• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di Tempat-tempat Yang Entah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Di Tempat-tempat Yang Entah"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

1. Di tempat-tempat yang entah

salam lestari,

"lha priyayi putri-putri kok yo do wani ?" (para perempuan ini kok pada berani ?)celoteh salah seorang petani baik hati dari belasan petani dan pencari ikan yang kami temui sepanjang pengarungan ini. Sementara lirikan matanya tertuju kepada Sukma dan sang skipper, Nurul.

Petani ini hanyalah salah satu dari belasan petani yang kami ajak bicara ketika perahu menepi ke eddies. Sambil memberi waktu kepada anggota tim untuk melakukan scouting. Sama halnya dengan petani yang lain, beliau terheran-heran melihat perahu merah ini melintasi sungai berarus deras ini. Karena pemandangan seperti ini tak pernah dijumpai sepanjang dia hidup di sini. Tak pernah ada perahu arung jeram yang melintasi sungai Bogowonto atas.

Ada lagi beberapa orang petani yang memberikan kode dengan telapak tangan membuka terangkat ke atas, sekitar 60 meter di kejauhan. Maksudnya jelas, melarang kami untuk melintasi jeram yang memanjang bertumpuk-tumpuk di depan kami.

Dan benar saja, jeram di depan adalah sekumpulan batu yang berliku membentuk arus besar yang tak terlihat dari depan tempat perahu karet ditambatkan. Arus utama yang berada di samping kanan sungai berujung kepada 2 batu besar yang akan menghimpit perahu dan mencelakakannya pada hole di depannya. Arus yang menjebak, karena jika dilalui tanpa scouting maka sang skipper akan mengarahkan perahu ke arus utama ini yang ternyata akan mencelakakan perahu. Scouting berguna untuk mencari letak alternatif jalur yang akan dilalui, tanpa melewati arus utama, dan itu sangat sulit..pergerakan arus ke arah main stream begitu besar. Ada waterfall kecil setinggi 1,5 meter di luar main stream, dan itulah jalur yang akan dilalui dengan aman..di sebelah kiri sungai. Di depannya, masih menunggu pergerakan air yang bergradien meskipun flat, begitu panjang. Itulah jeram Tumpuk Undung. Begitu kami menamakannya. Dan pada akhirnya, separuh jalur di antaranya tak mampu kami lewati dengan perahu. Kami melewatinya dengan lining (menghela perahu dengan tali). Pergerakan arus ke arah main stream ternyata begitu kuat dan kekuatan kami tidak cukup untuk membelokkan perahu ke kiri, ke arah waterfall.

(3)

Hanya waterfall itu yang kami lalui dengan perahu. Faktor keselamatan dan kekuatan para pendayung yang kurang membuat kami gagal melewatinya dengan perahu, maklumlah..sebagian besar dari kami bukan atlet arung jeram.

Berjalan di “tempat-tempat yang entah”

Ada banyak cerita dari 2 episode pengarungan sungai Bogowonto (perintisan jalur Bogowonto atas dan pengarungan kembali Bogowonto bawah). Dan sebelumnya akan saya ceritakan, bagaimana perkenalan kami dengan sungai yang penuh kejutan ini, Bogowonto. Kenapa mengejutkan? Karena sebelumnya kami menganggap sungai ini bergradien biasa saja dan bisa dilalui oleh para pemula yang belajar arung jeram. Namun ternyata, Bogowonto atas menunjukkan sendiri kepada kami bahwa "di tempat-tempat yang entah" resiko itu tersembunyi. Dan resiko itu menunggu kelalaian manusia yang datang dengan kepercayaan diri tinggi. Kadang batas antara hidup dan mati dikalahkan oleh rasa percaya diri tinggi yang memabukkan. Ya..inilah berpetualang, bermain cantik untuk menghadapi resiko, entah itu di "taman bermain" yang biasanya ataupun "di tempat-tempat yang entah" di mana manusia belum "berjalan kaki" di sana.

Fajar Suryo Isworo dan Nurul Fitriani, junior saya di Satu Bumi dan rekan bermain dan berpetualang di Equator Indonesia. Mereka berdua yang memberi ide brilian ini, tentang pembukaan sungai Bogowonto dari atas hingga bawah. Bogowonto bawah itu sendiri sudah pernah diarungi, dan itu adalah faktor yang memberi semangat bagi kami bahwa Bogowonto pasti bisa diarungi dari atas.

(4)

Saya sendiri mengiyakannya. Kenapa tidak? Kami pernah melakukan hal yang sama terhadap sebuah tempat bernama Glenmore. Itu di gunung, perjalanan 10 hari yang patut dicatat dengan tinta merah. Dan pada akhirnya perjalanan itu membawa kebaikan kepada kami semua yang diciptakan oleh tempat yang baik pula. Lalu sekarang kesempatan itu datang di sungai. Di sebuah tempat di mana orang-orang sederhana bercocok tanam di pinggirannya. Begitu hijau pemandangannya dengan warna coklat air yang meliuk-liuk. Lalu tiba-tiba perahu berwarna merah menjadi pusat perhatian yang mencolok mata. Demi petualangan yang menggoda yang tak pernah mati, kami harus pergi ke sana..Bogowonto! :)

(5)

2. Survey darat

Informasi datang silih berganti, itulah yang kami butuhkan. setidaknya dari informasi itu kami menjadi yakin bahwa pengarungan dapat berlangsung dengan aman. Beberapa tim pengarung dari Mapala-mapala di Jogja telah memberi informasi yang menggembirakan tentang Bogowonto bawah. Terima kasih Palapsi, Silvagama dan beberapa tim lain atas informasinya. Lalu bagaimana dengan Bogowonto atas? Tak ada informasi sama sekali. Satu-satunya informasi yang kami dapat adalah bahwa sungai Bogowonto mengalir sangat panjang dengan hulunya di barat gunung Sumbing. Saya buka google earth, dari hulu Sumbing sungai Bogowonto akan melintasi daerah-daerah pedesaan di Wonosobo, lalu perbatasan Wonosobo dan Purworejo. Turun ke bawah mengikuti daerah pinggiran barat perbukitan Menoreh sebelum bertemu di tempuran Mas. Yaitu tempuran tempat bertemunya sungai Bogowonto dan sungai Kodil yang berhulu di perbukitan Menoreh. Dari tempuran, sungai Bogowonto akan melebar dengan permukaannya yang flat namun tetap berarus hingga ujung selatan di Samudra Hindia.

"Lalu bagaimana kami mendapatkan sendiri informasi tentang karakteristik Bogowonto atas?"

Di tempat-tempat yang tersembunyi dan ingin Anda kunjungi, Anda membutuhkan peta. Ya, Fajar sendiri yang datang sambil membawa 2 lembar peta yang disambung memanjang jadi satu dengan lembar berjudul Kepil dan Purworejo. Lengkap pula dengan GPS Garmin 76 csx hasil dia "mencangkul" di pulau Komodo. Dalam peta itu. sungai Bogowonto memanjang 30 karvak (1 karvak adalah 1 kilometer) dari utara (kecamatan Kepil Wonosobo) hingga selatan (kota Purworejo). Pemetaan sungai, ini sesuatu yang baru bagi saya. Dan tentu saja ini menarik bagi saya.

(6)

Pengamatan sungai dengan bantuan peta

Sebuah perjalanan besar yang beresiko tinggi, harus dimulai dengan persiapan yang matang pula. Resiko akan mengintip para ekspeditor yang lengah, dan..fatal akibatnya. Sekarang, apa yang dapat kami lakukan dengan selembar peta dan GPS ?

Mempelajari karakteristik sungai Bogowonto sebelum pengarungan, ada beberapa tahap yang harus kami lalui. Pertama, menyaring seluruh informasi dari teman-teman di Jogja. Kedua, memanfaatkan internet sebagai wahana yang menghubungkan kami dengan sungai Bogowonto. Dari internet, kami akan mendapatkan penampakan satelit sungai Bogowonto, dan itu menunjang peta fisik Bogowonto. Dan ketiga, melakukan survey ke sungai Bogowonto dari jalur darat.

"Lalu bagaimana survey darat itu?"

Dalam bahasa arung jeram, survey darat itu mempelajari karakteristik sungai dari darat.

"Lalu apa yang dipelajari?"

Pertama, mempelajari debit air di setiap titik sungai. Apakah memungkinkan perahu untuk hadir di situ? Berdasar informasi dari tim pengarung yang lain, Bogowonto telah diarungi di bagian bawah sepanjang 12 karvak dari bendungan desa Panungkulan hingga Tambak di kota Purworejo. Pengarungan itu dilalui dalam TMA 30 ke atas yang tercatat di

(7)

bendungan desa Panungkulan. Dari informasi tersebut, kami simpulkan, desa Panungkulan menjadi titik awal survey. Apa maksudnya? Kami akan mempelajari karakteristik sungai lebih ke atas, naik ke arah utara, di mana titik-titik sungai itu belum dilalui oleh manusia berperahu karet.

"Bagaimana mempelajari karakteristik sungai Bogowonto atas?"

