• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tipologi Perairan Teluk Ambon Dalam Hidromorfologi Oseanografi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tipologi Perairan Teluk Ambon Dalam Hidromorfologi Oseanografi"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Tipologi Perairan Teluk Ambon Dalam 2.1.1 Hidromorfologi

Perairan Teluk Ambon Dalam (TAD) terletak pada 1280 07’ 42” - 1280 16’ 04” BT dan 030

39’ 47” LS - 030 45’ 50” dengan luas 12.3 km2. Perairan TAD berhubungan dengan Teluk Ambon Luar (TAL) melalui suatu ambang (sill) berkedalaman 12.8 m. Keberadaan ambang pemisah tersebut menjadi penghubung keluar masuk air antara TAD dan TAL. Lebar ambang pemisah antara TAD dan TAL yaitu 74.5 m. Garis pantai TAD sepanjang 14.03 km dengan bentuk morfologi mengalami perubahan karena sedimentasi dan abrasi (Tarigan dan Sapulette, 1987). Kedalaman perairan TAD di zone ambang sekitar 12.8 m. Sedang kedalaman maksimum TAD mencapai 41 m berada 444 meter (300 – 310°) dari dermaga Ferry Galala. Sepanjang pesisir desa Lateri hingga Waiheru dan Utara Poka (Lampiran 2. Peta P. Ambon) terdapat proses pendangkalan. Sedangkan di sepanjang pesisir desa Lateri, Latta, Halong dan Batukoneng terdapat zona–zona perairan yang lebih dalam (> 30 m) dan merupakan area terdalam di peraian TAD.

2.1.2. Oseanografi

Tipe pasang surut (pasut) di perairan TAD adalah pasut harian ganda, yaitu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari dengan tinggi pasang dan surut bervariasi dalam 1 siklus pasut (Pemkot Ambon dan Unpatti, 2003).

Gelombang di TAD merupakan gelombang dari pengaruh angin sebagai pembangkit utama, terutama angin Barat-Baratdaya dan Utara. Gelombang yang memasuki perairan Teluk Ambon Dalam dari Teluk Ambon Luar telah mengalami reduksi akibat refraksi pada dasar perairan sekitar ambang Galala Poka yang relatif dangkal dan tanjung Martafons, sehingga kekuatan energi gelombang yang mencapai teluk semakin mengecil. Penurunan nilai energi gelombang tersebut terjadi berkenaan dengan bentuk topografi dasar perairan dan bentuk wilayah teluk semi tertutup, sehingga perairan menjadi relatif tenang (Pemkot Ambon dan Unpatti, 2003).

(2)

Arus di perairan TAD berkarakter arus pasang surut yang secara tidak langsung dari rambatan arus Laut Banda. Arus non-pasut terdapat ditepi luar ambang Galala-Poka dan diperairan Teluk Dalam yang mengarah ke Selatan dengan kekuatan masing-masing 11.02 cm/det dan 3.58 cm/det. Selama periode surut arah arus cenderung ke luar teluk (Barat daya) dengan kecepatan berkisar dari 1 – 20 cm/detik. Pada kedalaman 15 meter kecepatan arus melemah pada seluruh daerah yakni 1 – 10 cm/detik. Saat periode pasang kecepatan arus di lapisan permukaan berkisar antara 1 – 10 cm/detik dengan variasi arah Baratdaya – Tenggara. Pada kedalaman 15 meter kecepatan arus pada beberapa lokasi terdeteksi antara 11 – 20 cm/detik sekitar Waiheru dan Lateri yang mengarah ke Timur – Tenggara (Pemkot Ambon dan Unpatti, 2003).Kecepatan arus maksimum pada waktu pasang di TAD adalah 13.6 cm/det, dan surut adalah 12.4 cm/det. Kecepatan arus di daerah ambang pada waktu pasang lebih besar 0.5 m/det, dan pada waktu surut lebih kecil 0.5 cm/det (Selanno, 2009).

