi para
pembaca pada umumnya, dan para penjual online di Ponorogo pada khususnya untuk berperilaku sesuai ketentuan hukum Islam.
E. Telaah Pustaka
Dalam telaah pustaka ini penulis mengemukakan hasil penelitian yang
9
Skripsi Mochammad Huda, UIN Sunan Ampel Surabaya yang
berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Transaksi Jual Beli Dengan Sistem Online. Skripsi ini mengangkat masalah tentang praktik transaksi jual beli dengan sistem online dan tinjauan hukum Islam terhadap transaksi jual beli dengan sistem online. Skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan jenis penelitian lapangan. Kesimpulan dari skripsi ini adalah praktik transaksi
jual beli dengan sistem online merupakan proses pertukaran dan distribusi informasi antara dua pihak di dalam satu perusahaan online dengan menggunakan internet dengan cara melakukan browsing pada situs-situs
perusahaan yang ada, memilih suatu produk, menayakan harga, membuat
suatu penawaran, sepakat untuk melakukan pembayaran, mengecek indentitas
dan validitas mekanisme pembayaran, penyerahan barang oleh penjual dan
penerimaan oleh pembeli. Sistem jual beli online dalam konteks hukum Islam diperbolehkan karena dalam sistem jual beli ini tidak mengandung unsur
penipuan, barang yang dijual sesuai dengan informasi yang telah ada pada
website yang disediakan oleh penjual.22
Skripsi Disa Nusia Nisrina, UIN Alauddin Makassar yang berjudul
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Online dan Relevansinya Terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Skripsi ini mengangkat masalah tentang tinjauan hukum Islam terhadap jual beli online, hak-hak konsumen dalam hukum Islam dan undang-undang perlindungan konsumen,
dan relevansi jual beli online dalam tinjauan hukum Islam terhadap
22
undang perlindungan konsumen. Skripsi ini menggunakan pendekatan
kualitatif, dengan jenis penelitian kepustakaan. Kesimpulan dari skripsi ini
adalah jual beli online yang mengandung kemaslahatan dan efisiensi waktu termasuk aspek muamalah yang pada dasarnya mubah (boleh), kecuali ada
dalil yang mengharamkannya. Hak-hak konsumen dalam hukum Islam berupa
hak khiya>r, sedangkan hak-hak konsumen dalam undang-undang
perlindungan konsumen, terdapat pada pasal 4. Relevansi jual beli online
menurut hukum Islam terhadap undang-undang perlindungan konsumen,
secara garis besar dapat disimpulkan berdasarkan asas dan tujuan yang
terdapat pada undang-undang perlindungan konsumen dan hukum Islam,
yaitu asas manfaat; keadilan; keamanan; keseimbangan; dan kepastian hukum
dan dalam hukum Islam ditambahkan mengenai informasi terkait halal dan
haram.23
Skripsi Putra Kalbuadi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
berjudul Jual Beli Online dengan Sistem Dropsipping Menurut Sudut Pandang Akad Jual Beli Islam. Skripsi ini mengangkat masalah tentang skema dari jual beli online dengan sistem dropshipping dan kesesuaian akad jual beli dalam Islam dengan jual beli online menggunakan sistem
dropshipping. Skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan jenis penelitian lapangan. Kesimpulan dari skripsi ini adalah sistem jual beli online
dengan sistem dropshipping memiliki kesamaan dengan skema akad salam
23
11
maupun akad wakalah. Sistem dropshipping adalah bentuk muamalah yang diperbolehkan.24
Skripsi Rohmatul Mega, STAIN Ponorogo yang berjudul Tinjauan Etika Bisnis Islam Terhadap Mobile Marketing pada “Kyla OL Shop” di
Ponorogo. Skripsi ini mengangkat masalah tentang pemanfaatan mobile marketing yang dilakukan oleh Kyla OL Shop di Ponorogo sebagai media pemasaranya. Fungsi pemasaran dalam etika bisnis Islam terbagi menjadi
etika pemasaran dalam konteks produk, harga, distribusi dan produksi. Selain
itu, pelaku bisnis harus memiliki etika dalam menjalankan fungsi
pemasarannya. Skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan jenis
penelitian lapangan. Kesimpulan dari skripsi ini adalah dalam menjalankan
pemasarannya dengan mobile marketing Kyla OL Shop sudah sesuai dengan etika pemasaran baik dalam konteks produk, harga, distribusi, maupun
promosi. Serta Kyla OL Shop sebagai pelaku bisnis sudah memiliki etika
(akhlak) dalam menjalankan fungsi pemasaran, tetapi ada etika yang kurang
etis yaitu tidak memberikan hak khiyar kepada pembeli.25
Dari pemaparan telaah pustaka di atas, dapat diketahui bahwa
penelitian ini sama-sama menggunakan pendekatan kualitatif serta sama-sama
membahas tentang jual beli online dalam perspektif hukum Islam. Pada penelitian pertama, skripsi Mochammad membahas prakik transaksi jual beli
dengan sistem online dan pandangan hukum Islam terhadap transaksi jual beli
24
Putra Kalbuadi, Jual Beli Online dengan Sistem Dropsipping Menurut Sudut Pandang Akad Jual Beli Islam (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015).
25
Rohmatul Mega, Tinjauan Etika Bisnis Islam terhadap Mobile Marketing pada “Kyla
dengan sistem online. Sedangkan penelitian kedua, skripsi Disa membahas pandangan hukum Islam terhadap jual beli online, hak-hak konsumen dalam hukum Islam dan UUPK, serta relevansi jual beli online dalam pandangan hukum Islam terhadap UUPK. Lain halnya dengan penelitian ketiga, skripsi
Putra membahas skema jual beli online dengan sistem dropshipping dan jual beli online dengan sistem dropshipping jika ditinjau dari kesesuaian akad jual beli dalam Islam. Namun, belum pernah ditemukan penelitian tentang
pencantuman gambar dan testimoni hoax yang ditinjau dari hukum Islam.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Jika dilihat dari perolehan data, penelitian ini termasuk dalam jenis
penelitian lapangan (field research) yaitu suatu penelitian yang dilakukan dalam kancah kehidupan yang sebenarnya.26 Penelitian ini dilakukan
dengan cara mencari data secara langsung dengan melihat objek yang
diteliti dengan peneliti sebagai subjek penelitian, dengan memilih
orang-orang tertentu yang sekiranya dapat memberikan data yang penulis
butuhkan.