Kami membuka peta besar sungai Bogowonto. Terdapat perbedaan mendasar dari demografi wilayah di Bogowonto atas dan Bogowonto bawah. Sungai Bogowonto bawah dibatasi oleh perkampungan di kiri-kanannya, ada sebuah saluran irigasi yang memanjang mengikuti alur sungai. Yaitu sungai Kedung Putri yang mempunyai fungsi utama sebagai irigasi. Sebuah jalan makadam memanjang dari desa Panungkulan hingga Maron mengikuti saluran irigasi ini. Lalu apa artinya? Ya, sungai Bogowonto bawah dapat dicapai dengan mudah dari jalan raya Wonosobo-Purworejo ataupun Magelang Purworejo.

"Lalu kenapa dalam survey darat ini kami harus memperhatikan jalur sirkulasi?"

Jalur sirkulasi atau jalan itu penting. Di sini kami akan memanfaatkan jalan kampung ataupun makadam sebagai jalur untuk membawa perahu dari jalan raya ke bibir sungai. Sebagai jalur rescue juga jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Ataupun jalur bagi tim darat untuk mengambil fotografi pengarungan. Dan untuk Bogowonto bawah kami tidak mengalami masalah, karena puluhan ruas jalan tersedia di situ. Jika ada kampung, tentu saja ada jalan bukan.

Yang menjadi masalah adalah bahwa ruas sungai di atas desa Panungkulan adalah ruas sungai yang panjang dan tak ada perkampungan di kiri kanannya. Itu di Bogowonto atas.

Di atas desa Panungkulan (1 karvak ke utara) adalah desa Guntur, di mana ada sebuah bendungan besar dan itulah bendungan paling atas yang dibangun di sungai Bogowonto. Kami menganggap bendungan inilah yang akan menjadi batas antara Bogowonto atas dan Bogowonto bawah. Batas antara pengarungan beresiko tinggi dan pengarungan beresiko sedang. Desa Guntur adalah perkampungan terakhir, 8 karvak ruas sungai di atas desa Guntur adalah ruas sungai yang benar-benar alami. Tak ada perkampungan di kanan kiri

(8)

sungai. Kalaupun ada manusia, tentunya mereka adalah petani yang sedang bercocok tanam di ladang. Pinggiran sungai Bogowonto atas didominasi oleh hutan, ladang, tebing dan beberapa buah curug (air terjun). Saya sendiri cukup takjub, tak ada pemandangan seperti ini di sungai Progo maupun Elo. Hanya di luar Jawa, tempat di mana sungai-sungai masih alami.

View Bogowonto dari dusun Sibatur, alami

"Bagaimana kami mencari titik-titik sungai yang bergradien hingga mencapai ujung paling atas di mana perahu karet sudah benar-benar tak dapat hadir di situ?"

Pemberhentian pertama survey darat Bogowonto atas adalah desa Burat, 4 karvak di atas desa Guntur. Perkampungan desa Burat masih jauh dari bibir sungai. Kami memarkir motor di ujung jalan tanah jauh dari desa dan berjalan kaki melewati setapak sempit hutan bambu dan "galengan" ladang sejauh hampir 40 menit. Berujung kepada sebuah gubug di mana pemandangan sekitar sangat luas. Di seberang sungai, 2 curug besar tampak begitu menggoda, sementara di kiri kanan gubug sawah hijau membentang. Dan dengarlah, tepat di depan terlihat gemuruh air sungai Bogowonto. Sangat deras, dengan hanya mendengarnya saja kami bisa menyimpulkan bahwa di titik ini sungai Bogowonto pantas untuk diarungi.

(9)

View Bogowonto dari Burat, membelah perbukitan

Lalu kami mencari pemberhentian berikutnya.

Kami membuka peta lebih ke atas. Benar-benar medan yang tak mendukung, hanya persawahan dan hutan di tepian barat Bogwonto atas. Kami tak ingin berjalan kaki melewati "galengan" ladang yang sempit. Nurul mempunyai masalah jika harus berjalan kaki di tempat-tempat yang becek. Berani bertaruh, dia akan jatuh 3 kali di setiap tempat yang disurvey. Dan jatuh berarti harus rela ditertawai.

Perkampungan di tepian sungai masih berada jauh di utara, 5 karvak lagi. Di situ kami telah melintasi kota lain, yaitu Wonosobo.

(10)

3. Sitretes

Wonosobo, jalan raya Purworejo-Wonosobo kami lewati dengan motor, kota Wonosobo dan Purworejo dibatasi oleh gapura perbatasan yang dikelilingi hutan pinus. Jalan raya ini adalah jalan raya yang meliuk-liuk membelah perbukitan Menoreh. Beberapa lobang menganga mengintai kelengahan para pengendara kendaraan bermotor. Saya membayangkan bahwa kelak jalan raya ini akan sering dilewati barisan pick-up yang membawa perahu di atasnya. Seperti halnya di jalan raya Borobudur ataupun jalan raya tembus Kulon Progo-Magelang. Kelak sungai Bogowonto akan menjadi alternatif incaran para pengidam petualangan selain sungai Progo dan Elo.

Sungai Bogowonto memanjang seperti halnya jalan raya ini. Berada di sebelah kanan atau timur dari arah kami ke Wonosobo. Namun untuk menuju bibir sungai, kami harus mencari akses darat. Dan akses darat hanya tersedia jika ada perkampungan di bibir sungai. Dan ternyata, tak ada perkampungan di bibir sungai, itu setelah desa Guntur. Jarak yang membatasi jalan raya dengan bibir sungai adalah sekitar 1 kilometer hingga 3 kilometer. Beberapa jembatan gantung terlihat dalam simbol di atas peta. Dan dalam survey darat ini, simbol jembatan di atas sungai selalu kami lingkari. Penalarannya, jika ada jembatan gantung yang tergambar di peta, tentu saja ada jalan setapak yang bisa dilewati motor bukan? Dan jalan setapak itu pastilah dimulai dari salah satu dari puluhan pertigaan di jalan raya Purworejo-Wonosobo.

Sungai Bogowonto dan jalan raya akan semakin berdekatan jika kami bergerak lebih ke utara. Dan itulah yang kami tuju, kami mencari akses di mana motor tak perlu menuruni lereng yang curam menuju bibir sungai.

Desa Beran, kami sampai di salah satu pusat keramaian di kecamatan Kepil Wonosobo. Di sebuah pertigaan, kami berbelok kanan. Tak sampai 1 menit berkendara hingga tiba di sebuah jembatan, salah satu jembatan dari beberapa jembatan yang kami lingkari di atas peta. Di bawah jembatan adalah sungai Bogowonto. Lalu kembali kepada setiap pertanyaan setiap kami berada di bibir sungai Bogowonto.

(11)

Tidak bisa! Di bawah kami adalah batu-batu besar yang lebih dominan dari pada arus sungai. Di beberapa titik, penduduk menambang batu-batu kali yang nantinya dipecah menjadi krakal dan krikil. Lalu saya membuka peta, titik ini berada di ujung atas peta. Kami sudah bergerak terlalu jauh, dan maklumlah jika yang kami dapatkan hanya batu-batu besar.

Lalu kami bergerak lebih ke bawah.

Orang-orang mengarahkan jalan dengan ramah saat kami bertanya. Itulah "Orcot", jika di gunung Anda akan mengenal "Ormed" (orientasi Medan), maka di kota Anda akan mengenal Orcot (Orientasi Cocot). Kami tiba di "ibukota" kecamatan Kepil. Kecamatan Kepil adalah kecamatan paling selatan dari Wonosobo. Berbatasan dengan Purworejo di selatannya. Berada di ketinggian 300-500 meter di atas permukaan laut. Tentu saja hawa pegunungan menyelimuti tempat ini. Kami menuju jembatan selanjutnya. Jika dipandang di peta, jembatan ini tampak terlihat kurang meyakinkan aksesnya. Berada jauh dari jalan raya (hampir 2 kilometer). Namun kami ingin mencoba terlebih dahulu.

Di luar dugaan, jalan yang kami lewati menuju jembatan adalah jalan yang teraspal halus. Pun harus dilewati naik turun lalu menjadi curam sebelum mencapai bibir sungai. Pemandangan di tepian jalan adalah hutan pinus dan beberapa area perkebunan, begitu hijau. Kadang di beberapa sudut jalan tampak para penduduk yang sedang menggendong rencek (kayu bakar yang berasal dari ranting). Namun di beberapa sudut terdengar pula mesin penggergaji meraung-raung menebang pohon. Yah, semoga saja itu di jalan yang legal. Pohon pinus yang berusia 25 tahun ke atas memang sudah tidak produktif lagi untuk menghasilkan getah. Dan boleh untuk ditebang dengan ijin Dinas Kehutanan. Hampir memasuki bibir sungai, bertemulah kami dengan perkampungan. Itulah dusun Ngadirejo di desa Bener yang begitu asri. Saya membayangkan desa ini sangat cocok untuk digarap potensi wisatanya. Entahlah, saya belum tahu apakah desa ini sudah menjadi ikon wisata di kecamatan Kepil.