Suhu air mengalami perubahan secara musiman. Pada bulan Juli (musim Timur) ,suhu terendah berkisar 24.0 – 25.7°C, sedang pada bulan Desember (musim Barat) suhu tertinggi berkisar 27.6 – 29.2°C (Tarigan dan Sapulete, 1987). Variasi suhu terbesar di permukaan dekat dasar terjadi pada musim Timur hingga Pancaroba II. Dari tahun ke tahun variasi suhu tidak berbeda yang ditemukan oleh Pemkot Ambon dan Unpatti, (2003); Wouthuysen et al (1984); Syahailatua dan Widnyana (1996); Sahubawa (2001); Edward (2003); Selanno (2009).

Nilai pH pada musim Timur di lapisan permukaan TAD dan musim Barat berkisar 8.04-8.14; pada musim Peralihan I berkisar 7.51- 7.62; musim Timur antara 7.51-7.62 dan musim Pancaroba II antara 7.80-7.91. Variasi nilai pH dari musim ke musim selalu berada pada kisaran yang layak bagi kehidupan organisme laut (Pemkot Ambon dan Unpatti, 2003).

Salinitas perairan TAD mencirikan stratifikasi dengan kedalaman. Secara temporal salinitas lapisan permukaan mengalami perubahan pada musim barat yaitu berkisar 32,39 – 33,0 ppt; pada musim Pancaroba 1 berkisar 30.42 – 33.58 ppt; pada musim timur berkisar 30.16 – 32.17 ppt; pada musim Pancaroba 2 berkiasar 32.52 –

(3)

33.54 ppt. Salinitas pada berbagai kedalaman dapat diketahui yaitu pada bulan Desember 2002 berkisar 30 – 35 ppt (Sd  2.20 ppt) di lapisan permukaan; 32 – 36 ppt di kedalaman 10 - 30 meter dan 33 – 36 ppt (Sd  1.01 ppt) di kedalaman 40 m. Pada berbagai kedalaman salinitas meningkat yaitu salinitas 36 ppt di kedalaman 10 m di Halong, Negeri Lama pada 20 m, Lateri pada 30 m, Latta 40 m. (lihat peta pada Lampiran 2).

Secara temporal keberadaan oksigen terlarut mengalami perubahan antara lain yaitu pada musim Barat, Peralihan I, Timur dan Peralihan II adalah masing-masing berkisar 3.98-4.08 mg/l, 5.37-5.42 mg/l, 2.54 -4.46 mg/l dan 3.60-4.47 mg/l (Pemkot Ambon dan Unpatti, 2003). Tarigan dan Sapulete (1978), mendapatkan rataan konsentrasi oksigen terlarut antara 3.30-5.96 ml/l dengan SD = 1.35 ml/l atau 4.03- 7.25 mg/l dengan SD= 2.94 mg/l.

2.2 Biologi Ikan Teri Merah

2.2.1 Klasifikasi Ikan Teri Merah (Encrasicholina heteroloba)

Munro (1967). mengklasifikasikan ikan teri merah sebagai berikut: Kingdom: Animalia

Phylum:Pisces

Kelas: Teleostomi

Sub Kelas: Actinopterygii Ordo: Clupeiformes

Famili: Engraulidae

Genus: Stolephorus

Spesies: S. hetetolobus

Belakangan ini nama S. heterolobus dikenal dengan nama Encrasicholina heteroloba

(4)

Gambar 2. Ikan teri merah Encrasicholina heteroloba Ruppell, 1837

Selanjutnya dideskripsikan oleh mereka karakteristik Encrasicholina heteroloba

sebagai berikut: bentuk tubuh agak seperti tabung, perut bundar dengan 4-6 (biasanya 5) sisik tebal yang berduri antara sirip dada dan sirip perut. Ujung tulang rahang meruncing melampui ujung tulang rahang atas dan mencapai pinggiran belakang dari keping tutup insang depan. Tapis insang sebelah bawah berjumlah antara 22 sampai 30, tetapi umumnya berkisar antara 23-37. Jari sisik sirip punggung dan dubur yang tidak bercabang hanya berupa ii.0, sirip dubur pendek dengan jari jari umumnya berjumlah ii.14 sampai ii.16. Dalam keadaan hidup terdapat garis perak pupus atau kelabu pada sisi tubuh dengan punggung berwarna kuning gading.