Jika dilihat dari jenis data, maka penelitian ini termasuk dalam
jenis penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
26
13
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah.27 Peneliti menggunakan
pendekatan normatif, yaitu menggunakan teori hukum Islam yang
didasarkan pada nilai-nilai dalam al-Qur’a>n dan as-Sunnah. Pendekatan
tersebut digunakan untuk menganalisis fenomena sosial yang terjadi di
kalangan jual beli online di Ponorogo, melalui data deskripsi berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
2. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian kualitatif, kehadiran peneliti dalam penelitian
sangat diperlukan. Peneliti sekaligus merupakan perencana, pelaksana
pengumpulan data, analisis, penafsir data, dan pada akhirnya peneliti
menjadi pelapor hasil penelitiannya.28 Oleh karena itu, penulis hadir secara
langsung di tengah-tengah informan untuk mengamati perilaku mereka
sebagai penjual online yang mencantumkan gambar dan testimoni hoax
pada jual beli onlinenya. Peneliti juga hadir untuk melakukan observasi secara terang-terangan untuk memastikan dugaan awal yang diperoleh dari
pengamatan awal.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah pada jual beli online di Ponorogo, yaitu Agn Shop, Us Shop, Ale Olshop, RnB Shop, dan Domi Olshop. Peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian di lokasi tersebut karena ada beberapa
permasalahan terkait dengan perilaku penjual online di Ponorogo terhadap
27
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), 6.
28
pencantuman gambar dan testimoni hoax pada jual beli onlinenya. Lokasi penelitian yang dipilih antara lain
a. Jual beli online Nik dengan namaAgn Shop. b. Jual beli online Us dengan namaUs Shop. c. Jual beli online Cit dengan outlet Ale Olshop. d. Jual beli online Rat dengan nama RnB Shop e. Jual beli Ik dengan outlet Domi Olshop. 4. Data dan Sumber Data
a. Data
1) Data umum
Data umum yang digunakan peneliti berupa fenomena yang
tengah marak di Ponorogo yang berkaitan dengan jual beli online. 2) Data khusus
Sedangkan data khusus yang digunakan adalah praktik
penjual online di Ponorogo yang mencantumkan gambar dan testimoni hoax pada aktivitas jual belinya.
b. Sumber data
Yang dimaksud dengan sumber data adalah sumber di mana data
penelitian itu melekat dan atau dapat diperoleh.29 Dalam penelitian ini
sumber data yang digunakan adalah:
29
15
1) Sumber data primer
Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari
subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat
pengambilan data langsung kepada subyek sebagai sumber informasi
yang dicari.30 Data ini dapat diperoleh melalui wawancara dan
observasi dengan penjual online yang mencantumkan gambar dan testimoni hoax di Ponorogo yaitu Nik, Us, Cit, Rat, dan Ik,31 dan pihak yang terlibat dalam jual beli online seperti pembeli yang dirugikan karena gambar hoax yaitu Ay, Shof, It, Pit, Le, dan Mit.32 2) Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari
tangan kedua atau dari sumber-sumber lain yang telah tersedia
sebelum penelitian dilakukan.33 Data ini diperoleh dari dokumen
Statistik Daerah Kabupaten Ponorogo 2017 dan Kecamatan Ponorogo
Dalam Angka 2017 yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik
Kabupaten Ponorogo serta buku atau penelitian terdahulu yang
berkaitan dengan jual beli online yang mencantumkan gambar dan testimoni hoax.
30
Ibid. 31
Nama disamarkan untuk menjaga kerahasiaan data. 32
Ibid. 33
5. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini melalui:
a. Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data yang dilakukan
dengan memperhatikan suatu gejala, kejadian atau sesuatu dengan
maksud menafsirkannya, mengungkapkan faktor-faktor penyebabnya,
dan menemukan kaidah-kaidah yang mengaturnya.34 Peneliti
melakukan observasi atau pengamatan untuk mendapatkan data tentang
pencantuman gambar dan testimoni hoax pada jual beli onlinenya. b. Wawancara
Wawancara merupakan proses memperoleh keterangan untuk
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara
penanya atau pewawancara dengan penjawab atau responden dengan
menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara).35 Wawancara dilakukan dengan penjual online di Ponorogo terhadap mencantuman gambar dan testimoni hoax pada jual beli onlinenya.
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan suatu cara untuk mengumpulkan data
yang sudah tersedia dalam bentuk catatan dokumen.36 Yaitu mencari
data mengenai hal-hal atau variabel berupa cacatan, transkip, buku,
34
Emzir, Metodologi Penelitan Kualitatif: Analisis Data (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada, 2011), 38.
35
Moh. Nazir, Metode Penelitian (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2013), 194. 36
17
surat kabar, majalah, notulen rapat, dan sebagainya.37 Dokumentasi
peneliti gunakan untuk memperoleh data tentang pencantuman gambar
dan testimoni hoax pada jual beli onlinenya. 6. Analisis Data
Analisis data adalah proses penghimpunan atau pengumpulan,
pemodelan dan transformasi data dengan tujuan untuk menyoroti dan
memperoleh informasi yang bermanfaat, memberikan saran, kesimpulan
dan mendukung pembuatan keputusan.38
Menurut Miles dan Huberman, kegiatan analisis terdiri dari tiga
alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi.
a. Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstraksian, dan transformasi data kasar yang
muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.
b. Penyajian data (display) yaitu sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan keputusan. Melalui data yang disajikan, kita melihat dan
akan dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus
dilakukan berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari
penyajian-penyajian tersebut.
37
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik) (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2013), 132.