Kami mencapai jembatan selepas menuruni turunan yang curam. Jembatan ini seperti halnya jembatan-jembatan lain di kota. Sepanjang lebih kurang 30 meter dan lebar 5 meter dengan pagar besi. Permukaan aspalnya sudah sangat bergelombang. Jembatan ini menghubungkan desa Gadingrejo di sebelah timur sungai dan desa Bener di sebelah barat

(12)

sungai. Jembatan paling besar dari beberapa jembatan yang kami lingkari di peta. Dan inilah akses utama bagi truk-truk pengangkut hasil kebun dan hutan. Para penduduk menyebutnya, jembatan Sitretes.

Jembatan Sitretes

"Lalu apakah sungai Bogowonto dapat diarungi dari sisi ini?"

Bisa!! Kami melihat ke utara, arus-arus bergejolak di bentukan sungai yang linear lurus hingga selatan, kurang lebih sepanjang 400 meter. Di ujung selatan, sekumpulan jeram menyembunyikan penampakan sungai selepas itu. Ya, tepat di bawah jembatan Sitretes ini permukaan sungai flat bergradien. Sangat bisa diarungi perahu karet, bahkan saya menebak bahwa 1 kilometer lebih ke utara pun sungai ini masih bisa diarungi.

Dengan berbagai pertimbangan: akses jalan, view, karakteristik sungai, perkampungan, maka kami memilih jembatan Sitretes sebagai titik start pengarungan Bogowonto atas.

(13)

4. Panungkulan

Pemilihan starting point dan finish point harus dipersiapkan. Di mana aspek-aspek yang mendukung, dimana aspek-aspek yang tidak mendukung. Di hadapan kami adalah 2 lembar peta Bakosurtanal yang mencangkupi aliran sungai Bogowonto dari kecamatan Kepil, Wonosobo hingga kota Purworejo. Ada belasan tempat-tempat di pinggiran sungai Bogowonto. Lalu bertanya-tanya di tempat mana perahu akan menepi, untuk kembali pulang ke darat. Tentu saja pilihan utama adalah tempat-tempat di mana mobil bisa masuk dengan lancar ke tepi sungai.

Dan itu tidaklah mudah! Tak ada satupun akses jalan darat ke tepian sungai di 10 kilometer pertama aliran sungai Bogowonto dari jembatan Sitretes sebagai starting point pengarungan. Tak ada perkampungan, hanya terlihat simbol-simbol perladangan dan hutan rakyat di dalam peta. Perkampungan mulai ada di kanan kiri sungai di kilometer 10 selepas starting point. Tepatnya di desa Guntur, ada sebuah bendungan kecil di situ. Namun tak ada akses darat untuk dilewati mobil di situ.

Lalu turun sekitar 2 karvak dari desa Guntur, itulah tempat terbaik bagi perahu untuk menepikan diri. Desa Panungkulan, 12,6 kilometer dari jembatan Sitretes.

Saya ceritakan tentang desa Panungkulan, di kecamatan Gebang, Purworejo. Desa Panungkulan adalah desa di tepian barat sungai Bogowonto. Berada pada ketinggian 200-250 meter di atas permukaan laut. Salah satu desa yang mempunyai potensi besar untuk menjadi desa wisata di kabupaten Purworejo. Kenapa? Bentang alam yang begitu alami tentu saja menjadi faktor utamanya. Aliran sungai Bogowonto yang deras dengan dipagari oleh barisan perladangan. Hutan-hutan yang berbaris rapi, kebun-kebun durian bercampur dengan barisan hutan bambu. Bambu-bambu di sini akan mewujud menjadi beberapa bentuk kerajinan bambu yang diciptakan kelompok masyarakat pengrajin di desa Panungkulan, seperti besek, gedhek, tampah dan lain sebagainya.

(14)

Bentang alam tepian Bogowonto begitu alami

Dan unsur terpenting dalam pembentukan image wisata adalah keramahtamahan penduduk desa beserta kearifan lokalnya. Tak perlu dipertanyakan, seluruh desa-desa (tak hanya di Panungkulan) di Purworejo akan menyambut tamu-tamunya dengan santun.

Ada sebuah bendungan besar di desa Panungkulan. Berfungsi untuk memecah aliran sungai menjadi aliran kecil untuk mengairi sawah. Orang-orang biasa menyebut aliran ini sebagai sungai Kedungputri. Sebuah selokan dengan airnya bersih tempat bermain bagi anak-anak kecil setiap sore. Karena memang tidak begitu dalam dan bisa dipakai untuk belajar berenang.

Perkembangan pendidikan di desa ini termasuk maju, ada sebuah SMP Negeri yang dibangun di tengah desa. Biasanya, SMP-SMP akan dibangun di sekitar jalan raya Wonosobo-Purworejo. Namun lain halnya di Panungkulan. Jarak antara SMP ini ke arah jalan raya Wonosobo-Purworejo sekitar 700 meter dengan tipikal jalan yang sangat curam.

Desa Panungkulan lebih mudah dicapai dari jalan raya Magelang-Purworejo, di sebelah timur sungai Bogowonto. Meskipun lebih jauh (sekitar 3,5 kilometer), namun jalan desa yang dilalui cukup datar. Jika bergerak ke timur, kita akan melalui desa Kaliboto. Akses inilah yang akan menjadi pilihan bagi mobil-mobil pick-up pengangkut perahu untuk menjemput perahu di desa Panungkulan.

(15)

setelah 12,6 kilometer pengarungan dari starting point jembatan Sitretes. Rute inilah yang kelak akan kami namakan rute pengarungan sungai Bogowonto atas. Pengarungan yang nantinya akan memberikan kejutan besar kepada kami.

(16)

5. Jembatan, tempuran dan bendungan

Bentang sawah mendominasi daerah tepian sungai Bogowonto, dari atas hingga ke bawah. Dan sawah-sawah ini mendapatkan anugrah air yang berlimpah dari aliran sungai Bogowonto. Beberapa titik sungai dibendung, memecah aliran sungai menjadi aliran kecil. Aliran kecil ini akan menuju kepada petak-petak sawah di pedesaan. Landscape yang menarik minat para pendatang untuk sekedar menghabiskan liburan di sini. Ada 2 bendungan yang dibangun di aliran sungai Bogowonto bagian atas (desa Panungkulan ke atas), yaitu bendungan Panungkulan dan bendungan Guntur. Sementara bendungan terbesar di sungai Bogowonto adalah bendungan Kedung pucung, Sejiwan, berada di kilometer ke-20 pengarungan sungai Bogowonto. Bendungan inilah yang akan menjadi finish point pada survey air kami di Bogowonto bawah.

Bendungan Kedungpucung

Semakin ke bawah, penampang sungai Bogowonto akan semakin melebar. Dan itu berarti sungai pun akan semakin dalam. Pada kilometer ke-18 pengarungan, sungai Bogowonto akan bertemu dengan sungai Kodil. Orang-orang menyebutnya “Tempuran Mas”. Ada sebuah jembatan gantung antik peninggalan Belanda di situ. Dari situlah, karakter sungai Bogowonto akan berubah menjadi flat dengan penampang yang lebar. Dari bentukan yang terjal dan berpenampang sempit di 18 kilometer aliran sebelumnya.

Di Bogowonto bawah, tak begitu sulit untuk menentukan titik-titik di mana sungai bisa dicapai dari darat. Banyak sekali jalan makadam pedesaan yang menuju sungai hingga dihubungkan dengan jembatan untuk menyeberang ke desa yang sebelah. Sekarang yang ingin kami temukan adalah titik finish point pengarungan Bogowonto bawah. Titik

(17)

starting point telah kami tentukan yaitu bendungan Panungkulan, kilometer ke-12 pengarungan.

Sasaran yang kami lihat di peta adalah jembatan, sekali lagi saya terangkan, jika ada jembatan pastilah ada jalan darat menuju ke sungai.

Tipikal jembatan gantung yang memotong sungai Bogowonto

Jembatan Kedungpoh, adalah jembatan gantung baja dengan alas papan. Hanya bisa dilalui sepeda motor. Di bawahnya terlihat aliran flat bergradien yang memanjang hingga berujung kepada jeram yang berkelak-kelok. Batin saya,

“Mungkin ini akan menjadi salah satu jeram unggulan di Bogowonto bawah.”

Lalu jembatan Brongkol, adalah jembatan beton yang hanya bisa dilalui sepeda motor. Di bawahnya adalah aliran tenang sungai Bogowonto. Hampir tak ada gradient. Inilah penyempitan sungai (bottle neck). Sebuah istilah yang berarti penampang sungai akan menyempit dan bertambah dalam dengan kanan kirinya adalah dinding batuan. Biasanya berarus tenang dan dimulai oleh kelokan jeram. Ya, terlihat barisan jeram berkelok di sebelah utara jembatan. Itulah jeram Penyempitan.