2.2.2 Habitat

Ikan teri merah adalah jenis ikan yang hidup di laut, bersifat neritik-oseanis (oceanodromous) dari laut terbuka sampai di teluk dan berasosiasi dengan terumbu karang. Hidupnya berkelompok (schooling), ditemukan pada permukaan sampai kedalaman 20- 50 m (Whitehead et al, 1988). Perilaku ikan-ikan teri yang berkelompok ini responsive terhadap perubahan suhu dan sinar. Laevastu dan Hayes (1981) menyatakan bahwa ikan-ikan anchovy (teri) selama siang hari membentuk gerombolan di dasar perairan dan bermigrasi menuju permukaan pada malam hari dimana konsentrasi gerombolan berada pada kedalaman 6 – 15 m. Kedalaman renang dari gerombolan anchovy bervariasi selama siang hari pada waktu pagi dan sore hari, dimana hal tersebut berkaitan dengan cahaya. Habitat kedalaman renang ikan teri

(5)

merah yang dipantau dengan alat echogram oleh Waas (1994), pada musim timur di Teluk Ambon Dalam (TAD) berkisar 6 - 7 m, sedangkan pada musim Barat, kelompok ikan umpan tersebut terkonsentrasi pada kedalaman 8-15 m (Latumeten, 2003).

2.2.3 Pertumbuhan Reproduktif dan Somatik

Informasi mengenai pertumbuhan reproduktif ikan teri merah yang didapatkan di Teluk Manila, New Ireland Papua New Guinea dan Jepara (Jawa Tengah), pada dasarnya ikan teri merah bereproduksi secara berkelanjutan sepanjang tahun kecuali di China dan Papua New Guinea. Di Daya bay Guang Dong China hanya ditemukan musim pemijahan dari bulan Maret sampai Oktober. Di perairan New Ireland Papua New Guinea pada bulan Mei hingga Juni atau Juli dan puncaknya pada September sampai November (Whitehead et al, 1988). Reproduksi yang menghasilkan telur dengan fekunditas untuk jenis nothern anchovy (teri) adalah 359±59 telur per betina (Hunter dan Golberg, 1980); Maack dan George (1999) menemukan fekunditas E puncifier di Padang (West Sumatera) adalah 985±359 telur per betina; Wright (1990) menemukan teri merah di Jawa Tengah dengan fekunditas adalah 422±32 telur per betina. Pertumbuhan reproduktif dapat terindikasi dari pertumbuhan somatik yaitu panjang ikan pertama ikan mencapai perkembangan gonad dan matang telur. Hubungan tingkat kematangan gonad dan matang telur dengan panjang minimum pertumbuhan somatik di beberapa lokasi dapat berbeda. Ongkers (1999) menemukan di TAD ikan teri merah mencapai matang gonad pertama pada ukuran nilai tengah 55 mm dengan prosentase kelimpahan 20%. Di perairan Utara Jawa (Wright, 1989 in

Blaber dan Copland, 1990), tingkat kematangan pertama ditemukan pada ikan teri merah berumur muda (ukuran berkisar 33-42 mm) dengan prosentase kelimpahan 65.1%. Wright (1990) di perairan bagian Utara Jawa Tengah mendapatkan perkembangan gonad mencapai matang pada ukuran 66-69 mm. Menurut Whitehead

et al (1988), ikan tersebut umumnya mencapai panjang matang gonad pertama kali pada panjang 5 - 6.7 cm. Setelah telur yang berkembang akan menetas dengan lama tetas telur jenis larva anchovy 48 jam atau 2 hari (Balakkrisman (1969); Milton and

(6)

Blaber (1999) serta Wan et al (2008), sedangkan waktu perkembangan larva, DT (Development Time), untuk jenis anchovy (Hunter, 1976; Dulcic, 1979) diperlukan 14 hari lamanya, dengan estimasi persentase sintasan setelah penetasan dari fase telur menjadi larva antaara 40%-80%. Pada kondisi laboratorium dari family Engraulidae bisa mencapai 80% (Milton et al, 1996) ini semua tergantung dari pakan yang tersedia, jenis Engraulis encrasicolus di Barat Laut Mediteranean berkisar antara 42%-83% (Palomera dan Lleonart, 1989).