38
c. Penarikan kesimpulan (conclusing data) adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapkan
adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada.39
7. Pengecekan Keabsahan Data
Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaharui dari
konsep kesahihan dan keandalan. Sehingga dalam penelitian ini dalam
pengecekan keabsahan data yang digunakan adalah:
a. Ketekunan pengamatan yaitu menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur
dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang
sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut
secara rinci.
b. Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap itu. Hal ini
membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.40
G. Sistematika Pembahasan
Agar lebih mudah dan praktis dalam pembahasan skripsi ini, maka
penulis membagi menjadi lima bab yang masing-masing dapat diuraikan
sebagai berikut:
39
Silalahi, Metode Penelitian, 340-341. 40
19
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pola dasar atau tempat berpijak dari
keseluruhan skripsi ini yang terdiri dari latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah
pustaka, kajian teori, metodologi penelitian, dan sistematika
pembahasan. Latar belakang merupakan adanya masalah atau
ketidak sesuaian antara data dengan teori. Rumusan masalah
merupakan pertanyaan yang didukung oleh kenyataan konkrit
yang disampaikan dalam latar belakang masalah. Tujuan
penelitian merupakan korelasi dengan rumusan masalah.
Manfaat penelitian merupakan turunan lebih lanjut dari tujuan
penelitian. Telaah pustaka merupakan literatur/kajian terhadap
penelitian terdahulu yang relevan dengan topik dan masalah
penelitian. Kajian teori merupakan diskripsi realitas sosial yang
berfungsi sebagai sarana untuk memahami dan menafsirkan.
Metode penelitian merupakan cara yang peneliti gunakan untuk
penelitiannya. Sistematika pembahasan merupakan alur
bahasan sehingga dapat diketahui logika penyusunan dan
koherensi antara satu bagian dengan bagian yang lain.
BAB II : TEORI TENTANG JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM
Bab ini merupakan landasan teori. Dalam bab ini penulis akan
menjabarkan tentang jual beli yang meliputi: pengertian jual
dibolehkan dan dilarang dalam Islam.
BAB III : PRAKTIK PERILAKU PENJUAL ONLINE DI PONOROGO Bab ini merupakan penyajian data hasil penelitian yang berisi
tentang data umum berupa fenomena yang tengah marak di
Ponorogo yang berkaitan dengan jual beli online dan data khusus berupa banyaknya fenomena penjual online di Ponorogo yang mencantumkan gambar dan testimoni hoax
pada jual belinya.
BAB IV : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI
ONLINE YANG MENCANTUMKAN GAMBAR DAN TESTIMONI HOAX DI PONOROGO
Bab ini merupakan analisi data, meliputi: tinjauan hukum Islam
terhadap jual beli online yang mencantumkan gambar hoax, serta tinjauan hukum Islam terhadap jual beli online yang mencantumkan testimoni hoax.
BAB V : PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari
rumusan permasalahan, serta saran-saran dari penulis yang
dianggap penting tentang skripsi dan kritik yang membangun
21
BAB II
JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Jual Beli
Perdagangan atau jual beli secara bahasa berarti saling menukar.1
Menurut bahasa jual beli terdiri dari dua kata, yaitu “jual” dan “beli”. Kedua
kata ini dalam Bahasa Arab sama dengan al-bai>’ dan al-shira>’. Keduanya
merupakan rangkaian makna timbal balik.2 Definisi bai>’ adalah mengambil
sesuatu dan memberi sesuatu.3
Secara etimologis, jual beli berasal dari Bahasa Arab al-bai>’ yang
makna dasarnya menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu
yang lain.4 Dalam praktiknya, bahasa ini terkadang digunakan untuk
pengertian lawannya, yakni kata al-shira>’ (beli). Maka, kata al-bai>’ berarti
jual, tetapi sekaligus juga beli.5 Jual beli juga diartikan pertukaran sesuatu
dengan sesuatu.6 Tukar menukar sesuatu dengan sesuatu.7 Menyerahkan
pengganti dan mengambil sesuatu yang dijadikan alat pengganti tersebut.8
1
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Teras, 2011), 51. 2
Dede Nurohman, Memahami Dasar-Dasar Ekonomi Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), 62.
3
Miftahul Khairi, Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2014), 1-2.
4
Ghufron Ihsan dkk, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana, 2010), 67. 5
Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), 53.
6 Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 73. 7
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah: Diskursus Metodologis Konsep Interaksi Sosial Ekonomi (Kediri: Lirboyo Press, 2013), 2.
8
Secara terminologi jual beli merupakan bentuk yang berkaitan dengan
proses pemindahan hak milik barang atau asset kepada orang lain.9 Fuqaha>’
berbeda pendapat mengenai definisi bai>’ secara terminologis, yaitu alat tukar
(barter) harta dengan harta.10 Di kalangan ulama H}anafi> terdapat dua definisi,
jual beli adalah saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu dan
tukar menukar sesuatu yang diinginkan dengan yang sepadan melalui cara
tertentu yang bermanfaat. Ulama Ma>liki, Sha>fi’i>, dan H}anbali> memberikan
pengertian, jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk
pemindahan milik dan pemilikan. Definisi ini menekankan pada aspek milik
pemilikan, untuk membedakan dengan tukar menukar harta/benda yang tidak
mempunyai akibat milik kepemilikan, seperti sewa menyewa. Demikian juga,
harta yang dimaksud adalah harta dalam pengertian luas bisa barang dan bisa
uang.11
Yang dimaksud dengan benda dapat mencakup pada pengertian
barang dan uang, sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai, yakni
benda-benda yang berharga yang dapat dibenarkan penggunaannya menurut
sha>ra’, benda itu adakalanya bergerak (dipindahkan) dan adakalanya tetap
(tidak dapat dipindahkan), yang dapat dibagi-bagi, adakalanya tidak dapat
dibagi-bagi, harta yang ada perumpamaannya, tak ada yang menyerupainya,
dan penggunaan harta tersebut dibolehkan sepanjang tidak dilarang sha>ra’.12
9
Nurohman, Memahami Dasar, 62. 10
Khairi, Ensiklopedi Fiqh, 1-2. 11
Afandi, Fiqh Muamalah, 53. 12
23
Jual beli menurut Sayyi>d Sa>biq adalah pertukaran benda dengan
benda lain dengan jalan saling meridai atau memindahkan hak milik disertai
penggantinya dengan cara yang dibolehkan. Menurut Taqi>y al Di>n
sebagaimana dikutip oleh Huda, jual beli adalabh saling menukar harta
(barang) oleh dua orang untuk dikelola dengan cara ijab dan qabul sesuai
dengan sha>ra’. Menurut Wahbah al Zuh}aili> adalah saling tukar menukar harta
dengan cara tertentu.13
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan jual beli tersebut.