Ada 2 buah jembatan gantung di daerah Tempuran Mas. Jembatan gantung pertama adalah sebelum Tempuran Mas. Terlihat rapuh dan mungkin hanya bisa dilalui oleh sepeda. Sementara jembatan gantung kedua terlihat kokoh selepas tempuran dengan sungai Kodil, yaitu jembatan Tempuran Mas. Jembatan gantung antik peninggalan Belanda sepanjang hampir 50 meter yang berangka baja dan beralas papan. Hanya bisa dilewati sepeda motor. Di bawah jembatan adalah bertemunya 2 warna sungai yang berbeda. Bogowonto terlihat

(18)

keruh sementara warna sungai Kodil terlihat bening. Tak ada gradasi dalam warna itu, lalu bercampur menjadi satu warna di selatan jembatan. Mewujud penampang sungai yang begitu lebar dan datar serta dalam. Terlihat beberapa penambang pasir dan batu tradisional di tepian sungai.

Tempuran Mas, kami beri titik merah pada peta. Tempat ini lebih cocok menjadi rest area pengarungan sungai Bogowonto.

Jembatan terakhir adalah jembatan Kedung pucung yang berada di atas bendungan Kedung pucung. Salah satu pusat keramaian di sungai Bogowonto, begitu banyak orang hilir mudik di sini. Entah mereka yang bepergian atau mereka yang sedang memancing dan menikmati pemandangan. Di bawah jembatan adalah waterfall kecil setinggi 3 meter yang dibagi menjadi 4 pintu air. Tentunya menyenangkan jika perahu karet dapat mencoba menuruninya. Inilah finish point yang kami tetapkan dalam survey air beberapa minggu kemudian.

(19)

6. Double river, mungkinkah?

Elo-Progo, site arung jeram paling ramai di Jawa Tengah yang terletak dalam 1 kawasan. Sementara Borobudur menjadi magnet penggoda kunjungan orang dalam kawasan tersebut. Kami membayangkan hal seperti itu di Bogowonto.

Lalu kami buka peta Bogowonto, benar juga hampir sama. Sungai Elo di sebelah timur akan bertemu dengan sungai Progo di Progo tengah lalu menjadi satu menuju selatan. Begitu juga di Bogowonto, sungai Kodil di sebelah timur akan bertemu dengan sungai Bogowonto lalu akan menjadi satu di Tempuran Mas hingga menuju selatan.

Lalu pertanyaannya, apakah sungai Kodil dapat diarungi oleh perahu karet? Itulah yang ingin kami ketahui, perlu sebuah survey darat lagi untuk mengetahuinya sebelum kami benar-benar basah di air sungai Bogowonto.

(20)

Perjalanan mengamati debit air sungai Kodil sama halnya dengan apa yang kami lakukan ketika survey darat di Bogowonto. Membuka peta, melihat simbol jembatan dan jalan desa di tepian sungai. Akses untuk menyusur ke utara akan melewati jalan raya Magelang-Purworejo. Titik tertinggi sudah kami tentukan untuk pengamatan debit air, sebuah jembatan menjelang perbatasan Magelang-Purworejo. Lalu kami amati keadaan sungai Kodil di bawah.

Hasilnya, mengecewakan. Yang tampak di bawah kami adalah puluhan batu menonjol yang berserak dengan aliran air di sekitarnya. Tak dapat diarungi perahu karet dari titik ini. Beberapa titik pemberhentian di amati lagi, sama, perahu karet tak dapat turun di sini. Mungkin river boarding bisa dilakukan di sini. Entahlah.

Bogowonto tak dapat diolah seperti halnya area wisata arung jeram di Magelang dengan double river-nya, Elo-Progo. Bogowonto tetaplah menyendiri dengan segala keanggunan dan ketangguhannya.

(21)

7. Aneh sekali ada perahu di sini

Sebuah pick-up dengan perahu karet berwarna merah di atasnya dan 6 orang duduk di bak dengan perahu sebagai atapnya. Jika pick-up itu berjalan di sekitar Borobudur, itu bukanlah sebuah keanehan. Pastilah mereka akan mengarungi sungai Progo atau Elo. Itu kesibukan yang selalu dialami para sopir pick-up di sekitar Borobudur setiap hari Sabtu-Minggu. Namun jika berjalan di sepanjang jalan raya Purworejo-Wonosobo, tentu akan menjadi pusat perhatian orang-orang. Apalagi jika melewati jalan desa menuju tepian sungai Bogowonto. Orang-orang desa pastilah bertanya-tanya, sementara anak-anak kecil berlarian mengejar.

“Arep do ngopo yo kok nggowo gethek apik-apik?” (Pada mau melakukan apa ya, kok membawa perahu bagus) pikir mereka sambil menaruh senyum menyambut sapaan kami.

Begitulah, tak pernah ada aktifitas orang yang menyusuri sungai dengan perahu karet di sini. Lebih tepatnya di sekitar titik starting point Bogowonto atas, yaitu jembatan Sitretes, Wonosobo. Kalaupun ada orang kota yang bertamu di desa, pastilah mereka sedang melakukan analisa yang berkaitan dengan sungai Bogowonto seperti pengukuran debit, pemetaan aliran, pemasangan patok sempadan ataupun sekedar memancing menikmati akhir pekan.

Lalu pertunjukan itu dimulai. Bogowonto atas, kejutan terbesar dalam survey air ini.

Saya ceritakan tentang tim pengarung. Survey air pertama adalah pengarungan Bogowonto atas. Sudah kami tentukan titik-titik start dan finishnya dalam aliran sungai sepanjang 12,6 kilometer. Start akan dimulai di jembatan Sitretes, Kepil, Wonosobo dan berakhir di jembatan Panungkulan, Purworejo. Seluruh tim survey Equator Indonesia itu sendiri terdiri dari keluarga besar Satu Bumi. Ya, Equator Indonesia terlahir dari Satu Bumi. Sebuah perkenalan yang dimulai dari berkegiatan alam bebas sejatinya akan abadi. Perpaduan tua dan muda dalam 1 perahu, benar-benar istimewa. Yang tua bernostalgia kembali, yang muda mempertunjukkan semangatnya. Tapi jangan salah, Agus “Gaboth” dan Yudi “Dhuwur” adalah para pengarung senior yang tak akan surut semangat mudanya. Bogowonto atas mempertunjukkan, kenapa mereka harus berada di alam terbuka kembali.

Lalu para pengarung muda, Sukma “Monges” dan Prasidyo “Longor”, mereka para “cacing” muda yang sedang mempertunjukkan, bagaimana bersekolah di alam bebas itu? Pengarung berusia tanggung adalah Koko “Kakak”, ya..penghibur yang baik, sederhana

(22)

saja. Lalu saya sendiri, cukup menjadi “tim hore” sudah menyenangkan bagi saya. Membawa kamera, memotret aksi mereka dari berbagai sudut tepian sungai, lalu memetakan sungai dengan bantuan GPS sambil menggambarnya di atas kertas. Ya, pemetaan sungai adalah hal baru bagi saya, dan inilah Bogowonto yang belum terpetakan oleh para penggagas wisata.

Kepercayaan terbesar saya kepada Nurul Fitriani, dia yang terbaik di arung jeram, itu pendapat saya. Sosok adik yang telah menunjukkan bahwa arung jeram “ada” dan selalu ada di Satu Bumi. Dan dapat menunjukkan bahwa kegiatan di alam bebas akan menjadi jalan terbaik menuju manusia yang dapat memanusiakan manusia. Dia tercipta matang oleh arung jeram. Dia sang skipper dalam survey air pertama ini, pengarungan Bogowonto bawah.

Pengarungan kami akan dibantu oleh tim darat, Fajar akan membawa pick-up untuk mengantar kami ke titik start dan menjemput kami di titik finish. Seperti juga Nurul, Fajar tercipta matang oleh arung jeram, Bogowonto adalah pemikiran mereka. Go raft!!

Tim pengarung Bogowonto atas

Skipper kami ini ternyata seorang pemarah hebat di sungai. Dan kami memakluminya, segala perintah skipper harus dijalankan, itu peraturannya. Ya, kami tidak menguasai medan pengarungan, tak ada perahu karet yang pernah mengarung di Bogowonto atas, tak ada jalur rescue darat yang bisa dilalui mobil kecuali di titik finish. Lalu kami hanya mengarung dengan 1 perahu, tak ada back-up perahu lain yang akan saling

(23)

menyelamatkan andai 1 perahu terbalik di jeram. Satu-satunya yang akan dipegang erat oleh setiap pengarung adalah self rescue. Kami harus bisa menyelamatkan diri sendiri dulu jika terjadi sesuatu hal yang buruk di sungai. Arung jeram penuh kejutan yang membahayakan, dan resiko yang dialami berlangsung saat itu juga tanpa menunggu tanda-tanda. Kecelakaan fatal dapat terjadi hanya dalam hitungan detik.

100 meter pertama, teriakan Nurul nyaring melawan riuhnya aliran air sungai. Kaget, begitulah, mulai membiasakan diri dengan ritme. Sementara aliran air di bawah jembatan Sitretes adalah aliran yang datar tapi bergradien deras. Tanpa didayung pun perahu akan melaju sendiri, tinggal bagaimana kemampuan para pengarung untuk melakukan slalom melewati jeram-jeram kecil maupun besar. Kalau tidak beruntung, ya perahu akan menyangkut di beberapa pillow (batuan yang menonjol), dan itu sangat merepotkan. Kemampuan Nurul sebagai pembelok perahu tak berarti apapun jikalau para pengarung tidak sepenuh hati dalam mendayung.