Pertumbuhan somatik ikan teri merah yang ditemukan di TAD mengikuti pertumbuhan allometrik (Tapilatu, 2001) dengan koefisien pertumbuhan negatif (b= 2.875). Pertumbuhan isometrik dengan koefisien pertumbuhan b= 2.976 (Sumadhiharga,1978) dan b=2.989 (Sumadhiharga et al, 1987). Pertumbuhan ikan teri merah di perairan pantai utara Jawa Tengah didapatkan koefisien b pada tingkat pasca larva, juwana dan dewasa masing-masing sebesar 4.34, 3.42, dan 2.74 (Wright

et al , 1989 dalam Blaber dan Copland,1989). Wright et al (1989) in Blaber dan Copland, (1990) menyampaikan informasi L∞ dan K ikan teri merah dari berbagai tempat yaitu : di TAD, masing-masing L∞=10.97cm, dan K=2.48 tahun 1974-1975 (Wouthuysen et al, 1984); L∞=10.65cm dan K=2.83 tahun 1982-1983 (Wouthuysen et al, 1984); L∞=10.55cm, dan K=2.55 tahun (Ongkers, 1999). Di Manila di

dapatkan (L∞ =121mm dan K=1.6) dan (L∞=114mm dan K=0.95); Singapore (L∞= 89mm dan K=2.08); Palau (L∞= 98mm dan K=2.08); Jepara (L∞= 98 mm dan K=2.12). Panjang ikan tersebut dapat mencapai panjang maksimum 12 cm, tetapi pada biasanya 7.5 cm (Whitehead et al, 1988).

2.3 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan

Pengelolaan Sumber Daya Perikanan (Fisheries Resource Management) merupakan ilmu perikanan dalam rangka melindungi sumber daya perikanan agar eksploitasi dapat berlanjut. Untuk mewujudkan tujuan perikanan tersebut maka didekati dengan ilmu Dinamika Populasi Ikan (Fish Population Dynamic) yaitu suatu studi kuantitatif dari empat proses pada aksioma Russel. Kempat proses tersebut berupa pertumbuhan, rekrutmen, mortalitas penangkapan dan alami (Pauly, 1984).

(7)

Berbeda dengan Dinamika Populasi Ikan, maka pengkajian stok ikan (Fish Stock Assessment) merupakan suatu studi ilmiah untuk melihat status dan produktivitas dari suatu sumberdaya perikanan, pengaruh dari penangkapan terhadap sumberdaya dan dampak-dampak yang timbul pada sumberdaya perikanan tersebut akibat pola-pola penangkapan untuk kepentingan manajemen (Gulland, 1983). Dalam mengelola suatu stok perikanan, potensi hasil tangkapan (potential yield) yang tereksploitasi dan belum tereksploitasi sangat diperlukan, terutama pada sumberdaya laut di daerah tropis dan subtropis. Data yang diestimasi didekati dari Hasil Maksimum Yang

Lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY) dimana MSY≃ 0.5 M.B∞ (Gulland, 1971) dimana M adalah mortalitas alami dan B∞ adalah biomassa stok awal (virgin stock). Model ini berlaku jika kondisi stok belum dieksploitasi (unexploited). Jika pada kondisi yang sudah dieskploitasi, maka pengaruh mortalitas akibat aktivitas manusia (penangkapan) maka perlu dipertimbangkan untuk memasukan faktor mortalitas penangkapan (F), sehingga MSY≃ 0.5 (Y+M. )B dimana Y =F B). Mortalitas penangkapan (F) dan alami (M) bisa digabungkan menjadi Z (mortalitas total), maka MSY≃ 0.5 (Z+M. )B (Caddy dan Csirke, 1983).

Dalam sejarah pengelolaan sumberdaya perikanan, terdapat tiga pendekatan model pengelolaan yaitu: model Stok, model Analitik dan model Produksi.

2.3.1 Model Stok

Model stok pada mulanya menduga parameter populasi (pertumbuhan, mortalitas dan rekrutmen). Model tersebut berkembang dan sehingga muncul model prediktif stok seperti Thomson dan Bell (1934) in Spare dan Venema (1998) dan Beverton dan Holt (1957), untuk menduga besarnya hasil tangkapan dan biomassa. Salah satu model yang sederhana yang didasarkan pada asumsi yang ketat, tetapi memerlukan lebih sedikit perhitungan telah dikembangkan oleh Beverton dan Holt (1957) dan Ricker (1975) yang dikenal dengan nama ’Yield Per Recruit” (YPR). Model YPR ini pada prinsipnya adalah suatu model keadaan tetap (steady state model), yaitu, model yang menggambarkan keadaan stok dan hasil tangkapan dimana