1. Ulama H}anafi>yah
Jual beli adalah pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan
cara khusus (yang dibolehkan).
2. Ima>m Nawa>wi> dalam al-Majmu>’
Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.
3. Ibnu Quda>mah dalam kitab al-Mughni>
Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta, untuk saling
menjadi milik.14
Para fuqaha>’ menggunakan istilah al-bai>’ kepada makna
mengeluarkan atau memindahkan sesuatu dari kepemilikannnya dengan harta
tertentu.15 Menurut Pasal 20 ayat 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, bai>’
adalah jual beli antara benda dan benda, atau pertukaran benda dengan uang.
Berdasarkan definisi di atas, maka pada intinya jual beli itu adalah tukar
13
Huda, Fiqh Muamalah, 51-52. 14
Buchari Alma dan Donni Juni Priansa, Manajemen Bisnis Syariah (Bandung: Alfabeta, 2016), 142.
15
menukar barang. Hal ini telah dipraktikkan oleh masyarakat primitif ketika
uang belum digunakan sebagai alat tukar menukar barang, yaitu dengan
sistem barter.16
Inti jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang
yang mempunyai nilai secara sukarela (kesepakatan) di antara kedua belah
pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain yang menerimanya
sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan sha>ra’ dan
disepakati. Yang dimaksud sesuai dengan ketetapan hukum ialah memenuhi
persyaratan-persyaratan, rukun-rukun, dan hal-hal lainnya yang ada kaitannya
dengan jual beli, maka bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti
tidak sesuai dengan kehendak sha>ra’.17
B. Rukun dan Syarat Jual Beli
Di antara ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan persyaratan
jual beli, yaitu:
1. MadhhabH}anafi>
Persyaratan yang ditetapkan oleh ulama H}anafi>yah berkaitan
dengan syarat jual beli adalah:
a. Syarat terjadinya akad
Syarat terjadinya akad merupakan syarat-syarat yang ditetapkan
sha>ra’. Jika persyaratan ini tidak terpenuhi, jual beli batal. Tentang
syarat ini, ulama H}anafi>yah menetapkan empat syarat, yaitu:
16
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana, 2013) 101. 17
25
1) Syarat orang yang berakad
a) Berakal dan mumayyi>z
b) Orang yang berakad harus berbilang18
2) Syarat dalam akad
Syarat ini hanya satu, yaitu harus sesuai ijab dan qabul.
Namun, dalam ijabqabul terdapat tiga syarat berikut:
a) Ahli akad
b) Qabul harus sesuai dengan ijab
c) Ijab dan qabul harus bersatu19
3) Tempat akad
4) Objek akad
Objek akad harus memenuhi empat syarat yaitu:
a) Objek akad harus ada, tidak boleh akad atas barang-barang yang
tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada, seperti jual beli buah yang
belum tampak, atau jual beli anak hewan yang masih dalam
kandungan.
b) Harta harus kuat, tetap, dan bernilai yakni benda yang mungkin
dimanfaatkan dan disimpan.
c) Benda tersebut milik sendiri.
d) Dapat diserahkan.20
18
Alma, Manajemen Bisnis, 143-144. 19
Ibid., 144-145. 20
b. Syarat pelaksanaan akad
1) Benda dimiliki orang yang berakad atau berkuasa untuk akad.
2) Pada benda tidak terdapat milik orang lain.21
c. Syarat sah akad
Syarat ini terbagi atas dua bagian, yaitu umum dan khusus:
1) Syarat umum
Syarat umum merupakan syarat-syarat yang berhubungan
dengan semua bentuk jual beli yang telah ditetapkan sha>ra’. Di
antaranya adalah syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Juga
harus terhindar kecacatan jual beli, yaitu ketidakjelasan,
keterpaksaan, pembatasan dengan waktu, penipuan, kemadharatan,
dan persyaratan yang merusak lainnya.22
2) Syarat khusus
Syarat khusus merupakan syarat-syarat yang hanya ada pada
barang-barang tertentu. Jual beli ini harus memenuhi persyaratan
berikut ini:
a) Barang yang diperjualbelikan harus dapat dipegang, yaitu pada
jual beli benda yang harus dipegang sebab apabila dilepaskan
akan rusak atau hilang.
b) Harga awal harus diketahui, yaitu pada jual beli amanat.
c) Serah terima benda dilakukan sebelum terpisah, yaitu pada jual
beli yang bendanya ada ditempat.
21
Ibid. 22
27
d) Terpenuhinya syarat penerimaan.
e) Harus seimbang dalam ukuran timbangan, yaitu dalam jual beli
yang memakai ukuran dan timbangan.
f) Barang yang diperjualbelikan sudah menjadi tanggungjawabnya.
Oleh karena itu, tidak boleh menjual barang yang masih berada
ditangan penjual.23
3) Syarat kemestian
Akad jual beli harus terlepas atau terbebas dari pilihan yang
berkaitan dengan kedua pihak yang akad dan akan menyebabkan
batalnya akad.24
2. MadhhabMa>liki
Syarat yang dikemukakan oleh ulama Ma>likiyah yang berkenaan
dengan orang yang berakad, ijab dan qabul, benda atau barang berjumlah
sebelas syarat.
a. Syarat orang yang berakad
Orang yang berakad merupakan penjual dan pembeli. Dalam hal
ini terdapat tiga syarat, ditambah satu bagi penjual:
1) Penjual dan pembeli harus mumayyi>z.
2) Keduanya merupakan pemilik barang atau yang dijadikan wakil.
3) Keduanya dalam keadaan sukarela. Jual beli berdasarkan paksaan
adalah tidak sah.
4) Penjual harus sadar dan dewasa.25
23
Ibid. 24
b. Syarat dalam ijab qabul
1) Tempat akad harus bersatu.
2) Pengucapan ijab qabul tidak terpisah.
c. Syarat harga dan yang dihargakan
1) Bukan barang yang dilarang sha>ra’.