Sungai Bogowonto adalah sungai yang bergradien deras, jadi..perahu pun akan tetap melaju walaupun tidak didayung. Tidak seperti Elo ataupun Progo dengan beberapa lintasan flat-nya yang menguras tenaga mendayung.

Jeram pertama ditemui 100 meter dari starting point, kami masih belum kompak iramanya, perahu tersangkut pada sebuah pillow yang tak terduga hadir di tengah sungai selepas jeram. Karakter Nurul yang tegas muncul saat itu juga. Setiap kali ketika kesalahan terjadi.

“Okay, siap komandan.”

Ini baru jeram pertama, lalu berapa buah jeram di Bogowonto atas? Bogowonto adalah tipikal sungai dengan banyak kelokan, dan setiap kelokan pastilah disambut dengan jeram. Bahkan jeram dapat muncul di lintasan lurus. Hanya akan saya ceritakan beberapa jeram dari puluhan jeram yang ada di Bogowonto atas. Jika saya ceritakan semuanya, tentu saja saya sendiri yang lupa. Hanya jeram-jeram unggulan yang tercatat, tempo Bogowonto atas terlalu tinggi bagi saya untuk sekedar menepikan perahu dan mencatat plotingan GPS pada peta.

Saya tidak berlebihan, puluhan jeram. Coba bayangkan, jika rata-rata kelokan terjadi setiap 200 meter dari 12,6 kilometer pengarungan Bogowonto atas. Berapa? Semoga jeram-jeram yang baik hati ada di depan kami. :)

(24)

8. Jernih, dan dia seperti memaksa perahu agar terbalik

Saya menyukai pengarungan sungai Pekalen di Probolinggo, penampang sungai yang sempit dengan tempo yang cepat karena aliran air yang selalu bergradien. Tebing batu di kanan kiri, dengan pemandangan yang alami. Jeram-jeram yang tak kunjung berhenti. Kadang berupa undak-undakan dengan hole di beberapa bagiannya yang menunggu datangnya perahu terbalik. Under cut hadir di setiap kelokan sungai.

Dan Bogowonto atas seperti mengingatkan saya dengan Pekalen.

Tak ada perkampungan di tepian sungai, sepanjang 12,6 kilometer dari jembatan Sitretes hingga desa Panungkulan. Jika ingin mencapai perkampungan, berarti kita harus berjalan mendaki ke atas selama 15-30 menit. Jika ada orang di tepian sungai, mereka adalah para petani, pencari kayu dan beberapa orang pemancing. Saat perahu menepi, mereka akan menuju ke arah kami lalu bertanya-tanya dengan penuh keheranan.

“kok do wani-wani mrau ning kene, saking pundi?” (kok pada berani bermain perahu di sini, dari mana?)

Curug-curug (air terjun), hutan, tebing batu, persawahan dan gemuruh air. Jikalau ada bangunan, pastilah itu gubug sederhana sang petani tempat dia beristirahat sambil menunggui ladangnya. Tidur siang yang menyenangkan pastilah. :)

30 menit pertama pengarungan adalah "pesta jeram". Jeram-jeram dengan gradien kecil berserak sepanjang lintasan flat dan cenderung menciptakan putaran arus yang cukup besar tiap bertemu kelokan. Begitu banyak kelokan di Bogowonto atas ini, membelah perbukitan berketinggian 400-500 meter dpl. Pengarungan sendiri dimulai dari ketinggian 400 meter dpl dan akan diakhiri pada ketinggian 217 meter dpl. Kekompakan pendayung mulai tercipta, Nurul selalu berteriak dengan keras.

"Kanan majuuu..kiri mundur,..stopp!!"

Beberapa kali sempat tersangkut pillow (batuan yang menonjol hampir tak tampak di permukaan) di tengah sungai. Dan kadang membuat beberapa pendayung harus turun ke sungai untuk memperbaiki posisi perahu. Tak begitu dalam namun berarus sangat deras dengan banyak jeram. Dan benturan dengan jeram adalah resiko yang harus dihindari.

(25)

Kami memulai pengarungan pada pukul 09.35 dan pukul 10.09 bertemu dengan kejutan pertama, sebuah curug dengan ketinggian sekitar 30 meter di depan kami. Berada di sebelah kiri sungai sementara sungai akan berbelok curam ke kanan. Jeram-jeram menunggu di kelokan tersebut. Tak tampak dari atas perahu. Scouting (pengamatan medan) harus dilakukan, scouting pertama kami. Perahu menepi dan kami naik ke daratan menuju curug, menarik dan pastilah akan menjadi salah satu identitas Bogowonto atas. Tugas saya adalah memotret medan, lalu memetakannya dengan bantuan GPS dan peta yang terlindung plastik. Sementara para pendayung lain menentukan arah perahu yang akan dilalui untuk menembus jeram-jeram di depan curug ini. Satu pendayung menjaga perahu di lokasi aman.

Curug pertama yang kami temui

Medan sudah dipelajari dan saatnya melewatinya bersama perahu. Sebenarnya saya ingin memotret aksi mereka pada tantangan pertama ini, namun tak ada space untuk memotret. Kelokan tersebut dipagari oleh tebing. Saya urungkan keinginan memotret.

Perlahan perahu mulai memasuki kelokan, semakin dekat dan laju semakin dipercepat. Arah sudah ditentukan sebelumnya, dan tepat sesuai rencana. Pusaran air menghujam tepat ke moncong perahu saat melewati jeram-jeram. Memberikan sensasi goncangan

(26)

yang luar biasa pada tiap pendayung sebelum akhirnya berbelok ke kanan. Jeram Curug telah dilalui sesuai rencana, itulah nama jeram yang telah kami berikan dengan pertimbangan ada sebuah air terjun yang cukup menggoda mata di situ.

Belum selesai, sekitar 60 meter di depan kami adalah kelokan tajam lagi. Namun tidak setajam jeram Curug. Kali ini berbelok ke kiri. Tak terlalu berbahaya, scouting kami lakukan dari atas perahu. Ada kesempatan untuk memotret, daerah di sebelah kiri jeram adalah daerah berumput dengan barisan pohon pisang tumbuh di atasnya, begitu terbuka. Saya turun menuju ke situ, lalu mencari tempat dengan view terbaik. Peluit saya tiup pertanda saya sudah siap di depan.

Mereka melalui lintasan paling kanan, cepat sekali pergerakan perahu karena memang arus begitu deras. Dan saya berhasil mendapatkan gambar pertama aksi perahu melewati jeram-jeram Bogowonto atas. Bukan gambar yang cukup baik, namun inilah gambar pertama. Melewati barisan jeram di curug.

Melintasi salah satu jeram di kawasan curug

Selepas jeram Curug adalah lintasan-lintasan dengan gradien tinggi. Jarang ada kesempatan untuk memotret dan memetakan, tempo pengarungan cukup tinggi. Waktu harus dikejar sebelum sore hari menjelang. Kenapa? Kami menghindari hujan deras yang datang selepas tengah hari.

(27)

Aliran air yang hijau jernih dan tersenyum baik hati menyembunyikan ketakutan yang akan ditimbulkannya. Dia menunggu perahu datang dan seolah seperti memaksa perahu agar terbalik.

(28)

9. Pesta jeram

Tak ada yang membosankan di Bogowonto atas. Dayungan harus selalu terjaga. Sang skipper tak henti-hentinya berteriak memberikan aba-aba. Jika ada kelokan tajam dengan jeram-jeram yang tak terlihat dari jauh, maka scouting harus dilakukan. Jika masih terlihat jalur-jalurnya, maka pengamatan bisa dilakukan dari atas perahu sambil berdiri. Pukul 10.41, perjalanan terhalang oleh barisan batuan besar di tengah sungai dengan aliran yang deras di antara batuan-batuan. Cukup panjang dan jalur sulit ditentukan dari atas perahu. Perahu pun menepi.

Ada 2 batu besar yang membentuk gate (gerbang), sementara batu-batu yang lain berserakan memanjang membentuk lintasan yang berliku-liku. Dibutuhkan kemampuan slalom (meliuk membelokkan perahu) di sini. Lintasan slalom itu sepanjang kira-kira 80 meter. Scouting seperti biasanya, menentukan arah terbaik perahu yang akan melewati barisan gerbang batuan ini.

Lintasan slalom jeram Watu Gede

Perahu mulai perlahan bergerak, semakin ke depan semakin dipercepat. Kemampuan perahu membelok akan dipengaruhi kekuatan dan keseimbangan dayungan dari pendayung di sisi kiri dan kanan perahu. Gerbang batu yang paling besar telah dilewati, berlanjut ke depan dalam pengarungan slalom. Benar saja, beberapa kali perahu membentur ke batuan dan kadang berbalik arah. Melewati beberapa drop yang cukup mengejutkan. Hingga kami berada di titik aman, sebuah lintasan flat yang bergradien.