(8)

pola penangkapannya sama untuk waktu yang cukup panjang dimana dialami oleh semua pesintas sejak saat direkrut. Asumsi yang ketat mendasari penggunaan model Beverton dan Holt ini adalah: 1) rekrutmen konstan tetapi tidak ada spesifikasi, 2) semua ikan dari suatu kohort ditetaskan pada waktu yang sama, 3) rekrutmen dan seleksi berbentuk mata pisau (knife edge), 4) mortalitas alami (M) dan penangkapan (F) adalah konstan pada saat masuk ke fase eksploitasi, 5) terjadi pencampuran secara sempurna di dalam stok, 6) pola pertumbuhan mempunyai pangkat 3, yaituW = aL3. Model Beverton dan Holt (1957) ternyata bermanfaat untuk melakukan estimasi atas beberapa pengaruh yang dapat diakibatkan oleh adanya berbagai perubahan pada batas ukuran (size limit) ikan yang boleh ditangkap maupun pada intensitas penangkapan terhadap berbagai stok, terutama yang tersusun dari satu jenis ikan (single spesies).

Secara holistik, model stok mempunyai ide dasar sebagai berikut: 1) jika terlalu sedikit ikan tua, maka stok mengalami tangkap lebih dan tekanan penangkapan harus dikurangi, 2) jika terlalu banyak ikan tua maka stok dalam keadaan underfished dan perlu dilakukan penangkapan untuk memaksimumkan hasil. Oleh karena itu keseluruhan konsep laju tangkap (catch rate) yang akhirnya dikenal sebagai catch per unit effort (CPUE) sebagai suatu indeks ukuran kelimpahan stok ikan dalam menduga hasil tangkapan lestari. Hasil tangkapan maksimum lestari (Hasil Tangkapan Maximum Lestari, MSY). MSY akan merupakan pedoman dasar bagi eksploitasi rasional stok ikan (Gulland, 1983; Pauly, 1984).

2.3.2 Model Analitik

Model ini dikembangkan oleh Russel (1931) in Beverton dan Holt (1957), dalam sistem perairan tertutup. Keberadaan stok dapat meningkat oleh adanya rekrut dan pertumbuhan (Russel, 1931) in Beverton dan Holt (1957). Kondisi stok yang meningkat dimbangi dengan penangkapan. Oleh karenanya model Russel ini dikenal dengan model keseimbangan dinamik, dimana menerapkan jumlah (stock numbers) sebagai kelimpahan. Perkembangan dari jumlah ke biomassa stok menghasilkan suatu kondisi stok yang mantap (stabil). Kemantapan stok merupakan perubahan biomassa

(9)

stok berkenaan dengan tingkat eksploitasi terhadap pembentukan biomassa dari suatu stok dalam periode waktu tertentu. Kemantapan stok ditentukan oleh daya dukung stok (Rekrutmen dan Pertumbuhan) dan tingkat eksploitasi (Penangkapan). Kemantapan stok (KST) ditentukan dari :

KST = (R+G)-(F) ………...(2)

Keterangan :

KST = Kemantapan stok R = Biomassa rekrutmen G = Biomassa pertumbuhan F = Biomassa hasil penangkapan

Apabila hasil penangkapan (F) lebih kecil dari daya dukung stok (R+G) maka KST positif, bertahan dan berkembang meningkat, sebaliknya apabila hasil penangkapan (F) lebih besar dari daya dukung stok (R+G) maka KST negatif, keberadaan stok menurun dan apabila hasil penangkapan (F) sama dngan daya dukung stok (R+G) maka KST nol, keberadaan stok tetap.