2) Harus suci, maka tidak dibolehkan menjual khamr, dll.
3) Bermanfaat menurut pandangan sha>ra’.
4) Dapat diketahui oleh kedua orang yang berakad.
5) Dapat diserahkan.26
3. Madhhab Sha>fi’i>
Ulama Sha>fi’i>yah mensyaratkan dua puluh dua syarat, yang
berkaitan dengan orang berakad, ijab dan qabul, dan benda atau barang.
Persyaratan tersebut adalah:
a. Syarat orang yang berakad
1) Dewasa atau sadar
2) Tidak dipaksa atau tanpa hak
3) Islam
4) Pembeli bukan musuh27
b. Syarat ijab qabul
1) Berhadap-hadapan
2) Ditunjukkan pada seluruh badan yang berakad
25 Syafe’i,
Fiqih Muamalah, 81. 26
Ibid. 27
29
3) Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab
4) Harus menyebutkan barang atau harta
5) Ketika mengucapkan ijab qabul harus disertai niat (maksud)
6) Pengucapan ijab qabul harus sempurna28
7) Ijab qabul tidak terpisah
8) Antara ijab dan qabul tidak terpisah dengan pernyataan lain
9) Tidak berubah lafadh
10) Bersesuaian antara ijab dan qabul secara sempurna
11) Tidak dikaitkan dengan sesuatu
12) Tidak dikaitkan dengan waktu29
c. Syarat benda atau barang
1) Suci
2) Bermanfaat
3) Dapat diserahkan
4) Barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain
5) Jelas dan diketahui oleh kedua orang yang melakukan akad30
4. MadhhabH{anbali>
Menurut ulama H{ana>bilah, persyaratan jual beli terdiri atas sebelas
syarat, baik dalam orang yang berakad, ijabqabul, dan benda atau barang.
a. Syarat orang yang berakad
1) Dewasa atau sadar
28
Ibid., 148. 29
Ibid., 148-149. 30
2) Ada keridaan
b. Syarat ijab dan qabul
1) Berada di tempat yang sama
2) Tidak terpisah
3) Tidak dikaitkan dengan sesuatu31
c. Syarat benda atau barang
1) Harus berupa harta
Benda atau barang adalah barang-barang yang bermanfaat
menurut pandangan sha>ra’. Adapun barang-barang yang tidak
bermanfaat hanya dibolehkan jika dalam keadaan terpaksa, misalnya
membeli khamr sebab tidak ada lagi air lainnya. Dibolehkan pula
membeli burung karena suaranya bagus.
Ulama H{anabilah mengharamkan jual beli al-Qur’a>n, baik
untuk orang muslim maupun kafir sebab al-Qur’a>n itu wajib
diagungkan, sedangkan menjualnya berarti tidak mengagungkannya.
Begitu pula mereka melarang jual beli barang barang mainan
dan barang-barang yang tidak bermanfaat lainnya.
2) Milik penjual secara sempurna
Dipandang tidak sah jual beli yang menjual barang tanpa
seizin pemiliknya.
3) Barang dapat diserahkan ketika akad
4) Barang diketahui oleh penjual dan pembeli
31
31
Benda atau barang harus jelas dan diketahui kedua pihak
yang melangsungkan akad. Namun demikian, dianggap sah jual beli
orang buta.
5) Harga diketahui oleh kedua pihak yang akad
6) Terhindar dari unsur-unsur yang menjadikan akad tidak sah
Barang, harga, dan orang yang berakad harus terhindar dari
unsur-unsur yang menjadikan akad tersebut menjadi tidak sah,
seperti riba> dan ghara>r.32
5. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
Dalam KHES buku II, bab VI tentang bai>’, bagian keenam pada
objek bai>’ pasal 76, dijelaskan bahwa syarat obyek yang diperjualbelikan
adalah:
a. Barang yang dijualbelikan harus sudah ada
b. Barang yang dijualbelikan harus dapat diserahkan
c. Barang yang dijualbelikan harus berupa barang yang memiliki
nilai/harga tertentu
d. Barang yang dijualbelikan harus halal
e. Barang yang dijualbelikan harus diketahui oleh pembeli
f. Kekhususan barang yang dijualbelikan harus diketahui
g. Penunjukkan dianggap memenuhi syarat kekhususan barang yang
dijualbelikan jika barang itu ada di tempat jual beli
32
h. Sifat barang yang dapat diketahui secara langsung oleh pembeli tidak
memerlukan penjelasan lebih lanjut33
C. Macam Jual Beli
Ulama H}anafi>yah, Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah, dan H{ana>bilah membagi
macam-macam jual beli sebagai berikut:
1. Dilihat dari sisi objek yang diperjualbelikan, jual beli dibagi kepada tiga
macam, yaitu:
a. Jual beli mut}la>qah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan
uang.
b. Jual beli s}arf, yaitu jual beli antara satu mata uang dan mata uang lain.
c. Jual beli muqayyadah, yaitu jual pertukaran antara barang dengan
barang (barter), atau pertukaran antara barang dengan barang yang
dinilai dengan valuta asing.34
2. Dilihat dari segi cara menetapkan harga, jual beli dibagi menjadi empat
macam, yaitu:
a. Jual beli tawar menawar, yaitu jual beli biasa ketika penjual tidak
memberitahukan harga pokok dan keuntungan yang didapatnya.
b. Jual beli amanah, yaitu jual beli ketika menjual memberitahukan modal
jualnya (harga perolehan barang). Jual beli amanah ada tiga, yaitu:
1) Jual beli mura>bah}ah, yaitu jual beli ketika penjual menyebutkan
harga pembelian barang dan keuntunganyang diinginkan.
33
Kompilasi Hukum Islam, Buku II, bab IV. 34
33
2) Jual beli muwa>d}a’ah (diskon), yaitu jual beli dengan harga di bawah
harga modal dengan jumlah kerugian yang diketahui, untuk
penjualan barang atau aktiva yang nilai bukunya sudah sangat
rendah.