(29)

Pengarungan melewati jeram Watu Gede telah dilakukan dengan cukup baik, meskipun beberapa kali perahu harus berbalik arah.

Mungkin keadaan perahu yang sedikit kempes mempengaruhi akselerasi perahu, perahu pun kami tepikan dan dipompa. Kesempatan untuk sejenak beristirahat sambil mengeluarkan isi logistik di dalam dry bag untuk dimakan.

Pesta jeram di antara perbukitan, menikmati pemandangan mungkin sebuah bonus ketika beristirahat setelah melewati barisan jeram. Tempat yang cocok untuk berhenti mendayung adalah ketika perahu memasuki lintasan flat yang tetap bergradien. Di lintasan itu, perahu akan tetap berjalan meskipun tangan tidak mendayung. Jika ada kesempatan untuk memetakan, saya pun akan membuka peta dan menggambarnya. Area perladangan yang cukup luas terhampar di kanan kiri kami dengan beberapa petani yang beraktifitas. Sebuah tempat yang indah dengan gemuruh sungai yang menyembunyikan kengerian di tengah-tengahnya. Saat itu pukul 12:02.

"lha priyayi putri-putri kok yo do wani ?" (para perempuan ini kok pada berani ?) celoteh salah seorang petani baik hati dari belasan petani dan pencari ikan yang kami temui sepanjang pengarungan ini. Sementara lirikan matanya tertuju kepada Sukma dan sang skipper, Nurul.

Petani ini hanyalah salah satu dari belasan petani yang kami ajak bicara ketika perahu menepi ke eddies (tepi sungai). Sambil memberi waktu kepada anggota tim untuk melakukan scouting. Sama halnya dengan petani yang lain, beliau terheran-heran melihat perahu merah ini melintasi sungai berarus deras ini. Karena pemandangan seperti ini tak pernah dijumpai sepanjang dia hidup di sini. Tak pernah ada perahu arung jeram yang melintasi sungai Bogowonto atas.

(30)

Scouting jeram Tumpuk Undung

Ada lagi beberapa orang petani yang memberikan kode dengan telapak tangan membuka terangkat ke atas, sekitar 60 meter di kejauhan. Maksudnya jelas, melarang kami untuk melintasi jeram yang memanjang bertumpuk-tumpuk di depan kami.

Dan benar saja, jeram di depan adalah sekumpulan batu yang berliku membentuk arus besar yang tak terlihat dari depan tempat perahu karet ditambatkan. Arus utama yang berada di samping kanan sungai berujung kepada 2 batu besar yang akan menghimpit perahu dan mencelakakannya pada hole di depannya. Arus yang menjebak, karena jika dilalui tanpa scouting maka sang skipper akan mengarahkan perahu ke arus utama ini yang ternyata akan mencelakakan perahu. Scouting berguna untuk mencari letak alternatif jalur yang akan dilalui, tanpa melewati arus utama, dan itu sangat sulit, pergerakan arus ke arah main stream begitu besar. Ada waterfall kecil setinggi 1,5 meter di luar main stream, dan itulah jalur yang akan dilalui dengan aman, di sebelah kiri sungai. Di depannya, masih menunggu pergerakan air yang bergradien meskipun flat, begitu panjang.

Itulah jeram Tumpuk Undung. Begitu kami menamakannya. Dan pada akhirnya, satu jalur di antaranya tak mampu kami lewati dengan perahu. Kami melewatinya dengan lining (menghela perahu dengan tali). Pergerakan arus ke arah main stream ternyata begitu kuat dan kekuatan kami tidak cukup untuk membelokkan perahu ke kiri, ke arah waterfall. Hanya waterfall itu yang kami lalui dengan perahu. Faktor keselamatan dan kekuatan dayungan yang kurang membuat kami gagal melewatinya dengan perahu. Kami (kecuali

(31)

Nurul) bukan para atlet arung jeram, maklumlah..hehe.

Melintasi jeram Tumpuk Undung

Itulah salah satu tantangan terberat dalam pengarungan Bogowonto atas. Sebenarnya ada sebuah kondisi yang menakutkan di jeram sebelumnya sebelum jeram Tumpuk Undung. Namun sayang, gagal saya petakan dan didokumentasikan. Hanya berjalan lalu saja. Kenapa? Karena jeram itu begitu tak duduga dan kami lalui tanpa scouting. Jeram-jeram yang kelihatannya terlihat mudah dari jauh, tak berada di kelokan. Namun ketika perahu mendekat, lintasan slalom dengan banyak pillow bermunculan. Hasilnya, pergerakan slalom yang tak beraturan dan kadang perahu berbalik arah. Dan perahu berbalik arah pada kondisi yang tidak tepat. Di depan kami adalah waterfall kecil setinggi hampir 2 meter, dan perahu terjun dengan posisi berbalik arah. Bokong perahu terjun lebih dulu, vertical, benar-benar tak terkontrol. Yang kami lakukan hanyalah pasrah menanti perahu terbalik dan bersiap untuk self rescue.

Untunglah, Bogowonto masih baik hati. Perahu kami tidak terbalik. Cukup menimbulkan efek keterkejutan yang luar biasa pada setiap pendayung termasuk sang skipper. Sebuah pelajaran,” terlihat tenang bukan berarti tidak menghanyutkan”. Scouting mutlak dilakukan sesering mungkin.

Sepertinya separuh perjalanan Bogowonto atas telah kami lalui, dan langit di utara terlihat menghitam. Kami tak ingin debit air sungai tiba-tiba meningkat tajam. Finish point harus secepatnya dikejar.

(32)

10. Ahaa, perkampungannn

Beberapa titik-titik menarik saya plot. Entah itu titik dengan jeram bergradien tinggi ataupun titik dengan pemandangan yang menakjubkan. Kami bertemu 2 buah curug lagi saat perahu memasuki wilayah Burat. Tampaknya perahu hampir memasuki wilayah kabupaten Purworejo. Di kiri (timur) sungai adalah wilayah Purworejo, sementara di kanan (barat) sungai adalah wilayah Wonosobo. Masih belum menemui perkampungan.

Saya memetakan kembali sebuah jeram yang menarik. Sebuah jeram yang berada di lintasan flat dengan tipikal pusaran air membentuk standing wave. Saat itu hampir pukul 2 siang, dan ada tempat menarik untuk mengambil gambar. Ada sebuah batu sebesar truk, saya memanjatnya dan view dari atas memang sangat dramatis untuk memotret jalannya perahu. Lintasan flat itu sendiri sepanjang hampir 100 meter. Dengan batuan-batuan berserakan teraliri arus yang deras Pohon-pohon kelapa memagarinya, dan kami sebut jeram itu jeram Kelapa. Tak begitu sulit dilewati, pemandangan yang indah di sekitarnya membuat saya tergoda untuk memetakan dan memotretnya.

(33)

Tanda-tanda perkampungan mulai ada, 9 kilometer dari start. Sebuah jembatan gantung antik di atas kami. Terlihat rapuh dan pastilah hanya sepeda yang bisa melewatinya. Lalu beberapa orang yang mandi dan akhirnya benar juga. Di depan kami, aliran air terputus. Jatuh ke bawah, ya..itu sebuah bendungan. Kejutan yang menyenangkan, dan kami pun menepikan perahu. Kenapa menyenangkan? Karena di sebelah kanan bendungan adalah perkampungan, dusun Gupit. Sementara di sebelah kiri adalah perladangan desa Guntur. Bendungan itu sendiri bernama bendungan Guntur, 9,7 kilometer dari starting point Bogowonto atas.

Akhirnya kami menemukan perkampungan di sini. Perahu menepi, kami beranjak scouting ke depan bendungan. Apakah perahu bisa turun ke bawah?

Bisa, air sungai turun ke bawah setinggi 1,5 meter. Sementara anak-anak kecil dan beberapa orang berbaris di pinggir sungai. Mereka ingin melihat atraksi yang terlihat aneh bagi mereka. Saya bersiap untuk memotret. Dan atraksi pun dimulai, momen jepretan harus tepat. Saya tak ingin kehilangan momen ketika perahu anjlog ke bawah. Perahu berjalan dengan cepat, percepatannya harus ditingkatkan menjelang anjlog. Agar tidak terjebak di arus bawah selepas turunan. Dan, swinggg..perahu anjlog dengan manis dan saya berhasil memotretnya. Lalu bergerak lancar menuju arus tenang tanpa terjebak di pusaran air, berhasil!

(34)

Saya melihat peta, titik finish tinggal 3 karvak lagi. Dan sekarang pukul 14:42. Tak seberapa lama lagi, tampaknya karakter-karakter jeram selepas bendungan Guntur akan lebih mudah, semoga.

Benar juga, 3 kilometer ke depan lebih riang dibandingkan 9 kilometer di belakang. Tentu saja dengan tenaga yang telah terforsir sebelumnya. Aliran air tetap bergradien, namun alur perahu mudah dibaca. Tak perlu lagi scouting. Kami bertemu jembatan gantung lagi. Jembatan yang sama dengan yang kami temui dalam survey darat seminggu sebelumnya, jembatan Sibatur. Namun kali ini kami melintas di bawahnya, bukan menyeberang di atasnya.