Berhubung karena perairan Teluk Ambon Dalam (TAD) bersifat semi enclosed bay, maka kesimbangan dinamik Russel perlu dimodifikasi karena adanya biomassa yang masuk dan keluar Teluk Ambon Dalam, sehingga kemantapan stok ditentukan oleh:

KST = (R+G)-(F)-(±E)...(3)

Keterangan : KST = Kemantapan stok R = Biomassa rekrutmen G = Biomassa pertumbuhan F = Biomassa hasil penangkapan E = Eliminasi

Eliminasi pertama kali dipergunakan dalam perhitungan jumlah biomassa yang hilang (tereliminasi) dari produksi suatu populasi (Allen 1951) in Heip (1976). Berhubung karena perubahan produksi di suatu perairan terbuka tidak bisa diterapkan pada suatu perairan yang semi terbuka, maka ada sesuatu biomassa yang terleiminasi(masuk dan keluar perairan) akibat dari proses internal (daya dukung stok dan hasil tangkapan). Perubahan rekrut, pertumbuhan dan keluar masuk ikan merupakan potensi daya dukung stok terhadap tekanan eksploitasi. Apabila tekanan

(10)

eksploitasi tidak melampaui daya dukung maka stok akan bertahan meningkat mantap, sedangkan apabila tekanan eksploitasi melampaui daya dukung maka stok akan mengalami degradasi.

Dari pendekatan dinamika stok tersebut maka keberadaan stok ikan teri merah di TAD sangat ditentukan oleh rekrutmen, pertumbuhan, keluar masuk ikan dan tingkat eksploitasi. Dinamika stok dapat dinyatakan sebagai dinamika kelimpahan stok atau dinamika pembentukan biomassa :

Bt2 = Bt1 + BR + BG – BF ± B(Ni-No) ……….(4)

Keterangan:

Bt2 = Biomassa pada waktu t=2 Bt1 = Biomassa pada waktu t=1 BR = Biomassa rekrutmen BG = Biomassa pertumbuhan BF = Biomassa penangkapan

B(Ni-No)= Biomassa masuk keluar ikan di TAD

2.3.3 Model Produksi

Model Produksi telah dikembangkan oleh Ricker (1946) dan Allen (1951) in

Chapman (1978) dalam menghitung pertumbuhan biomassa. Pertumbuhan biomassa (Produksi) yaitu kemampuan pembentukan biomassa persatuan waktu; ditentukan oleh keberadaan kelimpahan dan bobot ikan. Pada populasi yang mampu bereproduksi secara kontinu maka pembentukan biomas ditentukan oleh pertumbuhan biomas sesaat dari rataan biomas yang ada, yaitu : P = G x B. (P adalah produksi, G adalah laju pertumbuhan, dan B adalah rataan biomassa) Pertumbuhan biomassa merupakan perpaduan antara kematian sesaat z dan pertumbuhan sesaat g yang ditentukan oleh perubahan kelimpahan serta bobot individu stok. Kematian sesaat z dan pertumbuhan sesaat g mengikuti pola pertumbuhan eksponensial.

Pertumbuhan biomassa dari suatu stok (Chapman, 1978), merupakan perpaduan dari laju pembentukan biomasa dan rataan biomasa antar waktu (∑ΔB = .B ), atau dengan kata lain bahwa laju pertumbuhan biomassa merupakan perpaduan atau fungsi laju pembentukan biomasa (g) dan laju kematian (z) atau = ƒ (g,z). Perubahan kelimpahan dan bobot karena keluar masuk ikan akan mempengaruhi nilai

(11)

z dan g pada pola reproduksi kontinu. Pertumbuhan biomas ditentukan nilai z dan g. Apabila g>z, maka G = e(g-z) -1, dan apabila g < z maka G = 1- e (g-z) .

2.4 Efektivitas dan Penangkapan Sistem Penyinaran

Alat tangkapan ikan umpan yang beroperasi pada TAD adalah jenis jenis pukat/ jaring pantai sebesar 8% (5 unit) dan bagan 5% (3 unit) dari 65 unit alat penangkapan di Teluk Ambon (Pemkot Ambon dan Unpatti, 2003). Jaring insang dasar menempati urutan pertama (sekitar 59%) dari unit penangkapan. Sisanya berupa bubu, pancing tangan, jaring insang permukaan dan jaring lingkar. Kedua jenis alat penangkapan (jaring pantai dan bagan) saat ini telah berubah jumlahnya yaitu jaring pantai sebesar 7 unit dan bagan 5 unit. Kedua alat tangkap ini menggunakan alat bantu cahaya, yang disebut dengan light fishing. Hutubessy (2009) meneliti alat tangkap yang beroperasi di Teluk Ambon, menemukan jaring redi (beach seine) 7 unit serta bagan (lift net) 10 unit.