3) Jual beli tawli>ya>t, yaitu jual beli dengan harga modal tanpa
keuntungan dan kerugian.
c. Jual beli dengan harga tangguh, yaitu jual beli dengan penetapan harga
yang akan dibayar kemudian. Harga tangguh ini boleh lebih tinggi
daripada harga tunai dan bisa dicicil.
d. Jual beli muza>yadah (lelang), yaitu jual beli dengan penawaran dari
penjual dan para pembeli menawar. Penawar tertinggi terpilih sebagai
pembeli. Kebalikannya, jual beli muna>qad}ah, yaitu jual beli dengan
penawaran pembeli untuk membeli barang dengan spesifikasi tertentu
dan para penjual berlomba menawarkan dagangannya, kemudian
pembeli akan membeli dari penjual yang menawarkan harga termurah.35
3. Dilihat dari segi pembayaran, jual beli dibagi empat, yaitu:
a. Jual beli tunai dengan penyerahan barang dan pembayaran langsung.
b. Jual beli dengan pembayaran tertunda, yaitu jual beli yang penyerahan
barang secara langsung (tunai) tetapi pembayaran dilakukan kemudian
dan bisa dicicil.
c. Jual beli dengan penyerahan barang tertunda yang meliputi:
35
1) Jual beli sala>m, yaitu jual beli ketika pembeli membayar tunai di
muka atas barang yang dipesan (biasanya produk pertanian) dengan
spesifikasi yang harus diserahkan kemudian.
2) Jual beli istithna>’, yaitu jual beli yang pembelinya membayar tunai
atau bertahap atas barang yang dipesan (biasanya produk
manufaktur) dengan spesifikasi yang harus diproduksi den
diserahkan kemudian.
d. Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama
tertunda.36
D. Jual Beli yang Diperbolehkan dan Dilarang dalam Islam
Menurut madhhab H}anafi>, Ma>liki, Sha>fi’i, dan H{anbali> hukum jual
beli terbagi menjadi dua, yaitu jual beli yang diperbolehkan dalam Islam
(yang sesuai dengan hukum sha>ra’) dan jual beli yang dilarang dalam Islam
(yang bertentangan dengan hukum sha>ra’).
1. Jual beli yang diperbolehkan dalam Islam
Jual beli s}ah}i>h, yaitu jual beli yang disyariatkan menurut asal dan
sifatnya terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya tidak terkait dengan
hak orang dan tidak ada hak memilih di dalamnya. Jual beli s}ah}i>h
menimbulkan implikasi hukum, yaitu berpindahnya kepemilikan, yaitu
barang berpindah miliknya menjadi milik pembeli dan harga berpindah
36
35
miliknya menjadi milik pembeli.37 Pada dasarnya hukum asal bai>’
diperbolehkan berdasarkan al-Qur’a>n, h}adi>th, ijma>’, dan qiya>s.38
2. Jual beli yang dilarang dalam Islam
Jual beli yang dilarang dalam syariat cukup banyak, di antaranya
yaitu:
a. Terlarang sebab ahli akad
Ulama H}anafi>yah, Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah, dan H{ana>bilah telah
sepakat bahwa jual beli dikategorikan s}ah}i>h apabila dilakukan oleh
orang yang ba>ligh, berakal, dapat memilih, dan mampu secara bebas
dan baik. Tidak sah jual beli apabila dilakukan oleh:
1) Jual beli orang gila
Ulama H}anafi>yah, Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah, dan H{ana>bilah
sepakat bahwa jual beli orang yang gila tidak sah. Begitu pula
sejenisnya, seperti orang mabuk.
2) Jual beli anak kecil
Ulama H}anafi>yah, Ma>likiyah, dan H{ana>bilah sepakat bahwa
jual beli anak kecil (belum mumayyi>z) dipandang tidak sah, kecuali
dalam perkara-perkara yang ringan atau sepele. Namun ulama
Sha>fi’i>yah mengatakan mutlak tidak boleh.
37
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah: Prinsip dan Implementasi pada Sektor Keuangan Syariah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016), 71.
38
3) Jual beli orang buta
Jual beli orang buta dikategorikan s}ah}i>h menurut ulama
H}anafi>yah, Ma>likiyah, dan H{ana>bilah jika barang yang dibelinya
diberi sifat (diterangkan sifat-sifatnya). Namun ulama Sha>fi’i>yah
menganggapnya tidak sah, namun tidak dilarang.
4) Jual beli terpaksa
Menurut ulama H}anafi>yah dilarang, namun apabila orang
yang terpaksa merasa bahwa sudah tidak terpaksa, maka jual belinya
diperbolehkan. Sedangkan ulama Ma>likiyah menganggap tidak
pantas. Sedangkan ulama Sha>fi’i>yah dan H{ana>bilah tidak
diperbolehkan atau dilarang.39
5) Jual beli orang yang terhalang
Maksud terhalang disini adalah terhalang karena kebodohan
ataupun sakit. Jual beli orang yang bodoh (karena tidak belajar,
namun mampu dan memahami masalah jual beli) menurut ulama
H}anafi>yah, Ma>likiyah, dan H{ana>bilah diperbolehkan, sedangkan
menurut ulama Sha>fi’i>yah tidak boleh.
Menurut ulama H}anafi>yah, Sha>fi’i>yah, dan H{ana>bilah, jual
beli orang sakit parah yang sudah mendekati mati hanya
diperbolehkan sepertiga dari hartanya, dan bila ingin lebih dari
sepertiga, jual beli tersebut ditangguhkan kepada izin ahli warisnya.
Namun menurut ulama Ma>likiyah, sakit yang dimaksud adalah sakit
39 Syafe’i,
37
yang menyebabkan kematian, ulama Ma>likiyah mengatakan tidak
hanya ditentukan dengan sepertiga dari warisannya, namun dengan
barang yang diperjualbelikan seperti rumah atau tanah.40
b. Terlarang sebab ucapan
Ulama fiqh telah sepakat atas sahnya jual beli yang didasarkan
pada keridaan di antara pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian di
antara ijab dan qabul, berada di suatu tempat dan tidak terpisah oleh
suatu pemisah. Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut
dipandang tidak sah. Jual beli yang dipandang tidak sah atau masih
diperdebatkan oleh para ulama antara lain:
1) Jual beli mu’at}ah
Jual beli mu’at}ah adalah jual beli yang telah disepakati oleh
pihak akad, berkenaan dengan barang maupun harganya, tetapi tidak
memiliki ijab qabul. Ulama H}anafi>yah, Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah, dan
H{ana>bilah menyatakan s}ah}i>h apabila ada ijab dari salah satunya.