Perkampungan telah berakhir setelah jembatan Sibatur, area perladangan yang begitu luas sedang kami lewati. Sebelum akhirnya menepikan perahu kembali di sebuah bendungan. Bendungan Panungkulan, saat itu pukul 15:24.

Seperti yang telah saya ceritakan pada tulisan sebelumnya, apa yang menjadi ciri khas desa Panungkulan? Bentang alamnya, Panungkulan tersusun dari persawahan, perkampungan dan Bogowonto serta keramah-tamahan. Seperti yang kami lihat di sekitar bendungan Panungkulan ini. Tak salah menjadikan desa Panungkulan sebagai middle point dari 25 kilometer total pengarungan sungai Bogowonto.

Kami melewati grojogan air setinggi sekitar 1,5 meter, seperti halnya yang kami lakukan di bendungan Guntur. Tak begitu sulit, lalu perahu akan berbelok ke kanan sembari melewati beberapa jeram yang bergradien kecil. 1 kilometer terakhir akan kami lewati, dan tampaknya jeram-jeram yang sedang kami lewati ini bersifat pendinginan saja. Yang dapat kami lewati dengan riang tanpa ketegangan seperti sebelumnya.

Di bawah jembatan Panungkulan, tim darat telah menyambut kami. Mereka sedang memancing. Kesibukan yang bermanfaat, karena tentulah waktu tunggu mereka sangatlah lama. Alhamdulillah..akhirnya perahu ini telah mencapai peraduannya di tepian sungai. Saat itu pukul 15:44, dan berakhir sudahlah pengarungan Bogowonto atas ini yang kami tempuh selama 6 jam 30 menit dengan jarak total 12,6 kilometer.

(35)

Makan ramai-ramai di finish point

Bogowonto atas, masih separuh perjalanan. Masih ada 13 kilometer ke bawah yang harus kembali kami petakan. Bogowonto sudah di hati. :)

(36)

11. Arung jeram, bukan arung air

Separuh lintasan lagi yang harus terpetakan, Bogowonto bawah. Sudah terencanakan, 2 minggu setelah pengarungan Bogowonto atas. Semangat yang tinggi bergelayut, Bogowonto atas adalah ketegangan yang telah berhasil dilewati. Sementara, sekarang di Bogowonto bawah adalah saat untuk lebih menikmati pengarungan dengan riang sambil menguasai medan yang esok akan berguna bagi kami. Beberapa tim sudah pernah mengarungi Bogowonto bawah, informasi-informasi yang cukup membantu. Terima kasih Palapsi dan Silvagama. Setidaknya dari situ sudah tergambar bahwa Bogowonto bawah nyaman untuk diarungi oleh orang yang baru mengenal arung jeram. Namun, bukankah resiko itu selalu tersembunyi di tengah keriangan. Semoga tetap waspada.

Titik-titik point sudah kami tentukan, pengarungan akan dimulai dari bendungan Panungkulan dan diakhiri di bendungan Kedungpucung dengan jarak mencapai 8 kilometer. Bendungan Kedungpucung itu sendiri berada di KM. 20 pengarungan Bogowonto. Dari total 25 kilometer pengarungan sungai Bogowonto.

Tim pengarungan akan berubah, hadir 3 sosok baru dalam tim yaitu, Fajar, Nourish dan Almy. Nourish dan Almy adalah para cacing muda yang sedang melatih diri di alam terbuka. Sementara Fajar adalah rekan Nurul dalam membangun arung jeram di Satu Bumi. Seperti halnya pengarungan Bogowonto atas 2 minggu lalu, tetap saja sekarang ini adalah kombinasi antara pengarung senior dan junior. Yang sama-sama belajar di alam terbuka.

(37)

Tetap selalu ada tim darat yang akan mengantar perahu dan para pengarung ke start point serta menjemputnya di finish point. Bogowonto bawah lebih mudah diakses dari jalan raya, ada beberapa titik di mana mobil bisa masuk ke tepian sungai. Tak seperti Bogowonto atas, di mana hanya ada 2 titik di mana mobil bisa masuk, yaitu di start dan finish point.

Kami telah bersiap untuk memulai pengarungan di bendungan Panungkulan. Muka-muka segar mewarnai perahu, Almy, Nourish, Wiwid dan Sukma. Harapan kami, merekalah yang akan menguasai medan di sungai Bogowonto kelak. Agar regenerasi tetap terjaga. Pukul 09:31 kami memulai pengarungan, menuruni grojogan air setinggi 1,5 meter di bendungan Panungkulan mengawalinya. Begitu riang.

Bagaimana debet air saat itu? Lebih besar daripada pengarungan Bogowonto atas 2 minggu yang lalu. Itu yang kami lihat di catatan TMA (tinggi mata air) di bendungan Kedung pucung (finish point). Tampak jelas air lebih coklat dengan riak-riak yang menghanyutkan. Jika debet saat ini terjadi pada pengarungan Bogowonto atas yang lalu, dapat dipastikan, tentunya resiko yang akan kami hadapi lebih besar. Dengan debet air yang seperti kemarin saja sudah sedemikian besar gradiennya, apalagi jika debetnya makin bertambah.

30 menit pertama adalah pemanasan yang menarik, lintasan flat bergradien dengan standing wave sepanjang desa Panungkulan. Saat yang tepat untuk memperkompak irama dayungan. Kami melewati finish point pengarungan Bogowonto atas kemarin, yaitu jembatan Panungkulan. Itulah satu-satunya jembatan desa di Bogowonto yang bisa dilewati mobil.

Jika di Bogowonto atas kemarin kami banyak terhalang oleh pillow-pillow yang memberhentikan perahu di tengah sungai. Di Bogowonto bawah ini jarang kami temui. Perahu pun tetap bisa bergerak tanpa dayungan. Kelokan-kelokan tak sebanyak di Bogowonto atas. Jeram-jeram pun terlewati dengan bersahabat. Pemandangan masih seperti Bogowonto atas, sangat alami. Kami sering menemui orang di tepian sungai. Di beberapa titik akan menemui perkampungan, lalu kembali lagi membelah perladangan yang luas. Tak seperti di Bogowonto atas di mana sungai akan membelah perbukitan. Tempo pengarungan tetaplah tinggi.

(38)

Tantangan pertama pada pukul 10.03, selepas melewati jembatan gantung Kedungpoh. Sebuah lintasan yang membentuk kurva sepanjang hampir 100 meter. Lintasan flat berpenampang sempit dengan jeram-jeram yang berkelak kelok, lebih condong kepada tipikal standing wave. Perahu akan bergoncang dengan mengasyikkan selama 100 meter. Jika pemilihan jalur tepat, maka laju pun akan lancar. Namun jika banyak membentur jeram, bisa menyebabkan perahu berbalik arah dengan posisi bokong perahu di depan, sesuatu yang harus dihindari.

(39)

Melintasi jeram Kedungpoh

Sempurna, mereka beraksi dengan cantik. Begitulah, sebagian besar jeram-jeram di Bogowonto bawah adalah seperti ini. Beberapa di antaranya berada di kelokan seperti di Bogowonto atas dengan gradien cukup tinggi. Jeram-jeram di kelokan inilah yang membutuhkan scouting sebelum dilalui.

Benar-benar arung jeram seperti apa arti sesungguhnya, arung dan jeram. Bukan arung air. Bogowonto.

(40)

12. Mengenalkan Bogowonto

Sembari berpikir di atas perahu, Bogowonto benar-benar istimewa. Segala potensi yang mendukung wisata hadir di sini. Alam, penduduk, seni budaya dan tentu saja petualangan. Semoga dari pengarungan Bogowonto ini akan memberikan manfaat. Untuk siapa? Setiap yang baik akan kembali kepada yang baik pula. Untuk Bogowonto, semoga.

Jeram-jeram menarik masih kami lewati, ada beberapa yang tak terpotret karena memang kebetulan akses darat yang sulit. Scouting tetap dilakukan di beberapa titik, namun tidak sesering di Bogowonto atas. Sebagian besar jeram bisa dilewati dengan hanya melakukan scouting dari atas perahu. Jika di Bogowonto atas, perbedaan gradien ketinggian antara start dan finish adalah 200 meter, di Bogowonto bawah perbedaan gradien ketinggian adalah 100 meter. Dari angka tersebut maka dapat disimpulkan bahwa karakter Bogowonto bawah lebih landai dari Bogowonto atas.

Pukul 10:56, perahu melewati sebuah jeram yang cukup menantang. Sebuah jeram yang bertumpuk-tumpuk pada sebuah kelokan, kami lewati tanpa scouting. Dan kami mencapai titik aman setelah melewati lintasan flat berarus tenang. Itulah lintasan penyempitan sungai (bottle neck), dan jeram tadi adalah jeram Penyempitan. Penyempitan sungai adalah karakter lintasan sungai yang tiba-tiba menyempit dan bertambah dalam. Biasanya dipagari oleh tebing-tebing batu berlumut. Lintasan penyempitan di Bogowonto bawah ini mempunyai panjang sekitar 100 meter dengan sebuah jembatan beton sempit berdiri di atasnya. Itulah jembatan Brongkol. Di kanan kiri penyempitan adalah kampung, kami menepikan perahu dan sejenak beristirahat di situ.