Eksploitasi ditentukan oleh intensitas penangkapan serta efektifitas alat yang digunakan untuk mendapatkan hasil tangkapan. Ikan teri merah dieksploitasi dengan jaring pantai dan bagan. Kedua alat penangkapan ikan teri merah ini dilengkapi dengan cahaya. Menurut informasi, alat tangkap tersebut lebih efektif dioperasikan pada bulan gelap. Di TAD, intensitas penangkapan relatif tetap, tetapi efektivitas ditentukan oleh ketertarikan ikan pada cahaya lampu. Di TAD, nelayan jaring pantai menggunakan bantuan cahaya dengan memakai perahu untuk mengumpulkan ikan umpan. Cahaya berasal dari lampu petromaks yang di letakan pada perahu. Jumlah lampu tersebut antara 2 – 4 buah dan diletakan 1.5 m di atas permukaan laut (Sumadhiharga, 1992).

Nicols (1989) telah melakukan penelitian mengenai penglihatan dan penerimaan cahaya oleh ikan dan menyimpulkan bahwa mayoritas mata ikan laut sangat tinggi sensitivitasnya terhadap cahaya. Ini berhubungan dengan sel cone (berfungsi untuk mendeteksi intensitas cahaya) dan rod (berfungsi untuk mendeteksi panjang gelombang cahaya) dari retina mata ikan. Setiap spesies mempunyai reaksi yang berbeda-beda terhadap ketertarikan pada cahaya. Umumnya ikan tertarik pada

(12)

cahaya antara 0.001 – 10 lux (Mitsugi, 1974). Berbeda jenis ikan maka berbeda pula respons terhadap cahaya. Hasil penelitian Baskoro (1999) melaporkan bahwa pada bagan dengan lampu petromaks 4 unit diperoleh intensitas cahaya sebesar 0.1 lux pada kedalaman 14m, sedangkan Natsir (2000) pada kedalaman 20 meter, intensitasnya antara 3 – 5 lux. Penelitian Baskoro (1998) dengan menggunakan bagan terhadap hasil tangkapan ikan anchovy (Stolephorus commersonii) menunjukkan reaksi yang kuat terhadap sumber cahaya di bawah air, dan cenderung berada pada kolom air antara 2 sampai 5 meter dimana intensitas antara 10 – 100 lux.

Di TAD, jika stok tidak dipengaruhi dari luar teluk, dan hanya ditentukan oleh proses di dalam teluk, maka laju eksploitasi (exploitation rate) dari kedua alat tangkap (jaring pantai dan bagan), dapat diketahui. Pauly (1984) menyatakan bahwa laju eksploitasi merupakan rasio antara mortalitas penangkapan dan mortalitas total (E=F/Z). Eksploitasi optimum terjadi pada ratio kematian akibat penangkapan dan kematian total, dimana nilai E sebesar 0.5.

2.5 Pengelolaan (Pengendalian Tingkat Eksploitasi)

Tujuan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan teri merah yaitu untuk mendapatkan hasil tangkapan optimal sesuai dengan daya dukung pembentukan biomassa stok tanpa mengganggu keseimbangan lingkungan perairan serta menjamin kelestariannya. Sasaran utama pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan yang menurut Widodo dan Nurhakim (2002), bahwa pada umumnya sumberdaya mempunyai sifat “open access” dan “common property” yang artinya pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dapat memanfaatkan sumberdaya dan kepemilikannya bersifat umum (milik semua orang) . Sifat sumberdaya seperti ini menimbulkan beberapa konsekuensi. Konsekuensi tersebut antara lain yaitu :

1. Tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over exploitation), investasi berlebihan (over investment) dan tenaga kerja berlebihan (over employment).

(13)

2. Perlu adanya hak kepemilikan (property rights), misalnya oleh Negara (state property rights), oleh masyarakat (community property rights) atau oleh swasta/perorangan (private property rights).

3. Mempertahankan kelestarian sumberdaya dan fungsi lingkungan

4. Mencegah terjadinya konflik antara pelaku utama usaha penangkapan ikan

Untuk mewujudkan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya yang produktif dan berkelanjutan maka perlu pendekatan :

1. Penerapan teknologi berkelanjutan. Dalam hal ini adalah teknologi yang ramah lingkungan. FAO (1995) memberikan ciri-ciri alat penangkapan yang ranah lingkungan adalah: (a). Memiliki selektivitas yang tinggi, (b). Tidak merusak habitat/ekosistem, (c). Tidak membahayakan keanekaragaman hayati dan spesies yang dilindungi, (d). Tidak membahayakan kelestarian ikan target, (e). Tidak membahayakan nelayan.

2. Konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan perairan. Menurut Maarif (2009), bahwa UU No. 31 tahun 2004 pasal 1 angka 8 dengan revisi perubahannya dalam UU No 45 tahun 2009 dan pasal 13 ayat 1 dan 2 dan peraturan turunannya yaitu PP No. 60 tahun 2007 tentang konservasi ikan yang didalam kedua hukum mengatur tentang perlunya upaya konservasi untuk pengelolaan sumberdaya ikan melalui, perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya ikan.

3. Pendekatan keterpaduan antar sektoral. Lilley (1999) menyatakan, sampai saat ini pengelolaan sumber daya laut masih sangat bersifat sektoral. Ia mengindentifikasi berbagai permasalahan antara lain : a). Ketidakjelasan tanggung jawab dari instansi yang berkepentingan dengan masalah sumber daya kelautan, sementara tidak ada badan khusus yang mengatur masalah sumber daya kelautan. b). Ada perbedaan kepentingan antar departemen sehingga peraturan yang dikeluarkan seringkali bersifat sangat sektoral, tumpang tindih atau bertentangan. c). Lemahnya kerangka hukum yang mengatur sumber daya kelautan dan pesisir, serta perangkat hukum untuk penegakannya. d). Tidak adanya tata ruang yang mengatur secara khusus

(14)

kawasan pantai dan pesisir. e). Kurangnya pemahaman akan pentingnya nilai dari sektor kelautan, sifat-sifat dari kelautan, termasuk sumber daya lautnya. f). Masih minimnya keikutsertaan masyarakat pesisir dalam pengelolaan sumber daya laut dan pesisir. g). Kurangnya kekuatan hukum dan pengakuan terhadap sistem-sistem tradisional serta wilayah ulayat laut dalam pengelolaan sumber daya laut dan pesisir. h). Kurangnya tenaga ahli, sumber daya manusia dan keuangan untuk bidang kelautan, i). Pengelolaan kawasan yang telah ditetapkan menjadi kawasan konservasi laut tidak sepenuhnya berjalan efektif.

Dari analisa potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan teri merah dapat ditentukan strategi pengelolaan dan pemanfaatan melalui :

1. Zonasi kawasan pengembangan sumberdaya ikan teri merah. Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 34 tahun 2002 (DKP, 2002) menyebutkan bahwa salah satu dari 5 zona pengelolaan perikanan adalah zona pemanfaatan, dimana zona yang secara intensif dilakukan, tapi mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

2. Penerapan teknologi yang produktif berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (Monintja, 1994).

3. Pendekatan bisnis perikanan tangkap, dimana menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 5 tahun 2008 tentang usaha perikanan tangkap pada pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa usaha perikanan (bisnis perikanan) tangkap adalah usaha perikanan yang berbasis pada penagkapan ikan.

Setiap strategi pengelolaan pemanfaatan sumberdaya tersebut perlu ditetapkan kebijakan operasional penangkapan ikan teri merah berkenaan dengan :

1. Intensifikasi, eksploitasi pada saat stok berlimpah. Wiadnya et al (2006) menyatakan bahwa ketika belum terjadi penurunan stok maka eksploitasi dapat dilakukan.

2. Pelestarian atau konservasi sumberdaya suatu stok mengalami defleksi. Untuk mencegah defleksi sumberdaya, maka strategi pengembangan kawasan

(15)

perlindungan laut sebagai alat pengelolaan perikanan tangkap berbasis ekosistem (Wiadnya et al, 2006)

3. Pembinaan intensif pelaku utama penangkapan ikan teri merah dalam mengelola eksploitasi dan menjamin kelestarian sumberdaya secara partisipasi dan terpadu antar sektoral. Kenyataan yang ada, hubungan antar sektor dalam pengelolaan sumber daya perikanan tidak diatur secara terkoordinasi dan terintegrasi (sectoral policy), sehingga setiap sektor cenderung berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan visi sektornya masing-masing (Agoes, 1999).

Referensi

Dokumen terkait