Begitu pula dibolehkan ijab qabul dengan isyarat, perbuatan, atau
cara-cara lain yang menunjukkan keridaan. Memberikan barang dan
menerima uang dipandang sebagai ucapan dengan perbuatan atau
isyarat.41
2) Jual beli melalui surat atau melalui utusan
Disepakati ulama H}anafi>yah, Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah, dan
H{ana>bilah bahwa jual beli melalui surat atau utusan adalah sah.
40
Ibid., 94-95. 41
Tempat berakad adalah sampainya surat atau utusan dari orang yang
berakad pertama kepada orang yang berakad kedua. Jika qabul
melebihi tempat, akad tersebut dipandang tidak sah, seperti surat
tidak sampai ke tangan yang dimaksud.42
3) Jual beli dengan isyarat atau tulisan
Disepakati kesahihan akad dengan isyarat atau tulisan
khususnya bagi yang tua sebab sama dengan ucapan. Selain itu,
isyarat juga menunjukkan apa yang ada dalam hati orang yang
berakad. Apabila isyarat tidak dapat dipahami dan tulisannya jelek
(tidak dapat dibaca), maka akad tidak sah.
4) Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad
Ulama H}anafi>yah, Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah, dan H{ana>bilah
sepakat bahwa jual beli atas barang yang tidak ada di tempat adalah
tidak sah sebab tidak memenuhi syarat terjadinya akad.43
5) Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul
Hal ini dipandang tidak sah menurut ulama Ma>likiyah,
Sha>fi’i>yah, dan H{ana>bilah. Sedangkan menurut ulama H}anafi>yah,
diperbolehkan namun ketidaksesuaian antara ijab dan qabul
mendatangkan kebaikan.
6) Jual beli munjiz
Jual beli munjiz adalah yang dikaitkan dengan suatu syarat
atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang. Menurut ulama
42
Ibid. 43
39
H}anafi>yah adalah rusak, sedangkan ulama Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah,
dan H{ana>bilah adalah tidak sah.44
c. Terlarang sebab barang jualan
Secara umum, harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang
yang akad, yang biasa disebut barang jualan dan harga. Ulama fiqh
sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila barang yang tetap atau
bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang
akad, tidak bersangkutan dengan milik orang lain, dan tidak ada
larangan dari sha>ra’.
Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian
ulama tetapi diperselisihkan oleh ulama lainnya, di antaranya berikut
ini:
1) Jual beli benda yang tidak atau atau dikhawatirkan tidak ada
Ulama H}anafi>yah, Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah, dan H{ana>bilah
sepakat bahwa jual beli berang yang tidak ada atau dikhawatirkan
tidak ada adalah tidak sah.
2) Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan
Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung
yang ada di udara atau ikan yang ada di air tidak berdasarkan
ketetapan sha>ra’.
44
3) Jual beli ghara>r
Jual beli ghara>r adalah jual beli barang yang mengandung
kesamaran, hal ini dilarang dalam Islam.45 Menurut ahli fiqh, ghara>r
adalah sifat dalam muamalah yang menyebabkan sebagian rukunnya
tidak pasti. Secara operasional, ghara>r bisa diartikan keduabelah
pihak dalam transaksi tidak memiliki kepastian terhadap barang yang
menjadi objek transaksi baik terkait kualitas, kuantitas, harga, dan
waktu penyerahan barang sehingga pihak kedua dirugikan. Ghara>r
ini terjadi bila mengubah sesuatu yang pasti menjadi tidak pasti. Di
antara contoh praktik ghara>r adalah sebagai berikut:
a) Ghara>r dalam kualitas
b) Ghara>r dalam kuantitas
c) Ghara>r dalam harga
d) Ghara>r dalam waktu penyerahan46
Sedangkan menurut Ibn Jazi> al Ma>liki, ghara>r yang dilarang,
di antaranya:
a) Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih
dalam kandungan induknya.
b) Tidak diketahui harga dan barang.
c) Tidak diketahui sifat barang atau harga.
d) Tidak diketahui ukuran barang dan harga.
45
Ibid. 46
41
e) Tidak diketahui masa yang akan datang, seperti “Saya jual kepada
mu, jika Ahmad datang.”
f) Menghargakan dua kali pada satu barang.47
Ghara>r hukumnya dilarang dalam syariat Islam, oleh karena
itu melakukan transaksi atau memberikan syarat dalam akad yang
ada unsur ghara>rnya itu tidak diperbolehkan. Larangan ghara>r
memiliki tujuan, agar tidak ada pihak-pihak akad yang dirugikan,
karena tidak mendapatkan haknya, dan agar tidak terjadi perselisihan
dan permusuhan di antara mereka.
Unsur ghara>r bisa menyebabkan transaksi menjadi tidak sah,
jika memenuhi unsur berikut:
(1)Ghara>r terjadi pada transaksis bisnis
Ghara>r terjadi pada akad-akad bisnis, seperti akad jual
beli, akad sewa menyewa, akad bagi hasil, dan akad-akad yang
lain. Dan sebaliknya, ghara>r tidak berpengaruh pada akad-akad
sosial, seperti akad hibah dan akad wasiat walaupun ghara>rnya
berat. Hal ini karena ghara>r yang terjadi dalam akad-akad sosial
tidak mengakibatkan perselisihan karena penerima dana sosial
tidak merasa dirugikan dengan adanya ghara>r tersebut.48
(2) Termasuk ghara>r berat
Ghara>r memiliki tingkatan yang berbeda-beda, yaitu ada
ghara>r berat dan ghara>r ringan. Ghara>r berat adalah ghara>r
47 Syafe’i,
Fiqih Muamalah, 98. 48
yang bisa dihindarkan dan menimbulkan perselisihan di antara
para pelaku akad. Ghara>r jenis ini berbeda-beda, sesuai dengan
kondisi dan tempat. Oleh karena itu, standar ghara>r ini
dikembalikan kepada ‘urf (tradisi). Di antara ghara>r berat adalah
menjual buah-buahan yang belum tumbuh dan memesan barang
untuk barang yang tidak pasti ada pada waktu penyerahan.