(41)

Penyempitan sungai, Brongkol

Area perladangan yang luas selepas penyempitan sungai hingga akhirnya kami mencapai jembatan Maron. Jembatan Maron adalah jembatan yang menghubungkan Purworejo dengan Magelang. Jalan raya Purworejo-Magelang melintas di atasnya. Hampir mencapai KM 16 pengarungan Bogowonto. Sudah banyak orang di sekitar sungai tampaknya. 1,5 kilometer ke depan perahu masih melewati arus yang bergradien dan melalui beberapa jeram yang menarik sebelum tiba-tiba air sungai mulai berwarna kecoklatan. Selama pengarungan sebelumnya memang air sungai selalu berwarna hijau jernih. 2 buah jembatan gantung tampak dari kejauhan, yang satu kecil reyot dan yang satu lagi terlihat kokoh.

Kami telah memasuki wilayah Tempuran Mas. Tim darat telah menunggu kami di sana sembari memancing.

Tempuran Mas adalah pertemuan antara 2 buah sungai besar, yaitu Bogowonto dan Kodil. Karakter sungai akan berubah menjadi lebar dari sini hingga ke hilir. Dan tentunya lebih berwarna coklat dan lebih dalam. Sebuah jembatan gantung antik sepanjang 50 meter memanjang di atasnya. Beberapa penambang pasir dan batu beraktifitas di bawahnya.

(42)

Tepian sungainya cukup luas dengan pasir, batu dan rerumputan di atasnya. Perahu menepi kembali di sebelah kanan tempuran. Pukul 11:20 saat itu.

Beristirahat di Tempuran Mas

Karakter pengarungan selepas Tempuran Mas didominasi aliran flat, terlihat tenang namun menciptakan standing wave di beberapa titik. Memang tidak seliar arus di atas, namun perahu masih bisa melaju walaupun tanpa didayung. Begitulah, di semua titik sungai Bogowonto, perahu tetap akan melaju kencang walaupun tanpa dayungan. Kekuatan dayungan dibutuhkan untuk melewati jeram, standing wave, maupun slalom.

Hampir mencapai finish, dan masih didominasi pemandangan yang alami. Gunung Sumbing, sang hulu Bogowonto, megah terpandang di utara. Sementara lebatnya ladang, kebun pisang dan hutan bambu menyembunyikan penampakan perkampungan di tepian. Beberapa orang terlihat mandi di air yang kecoklatan. Jarring-jaring ikan bertebaran di tepian sungai pertanda bahwa banyak orang memilih tempat ini sebagai spot memancing.

(43)

Penampang sungai melebar setelah tempuran

Bangunan besar tampak memanjang di depan. 4 buah pintu air dengan jembatan beton di atasnya. Sementara di sebelah kanan, talud-talud melapisi tepian sungai. Itulah bendungan Kedung pucung, bendungan terbesar di sungai Bogowonto. Titik finish kami di pengarungan Bogowonto bawah kali ini. KM 20 dari 25 kilometer pengarungan sungai Bogowonto. Tepat pukul 12.00 saat itu, dan hari ini telah kami lewati dengan pengarungan selama 2 jam 30 menit. Sebenarnya masih ada 5 kilometer jalur yang harus kami lalui menuju finish point pengarungan sungai Bogowonto di KM 25, yaitu jembatan Tambak. Namun masih belum menjadi prioritas kami hari ini.

Perbincangan dengan petugas penjaga bendungan Kedung pucung di rumah dinas beliau mengakhiri perjalanan kami hari ini. Ada harapan tentunya bahwa suatu saat Bogowonto akan dikenal dari sektor wisata. Bogowonto, yang menghidupi masyarakat tepian sungai di Wonosobo dan Purworejo. :)

(44)

13. Matur nuwun to

Akan dibawa kemanakah petualangan-petualangan kita? Apakah cukup dengan memotret pemandangan-pemandangan indah lalu menulis dan menyebarkannya kepada dunia? Petualangan akan menjadi lebih bermakna jika kita membawanya kepada manfaat. Manfaat seperti apa? Humanity.

Begitulah, di “tempat-tempat yang entah” kita akan berinteraksi dengan manusia-manusia sederhana. Bogowonto, dengan ribuan masyarakat sederhana tinggal di tepiannya. Apa yang harus dilakukan? Jika arung jeram adalah salah satu kegiatan baru di alirannya, lalu bagaimana arung jeram dapat membawa manfaat bagi mereka? Itulah sejatinya visi yang harus diamanatkan kepada petualangan Indonesia.

Kami hanyalah salah satu perencana wisata yang terbangun melalui hobi dan kebersamaan di alam bebas, di gunung, hutan, sungai, goa, tebing maupun pantai dan lautan. Yang ingin mengenalkan sungai Bogowonto kepada masyarakat wisata Indonesia. Inilah sungai Bogowonto, sebagai wahana baru wisata arung jeram Indonesia. Sebuah harapan bahwa jikalau perkembangan wisata di sini positif, tentunya akan bermanfaat pula. Untuk siapa? Prioritas terbesar tentu saja untuk Bogowonto sendiri, untuk para masyarakat tepian sungai Bogowonto. Yang terbaik untuk Bogowonto.

Rangkaian survey baik darat maupun air di sungai Bogowonto ini menjadi langkah awalnya. Segala konsep pikiran dan tenaga dayungan telah kami curahkan sepanjang bulan April-Mei 2011 kemarin. Langkah awal untuk membuka operasional kami di Bogowonto Raft mulai penghujan 2012 ini.

Segala puji kami curahkan kepada Allah SWT, dari-Mu air mengalir ke bawah menuju peraduannya di hilir. Kepada orang tua kami yang selalu berlapang dada melihat tingkah laku kami di dalam kegiatan alam bebas yang penuh resiko, terima kasih atas dampingan do’anya. Terima kasih teruntuk masyarakat desa Panungkulan, desa Bener dan desa-desa lain di tepian sungai Bogowonto. Semoga suatu saat akan menjadi manfaat. Terima kasih teruntuk keluarga besar Nurul Fitriani, rumah persinggahan kami selama bermalam-malam di Purworejo. Terima kasih Mendut Raft, atas titipan perahu merahnya yang telah mengarungi sungai Bogowonto dari atas hingga ke bawah. Terima kasih teruntuk Palapsi dan Silvagama atas informasi pentingnya tentang sungai Bogowonto. Terima kasih teruntuk senior kami, Gunawan Wahyudi dan Agus Tri Wibowo atas dampingannya

(45)

selama pengarungan Bogowonto atas. Terima kasih teruntuk tim rafting Satu Bumi; Prasidyo “Wiwit”, Dwi Sukma, Nourish, Almy Ruzni, semoga selalu berada di jalan alam. Terima kasih teruntuk Satu Bumi, atas sekolah alam-nya kepada kami. Terima kasih teruntuk tim pendukung yang belum tersebut satu persatu. Terima kasih Purworejo, aliran sungai yang membelah perbukitannya telah memberikan inspirasi kepada kami.

Eling duren, eling Purworejo. Mrau nang kalen, kalene Bogowonto. Sugeng rawuh teng Purworejo. Sugeng ngarung Bogowonto. ..matur nuwun :)

menuju Bogowonto Raft 2012

~ jarody hestu

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan antara Intensitas Kerja dengan Kelelahan Non Fisik Ditinjau dari Segi Ergonomi di Sentra Industri Variabel intensitas kerja mempunyai hubungan yang positif dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan rumput laut Gracilaria sp dengan metode rak bertingkat dan melihat tingkat pertumbuhan pada berbagai tingkat

Setiap individu yaitu dapat memiliki identitas yang baik dan sehat, indikator yang harus dimiliki oleh individu dengan identitas yang baik antara lain : mengenal diri sendiri

Oleh karena itu, dalam hal ini kampanye adalah sebuah sarana sebagai tahap perkenalan diri oleh kandidat yang mencalonkan diri agar khalayak mengetahui keberadaan

Perlunya upaya Pemerintah untuk mengatur tingkat upaya penangkapan sumberdaya perikanan berada pada tingkat eksploitasi optimal sehingga kelestarian sumberdaya

Kelompok pertama ini menyakini bahwa Islam melarang wanita berkiprah dalam bidang politik dengan argumen sebagai berikut, Pertama, wanita berbeda dengan laki-laki dari

Konjungtivitis flikten disebabkan oleh karena alergi (hipersensitivitas tipe IV) terhadap tuberkuloprotein, stafilokokus, limfagranuloma venerea, leismaniasis,

Menerusi program ini, kami dapat melihat melalui pemerhatian, penelitian dokumen, refleksi tingkah laku murid, pengurusan sekolah dan juga pengurusan bilik darjah di