Sedangkan ghara>r ringan adalah ghara>r yang tidak bisa
dihindarkan dalam setiap akad dan dimaklumi menurut tradisi
pembisnis sehingga pelaku akad tidak dirugikan dengan ghara>r
tersebut. Seperti membeli rumah tanpa melihat fondasinya.
Ketidakjelasan ini dimaklumi dan ditolerir oleh pelaku akad,
karena itu tidak bisa dihindarkan dalam setiap transaksi, maka
ghara>r ini dibolehkan dan akad yang disepakatinya tetap sah.
Ghara>r ringan diperbolehkan menurut Islam sebagai keringanan
dan dispensasi khususnya bagi pelaku bisnis.49
(3)Ghara>r terjadi pada objek akad
Ghara>r yang diharamkan adalah ghara>r yang terjadi pada
objek akad, sedangkan ghara>r terjadi pada pelengkap objek akad
itu dibolehkan. Misalnya seseorang menjual buah-buahan yang
belum tampak buahnya. Jika yang menjadi objek jual adalah
buah-buahannya, maka transaksi ini fasid (tidak sah) karena ada
unsur ghara>rnya, karena kemungkinan pohon itu tidak berbuah.
49
43
Tetapi jika yang dijual adalah pohonnya (buah-buahannya
sebagai pelengkapnya), maka ghara>r ini tidak merusak akad
karena unsur ghara>rnya terletak bukan pada objek akad (pohon),
tetapi pada buahnya yang statusnya sebagai pelengkap.50
(4)Tidak ada kebutuhan (hajat) syar’i terhadap akad
Yang dimaksud dengan hajat adalah sebuah kondisi di
mana setiap orang diperkirakan mendapat kesulitan, jika tidak
melakukan transaksi ghara>r tersebut, baik kebutuhan itu bersifat
umum ataupun khusus. Hajat yang dimaksud harus jelas yakni
tidak ada pilihan yang halal kecuali akad yang mengandung
ghara>r tersebut, seperti bolehnya menjadi anggota asuransi
konvensional (yang mengandung ghara>r) selama tidak ada
asuransi syariah. Karena kebutuhan masyarakat terhadap
asuransi menjadi kebutuhan mendesak, karena jika tidak
berasuransi, maka beban biaya pengobatan memberatkan
masyarakat. Kebolehan ini selama belum ada asuransi syariah,
tetapi setelah ada asuransi syaraiah, maka tidak boleh
berasuransi konvensional karena hajat dan darurat telah hilang.51
50
Ibid., 84. 51
4) Jual beli barang yang najis
Ulama H}anafi>yah, Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah, dan H{ana>bilah
sepakat tentang larangan jual beli barang najis, seperti khamr, babi,
darah, dan bangkai.52
5) Jual beli air
Salah satu syarat jual beli adalah benda yang diperjualbelikan
merupakan milik sendiri. Tidak sah melakukan jual beli terhadap
benda-benda yang dimiliki secara bersama oleh seluruh manusia,
seperti air, udara, dan tanah. Seluruh benda seperti air laut, sungai,
dan sumur umum tidak boleh diperjualbelikan karena tergolong maal
mubah (benda-benda bebas).53
Disepakati bahwa jual beli air yang dimiliki, seperti air sumur
atau yang disimpan di tempat pemiliknya dibolehkan oleh ulama
H}anafi>yah, Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah, dan H{ana>bilah, serta ulama juga
sepakat bahwa jual beli air yang tidak boleh adalah jual beli air yang
dimiliki umum seperti jual beli air di sungai. Namun menurut ahli
h}adi>th jual beli air tidak boleh.
6) Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad/tidak dapat dilihat
Menurut ulama H}anafi>yah, jual beli seperti ini dibolehkan
tanpa harus menyebutkan sifat-sifatnya, tetapi pembeli berhak khiya>r
ketika melihatnya. Ulama Sha>fi’i>yah dan H{ana>bilah menyatakan
52 Syafe’i,
Fiqih Muamalah, 98. 53
45
tidak sah, sedangkan ulama Ma>likiyah membolehkannya bila
disebutkan sifat-sifatnya dan mensyaratkan beberapa macam, yaitu:
a) Harus jauh sekali tempatnya
b) Pemiliknya harus memberikan gambaran
c) Harus meringkas sifat barang secara menyeluruh54
d. Terlarang sebab sha>ra’
Ulama sepakat membolehkan jual beli yang memenuhi
persyaratan dan rukunnya. Namun demikian, ada beberapa masalah
yang diperselisihkan di antara para ulama, di antaranya yaitu:
1) Jual beli riba>
Riba> nasi’a>h dan riba> fad}l adalah rusak menurut ulama
H}anafi>yah, tetapi batal menurut ulama Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah, dan
H{ana>bilah.
2) Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan
Menurut ulama H}anafi>yah termasuk rusak dan terjadi akad
atas nilainya, sedangkan menurut ulama Ma>likiyah, Sha>fi’i>yah, dan
H{ana>bilah adalah batal sebab ada nas}s} yang jelas.
3) Jual beli barang dari hasil pencegatan barang
Yakni mencegat pedagang dalam perjalanannya menuju
tempat yang dituju sehingga orang yang mencegatnya akan
mendapatkan keuntungan. Ulama H}anafi>yah berpendapat bahwa hal
itu makruh. Ulama Sha>fi’i>yah dan H{ana>bilah berpendapat, pembeli
54 Syafe’i,
boleh khiya>r. Ulama Ma>likiyah berpendapat bahwa jual seperti itu
termasuk rusak.
4) Jual beli waktu azan Jum’at
Yakni bagi laki-laki yang berkewajiban melaksanakan shalat
Jum’at. Menurut ulama H}anafi>yah adalah makruh, sedangkan ulama
Sha>fi’i>yah menghukumi s}ah}i>h haram. Tidak jadi pendapat yang
masyur dikalangan ulama Ma>likiyah, dan tidak sah menurut ulama
H{ana>bilah.55
5) Jual beli anggur untuk dijadikan khamr
Menurut ulama H}anafi>yah dan Sha>fi’i>yah adalah makruh,
seda